Anda di halaman 1dari 11

Harun, & Sally. (2009). Edem Paru Akut.

Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia

Huldani. (2014). Edema Paru Akut. Jurnal Kesehatan

Rampengan, S. H. (2014). Edema Paru Kardiogenik Akut . Jurnal Biomedik

Edema Paru Akut

a. Definisi Edem paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang
terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi
(edem paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non
kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga
terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia.
(Harun & Sally, 2009)
b. Epidemiologi

Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta penderita edema
paru di dunia. Di Inggris sekitr 2,1 juta penderita edema paru yang perlu pengobatan dan
pengawasan secara komprehensif. Di Amerika Serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk
menderita edema. Di Jerman 6 juta penduduk. Ini merupakan angka yang cukup besar yang
perlu mendapat perhatian dari perawat di dalam merawat klien edema paru secara
komprehensif bio psiko social dan spiritual. (Harun & Sally, 2009

c. Etiologi
Edema paru dapat diklasifikasikan sebagai edema paru kardiogenik dan edema paru non-
kardiogenik: (Mattu, Martinez, & Kelly, 2005) 1) Edema paru kardiogenik disebabkan oleh
peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dapat terjadi akibat perfusi berlebihan
baik dari infus darah maupun produk darah dan cairan lainnya. 2) Edema paru
nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler paru antara lain pada
pasca transplantasi paru dan reekspansi edema paru, termasuk cedera
iskemiareperfusidimediasi.
Faktor risiko:
1) Jenis kelamin (pria), faktor genetik, paparan dingin, ketinggian puncak, intensitas
aktivitas fisik, merokok dan kondisi medis tertentu yang mendasari (misalnya, paru
hipertensi)
2) Kelainan anatomi yang merupakan predisposisi meliputi tidak adanya arteri pulmonal
bawaan , dan pirau intrakardiak kiri ke kanan (misalnya defek septum atrium dan ventrikel),
keduanya meningkatkan aliran darah paru.
d. Patomekanisme
Edema paru dapat terjadi akibat dekompensasi akut pada gagal jantung kronik maupun
akibat gagal jantung akut pada infark miokard dimana terjadinya bendungan dan
peningkatan tekanan di jantung dan paru akibat melemahnya pompa jantung. Kenaikan
tekanan hidrostatik kapiler paru menyebabkan transudasi cairan ke dalam ruang interstisial
paru, dimana tekanan hidrostatik kapiler paru lebih tinggi dari tekanan osmotik koloid
plasma. Pada tingkat kritis, ketika ruang interstitial dan perivaskular sudah terisi, maka
peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan penetrasi cairan ke dalam ruang alveoli.
Terdapat tiga tingkatan fisiologi dari akumulasi cairan pada edema paru kardiogenik:
(Rampengan, 2014)

1) Tingkat 1: Cairan dan koloid berpindah dari kapiler paru ke interstisial paru tetapi
terdapat peningkatan cairan yang keluar dari aliran limfatik.
2) Tingkat 2: Kemampuan pompa sistem limfatik telah terlampaui sehingga cairan dan
koloid mulai terakumulasi pada ruang interstisial sekitar bronkioli, arteriol, dan venula.
3) Tingkat 3: Peningkatan akumulasi cairan menyebabkan terjadinya edema alveoli. Pada
tahap ini mulai terjadi gangguan pertukaran gas.

e. Manifestasi klinis
Gambaran klinis edema paru yaitu dari anamnesis ditemukan adanya sesak napas yang
bersifat tiba-tiba yang dihubungkan dengan riwayat nyeri dada dan riwayat sakit jantung.
Perkembangan edema paru bisa berangsurangsur atau tiba-tiba seperti pada kasus edema
paru akut. Selain itu, sputum dalam jumlah banyak, berbusa dan berwarna merah jambu.
Gejalagejala umum lain yang mungkin ditemukan ialah: mudah lelah, lebih cepat merasa
sesak napas dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas cepat (takipnea),
pening, atau kelemahan. Tingkat oksigenasi darah yang rendah (hipoksia) mungkin
terdeteksi pada pasien dengan edema paru. Pada auskultasi dapat didengar suara-suara paru
yang abnormal, seperti ronki atau crakles. (Rampengan, 2014) (Huldani, 2014)

f. Penegakan Diagnosis
1) Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien dengan CHF) dan
adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi bilateral dengan Rampengan:
Edema Paru Kardiogenik Akut 153 pola butterfly, gambaran vaskular paru dan hilus yang
berkabut serta adanya garis-garis Kerley b di interlobularis. Gambaran lain yang
berhubungan dengan penyakit jantung berupa pembesaran ventrikel kiri sering dijumpai.
Efusi pleura unilateral juga sering dijumpai dan berhubungan dengan gagal jantung kiri.
(Rampengan, 2014)
2) EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium kiri, pembesaran
ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun infark. (Rampengan 2014

3.Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan fungsi dari ventrikel
kiri dan adanya kelainan katup-katup jantung. (Rampengan, 2014)
4) Pemeriksaan laboratorium enzim jantung perlu dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis infark miokard. Peningkatan kadar brain natriuretic peptide (BNP) di dalam darah
sebagai respon terhadap peningkatan tekanan di ventikel; kadar BNP >500 pg/ml dapat
membantu menegakkan diagnosis edema paru kardiogenik. (Rampengan, 2014)
5) Analisis gas darah (AGDA) dapat memperlihatkan penurunan PO2 dan PCO2 pada
keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit selanjutnya PO2 semakin menurun
sedangkan PCO2 meningkat. Pada kasus yang berat biasanya dijumpai hiperkapnia dan
asidosis respiratorik. (Rampengan, 2014) 6) Kateterisasi jantung kanan: Pengukuran P pw
(pulmonary capillary wedge pressure) melalui kateterisasi jantung kanan merupakan baku
emas untuk pasien edema paru kardiogenik yaitu berkisar 25-35 mmHg sedangkan pada
pasien ARDS P pw 0-18 mmHg. (Rampengan, 2014)
7) Kadar protein cairan edema: Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan edema
dibandingkan protein plasma dapat digunakan untuk membedakan edema paru kardiogenik
dan non-kardiogenik. Bahan pemeriksaan diambil dengan pengisapan cairan edema paru
melalui pipa endotrakeal atau bronkoskop dan pengambilan plasma. Pada edema paru
kardiogenik, konsentrasi protein cairan edema relatif rendah dibanding plasma (rasio 0,7)
karena sawar mikrovaskular berkurang. (Rampengan, 2014)

Pencegahan
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit yang berpotensi
mengakibatkan edema paru, antara lain: (Rampengan, 2014)
1) Berolahraga selama 30 menit setiap hari. 2) Mengonsumsi makanan sehat yang tinggi
2) serat, tetapi rendah lemak, gula, dan garam.
3) Menjaga berat badan ideal. 4) Menjaga tekanan darah dan kadar kolesterol dalam darah
dalam batas normal. 5) Menghindari stres dan merokok.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan utama meliputi pengobatan suportif yang ditujukan terutama untuk


mempertahankan fungsi paru (seperti pertukaran gas, perfusi organ), sedangkan penyebab
utama juga harus diselidiki dan diobati sesegera mungkin bila memungkinkan. Prinsip
penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat, restriksi cairan, dan
mempertahankan fungsi kardiovaskular. Pertimbangan awal ialah dengan evaluasi klinis,
EKG, foto toraks, dan AGDA. (Rampengan, 2014)

1) Suplai oksigen, hipoksemia umum pada edema paru merupakan ancaman utama bagi
susunan saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun terjadinya syok.
Oleh karena itu suplementasi oksigen merupakan terapi intervensi yang penting untuk
meningkatkan pertukaran gas dan menurunkan kerja pernapasan, mengoptimalisasi unit
fungsional paru sebanyak mungkin, serta mengurangi overdistensi alveolar. (Rampengan,
2014)

2) Pada pasien dengan edema paru kardiogenik akut, induksi ventilasi noninvasif dalam
gangguan pernapasan dan gangguan metabolik meningkat lebih cepat daripada terapi
oksigen standar tetapi tidak berpengaruh terhadap mortalitas jangka pendek. Ventilasi non-
invasif dengan CPAP telah terbukti menurunkan intubasi endotrakeal dan kematian pada
pasien dengan edema paru akut kardiogenik. Menurut penelitian Agarwal et al., noninvasive
pressure support ventilation (NIPSV) tampaknya aman dan berkhasiat sebagai CPAP,
daripada jika bekerja dengan titrasi pada tekanan tetap. (Rampengan, 2014)

3) Obat-obatan yang menurunkan preload Nitrogliserin (NTG) dapat menurunkan preload


secara efektif, cepat, dan efeknya dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena diawali
dengan dosis rendah (20µg/menit) dan kemudian dinaikkan secara bertahap (dosis maksimal
200µg/menit). Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2 mekanisme,
yaitu: diuresis dan 31 venodilatasi. Dosis furosemide dapat diberikan per oral 20-40 mg/hari
pada keadaan yang ringan hingga 5-40 mg/jam secara infus pada keadaan yang berat.1,13
Morfin sulfat digunakan untuk menurunkan preload dengan dosis 3 mg secara intra vena dan
dapat diberikan berulang. (Rampengan, 2014)

4) Obat-obatan yang menurunkan afterload Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACE


inhibitors) menunurunkan after load, serta memperbaiki volume sekuncup dan curah
jantung. Pemberian secara intra vena (enalapril 1,25 mg) ataupun sublingual (captopril 25
mg) akan memperbaiki keluhan pasien. Pada suatu meta analisis didapati bahwa pemberian
ACE inhibitors akan menurunkan angka mortalitas. (Rampengan, 2014)

5) Obat-obatan golongan inotropik Obat-obatan golongan inotropik diberikan pada edema


paru kardiogenik yang mengalami hipotensi, yaitu dobutamin 2-20 µg/kg/menit atau
dopamin 3-20 µg/kg/menit. Edema paru kardiogenik (edema volume overload) terjadi
karena peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru yang menyebabkan filtrasi cairan
trasvaskular. (Rampengan, 2014) i.

Prognosis

Prognosis tergantung pada penyakit dasar dan faktor penyebab/pencetus yang dapat diobati.
Walaupun banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui mekanisme terjadinya edema
paru nonkardiogenik akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru, perbaikan pengobatan,
dan teknik ventilator tetapi angka mortalitas pasien masih cukup tinggi yaitu > 50%.
Beberapa pasien yang bertahan hidup akan didapatkan fibrosis pada parunya dan disfungsi
pada proses difusi gas/udara. Sebagian pasien dapat pulih kembali dengan cukup baik
walaupun setelah sakit berat dan perawatan ICU yang lama. (Mattu, Martinez, & Kelly,
2005) j
. Komplikasi

Komplikasi mayor dari edema paru akut (EPA) adalah respiratory fatigue atau failure.
Selain itu juga dapat terjadi efusi pleura dan sudden cardiac death. (Mattu, Martinez, &
Kelly, 2005)

Infark Miokard

a. Definisi Penyakit infark miokard merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah
terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh
darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran
darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot
jantung. (Santoso, Buku Ajar Ilmu Bedah, 2005)
b. Epidemiologi
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2008, infark
miokard merupakan penyebab kematian utama di dunia. Terhitung sebanyak 7,25 juta
(12,8%) kematian terjadi akibat penyakit ini di seluruh dunia.3 Menurut data statistik
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) 2007–2010, prevalensi
infark miokard lebih banyak diderita laki–laki dibandingkan perempuan. Kejadian ini
mulai meningkat pada laki – laki saat berusia ≥ 45 tahun dan perempuan ≥55 tahun.
(Eka, 2017)

Etiologi
Infark miokard disebabkan oleh adanya aterosklerotik pada arteri koroner atau penyebab
lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen miokardium. Infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen,
antara lain: (Alpert, 2010)
1) Infark miokard tipe 1
Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi plak
aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan
nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut
merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi. (Alpert, 2010)
2) Infark miokard tipe 2
Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri menurunkan
aliran darah miokard. (Alpert, 2010)
2) Infark miokard tipe 3
Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini
disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal
sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat meningkat. (Alpert, 2010)

4.Infark miokard
a. Infark miokard tipe 4a Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard
(contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan
percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark miokard.
(Alpert, 2010)
b. Infark miokard tipe 4b Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent
trombosis. (Alpert, 2010)

5) Infark miokard tipe 5

Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian infark miokard jenis
ini berhubungan dengan operasi bypass koroner. (Alpert, 2010)

Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah, yaitu usia, jenis
kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis coroner meningkat seiring
bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain
masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor- faktor
tersebut adalah abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor
psikososial, konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol, dan aktivitas fisik. (Santoso, Buku Ajar
Ilmu Bedah, 2005)

Wanita mengalami kejadian infark miokard pertama kali 9 tahun lebih lama daripada laki-laki.
Perbedaan onset infark miokard pertama ini diperkirakan dari berbagai faktor resiko tinggi yang
mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia muda. Wanita agaknya relative kebal
terhadap penyakit ini sampai menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria.
Hal diduga karena adanya efek perlindungan estrogen. (Santoso, Buku Ajar Ilmu Bedah, 2005)

Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah hiperlipidemia.
Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau trigliserida serum di atas batas normal.
The National Cholesterol Education Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor
penyebab penyakit jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT)
memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark
miokard. (Santoso, Buku Ajar Ilmu Bedah, 2005)

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan
diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi
vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah,
sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses
aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan
oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang tersedia.
(Santoso, Buku Ajar Ilmu Bedah, 2005)

Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner sebesar 50%. Seorang perokok
pasif mempunyai resiko terkena infark miokard. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian karena
penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok. (Ramrakha, 2006)

Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit
jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks masa tubuh
(IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT >25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30
kg/m2. Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya
keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida,
penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes
melitus tipe II. (Ramrakha, 2006)

Patomekanisme
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang kemudian ruptur dan
menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty
plaque di dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga
diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat
penyumbatan terjadi. (Ramrakha, 2006)

Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, reactive
oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan
terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-
sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitricoxide, yang berkerja
sebagai vasodilator, anti-trombotik dan antiproliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru
meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam
migrasi dan pertumbuhan sel. (Ramrakha, 2006)

Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit bermigrasi
ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan
bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL
teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan
migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini
mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi ateroma matur,
membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar
menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau
perdarahan yang terjadi dalam atheroma menyebabkan oklusi arteri. (Ramrakha, 2006)

Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak. Kejadian tersebut
secara temporer dapat memperburuk 36 keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah koroner,
dan menyebabkan manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap
kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab itu, obstruksi
kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya. (Ramrakha, 2006)

Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun dan dapat
menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang
buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat
iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan kegagalan
otot jantung berkontraksi dan berelaksasi. (Ramrakha, 2006)

Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan struktur sel.
Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air.
Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah
menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel.
Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh
monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (20 menit). Iskemia yang
ireversibel berakhir pada infark miokard. (Ramrakha, 2006)

Manifestasi klinis

Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit meningkat. Pulsasi
arteri karotis melemah karena penurunan stroke volume yang dipompa jantung. Volume dan
denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat.
Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal selama
beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah kembali normal.
(Ramrakha, 2006)

Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah. Pulsasinya juga
sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan
oleh diskinesis otototot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan
intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi
ventrikel jantung. Jika didengar dengan seksama, dapat terdengar suara friction rub perikard,
umumnya pada pasien infark miokard transmural tipe STEMI. (Ramrakha, 2006)

Terdapat beberapa gejala khas dari infark miokard, yaitu : 8

1) Nyeri dada digambarkan sebagai sensasi tekanan pada bagian tengah dada

2) Nyeri dada menjalar kerahang atau gigi, bahu, lengan, dan punggung

3) Sesak napas

4) Ketidaknyamanan epigastrium dengan atau tanpa mual dan muntah


5) Berkeringat

6) Synope

7) Penurunan fungsi kognitif tanpa penyebab lain.

Anda mungkin juga menyukai