Anda di halaman 1dari 14

Patofisiologi

Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-
36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan abscess
setelah 2-3 hari. Peradangan akut diklasifikasikan sebagai :
1. Apendisitis non komplikata : Appendix meradang, tidak adanya gangren, perforasi,
atau abses di sekitar appendix.
2. Apendisitis komplikata : perforasi atau gangrene, appendicitis dengan adanya abses
periappendicular
Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi
oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan
tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses
peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith
adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada ank dengan appendicitis akut dan 30-
40% pada anak dengan perforasi appendiks.
Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat menyababkan obstruksi lumen.
Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang
hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general misalnya
akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti
Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik,
seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis
memiliki peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang
mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks,
khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda
asing seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis.
Trauma, stress psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya appendicitis.
Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya
nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan kesalahan pencernaan.
Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis, khususnya pada anak-anak.
Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. nyeri awal ini bersifat nyeri dalam,
tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah
menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah
timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain. Appendiks yang
obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk berkembang biak. Seiring
dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limfe, terjadi oedem
yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang
mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi
bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat
kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat
inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut
saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks,
khususnya di titik Mc Burneys. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah
tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya.
Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena
eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture
dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung
atau pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis
dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya.
Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat
berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine. Perforasi appendiks akan
menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis umum. Proses ini tergantung
pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan pasien berespon
terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu
melebihi 38.6 C, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik.
Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap
hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan
dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi
karena tidak adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih
memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa pada
pemeriksaan fisik. Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare
sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum
terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis

Manifestasi Klinis
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang pada
neonatus dan bayi, appendicitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis
appendicitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan gejala yang
pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal
yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah.
Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit.
Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada
anak-anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai
terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus.
Nyeri pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan
gejala yang umum pada anak dengan appendicitis retrocecal arau pelvis. Jika inflamasi
dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejal dapat berupa nyeri saat kencing
atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing dan distensi kandung kemih.
Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset
terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder
dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang
terjadi sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendicitis.
Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit
dapat terjadi pada anak dengan appendicitis.
Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 C). Jika
suhu tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan appendicitis
kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan dengan paha
kanan akan menekan caecum hingga isi caecum berkurang atau kosong. Bising usus
meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau menghilang. Anak
dengan appendicitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan cenderung untuk
berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut diflexikan. Anak yang
menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendicitis, kecuali pada anak
dengan appendicitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat perangsangan ureter.
Pemeriksaan Fisik
Pada apppendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga
pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut. Secara klinis, dikenal
beberapa manuver diagnostic. Rovsings sign dikatakan posiif jika tekanan yang
diberikan pada LLQ abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ),
menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik Psoas sign
dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi pangkal kanan
diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan
indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess. Dasar
anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak
retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan manuver ini.
Obturator sign dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan
endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan
peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis.
Perlu diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk menegakkan lokasi
Appendix yang telah mengalami radang atau perforasi. Blumbergs sign nyeri lepas
kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di RLQ). Wahls sign nyeri
perkusi di RLQ di segitiga Scherren menurun. Baldwin test nyeri di flank bila tungkai
kanan ditekuk. Defence musculare bersifat lokal, lokasi bervariasi sesuai letak
appendix. Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau
appendix letak pelvis. Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher. Dunphy sign yaitu nyeri
ketika batuk.
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek appendicitis akut dibuat skor Alvarado untuk
membantu menentukan kemungkinan appendicitis setelah melihat gejala dan
melakukan pemeriksaan (Ohle, 2011).
Gambar. Skor Alvarado (Ohle, 2011)

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak
dengan appendicitis akut. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar
antara 12.000- 18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to
the left) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis
appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien
dengan appendicitis. Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan
appendicitis dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian,
hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di
dekat ureter.
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk
menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan
spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria
diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter anteroposterior
7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya cairan atau massa
periappendix. False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder
appendix sebagai hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False
negatif juga dapat muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga
usus yang terisi banyak udara yang menghalangi appendix.
3. CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas sensitifitas dan
spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis
tidak jelas, dan curiga adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai
pilihan test diagnostik. Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika
appendix dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix
yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran halo.

Tata Laksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada
appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi
oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk
tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan
granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada
apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus
mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah
sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya.
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini
adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi
untuk membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan
ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah
menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus
menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa
periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus
keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata.
Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi
untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja.
Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan
pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil
diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada
demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan
apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk
abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi,
bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka
leukosit.
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan
tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikhawatirkan akan
terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus
dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada
pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi (De Jong, 2004).
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah
apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa
apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut.
Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun
tanpa peritonitis umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil,
wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka
operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular
infiltrat:
1. Total bed rest
2. Diet lunak bubur saring
3. Antibiotika parenteral
Antibiotika parenteral diberikan dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang
aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-
8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan
drainase saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata
tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak
menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan
bedah.
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya
48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka
harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda
(demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke 5-7 massa mulai mengecil dan
terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa
harus segera dibuka dan didrainase.
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri
tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila
apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber
infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika
dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang
yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan
selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar dan ditarik
sedikit demi sedikit sepanjang 1 inch tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai
minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari penderita di
RT.
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang:
LED
Jumlah leukosit
Massa
Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila:
1. Anamesa: penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen
2. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur
rectal dan aksiler)
Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat
Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih
kecil dibanding semula.
3. Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal

Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :


1. Bila LED telah menurun kurang dari 40
2. Tidak didapatkan leukositosis
3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak
mengecil lagi.
Bila LED tetap tinggi, maka perlu diperiksa
Apakah penderita sudah bed rest total
Pemakaian antibiotik penderita
Kemungkinan adanya sebab lain.
Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada
perbaikan, operasi tetap dilakukan.
Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan
terapi adalah drainase.
Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai melalui insisi
Mc Burney. Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit
peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui laparotomi.
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi:
1. Cutis 6. MOI
2. Sub cutis 7. Musculus Transversus
3. Fascia Scarfa 8. Fascia transversalis
4. Fascia Camfer 9. Pre Peritoneum
5. Aponeurosis MOE 10. Peritoneum
Garis insisi pada appendektomi:
1. Insisi Gridiron
Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis insisi parallel dengan otot obliquus
eksternal, melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang menghubungkan spina
iliaca anterior superior kanan dan umbilikus.
2. Lanz transverse incision
Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi transversal pada garis miklavikula-
midinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih baik dari pada insisi
gridiron.
3. Insisi paramedian kanan bawah
Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm di bawah umbilikus sampai di atas pubis.
4. Insisi
Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis umum.
5. Rutherford Morissons incision (insisi suprainguinal)
Merupakan insisi perluasan dari insisi McBurney. Dilakukan jika apendiks terletak di
parasekal atau retrosekal dan terfiksir.

Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan
berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis
generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah:
nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Nadi semakin cepat.
Defance Muskular yang menyeluruh
Bising usus berkurang
Perut distended
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess
3. Intra peritoneal abses lokal.
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga
abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.

Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila
appendiks tidak diangkat.

.
Ohle R et al. The Alvarado score for predicting acute appendicitis: a systematic
review. BMC Med 2011; 9: 139
Farmer DL. Clinical Practice Guidelines for Pediatric Complicated
Appendicitis: The Value in Discipline. JAMA Surg. 2016.
DSouza N, Nugent K. Appendicitis. Am Fam Physician. 2016; 93: 142- 143.
Petroianu. 2016 . Review article : Pathophysiology of Acute Appendicitis Department
of Surgery, School of Medicine of the Federal University of Minas Gerais, Brazil
Glass CC, Saito JM, Sidhwa F, Cameron DB, Feng C, Karki M, et al. Diagnostic
imaging practices for children with suspected appendicitis evaluated at definitive care
hospitals and their associated referral centers. J Pediatr Surg. 2016.
Singh JP, Mariadason JG. Role of the faecolith in modern-day appendicitis. Ann R Coll
Surg Engl. 2013; 95: 48-51.
Humes DJ, Simpson J. 2007. Acute Appendicitis. BMJ

Guyton AC, Hall JE. 2006.Textbook of Medical Physiology 11th Ed. Philadelphia:
Saunders.

Bashin SK et al. 2007.Vermiform Appendix and Acute Appendicitis. JK Science.

Anda mungkin juga menyukai