Anda di halaman 1dari 21

Journal Reading

Drowning: Still a difficult autopsy diagnosis

DISUSUN OLEH:

Difan Nasuha Yuzar (140100027)

Dia Asri (140100003)

Livia Ayuni (140100157)

PEMBIMBING:

dr. Agustinus Sitepu, M.Ked (For), Sp.F

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN

2019
Tenggelam:
Masih Sulit untuk Melakukan Diagnosis Berdasarkan Otopsi
Michel H.A. Piette, Els A. De Letter
Ghent University, Department of Forensic Medicine, Jozef Kluyskensstraat 29, 9000
Gent, Belgium
Received 18 October 2004; accepted 20 October 2004
Available online 27 December 2005
Presented at the 8th Cross Channel Conference (Bruges, April 20th–24th, 2004).

Abstrak: Investigasi mayat yang ditemukan dari air memilik proporsi penting dari
permintaan medis hukum. Namun, pernyataan pasti apakah korban meninggal
akibat '' benar '' tenggelam terkadang sulit untuk dipecahkan. Selain itu, diagnosis
hydrocution bahkan lebih sulit. Dalam naskah ini, pengulangan dari metode
diagnostik dilaporkan untuk dibahas dalam rangka memberikan pedoman, yang
dapat digunakan dalam praktek forensik saat ini. Secara khusus, keuntungan dan
kerugian dari berbagai metode biologi dan thanatochemical, dijelaskan dalam
literatur selama 20 tahun terakhir, akan dihadapkan pada teknik klasik seperti
deteksi diatom dan alga. Memang, tes diatom masih dianggap sebagai '' standar
emas ''.

Kesimpulannya, tes diagnostik yang ideal sebagai bukti untuk tenggelam


masih perlu distabilkan. Saat ini, kombinasi dari temuan otopsi dan uji diatom
adalah pemeriksaan yang baik dalam mencapai suatu kesimpulan. Metode
biokimia dan teknis tambahan dapat berguna. Sayangnya, biaya analisis dalam
praktek saat ini bisa sulit untuk dilakukan. Namun, kepentingan dari bahasan ini
dilatarbelakangi oleh penemuan peneliti selanjutnya

Kata kunci: tenggelam; Diagnosa; Ulasan; metode diagnostik; penanda diagnostik


1. Pembukaan

Beberapa definisi dari tenggelam yang tersedia pada kenyataannya memiliki


beberapa makna. Salah satu definisi yang paling klasik adalah yang dinyatakan
oleh Roll: ''mati oleh tenggelam adalah hasil dari terhambatnya respirasi oleh
karena terhalangnya mulut dan hidung oleh media fluida (biasanya air).''[1].
Faktanya, ada banyak definisi tenggelam dan semua dari mereka memiliki
beberapa kebenaran. Tentang tenggelam, tidak ada kontroversi besar: secara
umum adalah menghirup air yang dapat melewati membran Alveolo-kapiler dan
mencapai sirkulasi. Secara klasik, perbedaan antara air tawar dan air asin telah
dibuat, meskipun hal ini pada dasarnya didasarkan pada hewan percobaan.
Namun, kontroversi besar timbul tentang kematian akibat perendaman selain true
drowning, seperti dry lung drowning, immersion death, hydrocution dan
“Badetod”. Selain itu, fenomena patofisiologis sulit untuk dibuktikan. Memang,
gagal jantung oleh stimulasi reflex vasovagal dan laringospasme tidak dapat
ditemukan selama otopsi, tapi faktor-faktor seperti intoksikasi etanol dan air
dingin harus diperhitungkan. Dengan demikian, perendaman kematian selain
tenggelam sejati tidak pernah dapat dibuktikan dengan teknik otopsi. Kematian
tersebut sebenarnya dapat menjadi kematian alami. Modell et al, menyatakan
bahwa '' menganggap penenggelaman sebagai penyebab kematian pada benda
yang ditemukan dalam air tanpa bukti adanya air yang teraspirasi sangat berisiko
''dan menyimpulkan bahwa'' dalam situasi ini, mungkin lebih akurat untuk
membuat daftar diferensial diagnosis daripada mencari penyebab spesifik
kematian”[2]. Informasi polisi seperti adanya saksi mata akan jauh lebih dapat
diandalkan.

Tenggelam telah dibahas secara dalam literatur medikolegal dan ulasan


sejarah yang dapat ditemukan dengan Reh [3], Thomas et al.[4], Timperman[5],
Keil[6], Saukko dan Ksatria[7], Ludes dan Fornes [8], Brinkmann[9], dan
Giertsen.
Tujuan dari naskah ini adalah untuk memberikan gambaran penting dari
metode diagnostik '' tenggelam sejati '' yang dapat digunakan sebagai pedoman
dalam praktek medis-hukum sehari-hari. Setelah pertimbangan teoritis prinsip-
prinsip umum tenggelam, data pustaka yang relevan dari 20 tahun terakhir telah
diperiksa. Pertama, secara singkat, diagnostik klasik temuan otopsi (seperti
Paltauf sign, emfisema aquosum, efusi pleura) dan teknik mikroskopis yang
terbaru telah ditemukan.

Setelah itu, berbagai metode biologi dan thanato-kimia dijelaskan dalam


literatur serta keuntungan dan kerugiannya telah dibahas.

Pada mulanya, deteksi unsur tanaman asing seperti penilaian diatom, alga,
klorofil dilakukan, dan uji diatom diakui sebagai “ standar emas “. Selain itu,
penanda thanato-kimia seperti strontium, magnesium, klorida, hemoglobin,
protein surfaktan paru A dan D serta berbagai penyelidikan lainnya akan
dipertimbangkan.

2. Prinsip-prinsip umum
Gambar. 1 menunjukkan prinsip-prinsip umum dalam penilaian tenggelam sejati.
1. Haemodilusi 2. partikel dalam air yang tenggelam (contoh, diatom) 3.
konstituen terlarut dalam air tenggelam 4.partikel atau sel dalam alveoli.

2.1. Air memasuki sirkulasi darah oleh difusi dan osmosis (hemodilusi)

Hal ini telah dibuktikan dengan hewan percobaan pada akhir abad ke-19
oleh, Brouardel dan Vibert [11]. Beberapa metode kimia dan fisik telah disajikan
untuk membuktikan hemodilusi ini. Sebuah gambaran dari literatur yang fokus
terhadap hal ini telah ditemukan [12] Namun, metode ini hanya dapat diterapkan
ketika autolisis dan pembusukan belum terjadi. Seperti otopsi, biasanya hanya
dilakukan 24 jam post mortem dan mengacu pada fakta bahwa tubuh diambil dari
air yang telah mengalami pembusukan sebelumnya, percobaan pengenceran
jarang dilakukan dalam praktek forensik saat ini. Selain itu, penghidupan kembali
cardiopulmonary dapat mengganggu tes hemodilusi [13]. Beberapa peneliti
menganggap teknik ini sudah kuno [14]. Hanya tes hemodilusi yang terbaru yang
akan disebutkan.

2.2. Partikel yang tersuspensi dalam air masuk ke dalam sirkulasi darah

Ini berarti bahwa selama proses tenggelam, selain difusi dan osmosis, lesi
kecil di membran alveolar terjadi dan, sebagai hasilnya, partikel yang ada pada air
bisa masuk ke sirkulasi darah. Corin dan Stockis menunjukkan bahwa elemen
kristal yang tersuspensi dalam air dapat ditemukan di jantung kiri [15-18]. Metode
Corin dan Stockis menjadi tidak digunakan dan beberapa dekade kemudian,
penyelidikan diatom dalam darah dan organ diperkenalkan [19].

Teknik diatom sangat menguntungkan dan mendorong penelitian untuk


mnrgmbangkannya melalui debat ilmiah yang berkembang [20]. Segera setelah
penetapan metode diatom, kritik yang kurang baik muncul dan, saat ini, para
pendukung dan penentang belum berdamai, dikarenakan, risiko kontaminasi yang
sangat penting [21-23]. Selain itu, dikarenakan adanya pencemaran di permukaan
air, diatom dapat menghilang di masa depan [24]. Dikarenakan kurangnya spesies
diatom yang telah diamati misalnya di Belgia, hanya satu spesies yang bertahan,
yaitu Eunotia exigua [25]. Metode alternatif tetapi tidak pernah ditetapkan adalah
mencari protozoa bersilia dalam darah jika tenggelam di air tawar [26].

2.3. Zat kimia yang dilarutkan dalam air dan ditemukan dalam tubuh manusia
dalam konsentrasi yang sangat rendah (trace element), dapat memasuki
sirkulasi darah

Secara teoritis, metode yang sempurna harus sesuai dengan premis berikut.
Pertama, marker harus memiliki kemampuan untuk melewati membran alveolo-
kapiler untuk masuk ke sirkulasi. Kedua, zat tersebut harus hadir dalam jumlah
besar di air dan dalam jumlah yang sangat kecil dalam darah orang sehat. Selain
itu, tidak boleh ada cara lain untuk masuk ke dalam sirkulasi, seperti melalui
saluran pencernaan atau karena difusi post-mortem.

Eksperimen pada hewan membuktikan manfaat dari metode ini [28]. Namun,
kasus medico-legal yang dilaporkan saat ini untuk membuktikan nilai dalam
praktik sangat langka.

2.4. Unsur-unsur sel Corpuscular atau seluler yang terdapat dalam alveoli paru-
paru dapat ditemui dalam sirkulasi darah setelah tenggelam

Pemeriksaan elemen-elemen ini dilaporkan beberapa dekade yang lalu [29-


31]. Namun, kasus yang ditemukan sangat kecil dan tidak cocok untuk analisis
statistik yang memadai. Selain itu, metode ini tidak berlaku untuk semua kasus
tenggelam, misalnya, sel perokok hanya dapat ditentukan pada orang yang
memiliki perilaku merokok yang jelas. Selanjutnya, studi tentang asbes-bodies
dan faktor surfaktan dapat diperhitungkan.

Untuk menyelidiki bagaimana prinsip-prinsip umum yang disebutkan di atas


diterapkan dalam penelitian, peninjauan literatur dilakukan untuk memberikan
pembaharuan selama 20 tahun terakhir. Pencarian ini masih jauh dari selesai
karena banyak artikel ditulis dalam bahasa yang kurang dapat diakses seperti
Cina, Jepang atau Rusia.

Pertama, karakteristik makroskopik dan mikroskopis klasik akan disajikan.


Setelah itu, merujuk pada prinsip-prinsip umum yang disebutkan di atas, tinjauan
umum tentang uji biologi dan kimiawi dan berbagai alat yang tidak dapat
diklasifikasikan dalam skema ini, akan dijelaskan.

3. Data otopsi

3.1. Temuan otopsi makroskopis

Ulasan menarik tentang kemungkinan temuan makroskopis dalam


serangkaian besar kasus tenggelam disediakan oleh Lunetta et al [32].

Pada pemeriksaan luar, buih di mulut dan lubang hidung dapat dianggap
sebagai indikasi yang berharga. Jebakannya adalah bahwa temuan ini tidak
spesifik, cukup sementara dan hanya dapat ditemukan dalam tubuh baru yang
tenggelam. Selain itu, semua tanda lainnya adalah tanda-tanda perendaman dan
bukan patognomonik untuk tenggelam.

Pada penyelidikan internal, temuan pada thoraks berikut dapat memberikan


33
informasi yang berguna: emfisema paru-paru dan edema aquosum , lekukan
tulang rusuk di paru-paru, bintik-bintik Paltauf, buih di trakea, peningkatan berat
paru-paru dan efusi pleura. Hadley dan Fowler menemukan bahwa peningkatan
berat paru-paru dan ginjal adalah hasil dari asfiksia dan aspirasi air, sedangkan
peningkatan limpa dan bobot hati pada korban yang tenggelam hanya karena efek
asfiksasi [34]. Namun, limpa anemik kecil dihipotesiskan menjadi fenomena post-
mortem [34].

Rasio berat paru-jantung yang secara signifikan lebih tinggi ditemukan pada
korban tenggelam di air tawar / air asin dibandingkan dengan kematian akibat
sesak napas lainnya [35]. Morild menunjukkan bahwa ada hubungan antara
interval post-mortem dan peningkatan cairan pleura [36], yang juga ditunjukkan
oleh penulis lain [37-38]. Selain itu, perbedaan yang signifikan ditemukan antara
kasus tenggelam di air asin dan air tawar: dikarenakan sifat hyperosmolar yang
mengakibatkan plasma bocor ke ruang alveolar, lebih banyak cairan pleura
dihasilkan dalam kasus-kasus tenggelam di air asin [36]. Namun, Yorulmaz et al.
tidak dapat membuktikan perbedaan yang signifikan antara jumlah cairan pleura
dalam air tawar dan kasus-kasus tenggelam air asin [37].

Inspeksi perut dapat mengungkapkan Wydler’s sign (menelan air) atau


bahkan sindrom Mallory-Weiss [6].

Interpretasi perdarahan di jaringan leher bisa menjadi kontroversial. Dengan


tidak adanya trauma di wilayah itu, pendarahan ini kemungkinan besar
disebabkan oleh hipostasis atau ekstensi atau artefak Prinsloo dan Gordon
(perdarahan post-mortem pada permukaan posterior esofagus) [7]. Pada sebagian
kecil kasus, perdarahan ini dapat dijelaskan dengan gerakan leher yang keras
selama proses tenggelam [39]. Ini didukung oleh Puschel et al. yang mengaitkan
perdarahan intramuskuler di leher korban yang tenggelam dengan kejang agonal,
hiperkontraksi, dan terlalu kerasnya otot rangka leher, batang anterior / posterior
dan ekstremitas atas bekerja [40]. Terlebih lagi, mereka menambahkan bahwa
perdarahan ini dapat dianggap sebagai bukti tambahan dalam diagnosis
tenggelam. Dalam kasus yang meragukan, pemeriksaan histologis bisa menjadi
lebih informative [42]. Namun, Keil et al. mengulas 2060 otopsi dan
menyimpulkan bahwa perdarahan pada otot cricoarytenoid posterior tidak
mengindikasikan penyebab atau cara kematian [42].

Beberapa tahun yang lalu, cairan tenggelam dijelaskan selama pemeriksaan


sinus sphenoidal (Svechnikov’s sign) [6]. Bohnert et al. mempelajari jumlah
cairan dalam sinus sphenoid: volume rata-rata aspirasi lebih kecil pada kelompok
kontrol daripada pada korban yang tenggelam [43]. Hotmar menemukan bahwa
investigasi cairan dalam sinus sphenoid dan maksila dapat memberikan informasi
tambahan dalam diagnosis tenggelam [44].
Faktanya, semua tanda-tanda makroskopik ini tidak spesifik tetapi buih
eksternal dan internal yang dikombinasikan dengan emfisema akut pada korban
yang diambil dari air dapat dianggap adanya kemungkinan korban tenggelam.

3.2. Temuan otopsi mikroskopis (paru-paru)

Pemeriksaan histologis klasik (pewarnaan hematoxylin eosin) menunjukkan


edema intra-alveolar yang jelas dan dilatasi dari ruang alveolar dengan kompresi
sekunder oleh kapiler septum [3]. Delmonte dan Capelozzi dapat membedakan
dengan jenis asfiksia lainnya [45]. Namun, pembusukan dapat menghapus semua
struktur histologis yang baik.

Efek pencucian makrofag intra-alveolar pada korban tenggelam telah


dibuktikan oleh Betz et al. [46]. Selain itu, dijumpai adanya peningkatan subtipe
makrofag (subtipe myelomonocyte) di kompartemen alveolar-intrakapiler melalui
metode imunohistokimia [47]. Namun, interpretasi tes ini cukup sulit.

Beberapa tahun yang lalu, sebuah penelitian dengan melakukan pemindaian


menggunakan mikroskop elektron untuk menunjukkan perbedaan antara
emfisema kronis dan emfisema akut pada korban tenggelam [48]. Namun, ketika
kedua emphysema aquosum dan emphysema kronis dijumpai, diagnosis menjadi
sulit dilakukan [48]. Di sini juga, perubahan post-mortem akan menghambat
penafsiran yang tepat.

4. Tes biologi dan thanato-kimia (lihat Gambar 1)

4.1. Tes hemodilusi

Tes hemodilusi hanya bernilai untuk tubuh segar yang pulih dari air, yaitu
dalam 24 jam pertama setelah kematian. Pengenceran ureum atau protein total
kadang-kadang dapat ditunjukkan [49,50]. Metode hemodilusi sebagian besar
ditinggalkan karena kurangnya spesifisitas dan sensitivitas yang disebabkan oleh
autolitik biokimia post-mortem dan pembusukan [13]. Selanjutnya, interpretasi
dapat dipengaruhi oleh resusitasi jantung, yang menurunkan nilai-nilai [13].
Namun, penentuan perbandingan zat besi di kedua rongga jantung diusulkan
sebagai bukti hemodilusi [51]. Penelitian lebih lanjut harus dilakukan.

4.2. Mikroorganisme

Berbagai mikroorganisme dalam air dapat dipelajari, misalnya, diatom dan


ganggang.

4.2.1. Diatom

Investigasi diatom dalam diagnosis tenggelam menimbulkan banyak kritik


dan kontroversial. Pertama, diatom bisa tidak ada ketika diagnosis makroskopis
tentang tenggelam jelas seperti ketika korban meninggal setelah penderitaan yang
sangat singkat atau ketika dipengaruhi perubahan iklim dalam jangka waktu lama.
Ini menjelaskan kurangnya sensitivitas karena diatom hanya dijumpai pada
sepertiga kasus kematian akibat tenggelam [52-54]. Bahkan di laut terbuka,
diatom dapat diduga tidak berfungsi sebagai penanda yang dapat diandalkan [55].
Selain itu, diatom dapat dijumpai ketika orang meninggal karena penyebab
kematian lainnya, tidak hanya pada kasus tenggelam. Pemeriksaan diatom dalam
jaringan adalah analisis yang sangat sulit dan terbatas yang memerlukan
kerjasama dengan dokter spesialis mikrobiologi[56,57]. Namun, ancaman
kontaminasi dapat dianggap sebagai alasan rata-rata untuk mengkritik metode
analisis diatom [58].

Prinsip-prinsip standar meliputi analisis diatom kualitatif dan kuantitatif pada


organ yang terkait dengan analisis diatom air di lokasi tenggelam. Selain itu,
metode berbahaya dan destruktif harus dihindari [53-61].

Beberapa perbaikan teknis telah diusulkan, seperti yang disampaikan oleh


Funayama dkk. [62], Kobayashi et al. [63], Matsumoto dan Fukui [64] dan Sidari
et al. [65]. Faktanya, metode ini dapat menetralkan sifat destruktif dari metode
pencernaan klasik oleh asam kuat seperti, misalnya, diatom air laut relatif rapuh
[66]. Di sisi lain, Soluene-350 juga bersifat destruktif bagi diatom air laut [65].
Teknik demikian harus disesuaikan dengan pencarian diatom air tawar atau air
laut.

Perspektif baru adalah metode reaksi rantai polimerase (PCR) untuk


mengidentifikasi diatom dengan menggunakan primer untuk gen terkait klorofil,
misalnya, dari Euglena gracilis dan Skeletonema costatum [67]. Bahkan dalam
'kasus negatif diatom' dengan penggunaan prosedur klasik, tes ini bisa positif.
Namun, sensitivitas tersebut dapat terganggu oleh risiko kontaminasi yang lebih
tinggi.

4.2.2. Alga (Chlorophyceae)

Identifikasi ganggang dapat bersifat informatif bagi perairan dengan sedikit


diatom, namun metode destruksi dengan menggunakan pelarut Soluene-350 harus
digunakan [68]. Clorophyll juga dapat ditemukan di paru-paru dengan
menggunakan metode spektrofluorometrik, namun hal ini masih dalam fase
pengembangan[69]. Deteksi gen fitoplankton (dengan menggunakan metode
PCR) juga dapat membantu [67,70,71]. Namun, sampel paru-paru dari kelinci
yang tidak tenggelam juga positif karena penetrasi plankton post-mortem ke
dalam sistem pernapasan [71]. Kane et al. mampu menunjukkan picoplankton
dalam jaringan paru-paru yang diformalin dalam kasus tenggelam [70].

4.3. Konstituen kimia

Berbagai konstituen terlarut telah dipelajari dalam upaya untuk menemukan


penanda yang cocok untuk kasus tenggelam, seperti strontium, fluor, dan garam
lainnya.

4.3.1. Strontium (Sr)

Beberapa tahun yang lalu, kuantifikasi strontium dalam darah atau serum
telah diselidiki [28,72]. Azparren et al. mencatat bahwa hanya 32% dari tubuh
yang ditemukan di air tawar, diagnosis tenggelam dapat ditegakkan menggunakan
penanda strontium [73]. Perbedaan konsentrasi strontium darah antara ventrikel
kiri dan kanan dapat membantu dalam diagnosis tenggelam [74]. “Typical” kasus
tenggelam di air laut dapat diasumsikan ketika tingkat strontium antara sisi kanan
dan kiri jantung berbeda> 75 mg Sr / l; nilai <20 mg Sr / l dianggap sebagai
indikasi untuk kasus tenggelam yang “atypical” [75]. Selain itu, perbedaan antara
kadar Strontium di ventrikel kanan dan kiri bisa menjadi indikasi untuk lama
penderitaan saat tenggelam [76].

Perangkap berikut harus diperhitungkan. Beberapa jenis air memiliki


konsentrasi strontium yang relatif rendah, misalnya, air hujan, air keran [77]. Di
sisi lain, strontium dapat meningkat pada peminum air mineral atau konsumen
makanan laut biasa [77]. Selain itu, strontium, terutama di air laut, dapat
menyerang organ dan darah dengan, misalnya, difusi paru post-mortem [77].
Sebagai perbandingan, Powitz juga menyarankan bahwa serapan bromin post-
mortem dapat terjadi pada mayat yang terbenam [78]. Namun, Azparren et al.
tidak dapat menunjukkan difusi strontium post-mortem yang substansial ketika
interval post-mortem kurang dari 5 hari [76].

Penentuan strontium dapat sangat berguna dalam kasus tenggelam di air laut
atau air payau (mayat baru) [79,80]. Dalam kasus tenggelam di air tawar,
dijumpai zona tumpang tindih dengan individu yang tidak tenggelam [72]. Akan
tetapi, Fornes et al. tidak bisa menentukan zona tumpang tindih antara subjek
tenggelam di air tawar dan subyek yang tidak tenggelam [33]. Oleh karena itu,
penentuan strontium dalam air yang tenggelam sangat penting sebagai
perbandingan.

Fornes et al. menggunakan pendekatan yang menarik, yaitu kombinasi


histomorfometri berbasis komputer paru-paru dengan pengukuran Sr darah [33].

4.3.2. Berbagai penanda

Banyaknya serum fluorin dianggap bernilai dalam diagnosis tenggelam


tetapi terbatas pada area-area di mana banyak terdapat fluor : ini ditunjukkan
dalam percobaan menggunakan kelinci [81]. Zhu et al. mempelajari sampel darah
jantung kiri dan kanan untuk beberapa penanda serum seperti natrium (Na),
klorida (Cl), magnesium (Mg) dan kalsium (Ca) [50]. Pada korban yang
tenggelam di air asin, peningkatan yang jelas dari kadar serum Cl, Mg dan Ca dari
darah jantung kiri merupakan karakteristik [50].

4.4. Konstituen normal atau abnormal dari alveoli paru-paru yang dapat
ditemukan dalam sirkulasi

4.4.1. Raucherzellen

Beberapa tahun yang lalu, Reiter mendemonstrasikan keberadaan sel-sel


perokok dalam darah jantung kiri pada korban yang tenggelam: makrofag-
makrofag ini dicuci dari alveoli paru ke dalam darah jantung [31]. Dia
menyarankan bahwa tes ini juga dapat berguna untuk mendiagnosis vitalitas kasus
kematian akibat tenggelam dan kasus kematian di bak mandi dimana hampir tidak
ada plankton dan elektrolit [31]. Namun, beberapa artikel terbaru diterbitkan
berkitan dengan hal ini. Secara teoritis, konstituen intra-alveolar lain seperti badan
asbestosis dapat diambil kembali dalam sirkulasi darah setelah tenggelam.

4.4.2. Faktor surfaktan paru

Nilai faktor surfaktan paru pertama kali dipelajari oleh Lorente et al. pada
kelinci [82]. Mereka mendemonstrasikan bahwa surfaktan paru, fosfatidil kolin,
fosfatidil etanolamin dan fosfatidil gliserol dapat berguna sebagai penanda dalam
diagnosis tenggelam, yaitu untuk membedakan kasus tenggelam dan kasus
dibenamkan setelah mati dan untuk membedakan kasus-kasus tenggelam di air
tawar dan air asin[82]. Selain itu, pada tikus, fosfolipid surfaktan paru-paru masih
dijumpai dalam 24 jam pertama setelah kematian, diikuti oleh penurunan secara
progresif 48 jam hingga 96 jam setelah kematian [83]. Kamada et al. [84]
menggunakan enzim sandwich immunoassay untuk menentukan protein surfaktan
paru D (SP-D) pada korban yang tenggelam. Kadar SP-D dalam darah dari kasus
air asin dan air tawar meningkat pada keduanya, dan konsentrasi rata-rata tertinggi
dijumpai pada kasus kematian di air asin [84]. Namun, konsentrasi SP-D darah
juga meningkat pada kematian asfiksia lainnya, tetapi pada tingkat yang lebih
rendah [84]. Pulmonary surfactant-associated protein A (SP-A) dapat meningkat
dalam darah dan jaringan, tidak hanya pada korban yang tenggelam, tetapi juga
dalam kasus acute respiratory distress syndrome [85]. Oleh karena itu, SP-A dapat
berguna sebagai penanda asfiksia, gangguan pernapasan, dan cedera alveolar [85].
Zhu et al. menemukan bahwa peningkatan konsentrasi serum SP-A yang
signifikan dapat ditemukan pada korban yang tenggelam di air tawar, namun hal
ini sering tumpang tindih dengan kasus tenggelam di air laut dan infark miokard
akut [50]. Kesimpulannya, baik SP-D dan SP-A tidak sepenuhnya spesifik untuk
tenggelam dan sebenarnya merupakan penanda yang baik untuk cedera alveolar.

5. Varia

Dengan ini kami menyajikan beberapa data penelitian yang tidak dapat
diklasifikasikan dalam kategori Gambar 1 yang disebutkan di atas.

Atrial Natriuretic Peptide (ANP) pertama kali dipelajari pada kelinci oleh
Lorente et al. yang menemukan peningkatan darah terutama pada kasus tenggelam
di air tawar [86]. Tidak ada publikasi lebih lanjut yang terlihat dengan subjek
penelitian pada manusia. Perlu dicatat bahwa stabilitas post-mortem saat ini tidak
ditunjukkan pada manusia, tetapi hanya pada tikus di mana ANP stabil pada 8 jam
pertama setelah kematian [87]. Selain itu, pelepasan fisiologis ANP juga dijumpai
pada kasus pembenaman kepala di dalam air [88]. Selain itu, peningkatan ANP
patologis pada penyakit jantung dan dalam semua keadaan hipervolemia seperti
pada kehamilan tidak termasuk ANP sebagai penanda spesifik untuk tenggelam.

Ubiquitine dalam neuron substantia nigra dipelajari oleh Quan et al. [89].
Namun, hanya ada satu laporan dan tidak ada data konfirmasi. Selain itu,
peningkatan ubiquitine (heat shock protein) juga terlihat dalam bentuk lain dari
asfiksia yang hebat [89].
6. Diskusi dan kesimpulan

Untuk menunjukkan tenggelam secara jelas sebagai penyebab kematian,


tetap menjadi masalah yang sulit dalam praktik forensik saat ini. Menyusul
penetapan fakta bahwa orang itu hidup sebelum memasuki air, pertanyaan kunci
apakah korban meninggal karena tenggelam harus diselesaikan. Selain itu,
diagnosis hidrokusi (tenggelam dalam air yang sangat dingin) bahkan lebih sulit
hingga mustahil. Dalam diagnosis otopsi mengenai tenggelam kita hanya akan
mempertimbangkan 'benar' tenggelam. Ketika tidak dapat dibuktikan inhalasi air.
Modell et al. menyarankan untuk membuat daftar diagnosis banding daripada
menyimpulkan penyebab kematian spesifik [2]. Selain itu kami tidak akan
mempertimbangkan cara kematian karena hal tersebut merupakan tugas penyidik
kepolisian. Memang, ahli patologi forensik perlu menyadari bahwa sering kali
cara kematian tetap tidak ditentukan [90].

Tanda-tanda makroskopis dan mikroskopis pada korban yang baru saja


tenggelam tidak spesifik dan bahkan pembusukan akan menghilangkan temuan
otopsi ini dengan cukup cepat. Pembusukan memang harus mendorong
penyelidikan laboratorium lebih lanjut untuk membuktikan tenggelam. Setelah
meninjau tes-tes ini, kita harus menyimpulkan bahwa penanda biologis dan
kimiawi tentang tenggelam belum diterima dengan kepastian yang masuk akal
secara ilmiah. Namun, saat ini, analisis diatom tetap menjadi gold standart, tetapi
membutuhkan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut. Analisis strontium bisa
menjadi alat bantu, terutama pada korban air laut yang baru saja tenggelam.
Kombinasi dari semua temuan otopsi dan tes tambahan pada kasus tenggelam
dalam air yang tidak mengalami pembusukan dapat memberikan indikasi yang
berguna untuk diagnosis sementara dari tenggelam yang sebenarnya. Pada
sebagian besar kasus, perubahan autolitik dan pembusukan akan mempersulit
diagnosis tenggelam secara ilmiah. Kami yakin bahwa diagnosis tenggelam yang
sebenarnya bukan semata-mata tugas ahli patologi forensik. Bahkan, otoritas
penegak hukum, harus terlibat dalam pernyataan akhir tentang penyebab kematian
akibat tenggelam [8,10,91]. Hanya dalam filosofi ini, kita bisa mengurangi
kesalahan peradilan. Kematian karena tenggelam tetap menjadi salah satu
diagnosis paling sulit dalam kedokteran forensik.

Ucapan Terima Kasih


Penulis berterima kasih kepada Ny. The´re`se De Vuyst dan Ny. Isabelle
Cornelis atas bantuan mereka dalam menyiapkan naskah ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. H.F. Roll, Leerboek der Gerechtelijke Geneeskunde voor de scholen tot opleiding
van Ind. artsen, ’s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1918.
2. J.H. Modell, M. Bellefleur, J.H. Davis, Drowning without aspiration: is this an
appropriate diagnosis? J. Forensic Sci. 44 (1999) 1119–1123.
3. H. Reh, Diagnostik des Ertrinkungstodes und Bestimmung der Wasserzeit, Michael
Triltsch Verlag, Du¨sseldorf, 1969.
4. F. Thomas, W. Van Hecke, J. Timperman, The medicolegal diagnosis of death by
drowning, J. Forensic Sci. 8 (1963) 1– 14.
5. J. Timperman, The diagnosis of drowning. A review, Forensic Sci. 1 (1972) 397–
409.
6. W. Keil, Tod im Wasser, in: B. Madea (Ed.), Praxis Rechtsme-dizin, Springer-
Verlag, Berlin, Heidelberg, New York, 2003, pp. 166–170.
7. P. Saukko, B. Knight, Knight’s Forensic Pathology, Arnold, London, 2004, pp. 395–
411.
8. B. Ludes, P. Fornes, Drowning, in: J. Payne-James, A. Busuttil, W. Smock (Eds.),
Forensic Medicine: Clinical and Pathologi- cal Aspects, Greenwich Medical Media
Ltd., London, San Francisco, 2003, pp. 247–257.
9. B. Brinkmann, Tod im Wasser, in: B. Brinkmann, B. Madea (Eds.), Handbuch
Gerichtliche Medizin 1, Springer, Berlin, 2004, pp. 797–819.
10. J. Chr. Giertsen, Drowning, in: J.K. Mason, B.N. Purdue (Eds.), The Pathology of
Trauma, Arnold, London, 2000, pp253–264.
11. P. Brouardel, Ch. Vibert, Etude sur la submersion, Annales d’Hygie`ne Publique et
de Me´decine Le´gale 3–4 (1880) 452– 470.
12. T.G. Schwa¨r, Drowning: its chemical diagnosis. A review, Forensic Sci. 1 (1972)
411–417.
13. R. Jeanmonod, Ch. Staub, B. Mermillod, The reliability of cardiac haemodilution as
a diagnostic test of drowning, For-ensic Sci. Int. 52 (1992) 171–180.
14. C.V. Wetli, R.E. Mittleman, U.J. Rao, Practical Forensic Pathology, Igaku-shoin,
New York, Tokyo, 1988, p. 71.
15. E. Stockis, Recherches sur le diagnostic me´dico-le´gal de la mort par submersion,
Annales de la socie´te´ de me´decine le´gale de Belgique 20 (1909) 71–220.
16. E. Stockis, Le diagnostic de la mort par submersion par la me´thode du planchton
cristallin, Annales de me´decine le´gale de criminologie et de police scientifique 1
(1921) 43–48.
17. G. Corin, A propos du diagnostic de la mort par submersion, Annales de la socie´te´
de me´dicine le´gale de Belgique 20 (1909) 375–377.
18. G. Corin, E. Stockis, Le diagnostic me´dico-le´gal de l’asphyxie par submersion,
Annales de la socie´te´ de me´decine le´gale de Belgique 20 (1909) 14–23.
19. T. Bajanowski, B. Brinkmann, A.M. Stefanec, R.H. Barckhaus, G. Fechner,
Detection and analysis of tracers in experimental drowning, Int. J. Legal Med. 111
(1998) 57–61.
20. A.J. Peabody, Diatoms and drowning. A review, Med. Sci. Law 20 (1980) 254–261.
21. B. Schellmann, W. Sperl, Diatomeen—Nachweis im Knochen-mark (Femur)
Nichtertrunkener, Z. Rechtsmed. 83 (1979) 319–324.
22. G. Ranner, H. Juan, H. Udermann, Zum Beweiswert von Diatomeen im
Knochenmark beim Ertrinkungstod, Z. Rechtsmed. 88 (1982) 57–65.
23. N.E. Antonenko, Diatom analysis lives on, Can. Soc. Forensic Sci. J. 20 (1987) 101–
102.
24. J. Timperman, The diagnosis of drowning. A review, Forensic Sci. 1 (1972) 397–
409.
25. G. De Blust, Natuurbeheersproblemen: een natuurreservaatstaat niet alleen in: M.
Hermy (Ed.), Natuurbeheer, M. Van de Wiele, Brugge, 1989, pp. 31–45.
26. D. Chardez, J. Lambert, Protozoaires cilie´s et thanatologie, Forensic Sci. Int. 28
(1985) 83–101.
27. S. Icard, La preuve de la mort par submersion suivant qu’elleeu lieu dans une
rivie`re ou dans la mer, Revue de Path-ologie Compare´e et d’Hygie`ne Ge´ne´rale
32 (1932) 559– 571.
28. A.M. Abdallah, S.A. Hassan, M.A. Kabil, A.-E.E. Ghanim, Serum strontium
estimation as a diagnostic criterion of the type of drowning water, Forensic Sci. Int.
28 (1985) 47–52.
29. M. Mo¨tto¨nen, O. Ravanko, Nachweis des Todes durch Ertrin-ken mittels in Blut
gefundener fremder Pflanzerelemente, Z. Rechtsmed. 68 (1971) 261–266.
30. K. Karkola, H. Neittaanma¨ki, Diagnosis of drowning by investigation of left heart
blood, Forensic Sci. Int. 18 (1981) 149–153.
31. C. Reiter, Zum Nachweis des Ertrinkungstodes mittels ins Herzblut
eingeschwemmter Raucherzellen, Z. Rechtsmed. 93 (1984) 79–88.
32. P. Lunetta, A. Penttila¨, A. Sajantila, Circumstances and macro-pathologic findings
in 1590 consecutive cases of bodies found in water, Am. J. Forensic Med. Pathol. 23
(2002) 371–376.
33. P. Fornes, G. Pe´pin, D. Heudes, D. Lecomte, Diagnosis of drowning by combined
computer-assisted histomorphometry of lungs with blood strontium determination, J.
Forensic Sci. 43 (1998) 772–776.
34. J.A. Hadley, D.R. Fowler, Erratum to ‘‘Organ weight effects of drowning and
asphyxiation on the lungs, liver, brain, heart, kidneys and spleen’’, Forensic Sci. Int.
137 (2003) 239–246.
35. B.-L. Zhu, L. Quan, K. Ishida, S. Oritani, D.-R. Li, M. Taniguchi, Y. Kamikodai, K.
Tsuda, M.Q. Fujita, K. Nishi, T Tsuji, H. Maeda, Lung–heart weight ratio as a
possible index of cardiopulmonary pathophysiology in drowning, Legal Med. 5
(2003) S295–S297.
36. I. Morild, Pleural effusion in drowning, Am. J. Forensic Med. Pathol. 16 (1995)
253–256.
37. C. Yorulmaz, N. Arican, I. Afacan, H. Dokgoz, M. Asirdizer, Pleural effusion in
bodies recovered from water, Forensic Sci. Int. 136 (2003) 16–21.
38. B.-L. Zhu, L. Quan, D.-R. Li, M. Taniguchi, Y. Kamikodai, K. Tsuda, M.Q. Fujita,
K. Nishi, T. Tsuji, H. Maeda, Postmortem lung weight in drownings: a comparison
with acute asphyxia-tion and cardiac death, Legal Med. 5 (2003) 20–26.
39. N. Carter, F. Ali, M.A. Green, Problems in the interpretation of hemorrhage into
neck musculature in cases of drowning, Am. J. Forensic Med. Pathol. 19 (1998)
223–225.
40. K. Pu¨schel, F. Schulz, I. Darrmann, M. Tsokos, Macromor-phology and histology
of intramuscular haemorrhages in cases of drowning, Int. J. Legal Med. 112 (1999)
101–106.
41. T. Sigrist, F. Schulz, E. Koops, Irrefu¨hrende Muskelblutungen bei einer
Wasserleiche, Arch. Kriminol. 193 (3–4) (1994) 90– 96.
42. W. Keil, T. Kondo, G.M. Beer, Haemorrhages in the posterior cricoarytenoid
muscles—an unspecific autopsy finding, For-ensic Sci. Int. 95 (1998) 225–230.
43. M. Bohnert, D. Ropohl, S. Pollak, Zur rechtsmedizinischen Bedeutung des
Flu¨ssigkeitsgehaltes in den Keilbeinho¨hlen, Arch. Kriminol. 209 (2002) 158–164.
44. P. Hotmar, Nachweis von Flu¨ssigkeit in den Nasennebenho¨h-len als mo¨gliches
diagnostisches Zeichen des Ertrinkung-stodes, Arch. Kriminol. 198 (1996) 89–94.
45. C. Delmonte, V.L. Capelozzi, Morphologic determinants of asphyxia in lungs: a
semiquantitative study in forensic autop-sies, Am. J. Forensic Med. Pathol. 22
(2001) 139–149.
46. P. Betz, A. Nerlich, R. Penning, W. Eisenmenger, Alveolar macrophages and the
diagnosis of drowning, Forensic Sci. Int. 62 (1993) 217–224.
47. B. Brinkmann, M.A. Hernandez, B. Karger, C. Ortmann, Pulmonary myelomonocyte
subtypes in drowning and other causes of death, Int. J. Legal Med. 110 (1997) 295–
298.
48. C. Torre, L. Varetto, Scanning electron microscope study of the lung in drowning, J.
Forensic Sci. 30 (1985) 456–461.
49. M. Durigon, M. Auger, F. Paraire, D. Barre`s, Limites diag-nostiques du
ionogramme sanguin. Comparatif dans la noyade, Acta Med. Leg. Soc. (Lie`ge) 39
(1989) 155–157.
50. B.-L. Zhu, K. Ishida, M. Taniguchi, L. Quan, S. Oritani, K. Tsuda, Y. Kamikodai,
M.Q. Fujita, H. Maeda, Possible post-mortem serum markers for differentiation
between fresh-, saltwater drowning and acute cardiac death: a preliminary
investigation, Legal Med. 5 (2003) S298–S301.
51. G. Lorin de la Grandmaison, F. Paraire, Place de l’anatomie pathologique dans le
diagnostic me´dico-le´gal d’une noyade, Ann. Pathol. 23 (2003) 400–407.
52. M.S. Pollanen, Diatoms and homicide, Forensic Sci. Int. 91 (1998) 29–34.
53. M.S. Pollanen, C. Cheung, D.A. Chiasson, The diagnostic value of the diatom test
for drowning. I. Utility: a retrospective analysis of 771 cases of drowning in Ontario,
Can. J. Forensic Sci. 42 (1997) 281–285.
54. M.S. Pollanen, The diagnostic value of the diatom test for drowning. II. Validity:
analysis of diatoms in bone marrow and drowning medium, J. Forensic Sci. 42
(1997) 286–290.
55. M. Funayama, S. Mimasaka, M. Nata, M. Hashiyada, Y. Yajima, Diatom numbers
around the continental shelf break, Am. J. Forensic Med. Pathol. 22 (2001) 236–238.
56. J. Hu¨rlimann, P. Feer, F. Elber, K. Niederberger, R. Dirnhofer, D. Wyler, Diatom
detection in the diagnosis of death by drowning, Int. J. Legal Med. 114 (2000) 6–14.
57. B. Ludes, M. Coste, N. North, S. Doray, A. Tracqui, P. Kintz, Diatom analysis in
victim’s tissues as an indicator of the site of drowning, Int. J. Legal Med. 112 (1999)
163–166.
58. A. Auer, M. Mo¨tto¨nen, Diatoms and drowning, Z. Rechtsmed. 101 (1988) 87–98.
59. J.V. Pachar, J.M. Cameron, The diagnosis of drowning by quantitative and
qualitative diatom analysis, Med. Sci. Law 33 (1993) 291–299.
60. B. Ludes, M. Coste, A. Tracqui, P. Mangin, Continuous river monitoring of the
diatoms in the diagnosis of drowning, J. Forensic Sci. 41 (1996) 425–428.
61. S. Krstic, A. Duma, B. Janevska, Z. Levkov, K. Nikolova, M. Noveska, Diatoms in
forensic expertise of drowning—a Mace-donian experience, Forensic Sci. Int. 127
(2002) 198–203.
62. M. Funayama, Y. Aoki, I.M. Sebetan, K. Sagisaka, Detection of diatoms in blood by
a combination of membrane filter-ing and chemical digestion, Forensic Sci. Int. 34
(1987) 175– 182.
63. M. Kobayashi, Y. Yamada, W-D. Zhang, Y. Itakura, M. Nagao, T. Takatori, Novel
detection of plankton from lung tissue by enzymatic digestion method, Forensic Sci.
Int. 60 (1993) 81– 90.
64. H. Matsumoto, Y. Fukui, A simple method for diatom detec-tion in drowning,
Forensic Sci. Int. 60 (1993) 91–95.
65. L. Sidari, N. Di Nunno, F. Costantinides, M. Melato, Diatom test with Soluene-350
to diagnose drowning in sea water, Forensic Sci. Int. 103 (1999) 61–65.
66. J.J. Taylor, Diatoms and drowning—a cautionary case note, Med. Sci. Law 34
(1994) 78–79.
67. S. Abe, M. Suto, H. Nakamura, H. Gunji, K. Hiraiwa, T. Suzuki, T. Itoh, H. Kochi,
G. Hoshiai, A novel PCR method for identifying plankton in cases of death by
drowning, Med. Sci. Law 43 (2003) 23–30.
68. S. Yoshimura, M. Yoshida, Y. Okii, T. Tokiyasu, T. Wata-biki, A. Akane, Detection
of green algae (Chlorophyceae) for the diagnosis of drowning, Int. J. Legal Med. 108
(1995) 39–42. for the diagnosis of drowning, Int. J. Legal Med. 108 (1995) 39–42.
69. J. Qu, E. Wang, A study on the diagnosis of drowning by examination of lung
chlorophyll(a) of planktons with a spec-trofluorophotometer, Forensic Sci. Int. 53
(1992) 149–155.
70. M. Kane, T. Fukunaga, H. Maeda, K. Nishi, The detection of picoplankton 163
rDNA in cases of drowning, Int. J. Legal Med. 108 (1996) 323–326.
71. M. Suto, S. Abe, H. Nakamura, T. Suzuki, T. Itoh, H. Kochi, G. Hoshiai, K. Hiraiwa,
Phytoplankton gene detection in drowned rabbits, Legal Med. 5 (2003) S142–S144.
72. M. Piette, J. Timperman, N. Parisis, Serum strontium estima-tion as a medico-legal
diagnostic indicator of drowning, Med. Sci. Law 29 (1989) 162–171.
73. J.E. Azparren, A. Fernandez-Rodriguez, G. Vallejo, Diagnos-ing death by drowning
in fresh water using blood strontium as an indicator, Forensic Sci. Int. 137 (2003)
55–59.
74. J.E. Azparren, G. Vallejo, E. Reyes, A. Herranz, M. Sancho, Study of the diagnostic
value of strontium, chloride, haemo-globin and diatoms in immersion cases, Forensic
Sci. Int. 91 (1998) 123–132.
75. J. Azparren, I. de la Rosa, M. Sancho, Biventricular measure-ment of blood
strontium in real cases of drowning, Forensic Sci. Int. 69 (1994) 139–148.
76. J.E. Azparren, A. Ortega, H. Bueno, M. Andreu, Blood strontium concentration
related to the length of the agonal period in seawater drowning cases, Forensic Sci.
Int. 108 (2000) 51–60.
77. M. Piette, B. Desmet, R. Dams, Determination of strontium in human whole blood
by ICP-AES, Sci. Total Environ. 141 (1994) 269–273.
78. G. Powitz, Nachweis von Bromidaufnahme an Leichen aus Meerwasser, Beitr.
Gerichtl. Med. 50 (1992) 117–119.
79. M. Piette, Strontium as a marker for drowning: when is it useful? The Police
Surgeon 42 (1992) 17–18.
80. M. Piette, La noyade: recherches actuelles, J. Me´d. Le´g. Droit Me´d. 39 (1996)
417–420.
81. C. Yu-Chuan, D. Zhao-Ke, Z. Jia-Zhen, The significance of detecting serum fluorine
level in the diagnosis of drowning, Forensic Sci. Int. 46 (1990) 289–294.
82. J.A. Lorente, C. Hernandez-Cueto, E. Villanueva, J.D. Luna, The usefulness of lung
surfactant phospholipids (LSPs) in the diagnosis of drowning, J. Forensic Sci. 35
(1990) 1367–1372.
83. J.A. Lorente, M. Lorente, E. Villanueva, Postmortem stability of lung surfactant
phospholipids, J. Forensic Sci. 37 (1992) 1341–1345.
84. S. Kamada, Y. Seo, K. Takahama, A sandwich enzyme immu-noassay for
pulmonary surfactant protein D and measurement of its blood levels in drowning
victims, Forensic Sci. Int. 109 (2000) 51–63.
85. H. Maeda, M.Q. Fujita, B.-L. Zhu, K. Ishida, L. Quan, S. Oritani, M. Taniguchi,
Pulmonary surfactant-associated pro-tein A as a marker of respiratory distress in
forensic pathology: assessment of the immunohistochemical and biochemical
findings, Legal Med. 5 (2003) S318–S321.
86. J.A. Lorente, E. Villanueva, C. Herna´ndez-Cueto, J.D. Luna, Plasmatic levels of
atrial natriuretic peptide (ANP) in drown-ing. A pilot study, Forensic Sci. Int. 44
(1990) 69–75.
87. J.A. Lorente, C. Hernandez-Cueto, E. Villanueva, Postmortem stability of the rat
atrial natriuretic peptide in blood and atrial tissue, Rev. Esp. Fisiol. 45 (1989) 127–
130.
88. J.V. Anderson, N.D. Millar, J.P. O’Hare, J.C. Mackenzie, R.J. Corrall, S.R. Bloom,
Atrial natriuretic peptide: physiological release associated with natriuresis during
water immersion in man, Clin. Sci. (Lond.) 71 (1986) 319–322.
89. L. Quan, B.-L. Zhu, K. Ishida, S. Oritani, M. Taniguchi, M.Q. Fujita, H. Maeda,
Intranuclear ubiquitin immunoreactivity of the pigmented neurons of the substantia
nigra in fatal acute mechanical asphyxiation and drowning, Int. J. Legal Med. 115
(2001) 6–11.
90. P. Lunetta, G.S. Smith, A. Penttila, A. Sajantila, Undetermined drowning, Med. Sci.
Law 43 (2003) 207–214.
91. J.H. Davis, Bodies found in the water. An investiga-tive approach, Am. J. Forensic
Med. Pathol. 7 (1986) 291– 297.

Anda mungkin juga menyukai