Anda di halaman 1dari 29

BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Tn. S
 Umur : 52 Tahun
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Status Perkawinan : Belum Menikah
 Agama : Islam
 Alamat : Cabean Kulon, Semarang
 Pekerjaan : Serabutan
 Tanggal periksa : 13 Januari 2016
 No. RM : 15-16-XXXXX

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Lemah anggota gerak sebelah kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan lemah anggota gerak badan

sebelah kiri 2 jam SMRS. Pasien juga tiba-tiba tidak bisa bicara dan pasien tidak

mengerti apa yang dibicarakan oleh keluarga. Pasien tampak bingung dan lemas.

Menurut keluarga, pasien sebelumnya mengeluh pusing (+) cekot-cekot, mual (-),

muntah (-), demam (-), riwayat trauma (-). Sejak 2 hari SMRS pasien susah untuk

makan dan minum, dan banyak tertidur.


3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit jantung (-)
Stroke (+) tahun 2015 stroke penyumbatan lemah anggota gerak kiri
Hipertensi (+)
Penyakit kencing manis (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada riwayat keluarga, tidak didapatkan adanya keluhan yang serupa dengan

pasien. Riwayat penyakit jantung (-), darah tinggi (-), stroke (-), penyakit kencing manis

(-), kolesterol tinggi (-)


5. Riwayat Personal Sosial
Pasien bekerja pekerja serabutan, belum menikah tinggal sendirian di rumah.

Merokok (+), alcohol (-)


6. Tinjauan Sistem
Kepala leher : tidak ada keluhan
THT : tidak ada keluhan
Respirasi : tidak ada keluhan
Gastrointestinal : tidak ada keluhan
Kardiovaskular : tidak ada keluhan
Perkemihan : tidak ada keluhan
Sistem Reproduksi : tidak ada keluhan
Kulit dan Ekstremitas: lemah ekstremitas sinistra superior inferior
C. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalisata

 Keadaan Umum : Tampak gelisah, CM


 GCS : E4 V1 M6
 Vital Sign
Tekanan Darah : 180/120 mmHg
Nadi : 72x/menit, regular
Frekuensi Napas : 16x/menit
Suhu : 36oC
 Kepala dan Leher
Conjungtiva anemis: (-/-)
Sklera Ikterik: (-/-)
 Thorax
Cor
 Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ditemukan bising atau suara tambahan

jantung

Pulmo

 Bentuk paru simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan bentuk.


 Tidak ada ketinggalan gerak, vocal fremitus tidak ada peningkatan maupun

penurunan.
 Tidak ada nyeri tekan pada lapang paru.
 Perkusi : sonor
 Suara dasar vesikuler : +/+ (positif di lapang paru kanan dan kiri)
 Suara rokhi : -/- (tidak terdengar di lapang paru kanan dan kiri)
 Suara wheezing : -/- (tidak terdengar di kedua lapang paru)
 Abdomen
Bentuk supel (+)
Peristaltik usus (+) normal
Nyeri tekan (-)
 Extremitas
Akral hangat : (+) baik di ekstremitas atas maupun bawah
CRT : <2 detik
Udem pitting: -

Status Neurologis

No Pemeriksaan Superior Inferior


1 Sistem Motorik
Kekuatan Otot 5/5/5 | 5/5/5 5/5/5 | 5/5/5
2 Gerakan Involunter
Tremor (-) (-)
Chorea (-) (-)
Atetosis (-) (-)
Mioklonik (-) (-)
Tics (-) (-)
3 Refleks Fisiologis
Biceps (++) / (++) (++) / (++)
Triceps (++) / (++) (++) / (++)
Patella (++) / (++) (++) / (++)
Achiles (++) / (++) (++) / (++)
4 Refleks Patologis
Hoffman Tromer (-)/(-) (-)/(-)
Babinsky (-)/(-) (-)/(-)
Chaddock (-)/(-) (-)/(-)
Oppenheim (-)/(-) (-)/(-)
Gordon (-)/(-) (-)/(-)
Schaeffer (-)/(-) (-)/(-)
Bing (-)/(-) (-)/(-)
Gonda (-)/(-) (-)/(-)
Mendel (-)/(-) (-)/(-)
Rossolimo (-)/(-) (-)/(-)
5 Tonus N/N N/N
6 Trofi E/E E/E
7 Klonus -/- -/-
Pemeriksaan Nervus Cranialis

No Nervus Pemeriksaan Keterangan


Dextra Sinistra
1 Olfactorius -Subjektif Tidak dapat dinilai
-Dengan bahan
2 Opticus Pengecekan kasar :
-Daya penglihatan N N
-Warna Tidak dapat Tidak dapat
-Medan Penglihatan dinilai dinilai

3 Oculomotorius - Ptosis - -
- Ukuran Pupil 3 mm 3 mm
- Bentuk Pupil Bulat Bulat
- Refleks Cahaya
+ +
pada Pupil

4 Oculomotorius, -Melirik ke medial Tidak dapat Tidak dapat


Throclearis, -Melirik ke medial dinilai dinilai
Abducens bawah
-Melirik ke lateral
-Diplopia
5 Trigeminus Fungsi Sensorik
-Sensibilitas dahi Tidak dapat Tidak dapat
-Sensibilitas pipi dinilai dinilai
-Sensibilitas dagu
Fungsi Motorik
-Menggigit N N
-Membuka Mulut
N N
6 Facialis -Mengerutkan dahi Tidak dapat Tidak dapat
-Menggembungkan pipi dinilai dinilai
-Menutup mata
7 Vestibulocochlearis -Mendengarkan arloji Tidak dapat Tidak dapat
-Mendengarkan gesekan dinilai dinilai
tangan

8 Glosopharingeus -Suara sengau -


-Reflek muntah Tidak dilakukan
9 Vagus -Gangguan menelan -
-Afonia atau Disfonia
-
10 Asesorius -Kekuatan trapezius N N
-Kekuatan
sternomastoideus N N
11 Hipoglossus -Menjulurkan lidah -
-Artikulasi -
-Tremor lidah -
-Trofi lidah -
*Keterangan : pasien sangat tidak kooperatif

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- CT Scan Kepala tanpa kontras
Kesan
- Gambaran SNH luas di daerah substansia grycea dan alba lobus
frontotemporoparietalis Sn
- Gambaran TIK yang meningkat
- Diduga adanya penyempitan/sumbatan pada arteri cerebri madia sn
- Pemeriksaan darah

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan


Leukosit 12,66 4.5 – 11
Eritrosit 5,87 4–5
Hemoglobin 16,8 12 – 16
Hematokrit 50,8 38.00 – 47.00
MCV 86,5 86 – 108
MCH 28,6 28 – 31
MCHC 33,1 30 – 35
Trombosit 231 150.000 – 450.000
GDS 78 80 – 144
Ureum 44 10 – 50
Creatinin 1,0 0,6 – 1,1
Kolesterol total 82 <200
Trigliseride 86 <150
HDL kolesterol 27 >45
LDL kolesterol 58 <100
Asam urat 9,4 2,4-5,7
SGOT 36 <31
SGPT 25 <32

E. ASSESTMENT
 Diagnosis klinis : hemiparese sinistra, afasia motoric, afasia sensorik
 Diagnosis etiologi : SNH, afasia global
 Diagnosis topis : hemisphere dextra, area Broca, area Wernicke
F. TREATMENT
- Infus RL + drip mecobalamin  20 tpm
- Infus manitol 6x100cc
- Injeksi piracetam 4x3 gr
- Injeksi Citicolin 2x500 mg
- Clopidogrel 1x75 mg
- Gabapentin 2x150 mg
- Amlodipine 1x10 mg
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

Manusia memahami suatu kata dari pengalamannya atau imajinasinya. Manusia


mendapatkan kosakata dari apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Area cerebrum yang
mengintegrasi semua stimulus ini menjadi kemampuan berbahasa adalah area Wernicke.
Area wernicke terletak pada ujung posterosuperior girus temporalis superior. Area wernicke
berdekatan dengan area pendengaran primer dan sekunder. Hubungan antara area
pendengaran dengan area Wernicke memungkinkan adanya interpretasi bahasa terhadap apa
yang didengar. Selain berhubungan dengan area pendengaran, area wernicke juga
berhubungan dengan area asosiasi penglihatan. Oleh karena itu pemahaman bahasa juga
dapat terjadi melalui membaca.
Gambar 1. Area Wernicke
Semua impuls auditorik disampaikan kepada korteks auditorik primer kedua sisi. Pada
hemisferium yang dominan data auditorik itu dikirim ke pusat wernicke. Pengiriman data
dari hemisferium yang tidak dominan ke pusat wernicke dilaksanakan melalui serabut
korpus kalosum. Di pusat wernicke suara dikenal sebagai simbol bahasa. Kemudian data itu
dikirim ke pusat pengertian bahasa. Di situ simbol bahasa lisan (auditorik) diintegrasikan
dengan simbol bahasa visual dan sifat-sifat lain dari bahasa. Bahasa lisan dihasilkan oleh
kegiatan di pusat pengertian bahasa yang menggalakkan pusat pengenalan kata (wernicke),
yang pada gilirannya mengirimkan pesan kepada pusat broca (yang menyelenggarakan
produksi kata-kata) melalui daerah motorik primer dan melalui lobus frontalis (area motorik
suplementer), yang ikut mengatur produksi aktivitas motorik yang tangkas dalam bentuk
kata-kata yang jelas. Bahasa visual dikembangkan melalui persepsi visual bilateral. Dari
korteks visual primer kedua sisi data visual disampaikan kepada korteks visual sekunder di
hemisferium yang dominan. Data tersebut dikirim ke pusat wernicke dan ke pusat
pengintegrasian pengertian bahasa.
Gambar
Kata yang 2. Proses pembentukan bicaraKata
didengar setelah stimulus
yang visual
dibaca

Korteks auditoriks primer Korteks visual primer

Korteks auditoriks sekunder (area Wernicke)Korteks auditoriks sekunder

Area 39

Lobus frontalis superior anterior

Korteks premotorik (Area Broca)

Ganglia basalis, serebelum

Talamus

Korteks motorik

Kata yang diucapkan


Gambar 3. Mekanisme Pengucapan Kata

B. Definisi
Pengertian tentang aphasia, masing-masing ahli memberikan batasan yang
berbeda-beda, akan tetapi pada intinya sama. Seperti yang dikemukakan:
1. Wood (1971) mengatakan bahwa aphasia merupakan “parsial or complete loss of
ability to speak or to comprehend the spoken word due to injury, disease. Or
maldevelopment of brain.” (Kehilangan kemampuan untuk bicara atau untuk
memahami sebagaian atau keseluruhan dari yang diucapkan oleh orang lain, yang
diakibatkan karena adanya gangguan pada otak).
2. Wiig dan Semel (1984) bahwa Aphasia as involving those who have acquired a
language disorder because of brain damage resulting in impairment of language
comprehension formulation, and use. (Mereka yang memiliki gangguan pada
perolehan bahasa yang disebabkan karena kerusakan otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan dalam memformulasikan pemahaman bahasa dan pengguanaan
bahasa).
Jadi pengertian aphasia secara umum berkaitan dengan disorder of brain, injury
of the brain. Selanjutnya sekarang ini banyak perbedaan dari tipe-tipe aphasia atau kondisi-
kondisi yang dikaitkan dengan aphasia seperti agnosia, paraphasia dan dysprosody.
Gangguan bahasa aphasia dikelompokkan kepada masalah receptive dan ekspresive.
Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan otak.
Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan bahasa (disebut juga disfasia), gangguan
bicara motorik murni, ataupun gangguan berbahasa sekunder akibat gangguan pikiran
primer, misalnya skizofrenia.
Afasia mencakup gangguan berbahasa secara menyeluruh walaupun biasanya
terdapat gangguan yang lebih menonjol daripada gangguan lainnya. Tercakup di dalam
afasia adalah gangguan yang lebih selektif, misalnya gangguan membaca (alexia) atau
gangguan menulis (agrafia). Gangguan yang berkaitan misalnya apraksia (gangguan belajar
atau ketrampilan), gangguan mengenal (agnosia), gangguan menghitung (akalkulias), serta
defisit perilaku neurologis seperti demensia dan delirium. Ini semua bisa muncul bersama-
sama dengan afasia atau muncul sendiri.

C. Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat
cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau parietal yang
mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area Broca, Area Wernicke, dan jalur yang
menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer kiri otak dan
pada kebanyakan orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan berbahasa
diatur .
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke,
cedera otak traumatik, perdarahan otak aku dan sebagainya. Afasia dapat muncul perlahan-
lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek samping yang langka
dari fentanyl, suatu opioid untuk penanganan nyeri kronis

D. Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi Afasia
Bentuk Komprehensi Komprehensi
Ekspresi Repetisi Menamai Menulis Lesi
Afasia verbal membaca
Ekspresi Tak Relatif Terganggu Terganggu Bervariasi Tergang Frontal
(Broca) lancar terpelihara gu Inferior
posterior
Reseptif Lancar Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Tergang Temporal
(Wermicke) gu Superior
Posterior
(Area
Wernicke)
Global Tak Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Tergang Fronto
lancar gu temporal
Konduksi Lancar Relatif Terganggu Terganggu Bervariasi Tergang Fasikulus
terpelihara gu arkualtus,
girus
supramargina
l
Nominal Lancar Relatif Terpelihar Terganggu Bervariasi Bervaria Girus
terpelihara a si angular,
temporal
superior
posterior
Transkortikal Tak Relatif Terpelihar Terganggu Bervariasi Tergang Peri sylvian
motor lancar terpelihara a gu anterior
Transkortikal Lancar Terganggu Terpelihar Terganggu Terganggu Tergang PerisylvianP
sensorik a gu osterior

Dasar untuk mengklasifikasi afasia beragam, diantaranya ada yang mendasarkan


kepada :
1. Manifestasi klinik
a. Afasia tidak lancar atau non-fluent
b. Afasia lancar atau fluent
2. Distribusi anatomi dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek
a. Sindrom afasia peri-silvian
1) Afasia Broca (motorik, ekspresif)
2) Afasia Wernicke (sensorik, reseptif)
3) Afasia konduksi
b. Sindrom afasia daerah perbatasan (borderzone)
1) Afasia transkortikal motorik
2) Afasia transkortikal sensorik
3) Afasia transkortikal campuran
c. Sindrom afasia subkortikal
1) Afasia talamik
2) Afasia striatal
d. Sindrom afasia non-lokalisasi
1) Afasian anomik
2) Afasia global
3. Gabungan pendekatan manifestasi klinik dengan lesi anatomik

E. Patofisiologi
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada manusia,
fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada 96-99% orang
yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada
pasien yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri.
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau penyakit
degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur kemampuan berbahasa,
yaitu area Broca dan area Wernicke.
Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas pelaksanaan
motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan dalam artikulasi tetapi
penderita bisa memahami bahasa dan tulisan.
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik penerima
untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan penurunan hebat
kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa.
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas.
Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal. Afasia
juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara area Broca
dan area Wernicke.

F. Penegakan Diagnosis
Diagnosis afasia ialah berdasarkan tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik dan kejiwaan. Sedangkan pemeriksaan tambahan lainnya dilakukan untuk
mengetahui penyebab kerusakan otaknya.
1. Afasia yang lancar (Fluent)
Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi dan irama baik, tetapi isi bicara
tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti artinya. Penderita tidak dapat mengerti
bahasa sehingga tidak dapat berbicara kembali. Gambaran klinisnya ialah :
a. Keluaran bicara yang lancar
b. Panjang kalimat normal
c. Artikulasi dan irama bicara baik
d. Terdapat parafasia
e. Kemampuan memahami pendengaran dan membaca buruk
f. Repetisis terganggu
g. Menulis lancar tadi tidak ada arti
Seorang afasia yang non-fluen mungkin akan mengatakan dengan tidak lancar dan
tertegun-tegun: “mana… rokok… beli.” Sedangkan seorang afasia fluen mungkin akan
mengatakan dengan lancar: “rokok beli tembakau kemana situ tadi gimana dia toko
jalan ”
2. Afasia Tidak Lancar
Pada afasia ini, output atau keluaran bicara terbatas. Penderita menggunakan
kalimat pendek dan bicara dalam bentuk sederhana. Sering disertai artikulasi dan irama
bicara yang buruk. Gambaran klinisnya ialah :
a. Pasien tampak sulit memulai bicara
b. Panjang kalimat sedikit (5 kata atau kurang per kalimat)
c. Gramatika bahasa berkurang dan tidak kompleks
d. Artikulasi umumnya terganggu
e. Irama bicara terganggu
f. Pemahaman cukup baik, tapi sulit memahami kalimat yang lebih kompleks
g. Pengulanan (repetisi) buruk
h. Kemampuan menamai, menyebut nama benda buruk
3. Afasia Wernicke
Disebut juga afasia sensorik atau afasia perseptif. Disebabkan oleh lesi di daerah
antara bagian belakang lobus temporalis, lobus oksipitalis dan lobus parietalis dari
hemisfer kiri (dominan) yaitu area Wernicke. Pada afasia ini kemampuan untuk
mengerti bahasa verbal dan visual terganggu atau hilang sama sekali. Tetapi
kemampuan untuk secara aktif mengucapkan kata-kata dan menulis kata-kata masih
ada, kendatipun apa yang diucapkan dan ditulis tidak mempunyai arti sama sekali.
Penderita dengan afasia ini tidak mengerti lagi bahasa yang didengarnya walaupun ia
tidak tuli. Ia pun tidak mengerti lagi isi surat yang dibacanya, walaupun ia tidak buta
huruf. Penyimpanan “storage” berikut proses “coding” dari apa yang didengar dan
ditulis terjadi di daerah Wernicke. Jika daerah tersebut rusak, proses “decoding” tidak
akan menghasilkan apa-apa. Hilangnya pengertian berarti juga hilangnya gnosis dan
kognisio. Oleh karena kata dan tulisan yang masih dapat diucapkan dan ditulis oleh
seorang penderita tidak lagi dikenal dan diketahui, maka dia akan “berbicara” dan
“menulis” suatu bahasa yang tidak dimengerti oleh dirinya sendiri ataupun orang lain.
Adakalanya “bahasa baru” (neologisme) mengandung kata-kata yang menyerupai kata-
kata yang wajar, tetapi kebanyakan merupakan ocehan yang tidak mempunyai arti.
Ocehan itu dinamakan juga “jargon aphasia” .
Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah bahasa bagian
posterior. Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin besar kemungkinan
lesi mencakup bagian posterior dari girus temporal superior. Bila pemahaman kata
tunggal terpelihara, namun kata kompleks terganggu, lesi cenderung mengenai daerah
lobus parietal, ketimbang lobus temporal superior. Afasia jenis Wernicke dapat juga
dijumpai pada lesi subkortikal yang merusak isthmus temporal memblokir signal aferen
inferior ke korteks temporal.
Semacam afasia sensorik yang ringan, yang dikenal sebagai “tuli kata-kata” (“word-
deafness”), bisa dijumpai. Dalam hal itu, penderita sama sekali tidak mengerti bahasa
verbal yang didengarnya, tetapi ia masih bisa mengerti bahasa tertulis dengan baik.
Juga afasia sensorik yang dinamakan “buta kata-kata” (“word-blindness”) pada mana
bahasa verbal masih bisa dimengerti, tetapi bahasa visual tidak mempunyai arti
baginya, jarang dijumpai. Tuli kata-kata dan buta kata-kata timbul akibat lesi kecil di
sekitar daerah Wernicke, yang terletak baik di lobus temporalis ataupun parietalis
bahkan lobus oksipitalis.
Sebagai suatu varian dari buta kata-kata ialah agrafia, akalkulia dan aleksia reseptif.
Dalam hal agrafia ekspresif (akibat lesi di sekitar daerah broca), ekspresi melalui
berbahasa ikut terganggu. Jika kemampuan untuk mengerti bahasa verbal masih utuh
tetapi daya untuk mengerti bahasa tertulis hilang, maka dinamakan gejala tersebut
agrafia reseptif. Demikian juga arti istilah akalkulia reseptif, dimana penderita masih
bisa mengerti mengerti bahasa verbal tetapi ia tidak dapat mengerti soal-soal yang
menyangkut hitung berhitung. Pada aleksia reseptif, hanya kemampuan untuk mengerti
apa yang dibaca terganggu, sedangkan ia masih mengerti bahasa verbal. Lesi-lesi yang
relevan bagi afasia reseptif fraksional itu terbatas pada girus angularis dan
supramarginalis. Girus yang tersebut pertama terletak di ujung sulkus temporalis
superior dan girus yang tersebut terakhir terletak di ujung fisura serebri lateralis Sylvii.
Afasia reseptif lesinya terletak di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu
banyak, cara mengucapkan baik dan irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan
berat pada memformulasi dan menamai sehingga kalimat yang diucapkan tidak
mempunyai arti. Bahasa lisan dan tulisan tidak atau kurang dipahami, dan menulis
secara motorik terpelihara, namun isi tulisan tidak menentu. Pasien tidak begitu sadar
akan kekurangannya.
Gambaran klinik afasia Wernicke :
a. Keluaran afasik yang lancar
b. Panjang kalimat normal
c. Artikulasi baik
d. Prosodi baik
e. Anomia (tidak dapat menamai)
f. Parafasia fonemik dan semantik
g. Komprehensi auditif dan membaca buruk
h. Repetisi terganggu
i. Menulis lancar tapi isinya "kosong"
4. Afasia konduksi
Merupakan ketidakmampuan mengulangi kata atau kalimat lawan bicara terutama
yang multisilabis (bersuku kata banyak). Namun penderita masih mampu mengeluarkan
isi pikiran dan menjawab kalimat lawan bicaranya meskipun bahasa verbalnya
terganggu. Afasia konduksi merupakan kerusakan pada fasikulus arcuata yang
berdampak pada transmisi informasi dari daerah Wernicke ke daerah Brocca. Lokasi
lesi atau kerusakan tersebut berada pada girus supramarginalis dari hemisfer yang
dominan (area transisional antara lobus temporalis posterior dan lobus parietalis).
Gejala kerusakan ini karena informasi leksikal dari daerah Wernicke tidak dapat
dipindahkan ke daerah Brocca, sehingga ujarannya secara semantic tidak padu (tidak
koheren).
Afasia konduksi merupakan gangguan berbahasa yang lancar (fluent) yang ditandai
oleh gangguan berat pada repetisi, kesulitan dalam membaca kuat-kuat (namun
pemahaman dalam membaca baik), gangguan dalam menulis, parafasia yang jelas,
namun umumnya pemahaman bahasa lisan terpelihara. Terputusnya hubungan antara
area wernicke dan broca diduga menyebabkan kelainan ini. Terlibatnya girus
supramarginal, sering lesi di massa alba subkortikal-dalam korteks parietal inferior dan
mengenai fasikulus arkuatus yang menghubungkan korteks temporal dan frontal.
5. Afasia anomik
Disebut juga afasia nominatif atau afasia amnestik, merupakan afasia motorik yang
ringan. Penderitanya tidak bisa menemukan simbolik verbal dari benda yang
diperlihatkan kepadanya (tidak mampu menamai benda yang dihadapkan kepadanya).
Berbicara spontan biasanya lancar dan kaya gramatika, namun sering tertegun mencari
kata dan terdapat parafasia mengenai nama objek. Ia tahu abstraksi dari benda tersebut
dalam pikiran, tetapi lafal dari abstraksi itu tidak bisa dinyatakan. Misalnya penderita
diminta untuk menyebut nama benda yang disodorkan kepadanya. Ia bisa menjawab
sebagai berikut : “itu…itu,’tu, tulis-tulis”. Tetapi ia tidak bisa temukan atau ucapkan
kata “pensil”. Baru setelah dibantu dengan mengucapkan suku pertama kata “pensil”,
penderita dapat meneruskannya “pen…sil”. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
penyimpanan kata pensil utuh, juga persandian abstraksi masih utuh. Tetapi “decoding”
dari abstraksi terganggu.
Afasia jenis ini membuat penderita tidak mampu menyebut nama benda yang
dilihat, angka, huruf, bentuk benda dan kata kerja dari gambar yang dilihat. Ia juga
tidak bisa menyebutkan nama binatang yang didengar suaranya atau benda yang diraba.
Afasia ini merupakan yang relatif ringan. Letak lesinya tidak tentu, tapi bisa di girus
angular dan temporal superior posterior atau berada antara daerah Brocca dan
Wernicke. Pada penemuan postmortem memperkirakan bahwa tipe afasia ini
disebabkan oleh lesi yang mengganggu serat-serat assosiasi yang menghubungkan area
sensorik bicara dengan region hipokampus. Lesi biasanya tumor dan kadang-kadang
suatu abses otogenus dalam substansia alba yang lebih dalam dari bagian posterior dan
basal lobus temporalis (kemungkinan area 37) atau suatu proses atrofi, seperti misalnya
versi lobus temporalis dari penyakit Pick. Gambaran klinik alasia anomik.
a. Keluaran lancar
b. Komprehensi baik
c. Repetisi baik
d. Gangguan (defisit) dalam menemukan kata.
6. Afasia transkortikal
Afasia transkortikal secara umum ditandai oleh repetisi bahasa yang baik
(terpelihara), namun fungsi bahasa lainnya terganggu. Afasia transkortikal disebabkan
oleh lesi yang luas, berupa infark berbentuk bulan sabit, di dalam zona perbatasan
antara pembuluh darah serebral mayor (misalnya di lobus frontal antara daerah arteri
serebri anterior dan media). Dipercaya bahwa afasia ini disebabkan oleh terpisahnya
area bicara sensorik dari korteks, sisanya karena gangguan sirkulasi dalam korteks dan
substansia alba sepanjang zona batas arterial antara arteri serebri anterior, media dan
posterior. Lesi ini tidak mengenai atau tidak melibatkan korteks temporal superior dan
frontal inferior (area 22 dan 44 dan lingkungan sekitar) dan korteks peri sylvian
parietal. Korteks peri sylvian yang utuh ini dibutuhkan untuk kemampuan mengulang
yang baik.Keyakinan ini berasal dari kejadian keadaan tersebut dalam kasus henti
jantung sementara tanpa mempertimbangkan penyebabnya. Dibagi menjadi :
a. Afasia transkortikal motorik (masuk afasia non-fluent)
Pasien dengan afasia ini mampu mengulang (repetisi), memahami dan
membaca, namun dalam bicara spontan terbatas, seperti pasien dengan afasia broca.
Gambaran kliniknya yaitu ekspresi tidak lancar (non-fluent), pemahaman verbal
relative terpelihara, pengulangan baik, menamai terganggu, ungkapan-ungkapan
singkat, parafasia semantik, ekolali, pemahaman (komprehensi) baik. Biasanya
akibat lesi di anterior atau superior dari area broca. Gambaran klinik afasia motorik
transkortikal (1,8):
1) Keluaran tidak lancar (non fluent)
2) Pemahaman (komprehensi) baik
3) Repetisi baik
4) Inisiasi ot/fpunerlambat
5) Ungkapan-ungkapan singkat
6) Parafasia semantik
7) Ekholalia
Untuk jenis afasia ini digunakan juga istilah awam “pure word-dumbness”
atau bisu kata-kata yang tulen. Jika seorang afasia motorik masih bisa membeo,
namun tidak mampu lagi untuk mengeluarkan kata-kata sebagai cara ekspresi
aktifnya, maka afasia motorik semacam itu disebabkan oleh suatu lesi kortikal yang
agak besar di antara daerah broca dan wernicke. Afasia motorik berat dengan masih
adanya kemampuan untuk membeo ini dinamakan afasia motorik transkortikal.
Afasia transkortikal motorik terlihat pada lesi di perbatasan anterior yang
menyerupai huruf c terbalik.
b. Afasia transkortikal sensorik
Ini adalah afasia yang berkaitan dengan hilangnya pemahaman pendengaran
dan penglihatan dan kata-kata dan ketidakmampuan untuk menulis dan membaca
dengan pengertian. Kata-kata yang diucapkan dapat diulang, tapi artinya tidak dapat
dimengerti. Gambaran klinisnya, yaitu ekspresi lancar (fluent), pemahaman verbal
terganggu, pengulangan baik, menamai terganggu, pemahaman membaca
terganggu, menulis terganggu, defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai,
didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan. Biasanya akibat lesi di area
informasi dari nonbahasa area ke cerebrum tidak bisa di transfer ke area wernicke’s
untuk diubah menjadi suatu bentuk bahasa. Afasia ini dapat mengulang (repetisi)
baik, namun tidak memahami apa yang didengarnya atau yang diulanginya.
Gambaran klinik afasia sensorik transkortikal :
1) Keluaran (output) lancar (fluent)
2) Pemahaman buruk
3) Repetisi baik
4) Ekholalia
5) Komprehensi auditif dan membaca terganggu
6) Defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai
7) Didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan.
c. Afasia transkortikal campuran
Gambaran klinisnya, yaitu tidak lancar (non-fluent), komprehensi buruk,
repetisi baik dan ekolali yang mencolok. Penyebab paling sering dari afasia
transkortikal ialah anoksia sekunder terhadap sirkulasi darah yang menurun, seperti
yang dijumpai pada henti jantung, oklusi atau stenosis berat arteri karotis, anoksia
oleh keracunan karbon monoksida dan demensia. Gambaran klinik afasia
transkortikal campuran :
1) Tidak lancar (nonfluent)
2) Komprehensi buruk
3) Repetisi baik
4) Ekholalia mencolok
7. Afasia Brocca
Disebut juga sebagai afasia motorik atau afasia ekspresif. Disebabkan oleh lesi di
bagian posterior daerah girus ketiga frontal dari hemisfer kiri (dominan) yaitu sekitar
area Brocca (area 44). Afasia Brocca terberat ialah jika penderita sama sekali tidak
dapat mengeluarkan kata-kata. Adakalanya hanya dapat mengucapkan “ya” atau “he-
ng” saja, sambil menganggukan kepalanya. Namun demikian ia masih mengerti bahasa
verbal dan visual. Juga perintah-perintah untuk melakukan sesuatu (praksis) bisa
dilaksanakan sesuai dengan makna perintah. Ketidak mampuan untuk menyatakan
pikirannya dengan kata-kata menjengkelkan penderita. Dan lebih-lebih menekan
jiwanya adalah bahwa ia sadar akan apa yang hendak diucapkan, tetapi ia tidak mampu
mengucapkan kata-kata yang terkandung dalam fikirannya. Jadi bahasa internalnya
masih utuh. Pada afasia motorik umumnya kemampuan untuk menulis kata-kata masih
tidak terganggu, tetapi bisa juga terjadi adanya agrafia (hilangnya kemampuan untuk
ekspresi dengan tulisan). Pada afasia motorik yang terberat, adakalanya kata-kata yang
bersifat ledakan-ledakan emosional masih bisa diucapkan secara spontan misalnya “da-
ilah”, “asu”, “G..verdom”, dan sebagainya.
Afasia motorik yang mencerminkan kerusakan terhadap seluruh korteks daerah
Brocca ialah afasia dimana penderita tidak bisa melakukan ekspresi dengan cara
apapun, baik dengan cara verbal maupun visual (afasia motorik kortikal). Afasia
motorik dimana penderita tidak bisa mengucapkan satu kata apapun, namun masih bisa
mengutarakan pikirannya dengan jalan tulis menulis, bisa timbul akibat lesi di masa
putih area Brocca. Oleh karena itu, afasia motorik ini dinamakan juga afasia motorik
subkortikal.
Gejala utamanya adalah berbicara spontan yang tidak lancar, non-fluent dan terbata-
bata. Tata bahasanya kurang sempurna, dan biasanya disertai dengan hemiparesis kanan
(1,8)
. Ciri klinik afasia Broca:
a. bicara tidak lancar
b. tampak sulit memulai bicara
c. kalimatnya pendek (5 kata atau kurang per kalimat)
d. pengulangan (repetisi) buruk
e. kemampuan menamai buruk
f. Kesalahan parafasia
g. Pemahaman lumayan (namun mengalami kesulitan memahami kalimat yang
sintaktis kompleks)
h. Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks
i. Irama kalimat dan irama bicara terganggu
Tergolong dalam afasia motorik adalah juga akalkulia ekspresif dan agrafia
ekspresif, yang berarti hilangnya kemampuan untuk ekspresi dengan menggunakan
simbolik matematika dan huruf. Pada akalkulia ekspresif dan agrafia ekspresif, ekspresi
dengan cara berbahasa masih ada, tetapi apabila ekspresi itu diwujudkan dalam bentuk
tulisan, penderita sendiri sadar akan ketidakmampuannya. Lesi berkorelasi dengan
gangguan yang terletak di lobus frontalis yang berdampingan dengan korteks motorik.
8. Afasia global
Afasia global adalah bentuk afasia yang paling berat, keadaan ini ditandai oleh tidak
adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan menjadi beberapa patah kata
yang diucapkan secara stereotipe (itu-itu saja, berulang), misalnya : “iiya, iiya, iiya”,
atau : “baaah, baaaah, baaaah. Komprehensi menghilang atau sangat terbatas, misalnya
hanya mengenal namanya saja atau satu atau dua patah kata. Repetisi (mengulangi)
juga sama berat gangguannya seperti bicara spontan. Membaca dan menulis juga
terganggu berat. Afasia global disebabkan oleh lesi luas yang merusak sebagian besar
atau semua daerah bahasa. Penyebab lesi yang paling sering ialah oklusi arteri karotis
interna atau arteri serebri media pada pangkalnya. Kemungkinan untuk pulih buruk.
Lesi luas terletak di perysilvian atau sebagian dari frontal dan temporal. Seseorang
disebut afasia global bila semua modalitas bahasa, meliputi kelancaran berbicara,
pengertian bahasa lisan, penamaan, pengulangan, membaca, dan menulis terganggu
berat. Pasien yang terkena hanya dapat menggumamkan beberapa suara atau
mengacaukan pembicaraan selanjutnya dan hanya mengerti beberapa suara atau kata
yang segera akan dilupakan. Mereka tidak dapat mengulang kembali kata-kata yang
diucapkan dan tidak mampu membaca atau menulis. Afasia global ini disertai oleh
hemiplegia, hemianestesia dan hemianopsia. Hal ini terjadi karena kerusakan otak
berupa infark yang luas yang disebabkan oleh obstruksi arteri serebri media.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara , lancar bila bicara
spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari Kata yang diinginkan. Kelancaran
berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata. Bila kemampuan ini
diperiksa secara khusus ilnpat dideteksi masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang
ringan iiImii pada demensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes knlnncaran,
menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat dlproduksi selama jangka waktu
yang terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama
jangka waktu satu menit, ulnu menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf tertentu,
misalnya huruf S atau huruf B dalam satu menit.
Menyebutkan nama hewan : Pasien disuruh menyebutkan sebanyak mungkin nama
hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan yang ada, misalnya
parafasia. Skor : Orang normal umumnya mampu menyebutkan 18 - 20 nama hewan selama
60 detik, dengan variasi I 5 - 7. Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna
dalam tugas ini. Orang normal yang berusia di bawah 69 tahun akan mampu menyebutkan
20 nama hewan dengan simpang baku 4,5. Kemampuan ini menurun menjadi 17 (+ 2,8)
pada usia 70-an, dan menjadi 15,5 (± 4,8) pada usia 80-an. Bila skor kurang dari 13 pada
orang normal di bawah usia 70 tahun, perlu dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran
berbicara verbal. Skor yang dibawah 10 pada usia dibawah 80 tahun, sugestif bagi masalah
penemuan kata. Pada usia 85 tahun skor 10 mungkin merupakan batas normal bawah.
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: Kepada pasien dapat juga
diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf S, A
atau P. Tidak termasuk nama orang atau nama kota. Skor: Orang normal umumnya dapat
menyebutkan sebanyak 36 - 60 kata, tergantung pada usia, inteligensi dan tingkat
pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk tiap huruf di atas
merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara verbal. Namun kita harus hati-
hati monginterpretasi tes ini pada pasien dengan tingkat pendidikan tidak melebihi
tingkat Sekolah Menengah Pertama.

Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan


Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit dlnllal
Pemeriksaan klinis disisi-ranjang dan tes yang baku cenderung kurang cukup dan dapat
memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah terakhir dapat digunakan untuk mengevaluasi
pemahaman (komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara konversasi, suruhan, pilihan (ya
atau tidak), dan menunjuk.
Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai
kemampuannya memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh pemeriksa.
Suruhan. Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (Satu langkah) sampai
pada yang sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien
memahami. Mula-mula suruh pasien bertepuk tangan, kemudian tingkatkan kesulitannya,
misalnya: mengambil pinsil, letakkan di kotak dan taruh kotak di atas kursi (suruhan ini
dapat gagal pada pasien dengan apraksia dan gangguan motorik, walaupun pemahamannya
baik; hal ini harus diperhatikan oleh pemeriksa).
Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya kunci, duit,
arloji, vulpen, geretan. Suruh pasien menunjukkan salah sntu benda tersebut, misalnya arloji.
Kemudian suruhan dapat dlpermilit, misalnya: tunjukkan jendela, setelah itu arloji, kemudian
vulpen. Pasion tanpa afasia dengan tingkat inteligensi yang rata-rata mampu menunjukkan 4
atau lebih objek pada suruhan yang beruntun. Pasien dengan Afasia mungkin hanya mampu
menunjuk sampai 1 atau 2 objek saja. Jadi, pada pemeriksaan ini pemeriksa (dokter)
menambah jumlah objek yang hams ditunjuk, sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.
Ya atau tidak. Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk pertanyaan
yang dijawab dengan "ya" atau "tidak". Mengingat kemungkinan salah ialah 50%,
jumlah pertanyaan harus banyak, paling sedikit 6 pertanyaan, misalnya :
"Andakah yang bernama Santoso?"
"Apakah AC dalam ruangan ini mati ?"
"Apakah ruangan ini kamar di hotel ?"
"Apakah diluar sedang hujan?"
"Apakah saat ini malam hari?"
Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah difahami dan kemudian
meningkat pada yang lebih sulit. Misalnya: "tunjukkan lampu", kemudian "tunjukkan gelas
yang ada disamping televisi".
Pemeriksaan sederhana ini, yang dapat dilakukan di sisi-ranjang, kurang mampu
menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali, namun dapat memberikan gambaran
kasar mengenai gangguan serta beratnya. Korelasi anatomis dengan komprehensi adalah
kompleks.
Pemeriksaan repetisi (mengulang)
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang, mula-
mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian ditingkatkan menjadi banyak (satu
kalimat). Jadi, kita ucapkan kata atau angka, dan kemudian pasien disuruh mengulanginya.
Cara pemeriksaan
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Mula-mula sederhana
kemudian lebih sulit. Contoh:
 Map
 Bola
 Kereta
 Rumah Sakit
 Sungai Barito
 Lapangan Latihan
 Kereta api malam
 Besok aku pergi dinas
 Rumah ini selalu rapi
 Sukur anak itu naik kelas
 Seandainya si Amat tidak kena influensa
Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan parafasia,
salah tatabahasa, kelupaan dan penambahan.
Orang normal umumnya mampu mengulang kalimat yang mengandung 19 suku-
kata.
Banyak pasien afasia yang mengalami kesulitan dalam mengulang (repetisi), namun
ada juga yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam hal mengulang, dan sering lebih
baik daripada berbicara spontan.
Umumnya dapat dikatakan bahwa pasien afasia dengan gangguan kemampuan
mengulang mempunyai kelainan patologis yang melibatkan daerah peri-sylvian. Bila
kemampuan mengulang terpelihara, maka daerah -sylvian bebas dari kelainan patologis.
Umumnya daerah ekstra-sylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa
defek repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler (area water-shed).
Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi herbahasa. Hal ini sedikit-
banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian, semua tes yang digunakan
untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap kemampuan ini. Kesulitan menemukan
kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama (menamai) dan hal ini disebut
anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian dari objek,
bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol matematik atau nama suatu
tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan aitem yang sering digunakan (misalnya sisir, arloji)
dan yang jarang ditemui atau digunakan (misalnya pedang). Banyak penderita afasia yang
masih mampu menamai objek yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat,
namun lamban dan tertegun, dengan sirkumlokusi (misalnya, melukiskan kegunaannya) atau
parafasia pada objek yang jarang dijumpainya.
Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, ia dapat dibantu dengan memberikan suku
kata pemula atau dengan menggunakan kalimat penuntun. Misalnya: pisau. Kita
dapat membantu dengan suku kata pi Atau dengan kalimat: "kita memotong daging dengan
". Yang penting kita nilai ialah sampainya pasien pada kata yang dibutuhkan,
kemampuannya (memberi nama objek). Ada pula pasien yang mengenal objek dan mampu
melukiskan kegunaannya (sirkumlokusi) namun tidak dapat menamainya. Misalnya bila
ditunjukkan kunci ia mengatakan : "Anu ... itu...untuk masuk rumah...kita putar".
Cara pemeriksaan. Terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan
nama beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut. Kita dapat menilai
dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata, kemudian bagian dari arloji
(jarum menit, detik), lensa kaca mata. Objek atau gambar objek berikut dapat digunakan:
Objek yang ada di ruangan: meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian dari tubuh: mata,
hidung, gigi, ibu jari, lutut
Warna: merah, biru, hijau, kuning, kelabu.
Bagian dari objek: jarum jam, lensa kaca mata, sol sepatu, kepala ikat pinggang, bingkai
kaca mata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau lamban atau
tertegun atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme dan apakah ada perseverasi.
Disamping menggunakan objek, dapat pula digunakan gambar objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia memilih nama objek tersebut
dari antara beberapa nama objek.
Gunakanlah sekitar 20 objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.
Area bahasa di posterior ialah area kortikal yang terutama bertugas memahami bahasa lisan.
Area ini biasa disebut area Wernicke; mengenai batasnya belum ada kesepakatan. Area
bahasa bagian frontal berfungsi untuk produksi bahasa. Area Brodmann 44 merupakan area
Broca.
Penelitian dengan PET (positron emission tomography) tentang meta-bolisme glukosa pada
penderita afasia, menyokong spesialisasi regional tugas ini. Namun demikian, pada hampir
semua bentuk afasia, tidak tergantung pada jenisnya, didapat pula bukti adanya
hipometabolisme di daerah temporal kiri. Penelitian ini memberi kesan bahwa sistem bahasa
sangat kompleks secara anatomi-fisiologi, dan bukan merupakan kumpulan dari pusat-pusat
kortikal dengan tugas-tugas terbatas atau terpisah-pisah atau sendiri-sendiri.

Pemeriksaan sistem bahasa


Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan bagaimana
pasien berbicara spontan, komprehensi (pemahaman), repetisi (mengulang) dan menamai
(naming).
Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa lisan. Selain itu, perlu pula
diperiksa sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan tangan (kidal atau
kandal).
Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang singkat dapat
diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu agrafia dan sering
aleksia, dengan demikian pengetesan membaca dan menulis dapat dipersingkat. Namun
demikian, pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan membaca dan menulis harus dilakukan
sepenuhnya, karena aleksa atau agrafia atau keduanya dapat terjadi terpisah (tanpa afasia).

Pemeriksaan penggunaan tangan (kidal atau kandal)


Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat Sebelum
menilai bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan
tangan. Mula-mula tanyakan kepadn p irsion apakah ia kandal (right handed) atau kidal.
Banyak orang kidal telah illnjarkan sejak kecil untuk menulis dengan tangan kanan. Dengan
ilcmikian, mengobservasi cara menulis saja tidak cukup untuk menentukan npakah seseorang
kandal atau kidal. Suruh pasien memperagakan tangan mana yang digunakannya untuk
memegang pisau, melempar bola, dsb.
Tanyakan pula apakah ada juga kecenderungannya menggunakan tangan yang lainnya.
Spektrum penggunaan tangan bervariasi dari kandal yang kuat; kanan sedikit lebih kuat dari
kiri; kiri sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal yang kuat. Ada individu yang kecenderungan
kandal dan kidalnya hampir sama (ambi-dextrous)

Pemeriksaan berbicara - spontan


Langkah pertama dalam menilai berbahasa ialah mendengarkan bagaimana pasien berbicara
spontan atau bercerita. Dengan mendengnrknn pasien berbicara spontan atau bercerita, kita
dapat memperoleh data yang sangat berharga mengenai kemampuan pasien berbahasa. Cara
Ini tidak kalah pentingnya dari tes-tes bahasa yang formal.
Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau berceritera melalui pertanyaan berikut :
Coba ceriterakan kenapa anda sampai dirawat di rumah sakit. Coba ceritakan mengenai
pekerjaan anda serta hobi anda.
Bila mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita, perhatikan:
1. Apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun-tegun, disprosodik (irama, ritme,
intonasi bicara terganggu). Pada afasia sering ada gangguan ritme dan
irama (disprosodi).
2. Apakah ada afasia, kesalahan sintaks, salah menggunakan kata
(parafasia, neologisme), dan perseverasi. Perseverasi sering dijumpai
pada afasia.
Parafasia. Parafasia ialah men-substitusi kata. Kita mengenai 2 jenis parafasia, yaitu parafasia
semantik (verbal) dan parafasia fonomik (literal). Parafasia semantik ialah mensubstitusi satu
kata dengan kata yang lain misalnya: "kucing" dengan "anjing". Parafasia fonemik, ialah
mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi yang lain, misalnya bir dengan kir, balon dengan
galon.
Afasia motorik yang berat biasanya mudah dideteksi. Pasien berbicaranya sangat terbatas
atau hampir tidak ada; mungkin ia hanya mengucapkan: "ayaa, ayaa, aaai, Hi".
Sesekali ditemukan kasus dimana pasien sangat terbatas kemampuan bicaranya, namun bila
ia marah, beremosi tinggi, keluar ucapan makian yang cara mengucapkannya cukup baik.
Afasia ialah kesulitan dalam memahami dan/atau memproduksi bahasa yang disebabkan oleh
gangguan (kelainan, penyakit) yang melibatkan hemisfer otak.
Didapatkan berbagai jenis afasia, masing-masing mempunyai pola abnormalitas yang dapat
dikenali, bila kita berbincang dengan pasien serta melakukan beberapa tes sederhana.

H. Terapi
Penatalaksanaan gangguan bahasa terlebih dahulu didasarkan mengatasi penyebabnya
seperti stroke, perdarahan akut, tumor otak dan sebagainya. Penanganan yang paling efektif
adalah dengan rehabilitasi berupa terapi bicara.
Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk melatih sel-sel yang tidak rusak
menggantikan sel-sel yang telah rusak. Salah satu rehabilitasi untuk mengatasi gangguan
berbicara dan berbahasa adalah dengan speech therapy merupakan penyediaan pelayanan
yang diberikan oleh health care profesional untuk membantu seseorang dalam memperbaiki
komunikasi. Didalamnya meliputi bagaimana membuat suara dan bahasa, termasuk
pengertian dan pemilihan kata yang digunakan.
Menurut hsdc (2006), terapi ini dimulai dari 24 jam pasien stroke masuk rumah sakit
(bila kondisi fisiknya telah memungkinkan), dan kemudian dilakukan secara berkelanjutan
sampai 1 – 2 tahun post stroke. Rehabilitasi secara dini akan mempercepat proses
penyembuhan, rehabilitasi ini harus rutin sehingga otak mampu untuk mengingatnya.
Rehabilitasi pasien dengan gangguan bahasa umumnya perlu :
1. menimbulkan motivasi agar pasien mau belajar berbicara lagi,
2. memberikan banyak stimulasi verbal dan tulisan.
3. melakukan repetisi secara kontinu.
Sedangkan, latihan pada pasien afasia berupa bina wicara dapat diberikan oleh
seorang yang profesional dan oleh keluarga yang telah mendapat petunjuk-petunjuk
mengenai terapi di rumah, karena pasien membutuhkan latihan terus menerus. Prinsip bina
wicara ialah motivasi, stimulasi dan repetisi. Pasien perlu mendapat motivasi untuk melatih
bicaranya. Jangan dibiarkan menggunakan bahasa isyarat dalam percakapan sehari-hari,
juga di rumahnya. Keluarga diberi tahukan untuk tidak membiarkan pasien memakai bahasa
isyarat. Pasien harus dipaksakan mengucapkan kata disamping isyarat yang dipakainya.
Terapis akan membuat program latihan bagi pasien yang disesuaikan dengan latar belakang
pendidikan dan berat-ringan afasianya. Program ini ditujukan untuk memberikan stimulasi
yang kontinu secara auditif atau tertulis. Pengulangan atau repetisi perlu dilakukan secara
teratur. Stimulasi taktil juga dapat dipakai bila diperlukan. Bina wicara (speech therapy)
pada afasia didasarkan pada :
1. Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum pasien sudah
memungkinkan pada fase akut penyakitnya.
2. Dikatakan bahwa bina wicara yang diberikan pada bulan pertama sejak mula sakit
mempunyai hasil yang paling baik.
3. Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti isyarat).
4. Program terapi yang dibuat oleh terapis sangat individual dan tergantung dari latar
belakang pendidikan, status sosial dan kebiasaan pasien.
5. Program terapi berlandaskan pada penumbuhan motivasi pasien untuk mau belajar (re-
learning) bahasanya yang hilang. Memberikan stimulasi supaya pasien memberikan
tanggapan verbal. Stimuli dapat berupa verbal, tulisan ataupun taktil. Materi yang telah
dikuasai pasien perlu diulangulang (repetisi).
6. Terapi dapat diberikan secara pribadi dan diseling dengan terapi kelompok dengan
pasien afasi yang lain.
7. Penyertaan keluarga dalam terapi sangat mutlak
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahar mardjono, Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. 2008. Dian Rakyat. Jakarta
2. Stefan Silbernagl, Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. 2007. EGC.
Jakarta.
3. Adult Aphasia. American Speech Language Hearing Association.2012
4. Sidiarto L, Kusumoputro S. Cermin Dunia Kedokteran No.34, Afasia Sebagai Gangguan
Komunikasi Pada Kelainan Otak. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
5. Kirshner HS, Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialties: Aphasia. 2009.
6. Pennstate, Health & Disease Information. Aphasia. 2010
Available at: http://www.hmc.psu.edu/healthinfo/a/aphasia.htm
7. National Institute On Deafness and Other Communication Disorders. Aphasia, Voice,
Speech and Language Health Info. 2010. Available at:
http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/aphasia.html
8. Lumbantobing SM, Neurologi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Bab XI: Berbahasa.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008

9. Guyton AC, Hall JE. Bab 57: Korteks Serebri; Fungsi Intelektual Otak; dan Proses
Belajar dan Mengingat. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1997.

10. Price SA, Wilson LM. Bagian IX: Penyakit Neurologi, Pemeriksaan Neurologis, Evaluasi
Penderita Neurologis. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi 4. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1995
11. Stroke and aphasia. American Stroke Association.2012
12. Aphasia Assesment.
http://www.neuropsychologycentral.com/interface/content/resources/page_material/resou
rces_general_materials_pages/resources_document_pages/aphasia_assessment.pdf. 2002
13. Speech and Language Therapy for aphasia following stroke. The Cochrane Collaboration.
2010.
14. Ninds. 2006. Aphasia. Available from : http://www.ninds.nih.gov.

Anda mungkin juga menyukai