EFEK FISIOLOGI
Dampak fisiologi laparoskopi berkaitan dengan kombinasi beberapa efek
meliputi insuflasi karbon dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan
pneumoperitonium, perubahan posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO 2 dan juga
pengaruh refleks peningkatan tonus vagus yang dapat berkembang menjadi aritmia.
Efek fisiologi dari laparoskopi ini meliputi:
Efek Kardiovaskular
Prinsip terjadinya respon fisiologis ini adalah peningkatan resistensi vaskular sistemik
(SVR), tekanan pengisian miokardium, bersama – sama dengan penurunan awal
cardiac index (CI), dengan perubahan yang kecil dari frekuensi denyut jantung (HR).
Sirkulasi Mesenterik
Pembuluh darah visceral adalah yang pertama-tama mengalami kompresi pada
peningkatan IAP, sehingga mengakibatkan disfungsi organ karena kolapsnya pembuluh
darah kapiler dan vena-vena kecil. Hiperkapnia akibat simpatotonia, kompresi mekanis
organ-organ abdominal, posisi reverse Trendelenberg, dan pelepasan vasopressin
adalah beberapa faktor yang turut mengakibatkan menurunnya sirkulasi mesenterik.
Sirkulasi Hepatoportal
Peningkatan IAP (>20 mmHg) mengakibatkan peningkatan tahanan dan aliran balik
pada pembuluh darah abdominal. Pelepasan hormon (katekolamin, angiotensin, dan
vasopressin) selama pneumoperitoneum akan semakin meningkatkan tahanan vaskuler
mesenteric sehingga mengakibatkan penurunan yang berarti pada volume darah
hepatic dan splanknik. IAP > 20 mmHg menyebabkan penurunan 60% pada aliran
darah vena porta sehingga mengakibatkan disfungsi hepar, yang akan menetap lebih
lama pada periode postoperative. Terdapat penurunan suplai darah secara menyeluruh
ke semua organ, kecuali glandula adrenal.
Fungsi Ginjal
Peningkatan IAP mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada curah
jantung dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran darah vena
renalis yang disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan ADH plasma dan
peningkatan aktivitas rennin-angiotensin plasma akan meningkatkan resistensi vaskuler
ginjal sehingga mengakibatkan penurunan tekanan filtrasi dan produksi urine.
Teknik Anestesi 1,2,4-6,15
Pendekatan anestesi untuk operasi laparoskopi meliputi : infiltrasi anestesi lokal
dengan sedatif intravena, anestesi epidural dan spinal, dan anestesi umum. Pemilihan
teknik anestesi tidak merupakan penentu dalam outcome pasien.
Tidak ada teknik anestesi yang secara klinis lebih superior dari pada teknik lain,
anestesi umum dengan ventilasi terkontrol tampaknya merupakan teknik yang paling
aman untuk operasi laparoskopi.
Anestesi lokal dibatasi untuk prosedur laparoskopi ginekologi singkat (sterilisasi tuba
perlaparoskopi, transfer intrafallopi) pada orang muda, sehat dan punya motivasi.
Walaupun pemulihan pasca operasi cepat, namun perasaan tidak enak/nyaman pada
pasien, dan visualisasi organ – organ intraabdomen yang tidak optimal merupakan
pengecualian penggunaan teknik anestesi lokal ini untuk laparoskopi kolesistektomi.
Alternatif anestesi regional untuk operasi laparoskopi adalah anestesi epidural dan
spinal. Anestesi regional ini tidak dianjurkan sebagai teknik anestesi tunggal karena
pada operasi laparoskopi membutuhkan level blok yang tinggi, perubahan posisi yang
ekstrem, dan adanya pneumoperitoneum yang bisa menyebabkan gangguan mekanik
respirasi. Laparoskopi ini membutuhkan blok pada level yang tinggi untuk mendapat
relaksasi otot yang lengkap dan untuk mencegah iritasi diafragma yang disebabkan
oleh insuflasi gas dan manipulasi pembedahan.
Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh otot
disertai pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karenan beberapa
alasan : adanya resiko regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan
intraabdominal saat insuflasi; perlunya ventilasi terkontrol untuk mencegah
hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirsi yang tinggi secara relatif karena
pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan karena tekanan
insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang lebih baik, mencegah pergerakan
pasien yang tidak diinginkan.
Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi lambung selama
ventilasi karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma lambung saat insersi trokars.
Pemasangan pipa nasogastrik dan dekompresi lambung untuk meminimalkan resiko
perforasi organ visceral saat insersi trokar dan mengoptimalkan visualisasi. Intubasi
memberikan keuntungan pada pasien obesitas untuk mengurangi hipoksemia,
hiperkarbia, dan aspirasi. Penggunaan teknik ventilasi spontan tidak dianjurkan dalam
perspektif adanya pneumoperitoneum intraoperasi dan posisi pasien.
Selama pneumoperitoneum kontrol ventilasi disesuaikan untuk mempertahankan
PETCO2kira – kira 35 mmHg, untuk ini membutuhkan tak lebih dari 15 – 25%
peningkatan ventilasi semenit, kecuali bila terjadi emfisema subcutis. Peningkatan
frekuensi nafas lebih dpilih daripada peningkatan volume tidal pada pasien dengan
PPOK dan pada pasie dengan pneumothorak spontan atau emfisema bulosa untuk
menghindari peningkatan inflasi alveolar dan menurunkan resiko pneumothorak.
Pemberian obat – obatan vasodilator seperti nikardipin, agonis α2-adrenergik dan
remifentanil mengurangi dampak hemodinamik pneumoperitoneum dan dapat
memfasilitasi manajemen anestesi pada pasien dengan penyakit jantung.
Tekanan intraabdomen harus dimonitor, dipertahankan serendah mungkin untuk
mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi, dan tidak boleh lebih dari 20
mmHg. Peningkatan tekanan intraabdomen dapat dihindari dengan menjaga
kedalaman anestesi. Karena kecenderungan terjadi refleks peningkatan tonus vagus
selama laparoskopi, atropine harus disediakan untuk injeksi jika diperlukan.
Teknik anestesi untuk prosedur laparoskopi pembedahan umum intraabdomen dan
ginekologi sering dilakukan dengan anestesi umum. Beberapa prosedur pendek seperti
sterilisasi perlaparoskopi bisa dilakukan tanpa pelumpuh otot tergantung dari
ketrampilan ahli bedah dan pasiennya tidak obesitas.
Pelumpuh otot 2,17
Pemilihan obat – obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan profil
efek samping obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh otot dengan
neostigmin meningkatkan terjadinya mual muntah pasca operasi (PONV) setelah
laparoskopi dibandingkan dengan pemulihan secara spontan, dan beberapa klinisi
menghindari reverse ini. Namun penelitian yang lain menemukan tidak ada efek pada
insiden PONV berkaitan dengan penggunaan neostigmin, khususnya pasien yang
menjalani laparoskopi ginekologi yang direncanakan rawat jalan, penggunaan
neostigmin dan glikopirolat tidak meningkatkan insiden atau beratnya PONV. Bahkan
adanya residu pelumpuh otot yang sedikit menyebabkan gejala dan tanda distress yang
harus dihindari. Selanjutnya keuntungan tidak memakai neostigmin harus
diseimbangkan dengan resiko ketidakadekuatan reverse pelumpuh otot.
Obat Induksi 2
Propofol merupakan obat induksi pilihan karena non emetogenik dan pemulihannya
yang baik. Propofol memberikan efek samping pasca operasi yang lebih kecil.
Analgesia 2,3,4
Opioid masih merupakan komponen penting untuk teknik balans anestesi umum
untuk prosedur laparoskopi. Opioid kerja pendek seperti fentanyl, alfentanyl dan
remifentanyl bisa digunakan intraoperatif untuk mencegah stimulus pembedahan yang
hebat. Kesalahan interpretasi hasil kolangiografi intraoperasi selama laparoskopi
kolesistektomi dapat terjadi karena penggunaan opioid dapat menyebabkan spasme
spinkter oddi. Spasme spinkter oddi yang disebabkan oleh opioid bisa dilawan dengan
beberapa obat seperti glucagon dan nalokson.
Walaupun laparoskopi kolesistektomi merupakan prosedur invasif yang minimal,
namun tetap berhubungan dengan nyeri intraabdomen, nyeri insisional, dan nyeri bahu
setelah operasi. Obat – obat analgesia multimodal kombinasi dengan opioid, NSAID
dan anestesi lokal infiltrasi sangat efektif mengurangi dosis opioid untuk meminimalkan
efek samping. Pemberian obat anestesi lokal melalui jalur intraperitoneum sangat
sederhana dan tidak melibatkan blok neuroaksial, khususnya untuk pasien anestesi
rawat jalan. Pemberian obat anestesi lokal bupivakain 0,25% 50 – 200mg dalam
volume 10 – 100 ml, signifikan mengurangi nyeri yang terjadi. Efek samping atau tanda
– tanda toksisitas anestesi lokal yang diberikan melalui jalur intraperitoneum ini belum
pernah dilaporkan. Joris dkk. mendapatkan nyeri visceral berupa rasa tidak enak
setelah laparoskopi kolesistektomi tidak berkurang dengan pemberian 80 ml
bupuvakain 0,125% intraperitoneum.
Monitoring 1,2,4,16
Pemantauan intraoperasi standar dianjurkan untuk semua pasien yang menjalani
prosedur dengan akses yang minimal. Monitor standar yang digunakan : pulse rate,
kontnyu ECG, Intermiten NIBP, Pulse oximetry (SpO2), Capnography (EtCO2), suhu,
tekanan intraabdominal, pulmonary airway pressure. Pemantauan hemodinamik invasif
sesuai pada pasien ASA III – IV untuk memonitor respon kardiovaskular terhadap
pneumoperitoneum, perubahan posisi dan untuk memberikan terapi. Kapnografi dan
pulse oximetri merupakan monitor PaCO2 dan saturasi oksigen arteri yang dapat
dipercaya pada pasien sehat tanpa gangguan intraoperasi akut. PaCO 2 dan Δa-
ETCO2 meningkat lebih besar pada pasien ASA II – III daripada pasien ASA I. Hal ini
juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dan pada anak
dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Pemeriksaan analisis gas arteri danjurkan
bila secara klinis diduga adanya hiperkapnea bahkan pada pasien tanpa adanya
PETCO2 abnormal. Pemantauan ETCO2 pasca operasi paling sering digunakan sebagai
indikator non invasif dari PaCO2 dalam menilai dan memberikan petunjuk keadekuatan
ventilasi semenit untuk mempertahankan normokarbia selama prosedur laparoskopi.
Penurunan perfusi paru terjadi jika cardiac output menurun dengan cepat oleh karena
tekanan inflasi yang tinggi, perubahan posisi yang berlawanan dengan posisi
trendelenburg, atau terjadi emboli gas. Selanjutnya distensi abdomen menurunkan
komplian paru. Volume tidal yang besar dihindari karena akan meningkatkan tekanan
puncak inspirasi dan menyebabkan pergerakan/perpindahan lapangan operasi. Pilihan
untuk menghindari hal ini menggunakan volume tidal yang lebih rendah dan frekuensi
nafas yang lebih cepat namun bisa menyebabkan sampel gas alveolar yang buruk dan
kesalahan pengukuran ETCO2. Nilai ETCO2 tidak bisa dipercaya khususnya pada
pasien dengan penyakit jantung dan paru yang menjalani laparoskopi. Pemasangan
kateter arteri seharusnya dilakukan dan analisa gas darah penting untuk mendeteksi
hiperkarbia. Monitor PETCO2 juga bermanfaat untuk deteksi dini emboli gas vena
(VGE) pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner.
Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO 2 dan PaCO2 setelah Insuflasi
CO2 pada pasien sehat. Sebaliknya pasien dengan penyakit kardiopulmoner
PaCO2 meningkat secara bertahap selama insuflasi CO 2 dan hal ini tidak
mencerminkan paningkatan ETCO2.
Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak pada pasien yang teranestesi yang
diberikan IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan nafas dapat membantu mendeteksi
peningkatan berlebihan tekanan intraabdomen, juga mencegah pergerakan pasien tiba
– tiba selama pembedahan yang dapat menyebabkan trauma organ intraabdomen oleh
peralatan laparoskopi.
Selama periode awal pasca operasi laparoskopi, frekuensi nafas dan PETCO 2 dari
pasien yang bernafas spontan lebih tinggi dibandinkan pasca operasi terbuka.
Mual dan muntah pasca operasi laparoskopi umum terjadi walaupun rutin dilakukan
pengosongan lambung dengan pemasangan pipa nasogastrik, untuk ini perlu
dipertimbangkan untuk memberikan obat profilaksis.
Trauma saluran empedu lebih sering terjadi setelah laparoskopi dibandingkan dengan
kolesistektomi terbuka dan cenderung lebih luas dan lebih tinggi. Pasca operasi sering
terjadi nyeri dan ikterus.
REFERENSI
1. Sood J, Kumra VP. Anaesthesia for Laparoscopy. Indian Journal Surgery
2003;65;232 – 40
2. Adnyana IGN, Pryambodo. Anestesia pada Prosedur Laparoskopi. Majalah
Anestesi dan Critical Care 2008; 26; 2; 225 – 39.
3. Joshi GP. Anesthesia for laparoscopic surgery. Canadian Journal Anesthesia
2002;49;6;1 – 5
4. Cunningham A.J., Nolan C. Anesthesia for Minimally Invasif Procedures. Clinical
Anesthesia, 5th Edition 2006;38;2204-28
5. Joris JL. Anesthesia for Laparoscopic Surgery; 56; 2003 – 17.
6. Ramachandra. Anaesthesia for Laparoscopy. IAGES journal. pp 1 – 9.
7. Morgan GE, et al. Laparoscopic Surgery. Lange Clinical Anesthesia third Edition
2002;23;522 – 24
8. Desmon J., Gordon RA. Ventilation in patient Anaesthetized for Laparoscopy.
Canadian Anaesthesia Soc. J. 1970;17;4;378 - 87
9. Boddy AP., Mehta S., Rhodes M. The effect of Intraperitoneal Lokal Anaesthesia
in Laparoscopic Cholecystectomy: A Systematic Review and Meta – Analysis.
International Anesthesia Research Society 2006;103;3;682 - 87
10. Weingram J. laparoscopic Surgery. Anesthesiology - Problem Oriented Patient
Management, fourth Edition 1998; 39; 732 - 59
11. Stolzenburg JU., et al. Anaesthetic consideration for endoscopic extrapritoneal
and laparoscopic transperitoneal radical prostatectomy. Journal Compilation 2006; 508
– 13.
12. Slodzinski M., Merritt WT. Anesthesia for Gastrointestinal Surgery. Longnecker
Anesthesiology 2008; 55; 1317 - 19
13. Mehler SJ. Minimally Invasif Surgery (Laparoscopy and Thoracoscopy) available
atmehlerst@cvm.msu.edu. pp. 1 - 8
14. Michaels IK. Laparoscopy. Clinical Cases in Anesthesia Third Edition 2005; 40;
217 – 23.
15. Ezekiel MR. Laparoscopic Surgery. Current Clinical Strategies. Handbook of
Anesthesiology 2005; 167 - 8.
16. Muralidhar V. Physiology of Pneumopritoneum and Anaesthesia in Laparoscopic
Surgery in Comprehensive Laparoscopic Surgery; 6; 52 – 6.
17. Fourie PJHL., et al. Comparison between atracurium and alcuronium for muscle
relaxation during laparoscopy. South Africa Medical Journal 1986; 69; 553 – 55