Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

SEORANG WANITA USIA 54 TAHUN DENGAN OS ULKUS KORNEA


PERFORASI EC HERPES ZOSTER OFTALMIKUS

DISUSUN OLEH :

Akhlis Mufid Auliya G99172028

Akmalia Fatimah G99172029

Fauziah Nur Sabrina G99181030

Gerry G99171018

Rahma Luthfa Annisa G99172137

PEMBIMBING :
dr. Andi Cleveriawan, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea sering dikaitkan


dengan inflamasi. Kebanyakan ulkus kornea bersifat infeksius, termasuk yang
disebabkan oleh bakteri atau virus. Ulkus yang tidak menular biasanya disebabkan
karena autoimun, bahan kimia, toksik dan lain-lain (Borke, 2018).

Ulkus kornea termasuk dalam suatu kegawatdaruratan karena dapat merusak


penglihatan secara permanen atau berkembang menjadi perforasi. Keluhan yang
dirasakan pasien antara lain nyeri, mata merah, nrocos dan penglihatan kabur (Borke,
2018).

Penelitian menunjukkan faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian ulkus


kornea adalah penggunaan lensa kontak, laki-laki, merokok, dan akhir musim dingin.
Keluhan yang dirasakan pasien antara lain nyeri, mata merah, nrocos dan penglihatan
kabur (Knobbe, 2016).

Beratnya penyakit ditentukan oleh keadaan fisik pasien, lokasi, ukuran ulkus
yang terjadi. Prognosis dari ulkus kornea adalah dubia tergantung dari perkembangan
infeksi yang terjadi. Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang cepat dan tepat
(Borke,2018;Knobbe,2016).
BAB II

STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS
Nama : Ny. S
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Suku : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Kristen
Alamat : Jebres, Surakarta, Jawa Tengah
Tanggal pemeriksaan : 2 Januari 2019
No. RM : 0143xx

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri di mata kiri

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dating ke Poli Mata RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan rasa
nyeri di mata kiri sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya, keluhan nyeri muncul
bersamaan dengan bintik putih di mata kiri yang kemudian semakin
membesar dan menghalangi penglihatan pasien. Keluhan dirasakan terus
menerus dan semakin memberat. Pasien mengeluhkan mata kirinya sudah
tidak dapat melihat. Pasien juga mengeluhkan mata kirinya merah, panas,
kemeng, dan mengganjal. Keluhan lain seperti cekot-cekot disangkal. Pasien
belum berobat untuk mengurangi keluhan pada matanya.
Tiga bulan sebelumnya pasien mengaku menderita penyakit herpes
zoster. Keluhan plenting-plenting yang nyeri muncul di area dahi, kelopak
mata, hidung hingga kulit kepala sisi kiri. Pasien sudah berobat dan
penyakitnya sudah sembuh. Namun 1 bulan belakangan justru muncul
keluhan bintik putih di mata kirinya yang terasa nyeri namun tidak dihiraukan
oleh pasien hingga saat ini bintik putih tersebut membesar dan terasa sangat
nyeri.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat rawat inap : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat operasi mata : disangkal
Riwayat kacamata : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal

5. Simpulan Anamnesis

OD OS
Proses - Virus Herpes Zoster menginfeksi kornea
sehingga muncul reaksi peradangan dan
menghasilkan infiltrat yang menutupi
kornea
Lokasi - kornea
Sebab - Infeksi virus
Perjalanan - Akut
Komplikasi - Infeksi intraokular
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kesan umum
Keadaan umum baik, compos mentis, gizi kesan berlebih
2. Vital Sign
BB : 103 kg RR : 20 x/menit
TB : 149 cm HR : 99 x/menit
TD : 130/100 mmHg
T : 35,80

3. Pemeriksaan subyektif
OD OS
A. Visus Sentralis
1. Visus sentralis jauh 6/7 1/300
a. pinhole Maju (6/6) TidakMaju
b. koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
c. refraksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2. Visus sentralis dekat Tidak dilakukan Tidak dilakukan
B. Visus Perifer
1. Konfrontasi tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2. Proyeksi sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
3. Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

4.Pemeriksaan Obyektif
1. Sekitar mata OD OS
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. luka Tidak ada Tidak ada
c. parut Tidak ada Ada
d. kelainan warna Tidak ada Patch depigmentasi di
sekitar mata bagian
atas dan dahi
e. kelainan bentuk Tidak ada Tidak ada
2. Supercilia
a. warna Hitam Hitam
b. tumbuhnya Normal Normal
c. kulit Sawo matang Sawo matang
d. gerakan Dalam batas normal Dalam batas normal
3. Pasangan bola mata
dalam orbita
a. heteroforia Tidak ada Tidak ada
b. strabismus Tidak ada Tidakada
c. pseudostrabismus Tidak ada Tidak ada
d. exophtalmus Tidak ada Tidak ada
e. enophtalmus Tidak ada Tidak ada
4. Ukuran bola mata
a. mikroftalmus Tidak ada Tidak ada
b. makroftalmus Tidak ada Tidak ada
c. ptisis bulbi Tidak ada Tidak ada
d. atrofi bulbi Tidak ada Tidak ada
5. Gerakan bola mata
a. temporal Tidak terhambat Tidak terhambat
b. temporal superior Tidak terhambat Tidak terhambat
c. temporal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat
d. nasal Tidak terhambat Tidak terhambat
e. nasal superior Tidak terhambat Tidak terhambat
f. nasal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat
6. Kelopakmata
a. pasangannya
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) blefaroptosis Tidak ada Tidak ada
4.) blefarospasme Tidak ada Tidak ada
b. gerakannya
1.) membuka Tidak tertinggal Tidak tertinggal
2.) menutup Tidak tertinggal Tidak tertinggal
c. rima
1.) lebar 10 mm 10 mm
2.) ankiloblefaron Tidak ada Tidak ada
3.) blefarofimosis Tidak ada Tidak ada
d. kulit
1.) tandaradang Tidak ada Tidak ada
2.) warna Sawo matang Terdapat patch
depigmentasi dengan
jaringan parut
3.) epiblepharon Tidak ada Tidak ada
4.) blepharochalasis Tidak ada Tidak ada
e. tepikelopakmata
1.) enteropion Tidak ada Tidak ada
2.) ekteropion Tidak ada Tidak ada
3.) koloboma Tidak ada Tidak ada
4.) bulumata Dalam batas normal Dalam batas normal
7.sekitar glandula
lakrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. benjolan Tidak ada Tidak ada
c. tulang margo tarsalis Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
8.Sekitar saccus
lakrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. benjolan Tidak ada Tidak ada
9. Tekanan intraocular
a. palpasi Normal per palpasi Normal per palpasi
b. tonometri schiotz Tidak dilakukan Tidak di lakukan
c. Non contact 18 -
tonometer
10. Konjungtiva
a. konjungtiva
palpebra superior
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) secret Tidak ada Tidak ada
4.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
b. konjungtiva
palpebra inferior
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
c. konjungtiva fornix
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) benjolan Tidak ada Tidak ada
d. konjungtiva bulbi
1.) penebalan Tidak ada Tidak ada
konjungtiva
berbentuk segitiga
2.) edema Tidak ada Tidak ada
3.) hiperemis Tidak ada Ada
4.) sekret Tidak ada Tidak ada
5.)injeksikonjungtiva Tidak ada Ada
6.) injeksi siliar Tidak ada Tidak ada
e. caruncula dan plika
semilunaris
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemis Tidak ada Tidak ada
3.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
11. Sclera
a. warna Putih Putih
b. tanda radang Tidak ada Tidak ada
c. penonjolan Tidak ada Tidak ada
12. Kornea
a. ukuran 11 mm 11 mm
b. limbus Jernih Infiltrat putih menutupi
hampir seluruh limbus
c. permukaan Rata, mengkilap Tidak rata
d. sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
e. keratoskop (placido) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
f. fluorecsintes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
g. arcus senilis Tidak ada Tidak ada
13. Kamera okuli
anterior
a. kejernihan Jernih Jernih
b. kedalaman Dalam Dalam
14. Iris
a. warna Cokelat Cokelat
b. bentuk Tampak lempengan Sulit dievaluasi
c. sinekia anterior Tidak tampak Sulit dievaluasi
d. sinekia posterior Tidak tampak Sulit dievaluasi
15. Pupil
a. ukuran 3 mm Sulit dievaluasi
b. bentuk Bulat Sulit dievaluasi
c. letak Sentral Sulit dievaluasi
d. Positif Sulit dievaluasi
reaksicahayalangsung
e. tepi pupil Tidak ada kelainan Sulit dievaluasi
16. Lensa
a. ada/tidak Ada Ada
b. kejernihan Jernih Sulit dievaluasi
c. letak Sentral Sulit dievaluasi
e. shadow test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
17. Corpus vitreum
5. Kejernihan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
6. Reflek fundus
Tidak dilakukan Tidak dilakukan

B. KESIMPULAN PEMERIKSAAN
OD OS
A. Visus sentralis 6/17 PH 6/6 1/300
jauh
B. Visus perifer
Konfrontasi tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
C. Sekitar mata Dalam batas normal Jaringan parut dan
depigmentasi pada
kulit sekitar mata
D. Supercilium Dalam batas normal Dalam batas normal
E. Pasangan bola Dalam batas normal Dalam batas normal
mata dalam orbita
F. Ukuran bola Dalam batas normal Dalam batas normal
mata
G. Gerakan bola Dalam batas normal Dalam batas normal
mata
H. Kelopak mata Dalam batas normal Jaringan parut
I. Sekitar saccus Dalam batas normal Dalam batas normal
lakrimalis
J. Sekitar glandula Dalam batas normal Dalam batas normal
lakrimalis
K. Tekanan Dalam batas normal Dalam batas normal
intarokular
L. Konjungtiva Dalam batas normal Dalam batas normal
palpebra
M. Konjungtiva Dalam batas normal Hiperemis dan injeksi
bulbi konjungtiva
N. Konjungtiva Dalam batas normal Dalam batas normal
fornix
O. Sklera Dalam batas normal Dalam batas normal
P. Kornea Dalam batas normal Infiltrat putih menutupi
hampir seluruh limbus
Q. Camera okuli Dalam batas normal Dalam batas normal
anterior
R. Iris Bulat, warna coklat Sulit dievaluasi
S. Pupil Diameter 3 mm, bulat, Sulit dievaluasi
sentral
T. Lensa Jernih Sulit dievaluasi

U. Corpus vitreum Tidak dilakukan Tidak dilakukan

C. GAMBAR KLINIS
F. DIAGNOSIS BANDING
1. OS Ulkus Kornea Perforasi et causa Herpes Zoster Oftalmikus
2. OS Keratitis Bakteri
3. OS Endoftalmitis

G. DIAGNOSIS
OS Ulkus Kornea Perforasi et causa Herpes Zoster Oftalmikus

H. TERAPI
Non Medikamentosa
 Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, rencana pengobatan,
serta komplikasi yang dapat terjadi
 Menjelaskan perlunya kontrol
 Menjelaskan pentingnya rawat inap
 Pembersihan sekret 4 kali sehari
 Edukasi pasien bahwa dapat dilakukan tindakan pembedahan
Medikamentosa
 LFX ED tiap jam OS
 Noncort ED 4xOS

I. PLANNING
Pro OS periosteal graft

J. PROGNOSIS

OD OS
1. Ad vitam Bonam Bonam
2. Ad fungsionam Bonam Dubia ad malam
3. Ad sanam Bonam Dubia ad malam
4. Ad Kosmetikum Bonam Dubia ad malam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Histologi Kornea

Kornea merupakan jaringan yang transparan dan avaskuler yang


membentuk permukaan anterior bola mata dengan ukuran diameter horizontal
11-12 mm dan diameter vertikal 10-11 mm. Bagian sentral kornea memiliki
ketebalan 0,5 mm, sedangkan bagian perifer memiliki ketebalan 1 mm. Sifat
kornea yang avaskuler membuat kornea mendapatkan nutrisinya dari jaringan
di sekitarnya yaitu humor akuos melalui proses difusi, lapisan air mata, dan
pembuluh darah limbus. Sumber nutrisi utama kornea adalah glukosa dan
oksigen. Kornea juga merupakan jaringan yang memiliki serabut saraf
sensorik terbanyak (300-400 serabut saraf), yang berasal dari nervus
trigeminus (American Academy of Ophthalmology, 2011).

Kornea berfungsi sebagai membrane pelindung dan media yang


dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan
strukturnya yang uniform ,avaskuler dan deturgenses. Deturgenses, atau
keadaan dehidrasi relative jaringan kornea, dipertahankan oleh suatu pompa
bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel (Ilyas,
2012).
Secara histologi, struktur kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel,
membrane Bowman, stroma, membrane Descemet dan endotel (Kanski,
2007). Epitel kornea memiliki ketebalan 50-60 µm atau 5% dari total
ketebalan kornea, dan terdiri dari tiga lapisan yang berbeda yaitu lapisan sel
superfisial, lapisan sel sayap,dan lapisan sel basal. Membran Bowman
merupakan lapisan aseluler yang dibentuk oleh serat kolagen dan merupakan
modifikasi dari bagian anterior stroma dengan ketebalan 8-14 µm. Lapisan ini
tidak dapat mengalami regenerasi dan akan digantikan oleh jaringan parut
bila terjadi trauma.

Stroma kornea menyusun 90% dari seluruh ketebalan kornea.Stroma


kornea tersusun atas fibrilkolagen dengan ukuran yang seragam, meluas di
seluruh permukaan kornea dan membentuk kelompok yang disebut lamella;
serta tersusun atas sel-sel kornea (keratosit) dan matriksekstraseluler yang
terdiri dari glikoprotein dan glikosaminoglikan. Membran Descemet
merupakan lamina basalis sel-sel endotel kornea. Membran ini terutama
tersusun dari kolagen tipe IV dan memiliki ketebalan 10-12 µm. Endotel
kornea merupakan lapisan paling dalam dari kornea. Lapisan ini terdiri atas
satu lapis sel berbentuk heksagonal yang sel-selnya tidak dapat membelah.
Endotel kornea mempunyai pengaruh yang besar dalam mempertahankan
transparansi kornea (American Academy of Ophthalmology, 2011).

Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan


cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada
epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya
sifat transparan. Sebaliknya,cedera pada epitel hanyamenyebabkan edema
local sesaat stroma kornea yang akan menghilang bila sel-sel epitel telah
beregenerasi (Ilyas, 2012).
Gambar 1. Histologi Kornea

3.2 Ulkus Kornea

A. Definisi

Ulkus kornea merupakan diskontinuitas atau hilangnya sebagian


permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea. Terbentuknya ulkus
kornea diakibatkan oleh adanya kolagenase yang dibentuk oleh selepitel baru
dan sel radang. Gejala dari ulkus kornea yaitu nyeri, berair, fotofobia,
blefarospasme, dan biasanya disertai riwayat trauma pada mata.Ulkus kornea
yang luas memerlukan penanganan yang tepat dan cepat untuk mencegah
perluasan ulkus dan timbulnya komplikasi seperti descementocele, perforasi,
endoftalmitis,bahkan kebutaan. Ulkus kornea yang sembuh akan
menimbulkan jaringan parut kornea dan merupakan penyebab kebutaan
nomor dua di Indonesia (Rajesh, SK, et al., 2013).

B. Epidemiologi

Pola epidemiologi ulkus kornea bervariasi di seluruh dunia.


Staphylococcus aureus dan Aspergillus spp adalah penyebab paling umum
terjadinya ulkus kornea infeksius di negara berkembang (Gandhi et al., 2014),
sedangkan penyebab ulkus kornea non-infeksius terbanyak adalah autoimun
(Sharma et al, 2015). Kemudian laki-laki lebih banyak menderita ulkus
kornea, yaitu sebanyak 71%. Hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya
kegiatan kaum laki-laki sehari-hari sehingga meningkatkan resiko terjadinya
trauma termasuk trauma kornea.

Insidensi ulkus kornea tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk
di Indonesia, sedangkan predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain
terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak, dan kadang-kadang idiopatik.
Ulkus kornea infeksius dan non-infeksius lebih banyak terjadi di daerah rural
atau pedesaan disbanding dengan daerah urban atau perkotaan (Nagasree dan
Vijayalakshmi, 2015) (Sharma et al, 2015).

MenurutSuhardjo dan Fatah Widodo (2011), sebuah penelitian di RS


Sardjito, Yogyakarta, terhadap 57 kasus ulkus kornea didapatkan tingkat
keparahan ringan (43,9%), sedang (31,6%), dan berat (24,7%). Faktor
predisposisi terbanyak adalah trauma (68,4%). Pada kebanyakan kasus ulkus
kornea infeksius hanya mengenai satu mata. Ulkus kornea non-infeksius bias
mengenai satu atau kedua mata. Pada penelitian Fasina (2013) di Nigeria,
ulkus kornea non-infeksius banyak terjadi di satu mata saja atau unilateral.
Ulkus kornea merupakan penyebab utama kebutaan unilateral di negara
berkembang (Nagasree dan Vijayalakshmi, 2015).

C. Etiologi dan Faktor Risiko

FaktorRisiko
Menurut Susila (2009), faktor-faktor yang dapat menyebabkan ulkus kornea
dibagi menjadi berikut:
 Faktor Internal: Kelainan pada bulu mata (trikiasis) dan sistem air mata
(insufisiensi air mata, sumbatansaluranlakrimal), kelainan pada kornea
(karenaoedemkronik, keratitis), autoimun
 Faktoreksternal, yaitu :luka pada kornea (erosiokornea), karena trauma,
penggunaanlensakontak, lukabakar pada daerahmuka.

Etiologi
I. Infeksi
 Infeksi Bakteri
Staphylococcus aureus merupakan penyebab paling sering di
negara berkembang (Gandhi et al, 2014). Sebuah penelitian di Nepal
menyebutkan bahwa P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan
spesies Moraxella merupakan penyebab paling sering (Amatya, R,
Shrestha, S dkk, 2012).Ulkus biasanyabersifat sentral.
 Infeksi Jamur
Candida, Fusarium, Aspergilus dan Cephalosporium.
Penyebabtersering di negara berkembang adalahAspergillus sp
(Gandhi et al, 2014).
 Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai.
Bentuk khas dendrite dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil di lapisan
epitel yang bila pecah akan menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga
terjadi pada bentuk disiform bila mengalami nekrosis di bagian sentral.
Infeksi virus lainnya varicella-zoster, variola, vacinia (jarang).
 Acanthamoeba
Infeksi kornea oleh acanthamoeba adalah komplikasi yang
sering terjadi pada pengguna lensa kontak.

II. Non-infeksi
 Bahan kimia, bersifat asam atau basa. Bahan asam yang dapat merusak
mata terutama bahan anorganik, organik dan organic anhidrat. Bila
bahan asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan protein
permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi maka tidak
bersifat destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat superficial saja.
Pada bahan alkali antara lain amonia, cairan pembersih yang
mengandung kalium/natrium hidroksida dan kalium karbonat akan
terjadi penghancuran kolagen kornea.
 Radiasi atau suhu, misalnya terjadi pada saat bekerja las, dan menatap
sinar matahari terus menerus yang akan merusak epitel kornea.
 SindromSjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis
sicca yang merupakan suatu keadaan mata kering yang dapat
disebabkan defisiensi unsur air mata (akeus, musinatau lipid), kelainan
permukan palpebra atau kelainan epitel yang menyebabkan timbulnya
bintik-bintik kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut dapat
timbul ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea terpulas dengan
flurosein.
 Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya;
kortikosteroid, anestesilokal dan golongan imunosupresif lainnya.
 Defisiensi vitamin A akibat kurangnya asupan makanan atau gangguan
absorbsi di saluran cerna.
 Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.
 Reaksi hipersensitifitas misalnya pada penyakit autoimun SLE.

D. Patofisiologi
Ulkus kornea terjadi karena respon seluler dan imunologis tubuh
terhadap gen penyebab yang dapat berupa bakteri, virus, atau jamur.
Terkadang juga dapat muncul ulkus kornea steril, yang dapat terjadi karena
penyakit pada jaringan ikat, luka bakar atau bahan kimia. Perkembangan
ulkus kornea dapat dibagi menjadi 3 tahap: (Sharma N, Vajpayee RB, 2008)

1. Tahap Progresif
Perlekatan organism difasilitasi oleh fili bakteri dan selubung
glikokaliks pada bakteri seperti Pseudomonas dan Gonococcus.
Akibatnya, PMN dihasilkanpada lokasi ulserasi. Invasi progresif kornea
oleh PMN dan fagosit meningkatkan ukuran ulserasi, oleh karena
pelepasan berbagai enzimlitik oleh mikroba.
Hal ini menyebabkan nekrosis dan terlepasnya epitel, membran
Bowman dan stroma yang terlibat. Ulkus dapat berkembang menjadi ulkus
superficial difus atau dengan penetrasi yang lebih dalam, infeksi yang
mengarah pada pembentukan descemetocele dan kemungkinan
perforasikornea.

2. Tahap Regresif
Selesainya tahap progresif dan dimulainya tahap regresif dipengaruhi
oleh mekanisme imun penderita dan pengobatan anti-mikroba. Terdapat
peningkatan pada gejala dan tanda klinis. Muncul garis demarkasi di
sekitar ulkus sehingga batas dan dasar ulkus menjadi lebih halus dan
transparan. Garis demarkasi terdiri dari kumpulan leukosit yang
memfagositosis mikroba dan jaringan nekrotik.

3. Tahap Penyembuhan
Proses epitelisasi mulai terjadi pada tahap ini. Histiosit dan
keratositdirubah menjadi fibroblast sehingga jaringan parut terbentuk.
Vaskularisasi terjadi menuju lokasi ulkus, yang selanjutnya mendorong
penyembuhan sebagai akibat dari masuknyafibroblas dan
antibodi.Banyaknyajaringan parut dari proses penyembuhan bervariasi
sesuai dengan kedalaman jaringan yang terlibat. Membran Bowman tidak
beregenerasi dan digantikan oleh jaringan fibrosa, yang dari waktu ke
waktu kepadatannya berkurang, terutama pada pasien muda. Proses
munculnya sikatriks terjadi karena regenerasi kolagen dan pembentukan
jaringan fibrosa. Karena serat yang baru tersusun secara tidak teratur
seperti pada lamella kornea normal, maka terbentuklah bekas luka yang
menyebabkan pembiasan cahaya yang tidak teratur.

E. Gambaran Klinis
Gejala klasik ulkus kornea meliputi adanya nyeri, mata berair,
fotofobia, penurunan visus, dan pembengkakan kelopakmata. Semua gejala
ulkus kornea termasuk parah dan harus segera diobati untuk mencegah
kebutaan. Ulkus kornea sendiri terlihat seperti daerah abu-abu atau putih atau
bercak pada kornea yang biasanya transparan (Khan, 2017).

Gambar 1. Gambaran ulkuskornea (Sharma N, Vajpayee RB, 2008)

Terdapatnya nyeri adalah gejala yang perlu diperhatikan pada ulkus


kornea. Tingkat keparahan nyeri dapat berkisar dari rasa tidak nyaman
minimal hingga rasa sakit yang menyiksa. Jenis organism penyebab dan
kedalaman ulkus mempengaruhi keparahan nyeri. Kemerahan dan fotofobia
adalah gejala lain yang perlu diperhatikan dalam kasus ulkus kornea. Tingkat
keparahan dan durasi dari gejala-gejala ini dapat bervariasi dari kasus ke
kasus. Konjungtivitis yang berhubungan dengan ulkus dapat menyebabkan
kemerahan parah seperti pada infeksi gonokokus, pneumokokus, dan
Haemophilus.
Hampir semua kasus ulkus kornea disertai keluhan keluarnyacairan
pada mata. Jenis cairan ini bisaberair, berlendir, mukopurulen atau bening.
Selain itu, sebagian besar kasus ulkus kornea dilaporkan dengan riwayat
penurunan visus yang mendadak. Tingkat penurunan visus tergantung pada
durasi, keparahan dan lokasi lesi, dan keterlibatan struktur mata lainnya
(Sharma N, Vajpayee RB, 2008).

F. Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan menyeluruh menggunakan slit-lamp


adalah langkah penting dalam mendiagnosis ulkus kornea. Meskipun tanda-
tanda klinis saja tidak cukup untuk mengkonfirmasi adanya infeksi,
ditemukannya diskontinuitas epitel bersama dengan infiltrat stroma harus
dianggap sebagai infeksi kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Demikian pula
tidak terdapat tanda-tanda khusus untuk mengetahui organisme penyebab,
namun pada beberapa kasus dengan pemeriksaan slit-lamp yang cermat dapat
mengetahui kemungkinan organisme yang menginfeksi.
Pengamatan yang cermat dilakukan pada struktur wajah untuk mencari
adanya lesi seperti herpes zoster atau herpes simpleks. Penilaian visus dan
ukuran lesi adalah dua indikator penting dari tingkat keparahan penyakit.
Pemeriksaan biomicroscopic slit-lamp yang terperinci diperlukan untuk
memeriksa kasus keratitis infeksi. Slitlamp biomikroskopi harus mencakup
pemeriksaan konjungtiva, kornea, COA, iris, lensa dan vitreous anterior.

Gambar 2.Ulkuskornea (Sharma N, Vajpayee RB, 2008)


Pewarnaan menggunakan strip fluoresensi dapat membantu untuk
mengetahui defek epitel kornea. Pemeriksaan fluoresensi dilihat
menggunakan sinar kobalt biru pada slit lamp. Pewarnaan tersebut dapat
menghilang dalam 2 sampai 3 menit sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
segera setelah diberikan (Sharma N, Vajpayee RB, 2008)

G. Diagnosis Banding
Dalam menegakkan diagnosis ulkus kornea, maka dibutuhkan
pemeriksaan menggunakan pengecatan fluorescein pada slit lamp dengan
lampu biru, pada kornea yang mengalami diskontinuitas akan memberikan
perwarnaan hijau. Diagnosis banding ulkus kornea antara lain adalah keratitis
dan endopthtalmitis dengan perbedaan-perbedaan sebagai berikut:

Ulkus Keratitis Endopthtalmitis

Etiologi Infeksi, trauma Infeksi, alergi Infeksi post operasi


intravitreal

Patofisiologi Terjadinya infeksi Terjadinya Terjadinya proses


akibat trauma yang peradangan yang infeksi yang
menyebabkan menyebabkan mata menyebabkan mata
kerusakan lapisan pasien terasa pasien memerah dan
kornea hingga membengkak, edema dengan ukuran
kornea dapat merah, gatal, dan pupil normal
mengalami nyeri
perforasi dan
bahkan timbul
hipopion

Pemeriksaan - Kultu rgoresan - Kultur goresan - USG Mata


penunjang mata mata
- Uji fistel
H. Terapi
Dimulai dengan pengobatan antibiotik spectrum luas secara empiris,
bila sudah ditemukan penyebabnya berikan terapi antimikroba yang spesifik
sesuai dengan temuan hasil kultur goresan mata. Terapi ulkus kornea, terlepas
dari penyebabnya, dimulai dengan moxifloxacin 0.5% atau gatifloxacin 0.3
hingga 0.5% untuk ulkus yang kecil. Pada ulkus yang lebih besar atau dalam,
dapat digunakan antibiotic dengan konsentrasi yang lebih tinggi, seperti
tobramycin 15mg/mL dan cefazolin 50 mg/mL, terutama pada area yang
mengenai tengah kornea. Penentuan dosis dengan frekuensi sering, seperti 1
tetes / 15 menit pada 1 jam pertama dilanjutkan 1 tetes per jam, penting
dilakukan pada permulaan terapi. Pasien dengan ulkus kornea tidak
disarankan untukditutup dengan perban karena dapat membuat suasana
lembab yang cocok bagi pertumbuhan bakteri dan juga menghambat
pemberian obat tetes.

Pada semua ulkus kornea, terapi dapat ditambahkan pula obat-obat


siklopegik seperti atropine 1% atau scopolamine 0.25% 1 tetes setiap 8 jam
dengan tujuan untuk mengurangi nyeri dan menghindarkan terbentuknya
sinekia posterior. Pada kasus-kasus yang berat mungkin dibutuhkan tindakan
debridement epitel yang terinfeksi, atau bahkan keraotplasti penetratif. Pasien-
pasien yang tidak koperatif dalam pengobatan atau yang memiliki ulkus yang
besar, di sentral, dan menetap perlu dirawat inap.

Setelah infeksi mereda atau hilang, pasien diberikan kortikosteroid


topikal (prednisolone acetae 1% 4x sehari selama 7 hari kemudian di tapering
off selama 2-3 minggu) untuk mengurangi rasa sakit, edem, fotofobia, dan
menghindarkan terbentuknya jaringan parut. Akan tetapi, penggunaan
kotikosteroid topical masih kontroversial karena dapat membuat infeksi
semakin memburuk, maka diperlukan pengawasan ketat oleh spesialis mata.

Tatalaksana operatif

Tatalaksana operatif untuk ulkus kornea adalah transplatasi kornea


yang bertujuan untuk memperbaiki penglihatan dengan cara menggantikan
kornea yang telah rusak sebelumnya dengan kornea sehat dari donor. Hal ini
disebabkan karena dapat terbentuk jaringan parut yang menetap meski infeksi
telah selesai diterapi dengan obat-obatan.

I. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa:

1. Kebutaan parsial atau komplit dalam waktu yang singkat


2. Kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endopthtalmitis dan
panopthalmitis
3. Prolaps iris
4. Sikatriks Kornea
5. Katarak
6. Glaukoma sekunder
DAFTAR PUSTAKA

Amatya, R., Shrestha, S., Khanal, B., Gurung,R., Poudyal, N., Badu., BP., et al.
Etiologicalagents of corneal ulcer: five yearsprospective study in eastern
Nepal. NepalMed Coll J. 2012 Sep;14(3):219-22.
American Academy of Ophtalmology (2011). Fundamentals and Principles of
Ophtalmology. San Francisco: American Academy of Ophtalmology
Borke J (2018). Korneal ulcer and ulcerative keratitis in emergency medicine clinical
presentation. Medscape

Gandhi S, Shakya DK, Ranjan KP, Bansal S (2014). Corneal ulcer: A prospective
clinical and microbiological study. International Journal of Medical Science
and Public Health, 3 (11): 1334-1337.
Garg P, Rao GN. (1999). Corneal Ulcer: Diagnosis and Management. Community Eye
Health. 12(30): 21–23. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1706003/ (diakses pada 6
Januari 2019)
Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-4. Jakarta : FKUI, 2012
Kanski, JJ (2007). Clinical Ophthalmology Sixth Edition. New York: Elsevier
Kahn, April. (2017). Corneal Ulcer. Available at:
https://www.healthline.com/health/corneal-ulcers-and-infections (diakses pada
6 Januari 2019)
Knobbe CA (2016). Corneal ulcer-cause and treatment. All about vision.
https://www.allaboutvision.com/conditions/corneal-ulcer.htm- Diakses Januari
2019
Lee, EE. (2016). Trends and Associations in Hospitalizations Due to Corneal Ulcers
in the United States, 2002-2012. - PubMed - NCBI. [online] Ncbi.nlm.nih.gov.
Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27348134 [Accessed 9
Jan. 2019].
Nagasree DVC, Vijayalakshmi G (2015). Ulcerative Keratitis a Prospective Hospital
based Clinical and Microbiological Study. Journal of Evidence based
Medicine and Healthcare, 2(9): 1252-1262.
Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. Ulkus korneadalam : Ilmu penyakit
Mata untuk dokter umum dan mahasiswa kedokteranEdisi ke-2. Jakarta :
Sagung Seto ,2002
Rajesh, S.K., Patel, D.N, Sinha, M. 2013. A Clinical Microbiological Study of
Corneal Ulcer Patients at Western Gujarat, India. Microbiological study of
corneal ulcer. p;51(6):399.
Ronald PC, Peng TK. A textbook of clinical opthalmology ; A Practical Guide to
Disorders of the Eyes and Their Management. 3rd Edition. 2009
Sharma N, Vajpayee RB. (2008). Corneal Ulcers: Diagnosis and Management. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P), Ltd.
Sharma N, Sinha G, Shekhar H, Titiyal JS, Agarwal T, Chawla B, Tandon R,
Vajpayee RB (2015). Demographic profile, clinical features and outcome of
peripheral ulcerative keratitis: a prospective study. Br J Ophthalmol;
pp.bjophthalmol-2014.
Suhardjo, Widodo Fatah, Dewi Upik M. 2011. Tingkat Keparahan Ulkus Kornea di
RS Dr.Sardjito Sebagai Tempat Pelayanan Mata Tertier. Bagian Ilmu Penyakit
Mata FK UGM, Yogyakarta.
Susila, Niti et al. Standar Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Mata FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar. 2009
Vaughan D. Opthalmologi Umum Edisi 14. Jakarta :WidyaMedika, 2002.
Yanoff M, Duker JS. Ophthalmology. 3rd edition. Philadelphia : Elsevier, 2009.

Anda mungkin juga menyukai