Anda di halaman 1dari 14

TATA LAKSANA ANESTESI PADA AWAKE

NEUROSURGERY

dr. Bhayu Rizallinoor


NPM: 1506794101

Departemen Ilmu Bedah Saraf


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta

I. Pendahuluan

0
Teknik kraniotomi terjaga pada awalnya diperkenalkan untuk pembedahan
pada kasus epilepsi, Pada awalnya digunakan pada abad ke 20 untuk
penanganan lesi penyebab epilepsi yang dapat direseksi.

Pada perkembangan selanjutnya, selalama tiga dekade terakhir, dipergunakan


pula pada pasien yang menjalani pembedahan tumor supratentorial,
malformasi arteri, stimulasi otak, dan pada kasus aneurisma yang melibatkan
daerah kritis pada otak.

Teknik Ini memungkinkan resesi lesi yang maksimal dengan tetap


mempertahankan daerah- daerah penting pada otak seperti pusat motorik,
somatosensorik dan bahasa. Selama kraniotomi terjaga, partisipasi aktif dari
pasien tetap diperlukan untuk membuat pemetaan otak. Elektro ensefalograf
dan respon pasien terhadap stimulasi elektrik pada korteks serebral tetap
diperlukan sebagai panduan operator bedah dalam mengambil keputusan
intraoperatif .

Tujuan utama pembedahan bedah saraf, adalah untuk mendapatkan akurasi


yang maksimal dalam reseksi lesi, sehingga dapat meminimalisir disabilitas
fungsional, sehingga akan mendapatkan prognosis yang lebih baik, serta
meningkatkan kualitas hidup pasien. Pada bidang pembedahan neuroonkologi,
kraniotomi terjaga, memungkinkan penurunan morbiditas pasca operasi yang
bermakna, dan memungkinkan pasien untuk lebih cepat dipulangkan dari
rumah sakit.

Prosedur anestesi sangat berperan dalam kraniotomi terjaga, untuk membuat


operasi dapat berjalan secara aman dan efektif. Sekaligus mengurangi stress
fsik pada pasien. Berbagai protokol prosedur anestesi pada kraniotomi terjaga
didasarkan pada monitored anesthesia care (MAC) atau anestesi umum (yang
dikenal sebagai teknik asleep-awake-asleep (AAA))

II. Sejarah Awake Anestesi


Horsley pertama kali melakukan kraniotomi terjaga menggunakan anestesi
lokal pada tahun 1.886. Kemudian tahun 1934 dilanjutkan oleh Davidof
dengan menggabungkan anestesi lokal dan sedasi, selanjutnya Penfeld
melakukan teknik sedasi yang disinkronkan dengan stimulasi listrik pada

1
permukaan otak. Pada tahun 1950, Pasquet melakukan anestesi umum setelah
dilakukan anestesi lokal, yang kemudian teknik ini dikenal sebagai anestesi
vocal.

Perubahan penting pertama dalam standar perawatan anestesi untuk


kraniotomi terjaga terjadi pada tahun 1959, ketika De Castro dan Mundeleer
memperkenalkan konsep neuroleptoanesthesia, dengan menggunakan
kombinasi haloperidol dan phenoperidine. Sejak penemuan ini, berbagai
kombinasi dari neuroleptik dan opioid mulai digunakan, dan salah satunya,
Innovar (droperidol dengan fentanyl), secara khusus dipasarkan untuk
digunakan dalam neuroleptoanesthesia. Rejimen farmakologis ini adalah
standar untuk kraniotomi terjaga selama lebih dari 30 tahun.

Pada tahun 1988, Archer melakukan studi terhadap 354 kraniotomi terjaga
selama reseksi kortikal pada pasien epilepsi yang menggunakan anestesi lokal
dan intravena fentanyl dan droperidol. Tahun berikutnya, Welling
menggunakan teknik yang sama tetapi dengan menggantikan fentanyl
dengan alfentanil. Empat tahun kemudian, Silbergeld mempublikasikan data
yang pertama dengan menggunakan sedasi propofol pada kraniotomi terjaga,
publikasi Silbergeld ini dianggap sebagai perubahan besar kedua untuk
bidang kraniotomi terjaga. Sejak penemuan ini, infus propofol menjadi populer
untuk dipergunakan dalam kraniotomi terjaga, karena memiliki onset yang
cepat, titrabilitas, dan waktu pemulihan yang singkat. Dalam beberapa tahun
terakhir, banyak studi telah dilakukan guna membandingkan
neuroleptoanalgesia antara propofol dengan fentanil. Studi ini, sebagian besar
difokuskan pada sedasi propofol yang dikombinasikan dengan berbagai opioid.
Selain itu, juga membandingkan banyak aspek teknis dari prosedur laryngeal
mask airway (LMA), bispectral Indeks (BIS), target-controlled infusion (TCI).

Meskipun terdapat berbagai protokol anestesi untuk kraniotomi terjaga,


prosedur anestesi moderen secara umum dibagi menjadi MAC dan AAA.
Namun demikian, pembagian ini belum distandarisasi secara internasional,
sehingga kemudian ditambahkan defnisi yang lebih spesifk, yaitu: MAC,
pasien disedasi, dapat bernapas spontan, dan responsif terhadap panggilan
nama (penilaian sedasi menggunakan Observers Assessment of
Alertness/Sedation Scale (OAA/S) atau skor BIS > 60). Pemberian oksigen dan

2
kontrol jalan napas dengan menggunakan ventilasi mekanis, sedangkan AAA:
teknik ini terdiri dari sedasi mendalam atau anestesi umum, yang
memunginkan pernapasan spontan (bila skor OAA / S <3 atau skor BIS <60).
pemberian oksigen dan kontrol jalan napas menggunakan ventilasi mekanis.
Pasien terbangun dan biasanya terekstubasi sepanjang prosedur operasi untuk
pemetaan otak atau reseksi tumor.

III. Tujuan anestes kraniotomi terjaga


Setiap prosedur anestesi memiliki tujuan
1. Mempertahankan kerjasama pasien, melalui:
- Pemberian analgesik yang optimal
- Sedasi yang adekuat dan anxiolysis selama pembedahan;
- Posisi yang nyaman;
- Pencegahan mual, muntah, dan kejang.
2. Homeostasis:
- Jalan nafas yang aman dan ventilasi yang memadai;
- Stabilitas hemodinamik;
- Tekanan intrakranial normal.
3. Hal yang paling penting untuk operasi epilepsi:
- Pembatasan intervensi sepanjang perekaman elektrofsiologi intraoperasi.

Penting untuk diperhatikan, pemberian obat penenang dan opioid dapat


mengganggu perekaman elektrofsiologi intraoperatif. Dengan demikian,
pemberian neuroleptik dan propofol harus dihentikan sebelum pemetaan
korteks otak untuk mendapatkan akurasi rekaman ECG serta untuk
menghindari penekanan aktivitas spike puncak interiktal.

Opioid, secara khusus sangat selektif dalam mengaktifasi epilepsi interiktal.


Aktivasi yang diinduksi opioid dapat membantu ahli bedah dalam memilih

3
reseksi lokasi yang tepat selama operasi epilepsi. Akan tetapi aktivasi ini
memiliki dampak negatif bila dilakukan pada operasi reseksi tumor. Opioid juga
dapat mencetuskan neuroeksitasi seperti nistagmus, kekakuan otot,
mioklonus, dan gerakan-gerakan yang menyerupai kejang. Namun, pada dosis
rendah (0,1 mg / kg / min), remifentanil, opioid kerja cepat, tidak
mempengaruhi rekaman ECG bahkan selama kraniotomi terjaga.

Keberhasilan pencapaian tersebut bertujuan memastikan kondisi yang optimal


untuk ahli bedah dan pasien. Hal yang ingin dicapai adalah prosedur anestesi
yang tepat dan terstandarisasi sesuai dengan karakteristik individual pasien,
anestesiolog yang berpengalaman , dan ketersediaan perangkat teknis.

IV. Evaluasi pra operasi


Evaluasi pra operasi diperlukan untuk mengevaluasi kesehatan pasien,
kerjasama, dan karakteristik jalan napas. Ahli bedah saraf harus menjelaskan
keuntungan, kebutuhan, dan sifat prosedur yang akan dilakukan. Dalam
operasi reseksi tumor, kasus yang paling umum dijumpai pada pasien yang
akan menjalani kraniotomi terjaga adalah low grade glioma. Akan tetapi, high
grade glioma, dengan metastase ke otak, dan meningioma yang lokasinya
dekat dengan korteks fungsional juga sering direncanakan untuk menjlanai
kraniotomi terjaga,

Evaluasi pra operasi harus mencakup pemeriksaan klinis yang menyeluruh,


dapat menggunakan panduan dari Italian Society of Analgesia Anesthesia dan
the American Society ofAnesthesiologists (ASA). Evaluasi klinis yang spesifk
dan terfokus adalah sangat penting, seperti yang ditulis oleh Bonhomme et al.
Evaluasi pra operasi harus mempertimbangkan aspek-aspek berikut:
1. Saluran nafas bagian atas:
- Prediksi kesulitan intubasi trakea
(Konfrmasi dengan pemeriksaan fsik dan riwayat intubasi sebelumnya);
- Resiko apnea obstruktif (obesitas, sleep apnea, retrognatia).
2. Epilepsi:
- Farmakoterapi;
- Konsentrasi serum obat antiepilepsi;
- Jenis dan frekuensi kejang.

4
3. Mual dan muntah:
- Riwayat anestesi sebelumnya;
- Kinetosis.
4. Estimasi tekanan intrakranial:
- Jenis lesi;
- Radiologis dan gejala klinis.
5. Resiko Perdarahan:
- Jenis dan lokalisasi lesi;
- Terapi (obat antiplatelet);
- Riwayat kesehatan.
6. Kerjasama Pasien:
- Kecemasan;
- Toleransi terhadap nyeri;
- Defsit neurologis.

Evaluasi jalan napas sebelum operasi sangat penting dilakukan untuk


penanganan bila terjadi komplikasi jalan nafas selama prosedur anestesi.
Sindrom sleep apnea harus dianggap sebagai kriteria mutlak eksklusi. Evaluasi
kemungkinan terjadinya edema otak juga penting, karena akan jauh lebih sulit
untuk mengontrol tekanan intrakranial selama pernapasan spontan
dibandingkan dengan ventilasi mekanis.

Pasien epilepsi juga harus dievaluasi ketat karena kejang tak terkendali
merupakan kriteria ekslusi relatif untuk kraniotomi terjaga. Kejadian kejang
yang berkaitan stimulasi intra operatif mungkin berhubungan dengan
konsentrasi serum obat antiepilepsi yang rendah, teknik stimulasi, dan rejimen
anestesi (opioid dosis tinggi dan neuroleptik). Hal yang menarik menurut
Szelnyi, pasien dengan epilepsi asimptomatis justru memiliki resiko yang
lebih tinggi terjadinya stimulation associated-seizure intraoperatif
dibandingkan dengan pasien epilepsi simptomatis. Dan yang tidak kalah
penting adalah kerjasama dan partisipasi aktif dari pasien selama menjalani
kraniotomi terjaga. Disphasia berat dan konfusi adalah kriteria eksklusi mutlak

Berkenaan dengan seleksi pasien dan strategi intraoperatif Pichtet al, pada
tahun 2006 mengusulkan protokol multimodal untuk kraniotomi terjaga pada

5
tumor korteks yang mengenai area berbahasa. Yaitu setelah dilakukan
pemetaan kortikal, dilanjutkan dengan prosedur MAC atau AAA, diisesuaikan
dengan keadaan klinis pasien dan hasil gabungan dari pemetaan otak
dan pencitraan MRI fungsional

Sebelum operasi, pasien harus diberitahu tentang potensi resiko, langkah-


langkah keamanan, tahapan prosedur, dan apa yang akan terjadi saat pasien
berada di ruang operasi. Anestesiolog tidak harusmenyembunyikan suara
(monitor alarm, pengeboran tengkorak,electroknife,) atau ketidaknyamanan
(posisi tidak berubah, aphasia selama pemetaan kortikal) dari pasien, dan
pasien harus memahami bahwa ketidaknyamanan ini adalah bagian dari
prosedur. Kunjungan ke ruang operasi sebelum operasi adalah ide yang baik
untuk membiasakan pasien dengan suara dan peralatan di ruang operasi.
dokter anestesi harus dapat meningkatkan kepercayaan diri dari pasien.

V.Manajemen ruang operasi


Didalam ruang operasi harus tersedia peralatan anestesi umum termasuk
perangkat jalan nafas, anestesi lokal, obat-obatan sedasi, dan obat-obatan
lain untuk tatalaksana timbulnya efek samping (antiemetik, vasopressor,
antikonvulsan). Suhu ruang operasi harus optimal; meja bedah harus ditutupi
dengan kain yang lembut dan tebal, serta tim bedah harus diinstruksikan
untuk berbicara dan bergerak hanya jika diperlukan.

Penting untuk mempelajari posisi instrumen guna meminimalkan gerakan yang


tidak perlu dari benda dan personil. Selain itu, wajah pasien harus berada
dalam posisi yang memungkinkan pasien untuk melihat dokter anestesi dan
gambar selama proses pemetaan otak, tetapi tetap dapat dengan mudah
mengakses jalan nafas dalam keadaan darurat. Sistem perekam audio visual
harus digunakan sehingga ahli bedah dapat dengan mudah melihat dan
mendengar tanggapan pasien selama pemetaan otak

VI. Premedikasi
Tidak ada konsensus umum mengenai premedikasi, dan keputusan harus
dibuat berdasarkan
kondisi klinis pasien, pendapat ahli anestesi,dan standar rumah sakit.
Sebagian ahli tidak memberikan premedikasi. Midazolam adalah golongan

6
benzodiazepine yang paling sering digunakan untuk kraniotomi, bersifat kerja
cepat, onset cepat, dan dua kali lebih efektif dibanding diazepam.

Midazolam kadang-kadang dikombinasikan dengan opioid seperti fentanil,


tetapi idapat meningkatkan efek depresi pernafasan masing-masing obat.
beberapa ahli lebih suka menggunakan benzodiazepine lainnya seperti
alprazolam.

Benzodiazepin mungkin memiliki beberapa efek negatife selama kraniotomi


terjaga seperti depresi pernapasan, paradoks agitasi atau delirium, dan
gangguan rekaman electrocorticographi. Namun demikian, midazolam tetap
benzodiazepine terbaik untuk kraniotomi terjaga karena efeknya yang cepat.
Baru-baru ini, Schulz melaporkan eek negatif pemberian benzodiazepine
sebelum kraniotomi terjaga karena dapat mengurangi tonus otot faring,
mempengaruhi fungsi kognitif dan meminimalkan fokus epilepsi.

Clonidine adalah alternatif yang baik untuk benzodiazepin: beberapa penelitian


telah membuktikan keamanannya untuk diberikan secara oral. Clonidine juga
telah terbukti efektif dalam bedah saraf jika diperlukan untuk mengontrol
respon hemodinamik pada saat intubasi trakea dan dalam pemasangan
headholder Mayfield. Di beberapa rumah sakit, clonidine diberikan dengan
dosis 2-3 mg / kg secara oral satu jam sebelum keruang operasi,

Pemberian antikolinergik masih diperdebatkan karena efek antisalivasi nya


mungkin menyusahkan bagi pasien terjaga. Bahkan, pasien diizinkan untuk
membasahi bibir dengan air selama operasi. Sesuai protokol MAC, atropine
jarang diberikan, tetapi umumnya digunakan sebelum induksi dengan protokol
AAA. Proflaksis antiemetik digunakan untuk mencegah muntah.

Pemberian opioid dan traksi dura mater atau pembuluh darah otak dapat
menyebabkan pasien menjadi mual dan muntah. Muntah sangat berbahaya
selama operasi karena risiko aspirasi, kenaikan tekanan intrakranial, dan
pasien menjadi agitasi dan bergerak.

Pemberian propofol tidak diragukan lagi untuk mencegah mual dan muntah
perioperatif. Mayoritas antiemetik berisi metoclopramide (10 mg) dan

7
ondansetron (4-8mg) . Dosis rendah droperidol (0,625-2,5mg) dan
deksametason (4-16 mg). Banyak ahli menggunakan ranitidin untuk
perlindungan lambung dan dikombinasikan dengan antiemetik, untuk
mengurangi risiko pneumonia jika terjadi muntah

Obat premedikasi tambahan juga diberikan sebelum operasi, bahkan yang


bersifati non-spesifk. Biasanya berupa antibiotik dan antikonvulsan sebelum
atau pada awal prosedur. Banyak ahli memberikan antiinflamasi non-steroid
preoprasi seperti diclofenac atau acetaminophen, dan opioid seperti fentanyl,
serta dexamethasone.

VII. Anestesi Lokal


Prosedur anestesi pada kraniotomi terjaga selalu mencakup blok kulit kepala.
Anestesi lokal harus menjamin durasi selama delapan jam. blok. Volume
anestesi lokal yang digunakan untuk infltrasi adalah sekitar 40-60 ml.
Penggunaan anestesi lokal yang berlebihan dan daerah infltrasi yang
tervaskularisasi dengan baik, dapat menjadi predisposisi terjadinya toksisitas
anestesi. Penggunaan adrenalin (5 mg / mL, dengan dilusi 1: 200 000 ) dapat
meminimalkan kenaikan akut konsentrasi zat anestesi dalam plasma dan
memaksimalkan durasi blok.

Pengawasan keadaan klinis sangat diperlukan dalam waktu 15 menit setelah


dilakukan blok kulit kepala. Berkaitan dengan toksisitas, ropivacaine dan
levobupivacaine tampak lebih aman dibandingkan dengan bupivacaine. Akan
tetapi, bupivacaine adalah anestesi lokal yang paling umum digunakan dalam
literatur.Archer pada tahun 1988 adalah satu-satunya penulis yang
melaporkan kasus klinis terkait dengan toksisitas anestesi lokal selama
kraniotomi terjaga.

Blok anestesi lokal dilakukan untuk memblok enam persarafan, yaitu:


1. saraf auriculotemporal (cabang mandibularsaraf trigeminal): infltrasi pada
prosesus zygomaticus dan distal arteri temporalis ;
2. saraf zygomaticotemporal ( berasal dari cabang maksilarissaraf trigeminal):
infltrasi dari tepi supraorbital hingga bagian posterior dari lengkung
zygomatic; injeksi dalam dan superfcial sangat disarankan, karena daerah di

8
atas fasia temporalis adalah yang paling sering dilaporkan mengalami nyeri
pasca operasi;
3. saraf supraorbital (akar saraf frontal yang berasal dari cabang ophtalmica
dari saraf trigeminal): infltrasi dari pangkal hidung ke titik tengah mata;
4. supratrochlear saraf (akar saraf frontal yang berasal dari cabang ophtalmica
dari saraf trigeminal): infltrasi bersama-sama dengan saraf supraorbital
5. nervus oksipital (ramus posteriorC2): infltrasi sekitar 2,5 cm lateral ke garis
tengah nuchal , langsung ke medial arteri oksipital;
6. saraf oksipital inferior (anteriorC2 dan C3): infltrasi 2,5 cm lateral dari
salah satu saraf oksipital yang lebih besar,

Blok saraf ini biasanya dilakukan pada sisi kulit kepala yang akan dibedah,
namun, Costello menyarankan agar dilakukan bilateral. Pada kondisi tertentu,
lokal anestesi dapat ditambahkan dengan menggunakan blok pleksus
cevicalis superfcial. Pada tahun 2000, Gebhard melaporkan kasus seorang
pria yang menyentak spontan pada ekstremitas atas dan bawah bagian kanan
saat menjalani kraniotomi terjaga untuk penanganan epilepsi. Dengan
demikian, kontrol penuh terhadap gerakan adalah prasyarat untuk operasi.
Blok interscalene, musculocutaneous, dan ulnar blok saraf, secara terus
menerus serta blok saraf femoral dilakukan untuk mencegah gerakan

VIII. Prosedur monitored anesthesia care (MAC)


Menurut ASA, MAC adalah protokol anestesI yang mencakup pemantauan dan
dukungan dari fungsi-fungsi vital. Anestesiolog memberikan obat penenang,
analgesik, dan hipnotik, serta menangangani segala masalah klinis yang
muncul, serta memberikan dukungan psikologis selama prosedur diagnostik
dan terapeutik. ASA merekomendasikan para operator MAC harus selalu siap
untuk mengkonversi protokolnya menjadi teknik anestesi umum bila
diperlukan. Teknik MAC berkembang seiring dengan perkembangan

9
penggunaan neuroleptoanalgesia terutama dengan penggunaan propofol
yang memungkinkan manajemen pasien yang lebih baik.

Dalam protokol MAC, tujuan pertama adalah untuk memastikan ventilasi


spontan yang memadai. Dalam teknik anestesi ini, manajemen jalan napas
adalah minimal dan non-invasif. Di sebagian besar pusat, pasien menerima
tambahan oksigen melalui nasal prongs atau masker wajah.
Kanula nasofaring mungkin menjadi alternatif yang baik, tetapi alat ini jarang
digunakan karena resiko perdarahan hidung. Kewaspadaan klinis yang
memadai tentang fungsi pernapasan diperlukan selama prosedur berlangsung.

IX. Teknik asleep-awake-asleep (AAA)


Pendekatan anestesi ini terdiri dari anestesi umum sebelum dan sesudah
pemetaan otak.
Teknik AAA kebanyakan dilakukan dengan pemberian propofol dan
remifentanil. Propofol, dibandingkan dengan volatile anestesi, meningkatkan
tekanan perfusi serebral, menurunkan gangguan monitoring neurofsiologis,
serta menurunkan insiden mual dan muntah.

Teknik AAA memiliki keuntungan dari segi kontrol jalan napas yang baik dan
sedasi yang mendalam, sehingga pasien tidak menderita rasa sakit atau
ketidaknyamanan. Namun demikian, pendekatan anestesi ini lebih kompleks
daripada MAC, terutama saat diperlukan reposisi perangkat jalan napas

X. Pemantauan intraoperatif
Pemantauan intraoperatif biasanya meliputi elektrokardiogram,pengukuran
tekanan darah invasif dan non-invasif, pulse oximetry (SpO2), laju pernapasan,
kapnograf (EtCO2), dan suhu tubuh. Biasanya, kateter urin juga dipasang. Jika
diperkirakan akan terjadi perdarahan yang banyak intraoperasi, maka perlu
dilakukan pemasangan kateter vena sentral. Pemantauan tekanan darah
invasif tidak dilakukan dalam semua rumah sakit. Akan tetapi dianggap perlu
untuk mengevaluasi perubahan tekanan arteri, PaCO2 dan parameter lainnya
yang berguna seperti hemoglobin, glukosa, dan elektrolit plasma.

EtCO2 diukur menggunakan berbagai perangkat yang berbeda: cannula


nasofaring, nasal prongs,

10
COPA, LMA, dan facial mask. Metode yang berbeda dilakukan untuk
mengukur volume CO2 yang dihembuskan, dan nilai ini penting untuk
mengamati kecenderungan nilai EtCO2 dan mengevaluasi apakah pasien hipo
atau hiperventilasi. pemasangan kateter urin berguna untuk prosedur yang
memakan waktu yang lama dan memonitor efek diuretik dari penggunaan
manitol. Meskipun demikian, sebagian ahli, tidak menggunakan kateter urin,
terutama jika operasi berlangsung kurang dari empat jam. Ahli yang lain hanya
menggunakan kateter urin untuk pasien perempuan

XI. Kesimpulan
Kraniotomi terjaga untuk reseksi tumor yang melibatkan area fungsional otak
adalah prosedur bedah yang memberikan hasil yang baik bagi pasien. Teknik
ini bersifat kompleks dan memerlukan kerjasama yang baik dari pasien serta
peralatan penunjang yang memadai. Anestesi pada teknik ini untuk
memberikan operasi yang ama, efektif, dan mengurangi distress psikofsik
pada pasien.

Pemilihan teknik anestesi, MAC atau AAA, harus sesuai dengan kemampuan
dan pengalaman ahli anestesi. Teknik AAA, lebih menuntungkan dari sisi
menghindari depresi nafas dan akses ke saluran napas yang lebih terlindung,
sehingga mengurangi komplikasi intraoperatif . Teknik AAA mungkin lebih
disukai untuk pasien dengan kasus yang lebih kompleks. Meskipun belum
pernah ada studi yang mendukung superioritasnya dibandingkan dengan
teknik MAC.

Untuk saat ini, propofol dan remifentanil adalah obat yang paling sering
digunakan untuk prosedur kraniotomi terjaga, terutama dengan sistem infus
TCI sehingga memungkinkan titrasi obat yang lebih baik, menghindari
oversedation dan depresi pernafasan. Sistem monitoring anestesi, seperti BIS,
sangat berguna dalam kraniotomi terjaga, bahkan jika tanda-tanda klinis
adekuat. Perencanaan yang matang, dan pengawasan yang ketat diperlukan
untuk mendapatkan hasil yang baik serta meningkatkan toleransi dan
menurunkan kejadian komplikasi.

11
Daftar Pustaka

1. Burchiel KJ, Clarke H, Ojemann GA, Dacey RG, Winn HR. Use of stimulation
mapping and corticography in the excision of arteriovenous malformations in
sensorimotorand language-related neocortex. Neurosurgery 1989;24:322-7.

12
2. Dufau H, Capelle L, Sichez JP, Faillot T, Abdennour L, Law Koune JD et al.
Intra-operative direct stimulations of thecentral nervous system: the Salptrire
experience with 60 patients. Acta Neurochir (Wien) 1999;141:1157-67.
3. Lders JC, Steinmetz MP, Mayberg MR. Awake craniotomy for microsurgical
obliteration of mycotic aneurysms: technical report of three cases.
Neurosurgery 2005;56:ONS-E201.
4. Bernstein M. Outpatient craniotomy for brain tumor: a pilot feasibility study
in 46 patients. Can J Neurol Sci 2001;28:120-4.
5. Blanshard HJ, Chung F, Manninen PH, Taylor MD, Bernstein M. Awake
craniotomy for removal of intracranial tumor: considerations for early
discharge. Anesth Analg 2001;92:89-94.
6. Saltarini M. Tecnica anestesiologica durante la awake craniotomy.In: Skrap
M, editor. Mappaggio corticale e craniotomie a paziente sveglio. Trento: New
Magazine Edizioni; 2004. p.73-6.
7. Manninen PH, Tan TK. Postoperative nausea and vomiting after craniotomy
for tumor surgery: a comparison between awake craniotomy and general
anesthesia. J Clin Anesth 2002;14:279-83.
8. Manninen PH, Balki M, Lukitto K, Bernstein M. Patient satisfaction with awake
craniotomy for tumor surgery: a comparison of remifentanil and fentanyl in
conjunction with propofol. Anesth Analg 2006;102:237-42.
9. Bulsara KR, Johnson J, Villavicencio A. Improvements in brain tumor surgery:
the modern history of awake craniotomies. Neurosurg Focus 2005;18-E5:1-3.

13

Anda mungkin juga menyukai