Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Oleh:
dr. Yurike Rizkhika

Pembimbing:
dr. Jimmy Haskell Sampeliling, Sp.PD
dr. Deciana Sri Dewayanti, M.Kes
dr. Riani Agustina

RUMAH SAKIT DAERAH MADANI KOTA PALU


SULAWESI TENGAH
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut World Health Organitation (WHO) pada tahun 2012, jumlah


penderita PPOK mencapai 274 juta jiwa dan diperkirakan meningkat menjadi 400
juta jiwa di tahun 2020 mendatang dan setengah dari angka tersebut terjadi di
negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Angka kejadian PPOK di
Indonesia menempati urutan kelima tertinggi di dunia, yaitu 7,8 juta jiwa.
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas
yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
Emfisema suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Banyak penyakit
dikaitkan secara langsung dengan kebiasaan merokok dan salah satu yang harus
diwaspadai adalah PPOK. Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai
4%, angka kematian mencapai 6% dan angka kesakitan wanita 2%, angka kematian
4%, umur di atas 45 tahun.
Data badan kesehatan dunia World Health Organization (WHO) dari
seluruh perokok di dunia, 84% (1,09 milyar orang) berada di negara berkembang.
Depkes RI (2004) melaporkan bahwa penduduk Indonesia hampir 70% telah mulai
merokok di usia anak-anak dan remaja. Kondisi ini menyebabkan mereka akan sulit
berhenti merokok dan membuat mereka mempunyai risiko yang tinggi
mendapatkan penyakit yang berhubungan dengan rokok pada usia pertengahan. Di
Amerika Serikat, PPOK mengenai lebih dari 16 juta orang, lebih dari 2,5 juta orang
Italia, lebih dari 30 juta di seluruh dunia dan menyebabkan 2,74 juta kematian pada
tahun 2000. Di Indonesia, PPOK menempati urutan kelima sebagai penyakit
penyebab kematian dan diperkirakan akan menduduki peringkat ke-3 pada tahun
2020 mendatang.

2
Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang biasa disebut sebagai PPOK
merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara di
dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat
progresif ini disebabkan karena terjadinya inflamasi kronik akibat pajanan partikel
atau gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala
utama sesak nafas, batuk, dan produksi sputum. Sehingga PPOK berkorelasi
dengan jumlah total partikel yang telah dihirup oleh seseorang selama hidupnya.
Merokok merupakan faktor risiko utama dalam menyebabkan perkembangan dan
peningkatan PPOK. Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 4,8 juta penderita
PPOK. Angka ini bisa meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok
karena 90% penderita PPOK adalah perokok atau bekas perokok.

3
BAB II
DAFTAR PUSTAKA

I. ANATOMI DAN FISIOLOGI PARU


Paru adalah organ berbentuk piramid seperti spons dan berisi udara yang
terletak di rongga thoraks. Paru terdiri dari susunan bronkus, bronkiolus, bronkiolus
respiratorik, alveoli, pembuluh darah, saraf, dan sistem limfatik. Paru merupakan
alat pernapasan utama yang merupakan dua organ berbentuk kerucut dengan apeks
di atas dan sedikit lebih tinggi dari klavikula. Paru dibagi menjadi beberapa lobus
oleh fisura. Paru kanan terbagi menjadi 3 lobus dan paru kiri terbagi menjadi 2
lobus. Paru mempunyai hilus paru yang dibentuk oleh arteri pulmonalis, vena
pulmonalis, bronkus, arteri bronkialis, vena bronkialis, pembuluh limfe, dan saraf.
Paru dilapisi oleh lapisan tipis yang disebut pleura. Pleura terdiri dari pleura
viseralis yang melekat pada paru dan pleura parietalis yang melapisi sternum,
diafragma, dan mediastinum. Ruang di antara kedua pleura tersebut dinamakan
rongga pleura, berisi cairan pleura yang memungkinkan paru untuk berkembang
dan berkontraksi tanpa gesekan.

Tujuan dari pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan
membuang karbondioksida. Untuk mencapai tujuan ini, pernapasan dapat dibagi
menjadi empat peristiwa fungsional utama, yaitu (1) ventilasi paru, yang berarti
masuk dan keluarnya udara antara atmosfir dan alveoli paru, (2) difusi oksigen dan
karbondioksida antara alveoli dan darah, (3) transpor oksiden dan karbondioksida

4
dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel, dan (4) pengaturan ventilasi dan hal
lain dari pernapasan.
Paru dapat dikembang-kempiskan melalui dua cara, yaitu diafragma
bergerak turun naik untuk memperbesar atau memperkecil rongga dada dan depresi
elevasi tulang iga untuk memperbesar atau memperkecil diameter anteroposterior
rongga dada. Pernapasan normal dan tenang dapat dicapai dengan hampir sempurna
melalui metode pertama, yaitu melalui gerakan diafragma. Saat inspirasi kontraksi
diafragma menarik permukaan paru ke arah bawah, dan saat ekspirasi, diafragma
mengadakan relaksasi dan sifat elastis daya lenting paru (elastic recoil) dinding
dada, dan struktur abdominal akan menekan paru. Selama bernapas kuat, daya
elastis tersebut tidak cukup kuat untuk menghasilkan ekspirasi cepat yang
diperlukan, sehingga diperlukan tenaga ekstra dari otot-otot abdominal yang
mendorong isi abdomen ke atas melawan dasar diafragma.
Metode kedua untuk mengembangkan paru adalah dengan mengangkat
rangka iga. Pengembangan paru dapat terjadi karena saat posisi istirahat iga miring
ke bawah, sternum turun ke belakang ke arah kolumna vertebralis. Akan tetapi, bila
rangka iga dielevasikan, tulang iga langsung maju sehingga sternum bergerak ke
depan menjauhi spinal, membentuk jarak anteroposterior dada kira-kira 20% lebih
besar selama inspirasi maksimum dibandingkan selama ekspirasi. Oleh karena itu,
otot-otot yang mengelevasikan rangka dada dapat diklassifikasikan sebagai otot
ekspirasi.
Paru merupakan struktur elastis yang akan mengempis seperti balon dan
mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk
mempertahankan pengembangannya. Tidak terdapat perlekatan antara paru dan
dinding dada kecuali pada bagian dimana paru tergantung pada hilum dari
mediastinumnya. Paru sebetulnya mengapung dalam rongga thoraks, dikelilingi
lapisan tipis pleura dengan cairan pleura yang menjadi pelumas bagi gerakan paru
di dalam rongga. Selanjutnya cairan yang berlebihan akan diisap kedalam saluran
limfatik.
Gas dapat bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain dengan cara difusi,
pergerakan ini disebabkan oleh perbedaan tekanan dari tempat pertama ke tempat

5
yang lain. Dengan demikian, oksigen berdifusi dari alveoli ke dalam darah kapiler
paru karena tekanan oksigen (pressure of oxygen/PO2) dalam alveoli lebih besar
daripada PO2 dalam darah paru. Kemudian di dalam jaringan, PO2 yang sangat
tinggi dalam darah kapiler menyebabkan oksigen berdifusi ke dalam sel.
Sebaliknya, bila oksigen dimetabolisme dalam sel untuk membentuk
karbondioksida, tekanan karbondioksida (pressure of carbon dioxide/PCO2)
meningkat ke nilai yang tinggi sehingga karbondioksida berdifusi ke dalam kapiler
jaringan. Demikian pula karbondioksida berdifusi ke luar dari darah masuk ke
dalam alveoli karena PCO2 dalam darah kapiler paru lebih besar daripada dalam
alveoli.
Bila oksigen telah berdifusi dari alveoli ke dalam darah paru, oksigen
terutama ditranspor kedalam bentuk gabungan dengan hemoglobin ke kapiler
jaringan, dimana oksigen akan dilepaskan untuk digunakan oleh sel. Adanya
hemoglobin di dalam sel darah merah memungkinkan darah untuk mengangkut 30-
100 kali jumlah oksigen yang dapat ditranspor dalam bentuk oksigen terlarut di
dalam cairan darah (plasma).
Oksigen bereaksi dengan berbagai bahan makanan untuk membentuk
sejumlah besar karbondioksida di dalam sel jaringan. Karbondioksida ini masuk ke
dalam kapiler jaringan dan ditranspor kembali ke paru. Karbondioksida seperti
oksigen juga bergabung dengan bahan-bahan kimia dalam darah yang
meningkatkan transportasi karbondioksida 15-20 kali lipat.
Pada keadaan normal kira-kira 97% oksigen yang ditranspor dari paru ke
jaringan dibawa dalam campuran kimiawi dalam hemoglobin dalam sel darah
merah. Tiga persen sisanya dibawa dalam bentuk terlarut dalam cairan plasma dan
sel. Dengan demikian pada keadaan normal, oksigen dibawa ke jaringan hampir
seluruhnya oleh hemoglobin. Molekul oksigen bergabung secara longgar dan
reversibel dengan bagian heme dari hemoglobin. Bila PO2 tinggi seperti dalam
kapiler paru, oksigen akan berikatan dengan hemoglobin, tetapi bila PO2 rendah

6
misalnya dalam kapiler jaringan, oksigen dilepaskan dari hemoglobin.

II. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)


A. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai hambatan aliran udara persisten, progresif, dan
berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronik saluran napas dan paru
terhadap berbagai partikel atau gas beracun.
Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama,
meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi, menurut PDPI
2011, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi. Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang
ditandai oleh pembentukan mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai
batuk kronik. Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang
ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris serta destruksi dinding
alveolar.

B. Epidemiologi
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus
merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini
menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan
hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan
prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%.

7
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun
2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit
tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab
kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12
negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada
usia 30 tahun ke atas, dengan rata-rata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan
Singapura dengan angka prevalensi terkecil, yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.
Indonesia sendiri belum memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya
Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK
bersama-sama dengan asma bronkial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab
kematian terbanyak di Indonesia.

C. Faktor Risiko
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran napas paru, akan ditandai
dengan hipersekresi mukus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran
ini muncul disebabkan oleh adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok
dan membaik saat merokok dihentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga
kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik,
paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis
kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi, dan
komorbiditas.
1. Genetik
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi
lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar
dan telah diteliti lama adalah defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan
protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh
defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada
perokok maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan
rokok. Bahkan pada beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis
PPOK itu dengan gen yang terdapat pada kromosom 2q.

8
2. Paparan Partikel Inhalasi
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi
selama hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan
komposisinya, dapat berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya risiko
dan total dari risiko ini akan terintegrasi secara langsung terhadap pejanan
inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada selama
kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat
kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK. Paparan itu sendiri tidak
hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif, bahkan pada perokok
pasif atau dengan kata lain environmental smokers itu sendiri pun ternyata
risiko tinggi menderita PPOK juga. Pada perokok pasif didapati penurunan
VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok.
Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika ibunya
perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif,
selain didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi anak untuk menderita
penyakit saluran pernapasan pada 3 tahun pertama menjadi meningkat.
Shahab dkk melaporkan hal yang juga amat menarik bahwa ternyata mereka
mendapatkan besarnya insidensi PPOK yang telah terlambat didiagnosis,
memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK yang berat berdasarkan
derajat spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% yang mengatakan bahwa
mereka menderita penyakit saluran napas, sisanya tidak mengetahui bahwa
mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok. Status merokok justru
didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan dengan derajat
keparahan yang lain. Begitu juga mengenai riwayat merokok yang ada,
ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita PPOK yang sedang.
Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang
terkait dengan pekerjaan (occupational dusts) dan bahan-bahan kimia.
Meskipun bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab
tingginya insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan
inorganik berdasarkan analisa studi populasi NHANES III didapatkan hampir
10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena

9
pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-20%
paparan pada pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna
pada PPOK. Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan,
kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan
menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain
itu, polusi udara di luar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas ke arah
PPOK menjadi tinggi seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar
sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan
sumbatan pada saluran napas kecil (bronkiolitis) yang semakin memberikan
perburukan pada fungsi paru.

3. Pertumbuhan dan Perkembangan Paru


Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong
terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi
bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya.
Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang positif antara
berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.

4. Stres Oksidatif
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus
dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki
proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan
keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan
stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi
pada paru-paru. Ketidakseimbangan inilah yang kemudian memainkan
peranan yang penting terhadap patogenesis PPOK.

5. Jenis Kelamin
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada
PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi
PPOK lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita, tetapi
penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa ternyata saat ini

10
insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama dan terdapat beberapa
studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh
asap rokok dibandingkan pria. Hal ini disebabkan oleh perubahan kebiasaan,
dimana wanita lebih banyak yang merupakan perokok saat ini.

6. Infeksi
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar
terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri
berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernapasan dan juga
memberikan peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi.
Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK, dimana
kolonisasi virus, seperti rhinovirus pada saluran napas berhubungan dengan
peradangan saluran napas dan jelas sekali berperan pada terjadinya
eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan
ditemukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur di atas
40 tahun.

7. Status Sosio-Ekonomi dan Nutrisi


Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik
indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang buruk serta faktor lain yang
berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut
berhubungan erat dengan status sosial ekonomi.

8. Kormobiditas
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana
didapatkan dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway
Obstructive Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan mengalami 12
kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.

D. Patogenesis, Patologi, dan Patofisiologi

Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran napas yang besar dan kecil
bahkan unit respiratori terminal. Terdapat dua kondisi pada PPOK yang menjadi

11
dasar patologi, yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema
paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai
dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang
nyata. Penyempitan saluran napas tampak pada saluran napas yang besar dan kecil
yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran napas terhadap respon
inflamasi yang persisten. Epitel saluran napas yang dibentuk oleh sel skuamousa
akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus
menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran
napas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan
mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B
menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran napas yang kecil akan memberikan beragam
lesi penyempitan pada saluran napasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi
sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos. Saluran napas
yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran napasnya,
termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan
submukosa, peningkatan otot polos.

Gambar 1. Gambaran Epitel Saluran Napas pada PPOK dan Orang Sehat.

Inflamasi pada saluran napas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi
yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin
dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru,
ketidakseimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin
menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil,

12
makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan
berinteraksi dengan struktur sel pada saluran napas dan parenkim. Secara umum,
perubahan struktur dan inflamasi saluran napas ini meningkat seiring derajat
keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru akan memperberat
keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan
mediator yang berperan dalam proses penyakit, di antaranya adalah leucotrien B4,
chemotactic factors, seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related
oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß. Selain itu, ketidakseimbangan aktivitas
protease atau inaktivitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor
risiko juga akan memacu proses inflamasi, seperti produksi netrofil dan makrofag
serta aktivasi faktor transkripsi, seperti nuclear factor κß sehingga terjadi lagi
pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada. Hipersekresi
mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi silier mempersulit
proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran napas pada
saluran napas yang kecil dengan diameter <2 mm dan air trapping pada emfisema
paru.

E. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan:
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
(1) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
(2) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
(3) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
(4) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi atau anak, misalnya
berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara

13
(5) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
(6) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

b. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan.
(1) Inspeksi
(a) Purse-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
(b) Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal
sebanding)
(c) Penggunaan otot bantu napas
(d) Hipertropi otot bantu napas
(e) Pelebaran sela iga
(f) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai. Penampilan pink puffer
atau blue bloater
(2) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
(3) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
(4) Auskultasi
(a) Suara napas vesikuler normal atau melemah
(b) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
(c) Ekspirasi memanjang
(d) Bunyi jantung terdengar jauh
c. Pemeriksaan Penunjang
(1) Pemeriksaan Spirometri
Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya
menggunakan spirometri. The National Heart, Lung, dan Darah
Institute merekomendasikan spirometri untuk semua perokok 45

14
tahun atau lebih tua, terutama mereka yang dengan sesak napas,
batuk, mengi, atau dahak persisten.
(2) Pemeriksaan Penunjang Lain
Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK, namun
beberapa tes tambahan berguna untuk menyingkirkan penyakit
bersamaan. Radiografi dada harus dilakukan untuk mencari bukti
nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis. Hitung darah lengkap
harus dilakukan untuk menyingkirkan anemia atau polisitemia. Hal
ini wajar untuk melakukan elektrokardiografi dan ekokardiografi
pada pasien dengan tanda-tanda corpulmonale untuk mengevaluasi
tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan
pengerahan tenaga, dan selama tidur harus dilakukan untuk
mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan oksigen tambahan.

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)


2019, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:
1. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis: Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum,
dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor risiko.
Spirometri: Normal.
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis: Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.
Spirometri: FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
3. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis: Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.
Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri: FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%.
4. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis: Sesak napas ketika berjalan dan berpakaian. Eksaserbasi lebih
sering terjadi
Spirometri: FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%.

15
5. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis: Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi
korpulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri: FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%.

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi
non farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah
mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi
ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien,
meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka kematian.
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan
merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan
serta memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan
jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi
pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat irreversibel dan
progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan
mencegah kecepatan perburukan penyakit.
Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan
merupakan pilihan utama adalah bronkodilator. Penggunaan obat lain, seperti
kortikoteroid, antibiotic, dan antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi
tertentu. Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator:
1. Golongan antikolinergik.
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali per hari).
2. Golongan β– 2 agonis.

16
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Bentuk nebuliser
dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk
penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.
3. Kombinasi antikolinergik dan β–2 agonis.
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
4. Golongan xantin.
Pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan
berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas),
bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal
napas akut, infeksi berulang, dan cor pulmonal. Gagal napas kronis ditunjukkan
oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta
pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronis ditandai oleh sesak
napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam,
dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan
menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi
berulang. Selain itu, pada kondisi kronis ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah,
ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya cor pulmonal ditandai
oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit >50 %, dan dapat disertai gagal jantung
kanan.

17
BAB III
LAPORAN KASUS

H. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AT
Usia : 61 tahun
Tanggal lahir : 09 Agustus 1958
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Napu
No CM : 070116
Tanggal Masuk : 24 Juni 2019
Tanggal Periksa : 25 Juni 2019
Ruangan : Jambu

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke IGD RSD Madani dengan keluhan sesak napas yang
dirasakan sejak lama, kurang lebih 1 tahun. Sesak napas dirasakan terus-menerus,
namun saat ini dirasakan semakin memberat. Sesak dipengaruhi oleh debu dan asap.
Pasien tidak merasa mudah lelah. Nyeri dada (-). Pasien juga mengeluhkan batuk
berdahak yang dirasakan sejak 1 tahun tidak sembuh. Dahak berwarna putih
kekuningan, konsistensi kental. Batuk darah (-) demam (-) penurunan berat badan
(-) nafsu makan menurun (-) keringat malam (-). BAB biasa, BAK lancar.

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Riwayat pengobatan 6 bulan disangkal
- Riwayat diabetes mellitus disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat jantung disangkal

18
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat alergi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


- Riwayat pengobatan 6 bulan disangkal
- Riwayat diabetes mellitus disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat jantung disangkal
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat alergi disangkal

Riwayat Pemakaian Obat:


Pasien sebelumnya tidak pernah memeriksakan ke dokter dan minum obat.

Riwayat Kebiasaan Sosial


- Pasien berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah.
- Pasien mempunyai kebiasaan merokok sejak umur kurang lebih 18 tahun
sebanyak 1 bungkus sehari, namun sudah berhenti sejak 2 tahun yang lalu.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanda Vital
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS E4M6V5
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Denyut nadi : 68 x/m
Frekuensi napas : 28 x/m
SpO2 : 85%, udara ruangan
Suhu : 370C

Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+),
RCL (+/+), RCTL (+/+)

19
THT : Sekret hidung (+/+), purse-lips breathing (+)
Leher : Pembesaran KGB (-) peningkatan JVP (-)
Thoraks : Inspeksi : Simetris (+), retraksi (+/+)
Palpasi : Fremitus raba kanan=kiri
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (+/+), wheezing (+/+)
Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Thrill (-)
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Abdomen : Inspeksi : Dinding perut > dinding dada
Auskultasi : Peristaltik usus (+) kesan normal
Perkusi : Timpani (+) ascites (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral dingin (-) oedem (-)

Status Neurologis
GCS : E4M6V5
Nervus Craniales : Dalam batas normal
TRM : Kaku kuduk (-)
Brudzinski 1 (-)
Brudzinski 2 (-)
Refleks Fisiologis : ++/++
++/++
Refleks Patologis : Negatif
Kekuatan Motorik : 5555/5555
5555/5555
Sensorik/Otonom : Dalam batas normal

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium

20
Tanggal Pemeriksaan: 24 Juni 2019
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 16,0 13,5-16,5 mg/dl
Hct 43 40-49 %
WBC 5.610 4.000-10.000 mm3
Plt 218.000 150.000-400.000 mm3
Ureum 50 10-50 mg/dl
Creatinine 1,1 0,9-1,3 mg/dl
GDS 106 <200 mg/dl

Pemeriksaan Radiologi

Foto Thorax PA:


Bercak-bercak paracardial dan parahilar bilateral
Cor: ukuran dalam batas normal
Kedua sinus dan diafragma baik
Tulang-tulang intak

21
Kesan: Bronkitis kronis

Pemeriksaan Sputum BTA


Hasil: Negatif

V. TATALAKSANA
Medikamentosa
- Oksigen target saturasi >90%
- IVFD RL 20 tpm
- Nebulisasi combivent 1 respul/6 jam
- Pantoprazole 1 vial/24 jam/i.v.
- Cefoperazone 1 vial/12 jam/i.v.
- Levofloxacin 500 mg 1x1,5 tab
- Metilprednisolon 8 mg 2x1 tab
- Salbutamol 2 mg 3x1 tab
- N-Acetylcysteine 200 mg 3x1 caps

Nonmedikamentosa
Edukasi pasien untuk menghentikan kebiasaan merokok, menghindari
paparan asap dan debu. Meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan
pernapasan. Memperbaiki nutrisi.

22
Follow Up

Tanggal Subjective Objective Assessment Planning

25-06-2019 Sesak napas (+) TTV PPOK • Oksigen target saturasi


>90%
Batuk lendir (+) KU: sedang,
• Infus drip Aminophylline 1
composmentis ampul dalam D5 1 kolf 14
tpm, 2 siklus
TD: 120/80 mmHg
• Nebulisasi combivent 1
HR: 90 x/mnt respul/6 jam
• Pantoprazole 1 vial/24
RR: 24 x/mnt
jam/i.v.
Suhu: 37º C • Cefoperazone 1 vial/12
jam/i.v.
SpO2: 90% nasal
• Levofloxacin 500 mg
kanul 1x1,5 tab
• Metilprednisolon 62,5
PEMERIKSAAN
mg/12 jam/i.v.
FISIK • Salbutamol 4 mg 2x1 tab
• N-Acetylcysteine 200 mg
Pulmo: SDV +/+
3x1 caps
Ronkhi +/+ • Symbicort 80/4,5 2x2 puff
Wheezing +/+

23
Tanggal Subjective Objective Assessment Planning

26-06- Sesak napas (+) TTV PPOK • Oksigen target saturasi


>90%
2019 Batuk lendir (+) KU: sedang, • Infus drip Aminophylline 2
BAB keras (+) composmentis ampul dalam D5 1 kolf 14
tpm, 2 siklus
TD: 110/70 mmHg
• Nebulisasi combivent 1
HR: 80 x/mnt respul/6 jam
• Pantoprazole 1 vial/24
RR: 22 x/mnt
jam/i.v.
Suhu: 36º C • Cefoperazone 1 vial/12
jam/i.v.
SpO2: 92% nasal kanul
• Levofloxacin 500 mg 1x1,5
PEMERIKSAAN FISIK tab
• Metilprednisolon 62,5
Pulmo: SDV +/+
mg/12 jam/i.v.
Ronkhi +/+ • Salbutamol 4 mg 2x1 tab
• N-Acetylcysteine 200 mg
Wheezing +/+
3x1 caps
• Symbicort 80/4,5 2x2 puff
• Dulcolactol syr 3xIC

24
Tanggal Subjective Objective Assessment Planning

27-06- Sesak napas (+) TTV PPOK • Infus drip Aminophylline


KU: sedang, 2 ampul dalam D5 1 kolf
2019 berkurang
14 tpm, 2 siklus
Batuk kering (+) composmentis • Nebulisasi combivent 1
TD: 110/70 mmHg respul/6 jam
Sulit tidur (+)
• Pantoprazole 1 vial/24
HR: 90 x/mnt
jam/i.v.
RR: 22 x/mnt • Levofloxacin 500 mg
Suhu: 37º C 1x1,5 tab
• Metilprednisolon 62,5
SpO2: 99% udara
mg/12 jam/i.v.
ruangan • Salbutamol 4 mg 2x1 tab
PEMERIKSAAN FISIK • Symbicort 80/4,5 2x2
puff
Pulmo: SDV +/+ • Codein 10 mg 3x1
Ronkhi +/+ • Alprazolam 0,5 mg
0-0-1 tab
Wheezing +/+

Tanggal Subjective Objective Assessment Planning

28-06- Sesak napas (+) TTV PPOK • Infus drip Aminophylline


KU: sedang, 2 ampul dalam D5 1 kolf
2019 berkurang
14 tpm, 2 siklus
Batuk kering (+) composmentis • Nebulisasi combivent 1
TD: 90/60 mmHg respul/8 jam
berkurang
• Pantoprazole 1 vial/24
HR: 88 x/mnt
Sulit tidur (+) jam/i.v.
RR: 22 x/mnt • Levofloxacin 500 mg
Suhu: 37º C 1x1,5 tab
• Metilprednisolon 62,5
SpO2: 99% udara
mg/24 jam/i.v.
ruangan • Salbutamol 4 mg 2x1 tab
PEMERIKSAAN FISIK • Symbicort 80/4,5 3x2
puff
Pulmo: SDV +/+ • Codein 10 mg 3x1
Ronkhi +/+ • Alprazolam 0,5 mg
0-0-1 tab
Wheezing +/+

25
Tanggal Subjective Objective Assessment Planning

29-06- Keluhan (-) TTV PPOK • Aff infus


KU: sedang, • Levofloxacin 500
2019
mg 1x1,5 tab
composmentis • Metilprednisolon
TD: 110/80 mmHg 4 mg 2x1 tab
• Salbutamol 4 mg
HR: 88 x/mnt
2x1 tab
RR: 20 x/mnt • Symbicort
Suhu: 36º C 80/4,5 3x2 puff
• Codein 10 mg
SpO2: 99% udara
3x1
ruangan
PEMERIKSAAN FISIK
Pulmo: SDV +/+
Ronkhi +/+
Wheezing +/+

26
DAFTAR PUSTAKA

Global initiative for chronic Obstruktif Lung Disease (GOLD), (2019), Inc. Pocket
Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention. http://www.goldc
opd.com.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik. Diagnosis


dan penatalaksanaan. Jakarta: PDPI; 2016.

Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2003.

27

Anda mungkin juga menyukai