DISUSUN OLEH:
PEMBIMBING:
dr. Nisita Suryanto, Sp.M
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS
Nama : Tn. S
Umur : 46 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Sragen, Jawa Tengah
Tanggal pemeriksaan : 4 Juli 2019
No. RM : 01467***
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Mata kanan terasa mengganjal
5. Simpulan Anamnesis
OD OS
Proses Inflamasi Normal
Lokasi Konjungtiva -
Sebab Iritasi akibat debu, sinar
-
matahari, udara panas
Perjalanan Kronik -
Komplikasi Penurunan penglihatan -
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kesan Umum
Keadaan umum baik, compos mentis, gizi kesan cukup
2. Vital Sign
Tekanan darah : 140/90 mmHg
RR : 20 x/menit
HR : 79 x/menit
Suhu : 36.5°C
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 65 kg
3. Pemeriksaan Subyektif
OD OS
A. Visus Sentralis
1. Visus sentralis jauh 6/10 6/6
a. pinhole 6/7 Tidak dilakukan
b. koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
c. refraksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2. Visus sentralis dekat Tidak dilakukan Tidak dilakukan
B. Visus Perifer
1. Konfrontasi tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2. Proyeksi sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
3. Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
4. Pemeriksaan Objektif
1. Sekitar mata OD OS
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. luka Tidak ada Tidak ada
c. parut Tidak ada Tidak ada
d. kelainan warna Tidak ada Tidak ada
e. kelainan bentuk Tidak ada Tidak ada
2. Supercilia
a. warna Hitam Hitam
b. tumbuhnya Normal Normal
c. kulit Sawo matang Sawo matang
d. gerakan Dalam batas normal Dalam batas normal
3. Pasangan bola mata dalam
orbita
a. heteroforia Tidak ada Tidak ada
b. strabismus Tidak ada Tidak ada
c. pseudostrabismus Tidak ada Tidak ada
d. exophtalmus Tidak ada Tidak ada
e. enophtalmus Tidak ada Tidak ada
4. Ukuran bola mata
a. mikroftalmus Tidak ada Tidak ada
b. makroftalmus Tidak ada Tidak ada
c. ptisis bulbi Tidak ada Tidak ada
d. atrofi bulbi Tidak ada Tidak ada
5. Gerakan bola mata
a. temporal Normal Normal
b. temporal superior Normal Normal
c. temporal inferior Normal Normal
d. nasal Normal Normal
e. nasal superior Normal Normal
f. nasal inferior Normal Normal
6. Kelopak mata
a. pasangannya
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) blefaroptosis Tidak ada Tidak ada
4.) blefarospasme Tidak ada Tidak ada
b. gerakannya
1.) membuka Tidak tertinggal Tidak tertinggal
2.) menutup Tidak tertinggal Tidak tertinggal
c. rima
1.) lebar 5 mm 5 mm
2.) ankiloblefaron Tidak ada Tidak ada
3.) blefarofimosis Tidak ada Tidak ada
d. kulit
1.) tanda radang Tidak ada Tidak ada
2.) warna Sawo matang Sawo matang
3.) epiblepharon Tidak ada Tidak ada
4.) blepharochalasis Tidak ada Tidak ada
e. tepi kelopak mata
1.) enteropion Tidak ada Tidak ada
2.) ekteropion Tidak ada Tidak ada
3.) koloboma Tidak ada Tidak ada
4.) bulu mata Dalam batas normal Dalam batas normal
7. sekitar glandula lakrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. benjolan Tidak ada Tidak ada
c. tulang margo tarsalis Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
8. Sekitar saccus lakrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. benjolan Tidak ada Tidak ada
9. Tekanan intraocular
a. palpasi Kesan normal Kesan normal
10. Konjungtiva
a. konjungtiva palpebra superior
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
b. konjungtiva palpebra inferior
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
c. konjungtiva fornix
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) benjolan Tidak ada Tidak ada
d. konjungtiva bulbi
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemis Ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) injeksi konjungtiva Tidak Ada Tidak ada
5.) injeksi siliar Tidak Ada Tidak ada
6 ) jaringan fibrovaskular Ada (pada bagian Tidak ada
nasal dan
temporal)
e. caruncula dan plika
semilunaris
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemis Tidak ada Tidak ada
3.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
11. Sklera
a. warna Putih Putih
b. tanda radang Tidak ada Tidak ada
c. penonjolan Tidak ada Tidak ada
12. Kornea
a. ukuran 10 mm 10 mm
b. limbus Jernih Jernih
c. permukaan Bagian temporal Rata, mengkilat
terdapat jaringan
fibrovaskular,
bagian lain rata
dan mengkilat
d. keratoskop ( placido ) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
e. fluorecsin tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
f. arcus senilis Tidak ada Tidak ada
13. Kamera okuli anterior
a. kejernihan Jernih Jernih
b. kedalaman Dalam Dalam
14. Iris
a. warna Cokelat Coklat
b. bentuk Tampak lempengan Tampak lempengan
c. sinekia anterior Tidak ada Tidak ada
d. sinekia posterior Tidak ada Tidak ada
15. Pupil
a. ukuran 3 mm 3 mm
b. bentuk Bulat Bulat
c. letak Sentral Sentral
d. reaksi cahaya langsung Positif Positif
g. reaksi cahaya tidak langsung Positif Positif
f. tepi pupil Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
16. Lensa
a. ada/tidak Ada Ada
b. kejernihan Jernih Jernih
c. letak Sentral Sentral
e. shadow test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
17. Corpus vitreum
a. Kejernihan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
b. Reflek fundus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
D. SIMPULAN PEMERIKSAAN
OD OS
A. Visus sentralis jauh Visus 6/10 Visus 6/6
G. DIAGNOSIS
OD pterigium nasal et temporal inflamation
H. TERAPI
1. Nonmedikamentosa
Edukasi mengenai penyakit, terapi, dan prognosis
Edukasi untuk menjaga hygiene daerah mata dan menghindari paparan
debu
Edukasi untuk mengenakan kacamata gelap saat bekerja
Edukasi untuk kontrol 1 bulan kemudian
2. Medikamentosa
Cendo Polydex ED 1 tetes/4 jam
Cendo Cenfresh ED 1 tetes/3 jam
I. PLANNING
1. Evaluasi kembali 1 bulan
J. PROGNOSIS
OD OS
1. Ad vitam Bonam Bonam
2. Ad fungsionam Bonam Bonam
3. Ad sanam Bonam Bonam
4. Ad kosmetikum Bonam Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
B. Pterygium
1. Definisi
Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk
segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah
interpalpebra. Pterygium tumbuh berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.
Asal kata pterygium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya
sayap (Stephen GW, 2004).
2. Epidemiologi
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah
iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering.
Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni
daerah yang terletak kurang 370 Lintang Utara dan Selatan dari ekuator.
Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2%
pada daerah yang terletak di atas 400 Lintang. Insiden pterygium cukup
tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1% (Edward,
2002).
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi
pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang
(rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali
lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan
rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah (Stephen, 2004; Edward,
2002).
3. Faktor Resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan
yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di
udara dan faktor herediter (Edward, 2002).
a. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya
pterygium adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi
kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel.
Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga
merupakan faktor penting.
b. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan
riwayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom
dominan.
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru
patogenesis dari pterygium. Wong juga menunjukkan adanya pterygium
angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy
antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah, dan
trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma
juga penyebab dari pterygium (Edward, 2002).
4. Patogenesis
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini
lebih sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu
gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap
faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet),
daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan
lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan
kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan
salah satu teori. Tingginya insiden pterygium pada daerah dingin, iklim
kering mendukung teori ini (American Academy of Ophtalmology, 2007-
2008).
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada
limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta
diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase
meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi
perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik
proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus
kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman
oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi
ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia
(American Academy of Ophtalmology, 2007-2008).
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada
keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan
konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah
pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini
juga ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian
menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau
disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi
kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra (Edward, 2002).
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan
perubahan phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media
mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast
konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun menunjukkan
proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan
matrix metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk
jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini
menjelaskan kenapa pterygium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma
kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi (Edward, 2002).
5. Gambaran Klinis Dan Pembagian Pterygium
Pterygium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar
rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal.
Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara
bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan.
Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterygium dapat
sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan,
menyebabkan penglihatan kabur (Edward, 2002).
Secara klinis pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga
pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra.
Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal.
Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala
pterygium (stoker's line) (Stephen, 2004).
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan
cap. Bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya
kearah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke
belakang disebut cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex
dan membentuk batas pinggir pterygium (Stephen, 2004).
Pembagian pterygium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2
tipe, yaitu :
a. Progresif pterygium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
depan kepala pterygium (disebut cap pterygium).
b. Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang (Edward, 2002).
Pada fase awal pterygium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik.
Gangguan terjadi ketika pterygium mencapai daerah pupil atau
menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi.
Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan
mata (Edward, 2002).
Pembagian lain pterygium yaitu :
a. Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi
dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering
asimptomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien
dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
b. Type II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren
setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmatisma.
c. Type III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual.
Lesi yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan
fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya
menyebabkan gangguan pergerakan bola mata (Kanskii, 2007).
Pterygium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :
a. Derajat 1 : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
b. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2
mm melewati kornea.
c. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil
mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar
3 – 4 mm)
d. Derajat 4 : pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
6. Diagnosa Banding
Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang
sama yaitu pinguekula dan pseudopterygium. Bentuknya kecil, meninggi,
masa kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di
fissura interpalpebra dan kadang-kadang mengalami inflamasi. Tindakan
eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat dengan
meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis
dan angka kejadian sama pada laki-laki dan perempuan. Paparan sinar
ultraviolet bukan faktor resiko penyebab pinguekula.
Pertumbuhan yang mirip dengan pterygium, pertumbuhannya
membentuk sudut miring seperti pseudopterygium atau Terrien's marginal
degeneration. Pseudopterygium mirip dengan pterygium, dimana adanya
jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju
kornea. Berbeda dengan pterygium, pseudopterygium adalah akibat
inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia,
konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Untuk
mengidentifikasi pseudopterygium, cirinya tidak melekat pada limbus
kornea. Probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian
bawah pseudopterygium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan
pada pterygium. Pada pseudopterygium tidak dapat dibedakan antara head,
cap dan body dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang fissura
interpalpebra yang berbeda dengan true pterygium (Stephen, 2004; Edward,
2002).
7. Penatalaksanaan
Keluhan fotofobia dan mata merah dari pterygium ringan sering
ditangani dengan menghindari asap dan debu. Beberapa obat topikal seperti
lubrikans, vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan untuk
menghilangkan gejala terutama pada derajat 1 dan derajat 2. Untuk
mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan
kacamata pelindung ultraviolet (Stephen, 2004; Nema, 2002; Riordani,
2004; Gazzard, 2002).
Indikasi eksisi pterygium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada
kondisi adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila
ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea atau aksis
visual, adanya gangguan pergerakan bola mata (American Academy of
Ophtalmology, 2007).
Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan
mata yang licin. Suatu tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat
pterygium dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi
pterygium kearah limbus. Memisahkan pterygium kearah bawah pada
limbus lebih disukai, kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena
trauma jaringan sekitar otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk
mengontrol perdarahan. Beberapa tehnik operasi yang dapat menjadi pilihan
yaitu :
a. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable
digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi
tendon rektus. Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka.
b. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif
jika hanya defek konjungtiva sangat kecil).
c. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap
konjungtiva digeser untuk menutupi defek.
d. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk
lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.
e. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior,
dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan
dijahit.
f. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren
pterygium, mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata
dan penelitian baru mengungkapkan menekan TGF-β pada konjungtiva
dan fibroblast pterygium. Pemberian mytomicin C dan beta irradiation
dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan.
g. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy
dan terapi baru dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.
8. Komplikasi
Komplikasi pterygium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada
konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan
penglihatan sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat
menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah malignan
degenerasi pada jaringan epitel di atas pterygium yang ada (Gazzard, 2002).
Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft
oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral
dellen, granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva,
skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus. Komplikasi yang
terbanyak adalah rekuren pterygium post operasi (Edward, 2002).
9. Prognosa
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa
tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan
pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali (Fisher, 2005).
Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu
masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk
pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi
dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan
eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi
membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 – 6 bulan pertama
setelah operasi (Fisher, 2005).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi, pasien didiagnosa
dengan pterigium. Pada kasus ini dilakukan penatalaksanaan awal yaitu dengan
memberikan cendo polydex tetes mata yang diberikan setiap 4 jam dan cendo
Cenfresh tetes mata yang diberikan setiap 3 jam untuk mengatasi gejala
simtomatik dan mengurangi keluhan subjektif pasien serta memperbaiki
kualitas lapisan air mata pada pasien tersebut. Selanjutnya, pasien di evaluasi
kembali satu bulan dari kedatangannya di poli mata.
B. Saran
1. Pasien perlu diedukasi setiap beraktivitas di luar wajib menggunakan alat
pelindung mata, seperti topi lebar, payung atau kacamata dengan filter
terhadap ultraviolet untuk mengurangi paparan sinar UV
2. Menjaga kebersihan agar tidak terjadi infeksi
3. Apabila sudah mengganggu penglihatan atau kosmetik, bisa dilakukan
tindakan pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA