Anda di halaman 1dari 26

Journal Reading

Anestesi Regional pada Pasien dengan Antikoagulan

(Regional Anesthesia in The Anticoagulated Patient)

Oleh:
Andre Prawiradinata
G99162128

Pembimbing:
dr. Heri Dwi Purnomo, Sp.An, M.Kes, KMN, FIPM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
Anestesi Regional pada Pasien dengan Antikoagulan

Honorio T. Benzon, MD

Hematoma Intraspinal
Insidensi terjadinya hematoma intraspinal diperkirakan sekitar 0,1 per
100.000 pasien per tahun. (1) Hal ini lebih sering terjadi pada pasien dengan
antikoagulan atau dengan trombositopenia, pasien dengan penyakit neoplastik,
serta pasien dengan penyakit hati atau alkoholisme. (2) Insidensi terjadinya
disfungsi neurologis akibat komplikasi perdarahan akibat blokade neuraxial
diperkirakan sebanyak kurang dari 1 per 150.000 pasien dengan anestesi epidural
dan kurang dari 1 per 220.000 pasien dengan anestesi spinal. Risiko terbentuknya
hematoma intraspinal setelah pemberian injeksi neuraksial meningkat pada pasien
yang mendapat terapi antikoagulan atau mengalami gangguan koagulasi, kesulitan
teknis dalam kinerja prosedur neuraksial karena kelainan anatomis spinal, dan
banyaknya atau terjadinya perdarahan bekas suntikan. American Society of
Regional Anesthesia and Pain Medicine (ASRA) mengeluarkan panduan yang
direkomendasikan untuk kinerja aman blok neuraksial pada pasien yang
menggunakan antikoagulan.(3,4) Edisi ketiga pedoman ASRA diterbitkan pada
tahun 2010.

Terapi Antiplatelet
Obat antiplatelet menghambat kerja enzim siklooksigenase dan mencegah
sintesis tromboksan A2. Tromboksan A2 merupakan vasokonstriktor kuat dan
mampu memfasilitasi reaksi sekunder agregasi dan pelepasan trombosit.
Sehingga, terbentuk bekuan darah yang adekuat walaupun berpotensi menjadi
rapuh. (5) Fungsi trombosit pada pasien yang mendapat terapi antiplatelet
diasumsikan mengalami penurunan selama 1 minggu setelah pemberian aspirin
dan selama 1 sampai 3 hari pada pemberian obat anti inflamasi non steroid
(OAINS). Trombosit baru diproduksi setiap hari, sehingga hal ini menjelaskan
keamanan yang relatif dalam pelaksanaan prosedur blokade neuraksial pada
pasien dengan antikoagulan.

2
Berdasarkan Vandermeulen et al (6) menjelaskan bahwa terdapat 3 dari 61
kasus hematoma spinal pada pasien dengan antikoagulan terjadi setelah
pelaksanaan prosedur anestesi spinal ataupun epidural. Hasil dari beberapa
penelitian besar menunjukkan keamanan relatif prosedur blokade neuraksial pada
pasien dengan antikogulan. Collaborative Low-Dose Aspirin Study in Pregnancy
Group (7) menunjukkan terdapat 1422 pasien obstetri berisiko tinggi yang
diberikan aspirin 60 mg setiap hari dan menjalani anestesi epidural tanpa adanya
gejala sisa (sequelae) neurologis. Penelitian-penelitian Horlocker et al (8,9)
dengan kurang lebih 1000 pasien pada tiap penelitiannya, menunjukkan tidak
terdapat adanya hematoma spinal, walaupun tercatat adanya darah selama
penempatan jarum atau kateter pada 22% pasien. Penelitian lainnya menunjukkan
pasien dengan terapi OAINS dan menjalani injeksi steroid epidural tidak
mengalami adanya tanda dan gejala hematoma spinal. (10) Tinjauan dari laporan
kasus hematoma intraspinal pada pasien dengan pemberian aspirin dan OAINS
menunjukkan terdapat faktor penyulit pada pemberian bersama dengan heparin,
angioma vena epidural, dan kesulitan teknis dalam pelaksanaan prosedur. (11)
Obat thienopiridine, ticlopidine, dan clopidogrel mencegah agregasi
trombosit dengan menghambat aktivasi trombosit melalui reseptor adenosin
difosfat (ADP). Ticlopidine jarang digunakan karena dapat menyebabkan
neutropenia, trombositopenik purpura, dan hiperkolesterolemia. Clopidogrel lebih
banyak digunakan karena keamanan dan efikasinya yang lebih baik.
Penghambatan maksimal agregasi trombosit melalui ADP menggunakan
clopidogrel terjadi dalam 3 sampai 5 hari setelah dosis inisial (75 mg), dan terjadi
dalam 4 sampai 6 jam setelah dosis besar loading (300 mg sampai 600 mg). (12)
Terdapat laporan kasus terjadinya hematoma spinal pada pasien dengan
ticlopidine (13) dan kasus quadriplegia pada pasien dengan clopidogrel,
diklofenak, dan aspirin. (14)
Blokade neuraksial dapat dilakukan secara aman pada pasien dengan terapi
aspirin ataupun OAINS. (4) Blokade neuraksial juga aman untuk dilakukan pada
pasien yang menjalani terapi dengan penghambat siklooksigenase-2 (COX-2).
Pada penggunaan obat-obatan thienopyridine, penggunaan clopidogrel

3
direkomendasikan untuk dihentikan selama 7 hari dan ticlodipine selama 10
sampai 14 hari sebelum injeksi neuraksial. Pelaksanaan prosedur pelepasan
kateter epidural atau injeksi neuraksial masih mungkin dilakukan dalam 5 hari
setelah penghentian terapi clopidogrel. Apabila injeksi neuraksial akan dilakukan
pada pasien dengan penghentian terapi clopidogrel yang kurang dari 7 hari, maka
uji P2Y12, yaitu suatu metode uji aktivitas antiplatelet residual terbaru, dapat
dilakukan.
Berikut merupakan rangkuman rekomendasi terkini pelaksanaan prosedur
blokade neuraksial pada pasien dalam terapi antikoagulan:
1. Blokade neuraksial dapat dilakukan pada pasien yang sedang
menerima obat aspirin dan OAINS. (4)
2. Blokade neuraksial aman untuk dilakukan pada pasien yang menerima
terapi penghambat COX-2.
3. Pada obat-obatan thienopyridine, ASRA merekomendasikan
penghentian clopidogrel selama 7 hari dan penghentian ticlopidine
selama 10-14 hari sebelum pelaksanaan injeksi neuraksial.
4. Prosedur pelepasan kateter epidural dan injeksi neuraksial dapat
dilakukan secara aman pada pasien dengan penghentian terapi
clopidogrel selama 5 hari. (15)
5. Apabila neuraksial injeksi akan dilakukan pada pasien dengan
penghentian terapi clopidogre yang kurang dari 7 hari, maka uji
P2Y12, yaitu suatu metode uji aktivitas antiplatelet residual terbaru,
dapat dilakukan.

Antikoagulan Oral
Warfarin memberikan efek antikoagulan dengan menghambat sintesis
faktor pembekuan vitamin K-dependent (VII, IX, X, dan thrombin). (17) Warfarin
juga menghambat protein antikoagulan C dan S. Faktor VII dan protein C
memiliki waktu paruh pendek (6-8 jam) dan pemanjangan International
Normalized Ratio (INR) selama fase awal terapi warfarin merupakan efek dari
penurunan faktor VII dan protein C. (18) Efek antikoagulasi yang adekuat tidak

4
bisa dicapai sebelum jumlah faktor II aktif (waktu paruh 50 jam) dan faktor X
turun dalam jumlah yang cukup, yaitu selama 4 sampai 6 hari.
Risiko hematoma spinal pada pasien dengan pemasangan kateter spinal
dan epidural menetap yang menerima terapi warfarin dijelaskan dalam beberapa
penelitian. Penelitian Horlocker et al (19) dan Wu dan Perkins (20) menunjukkan
tidak ada komplikasi perdarahan prosedur neuraksial pada pasien yang menerima
analgesik epidural pascaoperasi bersamaan dengan pemberian warfarin dosis
rendah setelah total knee arthroplasty. Adapun rekomendasi terkait hasil
laboratorium yang sama diterapkan dalam pemasangan dan pelepasan kateter
epidural, dikarenakan intraspinal hematoma dapat terjadi setelah pelepasan
kateter. (21) Pedoman ASRA saat ini merekomendasikan nilai INR ≤1,4 sebagai
hasil yang dapat diterima dalam pelaksaan blokade neuraksial. (14) Nilai tersebut
didasarkan pada penelitian yang menunjukkan hemostasis perioperatif yang
sangat baik ketika nilai INR ≤1,5. Penggunaan bersamaan obat-obatan lain, seperti
aspirin, OAINS, dan heparin, yang mempengaruhi proses koagulasi dapat
meningkatkan risiko perdarahan tanpa mempengaruhi nilai INR.
Terdapat kontroversi terkait pelepasan kateter epidural pada hari pertama
pascaoperasi atau 12-14 jam setelah penggunaan warfarin ketika nilai INR >1,4.
Apabila tidak ada faktor risiko lain yang bisa meningkatkan kejadian perdarahan,
maka kateter masih mungkin untuk dilepas. Aktivitas faktor VII harus diketahui
apabila ditemui faktor risiko seperti trombositopenia, usia lanjut, gagal ginjal, atau
penggunaan antikoagulan lainnya.
Warfarin dimetabolisme terutama oleh enzim CYP2C9 dari sitokrom
P450. Mutasi pada gen yang mengkode enzim sitokrom P450 2C9 mampu
mempengaruhi eliminasi warfarin dengan mengganggu kemampuan pasien untuk
memetabolisme S-warfarin. Faktor genetik lain yang mempengaruhi respon
terhadap warfarin, yakni polimorfisme enzim vitamin K oksida reductase
(VKOR). Mutasi pada pengkodean gen dari isoform enzim tersebut yang dapat
menyebabkan variasi sensitivitas terhadap warfarin jarang terjadi, dan American
College of Chest Physicians (ACCP) agar dosis inisial warfarin berbasis pada
farmakokinetik saat ini. (17)

5
Heparin Intravena
Heparin merupakan polisakarida kompleks yang memberikan efek
antikoagulan dengan mengikat antitrombin III. Perubahan konformasi pada
antitrombin tersebut mempercepat penghambatan inaktivasi thrombin, faktor Xa,
dan faktor IXa. Efek antikoagulan dari heparin subkutan terjadi dalam 1 sampai 2
jam, namun efek heparin intravena terjadi lebih cepat. Heparin memiliki waktu
paruh 1,5 sampai 2 jam. Activated partial thromboplastin time (aPTT) digunakan
untuk mengawasi efek heparin; efek terapetik antikoagulan tercapai dengan
pemanjangan aPTT hingga >1,5 kali dari nilai awal.
Kasus hematoma spinal tidak ditemukan pada >4000 pasien yang
menjalani operasi vaskular ekstremitas dengan anestesi spinal atau epidural. (22)
Dalam penelitian ini, pasien dengan kelainan koagulasi dieksklusi, heparinisasi
terjadi setidaknya 60 menit setelah pemasangan kateter, level antikoagulan
dipantau berkala, kateter dilepas pada saat aktivitas heparin rendah. Ruff dan
Dougherty (23) mencatat kejadian hematoma spinal pada pasien yang menjalani
pungsi lumbal dengan heparinisasi. Adanya darah selama prosedur, terapi
bersama dengan aspirin, dan heparinisasi dalam 1 jam diidentifikasi sebagai faktor
risiko terjadinya hematoma spinal.
Ketika akan direncanakan antikoagulasi intraoperasi, prosedur neuraksial
sebaiknya dihindari pada pasien dengan koagulopati. Pertimbangan tersebut
didasarkan pada:
1. Harus ada penundaan minimal 1 jam antara pemasangan jarum dan
pemberian heparin.
2. Kateter harus dilepas 1 jam sebelum pemberian heparin berikutnya dan
2 sampai 4 jam setelah heparin dosis terakhir.
3. Nilai aPTT harus dipantau untuk menghindari efek heparin yang
berlebihan.

Heparin Subkutan
Efek antikoagulasi low molecular weight heparin (LMWH) mirip dengan
unfractioned heparin (UFH), yakni aktivasi antitrombin dan percepatan

6
interaksinya dengan thrombin dan faktor Xa. (26) LMWH memiliki aktivitas yang
lebih baik terhadap faktor Xa; UFH memiliki aktivitas yang setara terhadap
thrombin ataupun faktor Xa. Waktu paruh plasma LMWH berkisar antara 2
sampai 4 jam setelah injeksi intravena dan 3 sampai 6 jam setelah injeksi
subkutan. LMWH memiliki waktu paruh 2 sampai 4 kali lipat dibandingkan
heparin standar. Pemulihan aktivitas anti-faktor Xa setelah injeksi LMWH
subkutan mendekati 100%. Karakteristik ini membuat pemantauan laboratorium
tidak dibutuhkan, kecuali pada pasien dengan insufisiensi ginjal atau dengan berat
badan 80kg.
Berikut merupakan rangkuman rekomendasi pasien yang menerima
LMWH dan anestesi neuraksial:
1. Pemberian terapi antikogulan dengan LMWH bisa meningkatkan
risiko hematoma spinal.
2. Ditemukannya darah pada pemasangan jarum dan kateter bukan
merupakan indikasi penundaan operasi. Namun, inisiasi terapi LMWH
sebaiknya ditunda 24 jam pascaoperasi.
3. Dosis pertama profilaksis LMWH sebaiknya tidak diberikan lebih
cepat dari 24 jam pascaoperasi dan hanya pada pasien dengan
hemostasis yang adekuat.
4. Pada pasien dengan pemberian LMWH, pemasangan jarum atau
kateter (atau pelepasan kateter) sebaiknya dilakukan 12 jam setelah
dosis profilaksis terakhir enoksaparin atau setelah 24 jam enoksaparin
dengan dosis yang lebih tinggi (1 mg/kg/12 jam), dan 24 jam setelah
dalteparin (120 U/kg/12 jam atau 200 U/kg/12 jam) atau tinzaparin
(175 U/kg/hari).
5. LMWH bisa diberikan 2 jam setelah pelepasan kateter. (4)
6. Pemantauan level anti-Xa tidak direkomendasikan.

Terapi Trombolitik
Agen trombolitik secara aktif melarutkan gumpalan fibrin yang sudah
terbentuk, sekunder akibat aksi plasmin. Aktivator plasminogen, seperti

7
streptokinase dan urokinase, melarutkan trombus dan mempengaruhi plasminogen
beredar yang menyebabkan penurunan kadar plasminogen dan fibrin. Lisisnya
bekuan darah menyebabkan peningkatan produk degradasi fibrin, yang memiliki
efek antikoagulan dengan menghambat agregasi trombosit. Fibrinogen dan
plasminogen secara maksimal tertekan pada 5 jam setelah terapi trombolitik dan
secara signifikan tertekan pada 27 jam. (4,27)
Meskipun jarum epidural atau spinalis dan penempatan kateter dengan
heparinisasi berikutnya tampak relatif aman, risiko hematoma spinal pada pasien
yang menerima terapi trombolitik kurang terbukti secara jelas. Kasus hematoma
spinal pada pasien yang menerima injeksi neuraksial dan agen trombolitik
dilaporkan baru-baru ini dalam literatur medis.
Agen fibrinolitik dan trombolitik menimbulkan masalah unik saat
pelaksanaan anestesi neuraksial. Kerangka waktu untuk menghindari obat-obatan
tersebut dan pungsi pada pembuluh darah yang tidak bisa dikompresi adalah 10
hari. Kecuali dalam keadaan yang sangat tidak biasa, pasien yang menerima obat
fibrinolitik atau trombolitik harus diberi peringatan agar tidak menerima anestesi
spinal atau epidural. (4,27) Tidak ada data yang tersedia untuk menentukan
dengan jelas lamanya waktu setelah penghentian obat ini dalam pelaksanaan
prosedur neuraksial yang aman. Tidak ada rekomendasi pasti mengenai waktu
pengangkatan kateter neuraksial pada pasien yang secara tidak terduga menerima
terapi fibrinolitik atau trombolitik. Pengukuran tingkat fibrinogen dapat
membantu dalam memandu keputusan tentang pelepasan kateter.

Terapi Herbal
Sediaan herbal memiliki efek pada agregasi platelet. Misalnya, bawang
putih menghambat agregasi trombosit dan pengaruhnya terhadap hemostasis
berlangsung selama 7 hari. Ginkgo biloba menghambat faktor aktivasi trombosit
dan pengaruhnya bertahan selama 36 jam. Efek ini berlangsung 24 jam dengan
penggunaan ginseng. (4) Efek suplemen diet terhadap fungsi trombosit dan
koagulasi tidak dijelaskan dengan baik, dan hasilnya sulit diprediksi. (28)
Terlepas dari karakteristik ini, sediaan herbal tidak memberikan efek signifikan

8
dalam meningkatkan risiko hematoma spinal pada pasien yang menjalani anestesi
epidural atau spinal. Pada saat ini, tampaknya tidak ada masalah khusus mengenai
waktu blok neuraksial dalam hubungan dengan dosis terapi herbal, pemantauan
pasca operasi, atau waktu pelepasan kateter neuraksial. (4)

Fondaparinux
Fondaparinux adalah antikoagulan sintetis yang menghasilkan efek
antitrombotiknya melalui penghambatan selektif faktor Xa. (29) Obat tersebut
menunjukkan konsistensi efek antikoagulannya karena disintesis secara kimia dan
bioavailabilitasnya 100%. Obat tersebut mencapai konsentrasi maksimal pada 1,7
jam setelah pemberian. Waktu paruhnya 17 sampai 21 jam, memungkinkan dosis
sekali sehari. (30) Risiko spinal hematoma pada pemberian fondaparinux tidak
diketahui. Dosis harian membuat pelepasan kateter yang aman sulit diprediksi.
ASRA (4) merekomendasikan penggunaan fondaparinux dalam pemasangan
kateter epidural yang menetap. Rekomendasi ini didasarkan pada efek
antitrombotik yang tahan lama dan ireversibel dari fondaparinux, dosis awal pasca
operasi (6 jam setelah operasi), dan hematoma spinal dilaporkan selama uji klinis
awal. Pelaksanaan prosedur neuraksial harus dilakukan sesuai kondisi yang
digunakan dalam uji klinis (penggunaan jarum tunggal, pemasangan jarum
atraumatik, dan penghindaran kateter neuraksial menetap). (4)
Sebuah studi pada tahun 2007 menunjukkan tidak ada komplikasi pada
pasien yang mendapat injeksi neuraksial atau blok saraf perifer dalam. (31) Dalam
penelitian ini, kateter diangkat 36 jam setelah dosis terakhir fondaparinux dan
dosis ditunda selama 12 jam setelah kateter dikeluarkan. Dalam artikel review,
Rosencher et al (32) merekomendasikan agar pengangkatan kateter harus ditunda
setidaknya 36 jam (setara dengan dua kali waktu paruh) dan injeksi berikutnya
harus dilakukan paling lama 7 jam setelah pengangkatan kateter.

Penghambat Trombin
Rekombinan derivat hirudin, seperti desirudin (Revasc), lepirudin
(Refludan), dan bivalirudin (Angiomax), menghambat trombin bebas dan trombin

9
pada bekuan darah. (4) Argatroban, walaupun merupakan derivat L-arginin, juga
merupakan inhibitor trombin. Obat ini digunakan dalam pengobatan
trombositopenia yang diinduksi heparin dan sebagai tambahan saat angioplasti
dilakukan. (33) Efek antikoagulan obat-obatan tersebut hadir selama 1 sampai 3
jam setelah pemberian obat secara intravena dan dilakukan pemantauan nilai
aPTT. Tidak ada pembalikan farmakologis terhadap efek obat ini. Desirudin
digunakan sebagai tromboprofilaksis setelah total hip replacement. (34) Tidak ada
laporan hematoma spinal yang terkait dengan anestesi neuraksial pada pasien
yang telah menerima penghambat trombin, mungkin karena keraguan klinisi
dalam melakukan prosedur injeksi neuraksial pada pasien dengan terapi obat-
obatan tersebut., yang mungkin terkait dengan jarangnya penggunaan obat-obatan
tersebut sehari-harinya. Panduan ASRA terbaru merekomendasikan agar tidak
melakukan teknik neuraksial pada pasien yang menerima penghambat trombin.

Obat Antikoagulan Terbaru


Dabigatran Etexilate
Dabigatran adalah penghambat trombin langsung oral. Bioavailabilitasnya
hanya 5%, kadar plasma puncak terjadi dalam 2 jam, dan waktu paruhnya adalah
8 jam setelah dosis tunggal namun sampai 17 jam setelah beberapa dosis. Obat ini
disetujui untuk penggunaan klinis di Eropa. Studi menunjukkan dabigatran (150
atau 220 mg per hari) kurang efektif dibandingkan enoxaparin (30 mg dua kali
sehari) bila digunakan untuk tromboprofilaksis setelah total joint surgery. (35,
36a) Interval 48 jam direkomendasikan sebelum injeksi neuraksial.

Rivaroxaban
Rivaroxaban merupakan faktor penghambat Xa oral yang disetujui untuk
digunakan di Eropa dan Kanada. Penggunaan obat ini sedang menunggu
persetujuan dari Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat. Obat
ini memiliki bioavailabilitas 80%; Efek puncaknya terjadi setelah 1 jam; durasi
efeknya adalah 12 jam; dan memiliki waktu paruh 9 sampai 13 jam. Studi klinis
yang membandingkan rivaroxaban, pada dosis 5 sampai 40 mg, sampai

10
enoxaparin menunjukkan kemanjuran yang serupa atau lebih baik. (37-40) Tidak
ada laporan kasus hematoma spinal dalam penelitian ini. Selang waktu 24 jam (2
kali waktu paruh) diamati antara dosis rivaroxaban dan pemasangan atau
pelepasan kateter epidural; dosis obat berikutnya adalah 6 jam setelah
pengangkatan kateter (komunikasi pribadi dengan perusahaan). Obat ini
menawarkan beberapa karakteristik bermanfaat termasuk khasiat dan
kesederhanaan dengan dosis oral sekali sehari.

Prasugrel
Prasugrel adalah antikoagulan oral yang disetujui untuk digunakan oleh
FDA pada bulan Juli 2009. Mekanisme kerjanya mirip dengan clopidogrel; yang
berarti, obat ini bertindak sebagai antagonis nonkompetitif P2Y12, yang
menghambat kemampuan ADP platelet untuk menginduksi agregasi trombosit.
(41) Prasugrel dan clopidogrel adalah prodrugs; namun, prasugrel memiliki onset
yang lebih cepat, durasi yang lebih lama (efek 60 mg adalah 1-1,5 jam
dibandingkan dengan 6 jam dengan clopidogrel 300 mg); 10 kali lebih kuat; dan
kurang rentan terhadap interaksi obat-obatan dan memiliki respon yang bervariasi
pada tiap pasien diandingkan dengan clopidogrel. (41,42) Interval 7-10 hari
dianjurkan sebelum injeksi neuraksial. Obat antiplatelet baru lainnya sedang
dikembangkan, termasuk ticagrelor dan cangrelor, yang sedang dipelajari untuk
digunakan pada pasien dengan sindrom koroner akut. (43)

Antikoagulasi dan Blokade Saraf Perifer


Hematoma spontan telah dilaporkan pada pasien yang memakai
antikoagulan. Hematoma dinding abdomen, perdarahan intrakranial, hematoma
psoas, dan perdarahan intrahepatik terjadi setelah pemberian LMWH. (44-47)
Komplikasi perdarahan mayor terjadi pada 1,9 sampai 6,5% pasien dengan
enoxaparin. (48) Peningkatan perdarahan yang terjadi setelah prosedur vaskular
atau jantung dan blok saraf regional pada pasien ini dapat menghasilkan
hematoma yang meluas hingga iskemia saraf.
Tidak ada penelitian prospektif pada blok saraf perifer dengan pemberian

11
antikoagulan. Namun, ada beberapa laporan kasus hematoma saat blok perifer
dilakukan pada pasien yang menggunakan obat ini. Hematoma terjadi pada pasien
dengan status koagulasi abnormal dan normal, dan pada pasien yang diberi
LMWH, ticlopidine dan clopidogrel, warfarin, heparin, atau kombinasi obat. (49-
55) Namun, dalam kebanyakan kasus, pemulihan defisit neurologis terjadi dalam
setahun.
Diagnosis pendarahan setelah blok saraf perifer pada pasien antikoagulan
meliputi nyeri (panggul, paravertebra, atau pada perigenital dengan perdarahan
psoas), nyeri tekan di daerah tersebut, penurunan hemoglobin / hematokrit,
penurunan tekanan darah, dan defisit sensorik dan motorik, meskipun diagnosis
pasti dibuat dengan computed tomography. Ultrasound dapat menjadi alat bantu
diagnostik dan penggunaan lebih lanjut akan membuat modalitas ini menjadi alat
yang berguna untuk diagnosis dan pemantauan selanjutnya dari hematoma perifer.
Pengobatan hematoma perifer biasanya mencakup konsultasi bedah, transfusi
darah seperlunya, dan observasi ketat ataupun drainase area perigenital.
Panduan ASRA terbaru merekomendasikan agar pedoman injeksi
neuraksial juga diberlakukan untuk blokade pleksus dalam atau blok saraf perifer.
Beberapa klinisi mungkin menganggap ini terlalu restriktif dan menerapkan
pedoman tersebut hanya pada blok pleksus dan blok yang bisa dikompreis
(misalnya blok pleksus lumbalis, blok pleksus serviks yang dalam) atau blok di
dekat area vaskular, seperti blok pleksus celiac atau blok pleksus hipogastrik
superior. Jika blok saraf perifer dilakukan dengan adanya antikoagulan, ahli
anestesi harus mendiskusikan risiko dan manfaat blok tersebut dengan pasien dan
ahli bedah, dan mengikuti perkembangan pasien dengan ketat setelah pelaksanaan
blok tersebut.

12
Tabel 1. Rangkuman Pedoman Antikoagulan pada Blokade Neuraksial*
I. Terapi antiplatelet
1. Aspirin, OAINS, penghambat COX-2
Operasi pembedahan: boleh dilanjutkan
Klinis nyeri: ASA merekomendasikan pemberhentian selama 2-3 hari pada
thorakal atau servikal anestesi epidural
2. Derivat thienopyridine
a. Clopidogrel (Plavix): dihentikan selama 7 hari
b. Ticlopidine (Ticlid): dihentikan selama 14 hari
Tidak diperbolehkan pelaksanaan blokade neuraksial pada pasien dengan
terapi antiplatelet lebih dari satu obat.
Apabila blokade neuraksial atau pleksus dalam akan dilakukan pada pasien
dengan penghentian clopidogrel <7 hari, maka uji P2Y12 sebaiknya
dilakukan.
3. Penghambat GpIIB/IIIA: waktu hingga agregasi trombosit normal
a. Abciximab (ReoPro) = 48 jam
b. Eptifibatide (Integrilin) = 8 jam
c. Tirofiban (Aggrastat) = 8 jam
II. Warfarin
Periksa INR; hentikan selama 4-5 hari
INR ≤1,4 sebelum blokade neuraksial atau pelepasan kateter epidural
III. Heparin
1. Heparin subkutan (5000 U SC per 12 jam)
Heparin subkutan bukan merupakan kontraindikasi terhadap blokade
neuraksial
Blokade neuraksial sebaiknya dilakukan sebelum heparin SC diberikan
Risiko penurunan angka trombosit dengan terapi heparin SC >5 hari
2. Heparin intravena
Blokade neuraksial: 2-4 hari setelah dosis heparin IV terakhir
Tunggu ≥1 jam setelah blokade neuraksial sebelum memberikan heparin IV

13
IV. Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Tidak ada terapi bersama antiplatelet, heparin, atau dextran
Selang waktu antara pemasangan atau pelepasan kateter dengan dosis terakhir:
a. Enoxaparin (Lovenox) 0,5 mg/kg 2 kali sehari (dosis proflaksis) : 12 jam
b. Interval 24 jam:
Enoxaparin (Lovenox), 1 mg/kg 2 kali sehari (dosis terapetik)
Enoxaparin (Lovenox), 1,5 mg/kg 4 kali sehari
Dalteparin (Fragmin), 120 U/kg BID, 200 U/kg 4 kali sehari
Tinzaparin (Innohep), 175 U/kg 4 kali sehari
LMWH pascaoperasi: LMWH sebaiknya dimulai setelah 24 jam pascaoperasi.
LMWH seharusnya tidak diberikan sampai ≥2 jam setelah pelepasan kateter
epidural.
V. Penghambat Xa spesifik: Fondaparinux (Arixtra)
ASRA: Apabila prosedur neuraksial akan dilakukan, direkomendasikan
penggunaan jarum tunggal, pemasangan jarum atraumatis, dan menghindari
kateter menetap.
Penelitian EXPERT (31): Pemasangan epidural atau pelepasan kateter: setelah
36 jam.
Fondaparinux (waktu paruh): dosis lanjut 12 jam setelah pelepasan kateter.
VI. Obat fibrinolitik/trombolitik (Streptokinase, alteplase (TPA))
Interval yang direkomendasikan: 10 hari (ASRA: tidak ada rekomendasi
tertentu).
Tidak ada data mengenai interval yang aman dalam pelaksanaan prosedur
neuraksial.
VII. Penghambat Trombin
Desirudin (Revasc)
Lepirudin (Refludan)
Bivalirudin (Angiomax)
Argatroban (Acova)
Efek antikoagulan bertahan 3 jam; dilakukan pemantauan aPTT

14
ASRA: tidak ada rekomendasi karena kurangnya data
VIII. Terapi Herbal
Mekanisme efek antikoagulan dan waktu hingga normal hemostasis:
Bawang putih: menghambat agregasi trombosit, meningkatkan fibrinolisis: 7
hari
Gingko: menghambat faktor aktivasi trombosit: 36 jam
Ginseng: peningkatan PT dan PTT; 24 jam
ASRA: Pelaksanaan blokade neuraksial bukan kontraindikasi untuk
penggunaan terapi tunggal herbal
Catatan: Pedoman di atas digunakan baik pada pemasangan ataupun pelepasan kateter epidural.
*Dimodifikasi dari Benzon HT. Anticoagulants and neuraxial injections. Dalam: Benzon HT, Raja
S, Molloy RE, Liu SS, Fishman FM, eds. Essenstials of Pain Medicine and Regional Anesthesia.
New York: Elsevier/Churchill Livingstone; 2005: 708-720. Copyright Elsevier 2005.

Pedoman di Berbagai Daerah/Masyarakat


Panduan penggunaan anestesi regional di hadapan antikoagulan telah
dipublikasikan oleh sejumlah masyarakat di seluruh dunia untuk lebih
menyesuaikan diri dengan ranah praktik lokal. Dengan kebutuhan, ada kesamaan
dan perbedaan di antara mereka. Contoh yang baik adalah pedoman ASRA yang
baru (56) dan pedoman Belgia dan Jerman. (57,58) Pedoman ketiga organisasi
serupa dengan obat antiplatelet, heparin tak terfragmentasi, dan agen trombolisis.
Berkaitan dengan LMWH, pedoman ASRA lebih konservatif, sebagian karena
perbedaan dosis obat. Untuk fondaparinux, pedoman Jerman mengizinkan kateter
epidural yang tinggal, sedangkan pedoman ASRA dan Belgia merekomendasikan
untuk menentangnya. Pedoman Belgia dan Jerman memungkinkan suntikan
neuraxial pada pasien penghambat trombin langsung; sedangkan pedoman ASRA
tidak. Akhirnya, beberapa antikoagulan baru telah disetujui untuk digunakan di
Eropa dan sedang menunggu persetujuan di Amerika Serikat sehingga pedoman
untuk obat-obatan ini akan segera terbit.

15
Rangkuman
Kepatuhan terhadap pedoman yang dibahas harus mengarah pada risiko
komplikasi hemoragik yang lebih rendah setelah anestesi regional, termasuk
hematoma spinal. Demikian juga, penerapan pedoman ini mengarah pada
kewaspadaan yang lebih baik dan perawatan pasien yang lebih baik pada pasien
dengan antikoagulan yang akan menjalani blokade saraf. Namun, pedoman
konsensus harus dilihat hanya sebagai rekomendasi; keputusan spesifik pada blok
saraf pada pasien antikoagulan harus dilakukan secara individual. Pemantauan,
tindak lanjut, dan pengobatan tepat waktu harus diimplementasikan pada pasien
antikoagulan yang menerima blok saraf neuraksial atau perifer (lihat algoritme
pada halaman berikut).

16
ALGORITMA PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PEMILIHAN
BLOKADE SARAF NEURAKSIAL ATAU PERIFER

Konsultasi
Pre-Anestesi

PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN
ANAMNESIS
FISIK LABORATORIU
M

• Diatesis hemoragik • Anatomi Spinal • INR, PT, PTT, aPTT, …


• Kelainan koagulasi • Ekimosis • Angka trombosit
• Terapi antitrombotik • Malformasi vaskular • Fungsi ginjal
• Alkoholisme kronis • Sulit ditemukan • Fungsi Hepar
• Penggunaan steroid kronik petunjuk?
• Terapi dextran perioperatif

KOMUNIKASIKAN:
• Dengan ahli bedah
• Dengan dokter yang
memberikan terapi
antikoagulasi

PERTIMBANGAN KLINIS:
APAKAH MANFAAT ANESTESI YA
TIDAK
NEURAKSIAL MELEBIHI POTENSI RISIKO
TERJADINYA HEMATOMA SPINAL?

PERTIMBANGKAN
ULANG PILIHAN Lanjutkan anestesi
ANESTESI: neuraksial sesuai
rencana
• Anestesi Umum
• Blok Saraf Perifer

17
FOLLOW-UP PASIEN YANG BERISIKO TERJADI HEMATOMA
SPINAL ATAU PERIFER

Observasi ketat
post blokade

PERDARAHAN PASCA
HEMATOMA SPINAL
BLOKADE SARAF
PERIFER: • Regresi lambat dari
• Nyeri? (panggul, blokade?
paravertebra, atau pada Gejala • Nyeri punggung?
perigenital dengan • Retensi urin?
perburukan
perdarahan psoas) • Kembalinya defisit
• Penurunan Hb/Ht atau ?
motorik atau
TD?
sensorik yang tak
• Defisit sensorik dan
motorik?
terduga?

Evaluasi awal
disfungsi neurologis

INTERVENSI
SEGERA

18
ANTIKOAGULAN: MEKANISME AKSI DAN PEDOMAN YANG
DIREKOMENDASIKAN DALAM PRAKTIK ANESTESI NEURAKSIAL

Terapi Menghambat HENTIKAN terapi 2-3 hari sebelum


OAINS/
Antiplatelet siklooksigenase pemasangan kateter epidural
Penghambat COX
secara irreversibel servikal/torakal

• Abciximab: tunggu 48 jam


• Eptifibatide: tunggu 8-10 jam
• Tirofiban: tunggu 8-10 jam
Menghambat
Penghambat
agregasi dengan
GpIIB/IIIA Pemberian setelah pelepasan kateter :
memblok reseptor
tunggu 2-4 jam
Pemeriksaan hitung trombosit sebelum
instrumentasi

Derivat Memblok enzim • Clopidogrel: dihentika 7 hari


thienopyridine ADP transferase • Ticlopidine: dihentikan 10-14 hari

Hentikan 4-5 hari sebelum operasi


INR<1,4 sebelum instrumentasi
Mengganggu sintesis Pertimbangkan Vitamin K atau FFP untuk
Terapi Anti • Warfarin
faktor koagulasi keadaan darurat
• Acenocoumarol
Vitamin K Vitamin K-dependent
• Phenprocoumarol
(II, VII, IX, X) Apabila diganti dengan LMWH atau agen
antiplatelet, rekomendasi sesuai dengan
pedoman untuk obat yang digunakan

• SC (5000 IU per 12 jam); tidak ada


Inaktivasi trombin IIa kontraindikasi, blok dilakukan
melalui efek kaskade sebelum pemberian heparin
Unfractioned • Sediaan subkutan yang dimulai dari • IV: blok neuraksial 2-4 jam setelah
Heparin (UFH) atau intravena pengikatan dosis terakhir heparin, tunggu > 1 jam
pentasakarida pada sebelum pemberian heparin IV
AT III • Waspadai terjadinya trombositopenia
terinduksi heparin

• Dosis profilaksis: interval 12 jam


sebelum pemasangan dan pelepasan
• Profilaksis:
kateter.
Enoxaparin dan
Low Molecular • Dosis terapetik: interval 24 jam
Nadroparin
Weight Heparin Aktivitas anti IIa dan sebelum pemasangan
• Terapetik:
anti Xa irreversibel • Dosis profilaksis digunakan selama
(LMWH) Enoxaparin,
kateter terpasang
Dalteparin, dan
• Tidak boleh diberikan LMWH
Tinzaparin
hingga > 2-4 jam setelah pelepasan
• LMWH tidak diberikan hingga 24
jam setelah operasi

19
• KONTRAINDIKASI ABSOLUT
• Alteplase UNTUK BLOKADE NEURAKSIAL
Obat • Tenecteplase • Direkomendasikan interval >10 hari
Lisis bekuan darah
fibrinolitik/ • Reteplase untuk eliminasi
melalui aktivator
trombolitik • Urokinase • Mendapatkan fibrinogen dan
plasminogen eksogen
• Streptokinase tromboelastografi

(TIDAK ADA REKOMENDASI PASTI


SAAT INI)

• Pemasangan jarum tunggal


atraumatis (spinal/epidural)
Penghambat • Hindari kateter menetap
faktor Xa • Fondaparinux Mengambat faktor Xa • Pelepasan > 36 jam setelah dosis
spesifik secara selektif terakhir, tunggu > 12 jam sebelum
pemberian dosis baru fondaparinux

(TIDAK ADA REKOMENDASI PASTI


SAAT INI)

• Bivalen: bivalirudin,
lepirudin, desirudin Beberapa obat ini belum disetujui oleh FDA
Penghambat • Univalen: Menghambat trombin di Amerika Serikat
trombin Argatroban, bebas ataupun terikat
megalatran, pada bekuan darah (TIDAK ADA REKOMENDASI PASTI
dabigatran SAAT INI)

Menghambat agregasi
• Bawang putih trombosit + TIDAK ADA KONTRAINDIKASI,
Terapi Herbal • Gingko meningkatkan namun, penggunaan bersama antikoagulan
• Ginseng fibrinolisis, lainnyaberpotensi menyebabkan efek
pemanjangan PT dan samping
PTT

20
REFERENSI
1. Hejazi N, Thaper PY, Hassler W. Nine cases of nontraumatic spinal
epidural hematoma. Neurol Med Chir, 1998; 38; 718-723.
2. Mattle H, Sieb JP, Rohner M, Mumenthaler M. Nontraumatic spinal
epidural and subdural hematomas. Neurology. 1987; 37; 1351-1356.
3. Heit JA, Horlocker TT, eds. Neuraxial anesthesia and anticoagulation. Reg
Anesth Pain Med. 1998; 23; S129-193.
4. Horlocker TT, Wedel DJ, Benzon HT, et al. Regional anesthesia in the
anticoagulated patient: defining the risks (The second ASRA Consensus
Conference on Neuraxial Anesthesia and Anticoagulation). Reg Anesth
Pain Med. 2003; 28: 172-197.
5. Benzon HT, Brunner EA, Vaisrub N. Bleeding time and nerve blocks after
aspirin. Reg Anesth. 1984; 9: 86-90.
6. Vandermeulen EP, Van Aken H, Vermylen J. Anticoagulants and spinal-
epidural anesthesia. Anesth Analg. 1994;79;1165-1177.
7. CLASP (Collaborative Low-Dose Aspirin Study in Pregnancy)
Collaborative Group. CLASP: a randomized trial of low-dose aspirin for
the prevention and treatment of pre-eclampsia among 9364 pregnant
women. Lancet. 1994; 343: 619-629.
8. Horlocker TT, Wedel DJ, Offord KP. Does preoperative antiplatelet
therapy increase the risk of hemorrhagic complications associated with
regional anesthesia? Anesth Analg. 1990; 70: 631-634.
9. Horlocker TT, Wedel DJ, Schroeder DR, et al. Preoperative antiplatelet
therapy does not increase the risk of spinal hematoma associated with
regional anesthesia. Anesth Analg. 1995; 80: 303-309.
10. Horlocker TT, Bajwa ZH, Ashraft Z, et al. Risk assessment of hemorrhagic
complications associated with nonsteroidal anti-inflammatory medications
in ambulatory pain clinic patients undergoing epidural steroid injections.
Anesth Analg. 2002; 95: 1691-1697.
11. Benzon HT, Wong HY, Siddiqui T, Ondra S. Caution in performing
epidural injections in patients on several antiplatelet drugs. Anesthesiology.

21
1999; 91: 1558-1559.
12. Helft G, Osende JI, Worthley SG, et al. Acute antithrombotic effect of a
front-loaded regimen of clopidogrel in patients with atherosclerosis in
aspirin. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2000; 29: 2316-2321.
13. Mayumi T, Dohi S. Spinal subarachnoid hematoma after lumbar puncture
in a patient receiving antiplatelet therapy. Anesth Analg. 1983; 62: 777-
779.
14. Benzon HT, Wong HY, Siddiqui T, Ondra S. Caution in performing
epidural injections in patients on several antiplatelet drugs. Anesthesiology.
1999; 91: 1558-1559.
15. Broad L, Lee T, Conroy M, et al. Successful management of patients with
a drug-eluting coronary stent presenting for elective, non-cardiac surgery.
Br J Anaesth, 2007; 98: 19-22.
16. Benzon HT, Fragen R, Benzon HA, Savage J, Robinson J, Puri I.
Clopidogrel and neuraxial block: the role of the PFA II and P2Y12 assays.
Reg Anesth Pain Med. 2010; 35: 115.
17. Ansel J, Hirsh J, Hylek E, Jacobson A, Crowther M, Palareti G.
Pharmacology and management of the vitamin K antagonists. Chest. 2008;
133: 160S-190S.
18. Benzon HT, Benzon HA, Kirby-Nolan M, Avram MJ, Nader A. Factor VII
levels and risk factors for increased international normalized ratio in the
early phase of warfarin therapy. Anesthesiology. 2010; 112: 228-304.
19. Horlocker TT, Wedel DJ, Schilchting JL. Postoperative epidural analgesia
and oral anticoagulant therapy. Anesth Analg. 1994; 79; 89-93.
20. Wu CL, Perkins FM. Oral anticoagulant prophylaxis and epidural catheter
removal. Reg Anesth. 1996; 21: 517-524.
21. Horlocker TT. When to remove a spinal or epidural catheter in an
anticoagulated patient. Reg Anesth. 1993; 18: 264-265.
22. Rao TL, El-Etr AA. Anticoagulant following placement of epidural and
subarachnoid catheters: an evauation of neurologic sequelae.
Anesthesiology. 1981; 55: 618-620.

22
23. Ruff DL, Dougherty JH, Complicatioins of anticoagulation followed by
anticoagulation. Stroke. 1981; 12: 879-881.
24. Geerts WH, Bergqvist D, Pineo GF, et al. Prevention of venous
thromboembolism. American College of Chest Physicians Evidence-Based
Clinical Practice Guidelines (8th Edition). Chest. 2008; 133: 381S-453S.
25. King CS, Holley AB, Jackson JL, et al. Twice versus three times daily
heparin dosing for thromboembolism prophylaxis in the general
population: a metaanalysis. Chest. 2007; 131: 507-516.
26. Horlocker TT, Heit JA. Low molecular weight heparin: biochemistry,
pharmacology, perioperative prophylaxis regimens, and guidelines for
regional anesthetic management. Anesth Analg. 19997; 85: 874-885.
27. Rosenquist RW, Brown DL. Neuraxial bleeding:
fibrinolytics/thrombolytics. Reg Anesth Pain Med. 1998; 23S: 152-156.
28. Basila D, Yuan CS, Effects of dietary supplements on coagulation and
platelet function. Thromb Res. 2005; 117: 49-53.
29. Bauer KA. Fondaparinux: basic properties and efficacy and safety in
venous thromboembolism prophylaxis. Am J Orthop. 2002; 31: 4-10.
30. Turple AG, Gallus AS, Hoek JA. Pentasaccharide investigators. A
synthetic pentasaccharide for the prevention of deep-vein thrombosis after
total hip replacement. N Eng J Med. 2001; 344: 619-625.
31. Singelyn FJ, Verheyen CC, Piovella F, Van Aken HK, Rosencher N.
EXPERT Study Investigators. The safety and efficacy of extended
thromboprophylaxis with fondaparinux after major orthopedic surgery of
the lower limb with or without a neuraxial or deep peripheral nerve
catheter: the EXPERT Study. Anesth Analg. 2007; 105: 1540-1547.
32. Rosencher N, Bonnet MP, Sessler DI. Selected ner antithrombotic agents
and neuraxial anesthesia for major orthopedic surgery: management
strategies. Anaesthesia. 2007; 62: 1154-1160.
33. Greinacher A, Lubenow N. Recombinant hirudin in clinical practice: focus
in lepirudin. Circulation. 2001; 103:1479-1484.
34. Ericksson BI, Wille-Jorgensen P, Kalebo P, et al. A comparison of

23
recombinant hirudin with a low molecular weight heparinto prevent
thromboembolic complications after total hip replacement. N Engl J Med.
1997; 337: 1329-1335.
35. Ericksson BI, Dahl OE, Rosencher N, et al. RE-MODEL Study Group:
Oral dabigatran etexilate vs. subcutaneous enoxaparin for the prevention of
venous thromboembolism after total knee replacement: the RE-MODEL
randomized trial. J Thromb Haemost. 2007; 5: 2178-2185.
36. The RE-MOBILIZE Writing Committee. Oral thrombin inhibitor
dabigatran etexilate versus North American enoxaparin regimen for
prevention of venous thromboembolism after knee arthroplasty surgery. J
Arthroplasty. 2009; 24: 1-9.
37. Ericksson BI, Borris LC, Dahl OE, et al: ODIXa-HIP Study Investigators.
A once-daily, oral, direct factor Xa inhibitor, rivaxoraban (BAY 59-7939),
for thromboprophylaxis after total hip replacement. Circulation. 2006:
114: 2374-2381.
38. Ericksson BI, Borris LC, Friedman RJ, et al; RECORD1 Study group.
Rivaxoraban versus enoxaparin for thromboprophylaxis after hip
arthroplasty. N Engls J Med. 2008; 358: 2765-2775.
39. Lassen MR, Ageno W, Borris LC, et al; RECORD3 Investigators.
Rivaxoraban versus enoxaparin for thromboprophylaxis after total knee
arthroplasty. N Engl J Med. 2008; 358: 2776-2786.
40. Kakkar AK, Brenner B, Dahl O, et al. RECORD2 Investigators. Extended
duration rivaroxaban versus short-term enoxaparin for the prevention of
venous thromboembolism after total hip arthroplasty: a double-blind,
randomized control trial. Lancet. 2008; 372; 31-39.
41. Reinhart KM, White CM, Baker WL. Pharmacotherapy. 2009; 29: 1441-
1451.
42. Bhatt DL, Prasugrel in clinical practice. N Engl J Med. 2009: 361: 940-
942.
43. Shalito I, Kopyleva O, Serebruany V. Novel antiplatelet agents in
development: prasugrel, ticagrelor, and cangrelor and beyond. AM J Ther.

24
2009; 66: 797-800.
44. Antonelli D, Fares L, Anene C. Enoxaparin associated with huge
abdominal wall hematomas: a report of two cases. Am Surgeon. 2000; 66:
797-800.
45. Dickinson LD, Miller L, Patel CP, Gupta SK. Enoxaparin increases the
incidence of postoperative intracranial hemorrhage when initiated
preoperatively for deep vein thrombosis prophylaxis with brain tumors.
Neurosurgery. 1998: 43: 1074-1081.
46. Ho JK, Gawley SD, Young MR. Psoas hematoma and femoral neuropathy
associated with enoxaparin therapy. Int J Clin Pract. 2003; 57; 553-554.
47. Houde JP, Steinberg G. Intrahepatic hemorrhage after use of low
molecular weight heparin for total hip arthroplasty. J Arthroplasty. 1999:
14; 372-374.
48. Noble S, Spencer CM. Enoxaparin: a review of its clinical potential in the
management of coronary artery disease. Drugs. 1998; 56; 259-272.
49. Klein SM, D’Ercole F, Greengrass RA, Warner DS. Enoxaparin associated
with psoas hematoma and lumbar plexopathy after lumbar plexus block.
Anesthesiology. 1997; 87: 1576-1579.
50. Weller RS, Gerancher JC, Crews JC, Wade KL. Extensive retropritoneal
hematoma without neurologic deficit in two patients who uunderwent
lumbar plexus block and were later anticoagulated. Anesthesiolohy. 2003;
98; 581-583.
51. Maier C, Gleim M, Weiss T, et al. Severe bleeding following lumbar
sympathetic blockade in two patients under medication with irreversible
platelet aggregation inhibitors. Anesthesiology. 2002: 97; 740-743.
52. Nielsen CH. Bleeding after intercostal nerve block in a patient
anticoagulated with heparin. Anesthesiology. 1989; 71; 162-164.
53. Aida S, Takahashi H, Shimoji K. Renal subcapsular hematoma after
lumbar plexus block. Anesthesiology. 1996; 84: 452-455.
54. Mishio M, Matsumoto T, Okuda Y, Kitayama T. Delayed severe airway
obstruction due to hematoma following stellate ganglio block. Reg Anesth

25
Pain Med. 1998; 23; 516-519.
55. Maier C, Gleim M, Weiss T, Stachetzki U, Nicolas V, Zenz M. Severe
bleeding following lumbar sympathetic block in two patients under
medication with irreversible platelet aggregation inhibitors.
Anesthesiology. 2002; 97: 740-743.
56. Horlocker TT, Wedel DJ, Rowlingson JC, et al. Regional anesthesia in the
patient receiving antithrombotic or thrombolytic therapy: American
Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine evidence-based
guidelines (third edition). Reg Anesth Pain Med. 2010; 35; 64-101.
57. The Belgian Association for Regional Anesthesia Working Party on
Anticoagulants and Central Nerve Blocks: Vandermeulen E, Singelyn F,
Vercauteren M, Brichant JF, Icks BE, Gautier P. Belgian guidelines
concerning central neural blockade in patients with drug-induced
alteraition of coagulation: an update. Acta Anaesth Belg. 2005; 56: 139-
146.
58. Gogarten W, Van Aken H, Buttner J, Reiss H, Wulf H, Burkle H. Regional
anesthesia and thromboembolism prophylaxis/anticoagulation – revised
recommendations of the German Society of Anaesthesiology and Intensive
Care Medicine. Anaesth Intensive Med. 2007; 48; S109-S124.

26

Anda mungkin juga menyukai