KONJUNGTIVITIS VERNALIS
Pembimbing:
dr. Ayu S. Bulo Oetoyo, Sp.M, M.Sc
Penyusun:
Shina Niko Apredo
030.14.176
1
LEMBAR PENGESAHAN
“Konjungtivitis Vernalis”
Disusun oleh :
Shina Niko Apredo
030.14.176
Mengetahui,
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Konjungtivitis Vernalis” tepat pada waktunya. Penyusunan referat ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUD Budhi Asih. Penulis mengucapkan
terima kasih sebesar besarnya kepada:
1. dr. Ayu S. Oetoyo, Sp.M, M.Sc selaku pembimbing dalam penyusunan
referat.
2. Seluruh staff SMF Mata RSUD Bushi Asih.
3. Rekan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Mata RSUD Budhi Asih.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, hal
tersebut tidak lepas dari segala keterbatasan kemampuan yang peneliti miliki.
Oleh karena itu bimbingan dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangatlah diharapkan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
pada gejala alergi mata merah pada musim panas dan awal musim gugur. Alergi
mata merah yang berkelanjutan terjadi sepanjang tahun; paling sering disebabkan
oleh tungau debu, bulu hewan, dan bulu ungas.1,2
2
BAB II
KONJUNGTIVITIS
2.1 Anatomi
Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea limbus.2
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel
goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva
terdiri atas tiga bagian, yaitu :
a. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar
digerakkan dari tarsus.
b. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya.
c. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat
peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
3
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak
4
tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus.
Hal ini menjelaskan gambaran reksi papiler pada radang konjungitiva.
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.3,4
d. Kelenjar air mata aksesori (kelenjar Krause dan wolfring), yang struktur
dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma.
Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan sedikit ada di
forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak ditepi atas tarsus atas.2
Palpebra
Palpebra merupakan organ yang membuka dan menutup mata, berguna
untuk melindungi bola mata terhadap trauma mekanis maupun kimia, trauma sinar
dan pengeringan terhadap bola mata. Palpebra terdiri dari dua bagian, superior
dan inferior. Pada bagian depan memiliki lapisan kulit yang tipis dan halus serta
dihubungkan oleh jaringan ikat yang rapat dengan jaringan otot di bagian
bawahnya, fungsinya untuk menggerakkan kulit keatas dan kebawah. Palpebra
bagian belakang ditutup oleh selaput lendir tarsus yang dinamakan konjungtiva
tarsal. Pada palpebra terdapat beberapa kelenjar seperti kelenjar sebasea, kelenjar
moll dan Zeis. Sekresi kelenjar Meibom berguna untuk menutup rapat margo
palpebral superior dan inferior pada waktu mengedip, sehingga air mata tidak
dapat meleleh ke pipi. Mekanisme perlindungan lain yaitu septum orbita yang
membatasi M. Orbikularis okuli posterior sebagai pembatas antara palpebral dan
orbita sehingga apabila timbul radang pada palpebral dijaga tidak menjalar ke
dalam orbita.1
Rangsangan benda asing akan menyebabkan proses mengedip, kelopak
mata menutup mulai dari lateral, terjadi pengeluaran air mata, diman lapisan
musin akan menangkap keberadaan benda asing dan segera air mata dipompakan
pada daerah tersebut sehingga secara merata tersebar dipermukaan kornea, terjadi
pengenceran materi benda asing untuk mengurangi resiko infeksi atau trauma
kecil, seperti debu atau uap yang bersifat irirtan.1
5
KONJUNGTIVITIS
2.2 Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan konjungtiva atau peradangan selaput
lendir yang menutupi kelopak dan bola mata dapat disebabkan oleh infeksi, alergi
maupun iritasi.1,3
2.3 Epidemiologi
Konjungtivitis dikenal sebagai mata merah, merupakan penyakit yang
umum pada anak anak. Anak-anak yang menderita radang tenggorokan biasanya
akan berlanjut menjadi konjungtivitis. Walaupun konjungtivitis dapat dengan
mudah menularkan kepada orang lain, penyakit ini jarang menjadi berat maupun
menyebabkan gangguan penglihatan apabila dapat dideteksi dini dan diterapi
dengan tepat. Konjungtivitis pada umumnya menyebabkan konjungtiva menjadi
merah dan meradang. 1,2
6
2.4.2 Konjungtivitis Infeksi
Penyebab konjungtivitis infeksi biasanya eksogen. Penyebab infeksi antara
lain, virus, bakteri, fungi dan parasite. Konjungtivits yang sering disebabkan oleh
bakteri diantaranya Streptokokus, Corynebacterium diphterica, Pseudomonas,
Neisseria dan Hemophillus. Konjungtivitis yang diakibatkan oleh hubungan
seksual dapat disebabkan oleh Chlamydia Trachomatis. Gejala yang ditimbulkan
hyperemia unilateral disertai secret yang mukoid, Konjungtiva tarsal lebih
hiperemis dibandingkan dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtivitis dapat juga disebabkan infeksi Adenovirus yang sering
menjadi penyebab flu, Herpes virus, Klamidia dan Citomegalovirus (CMV). Masa
inkubasi 5 – 12 hari. Gambaran Klinis berupa hiperemi konjungtiva bulbi (injeksi
Konjungtiva), lakrimasi, iritasi okuler yang awalnya unilateral dan berpindah
dengan cepat ke sebelahnya. Eksudat dengan secret yang lebih nyata di pagi hari,
pseudoptosis akibat edema kelopak, kemosis, hipertrofi papil, folikel pada
palpebral, pada kasus yang berat mata terasa seperti adanya benda asing.
2.4.3 Konjungtivitis Jamur
Konjungtivitis jamur biasanya disebabkan oleh Candida albicans dan
merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya
bercak putih yang dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan
sistem imun yang terganggu. Selain candida sp, penyakit ini juga bisa
disebabkan oleh Sporothtrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan
Coccidioides immitis walaupun jarang.
2.4.4 Konjungtivitis Virus
Konjungtivitis virus merupakan penyakit umum yang disebabkan oleh
berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat
menimbulkan cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan
dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan, 2010).
Konjungtivitis virus biasanya diakibatkan karena demam
faringokonjungtiva. Biasanya memberikan gejala demam, faringitis, secret
berair dan sedikit, folikel pada konjungtiva yang mengenai satu atau kedua
mata. Konjungtivitis ini biasanya disebabkan adenovirus tipe 3,4 dan 7 dan
7
penyebab yang lain yaitu organisme Coxsackie dan Pikornavirus namun sangat
jarang (Ilyas dkk, 2014 ; James dkk, 2005). Konjungtivitis ini mudah menular
terutama anak-anak yang disebarkan melalui kolam renang, Masa inkubasi
konjungtivitis virus 5-12 hari, yang menularkan selama 12 hari, dan bersifat
epidemic.
Pengobatan konjungtivitis virus hanya bersifat suportif karena dapat sembuh
sendiri. Diberikan kompres, astringen, lubrikasi, dan pada kasus yang berat
dapat diberikan antibotik dengan steroid topical
8
lain, penggunaan handuk secara bersama-sama, penggunaan sapu tangan atau
tisu secara bergantian, dan penggunaan bantal atau sarung bantal secara
bersama-sama.
BAB III
KONJUNGTIVITIS VERNALIS
3.2 Patofisiologi
Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang
insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV.
Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus, yang dengan
cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan
pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh
hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga terbentuklah
gambaran cobble stone. Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan warna
putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau.
Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut
pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang
9
mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai keratitis
serta erosi epitel kornea.2
Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi
dan hipertropi yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat, kekeruhan
pada limbus sering menimbulkan gambaran distrofi dan menimbulkan gangguan
dalam kualitas maupun kuantitas stem cells limbus. Kondisi yang terakhir ini
mungkin berkaitan dengan konjungtivalisasi pada penderita keratokonjungtivitis
dan di kemudian hari berisiko timbulnya pterigium pada usia muda. Di samping
itu, juga terdapat kista-kista kecil yang dengan cepat akan mengalami degenerasi.3
Pada bentuk palpebral, jaringan epitel membesar pada beberapa area dan
menular ke area lainnya. Kadangkala, eosinofil (warna kemerahan) tampak kuat
di antara sel-sel jaringan epitel. Perubahan yang menonjol dan parah terjadi pada
substansi propria (jaringan urat). Pada tahap awal jaringan terinfiltrasi dengan
limfosit, sel plasma, eosinofil, dan basofil. Sejalan dengan perkembangan
penyakit, semakin banyak sel yang berakumulasi dan kolagen baru terbentuk,
sehingga menghasilkan bongkol-bongkol besar pada jaringan yang timbul dari
lempeng tarsal. Terkait dengan perubahan-perubahan tersebut adalah adanya
pembentukan pembuluh darah baru dalam jumlah yang banyak. Peningkatan
jumlah kolagen berlangsung cepat dan menyolok.1,3,4
Pada bentuk limbal terdapat perubahan yang sama, yaitu:
perkembangbiakan jaringan ikat, peningkatan jumlah kolagen, dan infiltrasi sel
plasma, limfosit, eosinofil dan basofil ke dalam stroma. Penggunaan jaringan
yang dilapisi plastik yang ditampilkan melalui mikroskopi cahaya dan elektron
dapat memungkinkan beberapa observasi tambahan. Basofil sebagai ciri tetap dari
penyakit ini, tampak dalam jaringan epitel sebagaimana juga pada substansi
propria. Walaupun sebagian besar sel merupakan komponen normal dari substansi
propia, namun tidak terdapat jaringan epitel konjungtiva normal.4,7
Walaupun karakteristik klinis dan patologi konjungtivitis vernalis telah
digambarkan secara luas, namun patogenesis spesifik masih belum dikenali.
10
3.3 Gambaran Histopatologi
Tahap awal konjungtivitis vernalisis ditandai oleh fase prehipertrofi.
Dalam kaitan ini, akan tampak pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan
papil yang ditutup oleh satu lapis sel epitel dengan degenerasi mukoid dalam
kripta di antara papil serta pseudomembran milky white. Pembentukan papil ini
berhubungan dengan infiltrasi stroma oleh sel-sel PMN, eosinofil, basofil, dan sel
mast.6
Hasil penelitian histopatologik terhadap 675 konjungtivitis vernalisis mata
yang dilakukan oleh Wang dan Yang menunjukkan infiltrasi limfosit dan sel
plasma pada konjungtiva. Prolifertasi limfosit akan membentuk beberapa nodul
limfoid. Sementara itu, beberapa granula eosinofilik dilepaskan dari sel eosinofil,
menghasilkan bahan sitotoksik yang berperan dalam kekambuhan konjungtivitis.
Dalam penelitian tersebut juga ditemukan adanya reaksi hipersensitivitas. Tidak
hanya di konjungtiva bulbi dan tarsal, tetapi juga di fornix, serta pada beberapa
kasus melibatkan reaksi radang pada iris dan badan siliar.7,8
Fase vaskular dan selular dini akan segera diikuti dengan deposisi kolagen,
hialuronidase, peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta reduksi sel
radang secara keseluruhan. Deposisi kolagen dan substansi dasar maupun seluler
mengakibatkan terbentuknya deposit stone yang terlihat secara nyata pada
pemeriksaan klinis. Hiperplasia jaringan ikat meluas ke atas membentuk giant
papil bertangkai dengan dasar perlekatan yang luas. Kolagen maupun pembuluh
darah akan mengalami hialinisasi. Epiteliumnya berproliferasi menjadi 5–10 lapis
sel epitel yang edematous dan tidak beraturan. Seiring dengan bertambah
besarnya papil, lapisan epitel akan mengalami atrofi di apeks sampai hanya
tinggal satu lapis sel yang kemudian akan mengalami keratinisasi.5
Pada limbus juga terjadi transformasi patologik yang sama berupa
pertumbuhan epitel yang hebat meluas, bahkan dapat terbentuk 30-40 lapis sel
(acanthosis). Horner-Trantas dot`s yang terdapat di daerah ini sebagian besar
terdiri atas eosinofil, debris selular yang terdeskuamasi, namun masih ada sel
PMN dan limfosit
11
3.4 Manifestasi Klinis 3
Gejala yang mendasar adalah rasa gatal, manifestasi lain yang menyertai
meliputi mata berair, sensitif pada cahaya, rasa pedih terbakar, dan perasaan
seolah ada benda asing yang masuk. Penyakit ini cukup menyusahkan, muncul
berulang, dan sangat membebani aktivitas penderita sehingga menyebabkan ia
tidak dapat beraktivitas normal.6
Terdapat dua bentuk klinik konjungtivitis vernalisis, yaitu :
1. Bentuk palpebra, terutama mengenai konjungtiva tarsal superior. Terdapat
pertumbuhan papil yang besar (cobble stone) yang diliputi sekret yang
mukoid. Konjungtiva tarsal bawah hiperemi dan edema, dengan kelainan
kornea lebih berat dibanding bentuk limbal. Secara klinik papil besar ini
tampak sebagai tonjolan bersegi banyak dengan permukaan yang rata dan
dengan kapiler ditengahnya.2,3,6
2. Bentuk limbal, hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat membentuk
jaringan hiperplastik gelatin, dengan Trantas dot yang merupakan degenerasi
epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya
pannus, dengan sedikit eosinofil.1
12
3.5 Diagnosis dan Diagnosis banding
Anamnesis yang teliti mengenai keluhan pasien dan riwayat terdahulu
sangat penting dalam menegakkan diagnosis konjungtivitis vernalisis. Selanjutnya
diagnosis ditegakkan sesuai dengan gejala dan tanda klinis serta hasil pemeriksaan
mata. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berupa kerokan konjungtiva
untuk mempelajari gambaran sitologi. Hasil pemeriksaan menunjukkan banyak
eosinofil dan granula-granula bebas eosinofilik. Di samping itu, terdapat basofil
dan granula basofilik bebas. 3
Walaupun secara prinsip konjungtivitis vernalis sangat berbeda dengan
trakhom dan konjungtivitis demam rumput, namun seringkali gejalanya
membingungkan dengan dua penyakit tersebut. Trakhoma ditandai dengan
banyaknya serabut-serabut sejati yang terpusat, sedangkan pada konjungtivitis
vernalis jarang tampak serabut sejati. Pada trakhom, eosinofil tidak tampak pada
kikisan konjungtiva maupun pada jaringan, sedangkan pada konjungtivitis
vernalis, eosinofil memenuhi jaringan. Trakhom meninggalkan parut-parut pada
tarsal, sedangkan konjungtivitis vernalis tidak, kecuali bila terlambat ditangani.
Tanda konjungtivitis demam rumput adalah edema, sedangkan tanda
konjungtivitis vernalis adalah infiltrasi selular. Demam rumput memiliki
karakteristik sedikit eosinofil, tidak ada sel mastosit pada jaringan epitel, tidak ada
peningkatan sel mastosit pada substantia propria, dan tidak terdapat basofil,
sedangkan konjungtivitis vernalis memiliki karakteristik adanya tiga serangkai,
yaitu: sel mastosit pada jaringan epitel, adanya basofil, dan adanya eosinofil pada
jaringan.6
13
trakoma). Pada deretan “beads” tarsal atas dan
konjungtiva tarsal (kasus bawah, diselimuti
lanjut) granula lapisan susu
(menyerupai butir sagu)
dan parut, terutama
konjungtivatarsal atas
Ukuran lesi Penonjolan besar lesi Penonjolan kecil Penonjolan besar
Lokasi lesi konjungtiva tarsal atas terutama tipe tarsus atau
dan teristimewa lipatan konjungtiva palpebra;
retrotarsal kornea-panus, tarsal bawah dan konjungtiva tarsus
bawah infiltrasi abu-abu forniks bawah terlibat, forniks
dan pembuluh tarsus tarsus tidak bebas. Tipe limbus
terlibat. terlibat. atau bulbus; limbus
terlibat forniks
bebas, konjungtiva
tarsus bebas (tipe
campuran lazim)
tarsus tidak terlibat.
Tipe sekresi Kotoran air berbusa atau Mukoid atau Bergetah, bertali,
“frothy” pada stadium purulen seperti susu
lanjut.
Pulasan Kerokan epitel dari Kerokokan tidak Eosinofil
konjungtiva dan kornea karakteristik karakteristik dan
memperlihatkan (Koch-Weeks, konstan pada
ekfoliasi, proliferasi, Morax- sekresi
inklusi seluler. Axenfeld,
mikrokokus
kataralis
stafilokokkus,
pneumokokkus)
Penyulit atau Kornea: panus, Kornea: ulkus Kornea: infiltrasi
sekuela kekeruhan kornea, kornea kornea (tipe limbal)
xerosis, kornea Palpebra: Palpebra:
Konjungtiva: simblefaron blefaritis, pseudoptosis (tipe
Palpebra: ektropion atau ektropion tarsal)
entropion trikiasis
14
3.6 Komplikasi
Dapat menimbulkan keratitis epitel atau ulkus kornea superfisial sentral atau
parasentral, yang dapat diikuti dengan pembentukan jaringan sikatriks yang
ringan. Penyakit ini juga dapat menyebabkan penglihatan menurun. Kadang-
kadang didapatkan panus, yang tidak menutupi seluruh permukaan kornea.
Perjalanan penyakitnya sangat menahun dan berulang, sering menimbulkan
kekambuhan terutama di musim panas.
3.7 Penatalaksanaan
Karena konjungtivitis vernalisis adalah penyakit yang sembuh sendiri, perlu
diingat bahwa medikasi yang dipakai terhadap gejala hanya memberi hasil jangka
pendek, berbahaya jika dipakai jangka panjang.2 Penatalaksanaan konjungtivitis
vernalisis berdasarkan luasnya symptom yang muncul dan durasinya, yaitu :
1. Terapi Non-medikamentosa
Dalam hal ini mencakup tindakan-tindakan konsultatif yang
membantu mengurangi keluhan pasien berdasarkan informasi hasil
anamnesis. Beberapa tindakan tersebut antara lain:
Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan
tangan atau jari tangan, karena telah terbukti dapat
merangsang pembebasan mekanis dari mediator-mediator sel
mast. Di samping itu, juga untuk mencegah superinfeksi
yang pada akhirnya berpotensi ikut menunjang terjadinya
glaukoma sekunder dan katarak.
Pemakaian mesin pendingin ruangan berfilter;
Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga
membawa serbuksari;
Menggunakan kaca mata berpenutup total untuk mengurangi
kontak dengan alergen di udara terbuka. Pemakaian lensa
kontak justru harus dihindari karena lensa kontak akan
membantu retensi allergen;
Kompres dingin di daerah mata;
15
Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci
mata juga berfungsi protektif karena membantu menghalau
allergen;
Memindahkan pasien ke daerah beriklim dingin yang sering
juga disebut sebagai climato-therapy.
2. Terapi Medikamentosa
Untuk terapi topikal dapat diberikan terapi medikamentosa
yakni:
- anti alergi dan vasokonstriksi mata (vernacel) 3x/hari
- asam chromoglicate tetes mata (Conver) 3x/hari
- steroid tetes mata (Xitrol, Tobroson) 3x/hari
Pada kasus yang lebih parah, bisa juga digunakan steroid
sistemik seperti prednisolone asetat, prednisolone fosfat 1%, 6 -8
kali sehari selama 2 minggu, atau deksamethason fosfat 2–3 tablet 4
kali sehari selama 1-2 minggu. Satu hal yang perlu diingat dalam
kaitan dengan pemakaian preparat steroid adalah “gunakan dosis
serendah mungkin dan sesingkat mungkin”.
Antihistamin, baik lokal maupun sistemik, dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan lain, karena kemampuannya untuk
mengurangi rasa gatal yang dialami pasien. Apabila dikombinasi
dengan vasokonstriktor, dapat memberikan kontrol yang memadai
pada kasus yang ringan atau memungkinkan reduksi dosis.
3. Terapi Bedah
Terapi pembedahan exterpasi cobble stone apabila terdapat
cobble stone yang besar dan mengganggu. Namun, terapi ini kini
sudah ditinggalkan mengingat banyaknya efek samping dan
terbukti tidak efektif, karena dalam waktu dekat akan tumbuh lagi.
16
3.8 Prognosis
Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat
sembuh spontan. Namun, kondisi ini dapat terus berlanjut dari waktu ke waktu,
dan semakin memburuk selama musim-musim tertentu.8
17
BAB IV
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2015
2. Riordan P- Eva, Whitcher JP. Vaughan & Ausbry : Oftalmologi Umum. Ed.
17. Jakarta : EGC. 2009
3. Ventocilla M, Roy H. Allergic Conjunctivitis. Medscape. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview (acces 1st March
2015).
4. Paulsen F. & J. Waschke. Sobotta Atlas of Human Anatomy :Head, Neck
Neuroanatomy. Jakarta : EGC. 2013
5. Sitorus RS et al editors. Buku Ajar Oftalmologi. Jakarta:Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2017
6. White ML,Chodos J. Herpes Simplex Virus Keratitis:A Treatment Guaidline.
American Academy Of Ophtalmology.2014
7. Kanski’s Clinical Ophtalmology.Ed 8. Elsevier.2016
8. Khurana AK. Comprehensive Opthalmology. Ed 4. New Age International:
New Delhi. 2007. Pg. 80-82; 90-110; 170-3
9. Tanto C et al editors. Kapita Selekta Kedokteran. Ed 4. Jakarta:Media
Aesculapius.2014:373-7
10. Sherrwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Ed 8.
Jakarta:EGC.2013
19