PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum :
Mengetahui asuhan keperawatan dan konsep penyakit dengan kolelitliasi diruang OK.
Anestesi RSPAD Gatot Soebroto.
2. Tujuan Khusus :
1
a. Memperoleh informasi tentang konsep penyakit kolelithiasis (Batu empedu) yang
meliputi pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis dan
penatalaksanaannya.
b. Mengetahui jenis operasi yang dilaksanakan pada pasien dengan kolelithiasis.
c. Mengetahui obat-obatan anestesi dan jenis anastesi yang digunakan pada operasi
kolesistektomi (Pengangkatan kandung batu empedu).
C. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam membuat makalah ini yaitu menggunakan
metode deskriptif dengan cara mengumpulkan data, menganalisa dan menarik kesimpulan.
D. Ruang Lingkup
Penulisan makalah ini merupakan pembatasan pemberian terapi Anestesi pada Tn. A
dengan diagnose medis Kolelithiasis untuk melakukan pembedahan Kolesistotomi di ruang
OK 2 RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat yang dilaksanakan pada 30 desember 2008.
E. Sistematika Penulisan
Laporan ini disusun secara sistematika dan dijabarkan dalam IV Bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup, metode dan
sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Yang meliputi: konsep dasar penyakit yang terdiri dari: anatomi fisiologi (hati,
pancreas dan empedu), pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
2
komplikasi, penatalaksanaan medis, serta Askep yang terdiri dari pengkajian,
diagnosa keperawatan, rencana tindakan, implementasi, evaluasi.
BAB III TINJAUAN TEORI ANESTESI
BAB IV RESUME
BAB V PENUTUP
Yang meliputi kesimpulan dan saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
4
Karboksipeptidase anatomi faminopeptidase dan dipeptidase adalah :
enzim yang melanjutkan proses pencernaan protein untuk menghasilkan asam-
asam amino bebas.
2) Lipase pankreas : mengidrolisid lemak menjadi asam lemak dengan
gliserol setelah lemak diemulis oleh garam-garam empedu.
3) Amylase pankreas : mengidrolisis zat tepung yang tidak tercerna oleh
amylase savila menjadi disakarida (Maltose, Sukrosa, Laktosa).
4) Ribonuklease dan deoksiribonuklease : mengidrolisis RNA dan DNA
menjadi blok-blok pembentuk nukleotidanya.
5
Hati mengurai protein dari sel-sel tubuh dan sel darah merah yang
rusak. Organ ini membentuk urea dan asam amino berlebih dan sisa
nitrogen.
Hati mensitesis lemak dari karbohidrat dan protein dan terlibat
dalam penyimpanan lemak.
Hati mensitesis unsur-unsur pokok membrane sel (liprotein,
kolesterol, fesfolipid)
Hati mensitesi protein plasma dan factor-faktor pembekuan darah.
Organ ini juga mensitesiskan bilirubin dari produk penguraian HB dan
mensekresinya kedalam empedu.
c) Penyimpanan: hati menyimpan mineral, seperti zat besi dan tembaga, serta
vitamin larut lemak (A, D, E, K) dan hati menyimpan toksin tertentu (cotoh :
pestisida ) serta obat yang tidak dapat disekresikan.
d) Detofikasi : hati melakukan inaktivasi hormone dan detoksifikasi toksin
dan obat. Hati memfagosit entrosit dan zat asing yang terduintegrasi dalam
darah.
e) Produksi panas : berbagai aktifitas kimia dalam hati menjadikan hati
sebgai sumber utama panas tubuh, terutama pada saat tidur.
f) Penyimpanan : hati merpakan resemsoar untuk sekitar 30 % curah jantung
dan bersama dengan limpa, mengatur volume darah yang diperlukan tubuh.
3) Empedu
a) Anatomi sekresi empedu:
Empedu disekresikan oleh sel-sel hati memasuki kanakuli empedu
yang kemudian menjadi duktus hepatica kanan dan kiri.
Duktus hepatica menyatu untuk membentuk duktus hepatik
komunis yang kemudian menyatu dengan duktus sistikus dari kandung
empedu dan keluar dari hati sebagai duktus empedu komunis.
Duktus empedu komunis, bersama dengan duktus pankreas,
bermuara du duodenum dan dialihkan untuk penyimpanan di kandung
empedu.
b) Komposisi empedu : empedu adalah larutan bewarna kuning kehijaunan
terdiri dari 97% air, pigmen empedu dan garam-garam empedu.
Pigmen empedu terdiri dari biliverdin (hijau) dan bilirubin
(kuning) pigmen ini merupakan hasil penguraian HB yang dilepas dari
eritrosit terdisintegrasi.
6
Piegmen utamanya adalah bilirubin yang memberikan warna
kuning pada urin dan feses.
Jaundice/ warna kekuningan ppada jaringan, merupakan akibat dari
peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ini merupakan indikasi
kerusakan fungsihati dan dapat disebabkan oleh kerusakan sel darah
merah atau obstruka duktus empedu oleh batu empedu.
Garam-garam empedu terbentuk dari asam empedu yang berikatan
dengan kolesterol dan asam amino. Setelah disekresi kedalam usus, garam
tersebut direabsorpsi dari fleumbakulasi enterohepatika garam empedu.
c) Fungsi garam empedu dalam usus halus :
Emulsifikasi lemak : garam empedu menemulasi globules lemak
besar dalam usus halus yang kemudian menghasilkan globules lemak lebih
kecil dan area permukaan yang lebih luas untuk kerja enzim.
Absorpsi lemak : garam empedu membantu absorpsi zat berlarut
lemak dengan cara memfasilitasi jalurnya menembus membrane sel.
Pengeluaran kolestrol dari tubuh : garam empedu berikatan dengan
kolesteroldab lesitini untuk membentuk agregari kecil disebut micelle
yang akan dibuang melalui feses.
d) Kendali pada sekresi dan aliran empedu : sekresi empedu diatur olrh factor
saraf (impuls parasimpatis) dan hormon (sekretin dan CCK).
2. PENGERTIAN KOLELITIASIS
Kolelitiasis (batu empedu) adalah pada hakekatnya merupakan endepan satu atau
lebih komponen empedu, kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam
lemak, dan fosfolipid.
(Price, sylviana Anderson. 2005)
7
Jadi dari pengertian diatas dapat disimpulkan behwa kolelitiasis merupakan
adanya batu dalam kendung empedu yang terbentuk akibat endapan yang terbentuk
dalam kandung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu dapat
berupa komponen empedu, kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam
lemak, dan fosfolipid.
3. ETIOLOGI
a. Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan batu empedu. Sejumlah penyelidikan menunjukkan bahwa hati
penderita batu empedu kolesterol menyekresi empedu yang sangat jenuh dengan
kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu
(dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu.
b. Stasis empedu dalam kandung empedu, dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan komposisi kimia dan pengendapan unsure tersebut. Gangguan
kontraksi kandung empedu atau spasme, springter oddi, atau keduanya dapat
menyebabkan terjadinya stasis faktor hormonal (terutama selama kehamilan) dapat
dikaitkan dengan perlambatan, pengosongan, kandung empedu dan menyebabkan
tingginya isidensi dalam kelompok ini.
c. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu.
Mucus meningkatkan viskositas empedu, dan unsure sel, atau bakteri dapat berperan
sebagai pusat presipitasi akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering timbul sebagai
akibat dari terbentuknya batu empedu, dibandingkan sebagai penyebab terbentuknya
batu empedu.
d. Belum diketahui dengan sempurna
4. PATOFISIOLOGI
Ada dua tipe utama batu empedu batu yang terutama tersusun dari pigmen dan
batu yang terutama dari kolesterol.
Batu pigmen kemungkinan akan terbentuk bila pigmen yang tak terkonjugasi
dalam empedu, mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu. Batu ini
bertanggung jawab atas sepertiga dari pasien. Pasien batu empedu di amerika serikat.
Resiko terbentuknya batu semacam ini semakin besar pada pasien sirosis, hemolisis, dan
8
infeksi percabangan billier. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan
jalan operasi.
Batu kolesterol bertanggung jawab atas sebagian besar kasus batu empedu lainnya
di Amerika Serikat. Kolesterol yang merupakan unsur normal, pembentuk empedu
bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya bergantung pada asam. Asam empedu dan
lesitif (fosfolipid) dalam empedu. Pada pasien yang cenderung menderita batu empedu,
akan terrjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis kolesterol dalam
hati, keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang
kemudian keluar dari getah empedu, mengendap dan membentuk batu. Getah empedu
yang jenuh oleh kolesterol merupakan predisposisi untuk timbulnya batu empedu dan
berperan sebagai iritan yang menyebabkan peradangan dalam kandung empedu.
Jumlah wanita yang menderita batu kolesterol dan penyakit kandung empedu
adalah empat kali lebih banyak daripada laki-laki. Biasanya wanita tersebut berusia lebih
dari 40th multipara dan obesitas. Insiden pembentukan batu empedu meningkat pada
pengguna pil kontrasepsi, estrogen dan flovibrat yang diketahui meningkatkan saturasi
kolesterol billier. Insiden pembentukan batu meningkat bersamaan dengan pertambahan
umur, peningkatan insiden ini terjadi akibat bertambahnya sekresi kolesterol oleh hati dan
menurunnya sintesis asam empedu. Disamping itu resiko pembentukan batu empedu juga
akan meningkat akibat malabsorpsi garam-garam empedu pada pasien dengan penyakit
gastrointestinal, pistula, T_Tube atau pada pasien yang pernah menjalani operasi pintasan
atau reseksi ilium. Insiden penyakit ini meningkat pada para penyandang penyakit
diabetes.
5. MANIFESTASI KLINIK
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami 2 jenis
gejala : gejala yang disebabkan penyakit pada kandung empedu itu sendiri atau gejala
yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa
bersifat akut atau kronik. Gangguan epigastrium, seperti rasa penuh, distensi abdomen,
dan nyeri yang sama pada kuadran kanan atas abdomen, dapat terjadi. Gangguan ini
9
dapat terjadi setelah individu mengkonsumsi makanan yang berlemak atau yang
digoreng.
10
terus menyumbat saluran tersebut dapat mengakibatkan abses nekrosin dan pervorasi
disertai peritonitis generalisata.
6. Komplikasi
a. Kolesistitis akut
Kurang dari 15 % pasien dengan batu simtomatik mengalami kolesistitis akut.
Gejalanya meliputi nyeri perut kanan atas dengan kombinasi mual, muntah, dan
panas.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan pada perut kanan atas dan sering
teraba kandung empedu yang membesar dan tanda- tanda peritanitis. Pemeriksaan
laboratorium akan menunjukan selain lekositosis kadang- kadang juga terdapat
kenaikan ringan bilirubin dan faal hati kemungkinan akibat kompresi lokal pada
saluran empedu.
Patogenesis kolesistitis akut akibat tertutupnya duktus sistikus oleh batu terjepit,
kemudian terjadi hidrops dari kandung empedu.
Penambahan volume dari kandung empedu dan edema kandung empedu
menyebabkan iskemia dari dinding kandung empedu yang dapat berkembang ke
proses rekrosis dan perforasi. Jadi pada permulaanya terjadi peradangan steril dan
baru pada tahap kemudian terjadi superinfeksi bakteri.
Kolesistitis akut juga dapat disebabkan lumpur batu empedu ( kolesistitis
akalkulus ) komplikasi lain seperti ikterus, kolangitis, dan pankreatitis.
b. Kolesistitis kronik.
c. Koledoko litiasis.
d. Pankreatitis.
e. Yang lebih jarang adalah kolangitis, abses hati, sirosis bilier, empiema, dan ikterus
obstruktif.
7. Evaluasi Diagnosik
a. Pemeriksaan sinar - X abdomen
Dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan akan penyakit kandungempedu dan
untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Hanya 15 % - 20 % yang mengalami
cukup klasifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar - X .
b. Ultrasonografi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat serta akurat
dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Pemeriksaan USG
11
tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil
yang akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya, sehingga kandung
empedu dalam keadaan distensi. USG dapat mendeteksi kalkus dalam kandung
empedu dan duktus koledokus yang mengalami dilatasi. USG mendeteksi batu
empedu dengan akurasi 95 %.
c. Pemeriksaan pencitraan Radionuklida / Koleskintografi
Dalam prosedur ini preparat radioaktif disuntikan secara intravena. Preparat ini
kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat disekresikan kedalam sistem
bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu untuk mendapatkan gambar
kandung empedu dan percabangan bilier.
d. Kolesistografi
Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan mangkaji
kemampuan kandung empedu, untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya,
berkontraksi serta mengosongkan isisnya. Media kontars juga iodium yang
disekresikan olehn hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada
pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaqve ini. Jika
terdapat batu empedu bayanganya akan tampak pada foto rontgen.
e. Kolangiopankreatorafi retrograd endeskopik (ERCP : Endoscopi Retrograde
Cholangio Pancreatography).
Pemeriksaan ERCP atau kolangiopankreatografi retrograd endoskopik
memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat dilihat pada
saat melakukan laparatomi. Saat melakukan laparatomi pemeriksaan meliputi insersi
endoskop serat optik yang fleksibel dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars
desenders, sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus koledokus serta duktus
pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan kedalam duktus tersebut untuk
memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. Intervensi keperawatan:
pemeriksaan ERCP memerlukan kerja sama pasien untuk memungkinkan insersi
endoskop tanpa merusak struktur trakius gastrolntestinal yang mencaup percabangan
bilier. Sebelum peneriksaan dilakukan, perawat menjelaskan tentang prosedur
pemeriksaan dan peranan pasien dalam pemeriksaan tersebut. Preparat sedatif
diberikan sesaat sebelum pemeriksaan dilakukan selama pemeriksaan ERCP
dilakukan, perawat harus memantau cairan infus yang diberikan, memberikan obat-
obatan dan mengatur posisi pasien.
12
f. Kolangiografi Transheptik Perkutan
Pemeriksaan ini meliputu penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam
percabangan bilier. Prosedur pemeriksaan ini dapat dilaksanakan bahkan pada
keadaan terdapatnya disfungsi hati dan ikterus. ERCP berguna untuk membedakan
ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati ( ikterus hepatoseluler) dengan ikterus
yang disebabkan oleh obstruksi bilier, untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada
pasien- pasien yag kandung empedunya sudah diangkat, untuk menentukan lokasi
batu dalam saluran empedu dan untuk menegakan diagnosis penyakit kanker yang
mengenal sistem bilier.
8. Penatalaksanaan medis
a. Penatalaksanaan non bedah
1) Penatalaksanaan pendukung dan diet
Diet yang diterapkan segera setelah suatu seranagan yang akut biasanya
dibatasi pada makanan cair rendah lemak. Makanan yang ditambahkan jika pasien
dapat menerimanya: buah yang dimasak, nasi/ ketela, daging tanpa lemak,
kentang yang dilunakan, sayuran yang tidak membentuk gas,roti, kopi/ teh.
Makanan yang membentuk gas serta alkohol harus dihindari. Kepada pasien perlu
diingatkan bahwa makanan yang berlemak dapat menimbulkan serangan baru.
Penatalaksnaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang hanya
mengalami intoleransi terhadap makanan berlemak dan mengeluhkan gejala GIT
ringan
2) Farmakoterapi
Asam ursodeoksikolat ( urdafalk ) dan kerodeoksikolat ( chenodial,
chenofalk ) telah digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang
berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat
dibandingkan dengan as kerodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan
dapat diberikan dengan dosis yang lebih kecil untuk mendapatkan efek yag sama.
Obat- obatan tertentu seperti estrogen, kontrasepsi oral, klofibrat, dan kolesterol
dapat menimbulkan pengaruh yang merugikan terhadap cara terapi ini.
3) Pengangkatan batu empedu tanpa pembedahan :
Pelarutan batu empedu: dengan menginfuskan suatu bahan pelarut
(monooktanoin/ metil tertier butir efer (MTBE) kedalam kandung empedu).
13
Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut : melalui kateter/ selang
yang dipasang perkutan langsung dipasang ke dalam kandung empedu.
4) Pengangkatan non bedah :
Yaitu: sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang padanya
disisipkan lewat saluran T – tube / lewat kistula yang terbentuk pada saat insersi.
T- tube, jaring digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit
dalam duktus koledokus, selanjutnya prosedur kedua adalah penggunaan
endaskop ERCP
5) Extracorporeal shock- Wave lithotripsy ( ESWL ): kata lithotripsy berasal
dari lithos yang berarti batu dan tripsis yang berarti penggesekan/friksi, prosedur
invasif ini menggunakan gelombang kejut berulang yang diarahkan kepada batu
empedu yang diarahkan ke dalam kandung empedu/duktus koledokus dengan
maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumah fragmen. Gelombang
kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu:
pizoelektrik/muatan elektromagnetik jika litotriptor menggunakan energi total
gelombang kejut yang tinggi, maka anastesi umum, spiral/epidural harus
diberikan kepada pasien.
6) Litotripsi intrakorporeal : batu yang ada dalam kandung empedu/duktus
koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser
berpulsa/litotripsi hidrolik yang dipasang pada endokop dan diarahkan langsung
pada batu
b. Penatalaksnaan bedah
1) Penatalaksanaan pra- operatif : disamping pemeriksaan sinar X pada
kandung empedu, pembuatan foto thorak, EKG dan pemeriksaan faal hati,
vitamin K diberikan jika kadar protombin pasien rendah, terapi komponen darah
dikerjakan sebelum pembedahan. Kebutuhan nutrisi perlu dipertimbangkan.
Persiapan sebelum oprasi kandung empedu serupa dengan persiapan bagi setiap
tindakan laparatomi abdominal bagian atas.
2) Intervensi bedah
Kolesistektomi : prosedur yang paling sering dilakukan, dimana kandung
empedu diangkat setelah arteri dan duktus sistikus diligasi. Kolesistektomi
dilakukan pada sebagian besar kasus kolesistisis akut dan kronis. Sebuah drain
ditempatkan dalam kandung empedu dan dibiarkan menjulur keluar lewat luka
operasi
14
Minikolesistektomi : merupakan prosedur bedah yang digunakan untuk
mengeluarkan kandung empedu lewat luka insisi selebar 4 cm, mungkin
dapat/tidak digunakan
Kolesistektomi laparoskopik dilakukan lewat luka insisi yang kecil/luka
tusukan melalui dinding abdomen pada umbilikus. Pada prosedur
kolesistektomi endaskopik, rongga abdomen ditiup dengan gas CO2 untuk
membantu pemasangan endoskop
Koledokostomi : insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang kateter ke
dalam duktus tersebut. Untuk drainase getah empedu sampai edema mereda
Kolesistostomi : perkutatan dilakukan dalam penanggakan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien – pasien yang beresiko jika harus
menjalani tindakan pembedahan/anestesi umum.
a. Aktivitas/Istirahat
- Gejala : Kelemahan
- Tanda : Gelisah
b. Sirkulasi
- Tanda : Takikardia, berkeringat
c. Eliminasi
- Gejala : perubahan warna urine dan feses.
- Tanda : distensi abdomen, teraba massa pada kuadran kanan atas, urine
gelap, pekat.
d. Makanan/Cairan
- Gejala : Anoreksia, mual/muntah, tidak toleran terhadap lemak dan
makanan
bahu
Kanan, kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan, nyeri mulai tiba-tiba
dan biasanya memuncak dalam 30 menit.
- Tanda : Nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas
ditekan :
tanda Murphy positif
f. Pernapasan
- Tanda : Peningkatan frekuensi pernafasan, pernafasan tertekan ditandai
oleh
napas pendek.
g. Keamanan
- Tanda : Demam, menggigil, ikterik dengan kulit berkeringat dan gatal
(pruritus),
2. Diagnosa keperawatan
16
1) Evaluasi rasa sakit secara regular (mis, setiap 2jam x 12), catat
karakteristik,
2) Catat respon terhadap obat, dan laporkan pada dokter bila nyeri hilang.
Rasional : nyeri berat yang tidak hilang dengan tindakan rutin dapat menunjukkan
terjadinya komplikasi/kebutuhan terhadap intervensi lebih lanjut.
Kolaborasi
17
Mandiri
Kolaborasi
18
Rasional : batu empedu sering berulang, perlu terapi jangka panjang. Terjadinya
diare selama terapi senodial dapat dihubungkan dengan dosis/dapat diperbaiki.
4. Evaluasi
19
BAB III
TINJAUAN TEORI
ANESTESI
A. Definisi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr
pada tahun 1846.
Anesthesia adalah suatu keadaan narcosis, analgesia, relaksasi, dan hilangnya reflex.
Anesthesia inhalasi merupakan metode pemberian yang paling umum digunakan karena
metoda ini dapat di control. Masukan dan eliminasi sangat dipengaruhi oleh ventilasi
pulmonary. Makin dalam anesthesia membutuhkan konsentrasi agens yang lebih kuat.
Anestetik dibagi menjadi dua kelas : (1) anesthesia yang menghambat sensasi diseluruh
tubuh (anesthesia umum) atau yang menghambat sensasi sebagian tubuh (local,
regional;epidural dan anesthesia spinal).
Bermacam obat bius yang digunakan dalam anestesi saat ini seperti:
- Thiopental (pertama kali digunakan pada tahun 1934)
- Benzodiazepine Intravena
- Propofol (2,6-di-isopropyl-phenol)
- Etomidate (suatu derifat imidazole)
- Ketamine (suatu derifat piperidine, dikenal juga sebagai 'Debu Malaikat'/'PCP'
(phencyclidine)
- Halothane (d 1951 Charles W. Suckling, 1956 James Raventos)
- Enflurane (d 1963 u 1972), isoflurane (d 1965 u 1971), desflurane, sevoflurane
- Opioid-opioid sintetik baru - fentanyl (d 1960 Paul Janssen), alfentanil, sufentanil
(1981), remifentanil, meperidine
- Neurosteroid
C. Anesthesia Umum
Anesthesia umum biasanya cepat tercapai ketika anestetik di inhalasi atau diberikan
secara intravena. Anesthetik cair volatile menghasilkan anesthesia saat uapnya di hisap.
Termasuk dalam kelompok ini adalah: halotan, efluran, isofluran. Semuanya diberikan
dengan oksigen, dan biasanya dengan oksida nitrat. Anesthesia gas diberikan melalui
inhalasi dan selalu dikombinasikan dengan oksige. Termasuk dalam kelompok ini adalah :
oksida nitrat dan siklopropane. Substansi tersebut, saat dihirup, masuk kedalamn darah
melalui kapiler-kapiler pulmonal, dan saat konsentrasi tercukupi, bekerjanya di pusat
otakuntuk membuat hilang kesadaran dan sensasi. Ketika pemberian anestetik dihentikan,
uap atau gas di keluarkan melalui paru-paru.
Anesthetik umum menghasilkan anesthesia karena di hantarkan ke otak pada tekanan
yang tinggi. Jumlah anestetik yang relative besar harus diberikan selamam induksi dan pada
awal rumatan karena anestetik tu di resirkulasi dan ditimbun dalam jaringan tubuh. Saat
tempat tersebut menjadi jenuh, dibutuhkan jumlah agens anestetik yang lebih kecil untuk
mempertahankan anesthesia equilibrium atau mendekati equilibrium telah tercapai antara
otak, darah, dan jaringan lain. Yang menurunkan aliran darah perifer seperti: vasokonstriksi
atau syok, sehingga hanya sejumlah kecil anestetik di butuhkan. Sebaliknya, bila aliran darah
sangat tinggi, seperti: pada otot aktif atau pasien gelisah, induksi terjadi lebih lambat dan
21
dibutuhkan jumlah anestetik yang lebih besar karena otak hanya menerima anestetik dalam
jumlah yang lebih kecil.
Metode pemberian. Anestetik cair mungkin diberikan denagan mencampurkan uap air
dengan oksigen atau oksida nitrat-oksigen dan sellanjutnya pasien menghirup campuran
tersebut. Uap air diberikan pada pasien melalui selang atau masker.
Teknik endotrakeal untuk memberikan anestetik mencakup memasukkan endotrakeal
karet lunak atau plastic ke dalam trakea melalui endoskop serta optic lentur, atau memajan
laring dengan laringoskop atau memasukkan selang secara “membuta” yang mungkin
melalui hidung atau mulut. Ketika sudah terpasang, selang endotrakeal menutup paru dari
esophagus, sehingga pasien muntah, tidak aka nada isi lambung yang memasuki paru.
22
3. Tahap III: Anesthesia bedah
Anesthesia bedah dicapai dengan pemberian kontinu uap atau gas anestetik. Pasien
dalam keadaan tidak sadar, berbaring dengan tenang di atas meja operasi. Pupil mengecil
tetapi akan berkontraksi bila dipajankan terhadap cahaya. Pernapasan teratur, frekuensi
dan volume nadi normal, dan kulit berwarna merah muda dan kemerahan. Dengan
pemberian anestetik yang tepat, tahap ini dapat di pertahankan berjam-jam dalam salah
satu bidang tubuhmberkisar dari ringan (1) sampai (4), bergantung pada kedalaman
anesthesia yang diperlukan.
4. Tahap IV: Tarlajak
Tahap ini dicapai ketika terlalu banyak anesthesia yang telah diberikan. Pernapasan
menjadi dangkal; nadi lemah dan cepat; pupil menjadi melebar,dan tidak berkonraksi saat
terpajan cahaya. Terjadi sianosis dan, kecuali tindakan tidak cepat dilakukan , akan terjadi
kematian dengan cepat. Jika tadhap ini terjadi anestetik harus segera di hentikan, dan di
butuhkan dukungan respiratorik dan sirkulasi untuk menjegah kematian. Stimultan,
walaupun jarang di pakai, mungkin diberikan jika terjadi takarlajak pemberian anestetik.
Antagonis narkotik dapat digunakan jika takarlajak disebabkan oleh narkotik. anestetik
harus segera dihentikan, dan dibutuhkan dukungan respiratori dan sirkulasi untuk
mencegah kematian. Stimulant, walaupun jarang dipakai, mungkin diberikan jika terjadi
takarlajak pemberian anastetik. Antagonis narkotik dapat digunakan jika takarlajak
disebabkan oleh narkotik.
Selama pemberian anastetik dilakukan dengan lancar, tentunya, tidak ada perbedaan
mencolok antara tiga tahap pertama, tidak terjadi Tahap IV. Pasien secara bertahap
melewati satu tahap ke tahap yang lain dan hanya dengan obserfasi ketat terhadap tanda-
tanda yang ditunjukan pasien, ahli anastesi dapat mengontrol situasi tersebut. Respon
pupil, tekanan darah, frekiensi pernafasan dan jantung yang kemungkinan menjadi
pedomen kondisi pasien yang dapat diandalkan.
F. Anastesia Intravena
Anastesi umum juga dapat dihasilkan melalui suntikan intravena dari bermacam subtansi,
seperti treiopental. Barbiturat kerja singkat, natriun thiopental (Pentothal) adalah anastetik
yang paling umum digunakan untuk tujuan ini. Substansi ini menyebabkan ketidaksadaran
dalam 30 detik.
Keuntunmgan. Awitan anastetiok menyebabkan tidak terdapat dengungan, auman atau
pusing yang diketahui terjadi setelah pemberian anastetik inhalasi. Untuk alasan ini, induksi
anastetik dengan agens intravena lebih dipilih oleh pasien yang telah mengalami berbagai
metoda. Durasi kerja singkat. Tiopental sering diberikan dengan agens anestetik lain dalam
prosedur yang lebih lama.
Agens anastetik intravena memiliki keuntungan yaitu tidak meledak, memerlukan
peralatan sedikit, dan mudah diberikan. Kejadian mual dan muntah pasca operatif yang
rendah membuat metoda ini sangat bermanfaat dalam bedah mata, karena muntah dapat
menyebablkan peningkatan tekanan intraokuler dan membahaya kan pandangan pada mata
yang dioperasi. Anastesia intravena sangat bermanfaat untuk prosedur singkat tapi jarang
digunakan dalam prosedur lama seperti pada bedah abdomen. Anertesia ini tidak
diindikasikan untuk anak-anak yang memiliki nvena kecil dan memerlukan intubasi karena
rentan terjadi obstuksi pernapasan.
Kerugian. Tiopental adalah depresan respiratori yang sangat kuat dan efek toksin
utamanya terjadi akibat cirri khasnhya ini. Thiopental haru diberikan oleh ahli anastesi dan
perawat anartetist yang terampil dan hanya jika beberapa metoda pemberian oksigen bisa
cepat tersedia ketika timbul kesulitan. Bersin, batuk, spasme laring kadang terjadi pada
pemakaian ini.
24
Agens tambahan :
1. Bloker Neuromuskular
Bloker neuromuscular (relaksi oto) adalah agens yang menghambat transmisi implus
saraf pada pertemuan neuromuscular otot rangka. Relaksasi otot digunakan untuk
melemaskan otot pada bedah abdomen dan toraks, melemaskan otot-otot pada mata pada
jenis bedah mata tertentu., memfasilitasi intubasi endotrakea, mengobati spasme laring
dan membantu ventilasi mekanik.
Kurare yang dimurnikan adalah relaksasi otot pertama yang digunakan secara luas;
tubokurarin diisolasi melalui prinsif aktif. Suksinilkoli diperkenalkan kemudian karena
suksinilkolin bekerja cepat dan kurare. Relakisan otot ideal mempunyai cirri-ciri berikut :
Tidak mendepolarisasi, dengan waktu awitan dan durasi kerja serupa dengan
suksinilkolin tetapi tanpa masalah-masalah bradikardi dan disritmia jantung.
Mempunyai durasi kerja antara durasu kerja suksinilkolin dan pankuronium.
Tidak mempunyai efek kumulatif dan kardiovaskuler.
Dapat dimetabolisme dan tidak bergantung pada ginjal untuk eliminasinya.
2. Anastesi Regional
Anastesi regional adalah anastesi local dengan menyuntikan agens anastetik disaraf
sehingga area yang dipersarafi oleh saraf ini teranastesi. Efeknya bergantung pada jenis
saraf yang terlibat. Serabut motorik adalah serabut yang besar dan mempunyai selaput
yang minimal. Serabut sensoris termasuk yang menengah. Dengan demikian, anestetik
local memblok saraf motorik paling lambat san saraf simpatis paling cepat. Suatu
anestesis tidak dapat dikatakan telah “hilang” pengaruhnya sampai ketiga system
(motorik, sensorik, dan otonom) tidak lagi dipengaruhi oeleh anastetik.
Pasien dalam pengaruh anestesia spina;l atau lokal masih bangun dan sadar tentang
sekelilingnya. Percakapan sembrono, bunyi-bunyian tidak perlu, atau bau yang tidak
menyenangkan harus dihilangkan karena hal tersebut dapat diingat oleh pasien diruang
operasi dan dapat menyebabkan pandangan negatif tentang pengalaman bedah pasien.
Lingkungan yang tenang sangat terapeutik. Bahkan diagnosis tidak harus diucapkan
dengan suara keras jika pasien tidak perlu mengetahuinya saat tersebut.
3. Anastesi Spinal
Anestesi spinal merupakan tipe blok konduksi saraf yang luas dengan memasukkan
anestesi local dalam rung subarachnoid di tingkat lumbal (biasanya L4 dan L5). Cara ini
menghasilkan anesthesia pada ekstermitas bawah, perenium dan abdomen bawah. Untuk
25
prosedur fungsi lumbal, pasien dibaringkan miring dalam posisi lutut-dada. Teknik steril
diterapkan saat melakukan fungsi lumbal dan medikasi disuntikkan melalui jarum. Segera
setelah penyuntikan, pasien dibaringkan terlentang. Jika diinginkan tingkat blok yang
secara relative tinggi, maka kepala dan bahu pasien diletakkan lebih rendah.
Penyebab agens anastetik dan tingkat anesthesia bergantung pada jumlah cairan
yang disuntikkan, posisi pasie setelah penyuntikan, dan berat jenis agens. Jika berat jenis
agens lebih berat dari berat jenis cairan serebrospinal (CSS), agens akan bergerak
keposisi dependen spasium subarachnoid, jika berat jenis agens anastetik lebih kecil dadri
CSS, maka anasteti akan bergerak menjauh bagian dependen. Perbatasan ini dikendalikan
oleh ahli anestesi. Secara umum, agens yang digunakan adalah prokain, tetrakain
(Pontocaine), dan lidokain (Xylokain).
Dalam beberapa menit, anestesia dan paralisis mempengaruhi jari-jari kaki dan
perineum dan kemudian secara bertahap mempengaruhi tungkai dan abdomen. Jika
anestetik mencapai toraks bagian atas dan medulla spinalis dalam konsentrasi yang
tinggi, dapat terjadi paralisis respiratori temporer, parsial atau komplit. Paralisis oto-otot
pernapasan diatasi dengan mempertahankan respirasi artificial sampai efek anestetik pada
saraf respiratori menghilang. Mual, muntah dan nyeri dapat terjadi selama pembedahan
ketika digunakan anestesia spinal. Sebagai aturan, reaksi ini terjadi akibat traksi pada
berbagai struktur, terutama pada struktur di dalam rongga abdomen. Reaksi tersebut dapat
dihindari dengan pemberian intarvena secara simultan larutan teopental lemah dan
inhalasi oksida nitrat.
Pengkajian keperawatan yang dilakukan setelah anestesia spinal, selain memantau
tekanan darah, perawat perlu mengobservasi pesien dengan cermat dan mencatat waktu
saat perjalanan sensasi kaki dan jari kembali. Jika sensasi pada jari kaki telah kembali
sepenuhnya, pasien dapat dipertimbangkan telah pulih dari efek anestetik spinal.
G. Blok Konduksi
Ada banyak tipe blok konduksi yang bergantung pada berbagai kelompok saraf yang
disuntik.
Blok Epidural. Anestesia epidural dicapai dengan menyuntikkan anestetik local ke dalam
kanalis spinalis dalam spasium sekeliling durameter. Anestesia epidural memblok fungsi
sensori, motor dan otonomik yang mirip, tetapi tempat injeksinya yang membedakannya dari
anestesi spinal. Dosis epidural lebih besar disbanding dosis yang diberikan selama anestesi
26
spinal karena anestesi epidural tidak membuat kontak langsung dengan medulla atau radiks
saraf. Keuntungan dari anestesi epidural adalah tidak adanya sakit kepala yang kadang
disebabkan oleh penyuntikan subarachnoid. Kerugiannya adalah memiliki tantangan teknik
yang lebih besar dalam memasukkan anestetik ke dalam epidural dan bukan ke dalam
spasium subarachnoid. Jika terjadi penyuntikan subarachnoid secar tidak sengaja
selamaanestesi epidural dan anestetik menjalar ke arah kepala, akan terjadi anestesia spinal
“tinggi”. Anestesia spinal tinggi dapat menyebabkan hipotensi berat dan depresi atau henti
napas. Pengobatan untuk komplikasi ini adalah dukungan jalan napas, cairan intravena, dan
penggunaan vasopresor.
Blok Pleksus Brakialis. Blok pleksus brakialis menyebabkan anestesia pada lengan.
Anestesia Paravertebral. Anestesia paravertebral menyebabkan anestesia pada saraf yang
mempersarafi dada, dindind abdomen dan ekstremitas.
Blok Transakral (Kaudal). Blok transakral menyebabkan anestesia pada perineum dan
kadang abdomen bawah.
Kontraindikasi anestesia lokal adalah pada pasien yang sangat gelisah, khawatir, karena
pembedahan dengan anestesi lokal dapat meningkatkan ansietas. Dalam pemberian infiltrasi
lokal membutuhkan hal-hal berikut :
27
Kerja dari agens tersebut hampir langsung, sehingga pembedahan dapat dimulai segera
setelah penyuntikan dilakukan. Anestesia berlangsung antara 45 menit sampai 3 jam,
bergantung pada anestetik yang diberikan.
I. Pertimbangan Gerontologi
Pada tahun 2000, diperkirakan akan terdapat 35 juta rakyat berusia diatas 65 tahun di
USA. Dengan pertumbuhan presentase populasi lansia, jumlah pasien lansia yang menjalani
prosedur bedah juga terus meningkat. Pasien lansia mempunyai risiko anesthesia dan
pembedahan yang lebih tinggidari orang dewasa lain. Secara statistic, resiko perioperatif
pada setiap sepuluh tahun di atas usia 60 tahun. Dengan penuaan, jantung dan pembuluh
darah mengalami penurunan kemampuan terhadap merespons sres. Perubahn jantung
mencakup curah jantung dan terbatasnya cadangan jantung. Dengan infuse intravena, jumlah
berlebuhan dan frekuensi perhitunagan yang cepat dapat menyebabkan edema pulmonary.
Penurunan tekanan darah atau berkepanjangan dapat mengarah pada terjadinya iskemia
serebral, thrombosis, embolisme, infark, dan anoksemia. Dengan menurunnya vaskulatur,
lansia cenderung untuk mengalami termoregulasi dan dapat membutuhkan penutupan tubuh
ekstra untuk mempertahankan suhu tubuh. Dengan hilangnya aksi siliaris dan berkurangnya
efek batuk yang efektif, terdapat suatu peningkatan pnemounia. Penurunan pertukaran gas
dapat menambah resiko hipoksia serebral.
Dalam kaitannya dengan pembedahan, individu lansia membutuhkan lebih sedikit
anestetik untuk menyebabkan anesthesia dan waktu yang lama untuk menghilangkan agens
anestetik. Salah satu untuk mengurangi dosis anesthesia adalah, seperti pada lansia,
presentase jaringan lemak yang denga tetap bertambah (dari 20% sampai 30% pada usia 20
tahunan, hingga 35% sampai 45% untuk 60 sampai 70 tahunan); agens anestetik yang
mempunyai aftinitas terhadap jaringan lemakbrkumpul dalam tubuh dan otak. Alas an lain
adalah bahwa pasien geriatric, terutama pada malnutrisi mempunyai protein plasma yang
rendah. Dengan menurunnya protein plasma, agens anesthesia banyak yang tidak berikatan
dan tetap bebnas, sehingga mengakibatkan kerja anesthesia yang lebih kuat. Selain itu,
terjadinya penyusutan jarinagan tubuh yang terutama sekali tersusun atas air dan
mengandung pasokan darah seperti, otot skeletal, hepar dan ginjal. Penurunan ukuran hepar
28
dapat menginaktifkan banyak anestetik. Penurunan sel-sel ginjal dapat berfungsi mengurangi
ekskresi produk sampah dan anestetik.
Manipulasi dan pengaturan posisi yang cermat diperlukan selama pembedahan karena
pengroposan normal tulangyang terjadi pada lansia (25% pad lansia; 12% pada pria).
Penurunan emampuan lansia untuk menyesuikan dengan cepat terhadap stres emosinal dan
fisik mempengaruhi pembedahan.seperti yang diperkirakan,anka kematian lebih tinggi pad
pembedahan kedaruratan di bandingkan pembedahan elektif. Akibatnya, pemantauan kontinu
dan cermat serta intervensi cepat ketika diperlukan adalah penting untuk pasien bedah
gerontology.
Posisi Dorsal Rekumben. Posisi lazim untuk pembedahan adalah terlentang dasar; satu
lengan di sisi tubuh, dengan telapak tangan tertelungkup; tangan satunya diposisikan di atas
sebuah papan lengan untuk infuse intravena. Posisi ini kebanyakan digunakan pada bedah
abdomen, kecuali untuk bedah kandung empedu dan pelvis.
Posisi Trendelenberg. Posisi ini biasanya digunakan untuk pembedahan abdomen bawah dan
pelvis untuk mendapat pajanan area operasi yang baik dengan mengeser intestine ke dalam
abdomen atas. Dalam posisi ini kepala dan badan lebih rendah dan lutut dalam keadaan
fleksi.
29
Posisi Litotomi. Dalam posisi litotomi, pasien terlentang dengan tungkai dan paha fleksi
dengan sudut yang tepat. Posisi ini dipertahankan dengan menempatkan telapak kaki pada
pijakan kaki. Posisi ini digunakan pada pembedahan perineal, rectal dan vaginal.
Untuk Bedah Ginjal. Pasien dibaringkan miring pada sisi tubuh yang tidak dioperasi dalam
posisi Sims menggunakan bantal udara dengan ketebalan 12,5 cm samapai 15 cm di bawah
pinggang, atau di atas meja dengan ginjal dan punggung di atas.
Untuk Bedah Dada dan Abdominotorakik. Posisi yang dibutuhkan beragam sesuai dengan
pembedahan yang akan dilakukan. Ahli bedah dan ahli anestesi membaringkan pasien dalam
posisi yang diinginkan.
Pembedahan pada Leher. Bedah leher, misalnya bedah Tiroid, dilakukan dengan pasien
dalam posisi terlentang, leher ekstensi menggunakan bantal yang diletakkan d bawah bahu,
dan kepala serta dada ditinggikan untuyk mengurangi aliran balik vena.
Pembedahan pada Tulang Tengkorak dan Otak. Prosedur ini membutuhkan posisi dan
peralatan khusus, biasanya diataur oleh ahli bedah.
K. Hipotensi Diinduksi
Hipotensi diinduksi secara artificial digunakan pada bedah otak, diseksi leher, dan bedah
pelvic radikal. Ini agar mengurangi perdarahan pada bagian yang dioperasi. Hipotensi yang
disengaja ini dilakukan melalui inhalasi atau suntikan medikasi yang mempengaruhi sistem
saraf simpatis dan otot polos perifer. Anestetik ini disuplemen dengan tindakan lainnya untuk
menurunkan tekanan darah, seperti posisi kepala ditinggikan, tekanan positif dipasang pada
jalan napas, dan pemberian agens pemblok ganglionik seperti pentolinium atau natrium
nitroprusid.
L. Hipotermia
Hipotermia adalah keadaan dimana suhu tubuh di bawah batas normal fisiologis (36,6 -
37,5°C). Hipotermia yang tidka diinginkan mungkin dialami oleh pasien sebagai akibat suhu
yang rendah diruang operasi, infuse denga cairan yang dingin, inhalasi gas-gas yang dingin,
kavitas atau kula terbuka pada tubuh, aktivitas otot yang menurun, usia lanjut atau agens
obat-obatan yang digunakan.
30
Penanganan hipotermi antara lain dengan membuat suhu lingkungan dalam ruang operasi
diataur pada suhu 25° - 26,6°C. Cairan intravena dan irigasi dihangatkan samapai 37°C.
Gaun dan selimut basah diganti dengan yang kering, karena gaun dan selimut yang basah
memperbesar kehilangan panas.
Diperlukan pemantauan suhu inti tubuh, haluan urin, EKG, tekanan darah, gas darah
dalam ateri, dan serum elektrolit yang cermat. Perhatikan terhadap penatalaksanaan
hiportemi meluas hingga keperiode pascaoperatif untuk mencegah kehilangan nitrogen yang
signifikan dan katabolisme. Pengobatan mencakup pemberian oksigen, hidrasi yang adekuat,
dan nutrisi yang sesuai. Kehilangan panas pada pasien lansia di rung operasi dapat dicegah
dengan menutupi kepala pasien mengguanakn topi penahan panas selama anestesi, jaga suhu
ruangan operasi harus dipertahankan pada 26,6oC. larutan antiseptic yang digunakan dalam
persiapkan awal kulit sebelum pemasangan selimut harus cukup hangat, dan bukan yang
dingin.
Ruang dijaga agar harus, bersih dan bebas dari peralatan yang tidak dibutuhkan. Ruang juga
harus dicat dengan warna yang lembut dan menyenangkan dan mempunyai
Alat pemantau tersedia untuk memberikan penilaian yang akurat dan cepat tentang kondisi
pasien.
32
6. Kateter
7. Ventilator mekanis
8. Peralatan suction
Tempat tidur pemulihan adalah yang memberikan akses mudah ke pasien aman dan dapat
digerakkan dengan mudah. Dapat dengan cepat ditempatkan dalam posisi syok, dan
mempunyai kelengkapan yang memudahkan perawatan seperti tiang intra vena, agar tempat
tidur brankar beroda, dan rak penyimpanan kertas catatan. Suhu ruangan 20 – 22,2 0C (68-700
F) dan harus mempunyai pentilasi yang baik
Pengkajian pascaoperatif segera perawat PACU menerima pasien memeriksa hal – hal
berikut dengan ahli-ahli anestesi atau anastesis :
33
5. Patologi yang dihadapi (jika malignansi, apakah pasien atau keluarga sudah
diberitahukan)
6. Cairan yang diberikan, kehilangan darah dan penggantian.
7. Segala slang, drain kateter, atau alat bantu pendukung lainnya
8. Informasi spesifik tentang siapa ahli bedah atau anestesi yang akan diberitahukan
O. Intervensi Keperawatan
Tanda vital dipantau dan status fisik umum pasien dikaji pada setidaknya setiap 5 menit.
Kepatenan jalan nafas dan fungsi pernafasan selalu dievaluasi pertama kali, diikuti dengan
pengkajian fungsi kardiovaskuler, kondisi letak yang dioperasi dan fungsi system saraf pusat.
Sasaran utama intervensi adalah mempertahankan ventilasi pulmonal dan dengan
demikian mencegah hipoksemia (penurunan oksigen dalam darah) dan hiperkapnea
(kelebihan kadar dioksida dalam darah) hal ini terjadi jika jalan nafas tersumbat dan ventilasi
berkurang.
1. Tersedak
2. Pernapasan yang bising dan tidak teratur
3. Dalam beberapa menit kulit menjadi berwarna biru agak kehitaman
Satu-satunya cara untuka mengetahui apakah pasien bernafas atau tidak adalah dengan
menmpatkan telapak tangan di atas hidung dan mulut pasien untuk merasakan hembusan
napas. Tindakan obstruksi hipofaringeus termasuk mendongakan kepala kebelakang dan
mendorong kedepan pada sudut rahang bawah.
1. Obstruksi hipofaringeus terjadi leher yang fleksi memungkinkan dagu untuk turun
kearah dada; obstruksi hamper selalu terjadi ketika kepala dalam midposisi.
2. Mendongakan kepala kebelakang untuk meregangkan struktur leher anterior
menyebabkan dasar lidah terangkat menjauhi dinding faringeal posterior. Arah anak
panah menunjukkan tekanan dari tangan.
3. Membuka mulut diperlukan untuk memperbaiki obstruksi seperti katup dari
saluran hidung selama ekspirasi yang terjadi pada sekitar 30 % pasien tidak sadar.
34
Biasanya kreteria berikut digunakan untuk menentukan kesiapan pasien dikeluarkan dari
PACU:
1. Fungsi pulmonal yang tidak terggangu
2. Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi O2 yang adekuat
3. Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
4. Orientasi tempat, peristiwa dan waktu
5. Haluaran urin tidak kurang dari 30 ml/mnt
6. Mual dan muntah dalam control; nyeri minimal
R. Pengkajian Respirasi
Yang harus diamati kualitas pernapasan dicatat seperti :
Kedalaman
Frekuensi
Bunyi napas
Pernapasan pendek dan cepat mungkin karena nyeri, balutan yang terlalu ketat, dilatasi
lambung atau obstruksi oleh sekresi.
S. Pengkajian sirkulasi
Pertimbangan dasar dalam mengkaji fungsi kardiovaskuler adalah Pemantaun tanda-tanda
syok dan hemoragi. penampilan pasien, TTV untuk menentukan fungsi kardiovaskuler.
Tekanan Vena Sentral (TVS) dan nilai gas darah arteri dipantau jika kondisi pasien
membutuhkan pengkajian yang demikian.
35
Institusi mempunyai protocol spesifik untuk pemantauan pascaoperatif. Nadi tekana
darah dan pernapasan dicatat setiap 15 menit selama 2 jam pertama, dan setiap 30 menit
selama 2 jam, dan setiap 30 menit selama 2 jam berikutnya, kecuali diindikasikan untuk
dilakukan lebih sering setelanhnya mereka diukur lebih jarang jika semuanya tetap stabil.
Suhu tubuh dipantau setiap 4 jam selama 24 jam pertama.
Suhu tubuh diatas 37,70C (100oF) atau dibawah 36,1oC (97oF) pernapasan lebih
dari 30 kali atau kurang dari 16 kali permenit dan tekanan darah sistolik turun dibawah
90 mmhg biasanya dianggap segera dilaporkan. Namun tekanan darah dasar atau
praoperatif pasien digunakan sebagai perbandingan pascaoperatif yang jelas.
Tekanan darah yang sebelumnya stabil yang menunjukkan kecendrungan
menurun 5 mm Hg pada pengukuran setiap 15 menit juga harus mewaspadakan perawat
terhadap adanya masalah.
BAB IV
RESUME
Umur: 44 tahun
BB: 84 kg
Pre anestesi
Klien di antar dari RR oleh perawat anestesi dan tiba di ruang OK 2 pukul 09.00 WIB
dengan kesadaran CM. Pada saat klien masuk ke ruangan dilakukan pengkajian dan terlihat
ekspresi wajah klien tampak tegang, cemas, saat klien ditanya tantang penyakitnya, klien
mengatakan takut untuk menjalani operasi karena baru pertama kali masuk ke ruang operasi,
klien tidak mempunyai riwat penyakit masa lalu. TD: 170/110 mmHg, Nadi: 87 x/menit. Dari
data tersebut di atas dapat di peroleh masalah keperawatan:
Diagnosa keperawatan: Cemas/takut b.d prosedur operasi, kurang informasi tentang prosedur
operasi.
Intervensi/implementasi:
Evaluasi:
Anestesi dimulai pada pukul 09.10 WIB dilakukan oleh dokter ahli anestesi. Pada klien
dilakukan general anestesi dengan posisi klien supine. Sebelumnya dilakukan tindakan:
37
Intra anestesi
Selama operasi berlangsung, klien tetap dilakukan pemantauan terhadap tanda-tanda vital
dan dilakukan pemberian medikasi untuk tetap mempertahankan efek anestesi dan jalan nafas
klien tidak mengalami gangguan. Sehingga dapat di peroleh:
Diagnosa keperawatan: resiko tidak efktifnya bersihan jalan nafas b.d efek anestesi.
Intervensi/ implementasi:
a. ukur TTV
b. observasi ETT
c. monitor kepatenan jalan nafas
evaluasi:
Selama operasi berlangsung juga dilakukan pemberian obat untuk mempertahankan klien
untuk tetap di bawah efek anestesi sehingga operasi dapat berlangsung dengan lancer. Obat yang
diberikan antara lain:
1. RD 500 ml
2. RL 1000 ml
Urine: < 10 cc
38
Post anestesi
Anestesi selesai pukul 11.10 WIB, kemudian klien disadarkan dari pengaruh anestesi
untuk segera dipindahkan keruang RR untuk mendapatkan observasi lebih lanjut setelah operasi
dilakukan. Klien tiba di RR pada pukul 11. 35 WIB dan kemudian dilakukan pengkajian dan
klien tampak menggigil, lingkungan operasi yang dingin. Pengukuran tanda-tanda vital dengan
TD: 142/96 mmHg, N: 90 x/menit, Suhu: 35,8oC. Sehingga dapat di angkat satu masalah:
Intervensi/implementasi:
a. Ukur suhu
b. Beri selimut tebal
c. Pasang pemanas
Evaluasi:
a. Suhu: 36,4oC
b. Pasien tidak mengeluh dingin
c. Pasien tidak menggigil
39
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kolelitiasis merupakan adanya batu dalam kendung empedu yang terbentuk akibat
endapan yang terbentuk dalam kandung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk
cairan empedu dapat berupa komponen empedu, kolesterol, bilirubin, garam empedu,
kalsium, protein, asam lemak, dan fosfolipid. Kolelitiasis dapat disebabkan oleh bebrapa
factor yaitu perubahan komposisi empedu, stasis empedu dalam kandung empedu, infeksi
bakteri dalam saluran empedu, belum diketahui dengan sempurna. Gejalanya bisa bersifat
akut atau kronik. Gangguan epigastrium, seperti rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri
yang sama pada kuadran kanan atas abdomen, dapat terjadi. Evaluasi diagnostic yang dapat
dilakukan antara lain: Pemeriksaan sinar - X abdomen, Ultrasonografi, Pemeriksaan
pencitraan Radionuklida / Koleskintografi, Kolesistografi, Kolangiopankreatorafi retrograd
endeskopik, Kolangiografi Transheptik Perkutan. Sedangkan untuk intervensi bedah meliputi
kolesistektomi, minikolesistektomi, kolesistektomi laparoskopik, kolesistostomi,
koledokostomi.
Anesthesia adalah suatu keadaan narcosis, analgesia, relaksasi, dan hilangnya reflex.
Anesthesia inhalasi merupakan metode pemberian yang paling umum digunakan karena
metoda ini dapat di control. Masukan dan eliminasi sangat dipengaruhi oleh ventilasi
pulmonary. Makin dalam anesthesia membutuhkan konsentrasi agens yang lebih kuat.
Anestetik dibagi menjadi dua kelas : (1) anesthesia yang menghambat sensasi diseluruh
tubuh (anesthesia umum) atau yang menghambat sensasi sebagian tubuh (local,
regional;epidural dan anesthesia spinal).
Untuk masalah kasus dibahas mengenai klien dengan diagnosa medis kolelitiasis
dengan rencana operasi Lap. Chole dengan anestesi umum/general anestesi. Selama tindakan
anestesi diberikan dilakukan pemantauan terhadap keadaaan klien dan ditemukan adanya
40
beberapa masalah keparawatan meliputi: tahap pre anestesi/operasi: Cemas/takut b.d
prosedur operasi, kurang informasi tentang prosedur operasi, intra anestesi: resiko tidak
efktifnya bersihan jalan nafas b.d efek anestesi. post anestesi: hipotermi b.d lingkungan OK
B. SARAN
1. Bagi mahasiswa
Diharapkan mahasiswa keperawatan lebih memahami tentang keperawatan anestesi
selama dilakukan tindakan operasi yang meliputi hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum
anestesi, obat anestesi, efek anestesi dan perawatan post anestesi.
2. Bagi institusi pendidikan
Diharapkan agar menyediakan dan memfasilitasi pendidikan atau kuliah tentang anestesi
sehingga akan menjadi dasar bagi mahasiswa sebelum terjun ke lahan klinik.
3. Bagi masyarakat
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkn masyarakat dapat
menggali informasi tentang pembiusan atau anestesi selama pembedahan, sehingga akan
lebih paham tentang yang berkaitan dengan anestesi baik meliputi obat-obat, tehnik
maupun efek dari anestesi tersebut.
41