Anda di halaman 1dari 15

Anestesi pada Laparaskopi

EFEK FISIOLOGI
Dampak fisiologi laparoskopi berkaitan dengan kombinasi beberapa efek
meliputi insuflasi karbon dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan
pneumoperitonium, perubahan posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO 2 dan juga
pengaruh refleks peningkatan tonus vagus yang dapat berkembang menjadi aritmia.
Efek fisiologi dari laparoskopi ini meliputi:

Efek Kardiovaskular
Prinsip terjadinya respon fisiologis ini adalah peningkatan resistensi vaskular sistemik
(SVR), tekanan pengisian miokardium, bersama – sama dengan penurunan awal
cardiac index (CI), dengan perubahan yang kecil dari frekuensi denyut jantung (HR).

Karakteristik respons hemodinamik dijelaskan sebagai berikut : diawali dengan


terjadinya penurunan cardiac index setelah insuflasi gas CO 2 intra peritoneum dan
selanjutnya diikuti dengan pemulihan. Joris dkk. menemukan penurunan yang signifikan
dari cardiac index (30 – 40%) setelah induksi anestesi dan kebalikan posisi
trendelenburg (head-up position), selanjutnya terjadinya penurunan cardiac index
sampai 50% setelah insuflasi intra peritoneum. Kembalinya cardiac index secara
bertahap setelah terjadinya penurunan SVR. Fraksi ventrikel kiri menurun sesaat
setelah insuflasi intraperitoneum dan kembali ke nilai awal setelah 30 menit
pneumoperitoneum.
Respon hemodinamik terhadap insuflasi intraperitoneum tergantung pada interaksi
beberapa faktor 2,4 :
1.  Faktor penderita 2,4,16
Faktor yang berasal dari penderita yang mempengaruhi hemodinamik adalah ststus
kardiorespirasi pasien yang ada dan kondisi intravaskular sebelum dimulainya prosedur
laparoskopi.
Pada pasien penyakit jantung yang menjalani laparoskopi, pneumoperitoneum
menyebabkan perubahan hemodinamik yang lebih besar karena meningkatnya SVR
sehingga meningkatkan afterload, akhirnya akan menurunkan cardiac output yang lebih
besar.
Pada pasien dengan penyakit paru berat terjadi gangguan ventilasi – difusi, dengan
adanya pneumoperitoneum CO2 akan menyebabkan penurunan cardiac output. Pasien
ini juga membutuhkan ventilasi semenit yang lebih besar dan peak airway pressure
yang lebih tinggi untuk mencapai normokarbia sehingga akan menyebabkan penurunan
cardiac output yang lebih besar.
Pada pasien dengan volume intravaskular yang kurang (hipovolemik) sebelum
pneumoperitoneum memiliki cardiac output yang sudah kecil dan SVR yang tinggi serta
tekanan arteri rata – rata (MAP) yang tinggi. Dengan pneumoperitoneum akan terjadi
peningkatan SVR dan penurunan cardiac output yang lebih besar.
2.  Tekanan intra abdomen (pneumoperitoneum) 1,2,4,14
Insuflasi ruang intra peritoneum dengan dengan gas CO 2 menghasilkan
pneumoperitoneum, efek sistemik dari absorbsi CO 2 dan peningkatan refleks tonus
vagal yang bisa berkembang menjadi aritmia.
Peningkatan tekanan intra abdomen berhubungan dengan penekanan pembuluh darah
vena yang awalnya menyebabkan peningkatan preload sesaat diikuti secara perlahan
dengan penurunan preload. Penekanan pembuluh darah arteri meningkatkan afterload
dan biasanya secara nyata mengakibatkan peningkatan SVR. Cardiac Index biasanya
menurun dan besarnya penurunan ini sebanding dengan besarnya tekanan
intraabdominal. Pada pasien sehat yang akan menjalani laparoskopi kolesistektomi,
Dexter dkk. dengan menggunakan Doppler transesophagus menemukan bahwa cardiac
output menurun maksimal yaitu 28% saat tekanan insuflasi peritoneum 15 mmHg tetapi
dapat dipelihara pada tekanan insuflasi 7 mmHg. Sebagian besar peneliti mendapatkan
terjadinya penurunan cardiac output sebesar 10 – 30% selama insuflasi peritoneum
baik pada posisi head down atau head up. Ishizaki dkk. merekomendasikan batas
tekanan intraabdomen selama insuflasi oleh CO 2 dengan efek hemodinamik yang
minimal adalah ≤ 12 mmHg.
Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi denyut jantung, tekanan vena
sentral, dan cardiac output tidak berubah atau hanya meningkat ringan. Hal ini
diakibatkan oleh peningkatan pengisian jantung, karena darah cenderung dipaksa
keluar dari abdomen masuk kedalam thoraks.
Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH 2O/18 mmHg) cenderung membuat kolaps
vena besar abdomen (khususnya vena cava inferior) yang akan menurunkan aliran
darah balik vena dan menyebabkan penurunan cepat preload dan cardiac output pada
beberapa pasien.
Penurunan venous return dan cardiac output dapat dikurangi dengan cara
meningkatkan volume sirkulasi sebelum dilakukan pneumoperitoneum. Peningkatan
tekanan pengisian dapat dicapai dengan pemberian cairan atau memposisikan pasien
sedikit head down sebelum insuflasi peritoneum, dengan mencegah pengumpulan
darah dengan pneumatic compression device, atau dengan pembalutan kaki dengan
elastic bandages. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tidak mengalami penurunan yang signifikan
ketika tekanan intraabdomen meningkat sampai 15 mmHg. Peningkatan SVR bisa
dikoreksi dengan pemakaian obat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi seperti
isofluran atau obat vasodilatasi langsung seperti nitrogliserin atau nikardipin.
Penggunaan agonis α2-adrenergik seperti klonidin dan deksmedetomidin dan obat
penghambat β mengurangi perubahan hemodinamik dan kebutuhan obat anestesi
secara signifikan. Pengunaan dosis tinggi remifentanil hampir secara komplit bisa
mencegah perubahan hemodinamik.
3.  Efek dari posisi pasien 1,2,4,7,11,14-16
Insuflasi intra peritoneum dengan gas CO2 pada laparoskopi kolesistektomi dilakukan
dengan pasien pada posisi horizontal atau 15 - 20º trendelenburg. Posisi pasien
kemudian berubah keposisi kebalikan posisi trendelenburg (head up position) dengan
ditekan kelateral kiri untuk memfasilitasi retraksi fundus kandung empedu dan
meminimalkan disfungsi diafragma. Perubahan posisi pada pasien dengan
pneumoperitonium menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.
Pada posisi anti trendelenburg (head up position) terjadi penurunan tekanan akhir
diastolic ventrikel kiri, hal ini menunjukkan adanya penurunan aliran darah balik vena
(venous return) atau preload, cardiac output, dan tekanan arteri rata – rata. Fraksi
ejeksi ventrikel kiri tetap terpelihara pada pasien sehat. Pola perubahan cardiac output
dan tekanan arteri pada pasien dengan penyakit jantung ringan sampai berat mirip
dengan pasien sehat. Namun secara kuantitatif perubahan ini tampak lebih jelas.
Peningkatan tekanan intraabdomen dan posisi head-up mengakibatkan penurunan
aliran darah vena femoralis, stasis pada vena – vena tungkai bawah, diperburuk
dengan posisi litotomi dengan fleksi pada lutut merupakan predisposisi terjadinya
tromboemboli.
Walaupun posisi trendelenburg meningkatkan tekanan vena sentral (preload), namun
MAP dan cardiac output tidak berubah atau menurun. Hal ini merupakan respon
paradoksikal yang dijelaskan dengan mediasi refleks karotis dan baroreseptor aortic
yang menyebabkan vasodilatasi sistemik dan bradikardia. Perubahan volume vena
sentral dan perubahan tekanan yang lebih besar pada pasien dengan penyakit arteri
koroner (CAD), khususnya yang disertai dengan fungsi ventrikel yang jelek
menyebabkan perburukan secara potensial dan meningkatkan kebutuhan oksigen
miokardium. Posisi trendelenburg ini juga mempengaruhi sirkulasi serebral, khususnya
pada pasien dengan komplians intrakranial yang rendah dan mengakibatkan
peningkatan tekanan intraokular yang bisa menyebabkan perburukan pada pasien
dengan glaucoma akut.
4.  Efek Absorbsi Sistemik gas CO2 1,2,4,14,16
Hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi karena absorbs CO 2.
Hiperkapni menyebabkan penurunan kontraktilitas miokardium dan menurunkan nilai
ambang aritmia. Efek antisipasi langsung vaskular terhadap hiperkapni adalah
terjadinya dilatasi arterioler dan penurunan SVR, yang dimodulasi oleh respon mekanik
dan neuro humoral dengan pengeluaran katekolamin.
Hiperkarbia akan menstimulasi system syaraf simpatis yang akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan resiko aritmia. Usaha untuk
mengkompensasi dengan meningkatkan volume tidal atau frekuensi nafas akan
meningkatkan tekanan intrathoraks, selanjutnya menurunkan aliran darah balik vena
dan peningkatan tekanan rata – rata arteri pulmonalis. Efek ini merupakan kendala
pada pasien dengan penyakit restriktif paru,gangguan fungsi jantung dan kurangnya
volume intravaskular.
5.  Respon neurohumoral 1,2,4,16
Mediator – mediator potensial yang dapat meningkatkan SVR selama
pneumoperitoneum adalah vassopresin dan katekolamin. Hiperkapnea dan
pneumoperitoneum dapat menyebabkan stimulasi system syaraf simpatis dan
menstimulasi pengeluaran katekolamin. Beberapa penelitian melaporkan adanya
aktivasi system renin angiotensin dengan produksi vasopressin. Joris dkk. menemukan
menemukan peningkatan vassopresin plasma segera setelah insuflasi peritoneum.
Peningkatan 4 kali lipat pada konsentrasi rennin dan aldosteron berhubungan dengan
peningkatan MAP.
Katekolamin, system renin angiotensin dan khususnya vasopressin semua dikeluarkan
selama pneumoperitoneum dan mempunyai andil dalam meningkatkan afterload.
Stimulasi mekanik reseptor peritoneum juga mengakibatkan peningkatan pengeluaran
vasopressin.
   
Efek Respirasi 1-4,15
1.  Efek Mekanik
Insuflasi intraperitoneum oleh CO 2 untuk membuat pneumoperitoneum pada
laparoskopi, mengakibatkan perubahan pada ventilasi dan respirasi yang dapat
menyebabkan 4 komplikasi respirasi : empisema subkutis CO 2, pneumothoraks,
intubasi endobronkial, dan emboli gas.
Perubahan fungsi paru selama insuflasi abdomen meliputi penurunan volume paru,
penurunan komplian paru, dan peningkatan tekanan puncak jalan nafas (peak airway
pressure). Komplian paru menurun 30 – 50% pada pasien sehat, obesitas, dan ASA III
– IV. Penurunan kapasitas residu fungsional (FRC) dan koplian paru yang berhubungan
dengan posisi terlentang dan induksi anestesi yang selanjutnya diperberat oleh insuflasi
CO2 dan perpindahan ke sefalad diafragma selama posisi trendelenberg dan perubahan
distribusi ventilasi dan perfusi paru yang disebabkan oleh peningkatan tekanan jalan
nafas (airway pressure).
Hipoksemia oleh karena penurunan FRC pada pasien yang sehat sangat jarang selama
laparoskopi. Penurunan oksigenasi arteri (hipoksemia) disebabkan penurunan FRC,
atelektasis, gangguan ventilasi perfusi, dan pintasan intrapulmoner pada pasien
obesitas dengan riwayat merokok yang lama atau pasien dengan penyakit paru.
Posisi trendelenburg menyebabkan perpindahan organ visceral dan diafragma. FRC,
volume total paru, dan komplians paru akan menurun, bahkan bisa berkembang
menjadi atelektasis. Perubahan ini biasanya dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien
sehat, namun pada pasien obesitas, pasien tua, dan pasien dengan penyakit paru
meningkatkan resiko hipoksemia. Posisi trendelenburg cenderung menyebabkan
pergeseran trakea ke atas, sehingga pipa endotrakea yang terfiksasi dimulut bisa
bermigrasi kedalam bronkus utama kanan. Pergeseran trakeobronkial ini diperbesar
oleh insuflasi abdomen.
2.  Efek Pertukaran Gas – Absorbsi CO2 2,4
CO2 adalah pilihan gas untuk insuflasi pada bedah laparoskopi. CO2 tidak mudah
terbakarseperti N2O, sehingga dapat digunakan secara aman untuk diatermi.
Dibandingkan dengan helium, kelarutan CO2 darah lebih tinggi dan ekskresinya lewat
paru menurunkan resiko efek samping emboli gas,CO 2juga mudah di eliminasi, dan
dosis letal lima kali dari udara. Insuflasi CO2 kedalam ruang peritonem meningkatkan
CO2 arteri (PaCO2), yang akan dikompensasi dengan peningkatan ventilasi semenit.
Absorbsi gas dari ruang peritoneum tergantung pada kemampuan difusinya, luas
daerah absorbsinya, dan vaskularisasi atau perfusi dinding insuflasi. Karena difusi
CO2 tinggi, maka terjadi absorbsi CO2 dalam jumlah besar kedalam darah yang ditandai
dengan peningkatan PaCO2. Absorbsi gas CO2 lebih besar pada insuflasi
ekstraperitoneum (pelvis) daripada innsuflasi intraperitoneum. Dampak dari
peningkatan PaCO2 tidak dapat diprediksi, khususnya pada pasien dengan penyakit
paru berat. Wittgen dkk. meneliti terjadinya penurunan pH darah dan peningkatan
PaCO2 pada pasien ASA III selama pneumoperitoneum dan pasien ini membutuhkan
ventilasi semenit yang lebih tinggi dan airway pressure yang juga lebih tinggi. Nilai
ETCO2 tidak berkorelasi dengan konsentrasi CO2 arteri pada pasien ini. Gradient
PETCO2 masih stabil selama laparoskopi pasien ASA III. ETCO 2 merupakan nilai yang
tidak dapat dipercaya untuk mengetahui PaCO 2 selama insuflasi CO2 pada pasien
dengan penyakit paru berat.
Kelarutan CO2 yang tinggi meningkatkan absorbsi sistemik oleh pembuluh darah
peritoneum, ditambah dengan volume tidal yang lebih rendah karena rendahnya
komplian paru menyebabkan peningkatan kadar CO 2 arteri dan penurunan pH.
Peningkatan PaCO2 yang progresif mencapai kondisi konstan 15 – 30 menit setelah
mulainya insuflasi CO2 pada pasien dengan kontrol ventilasi mekanik selama
laparoskopi ginekologi dengan posisi trendelenburg atau laparoskopi kolesistektomi
pada posisi head up. Peningkatan PaCO 2 tergantung pada tekanan intra abdomen.
Selama laparoskopi dengan anestesi lokal, PaCO 2 tetap tidak berubah namun ventilasi
semenit meningkat. Pada anestesi umum dengan nafas spontan kompensasi
hiperventilasi tidak mencukupi untuk menghindari hiperkapnea karena anestesi
menginduksi depresi ventilasi dan peningkatan kerja pernafasan yang disebabkan oleh
penurunan komplian torakopulmonal. Oleh karena hal ini terjadi dalam waktu 15 – 30
menit untuk mencapai PaCO2 konstan, teknik anestesi dengan menggunakan nafas
spontan harus dibatasi untuk prosedur operasi yang pendek pada tekanan
intraabdomen yang rendah.
Penyebab peningkatan PaCO2 saat pneumoperitoneum adalah multifaktorial yaitu :
1. Absorbsi CO2 dari ruang peritoneum. 
2. Gangguan ventilasi dan perfusi oleh faktor – faktor mekanik seperti distensi
abdomen, posisi pasien, dan kontrol ventilasi mekanik, penurunan cardiac output. 
3. Depresi ventilasi yang disebabkan oleh obat – obat premedikasi dan anestesi
yang terjadi pada pasien dengan nafas spontan. 
4. Peningkatan metabolisme (anestesi yang kurang dalam). 
5. Kejadian yang tidak diinginkan, seperti emfisema CO 2 subkutis atau dalam ruang
tubuh, kapnothorak, emboli CO2, intubasi bronkus.
Mekanisme utama peningkatan PaCO 2 pada pasien sehat selama pneumoperitoneum
CO2lebih disebabkan oleh absorbsi CO2 daripada efek ventilasi mekanik akibat
peningkatan tekanan intraabdomen. Tetapi pada pasien dengan masalah
kardiorespirasi, perubahan ventilasi juga bertanggung jawab meningkatkan PaCO 2.
PaCO2 harus dipertahankan dalam rentang fisiologis dengan menyesuaikan kontrol
ventilasi mekanik, kecuali pada kondisi khusus seperti emfisema subkutis CO 2, koreksi
peningkatan PaCO2 bisa dengan mudah dicapai dengan peningkatan 10 – 25%
ventilasi alveolar.

Efek Pada Sistem Lain1,2,4,14


Sistem Gastrointestinal
Pasien-pasien yang menjalani laparoskopi biasanya dianggap beresiko tinggi untuk
terjadinya sindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster akibat peningkatan
tekanan intragastrik karena peningkatan IAP. Namun, selama pneumoperitoneum,
tonus sfinkter esophagus inferior jauh lebih kuat daripada tekanan intragastrik dan
peningkatan tekanan ini membatasi insidensi regurgitasi.

Sirkulasi Mesenterik
Pembuluh darah visceral adalah yang pertama-tama mengalami kompresi pada
peningkatan IAP, sehingga mengakibatkan disfungsi organ karena kolapsnya pembuluh
darah kapiler dan vena-vena kecil. Hiperkapnia akibat simpatotonia, kompresi mekanis
organ-organ abdominal, posisi reverse Trendelenberg, dan pelepasan vasopressin
adalah beberapa faktor yang turut mengakibatkan menurunnya sirkulasi mesenterik.

Sirkulasi Hepatoportal
Peningkatan IAP (>20 mmHg) mengakibatkan peningkatan tahanan dan aliran balik
pada pembuluh darah abdominal. Pelepasan hormon (katekolamin, angiotensin, dan
vasopressin) selama pneumoperitoneum akan semakin meningkatkan tahanan vaskuler
mesenteric sehingga mengakibatkan penurunan yang berarti pada volume darah
hepatic dan splanknik. IAP > 20 mmHg menyebabkan penurunan 60% pada aliran
darah vena porta sehingga mengakibatkan disfungsi hepar, yang akan menetap lebih
lama pada periode postoperative. Terdapat penurunan suplai darah secara menyeluruh
ke semua organ, kecuali glandula adrenal.

Fungsi Ginjal
Peningkatan IAP mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada curah
jantung dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran darah vena
renalis yang disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan ADH plasma dan
peningkatan aktivitas rennin-angiotensin plasma akan meningkatkan resistensi vaskuler
ginjal sehingga mengakibatkan penurunan tekanan filtrasi dan produksi urine.

Tekanan Intrakranial dan Tekanan Intraokuler


Peningkatan IAP akan menekan vena cava inferior dan meningkatkan tekanan spinal
lumbal dengan menurunkan drainase dari pleksus lumbalis, sehingga meningkatkan
tekanan intrakranial dan intraokuler. Hiperkapnia menyebabkan refleks vasodilatasi
pada sistem saraf pusat dan hal ini juga  turut meningkatkan tekanan intrakranial.

ANESTESI PADA LAPAROSKOPI 1-3,5


Manajemen anestesi pada pasien yang menjalani pembedahan laparoskopi harus
mengakomodasi kebutuhan pembedahan dan sesuai dengan perubahan fisologis yang
terjadi selama pembedahan. Peralatan pemantauan disediakan untuk deteksi dini
komplikasi. Pemulihan anestesi harus cepat dengan efek residual yang minimal, dan
antisipasi kemungkinan prosedur laparoskopi berubah menjadi laparotomi.

Evaluasi Pasien Preoperasi Dan Premedikasi 1,2,5,8,16


Kontra indikasi medis pembedahan laparoskopi adalah relatif. Pembedahan
laparoskopi telah berhasil dilakukan pada pasien yang mendapat antikoagulan, wanita
hamil, dan obesitas morbid.
Pneumoperitoneum tidak dikehendaki pada pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial (tumor, hydrocephalus, trauma kepala), hipovolumia, ventrikuloperitoneal
shunt, dan peritoneojugular shunt. Pneumoperitoneum dapat dilakukan secara aman
pada pasien dengan shunt ini, dengan melakukan klem pada shunt sebelum insuflasi
peritoneum. Efek terhadap tekanan intraokuler secara klinis tidak signifikan pada pasien
glaucoma. Laparoskopi tanpa gas dapat menjadi alternatif laparoskopi yang aman
untuk semua kasus ini.
Oleh karena efek samping peningkatan tekanan intraabdominal pada fungsi ginjal,
pasien dengan gagal ginjal harus mendapat perhatian khusus untuk mengoptimalkan
hemodinamik selama pneumoperitoneum, dan menghindari penggunaan obat – obat
nefrotoksik. Pada pasien dengan penyakit respirasi, laparoskopi lebih dipilih
dibandingkan dengan laparotomi oleh karena disfungsi respirasi pasca operasi lebih
ringan. Efek positif ini harus dipertimbangkan dengan resiko terjadinya pneumothorak
selama pneumoperitoneum dan resiko ketidakadekuatan pertukaran gas yang
disebabkan oleh gangguan ventilasi perfusi.
Tes fungsi paru preoperasi seperti volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital dan
tingginya status ASA mungkin bisa memprediksi resiko pasien akan mengalami
hiperkapnea dan asidosis selama laparoskopi kolesistektomi. Hiperkapnea dan asidosis
yang persisten mungkin memerlukan penghilangan insuflasi dari pneumopertoneum,
penurunan tekanan insuflasi ataukonversikan ke prosedur terbuka.
Karena kemungkinan terjadinya stasis vena pada tungkai bawah selama laparoskopi,
profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) dengan memberikan tromboprofilaksis
low-molecular-weight heparin (LMWH) seperti fragmin heparin sodium 2500 – 5000 IU
atau Clexane enoxaparin sodium 20 – 40 mg subkutan preoperasi dan pasca operasi,
knee-length graduated compression elastic stocking selama perawatan di rumah sakit,
dan intermiten pneumatic calf compression intraoperasi. LMWH diberikan sekali malam
hari sebelum pembedahan dan diteruskan sampai pasien keluar dari rumah sakit.
Premedikasi harus disesuaikan dengan durasi laparoskopi dan keperluan untuk
pemulihan cepat pada pasien rawat jalan. Pemberian NSAID dan opioid dapat
bermanfaat mengurangi nyeri pasca operasi. Penggunaan klonidin dan
deksmedetomidin menurunkan respon stress intraoperasi dan mempertahankan
stabilitas hemodinamik. Premedikasi anxiolitik (benzodazepin) biasanya tidak perlu
kecuali pasien dengan kecemasan tinggi.
Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi saat terjadi
perubahan hemodinamik yang ringan oleh karena pneumoperitoneum dan posisi
pasien, khususnya pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel. Pasien dengan
gagal jantung kongestif yang berat dan insufisiensi katup yang terminal lebih cenderung
mengalami komplikasi kardiak daripada pasien denganpenyakit jantung iskemik selama
laparoskopi. Untuk pasien seperti ini keuntungan laparoskopi pasca operasi harus
dipertimbangkan dengan resiko intraoperasi dalam menentukan pilihan apakah
laparotomi atau laparoskopi.

Teknik Anestesi 1,2,4-6,15
Pendekatan anestesi untuk operasi laparoskopi meliputi : infiltrasi anestesi lokal
dengan sedatif intravena, anestesi epidural dan spinal, dan anestesi umum. Pemilihan
teknik anestesi tidak merupakan penentu dalam outcome pasien.
Tidak ada teknik anestesi yang secara klinis lebih superior dari pada teknik lain,
anestesi umum dengan ventilasi terkontrol tampaknya merupakan teknik yang paling
aman untuk operasi laparoskopi.
Anestesi lokal dibatasi untuk prosedur laparoskopi ginekologi singkat (sterilisasi tuba
perlaparoskopi, transfer intrafallopi) pada orang muda, sehat dan punya motivasi.
Walaupun pemulihan pasca operasi cepat, namun perasaan tidak enak/nyaman pada
pasien, dan visualisasi organ – organ intraabdomen yang tidak optimal merupakan
pengecualian penggunaan teknik anestesi lokal ini untuk laparoskopi kolesistektomi.
Alternatif anestesi regional untuk operasi laparoskopi adalah anestesi epidural dan
spinal. Anestesi regional ini tidak dianjurkan sebagai teknik anestesi tunggal karena
pada operasi laparoskopi membutuhkan level blok yang tinggi, perubahan posisi yang
ekstrem, dan adanya pneumoperitoneum yang bisa menyebabkan gangguan mekanik
respirasi. Laparoskopi ini membutuhkan blok pada level yang tinggi untuk mendapat
relaksasi otot yang lengkap dan untuk mencegah iritasi diafragma yang disebabkan
oleh insuflasi gas dan manipulasi pembedahan.
Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh otot
disertai pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karenan beberapa
alasan : adanya resiko regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan
intraabdominal saat insuflasi; perlunya ventilasi terkontrol untuk mencegah
hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirsi yang tinggi secara relatif karena
pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan karena tekanan
insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang lebih baik, mencegah pergerakan
pasien yang tidak diinginkan.
Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi lambung selama
ventilasi karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma lambung saat insersi trokars.
Pemasangan pipa nasogastrik dan dekompresi lambung untuk meminimalkan resiko
perforasi organ visceral saat insersi trokar dan mengoptimalkan visualisasi. Intubasi
memberikan keuntungan pada pasien obesitas untuk mengurangi hipoksemia,
hiperkarbia, dan aspirasi. Penggunaan teknik ventilasi spontan tidak dianjurkan dalam
perspektif adanya pneumoperitoneum intraoperasi dan posisi pasien.
Selama pneumoperitoneum kontrol ventilasi disesuaikan untuk mempertahankan
PETCO2kira – kira 35 mmHg, untuk ini membutuhkan tak lebih dari 15 – 25%
peningkatan ventilasi semenit, kecuali bila terjadi emfisema subcutis. Peningkatan
frekuensi nafas lebih dpilih daripada peningkatan volume tidal pada pasien dengan
PPOK dan pada pasie dengan pneumothorak spontan atau emfisema bulosa untuk
menghindari peningkatan inflasi alveolar dan menurunkan resiko pneumothorak.
Pemberian obat – obatan vasodilator seperti nikardipin, agonis α2-adrenergik dan
remifentanil mengurangi dampak hemodinamik pneumoperitoneum dan dapat
memfasilitasi manajemen anestesi pada pasien dengan penyakit jantung.
Tekanan intraabdomen harus dimonitor, dipertahankan serendah mungkin untuk
mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi, dan tidak boleh lebih dari 20
mmHg. Peningkatan tekanan intraabdomen dapat dihindari dengan menjaga
kedalaman anestesi. Karena kecenderungan terjadi refleks peningkatan tonus vagus
selama laparoskopi, atropine harus disediakan untuk injeksi jika diperlukan.
Teknik anestesi untuk prosedur laparoskopi pembedahan umum intraabdomen dan
ginekologi sering dilakukan dengan anestesi umum. Beberapa prosedur pendek seperti
sterilisasi perlaparoskopi bisa dilakukan tanpa pelumpuh otot tergantung dari
ketrampilan ahli bedah dan pasiennya tidak obesitas.

Manajemen jalan nafas 2,4,16


Teknik anestesi dilakukan dengan intubasi endotrakeal dan kontrol ventilasi mekanik
untuk mengurangi peningkatan PaCO 2 dan menghindari gangguan ventilasi akibat
pneumoperitoneum dan posisi trendelenburg saat awal operasi. Laryngeal mask airway
(LMA) telah digunakan dalam laparoskopi pelvis secara luas. LMA, khususnya LMA pro
seal berhasil digunakan untuk insersi ETT, pada prosedur yang pendek untuk pasien
one day care (ODC). Pemantauan kontinyu terhadap pH esophagus dan kondisi klinis
gagal mendeteksi refluk esophageal pada pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi
dengan menggunakan LMA. Untuk laparoskopi abdomen atas dan laparoskopi
kolesistektomi dengan dengan tekanan intraabdomen yang tinggi, refluk esophageal
tidak bisa diperkirakan dan meningkatkan resiko regurgitasi pasif isi lambung.
Penggunaan ballon pipa endotrakeal mengurangi resiko aspirasi asam lambung karena
refluk isi lambung.

Pelumpuh otot 2,17
Pemilihan obat – obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan profil
efek samping obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh otot dengan
neostigmin meningkatkan terjadinya mual muntah pasca operasi (PONV) setelah
laparoskopi dibandingkan dengan pemulihan secara spontan, dan beberapa klinisi
menghindari reverse ini. Namun penelitian yang lain menemukan tidak ada efek pada
insiden PONV berkaitan dengan penggunaan neostigmin, khususnya pasien yang
menjalani laparoskopi ginekologi yang direncanakan rawat jalan, penggunaan
neostigmin dan glikopirolat tidak meningkatkan insiden atau beratnya PONV. Bahkan
adanya residu pelumpuh otot yang sedikit menyebabkan gejala dan tanda distress yang
harus dihindari. Selanjutnya keuntungan tidak memakai neostigmin harus
diseimbangkan dengan resiko ketidakadekuatan reverse pelumpuh otot.

Nitrous Oxide (N2O) 2,3,4


Penggunaan N2O selama prosedur laparoskopi masih kontroversi karena
kemampuan N2O untuk berdifusi kedalam lumen usus yang menyebabkan distensi,
gangguan lapangan pembedahan, dan meningkatkan mual muntah pasca operasi,
namun secara klinis tidak signifikan pada prosedur pendek dan sedang. N 2O lebih
mudah larut (30X) dari pada Nitrogen (N 2), ruang udara tertutup akan mengakumulasi
N2O lebih cepat dari eliminasi N 2. Edger dkk. mendapatkan adanya peningkatan lebih
dari 200% ukuran lumen usus setelah 4 jam pernafasan dengan N 2O. keamanan dan
efikasi N2O khususnya selama laparoskopi kolesistektomi diteliti oleh tailor dkk.
mendapatkan bahwa N2O berdifusi kedalam CO2 pneumoperitoneum dan fraksi N2O
lebih dari 29%, level seperti ini dapat menyebabkan luka bakar pada operasi lebih dari 2
jam.
N2O biasanya memberikan kontribusi terhadap PONV. Lomie dan Harper dalam studi
randomized prospective pada 87 pasien yang menjalani prosedur laparoskopi
ginekologi, mendapatkan penurunan mual muntah pasca operasi dari 49% menjadi
17% bila tidak menggunakan N2O.

Obat Induksi 2
Propofol merupakan obat induksi pilihan karena non emetogenik dan pemulihannya
yang baik. Propofol memberikan efek samping pasca operasi yang lebih kecil.

Obat Anestesi Inhalasi 2


Halotan meningkatkan insiden aritmia pada prosedur laparoskopi, khususnya bila
terjadi hiperkarbia penggunaan halotan sudah digantikan oleh obat – obat inhalasi yang
baru seperti isofluran, desfluran, dan sevofluran yang mempunyai efek depresi
miokardium lebih rendah dan kurang aritmogenik.

Analgesia 2,3,4
Opioid masih merupakan komponen penting untuk teknik balans anestesi umum
untuk prosedur laparoskopi. Opioid kerja pendek seperti fentanyl, alfentanyl dan
remifentanyl bisa digunakan intraoperatif untuk mencegah stimulus pembedahan yang
hebat. Kesalahan interpretasi hasil kolangiografi intraoperasi selama laparoskopi
kolesistektomi dapat terjadi karena penggunaan opioid dapat menyebabkan spasme
spinkter oddi. Spasme spinkter oddi yang disebabkan oleh opioid bisa dilawan dengan
beberapa obat seperti glucagon dan nalokson.
Walaupun laparoskopi kolesistektomi merupakan prosedur invasif yang minimal,
namun tetap berhubungan dengan nyeri intraabdomen, nyeri insisional, dan nyeri bahu
setelah operasi. Obat – obat analgesia multimodal kombinasi dengan opioid, NSAID
dan anestesi lokal infiltrasi sangat efektif mengurangi dosis opioid untuk meminimalkan
efek samping. Pemberian obat anestesi lokal melalui jalur intraperitoneum sangat
sederhana dan tidak melibatkan blok neuroaksial, khususnya untuk pasien anestesi
rawat jalan. Pemberian obat anestesi lokal bupivakain 0,25% 50 – 200mg dalam
volume 10 – 100 ml, signifikan mengurangi nyeri yang terjadi. Efek samping atau tanda
– tanda toksisitas anestesi lokal yang diberikan melalui jalur intraperitoneum ini belum
pernah dilaporkan. Joris dkk. mendapatkan nyeri visceral berupa rasa tidak enak
setelah laparoskopi kolesistektomi tidak berkurang dengan pemberian 80 ml
bupuvakain 0,125% intraperitoneum.

Mual dan Muntah Pasca Operasi (PONV) 1,2,3,5


PONV merupakan salah satu keluhan utama yang umum terjadi juga merupakan
gejala yang sangat mencemaskan setelah prosedur laparoskopi (40 – 75% pasien) dan
merupakan faktor yang paling penting yang menyebabkan lamanya perawatan rumah
sakit setelah anestesi. Penggunaan opioid intraoperasi secara signifikan meningkatkan
insiden PONV masih kontroversial. Drainase isi lambung juga mengurangi insiden
PONV. Pengurangan dosis opioid dengan obat – obatan analgesia multimodal bisa
menurunkan insiden PONV. Selektif reseptor antagonis 5 HT, ondansetron dengan
dosis 4 mg efektif sebagai profilaksis terhadap emesis pasca operasi laparoskopi.
Penelitian yang lain mendapatkan tidak ada perbedaan antara ondansetron 4 mg dan
siklizin 50 mg sebagai antiemesis pada pasien yang menjalani laparoskopi rawat jalan.
Waktu yang tepat pemberian ondansetron ditemukan lebih signifikan sebagai
antiemesis pada akhir pembedahan dibandingkan pemberian saat preinduksi.
Pendekatan multimodal untuk mencegah PONV bisa dilakukan dengan menggunakan
obat kombinasi droperidol 0,625 – 1 mg, antagonis 5 HT3 (ondansetron 4 mg atau
dolasetron 2.5 – 5 mg), dan deksamethason 4 – 8 mg, disertai dengan hidrasi yang
cukup, penggunaan dosis minimal opioid.

Monitoring 1,2,4,16
 Pemantauan intraoperasi standar dianjurkan untuk semua pasien yang menjalani
prosedur dengan akses yang minimal. Monitor standar yang digunakan : pulse rate,
kontnyu ECG, Intermiten NIBP, Pulse oximetry (SpO2), Capnography (EtCO2), suhu,
tekanan intraabdominal, pulmonary airway pressure. Pemantauan hemodinamik invasif
sesuai pada pasien ASA III – IV untuk memonitor respon kardiovaskular terhadap
pneumoperitoneum, perubahan posisi dan untuk memberikan terapi. Kapnografi dan
pulse oximetri merupakan monitor PaCO2 dan saturasi oksigen arteri yang dapat
dipercaya pada pasien sehat tanpa gangguan intraoperasi akut. PaCO 2 dan Δa-
ETCO2 meningkat lebih besar pada pasien ASA II – III daripada pasien ASA I. Hal ini
juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dan pada anak
dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Pemeriksaan analisis gas arteri danjurkan
bila secara klinis diduga adanya hiperkapnea bahkan pada pasien tanpa adanya
PETCO2 abnormal. Pemantauan ETCO2 pasca operasi paling sering digunakan sebagai
indikator non invasif dari PaCO2 dalam menilai dan memberikan petunjuk keadekuatan
ventilasi semenit untuk mempertahankan normokarbia selama prosedur laparoskopi.
Penurunan perfusi paru  terjadi jika cardiac output menurun dengan cepat oleh karena
tekanan inflasi yang tinggi, perubahan posisi yang berlawanan dengan posisi
trendelenburg, atau terjadi emboli gas. Selanjutnya distensi abdomen menurunkan
komplian paru. Volume tidal yang besar dihindari karena akan meningkatkan tekanan
puncak inspirasi dan menyebabkan pergerakan/perpindahan lapangan operasi. Pilihan
untuk menghindari hal ini menggunakan volume tidal yang lebih rendah dan frekuensi
nafas yang lebih cepat namun bisa menyebabkan sampel gas alveolar yang buruk dan
kesalahan pengukuran ETCO2. Nilai ETCO2 tidak bisa dipercaya khususnya pada
pasien dengan penyakit jantung dan paru yang menjalani laparoskopi. Pemasangan
kateter arteri seharusnya dilakukan dan analisa gas darah penting untuk mendeteksi
hiperkarbia. Monitor PETCO2 juga bermanfaat untuk deteksi dini emboli gas vena
(VGE) pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner.
Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO 2 dan PaCO2 setelah Insuflasi
CO2 pada pasien sehat. Sebaliknya pasien dengan penyakit kardiopulmoner
PaCO2 meningkat secara bertahap selama insuflasi CO 2 dan hal ini tidak
mencerminkan paningkatan ETCO2.
Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak pada pasien yang teranestesi yang
diberikan IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan nafas dapat membantu mendeteksi
peningkatan berlebihan tekanan intraabdomen, juga mencegah pergerakan pasien tiba
– tiba selama pembedahan yang dapat menyebabkan trauma organ intraabdomen oleh
peralatan laparoskopi.

KOMPLIKASI INTRAOPERASI YANG SPESIFIK 1,2,4


Kompikasi intraoperasi selama prosedur laparoskopi dengan pneumoperitoneum
CO2 meliputi :
1.  Trauma vaskular 2,3,4,8,16
Trauma vaskular mayor isa terjadi saat insersi alat – alat pembedahan terutama veress
needle atau trokars. Insiden trauma vaskular selama laparoskopi abdomen atas ± 0,03
– 0,06% dan menurun dengan meningkatnya pengalaman pembedahan. Perdarahan
bisa terjadi oleh karena insersi veress needle atau trokar mengenai pembuluh darah
besar intraabdomen atau trauma pada pembuluh darah dinding abdomen, seperti aorta,
vena cava inferior, pembuluh darah iliaka, dan hematom retroperitoneum, biasanya
merupakan trauma vaskular yang terdiagnosa terlambat oleh karena terbatasnya
visualisasi, yang awalnya ditandai dengan terjadinya hipotensi yang tidak bisa
diterangkan.
2.  Trauma Gastrointestinal 2,3,4,8
Trauma abdomen lain yang berhubungan dengan insersi veress needle dan trokar
meliputi perforasi traktus gastrointestinal baik usus besar dan usus halus yang bisa
menyebabkan peritonitis, robekan hepar dan lien dan laserasi mesenterium. Trauma
gastrointestinal yang tidak bisa dikenali mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
Faktor resiko terjadi trauma gastrointestinal meliputi distensi lambung dan adhesi yang
disebabkan oleh operasi abdomen sebelumnya.
3.  Aritmia jantung 2,3,4,6
Aritmia selama prosedur laparoskopi bisa disebabkan oleh berbagai penyebab
meliputi : hiperkapnea sebagai akibat insuflasi CO 2 intraperitoneum dan peningkatan
reflek tonus vagus saat insersi trokar, insuflasi peritoneum, tarikan peritoneum, dan
manipulasi organ visceral, khususnya bila anestesi kurang dalam. Jenis gangguan
aritmia jantung yang pernah dilaporkan adalah bradikardia sampai asistol.
Walaupun aritmia ini bisa membaik dan hilang dengan spontan, namun harus
dipertimbangkan untuk melakukan tindakan: menghilangkan stimulus (pengurangan
insuflasi intraperitoneum) dan pemberian obat vagolitik (sulfas atropine)
4.  Emfisema Subkutis 1,2,3,4,5,12,14,15
Emfisema subkutis bisa disebabkan oleh insuflasi CO 2 ekstraperitoneum yang
disengaja (pada operasi hernia inguinalis, pembedahan ginjal, limfadenektomi pelvis)
dan insuflasi CO2ekstraperitoneum yang tidak disengaja. Akses keruang peritoneum
pada laparoskopi dicapai dengan cara insersi buta veress needle melalui insisi kecil
subumbilikus. Insuflasi CO2ekstraperitoneum bisa terjadi jika ujung jarum ditempatkan
di subkutan, jaringan preperitoneum atau retroperitoneum saat insuflasi. Insiden dari
komplikasi insuflasi ekstraperitoneum bervariasi antara 0,4 – 2%. Emfisema subkutan
yang luas bisa mengenai abdomen,dada, leher, dan paha. Emfisema subkutis ditandai
ditandai dengan adanya krepitasi diatas dinding abdomen. Peningkatan absorbsi
CO2 menyebabkan peningkatan tiba – tiba ETCO 2 dan hiperkapnea, dan asidosis
respirasi yang berhubungan dengan emfisema subkutis karena insuflasi
ekstraperitoneum. Kehati – hatian teknik pembedahan saat insersi veress needle dan
penilaian lokasi jarum intraperitoneum sebelum insuflasi mengurangi insiden komplikasi
ini.
5.  Pneumothorak, Pneumomediastinum dan Pneumoperikardium 1-6,12,14-16
Pneumothorak bisa terjadi saat prosedur laparoskopi intraperitoneum atau
ekstraperitoneum, walaupun jarang, komplikasi ini adalah komplikasi yang mengancam
nyawa. Faktor penyebab komplikasi ini berupa defek embrional, defek diafragma (hiatus
aorta/esophagus), robekan pleura, rupture bulla emfisematus. Pada laparoskopi
kolesistektomi, pneumothorak dapat terjadi saat insersi veress needle dan trokar,
CO2 insuflasi, dan diseksi kandung empedu. Diduga mekanisme terjadinya
pneumothorak ini meliputi insuflasi CO 2 sekitar aorta dan hiatus esophagus diafragma
kedalam ruang mediastinum yang selanjutnya terjadi rupture ruang pleura. Perjalanan
gas melewati defek anatomi diafragma atau melalui defek kongenital pada hiatus
pleuroperitoneum (paten canalis pleuroperitoneum). Tension pneumothorak pernah
ditemukan selama laparoskopi kolesistektomi, dan berhubungan dengan defek
diafragma kongenital. Rupture dari bulla paru dapat menyebabkan tension
pneumothorak terpisah dari pneumoperitoneum. Pneumothorak bisa tidak terdeteksi
intraoperasi, atau keberadaannya bisa dicurigai dengan adanya peningkatan tekanan
jalan nafas yang tidak bisa dijelaskan, hipoksemia – hiperkapnea, emfisema bedah,
atau jika tension pneumothorak terjadi gangguan kardiovaskular dengan gejala
hipotensi yang berat. Jika diduga ada pneumotorak, foto thorak harus dilakukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Pada keadaan hemodinamik tidak stabil atau secara klinis
nyata menunjukkan pneumothorak tension, segera lakukan pengempisan abdomen dan
pemasangan WSD sebelum dilakukan foto thorak. Selanjutnya penatalaksanaannya
tergantung dari status hemodinamik. Jika pasien stabil, abdomen bisa diinsuflasi
kembali dan prosedur dapat diteruskan. Pneumothorak kecil yang terdeteksi saat akhir
operasi dan tidak menyebabkan gangguan hemodinamik dapat diterapi secara
konservatif. CO2 dalam ruang pleura sangat cepat diabsorbsi setelah pengempisan
abdomen dan tidak memerlukan pemasangan WSD.
   Pneumomediastinum dan pneumoperikardium juga dapat terjadi saat prosedur
laparoskopi. Tekanan intraabdomen yang tinggi saat insuflasi memegang peranan
terjadinya komplikasi ini. Penatalaksanaan tergantung pada tingkat gangguan
hemodinamik yang terjadi. Pengempisan pneumoperitoneum dan observasi ketat harus
dilakukan pada pasien dengan komplikasi ini.
6.  Emboli Gas CO2 1-6,12,14-16
Komplikasi intraoperasi serius berupa terjadinya emboli gas saat prosedur laparoskopi.
Emboli CO2 vena ditandai dengan hipotensi berat, sianosis, dan asistol setelah tindakan
pneumoperitoneum. Kemungkinan mekanisme emboli gas meliputi penempatan veress
needle intravena yang tidak disengaja, aliran CO 2 kedalam pembuluh darah dinding
abdomen dan pembuluh darah peritoneum selama insuflasi, atau ke dalam pembuluh
darah pada permukaan hepar saat diseksi kandung empedu. Tanda dan beratnya efek
emboli CO2meliputi hipotensi dengan kolap kardiovaskular, hipoksemia, hipertensi
pulmoner, edema paru, deteksi dari ‘mill wheel murmur’, tidak seperti emboli udara
biasa, pada emboli gas CO2, ETCO2 meningkat sementara setelah itu baru terjadi
penurunan ETCO2 karena penurunan aliran darah ke paru. Emboli paradoksikal yang
melewati defek paten foramen ovale,defek septum atrium bisa menyebabkan emboli
CO2 serebral.
    Insiden emboli gas yang dideteksi menggunakan ekhokardiografi transesofageal sekitar
69% pasien yang menjalani laparoskopi kolesistektomi, tetapi tanpa efek
kardiopulmoner yang signifikan. Wadhwa dkk. tidak menemukan emboli gas pada 100
pasien yang menjalani prosedur laparoskopi ginekologi dengan menggunakan Doppler
prekordial. Monitoring yang baik dan meningkatkan kewaspadaan kita dapat
menghasilkan deteksi dini dan mencegah komplikasi lebih berat dari emboli CO 2 ini
Penatalaksanaan emboli gas CO2 ini meliputi :
 Penghentian segera insuflasi dan menghilangkan pneumoperitoneum
 Pasien diposisikan head down dan lateral kiri dekubitus. Pada posisi ini sejumlah
gas yang masuk melalui jantung kanan kesirkulasi pulmonal berkurang karena busa
yang ringan berpindah kebagian lateral dan kaudal outflow ventrikel kanan. 
 Hentikan pemakaian N2O, diikuti dengan ventilasi O 2 100% untuk memperbaiki
hipoksemia dan pengurangan ukuran emboli gas dan dampak emboli gas.
 Hiperventilasi untuk meningkatkan ekskresi CO2 dan dilakukan seperlunya
dengan memperbesar ruang rugi fisiologis.
 Jika cara – cara sederhana ini tidak efektif, dilakukan pemasangan kateter vena
sentral atau kateter arteri pulmonalis untuk mengaspirasi udara.
 Resusitasi kardiopulmoner dimulai jika perlu, kompresi jantung luar mungkin
bermanfaat untuk memecah emboli CO2 menjadi gelembung yang kecil.
PEMULIHAN DAN PEMANTAUAN PASCA OPERASI 1,2,5
Keuntungan pasca operasi laparoskopi meliputi berkurangnya trauma pembedahan,
ukuran luka kecil, berkurangnya nyeri, berkurangnya disfungsi paru, penyembuhan
lebih cepat, dan perawatan rumah sakit lebih pendek.
Pembedahan laparoskopi dapat mengurangi komplikasi pasca operasi oleh karena
tidak adanya pola nafas restriktif yang biasanya terjadi setelah operasi abdomen bagian
atas. Prosedur laparoskopi adalah prosedur dengan trauma otot dan nyeri insisional
yang kurang dibandingkan dengan pembedahan terbuka. Disfungsi paru dan diafragma
masih tetap terjadi setelah paling tidak dalam 24 jam pasca operasi laparoskopi
kolesistektomi sehingga PaO2 masih rendah setelah laparoskopi kolesistektomi.
Peningkatan kebutuhan oksigen terjadi setelah operasi laparoskopi, untuk itu harus
diberikan oksigen pasca operasi bahkan pada pasien sehat. Penyebab disfungsi ini
adalah peregangan diafragma selama pneumoperitoneum. Disfungsi diafragma oleh
karena aferen yang berasal dari kandung empedu atau aferen somatic yang berasal
dari dinding abdomen mendesak aksi inhibisi dari nervus prenikus. Pada pengukuran
spirometri paru, fungsi paru seperti FRC, FEV 1 dan kapasitas vital parumenurun setelah
prosedur laparoskopi sekitar 30 – 38%. Force vital capacity menurun 27% setelah
pembedahan laparoskopi dan menurun 48% setelah pembedahan terbuka.

Selama periode awal pasca operasi laparoskopi, frekuensi nafas dan PETCO 2 dari
pasien yang bernafas spontan lebih tinggi dibandinkan pasca operasi terbuka.

Peningkatan tekanan intraabdomen saat pneumoperitoneum menyebabkan stasis vena


yang dapat meningkatkan potensi DVT dan emboli paru. Insiden emboli paru yang fatal
setelah laparoskopi kolesistektomi adalah 0,016% lebih rendah daripada setelah
operasi terbuka yaitu 0,8%. Penggunaan graduated elastic compression stocking dalam
periode perioperasi dapat mengurangi stasis vena. Teknik laparoskopi dengan trauma
jaringan yang minimal bisa memfasilitasi ambulasi lebih awal, sehingga bisa
mengurangi resiko DVT.

Mual dan muntah pasca operasi laparoskopi umum terjadi walaupun rutin dilakukan
pengosongan lambung dengan pemasangan pipa nasogastrik, untuk ini perlu
dipertimbangkan untuk memberikan obat profilaksis.

Trauma saluran empedu lebih sering terjadi setelah laparoskopi dibandingkan dengan
kolesistektomi terbuka dan cenderung lebih luas dan lebih tinggi. Pasca operasi sering
terjadi nyeri dan ikterus.

REFERENSI
1. Sood J, Kumra VP. Anaesthesia for Laparoscopy. Indian Journal Surgery
2003;65;232 – 40 
2. Adnyana IGN, Pryambodo. Anestesia pada Prosedur Laparoskopi. Majalah
Anestesi dan Critical Care 2008; 26; 2; 225 – 39. 
3. Joshi GP. Anesthesia for laparoscopic surgery. Canadian Journal Anesthesia
2002;49;6;1 – 5 
4. Cunningham A.J., Nolan C. Anesthesia for Minimally Invasif Procedures. Clinical
Anesthesia, 5th Edition 2006;38;2204-28 
5. Joris JL. Anesthesia for Laparoscopic Surgery; 56; 2003 – 17. 
6. Ramachandra. Anaesthesia for Laparoscopy. IAGES journal. pp 1 – 9. 
7. Morgan GE, et al. Laparoscopic Surgery. Lange Clinical Anesthesia third Edition
2002;23;522 – 24 
8. Desmon J., Gordon RA. Ventilation in patient Anaesthetized for Laparoscopy.
Canadian Anaesthesia Soc. J. 1970;17;4;378 - 87 
9. Boddy AP., Mehta S., Rhodes M. The effect of Intraperitoneal Lokal Anaesthesia
in Laparoscopic Cholecystectomy: A Systematic Review and Meta – Analysis.
International Anesthesia Research Society 2006;103;3;682 - 87 
10. Weingram J. laparoscopic Surgery. Anesthesiology - Problem Oriented Patient
Management, fourth Edition 1998; 39; 732 - 59 
11. Stolzenburg JU., et al. Anaesthetic consideration for endoscopic extrapritoneal
and laparoscopic transperitoneal radical prostatectomy. Journal Compilation 2006; 508
– 13. 
12. Slodzinski M., Merritt WT. Anesthesia for Gastrointestinal Surgery. Longnecker
Anesthesiology 2008; 55; 1317 - 19 
13. Mehler SJ. Minimally Invasif Surgery (Laparoscopy and Thoracoscopy) available
atmehlerst@cvm.msu.edu. pp. 1 - 8 
14. Michaels IK. Laparoscopy. Clinical Cases in Anesthesia Third Edition 2005; 40;
217 – 23. 
15. Ezekiel MR. Laparoscopic Surgery. Current Clinical Strategies. Handbook of
Anesthesiology 2005; 167 - 8. 
16. Muralidhar V. Physiology of Pneumopritoneum and Anaesthesia in Laparoscopic
Surgery in Comprehensive Laparoscopic Surgery; 6; 52 – 6.
17.  Fourie PJHL., et al. Comparison between atracurium and alcuronium for muscle
relaxation during laparoscopy. South Africa Medical Journal 1986; 69; 553 – 55

Anda mungkin juga menyukai