Anda di halaman 1dari 34

PRESENTASI KASUS

SEORANG ANAK PEREMPUAN USIA 4 TAHUN DENGAN ODS


STRABISMUS ESOPHORI ALTERNANS, ODS HIPERMETROPIA

Disusun Oleh:

Putu Putri Andiyani Dewi G99161013


Yurike Rizkhika G99161113
Yanu Tomang Sari G99162007
Pramitha Yustia G99161073
Fitri Maulani G99162166
Ade Puspa Sari G99161008

Pembimbing:
Farahdina Rahmawati, dr., Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
2018
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : An. ALA
Umur : 4 tahun
Tanggal Lahir : 22 Januari 2014
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Praon, Nusukan, Banjarsari
Tanggal periksa : 20 Februari 2018
Nomor RM : 0140xxxx

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama
Bola mata kiri tergulir ke arah dalam

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Orang tua pasien mengeluhkan mata pasien juling muncul pertama kali
disadari oleh orang tua pasien saat pasien berusia 3 tahun 4 bulan. Orang tua
pasien mendapati posisi bola mata kiri tidak di tengah melainkan ke arah
dalam. Keluhan tersebut muncul hilang timbul. Kadang-kadang posisi mata
kembali normal di tengah. Orang tua pasien memeriksakan pasien ke
puskesmas, RS Brayat, dan RS Dr. Oen, mendapatkan vitamin dan sempat
mengalami perbaikan.
Keluhan mata juling tersebut memberat sejak 1 bulan yang lalu, mata
kiri juling sekarang menjadi menetap, kemudian orang tua pasien
memeriksakan pasien ke Rumah Sakit Dr. Moewardi (RSDM). Pasien juga
pernah mengatakan kepada orang tuanya bahwa pandangannya saat melihat

1
orang tuanya menjadi dobel. Keluhan mata merah, mata nerocos, nyeri di
mata, blobok, gatal maupun silau disangkal.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa sebelumnya : (+) pada saat usia 3 tahun
Riwayat infeksi mata sebelumnya : disangkal
Riwayat trauma kepala : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit asma : disangkal
Riwayat alergi obat dan atau makanan : disangkal
Riwayat operasi mata sebelumnya : disangkal
Riwayat pemakaian kacamata : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Pemakaian Kacamata : disangkal
Riwayat Alergi Obat dan atau Makanan : disangkal

E. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Pasien merupakan anak pertama. Usia ibu saat hamil 27 tahun tanpa penyulit
kehamilan. Pasien lahir spontan dnegan usia kehamilan 39 minggu, BBL
3500gram panjang 45 cm, menangis kuat, riwayat warna biru di badan
disangkal.

F. Riwayat Gizi

2
Pasien mendapat ASI eksklusif sampai usia 8 bulan. Pasien mendapat
makanan pendamping ASI sejak usia 8 bulan keatas dan mulai makan
makanan seperti anggota keluarga pada usia 1 tahun 5 bulan. Saat ini pasien
makan nasi lauk sayur 2-3 kali dalam sehari dan air susu/air putih.

G. Riwayat Tumbuh Kembang


Pasien duduk di usia 8 bulan, berdiri di usia 1 tahun, saat ini pasien sudah bias
bebicara dengan lancer, makan masih disuapi, dapat menyebut dan
menghitung angka.

H. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan anak pertama. Ayah pasien bekerja sebagai karyawan
swasta dan ibu pasien sebagai ibu rumah tangga. Saat ini pasien berobat
dengan menggunakan fasilitas BPJS.

I. Kesimpulan
Anamnesis
OD OS
Proses - Strabismus
Otot-otot penggerak bola
Lokasi -
mata
Sebab - Hipermetropia
Perjalanan - Kronik
Pandangan mata kabur,
Komplikasi -
dobel

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan umum dan tanda vital
Keadaan umum : Baik E4V5M6, gizi kesan normoweight

3
Tanda Vital :
1. Tekanan Darah = tidak diukur
2. Nadi = 92x/menit
3. Laju Napas = 24x/menit
4. Suhu = 36,50C

B. Pemeriksaan subyektif
OD OS
A. Visus Sentralis
1. Visus sentralis jauh 6/15 6/15
a. pinhole 6/10 6/10
b. koreksi S +0.5 D S +0.5 D
c. refraksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2. Visus sentralis dekat Tidak dilakukan Tidak dilakukan
B. Visus Perifer
1. Konfrontasi tes Normal Normal
2. Proyeksi sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
3. Persepsi warna Normal Normal

C. Pemeriksaan obyektif
OD OS
1. Sekitar mata
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. luka Tidak ada Tidak ada
c. jaringan parut Tidak ada Tidak ada
d. kelainan warna Tidak ada Tidak ada
e. kelainan bentuk Tidak ada Tidak ada
2. Supercilia
a. warna Hitam Hitam
b. tumbuhnya Normal Normal
c. kulit Sawo matang Sawo matang
d. gerakan Dalam batas normal Dalam batas normal
3. Pasangan bola mata
dalam orbita
a. heteroforia Tidak ada Tidak ada
b. strabismus Tidak ada esophoria
c. pseudostrabismus Tidak ada Tidak ada

4
d. exophtalmus Tidak ada Tidak ada
e. enophtalmus Tidak ada Tidak ada
4. Ukuran bola mata
a. mikroftalmus Tidak ada Tidak ada
b. makroftalmus Tidak ada Tidak ada
c. ptisis bulbi Tidak ada Tidak Ada
d. atrofi bulbi Tidak ada Tidak ada
e. buftalmos Tidak ada Tidak ada
f. megalokornea Tidak ada Tidak ada
g. mikrokornea Tidak ada Tidak ada
5. Gerakan bola mata
a. temporal Tidak terhambat -2
b. temporal superior Tidak terhambat -2
c. temporal inferior Tidak terhambat -2
d. nasal Tidak terhambat Tidak terhambat
e. nasal superior Tidak terhambat Tidak terhambat
f. nasal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat
6. Kelopak mata
a. pasangannya
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) blefaroptosis Tidak ada Tidak ada
4.) blefarospasme Tidak ada Tidak ada
b. gerakannya
1.) membuka Tidak tertinggal Tidak tertinggal
2.) menutup Tidak tertinggal Tidak tertinggal
c. rima
1.) lebar 7 mm 7 mm
2.) ankiloblefaron Tidak ada Tidak ada
3.) blefarofimosis Tidak ada Tidak ada
d. kulit
1.) tanda radang Tidak ada Tidak ada
2.) warna Sawo matang Sawo matang
3.) epiblepharon Tidak ada Tidak ada
4.) blepharochalasis Tidak ada Tidak ada
e. tepi kelopak mata
1.) enteropion Tidak ada Tidak ada
2.) ekteropion Tidak ada Tidak ada
3.) koloboma Tidak ada Tidak ada
4.) bulu mata Dalam batas normal Dalam batas normal
7. Sekitar glandula
lakrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada

5
b. benjolan Tidak ada Tidak ada
c. tulang margo tarsalis Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
8. Sekitar saccus lakrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. benjolan Tidak ada Tidak ada
9. Tekanan
intraokular

a. palpasi Kesan normal Kesan normal


b. non-contact tonometry Tidak dilakukan Tidak dilakukan
10. Konjungtiva
a. konjungtiva palpebra
superior
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) papil dan sikatrik Tidak ada Tidak ada
b. konjungtiva palpebra
inferior
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) papil dan sikatrik Tidak ada Tidak ada
c. konjungtiva forni
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) secret Tidak ada Tidak ada
4.) papil dan sikatrik Tidak ada Tidak ada
d. konjungtiva bulbi
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) pterigium Tidak ada Tidak ada
3.) hiperemis Tidak ada Tidak ada
4.) secret Tidak ada Tidak ada
5.) injeksi konjungtiva Tidak ada Tidak ada
6.) injeksi siliar Tidak ada Tidak ada
7.) laserasi Tidak ada Tidak ada
8.) subconjunctival Tidak ada Tidak ada
bleeding
e. caruncula dan plika
semilunaris
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemis Tidak ada Tidak ada
3.) sikatrik Tidak ada Tidak ada

6
11. Sklera
a. warna Putih Putih
b. tanda radang Tidak ada Tidak ada
c. penonjolan Tidak ada Tidak ada
12. Kornea
a. ukuran 10 mm 10 mm
b. limbus Jernih Jernih
c. permukaan Rata, mengkilap Rata, mengkilap
d. sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
e. keratoskop (placido) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
f. fluoresin tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
g. arcus senilis Tidak ada Tidak ada
13. Kamera okuli
anterior

a. kejernihan Jernih Jernih


b. kedalaman Dalam Dalam
14. Iris
a. warna Hitam Hitam
b. bentuk Tampak lempengan Tampak lempengan
c. sinekia anterior Tidak tampak Tidak tampak
d. sinekia posterior Tidak tampak Tidak tampak
15. Pupil
a. ukuran 2,5 mm 2,5 mm
b. bentuk Bulat Bulat
c. letak Sentral Sentral
d. reflek cahaya langsung Positif Positif
dan tidak langsung
e. reflek konvergensi Normal normal
16. Lensa
a. ada/tidak Ada Ada
b. kejernihan Jernih Jernih
c. letak Sentral Sentral
e. shadow test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
17. Corpus vitreum
a. Kejernihan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
b. Reflek fundus Cemerlang Cemerlang

D. Pemeriksaan Lainnya

 Oftalmoskopi

7
Refleks fundus ada, papil N.II batas tegas, CDR 0.3, macula, reflex
fovea ada,retina perifer kesan normal
 Pemeriksaan lainnya
o Cover /uncover test : N=D= alternating esotropia

o Tes Hisrschberg : OD 15O alternating esodeviasi

IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN

OD OS
Visus Sentralis Jauh 6/15 6/15
Pinhole 6/10 6/10
Sekitar mata dalam batas normal dalam batas normal
Supercilia dalam batas normal dalam batas normal
Pasangan bola mata dalam
dalam batas normal dalam batas normal
orbita
Ukuran bola mata dalam batas normal dalam batas normal
Terhambat ke arah
temporal, temporal
Gerakan bola mata dalam batas normal
superior,dan temporal
inferior
Kelopak mata dalam batas normal dalam batas normal
Sekitar saccus lakrimalis dalam batas normal dalam batas normal
Sekitar glandula lakrimalis dalam batas normal dalam batas normal
Tekanan Intra Okuler kesan normal kesan normal
Konjungtiva palpebra dalam batas normal dalam batas normal
Konjungtiva forniks dalam batas normal dalam batas normal
Konjungtiva bulbi dalam batas normal dalam batas normal
Sklera dalam batas normal dalam batas normal
Kornea dalam batas normal dalam batas normal
Kamera okuli anterior kesan normal kesan normal
Iris bulat, warna hitam bulat, warna hitam
diameter 2,5 mm, bulat, diameter 2,5 mm, bulat,
Pupil
sentral sentral
Lensa jernih jernih
Corpus vitreum Dalam batas normal Dalam batas normal

8
V. GAMBAR KLINIS

Gambar 1. Oculi Dextra et Sinistra Gambar 2. Oculi Dextra

Gambar 3. Oculi Sinistra

V. DIAGNOSIS BANDING
1. OS Pseudostrabismus

9
2. OS Strabismus Esophori
3. ODS Hipermetropia

VI. DIAGNOSIS
ODS Strabismus Esophori Alternans
ODS Hipermetropia

VII. TERAPI
Medikamentosa
- Optimax sirup 1 kali dalam sehari per oral

Non-medikamentosa:
- Penggunaan kacamata hipermetropia

Rencana pembedahan:
- Pembedahan

VIII. PROGNOSIS
OD OS
Ad vitam bonam bonam
Ad sanam bonam bonam
Ad fungsionam bonam dubia ad bonam
Ad kosmetikum bonam dubia ad bonam

10
BAB II
STRABISMUS
A. DEFINISI

Strabimus atau “cross eyes” atau “wall eyed” adalah kelainan kedudukan bola
mata dimana kedua mata tidak sejajar atau mengarah ke arah yang berbeda. Keadaan
ini dapat terjadi secara menetap (sepanjang bola mata bergerak) atau intermitten (hanya
pada waktu tertentu). Strabismus dapat terjadi pada kedua mata atau hanya salah satu
mata saja dimana mata yang satunya masih normal. Pada kelainan ini, mata yang
mengalami strabismus dapat mengarah ke arah nasal (esotropia), ke arah luar
(eksotropia), atau ke bawah.
Fisiologis pengelihatan dimulai apabila seseorang melihat bayangan benda oleh
kedua mata yang diterima di kedua fovea centralis, kemudian secara serentak dikirim
ke susunan saraf pusat untuk diolah menjadi bayangan tunggal. Fisiologi pengelihatan
optimal seperti diatas, yang terjadi pada semua arah pengelihatan disebut sebagai
pengelihatan binocular yang normal.
Agar terjadi pengelihatan binocular yang normal, kedudukan kedua mata dalam
setiap arah pengelihatan adalah sedemikian rupa sehingga bayangan benda jatuh tepat
pada kedua fovea centralis. Kedudukan bola mata adalah hasil koordinasi dari seluruh
otot-otot ekstrinsik yang mengatur pergerakan bola mata. Pergerakan bola mata
dipersarafi oleh Nervus III, IV, dan VI. Pada strabismus dicurigai terdapatnya
kelemahan atau kelumpuhan pada saraf tersebut yang mempengaruhi otot bola mata.
Strabismus mempengaruhi pengelihatan binocular yang normal karena
mempengaruhi persepsi pasien terhadap kemampuan mengenalisuatu objek secara tiga
dimensi. Istilah lain strabismus adalah “cross eyed” dimana salah satu atau kedua mata
saling menyilangi menuju ke arah dalam (nasal) atau “wall eyed” dimana salah satu
atau kedua mata saling menyilangi menuju ke arah luar (temporal).

B. ETIOLOGI

11
Terdapat 6 musculi yang bekerja sama untuk menjaga arah gerak bola mata.
Strabismus dapat terjadi apabila musculi tersebut tidak terkoordinasi dengan baik. Hal
ini dapat disebabkan oleh karena masalah pada musculi itu sendiri, nervus yang
mempersarafinya, atau masalah di dalam otak pasien. Sebagian besar pasien strabismus
terjadi secara kongenital dan memiliki riwayat penyakit keluarga yang serupa.
Strabismus dapat juga terjadi karena:
a. Trauma pada mata atau kepala
b. Penyakit yang mengenai nervus atau musculus (Cerebral palsy atau down
syndrome)
c. Tumor otak

Ketika kedua mata tidak bekerja sama dengan baik dalam melihat satu obyek,
maka otak cenderung memperhatikan gambar yang terproyeksi oleh satu mata, dan
mengabaikan hasil proyeksi dari mata lainnya. Hal ini dapat berkembangmenjadi
amblyopia atau mata malas. Apabila hal ini berlanjut dan penanganan tidak dilakukan
sedini mungkin, maka mata malas tidak akan bisa menjadi seperti mata normal. Namun
pada sebagian besar kasus, strabismus bersifat idiopatik.
Strabismus pada orang dewasa dapat terjadi karena Botulisme, diabetes
(disebabkan oleh kondisi acquired paralytic strabismus), Grave’s Disease, Guillain
Barre syndrome, trauma pada mata, stroke, cedera otak, dan hilangnya penglihatan
karena penyakit mata atau trauma.

C. PATOFISIOLOGI
Bila terdapat satu/lebih otot mata yang tidak dapat mengimbangi gerak otot-otot
lainnya maka akan terjadi gangguan keseimbangan gerak kedua mata, sumbu
penglihatan akan menyilang, mata menjadi strabismus & penglihatan menjadi ganda
(diplopia).
1. Gangguan gerakan mata:
a. Tonus yang berlebihan

12
b. Parese/paralisis.
c. Hambatan mekanik
Contoh: Parese/paralisis rectus lateralis mata kanan maka akan terjadi esotropi
mata kanan.

Gambar 1. Arah Gerakan Otot Mata

2. Gangguan Faal Otot Penggerak Bola Mata

Kedua bola mata digerakkan oleh otot-otot mata luar sedemikian rupa
sehingga bayangan benda yang menjadi perhatian akan selalu jatuh tepat di
kedua fovea sentralis. Otot penggerak kedua bola mata, yang berjumlah dua
belas akan selalu bergerak secara teratur; gerakan otot yang satu akan
mendapatkan keseimbangan gerak dari otot-otot lainnya. Keseimbangan yang
ideal seluruh otot penggerak bola mata ini menyebabkan kita dapat selalu
melihat secara binokular.
Apabila terdapat satu atau lebih otot penggerak bola mata yang tidak
dapat mengimbangi gerak otot-otot lainnya maka terjadilah gangguan
keseimbangan gerak antara kedua mata sehingga sumbu penglihatan menyilang
pada tempat diluar letak benda yang menjadi perhatiannya dan disebut ‘juling’

13
(crossed eyes). Gangguan keseimbangan gerak bola mata (muscle imbalance)
bisa disebabkan oleh hal-hal berikut:
a. Apabila aktivitas dan tonus satu atau lebih otot penggerak menjadi
berlebihan; dalam hal ini otot bersangkutan akan menarik bola mata dari
kedudukan normal. Apabila otot yang hiperaktif adalah otot yang
berfungsi untuk kovergensi terjadilah juling yang konvergen (esotropia).
b. Kebalikan dari pertama, apabila satu atau lebih dari otot penggerak bola
mata aktivitas atau tonusnya menjadi melemah atau paretik. Bila hal ini
terjadi pada otot yang dipakai untuk konvergensi, maka terjadilah juling
divergen (ekstropia).

Dapat diketahui bahwa ada dua keadaan tersebut di atas, besarnya sudut deviasi
adalah berubah-ubah tergantung pada arah penglihatan penderitaan. Keadaan juling
seperti itu disebut sebagai gangguan keseimbangan gerak yang inkomitat. Sebagai
contoh adalah suatu kelumpuhan otot rektus lateral mata kanan, maka besar sudut
deviasi adalah kecil bila penderita melihat kearah kiri dan membesar bila arah pandang
ke kanan.
Gangguan keseimbangan gerak bola mata dapat pula terjadi karena suatu
kelainan yang bersifat sentral berupa kelainan stimulus pada otot. Stimulus sentral
untuk konvergensi bisa berlebihan sehingga akan didapatkan seorang penderita
kedudukan bola matanya normal pada penglihatan jauh (divergensi), tetapi menjadi
juling konvergen pada waktu melihat dekat (konvergensi); demikian kita kenali:
 Convergence excess bila kedudukan bola mata penderita normal melihat jauh dan
juling ke dalam esotopia pada waktu melihat dekat.
 Divergence excess (aksi lebih konvergensi) bila kontraksi otot penggerak bola mata
penderita normal pada penglihatan dekat, tetapi juling keluar (divergent squint) bila
melihat jauh.
 Convergence insuffiency bila kedudukan bola mata normal pada penglihatan jauh
tapi juling keluar pada waktu melihat dekat.

14
 Divergence insuffiency bila penderita mempunyai kedudukan bola mata yang
normal untuk dekat tetapi juling ke dalam bila melihat jauh.

D. FAKTOR RISIKO
Bayi lahir dengan berat badan rendah (<1250 g), bayi premature yang menderita
retinopathy of prematurity (ROP), riwayat keluarga strabismus, penyakit
neuromuscular (multiple sclerosis, myasthenia gravis, botulinum), abnormalitas mata
kongenital, tumor otak atau mata (retinoblastoma), katarak, trauma kepala, infeksi
(meningitis, ensefalitis, cacar air), kondisi sistemik dengan manisfestasi pada mata
(pauciartikular juvenile rematoid arthritis yang dapat mengarah ke iritis dan katarak),
konsumsi obat-obatan dan toxin (timbal dan logam berat).

E. KLASIFIKASI
1. Foria, dikenal dua bentuk foria, yaitu:
a. Ortoforia
Ortoforia merupakan keduudkan bola mata dimana kerja otot-otot luar
bola mata seimbang sehingga memungkinkan terjadinya fusi tanpa usaha
apapun. Pada ortoforia kedudukan bola mata ini tidak berubah walaupun
refleks fusi diganggu.
Ortoforia yang sempurna sebetulnya suatu keadaan yang jarang dan
kedudukan mata tergeser sebesar 3-5 derajat pada bidang horizontal atau 2
derajat pada bidang vertikal masih dianggap dalam batas normal.
Penglihatan dengan kedua mata adalah perlu di dalam kehidupan sehari-hari
karena dengan penglihatan binokular didapatkan persepsi serentak dengan
kedua mata, fusi dan penglihatan ruang (stereopsis).
b. Heteroforia
Heterotrofi adalah keadaan kedudukan bola mata yang normal namun
akan timbul pengimpangan (deviasi) apabila refleks fusi diganggu. Deviasi

15
hilang bila faktor desosiasi ditiadakan akibat terjadinya pengaruh refleks
fusi.
Macam-macam heterotrofi bergantung kepada bidang
penyimpangannya; pada bidang horizontal ditemukan esofori dan eksofori,
pada bidang vertikal ditemukan hipo atau hiperforia sedang pada bidang
frontal ditemukan insiklofori dan eksiklofori. Penyebabnya adalah akibat
tidak seimbangnya atau insufisiennya otot penggerak mata.
Terdapat 75-90% penduduk menderita heteroforia dan biasanya tidak
menimbulkan keluhan. Pada penelitian ditemukan bahwa bila kekuatan fusi
vergens 2 kali sebesar kekuatan heteroforianya maka heteroforia ini tidak
akan menimbulkan keluhan. Fusi pasien dapat terganggu bila pasien letih
atau saat mata tertutup misalnya pada uji tutup mata dan uji tutup mata
bergantian. Pada penderita heteroforia tidak terdapat ambliopia dan
mungkin masih terdapat penglihatan stereoskopik. Heteroforia ini dapat
dibagi menurut arah penyimpangan sumbu penglihatan.
1) Esoforia, mata berbakat juling ke dalam
Esofori adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan ke arah
nasal yang tersembunyi oleh karenan masih adanya refleks fusi.
Esoforia yang mempunyai sudut penyimpangan lebih besar pada
waktu melihat jauh daripada waktu melihat dekat disebabkan oleh
suatu insufisiensi divergen.
Esoforia yang mempunyai sudut penyimpangan lebih kecil pada
waktu melihat dekat disebabkan oleh suatu ekses konvergen.
Biasanya diakibatkan oleh suatu akomodasi yang berlebihan pada
hipermetropia yang tak dikoreksi.
Bila besar sudut penyimpangan sama besar pada waktu melihat
dekat dan melihat jauh, maka ini disebut sebagai basic type.
Penglihatan esoforia dapat diobati dengan jalan:

16
 Memberikan koreksi hipermetropia untuk mengurangi rangsang
akomodasi yang berlebih-lebihan
 Memberikan miotika untuk menghilangkan akomodasinya
 Memberikan prisma base out yang dibagi sama besar untuk mata
kiri dan kanan
 Tindakan operasi bila usaha-usaha diatas tidak berhasil
2) Eksoforia, mata berbakat juling ke luar
Eksoforia atau strabismus divergen latin adalah suatu tendensi
penyimpangan sumbu penglihatan ke arah temporal. Dimana pada
eksforia akan terjadi deviasi ke luar pada mata yang ditutup atau
dicegah terbentuknya refleks fusi.
Eksoforia merupak kelainan yang paling sering dijumpai pada
keadaan kelainan keseimbangan kekuatan otot luar bola mata karena
kedudukan bola mata pada waktu istirahat pada umumnya ada pada
keadaan sedikit menggulir ke arah luar. Eksoforia kecil tanpa
keluhan sering pada anak-anak.
Eksoforia besar sering akan memberikan keluhan astenopia.
Apabila sudut penyimpangan pada waktu melihat jauh lebih besar
daripada waktu melihat dekat, maka hal ini biasanya disebabkan
oleh suatu ekses divergen. Sedangkan apabila sudut penyimpangan
pada waktu melihat dekat lebih besar dibanding waktu melihat jauh,
maka hal ini disebabkan oleh kelemahan akomodasi.
Pada orang miopia mudah terjadi eksoforia karena mereka jarang
berakomodasi akibatnya otot-otot untuk berkonvergensi menjadi
lebih lemah dibanding seharusnya. Juga suatu perbaikan yang
mendadak pada orang dengan hipermetropia dan presbiopia yang
mendapat koreksi kaca mata dapat menimbulkan eksoforia karena
hilangnya ketegangan akomodasi yang tiba-tiba.

17
Pengobatan ditujukan kepada kesehatan secra umum. Bila ada
kelainan refraksi harus diberikan koreksi. Bila mungkin diberikan
latihan-latihan ortoptik. Bila tidak berhasil dapat diberikan prisma
base in yang kekuatannya dibagi dua sama besar untuk masing-
masing mata, kiri dan kanan.
3) Hiperforia, mata berbakat juling ke atas
Hiperforia atau strabismus sursumvergen laten adalah suatu
tendensi penyimpangan sumbu penglihatan kearah atas. Dimana
pada hiperforia akan terjadi deviasi ke atas pada mata yang ditutup.
Umumnya keadaan ini disebabkan kerja yang berlebihan (over
action) otot-otot rektus inferior dan obliqus superior atau kelemahan
(under action) otot-otot rektus inferior dan obliqus superior.
Keadaan hipertrofi mudah sekali menyebabkan astenopia.
Pengobatan dapat dengan kacamata prisma dan puncak diatas
(vertical base up) di depan mata yang sumbu penglihatannya lebih
rendah. Dapat juga dilakukan operasi pada otot-otot rektus superior
dan rektus inferior.
4) Hipoforia, mata berbakat juling ke bawah
Hipoforia atau strabismus deorsumvergen laten adalah suatu
tendensi penyimpangan sumbu penglihatan ke arah bawah. Mata
akan berdeviasi ke bawah bila ditutup.
Sikloforia, mata berdeviasi torsi pada mata yang ditutup. Sikloforia
atau strabismus torsional laten adalah suatu tendensi penyimpangan
sumbu penglihatan berotasi:
 Insikloforia: bila kornea jam 12 berputar ke arah nasal
 Eksokloforia: bila kornea jam 12 berputar ke arah temporal

18
Penderita dengan heteroforia akan mengeluh sakit pada mata, sakit
kepala, kelopak mata yang berat, mual vertigo, dan kadang-kadang
diplopia.
2. Tropia, dapat dibagi dalam berbagai kategori:
a. Menurut arah deviasi.
1) Ke luar: exotropia
2) Ke dalam: esotropia
3) Ke bawah: hipotropia
4) Ke atas: hipertropia
b. Menurut manifestasinya.
1) Manifest: heterotropia
2) Latent: heterophoria: deviasi terjadi apabila mekanisme fusi diputus
c. Menurut sudut deviasi
1) Comitant strabismus: sudut deviasi tetap konstan pada berbagai posisi.
2) Non comitant strabismus: sudut deviasi tidak sama, pada kebanyakan
kasus disebabkan kelumpuhan otot ekstraokuler, karenanya sering disebut
sebagai “paralytic strabismus“.
d. Menurut kemampuan fixasi mata
1) Unilateral strabismus: bila satu mata yang berdeviasi secara konstan
2) Alternating strabismus: bila kedua mata berdeviasi secara bergantian
e. Menurut waktu berlangsungnya strabismus
1) Permanent: mata tampak berdeviasi secara konstan
2) Intermittent: pada keadaan tertentu misalnya lelah, cemas dll, mata
kadang2 tampak berdeviasi, kadang-kadang normal
Eksotropia
Merupakan strabismus divergen manifest dimana sumbu penglihatan ke arah
temporal.

19
Karena syarat penglihatan binokuler tidak terpenuhi misalnya pada myopia yang
lama tidak dikoreksi, pada anisokonia atau lesi retina akan terjadi ambliopia
kemudian eksotropia.
- Eksotropia intermiten
Onset deviasi mungkin pada tahun pertama dan dalam praktiknya semua kasus
sudah muncul dalam usia 5 tahun. Dari anamnesis sering diketahui kelainan
tersebut memburuk secara progresif. Suatu tanda yang khas adalah penutupan
satu mata dalam cahaya yang terang. Karena anak melakukan fusi paling tidak
pada sebagian waktu, amblyopia jarang terjadi, walaupun ada hanya ringan.
- Eksotropia konstan
Lebih jarang dibandingkan intermiten. Kelainan ini dijumpai sejak lahir. Karena
itu anak-anak dengan eksotropia infantile berisiko mengalami kerusakan
neurologi dan keterlambatan perkembangan. Derajat dari eksotropia konstan
bervariasi, lamanya penyakit atau adanya penurunan penglihatan pada satu mata
dapat menjadikan deviasi semakin besar.
Hipertropia
Hipertropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang nyata dimana
salah satu sumbu penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu penglihatan
yang lainnya menyimpang pada bidang vertikal ke arah superior (atas).
Hipotropia
Hipotropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang nyata dimana
salah satu sumbu penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu penglihatan
yang lainnya menyimpang pada bidang vertikal ke arah inferior (bawah).

20
F. GEJALA KLINIS
1. Gerak mata terbatas, pada daerah dimana otot yang lumpuh bekerja. Hal ini
menjadi nyata pada kelumpuhan total dan kurang nampak pada parese. Ini dapat
dilihat, bila penderita diminta supaya matanya mengikuti suatu obyek yang
digerakkan ke 6 arah kardinal, tanpa menggerakkan kepalanya (excurtion test).
Keterbatasan gerak kadang-kadang hanya ringan saja, sehingga diagnosa
berdasarkan pada adanya diplopia saja.
2. Deviasi
Kalau mata digerakkan kearah lapangan dimana otot yang lumpuh bekerja,
mata yang sehat akan menjurus kearah ini dengan baik, sedangkan mata yang
sakit tertinggal. Deviasi ini akan tampak lebih jelas, bila kedua mata digerakkan

21
kearah dimana otot yang lumpuh bekerja. Tetapi bila mata digerakkan kearah
dimana otot yang lumpuh ini tidak berpengaruh, deviasinya tak tampak.
3. Mata melihat lurus kedepan, esotropia mata kanan nyata. Mata melihat ke kiri
tak tampak esotropia. Mata melihat ke kanan esotropia nyata sekali.
4. Parese m.rektus lateral mata kanan Mata kiri fiksasi (mata sehat) mata kanan
ditutup (mata sakit) deviasi mata kanan=deviasi mata primer Mata kiri yang
sehat ditutup, mata kanan yang sakit fiksasi, deviasi mata kiri = deviasi
sekunder, yang lebih besar dari pada deviasi primer.
5. Diplopia: terjadi pada lapangan kerja otot yang lumpuh dan menjadi lebih nyata
bila mata digerakkan kearah ini.
6. Ocular torticollis (head tilting). Penderita biasanya memutar ke arah kerja dari
otot yang lumpuh. Kedudukan kepala yang miring, menolong diagnosa
strabismus paralitikus. Dengan memiringkan kepalanya, diplopianya terasa
berkurang.
7. Proyeksi yang salah. Mata yang lumpuh tidak melihat obyek pada lokalisasi
yang benar. Bila mata yang sehat ditutup, penderita disuruh menunjukkan suatu
obyek yang ada didepannya dengan tepat, maka jarinya akan menunjukkan
daerah disamping obyek tersebut yang sesuai dengan daerah lapangan kekuatan
otot yang lumpuh. Hal ini disebabkan, rangsangan yang nyata lebih besar
dibutuhkan oleh otot yang lumpuh, untuk mengerjakan pekerjaan itu dan hal ini
menyebabkan tanggapan yang salah pada penderita.
8. Vertigo mual-mual, disebabkan oleh diplopia dan proyeksi yang
salah. Keadaan ini dapat diredakan dengan menutup mata yang sakit.

G. DIAGNOSIS
Pemeriksaan diagnostik:
1. E-Chart/Snellen Chart
Pemeriksaan dengan e-chart digunakan pada anak mulai umur 3-3,5 tahun,
sedangkan diatas umur 5–6 tahun dapat digunakan snellen chart.

22
2. Untuk anak dibawah 3 th dapat digunakan cara
a. Objektif dengan optal moschope
b. Dengan observasi perhatian anak dengan sekelilingnya
c. Dengan oklusi / menutup cat mata
3. Menentukan anomali refraksi
Dilakukan retroskopi setelah antropinisasi dengan atropin 0,5%-1%
4. Retinoskopi
Sampai usia 5 tahun anomali refraksi dapat ditentukan secara objektif dengan
retinoskopi setelah atropinisasi dengan atropin 0,5%-1%, diatas usia 5 tahun
ditentukan secara subbjektif seperti pada orang dewasa.

5. Pemeriksaan reflek cahaya dari senter pada permukaan kornea (Tes Hirsch
Berg)
Caranya: Penderita disuruh untuk melihat cahaya pada jarak 12 inci (30cm).
perhatikan reflek cahaya terhadap pupil. Kalau letak nya di pinggir pupil, maka
deviasinya 15 derajat, tapi kalau letaknya diantara pinggir pupil dan limbus
maka deviasinya 30 derajat dan jika letak nya di limbus, maka derajat
deviasinya 45 derajat (catatan: 1 derajat = 2 prisma diopter).

23

15º
15º

28º
28º

45º
45º

6. Uji Krimsky
Caranya: Penderita melihat ke sumber cahaya yang jarak nya ditentukan.
Perhatikan reflek cahaya pada mata yang berdeviasi. Kekuatan prisma yang
terbesar diletakkan di depan mata yang berdeviasi, sampai reflek cahaya yang
terletak di sentral kornea.
7. Pemeriksaan Gerakan Mata
a. Pemeriksaan pergerakan monokuler
Satu mata ditutup dan mata yang lainnya mengikuti cahaya yang digerakkan
ke segala arah pandangan sehingga adanya kelemahan rotasi dapat
diketahui. Kelemahan seperti ini biasanya karena para usis otot atau karena
kelainan mekanik anatomic.
b. Pemeriksaan pergerakan binokuler
c. Pada tiap-tiap mata ,bayangan yang ditangkap oleh fovea secara subjektif
terlihat seperti terletak lurus didepan .apabila ada 2 objek yang berlainan
ditangkap oleh 2 fovea, kedua objek akan terlihat seperti terletak lurus
didepan .apabila ada 2 objek akan terlihat saling tindih, tetapi jika ada
ketidak samaan menyebabkan fusi tidak memberikan kesan tunggal.

24
Test Tambahan
Pemeriksaan Ini dilakukan untuk mengukur derajat strabismus. Diantaranya:
1. Tes Maddox Cross
Maddox Cross terdiri dari satu palang dengan tangan dari silang nya 1 m. pada
jarak 1m dari Maddox cross, kedua mata penderita, musle light yang terletak
ditengah-tengah Maddox cross dan ujung Maddox cross membentuk segitiga
sama kaki dengan sudut dasarnya 45o
Suruh penderita melihat muscle light, kalau tidak ada strabismus, reflek cahaya
terletak di tengah-tengah pupil, namu bila strabismus, letaknya eksentrik
2. Tes Pemeriksaan Rotasi Monokuler
Caranya:
Diperiksa dengan salah satu mata ditutup, sedangkn mata yang lain mengikuti
cahaya atau objek yang diarahkan kesemua arah. Kelemahan deduksi dapat
diketahui yang disebabkan oleh kelemahan otot atau kelainan anatomis dari
otot.
3. Uncover Test
Caranya:
Pasien diminta melihat objek fiksasi. Mata kanan ditutup dan mata kiri tidak.
Lalu dibuka, segera perhatikan, bila bola mata bergerak, heterophoria
diam,orhoporia, exophoria bergerak nasal.
4. Penentuan sudut strabismus (sudut deviasi)
Uji prisma dan penutupan yang terdiri dari 4 bagian :
o Uji penutupan
Uji ini sering dipergunakan untuk mengetahui adanya tropia atau foria.
Uji pemeriksaan ini dilakukan untutk pemeriksaan jauh dan dekat, dan
dilakukan dengan menyuruh mata berfiksasi pada satu obyek. Bila telah
terjadi fiksasi kedua mata maka kiri ditutup dengan lempeng penutup. di
dalam keadaan ini mungkin akan terjadi :

25
1. Mata kanan bergerak berarti mata tersebut mempunyai kejulingan yang manifes.
Bila mata kanan bergerak ke nasal berarti mata kanan juling keluar atau
eksotropia. Bila mata kanan bergerak ke temporal berarti mata kanan juling ke
dalam atau esotropia.
2. Mata kanan bergoyang yang berarti mata tersebut mungkin ambliopia atau tidak
dapat berfiksasi
3. Mata kanan tidak bergerak sama sekali, yang berarti bahwa mata kanan
berkedudukan normal, lurus atau telah berfiksasi.
o Uji membuka menutup
Uji ini sama dengan uji tutup mata, dimana yang dilihat adalah
mata yang ditutup. Mata yang ditutup dan diganggu fusinya sehingga
mata yang berbakat menjadi juling akan menggulir. Bila mata tersebut
ditutup dan dibuka akan terlihat pergerakan mata tersebut. Pada keadaan
ini berarti mata ini mengalami foria atau juling atau berubah kedudukan
bila mata ditutup.
o Uji penutupan berselang seling
Bila satu mata ditutup dan kemudian mata yang lain maka bila
kedua mata berfiksasi normal maka mata yang dibuka tidak bergerak.
Bila terjadi pergerakan bola mata yang baru dibuka berarti terdapat foria
atau tropia.
o Uji penutupan plus-prisma

26
H. TATALAKSANA
1. Non Medikamentosa
a. Kacamata
b. Eye patch
c. Prisma
d. Latihan ortoptik
2. Medikamentosa
Injeksi toksin botulinum tipe A (botox)
3. Pembedahan
Tujuannya adalah untuk memperbaiki kelainan mata dengan cara mengubah
fungsi dari otot atau mekanik ototnya

27
Indikasi dilakukannya adalah:
1. Penglihatan ganda yang makin parah
2. Kosmetik
3. Untuk memperbaiki wajah yang berbelok dengan strabismus incominant
atau nistagmus

Reseksi dan resesi


Merupakan tindakan sederhana dengan memperkuat otot ekstraokular dan
melemahkan otot ekstraokular. Reseksi dimana otot dilepaskan dari mata,
diregangkan lebih panjang secara terukur, kemudian dijahit kembali ke mata,
biasanya ditempat insersi semula. Resesi dimana otot dilepas dari mata,
dibebaskan dari perlekatan fasia, dan dibiarkan mengalami retraksi. Otot
tersebut dijahit kembali ke mata pada ajarak tertentu di belakang insersinya
semula.
Penggeseran titik perlekatan otot
Hal ini dapat menimbulkan efek rotasional yang sebelumnya tidak dimiliki otot
tersebut. Misalnya pergeseran vertikal kedua otot rektus horizontal di mata
yang sama akan mempengaruhi posisi vertikal mata. Penggeseran vertikal otot
rektus horizontal dalam arah yang berlawanan mempengaruhi posisi horizontal
mata sewaktu memandang ke bawah dan ke atas.
Tindakan faden
Merupakan suatu operasi khusus untuk melemahkan otot, disebut juga tindakan
fiksasi posterior. Dalam operasi ini diciptakan suatu insersi otot baru jauh
dibelakang insersi semula. Hal ini menyebabkan pelemahan mekanis otot
sewaktu mata berotasi di dalam bidang kerjanya. Apabila dikombinasi dengan
resesi otot yang sama, operasi faden menimbulkan efek melemahkan yang
mencolok tanpa perubahan bermakna pada posisi primer mata.

28
I. KOMPLIKASI

Komplikasi pada strabismus dapat berupa:


1. Supresi merupakan usaha yang tak disadari dari penderita untuk menghindari
diplopia yang timbul akibat adanya deviasinya. Mekanisme bagaimana
terjadinya masih belum diketahui.
2. Ambliopia, yaitu menurunkan visus pada satu/dua mata dengan/tanpa koreksi
kacamata dan tanpa adanya kelainan organiknya.
3. Anomalous retinal correspondence dalah suatu keadaan dimana fovea dari
mata yang baik ( yang tidak berdeviasi ) menjadi sefaal dengan daerah diluar
fovea dari mata yang berdeviasi.
4. Defek otot, misal: kontraktur
Kontraktur otot mata biasanya timbul pada strabismus yang bersudut besar dan
berlangsung lama. Perubahan-perubahan sekunder dari struktur konjungtiva
dan jaringan fascia yang ada di sekeliling otot menahan pergerakan normal
mata.
5. Adaptasi posisi kepala, antara lain: Head Tilting, Head Turn.
Keadaan ini dapat timbul untuk menghindari pemakaian otot yang mengalami
defect atau kelumpuhan untuk mencapai penglihatan binokuler. Adaptasi
posisi kepala biasanya ke arah aksi otot yang lumpuh. Contoh: Paralisis
Rectus Lateralis mata kanan akan terjadi Head Turn ke kanan.

J. PROGNOSIS
Prognosis pada strabismus ini baik bila segera ditangani lebih lanjut, sehingga tidak
sampai menimbulkan komplikasi yang menetap.

29
HIPERMETROPIA
A. DEFINISI
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun dekat.
Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata
dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak
di belakang makula lutea (Sidarta, 2009). Hipermetropia adalah suatu kondisi
ketika kemampuan refraktif mata terlalu lemah yang menyebabkan sinar yang
sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi difokuskan di belakang retina.
Hipermetropia adalah keadaan mata yang tidak berakomodasi memfokuskan
bayangan di belakang retina.
Hipermetropia terjadi jika kekuatan yang tidak sesuai antara bola mata dan
kekuatan pembiasan kornea dan lensa lemah sehingga titik fokus sinar terletak
di belakang retina.

B. KLASIFIKASI
Terdapat berbagai gambaran klinik hipermetropia seperti:
a. Hipermetropia manifes ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan
kacamata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal.
Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut ditambah dengan
hipermetropia fakultatif. Hipermetropia manifes didapatkan tanpa
siklopegik dan hipermetropia yang dapat dilihat dengan koreksi kacamata
maksimal.
b. Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi
dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif. Pasien yang hanya
mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kacamata.
Bila diberikan kacamata positif yang memberikan penglihatan normal,
maka otot akomodasinya akan mendapatkan istirahat. Hipermetropia
manifes yang masih memakai tenaga akomodasi disebut sebagai
hipermetropia fakultatif.

30
c. Hipermetropia absolut, dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengan
akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya
hipermetropia laten yang ada berakhir dengan hipermetropia absolut ini.
Hipermetropia manifes yang tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali
disebut sebagai hipermetropi absolut.
d. Hipermetropia laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa siklopegia (otot
yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi.
Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan siklopegia. Makin
muda makin besar komponen hipermetropia laten seseorang. Makin muda
makin besar komponen hipermetropia laten seseorang.
e. Hipermetropia total, hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah
diberikan siklopegia (Sidarta, 2009).

C. ETIOLOGI
Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih
pendek. Akibat bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan difokuskan
di belakang retina. Berdasarkan penyebabnya, hipermetropia dapat dibagi atas:
a. Hipermetropia sumbu atau aksial, merupakan kelainan refraksi akibat bola
mata pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek.
b. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang
sehingga bayangan difokuskan di belakang retina.
c. Hipermetropia indeks refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang
pada sistem optik mata (Sidarta, 2009).

D. PATOFISIOLOGI
Akibat dari bola mata yang terlalu pendek, yang menyebabkan
bayangan terfokus di belakang retina.

31
E. GEJALA KLINIS
Sakit kepala terutama daerah dahi atau frontal, silau, kadang rasa juling
atau melihat ganda, mata leleh, penglihatan kabur melihat dekat (Sidarta,
2009). Sering mengantuk, mata berair, pupil agak miosis, dan bilik mata depan
lebih dangkal.

F. PENGOBATAN
Mata dengan hipermetropia akan memerlukan lensa cembung untuk
mematahkan sinar lebih kaut kedalam mata. Koreksi hipermetropia adalah di
berikan koreksi lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan
normal. Hipermetropia sebaiknya diberikan kaca mata lensa positif terbesar
yang masih memberi tajam penglihatan maksimal (Sidarta, 2009).

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Shah, Jayantilal; Patel, Shrikant. 2015. Strabismus: Symptoms, Pathophysiology,


Management & Precautions. International Journal of Science and Research (ISSN)
Online.
2. Putri SHM. Strabismus A-V Pattern. Jurnal Kesehatan Andalas, 2014:3(3), 563-
571.
3. Sidarta I, dkk. 2009. Sari Ilmu Penyakit Mata Cetakan III. Jakarta: FKUI.

33

Anda mungkin juga menyukai