Anda di halaman 1dari 19

Presentasi Kasus

ILMU PENYAKIT MATA


PINGUEKULITIS

Oleh:
Abdullah Al-Hazmy
G99142059
I Kadek Rusjaya G99142060
Melani Ratih Mahanani G99142061
Sani Widya Firnanda G99142062
Arwindya Galih D G99142063
Berlian Adji W P
Hera Amalia Utami
Windy Monica

Pembimbing :
Djoko Susianto., dr, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Pinguekula adalah nodul dan lesi kekuningan pada konjungtiva.


Konjungtiva merupakan lapisan tipis yang menutupi bagian berwarna putih pada
mata. Pinguekula dapat terjadi pada semua umur namun umumnya ditemukan
pada usia paruh baya dan pasien usia tua. Pertumbuhan pinguekula dipengaruhi
oleh sejumlah faktor intrinsik dan ekstrinsik di antaranya paparan sinar matahari,
angin, dan debu. Patogenesis pinguekula sampai saat ini belum diketahui
sepenuhnya [1]. Pinguekula juga menunjukkaan karakteristik yang berhubungan

0
dengan mutasi p53 dan peningkatan metabolism kolesterol, dan potensi proliferasi
jaringan [2]. Dong et al. [3] melaporkan bahwa pinguekula memiliki diferensiasi
epitel yang abnormal pada proliferasi dan metaplasia skuamosa. Pertumbuhan
abnormal pada mata ini umunya tidak perlu disingkirkan dan mayoritas kasus
yang ada tidak terdapat perlu diberikan terapi yang berarti. Secara histologi,
pingekula memiliki kesamaan dengan pterigium, namun tidak menyebabkan
kelainan pada kornea (Gut et al., 2014)
Negara Indonesia beriklim tropis, penduduknya memiliki risiko tinggi
mengalami pterigium dan pinguekula. Dari hasil penelitian G Gazzard dari
Singapore National Eye Center, yang melakukan penelitian di daerah Riau,
didapatkan bahwa prevalensi pterigium pada usia di atas 21 tahun adalah 10%
sedangkan di atas 40 tahun adalah 16,8% (Ilyas, 2001; Riordan, 2010; Soewono,
2006).
Banyak penelitian telah dilakukan di seluruh duania yang menyajikan data
prevalensi pterigium dan faktor resiko yang menyebabkan; prevalensi kasus
unilateral pada pterigium adalah 0.3% hingga 37.1%. Sebaliknya, penelitian pada
kasus pinguekula belum banyak dilakukan, dan prevalensi pada kasus yang
dilaporkan pada beberapa penelitian unilateral 41.0% hingga 90% (Kim et al.,
2014).

BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama / No. RM : Ny. K
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat :Jebres, Surakarta
Tanggal periksa : 3 November 2016
No. RM : 013583xx
Cara Pembayaran : BPJS

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama : Mata kiri merah
B. Riwayat Penyakit Sekarang :

1
Pasien datang mengeluh mata sebelah kiri merah. Keluhan ini
sudah dirasakan pasien sejak 5 hari sebelumnya. Keluhan ini dirasakan
terus menerus. Pasien belum pernah memeriksakan keluhannya tersebut.
Selain itu pasien juga mengeluh mata sebelah kiri gatal, nyeri, pedas dan
mengganjal. Pasien tidak mengeluhkan pandangan kabur, pandangan
double, silau, cekot-cekot, nrocos ataupun keluar kotoran. Pasien
bekerja sebagai pedagang yang menyebabkan matanya sering terpapar
matahari, debu dan angin. Pasien mengaku tidak pernah menggunakan
topi, kacamata dan contac lens. Karena pasien sering terpapar debu,
pasien sering merasa ada yang menempel dimatanya lalu mengucek
mata. Mata sebelah kiri tidak ada keluhan.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat trauma mata : disangkal
- Riwayat operasi mata : disangkal
- Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
- Riwayat pemakaian kacamata : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat pemakaian kacamata : disangkal
E. Kesimpulan Anamnesis
OD OS
Proses - Mata merah
Lokalisasi - Konjungtiva bulbi
Sebab - Inflamasi
Perjalanan - Akut
Komplikasi - Belum ada

2
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Kesan umum
Keadaan umum baik, compos mentis, gizi kesan cukup.
B. Pemeriksaan Subyektif
OD OS
A. Visus Sentralis
1. Visus sentralis jauh 6/6 6/6
a. pinhole Tidak dilakukan Tidak dilakukan
b. dengan kacamata Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2. Visus sentralis dekat Tidak dilakukan Tidak dilakukan
B. Visus Perifer
1. Konfrontasi test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2. Proyeksi sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
3. Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

C. Pemeriksaan Obyektif
1. Sekitar mata OD OS
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. luka Tidak ada Tidak ada
c. parut Tidak ada Tidak ada
d. kelainan warna Tidak ada Tidak ada
e. kelainan bentuk Tidak ada Tidak ada
2. Supercilia
a. warna Hitam Hitam
b. tumbuhnya Normal Normal
c. kulit Sawo matang Sawo matang
d. gerakan Dalam batas normal Dalam batas normal
3. Pasangan bola mata
a. heteroforia Tidak ada Tidak ada
b. strabismus Tidak ada Tidak ada
c. pseudostrabismus Tidak ada Tidak ada
d. exophtalmus Tidak ada Tidak ada
e. enophtalmus Tidak ada Tidak ada
4. Ukuran bola mata

3
a. mikroftalmus Tidak ada Tidak ada
b. makroftalmus Tidak ada Tidak ada
c. ptosis bulbi Tidak ada Tidak ada
d. atrofi bulbi Tidak ada Tidak ada
5. Gerakan bola mata
a. temporal Tidak terhambat Tidak terhambat
b. temporal superior Tidak terhambat Tidak terhambat
c. temporal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat
d. nasal Tidak terhambat Tidak terhambat
e. nasal superior Tidak terhambat Tidak terhambat
f. nasal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat
6. Kelopak mata
a. pasangannya
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) blefaroptosis Tidak ada Tidak ada
4.) blefarospasme Tidak ada Tidak ada
b. gerakannya
1.) membuka Tidak tertinggal Tidak tertinggal
2.) menutup Tidak tertinggal Tidak tertinggal
c. rima
1.) lebar 10 mm 10 mm
2.) ankiloblefaron Tidak ada Tidak ada

3.) blefarofimosis Tidak ada Tidak ada


d. kulit
1.) tanda radang Tidak ada Tidak ada
2.) warna Sawo matang Sawo matang
3.) epiblepharon Tidak ada Tidak ada
4.) blepharochalasis Tidak ada Tidak ada
e. tepi kelopak mata
1.) enteropion Tidak ada Tidak ada
2.) ekteropion Tidak ada Tidak ada
3.) koloboma Tidak ada Tidak ada
4.) bulu mata Dalam batas normal Dalam batas normal
7. sekitar glandula lakrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. benjolan Tidak ada Tidak ada
c. tulang margo tarsalis Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
8. Sekitar saccus lacrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. benjolan Tidak ada Tidak ada
9. Tekanan intraokular
a. palpasi Kesan normal Kesan normal

4
b. tonometri schiotz Tidak dilakukan Tidak dilakukan
c. NCT Tidak dilakukan Tidak dilakukan

10. Konjungtiva

a. konjungtiva palpebra superior


1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
b. konjungtiva palpebra inferior
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
c. konjungtiva fornix
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) benjolan Tidak ada Tidak ada
d. konjungtiva bulbi
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemis Tidak ada Ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) injeksi konjungtiva Tidak ada Ada
5.) injeksi siliar Tidak ada Tidak ada
6.) pterigium Tidak ada Tidak ada
7.) bangunan patologis Tidak ada Ada (terdapat
bangunan patologis
penebalan selaput
putih kekuningan dari
arah nasalis masuk
daerah limbus)

e. caruncula dan plika semilunaris


1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemis Tidak ada Tidak ada
3.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
11. Sclera
a. warna Putih Putih
b. tanda radang Tidak ada Tidak ada
c. penonjolan Tidak ada Tidak ada
12. Kornea

5
a.. limbus Jernih Jernih
b. permukaan Licin, regular Licin, regular
c. sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

OD OS
13. Kamera okuli anterior
a. kejernihan Jernih Jernih
b. kedalaman Dalam Dalam
14. Iris
a. warna Hitam Hitam
b. bentuk Tampak lempengan Tampak lempengan
c. sinekia anterior Tidak tampak Tidak tampak
d. sinekia posterior Tidak tampak Tidak tampak
15. Pupil
a. bentuk Bulat Bulat
b. letak Sentral Sentral
c. reaksi cahaya langsung Positif Positif
d. tepi pupil Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
16. Lensa

a. ada/tidak Ada Ada


b. kejernihan Jernih Jernih
c. letak Sentral Sentral
e. shadow test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
17. Corpus vitreum
Kejernihan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflek fundus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN


OD OS
A. Visus sentralis jauh 6/6 6/6
B. Visus perifer
1. Konfrontasi tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2. Proyeksi sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
3. Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
C. Sekitar mata Dalam batas normal Dalam batas normal
D. Supercilium Dalam batas normal Dalam batas normal
E. Pasangan bola mata dalam Dalam batas normal Dalam batas normal
orbita
F. Ukuran bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal
G. Gerakan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal
H. Kelopak mata Dalam batas normal Dalam batas normal

6
I. Sekitar saccuslacrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal
J. Sekitar glandula lakrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal
K. Tekanan intra okular Dalam batas normal Dalam batas normal
L. Konjungtiva palpebra Dalam batas normal Dalam batas normal
M. Konjungtiva bulbi Dalam batas normal Hipermis dan
bangunan patologis
penebalan selaput
putih kekuningan
dari arah nasalis
masuk daerah
limbus)
N. Konjungtiva fornix Dalam batas normal Dalam batas normal
O. Sklera Dalam batas normal Dalam batas normal
P. Kornea Dalam batas normal Dalam batas normal
Q. Camera okuli anterior Dalam batas normal Dalam batas normal
R. Iris Dalam batas normal Dalam batas normal
S. Pupil Dalam batas normal Dalam batas normal
T. Lensa Dalam batas normal Dalam batas normal
U. Corpus vitreum Tidak dilakukan Tidak dilakukan

7
V. GAMBARAN KLINIS

Gambar 2.1 Okular Dextra Sinistra

Gambar 2.2 Okular Sinistra

8
VI. DIAGNOSIS BANDING
1. OS Pinguekulitis
2. OS Pinguekula

3. OS Pterigium

4. OS Pseudopterigium
5. OS Corpus aleanum
6. OS konjungtivitis
7. OS episkleritis

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


-

VIII. DIAGNOSIS
OS Pinguekulitis

IX. TERAPI
Non Medikamentosa
Edukasi :
 Hindari paparan sinar matahari, debu maupun angina, ataupun asap
dengan menggunakan kacamata
 Jangan menggosok-gosok mata
 Menggunakan obat secara teratur
Medikamentosa
 Tobrosan 4 dd gtt I OS
 Cendo Lyteers 4 dd gtt I OS

X.PROGNOSIS
OD OS
Ad vitam Bonam Bonam
Ad sanam Bonam Bonam
Ad fungsionam Bonam Bonam
Ad kosmetikum Bonam Dubia

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Mata dan Konjungtiva


Mata adalah sebuah organ yang kompleks yang memiliki lebih
dari satu sistem anatomi yang mendukung fungsi mata itu sendiri. Secara
garis besar anatomi mata terdiri dari (luar – ke dalam), yaitu kornea, kamera
okuli anterior, iris, lensa, kamera okuli posterior (vitreus body), retina, dan
nervus optikus. Ada beberapa sistem anatomi yang mendukung fungsi organ
mata, yaitu :
1. Anatomi kelopak mata
Kelopak mata memiliki peranan proteksi terhadap bola mata
dari benda asing yang menbahayakan mata. Kelopak atau palpebra
mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi
kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea. Pada
kelopak terdapat bagian – bagian seperti kelanjar sebasea, kelenjar
Moll, kelenjar Zeis dan kelenjar Meibom. Sementara pergerakan
kelopak mata dilakukan oleh M. Levator palpebra yang dipersarafi oleh
N. Fasialis.
2. Anatomi sistem lakrimal
Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu :
a. Sistem produksi atau glandula lakrimal. Sistem sekresi air mata
atau lakrimal terletak di daerah temporal bola mata.
b. Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal,
sakus lakrimal, duktus nasolakrimal, meatus inferior.
3. Anatomi konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan
kelopak bagian belakang. Bermacam – macam obat mata dapat diserap
melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang
dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata
terutama kornea.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
a. Konjungitva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar
digerakkan dari tarsus.

10
b. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari
sklera di bawahnya.
c. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan
tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat
longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah
bergerak.
4. Anatomi bola mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm.
Bola mata di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang
lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang
berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu :
a. Sklera, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata.
Bagian terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan
yang memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata.
b. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan
uvea dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah
apabila terjadi perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan
suprakoroid. Jaringan uvea terdiri atas iris, badan siliar dan koroid.
Badan siliar menghasilkan cairan bilik mata (akuos humor).
c. Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan
mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis
membran neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi
rangsangan pada saraf optik dan diteruskan ke otak.
5. Anatomi rongga orbita
Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat
7 tulang yang membentuk dinding orbita yaitu: lakrimal, etmoid,
sfenoid, frontal, dan dasar orbita yang terutama terdiri atas tulang
maksila, bersama–sama tulang palatinum dan zigomatikus.

11
Gambar 3.1 Anatomi mata

B. Fisiologi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukus yang transparan yang
membentang di permukaan dalam kelopak mata dan permukaan bola mata
sejauh dari limbus. Ini memiliki suplai limfatik yang tebal dan sel
imunokompeten yang berlimpah. Mukus dari sel goblet dan sekresi dari
kelenjar aksesoris lakrimal merupakan komponen penting pada air mata.
Konjungtiva merupakan barier pertahanan dari adanya infeksi. Aliran
limfatik berasal dari nodus preaurikuler dan submandibula, yang
berkoresponden dengan aliran di kelopak mata. Konjungtiva terdiri atas 3
bagian, yaitu :
1. Konjungtiva palpebra dimulai dari hubungan mukokutaneus pada tepi
kelopak dan bergabung ke lapis tarsal posterior (Ilyas dan Yulianti,
2012). Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak
mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus,
konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior)
dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris
(Vaughan, 2000).
2. Konjungtiva forniks merupakan konjungtiva peralihan konjungtiva
palpebra dan bulbi.
3. Konjungtiva bulbi yang menutupi sklera anterior dan bersambung
dengan epitel kornea pada limbus. Punggungan limbus yang melingkar
membentuk palisade Vogt. Stroma beralih menjadi kapsula Tenon
kecuali pada limbus dimana dua lapisan menyatu (Ilyas dan Yulianti,
2012).. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di
forniks dan melipat berkali–kali. Pelipatan ini memungkinkan bola
mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik.
Lipatan konjungtiva bulbaris tebal, mudah bergerak dan lunak (plika

12
semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata
ketiga pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam
daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika
semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen
kulit dan membran mukosa (Vaughan, 2000).

Gambar 3.2. Anatomi konjungtiva mata

C. Pasokan darah, limfe dan persarafan


Arteri–arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan
arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama
dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya
membentuk jaring – jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.
Pembuluh limfe konjungtiva terusun dalam lapisan superfisial dan
lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata
hingga membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima
persarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V. Saraf ini hanya
relatif sedikit mempunyai serat nyeri (Vaughan, 2000). Histologi
konjungtiva :
1. Epitel konjungtiva merupakan jenis yang non-keratinisasi dan tebalnya
sekitar 5 sel. Sel basal kuboid menyusun sel polihedral yang mendatar
sebelum sel tersebut terlepas dari permukaan. Sel goblet terdapat di
dalam sel epitelnya. Sel goblet kebanyakan terdapat di inferoir dari

13
nasal dan di konjungtiva forniks, dimana jumlahnya sekitar 5 – 10%
jumlah sel basal (Ilyas dan Yulianti, 2012).. Lapisan epitel konjungtiva
terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat,
superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas
karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak
mata terdiri dari sel – sel epitel skuamosa. Sel – sel epitel basal
berwarna lebih pekat daripada sel – sel superfisial dan di dekat limbus
dapat mengandung pigmen (Vaughan, 2000).
2. Stroma (substansia propria) terdiri atas jaringan ikat yang banyak
kehilangan pembuluh darah. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu
lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundus).
Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat
dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi
berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis
inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa
kemudian menjadi folikuler.
D. Pinguekulitis
1. Definisi
Pinguekula adalah benjolan yang merupakan degenerasi hialin
jaringan submukosa konjungtiva pada konjungtiva bulbi. Letak bercak
ini di daerah celah kelopak mata, baik bagian temporal maupun nasal,
terutama di bagian nasal. Pinguekula dapat ditemukan pada orang tua,
namun juga bisa pada orang dewasa dan akan-anak, baik laki-laki
maupun perempuan (Ilyas dan Yulianti, 2012; Perdami, 2010; Ilyas,
2009).
Pingekuela terlihat sebagai penonjolan berwarna putih hingga
kuning keabu-buan, berupa hipertrofi atau penebalan selaput lendir
(Perdami, 2010). Pinguekulitis merupakan peradangan dan
pembengkakan pinguekula (Ilyas, 2009). Pembuluh darah tidak masuk
ke dalam pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi

14
(penguekulitis), maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat
pembuluh darah yang melebar (Ilyas dan Yulianti, 2012).

2. Etiologi
Terdapat terutama di daerah tropis dan berhubungan langsung
dengan pajanan sinar ultraviolet dan lingkungan berangin. Lebih sering
pada orang dewasa yang sering terpajan sinar matahari, debu, dan angin
panas (Ilyas dan Yulianti, 2012; Perdami, 2010; Ilyas, 2009).

3. Gejala Klinis
Penonjolan berwarna kuning-putih (yellow-white deposits) yang
terletak di dekat limbus (Perdami, 2010). Berbeda dengan pterigium
yang berbentuk seperti baji dan merupakan jaringan fibrosis yang
tumbuh ke arah kornea. Pada pinguekula, penonjolan yang merupakan
degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva hanya akan ada di
bagian sklera, tidak mencapai pada bagian kornea (Micha, 2011).
Dalam keadaan iritasi, keluhan biasanya terasa seperti ada benda
asing disertai adanya hiperemi akibat injeksi konjungtiva. Penderita
umumnya datang pada dokter karena adanya peradangan tersebut, atau
karena penonjolan yang jelas sehingga penderita khawatir akan terjadi
suatu keganasan, atau karena alasan kosmetik (Perdami, 2010).

4. Gambaran Histopatologi
Pada gambaran histopatologi menunjukan degenerasi serat
kolagen stroma konjungtiva dengan menipisnya epitel permukaan dan
disertai kalsifikasi akibat perkembangannya yang lambat (Ilyas, 2009).

5. Diagnosis Banding
Pinguekulitis dapat didiagnosis banding dengan pterigium,
episkleritis, dan konjungtivitis. Pterigium adalah suatu pertumbuhan
fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degenerative dan invasive.
Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
maupun temporal konjungtiva yang meluas ke arah kornea. Pterigium
mudah meradang dan mengiritasi kedua mata (Ilyas, 2009).
Pterygium dapat berupa berbagai macam perubahan
fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan pada kornea. Penyakit

15
ini lebih sering menyerang konjungtiva nasal dan akan meluas ke
kornea bagian nasal. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik sering
didapatkan berbagai macam keluhan, mulai dari tidak ada gejala yang
berarti sampai mata menjadi sangat merah, mata gatal, iritasi, berair,
dan pandangan kabur, disertai jejas pada konjungtiva yang membesar
(IIyas, 2009).
Apabila terjadi ulkus kornea atau kerusakan permukaan kornea,
Pseudopterigium dapat terjadi akibat proses penyembuhan, konjungtiva
menutupi luka kornea tersebut, sehingga terlihat seolah-olah
konjungtiva menjalar ke kornea. Pada pseudopterygium dapat
dimasukkan sonde di bawahnya, dan tidak bersifat progresif.
Pseudopterygium tidak memerlukan pengobatan, serta pembedahan
kecuali sangat mengganggu visus atau alasan kosmetik (Perdami,
2010).
Episkleritis adalah peradangan pada lapisan paling luar sklera
yang umumnya disebabkan alergi. Pada mata dapat ditemukan
kemerahan setempat yang menunjukkan pelebaran pembuluh darah
episklera. Peradangan dapat pula mengenai hampir seluruh bola mata
(Perdami, 2010).
Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya
inflamasi pada konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva, selaput
bening yang menutupi bagian berwarna putih pada mata dan permukaan
bagian dalam kelopak mata (Bradford, 2004).

6. Penegakan Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala saat
anamnesis dan hasil pemeriksaan. Pada pinguekulitis secara umum
dilakukan pemeriksaan inspeksi menggunakan slit lamp (Caesarina,
2012).

7. Penatalaksanaan
Pinguekula biasa tidak memerlukan pengobatan dan bila
mengganggu kosmetik kadang-kadang dilakukan eksisi. Namun,
apabila terlihat adanya tanda peradangan atau terjadi pinguekulitis dapat

16
diberi obat anti radang yang akan mengurangi mata merah. Steroid
topikal dapat mempercepat redanya peradangan. Dapat pula dianjurkan
untuk menghindari faktor-faktor pemicu rangsangan (Ilyas dan Yulianti,
2012; Perdami, 2010; Ilyas, 2009).
Hendaknya pasien melakukan mengkonsumsi obat secara
teratur dan kembali untuk kontrol pada waktu yang telah ditentukan.
Hindari mengucek mata karena dapat memperparah iritasi. Setelah
iritasi sembuh, sebaiknya pasien melindungi mata dari faktor-faktor
penyebab timbulnya iritasi ulang, misalnya dengan menggunakan
kacamata pelindung pada saat keluar rumah.

17
DAFTAR PUSTAKA

Bradford C. 2004. Basic Ophtalmology. 8th Edition. San Fransisco-American


Academy of Opthalmology.
Caesarina, IR. 2012. Pinguekula. NTB: Universitas Mataram.
Gul A, Goker H, Sabanci S, Turkyilmaz K (2014). Relationship between
pinguecula formation and exposure to tandoor ovens in a hospital-
based study. Int J Ophthalmol Vol. 7 No. 6 1014-1016
Ilyas S. 2009. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Ilyas S dan Yulianti SR (2012). Ilmu penyakit mata edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI.
Kim TH, Chun YS, Kim JC (2013). The pathologic characteristics of
pingueculae on autofluorescence images. Korean J Ophtalmol
2013;27(6):414-420
Micha, Munro. 2011. Pinguecula and Pterygium.
http://www.faculty.sfasu.edu/munromicha/spe516/pinguecula_pterygi
um_simms.doc – Diakses Mei 2015
Perdami. 2010. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa
Kedokteran. Jakarta: Perdami.
Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum. 2000. Widia Meka. Jakarta.

18

Anda mungkin juga menyukai