STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 52 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Cabean Kulon, Semarang
Pekerjaan : Serabutan
Tanggal periksa : 13 Januari 2016
No. RM : 15-16-XXXXX
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Lemah anggota gerak sebelah kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan lemah anggota gerak badan
sebelah kiri 2 jam SMRS. Pasien juga tiba-tiba tidak bisa bicara dan pasien tidak
mengerti apa yang dibicarakan oleh keluarga. Pasien tampak bingung dan lemas.
Menurut keluarga, pasien sebelumnya mengeluh pusing (+) cekot-cekot, mual (-),
muntah (-), demam (-), riwayat trauma (-). Sejak 2 hari SMRS pasien susah untuk
pasien. Riwayat penyakit jantung (-), darah tinggi (-), stroke (-), penyakit kencing manis
Status Generalisata
jantung
Pulmo
penurunan.
Tidak ada nyeri tekan pada lapang paru.
Perkusi : sonor
Suara dasar vesikuler : +/+ (positif di lapang paru kanan dan kiri)
Suara rokhi : -/- (tidak terdengar di lapang paru kanan dan kiri)
Suara wheezing : -/- (tidak terdengar di kedua lapang paru)
Abdomen
Bentuk supel (+)
Peristaltik usus (+) normal
Nyeri tekan (-)
Extremitas
Akral hangat : (+) baik di ekstremitas atas maupun bawah
CRT : <2 detik
Udem pitting: -
Status Neurologis
3 Oculomotorius - Ptosis - -
- Ukuran Pupil 3 mm 3 mm
- Bentuk Pupil Bulat Bulat
- Refleks Cahaya
+ +
pada Pupil
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- CT Scan Kepala tanpa kontras
Kesan
- Gambaran SNH luas di daerah substansia grycea dan alba lobus
frontotemporoparietalis Sn
- Gambaran TIK yang meningkat
- Diduga adanya penyempitan/sumbatan pada arteri cerebri madia sn
- Pemeriksaan darah
E. ASSESTMENT
Diagnosis klinis : hemiparese sinistra, afasia motoric, afasia sensorik
Diagnosis etiologi : SNH, afasia global
Diagnosis topis : hemisphere dextra, area Broca, area Wernicke
F. TREATMENT
- Infus RL + drip mecobalamin 20 tpm
- Infus manitol 6x100cc
- Injeksi piracetam 4x3 gr
- Injeksi Citicolin 2x500 mg
- Clopidogrel 1x75 mg
- Gabapentin 2x150 mg
- Amlodipine 1x10 mg
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
Area 39
Talamus
Korteks motorik
B. Definisi
Pengertian tentang aphasia, masing-masing ahli memberikan batasan yang
berbeda-beda, akan tetapi pada intinya sama. Seperti yang dikemukakan:
1. Wood (1971) mengatakan bahwa aphasia merupakan “parsial or complete loss of
ability to speak or to comprehend the spoken word due to injury, disease. Or
maldevelopment of brain.” (Kehilangan kemampuan untuk bicara atau untuk
memahami sebagaian atau keseluruhan dari yang diucapkan oleh orang lain, yang
diakibatkan karena adanya gangguan pada otak).
2. Wiig dan Semel (1984) bahwa Aphasia as involving those who have acquired a
language disorder because of brain damage resulting in impairment of language
comprehension formulation, and use. (Mereka yang memiliki gangguan pada
perolehan bahasa yang disebabkan karena kerusakan otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan dalam memformulasikan pemahaman bahasa dan pengguanaan
bahasa).
Jadi pengertian aphasia secara umum berkaitan dengan disorder of brain, injury
of the brain. Selanjutnya sekarang ini banyak perbedaan dari tipe-tipe aphasia atau kondisi-
kondisi yang dikaitkan dengan aphasia seperti agnosia, paraphasia dan dysprosody.
Gangguan bahasa aphasia dikelompokkan kepada masalah receptive dan ekspresive.
Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan otak.
Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan bahasa (disebut juga disfasia), gangguan
bicara motorik murni, ataupun gangguan berbahasa sekunder akibat gangguan pikiran
primer, misalnya skizofrenia.
Afasia mencakup gangguan berbahasa secara menyeluruh walaupun biasanya
terdapat gangguan yang lebih menonjol daripada gangguan lainnya. Tercakup di dalam
afasia adalah gangguan yang lebih selektif, misalnya gangguan membaca (alexia) atau
gangguan menulis (agrafia). Gangguan yang berkaitan misalnya apraksia (gangguan belajar
atau ketrampilan), gangguan mengenal (agnosia), gangguan menghitung (akalkulias), serta
defisit perilaku neurologis seperti demensia dan delirium. Ini semua bisa muncul bersama-
sama dengan afasia atau muncul sendiri.
C. Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat
cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau parietal yang
mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area Broca, Area Wernicke, dan jalur yang
menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer kiri otak dan
pada kebanyakan orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan berbahasa
diatur .
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke,
cedera otak traumatik, perdarahan otak aku dan sebagainya. Afasia dapat muncul perlahan-
lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek samping yang langka
dari fentanyl, suatu opioid untuk penanganan nyeri kronis
D. Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi Afasia
Bentuk Komprehensi Komprehensi
Ekspresi Repetisi Menamai Menulis Lesi
Afasia verbal membaca
Ekspresi Tak Relatif Terganggu Terganggu Bervariasi Tergang Frontal
(Broca) lancar terpelihara gu Inferior
posterior
Reseptif Lancar Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Tergang Temporal
(Wermicke) gu Superior
Posterior
(Area
Wernicke)
Global Tak Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Tergang Fronto
lancar gu temporal
Konduksi Lancar Relatif Terganggu Terganggu Bervariasi Tergang Fasikulus
terpelihara gu arkualtus,
girus
supramargina
l
Nominal Lancar Relatif Terpelihar Terganggu Bervariasi Bervaria Girus
terpelihara a si angular,
temporal
superior
posterior
Transkortikal Tak Relatif Terpelihar Terganggu Bervariasi Tergang Peri sylvian
motor lancar terpelihara a gu anterior
Transkortikal Lancar Terganggu Terpelihar Terganggu Terganggu Tergang PerisylvianP
sensorik a gu osterior
E. Patofisiologi
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada manusia,
fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada 96-99% orang
yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada
pasien yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri.
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau penyakit
degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur kemampuan berbahasa,
yaitu area Broca dan area Wernicke.
Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas pelaksanaan
motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan dalam artikulasi tetapi
penderita bisa memahami bahasa dan tulisan.
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik penerima
untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan penurunan hebat
kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa.
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas.
Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal. Afasia
juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara area Broca
dan area Wernicke.
F. Penegakan Diagnosis
Diagnosis afasia ialah berdasarkan tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik dan kejiwaan. Sedangkan pemeriksaan tambahan lainnya dilakukan untuk
mengetahui penyebab kerusakan otaknya.
1. Afasia yang lancar (Fluent)
Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi dan irama baik, tetapi isi bicara
tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti artinya. Penderita tidak dapat mengerti
bahasa sehingga tidak dapat berbicara kembali. Gambaran klinisnya ialah :
a. Keluaran bicara yang lancar
b. Panjang kalimat normal
c. Artikulasi dan irama bicara baik
d. Terdapat parafasia
e. Kemampuan memahami pendengaran dan membaca buruk
f. Repetisis terganggu
g. Menulis lancar tadi tidak ada arti
Seorang afasia yang non-fluen mungkin akan mengatakan dengan tidak lancar dan
tertegun-tegun: “mana… rokok… beli.” Sedangkan seorang afasia fluen mungkin akan
mengatakan dengan lancar: “rokok beli tembakau kemana situ tadi gimana dia toko
jalan ”
2. Afasia Tidak Lancar
Pada afasia ini, output atau keluaran bicara terbatas. Penderita menggunakan
kalimat pendek dan bicara dalam bentuk sederhana. Sering disertai artikulasi dan irama
bicara yang buruk. Gambaran klinisnya ialah :
a. Pasien tampak sulit memulai bicara
b. Panjang kalimat sedikit (5 kata atau kurang per kalimat)
c. Gramatika bahasa berkurang dan tidak kompleks
d. Artikulasi umumnya terganggu
e. Irama bicara terganggu
f. Pemahaman cukup baik, tapi sulit memahami kalimat yang lebih kompleks
g. Pengulanan (repetisi) buruk
h. Kemampuan menamai, menyebut nama benda buruk
3. Afasia Wernicke
Disebut juga afasia sensorik atau afasia perseptif. Disebabkan oleh lesi di daerah
antara bagian belakang lobus temporalis, lobus oksipitalis dan lobus parietalis dari
hemisfer kiri (dominan) yaitu area Wernicke. Pada afasia ini kemampuan untuk
mengerti bahasa verbal dan visual terganggu atau hilang sama sekali. Tetapi
kemampuan untuk secara aktif mengucapkan kata-kata dan menulis kata-kata masih
ada, kendatipun apa yang diucapkan dan ditulis tidak mempunyai arti sama sekali.
Penderita dengan afasia ini tidak mengerti lagi bahasa yang didengarnya walaupun ia
tidak tuli. Ia pun tidak mengerti lagi isi surat yang dibacanya, walaupun ia tidak buta
huruf. Penyimpanan “storage” berikut proses “coding” dari apa yang didengar dan
ditulis terjadi di daerah Wernicke. Jika daerah tersebut rusak, proses “decoding” tidak
akan menghasilkan apa-apa. Hilangnya pengertian berarti juga hilangnya gnosis dan
kognisio. Oleh karena kata dan tulisan yang masih dapat diucapkan dan ditulis oleh
seorang penderita tidak lagi dikenal dan diketahui, maka dia akan “berbicara” dan
“menulis” suatu bahasa yang tidak dimengerti oleh dirinya sendiri ataupun orang lain.
Adakalanya “bahasa baru” (neologisme) mengandung kata-kata yang menyerupai kata-
kata yang wajar, tetapi kebanyakan merupakan ocehan yang tidak mempunyai arti.
Ocehan itu dinamakan juga “jargon aphasia” .
Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah bahasa bagian
posterior. Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin besar kemungkinan
lesi mencakup bagian posterior dari girus temporal superior. Bila pemahaman kata
tunggal terpelihara, namun kata kompleks terganggu, lesi cenderung mengenai daerah
lobus parietal, ketimbang lobus temporal superior. Afasia jenis Wernicke dapat juga
dijumpai pada lesi subkortikal yang merusak isthmus temporal memblokir signal aferen
inferior ke korteks temporal.
Semacam afasia sensorik yang ringan, yang dikenal sebagai “tuli kata-kata” (“word-
deafness”), bisa dijumpai. Dalam hal itu, penderita sama sekali tidak mengerti bahasa
verbal yang didengarnya, tetapi ia masih bisa mengerti bahasa tertulis dengan baik.
Juga afasia sensorik yang dinamakan “buta kata-kata” (“word-blindness”) pada mana
bahasa verbal masih bisa dimengerti, tetapi bahasa visual tidak mempunyai arti
baginya, jarang dijumpai. Tuli kata-kata dan buta kata-kata timbul akibat lesi kecil di
sekitar daerah Wernicke, yang terletak baik di lobus temporalis ataupun parietalis
bahkan lobus oksipitalis.
Sebagai suatu varian dari buta kata-kata ialah agrafia, akalkulia dan aleksia reseptif.
Dalam hal agrafia ekspresif (akibat lesi di sekitar daerah broca), ekspresi melalui
berbahasa ikut terganggu. Jika kemampuan untuk mengerti bahasa verbal masih utuh
tetapi daya untuk mengerti bahasa tertulis hilang, maka dinamakan gejala tersebut
agrafia reseptif. Demikian juga arti istilah akalkulia reseptif, dimana penderita masih
bisa mengerti mengerti bahasa verbal tetapi ia tidak dapat mengerti soal-soal yang
menyangkut hitung berhitung. Pada aleksia reseptif, hanya kemampuan untuk mengerti
apa yang dibaca terganggu, sedangkan ia masih mengerti bahasa verbal. Lesi-lesi yang
relevan bagi afasia reseptif fraksional itu terbatas pada girus angularis dan
supramarginalis. Girus yang tersebut pertama terletak di ujung sulkus temporalis
superior dan girus yang tersebut terakhir terletak di ujung fisura serebri lateralis Sylvii.
Afasia reseptif lesinya terletak di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu
banyak, cara mengucapkan baik dan irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan
berat pada memformulasi dan menamai sehingga kalimat yang diucapkan tidak
mempunyai arti. Bahasa lisan dan tulisan tidak atau kurang dipahami, dan menulis
secara motorik terpelihara, namun isi tulisan tidak menentu. Pasien tidak begitu sadar
akan kekurangannya.
Gambaran klinik afasia Wernicke :
a. Keluaran afasik yang lancar
b. Panjang kalimat normal
c. Artikulasi baik
d. Prosodi baik
e. Anomia (tidak dapat menamai)
f. Parafasia fonemik dan semantik
g. Komprehensi auditif dan membaca buruk
h. Repetisi terganggu
i. Menulis lancar tapi isinya "kosong"
4. Afasia konduksi
Merupakan ketidakmampuan mengulangi kata atau kalimat lawan bicara terutama
yang multisilabis (bersuku kata banyak). Namun penderita masih mampu mengeluarkan
isi pikiran dan menjawab kalimat lawan bicaranya meskipun bahasa verbalnya
terganggu. Afasia konduksi merupakan kerusakan pada fasikulus arcuata yang
berdampak pada transmisi informasi dari daerah Wernicke ke daerah Brocca. Lokasi
lesi atau kerusakan tersebut berada pada girus supramarginalis dari hemisfer yang
dominan (area transisional antara lobus temporalis posterior dan lobus parietalis).
Gejala kerusakan ini karena informasi leksikal dari daerah Wernicke tidak dapat
dipindahkan ke daerah Brocca, sehingga ujarannya secara semantic tidak padu (tidak
koheren).
Afasia konduksi merupakan gangguan berbahasa yang lancar (fluent) yang ditandai
oleh gangguan berat pada repetisi, kesulitan dalam membaca kuat-kuat (namun
pemahaman dalam membaca baik), gangguan dalam menulis, parafasia yang jelas,
namun umumnya pemahaman bahasa lisan terpelihara. Terputusnya hubungan antara
area wernicke dan broca diduga menyebabkan kelainan ini. Terlibatnya girus
supramarginal, sering lesi di massa alba subkortikal-dalam korteks parietal inferior dan
mengenai fasikulus arkuatus yang menghubungkan korteks temporal dan frontal.
5. Afasia anomik
Disebut juga afasia nominatif atau afasia amnestik, merupakan afasia motorik yang
ringan. Penderitanya tidak bisa menemukan simbolik verbal dari benda yang
diperlihatkan kepadanya (tidak mampu menamai benda yang dihadapkan kepadanya).
Berbicara spontan biasanya lancar dan kaya gramatika, namun sering tertegun mencari
kata dan terdapat parafasia mengenai nama objek. Ia tahu abstraksi dari benda tersebut
dalam pikiran, tetapi lafal dari abstraksi itu tidak bisa dinyatakan. Misalnya penderita
diminta untuk menyebut nama benda yang disodorkan kepadanya. Ia bisa menjawab
sebagai berikut : “itu…itu,’tu, tulis-tulis”. Tetapi ia tidak bisa temukan atau ucapkan
kata “pensil”. Baru setelah dibantu dengan mengucapkan suku pertama kata “pensil”,
penderita dapat meneruskannya “pen…sil”. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
penyimpanan kata pensil utuh, juga persandian abstraksi masih utuh. Tetapi “decoding”
dari abstraksi terganggu.
Afasia jenis ini membuat penderita tidak mampu menyebut nama benda yang
dilihat, angka, huruf, bentuk benda dan kata kerja dari gambar yang dilihat. Ia juga
tidak bisa menyebutkan nama binatang yang didengar suaranya atau benda yang diraba.
Afasia ini merupakan yang relatif ringan. Letak lesinya tidak tentu, tapi bisa di girus
angular dan temporal superior posterior atau berada antara daerah Brocca dan
Wernicke. Pada penemuan postmortem memperkirakan bahwa tipe afasia ini
disebabkan oleh lesi yang mengganggu serat-serat assosiasi yang menghubungkan area
sensorik bicara dengan region hipokampus. Lesi biasanya tumor dan kadang-kadang
suatu abses otogenus dalam substansia alba yang lebih dalam dari bagian posterior dan
basal lobus temporalis (kemungkinan area 37) atau suatu proses atrofi, seperti misalnya
versi lobus temporalis dari penyakit Pick. Gambaran klinik alasia anomik.
a. Keluaran lancar
b. Komprehensi baik
c. Repetisi baik
d. Gangguan (defisit) dalam menemukan kata.
6. Afasia transkortikal
Afasia transkortikal secara umum ditandai oleh repetisi bahasa yang baik
(terpelihara), namun fungsi bahasa lainnya terganggu. Afasia transkortikal disebabkan
oleh lesi yang luas, berupa infark berbentuk bulan sabit, di dalam zona perbatasan
antara pembuluh darah serebral mayor (misalnya di lobus frontal antara daerah arteri
serebri anterior dan media). Dipercaya bahwa afasia ini disebabkan oleh terpisahnya
area bicara sensorik dari korteks, sisanya karena gangguan sirkulasi dalam korteks dan
substansia alba sepanjang zona batas arterial antara arteri serebri anterior, media dan
posterior. Lesi ini tidak mengenai atau tidak melibatkan korteks temporal superior dan
frontal inferior (area 22 dan 44 dan lingkungan sekitar) dan korteks peri sylvian
parietal. Korteks peri sylvian yang utuh ini dibutuhkan untuk kemampuan mengulang
yang baik.Keyakinan ini berasal dari kejadian keadaan tersebut dalam kasus henti
jantung sementara tanpa mempertimbangkan penyebabnya. Dibagi menjadi :
a. Afasia transkortikal motorik (masuk afasia non-fluent)
Pasien dengan afasia ini mampu mengulang (repetisi), memahami dan
membaca, namun dalam bicara spontan terbatas, seperti pasien dengan afasia broca.
Gambaran kliniknya yaitu ekspresi tidak lancar (non-fluent), pemahaman verbal
relative terpelihara, pengulangan baik, menamai terganggu, ungkapan-ungkapan
singkat, parafasia semantik, ekolali, pemahaman (komprehensi) baik. Biasanya
akibat lesi di anterior atau superior dari area broca. Gambaran klinik afasia motorik
transkortikal (1,8):
1) Keluaran tidak lancar (non fluent)
2) Pemahaman (komprehensi) baik
3) Repetisi baik
4) Inisiasi ot/fpunerlambat
5) Ungkapan-ungkapan singkat
6) Parafasia semantik
7) Ekholalia
Untuk jenis afasia ini digunakan juga istilah awam “pure word-dumbness”
atau bisu kata-kata yang tulen. Jika seorang afasia motorik masih bisa membeo,
namun tidak mampu lagi untuk mengeluarkan kata-kata sebagai cara ekspresi
aktifnya, maka afasia motorik semacam itu disebabkan oleh suatu lesi kortikal yang
agak besar di antara daerah broca dan wernicke. Afasia motorik berat dengan masih
adanya kemampuan untuk membeo ini dinamakan afasia motorik transkortikal.
Afasia transkortikal motorik terlihat pada lesi di perbatasan anterior yang
menyerupai huruf c terbalik.
b. Afasia transkortikal sensorik
Ini adalah afasia yang berkaitan dengan hilangnya pemahaman pendengaran
dan penglihatan dan kata-kata dan ketidakmampuan untuk menulis dan membaca
dengan pengertian. Kata-kata yang diucapkan dapat diulang, tapi artinya tidak dapat
dimengerti. Gambaran klinisnya, yaitu ekspresi lancar (fluent), pemahaman verbal
terganggu, pengulangan baik, menamai terganggu, pemahaman membaca
terganggu, menulis terganggu, defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai,
didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan. Biasanya akibat lesi di area
informasi dari nonbahasa area ke cerebrum tidak bisa di transfer ke area wernicke’s
untuk diubah menjadi suatu bentuk bahasa. Afasia ini dapat mengulang (repetisi)
baik, namun tidak memahami apa yang didengarnya atau yang diulanginya.
Gambaran klinik afasia sensorik transkortikal :
1) Keluaran (output) lancar (fluent)
2) Pemahaman buruk
3) Repetisi baik
4) Ekholalia
5) Komprehensi auditif dan membaca terganggu
6) Defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai
7) Didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan.
c. Afasia transkortikal campuran
Gambaran klinisnya, yaitu tidak lancar (non-fluent), komprehensi buruk,
repetisi baik dan ekolali yang mencolok. Penyebab paling sering dari afasia
transkortikal ialah anoksia sekunder terhadap sirkulasi darah yang menurun, seperti
yang dijumpai pada henti jantung, oklusi atau stenosis berat arteri karotis, anoksia
oleh keracunan karbon monoksida dan demensia. Gambaran klinik afasia
transkortikal campuran :
1) Tidak lancar (nonfluent)
2) Komprehensi buruk
3) Repetisi baik
4) Ekholalia mencolok
7. Afasia Brocca
Disebut juga sebagai afasia motorik atau afasia ekspresif. Disebabkan oleh lesi di
bagian posterior daerah girus ketiga frontal dari hemisfer kiri (dominan) yaitu sekitar
area Brocca (area 44). Afasia Brocca terberat ialah jika penderita sama sekali tidak
dapat mengeluarkan kata-kata. Adakalanya hanya dapat mengucapkan “ya” atau “he-
ng” saja, sambil menganggukan kepalanya. Namun demikian ia masih mengerti bahasa
verbal dan visual. Juga perintah-perintah untuk melakukan sesuatu (praksis) bisa
dilaksanakan sesuai dengan makna perintah. Ketidak mampuan untuk menyatakan
pikirannya dengan kata-kata menjengkelkan penderita. Dan lebih-lebih menekan
jiwanya adalah bahwa ia sadar akan apa yang hendak diucapkan, tetapi ia tidak mampu
mengucapkan kata-kata yang terkandung dalam fikirannya. Jadi bahasa internalnya
masih utuh. Pada afasia motorik umumnya kemampuan untuk menulis kata-kata masih
tidak terganggu, tetapi bisa juga terjadi adanya agrafia (hilangnya kemampuan untuk
ekspresi dengan tulisan). Pada afasia motorik yang terberat, adakalanya kata-kata yang
bersifat ledakan-ledakan emosional masih bisa diucapkan secara spontan misalnya “da-
ilah”, “asu”, “G..verdom”, dan sebagainya.
Afasia motorik yang mencerminkan kerusakan terhadap seluruh korteks daerah
Brocca ialah afasia dimana penderita tidak bisa melakukan ekspresi dengan cara
apapun, baik dengan cara verbal maupun visual (afasia motorik kortikal). Afasia
motorik dimana penderita tidak bisa mengucapkan satu kata apapun, namun masih bisa
mengutarakan pikirannya dengan jalan tulis menulis, bisa timbul akibat lesi di masa
putih area Brocca. Oleh karena itu, afasia motorik ini dinamakan juga afasia motorik
subkortikal.
Gejala utamanya adalah berbicara spontan yang tidak lancar, non-fluent dan terbata-
bata. Tata bahasanya kurang sempurna, dan biasanya disertai dengan hemiparesis kanan
(1,8)
. Ciri klinik afasia Broca:
a. bicara tidak lancar
b. tampak sulit memulai bicara
c. kalimatnya pendek (5 kata atau kurang per kalimat)
d. pengulangan (repetisi) buruk
e. kemampuan menamai buruk
f. Kesalahan parafasia
g. Pemahaman lumayan (namun mengalami kesulitan memahami kalimat yang
sintaktis kompleks)
h. Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks
i. Irama kalimat dan irama bicara terganggu
Tergolong dalam afasia motorik adalah juga akalkulia ekspresif dan agrafia
ekspresif, yang berarti hilangnya kemampuan untuk ekspresi dengan menggunakan
simbolik matematika dan huruf. Pada akalkulia ekspresif dan agrafia ekspresif, ekspresi
dengan cara berbahasa masih ada, tetapi apabila ekspresi itu diwujudkan dalam bentuk
tulisan, penderita sendiri sadar akan ketidakmampuannya. Lesi berkorelasi dengan
gangguan yang terletak di lobus frontalis yang berdampingan dengan korteks motorik.
8. Afasia global
Afasia global adalah bentuk afasia yang paling berat, keadaan ini ditandai oleh tidak
adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan menjadi beberapa patah kata
yang diucapkan secara stereotipe (itu-itu saja, berulang), misalnya : “iiya, iiya, iiya”,
atau : “baaah, baaaah, baaaah. Komprehensi menghilang atau sangat terbatas, misalnya
hanya mengenal namanya saja atau satu atau dua patah kata. Repetisi (mengulangi)
juga sama berat gangguannya seperti bicara spontan. Membaca dan menulis juga
terganggu berat. Afasia global disebabkan oleh lesi luas yang merusak sebagian besar
atau semua daerah bahasa. Penyebab lesi yang paling sering ialah oklusi arteri karotis
interna atau arteri serebri media pada pangkalnya. Kemungkinan untuk pulih buruk.
Lesi luas terletak di perysilvian atau sebagian dari frontal dan temporal. Seseorang
disebut afasia global bila semua modalitas bahasa, meliputi kelancaran berbicara,
pengertian bahasa lisan, penamaan, pengulangan, membaca, dan menulis terganggu
berat. Pasien yang terkena hanya dapat menggumamkan beberapa suara atau
mengacaukan pembicaraan selanjutnya dan hanya mengerti beberapa suara atau kata
yang segera akan dilupakan. Mereka tidak dapat mengulang kembali kata-kata yang
diucapkan dan tidak mampu membaca atau menulis. Afasia global ini disertai oleh
hemiplegia, hemianestesia dan hemianopsia. Hal ini terjadi karena kerusakan otak
berupa infark yang luas yang disebabkan oleh obstruksi arteri serebri media.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara , lancar bila bicara
spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari Kata yang diinginkan. Kelancaran
berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata. Bila kemampuan ini
diperiksa secara khusus ilnpat dideteksi masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang
ringan iiImii pada demensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes knlnncaran,
menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat dlproduksi selama jangka waktu
yang terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama
jangka waktu satu menit, ulnu menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf tertentu,
misalnya huruf S atau huruf B dalam satu menit.
Menyebutkan nama hewan : Pasien disuruh menyebutkan sebanyak mungkin nama
hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan yang ada, misalnya
parafasia. Skor : Orang normal umumnya mampu menyebutkan 18 - 20 nama hewan selama
60 detik, dengan variasi I 5 - 7. Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna
dalam tugas ini. Orang normal yang berusia di bawah 69 tahun akan mampu menyebutkan
20 nama hewan dengan simpang baku 4,5. Kemampuan ini menurun menjadi 17 (+ 2,8)
pada usia 70-an, dan menjadi 15,5 (± 4,8) pada usia 80-an. Bila skor kurang dari 13 pada
orang normal di bawah usia 70 tahun, perlu dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran
berbicara verbal. Skor yang dibawah 10 pada usia dibawah 80 tahun, sugestif bagi masalah
penemuan kata. Pada usia 85 tahun skor 10 mungkin merupakan batas normal bawah.
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: Kepada pasien dapat juga
diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf S, A
atau P. Tidak termasuk nama orang atau nama kota. Skor: Orang normal umumnya dapat
menyebutkan sebanyak 36 - 60 kata, tergantung pada usia, inteligensi dan tingkat
pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk tiap huruf di atas
merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara verbal. Namun kita harus hati-
hati monginterpretasi tes ini pada pasien dengan tingkat pendidikan tidak melebihi
tingkat Sekolah Menengah Pertama.
H. Terapi
Penatalaksanaan gangguan bahasa terlebih dahulu didasarkan mengatasi penyebabnya
seperti stroke, perdarahan akut, tumor otak dan sebagainya. Penanganan yang paling efektif
adalah dengan rehabilitasi berupa terapi bicara.
Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk melatih sel-sel yang tidak rusak
menggantikan sel-sel yang telah rusak. Salah satu rehabilitasi untuk mengatasi gangguan
berbicara dan berbahasa adalah dengan speech therapy merupakan penyediaan pelayanan
yang diberikan oleh health care profesional untuk membantu seseorang dalam memperbaiki
komunikasi. Didalamnya meliputi bagaimana membuat suara dan bahasa, termasuk
pengertian dan pemilihan kata yang digunakan.
Menurut hsdc (2006), terapi ini dimulai dari 24 jam pasien stroke masuk rumah sakit
(bila kondisi fisiknya telah memungkinkan), dan kemudian dilakukan secara berkelanjutan
sampai 1 – 2 tahun post stroke. Rehabilitasi secara dini akan mempercepat proses
penyembuhan, rehabilitasi ini harus rutin sehingga otak mampu untuk mengingatnya.
Rehabilitasi pasien dengan gangguan bahasa umumnya perlu :
1. menimbulkan motivasi agar pasien mau belajar berbicara lagi,
2. memberikan banyak stimulasi verbal dan tulisan.
3. melakukan repetisi secara kontinu.
Sedangkan, latihan pada pasien afasia berupa bina wicara dapat diberikan oleh
seorang yang profesional dan oleh keluarga yang telah mendapat petunjuk-petunjuk
mengenai terapi di rumah, karena pasien membutuhkan latihan terus menerus. Prinsip bina
wicara ialah motivasi, stimulasi dan repetisi. Pasien perlu mendapat motivasi untuk melatih
bicaranya. Jangan dibiarkan menggunakan bahasa isyarat dalam percakapan sehari-hari,
juga di rumahnya. Keluarga diberi tahukan untuk tidak membiarkan pasien memakai bahasa
isyarat. Pasien harus dipaksakan mengucapkan kata disamping isyarat yang dipakainya.
Terapis akan membuat program latihan bagi pasien yang disesuaikan dengan latar belakang
pendidikan dan berat-ringan afasianya. Program ini ditujukan untuk memberikan stimulasi
yang kontinu secara auditif atau tertulis. Pengulangan atau repetisi perlu dilakukan secara
teratur. Stimulasi taktil juga dapat dipakai bila diperlukan. Bina wicara (speech therapy)
pada afasia didasarkan pada :
1. Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum pasien sudah
memungkinkan pada fase akut penyakitnya.
2. Dikatakan bahwa bina wicara yang diberikan pada bulan pertama sejak mula sakit
mempunyai hasil yang paling baik.
3. Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti isyarat).
4. Program terapi yang dibuat oleh terapis sangat individual dan tergantung dari latar
belakang pendidikan, status sosial dan kebiasaan pasien.
5. Program terapi berlandaskan pada penumbuhan motivasi pasien untuk mau belajar (re-
learning) bahasanya yang hilang. Memberikan stimulasi supaya pasien memberikan
tanggapan verbal. Stimuli dapat berupa verbal, tulisan ataupun taktil. Materi yang telah
dikuasai pasien perlu diulangulang (repetisi).
6. Terapi dapat diberikan secara pribadi dan diseling dengan terapi kelompok dengan
pasien afasi yang lain.
7. Penyertaan keluarga dalam terapi sangat mutlak
DAFTAR PUSTAKA
1. Mahar mardjono, Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. 2008. Dian Rakyat. Jakarta
2. Stefan Silbernagl, Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. 2007. EGC.
Jakarta.
3. Adult Aphasia. American Speech Language Hearing Association.2012
4. Sidiarto L, Kusumoputro S. Cermin Dunia Kedokteran No.34, Afasia Sebagai Gangguan
Komunikasi Pada Kelainan Otak. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
5. Kirshner HS, Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialties: Aphasia. 2009.
6. Pennstate, Health & Disease Information. Aphasia. 2010
Available at: http://www.hmc.psu.edu/healthinfo/a/aphasia.htm
7. National Institute On Deafness and Other Communication Disorders. Aphasia, Voice,
Speech and Language Health Info. 2010. Available at:
http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/aphasia.html
8. Lumbantobing SM, Neurologi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Bab XI: Berbahasa.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008
9. Guyton AC, Hall JE. Bab 57: Korteks Serebri; Fungsi Intelektual Otak; dan Proses
Belajar dan Mengingat. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1997.
10. Price SA, Wilson LM. Bagian IX: Penyakit Neurologi, Pemeriksaan Neurologis, Evaluasi
Penderita Neurologis. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi 4. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1995
11. Stroke and aphasia. American Stroke Association.2012
12. Aphasia Assesment.
http://www.neuropsychologycentral.com/interface/content/resources/page_material/resou
rces_general_materials_pages/resources_document_pages/aphasia_assessment.pdf. 2002
13. Speech and Language Therapy for aphasia following stroke. The Cochrane Collaboration.
2010.
14. Ninds. 2006. Aphasia. Available from : http://www.ninds.nih.gov.