HIPERTENSI SEKUNDER
HIPERTENSI SEKUNDER
1.1.
Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi
diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%).
Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah
tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan lain (Bakri, 2008).
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifik
diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta,
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain lain (Schrier, 2000).
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan
darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat
1 dan derajat 2 seperti yang terlihat pada tabel 1 dibawah (Gray, et al. 2005).
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi
Normal
Prahipertensi
Hipertensi Grade 1
Hipertensi Grade 2
Kelainan ginjal dibagi menjadi kelainan perenkim ginjal dan sisanya karena penyakit
pembuluh darah ginjal (renovaskuler). Hampir 80% penyebab hipertensi sekunder pada anak
adalah penyakit parenkim ginjal . Hipertensi karena penyakit parenkim ginjal umumnya
bersifat kronik, misalnya pada glomerulonefritis kronik, pielonefritis kronik, nefropati
membranosa, kelainan kongenital misalnya ginjal polikistik, ginjal displasia. Pada Penyakit
pembuluh darah ginjal bayi atau anak kecil dengan hipertensi renovaskuler pada umumya
tidak menunjukan gejala klinis yang khas. Gejala yang lazim ditemukan adalah retardasi
pertumbuhan, anoreksia, iritabel, muntah, kejang atau dekompensasi jantung. Pada anak yang
besar gejala dapat asimptomatis atau simptomatis dengan ensefalofati hipertensif berat.
Diagnosis ke arah hipertensi renovaskuler ditegakan setelah dilakukan pemeriksaan
penunjang termasuk angiografi, bila evaluasi telah lengkap dapat dilakukan tindakan
pembedahan dan diharapkan tekanan darah kembali normal.
Penyakit ginjal dapat menaikkan tekanan darah dan sebaliknya hipertensi dalam
jangka waktu lama dapat mengganggu ginjal. Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal
tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi. Makin tinggi
tekanan darah, maka makin berat komplikasi yang dapat ditimbulkan. Hipertensi pada
penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun penyakit ginjal kronik baik
pada kelainan glomerolus maupun pada kelainan vaskular.
Penyakit glomerolus akut
Hipertensi terjadi oleh karena adanya retensi natrium yang menyebabkan hipervolemi.
Retensi natrium terjadi akibat adanya peningkatan reabsorbsi natrium di duktus
koligentes. Peningkatan ini mungkin terjadi karena adanya resistensi relatif terhadap
hormon natriuretik peptida dan peningkatan aktifitas pompa Na-K-ATPase di duktus
koligentes.
Penyakit vaskular
Pada keadaan ini, terjadi iskemi pada pembuluh darah renal yang klemudian merangsang
sistem renin angiotensin aldosteron sehingga tekanan darah dapat meningkat.
Gagal ginjal kronik
Pada keadaan ini, hipertensi umumnya terjadi karena retensi natrium, peningkatan sistem
RAA akibat iskemia relatif terhadap kerusakan regional, aktifitas saraf simpatis yang
aldosteron adalah stenosis areteri renalis dan penyakit parenkim ginjal unilateral yaitu
hipoplasia ginjal segmental, pielonefritis kronik dengan atau tanpa uropati obstruktif
unilateral, hematoma subscapular unilateral.
Patofisiologi terjadinya HRV ini terjadi pada dua fase yaitu fase akut dan kronik yaitu
sebagai berikut:
Fase akut
Terjadinya konstriksi pada arteri renalis akan menungkatkan tekanan darah dan juga
peningkatan renin dan aldosteron. Pemberian ACEI atau ARB dapat mencegah
peningkatan tekanan darah ini. Ini membuktikan bahwa peningkatan tekanan darah ini
akibat hiperreninemia.
Fase kronik
Untuk mendiagnosis HRV diperlukan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan
aktivitas renin plasma perifer basal, pemeriksaan renin vena renalis, serta pemeriksaan
radiologi seperti renogram atau arterigrafi. Arteriografi dianggap sebagai gold standard
dalam untuk diagnosis stenosis arteri renalis.
Tabel 2. Jenis penyakit renovaskuler pada anak.
Penyakit arteri renalis intrinsik (intrarenal)
Stenosis segmental, hipoplasia segmental
Aneurisma
Vaskulitis
Penyakit arteri ginjal intrinsik (perubahan hillus)
Lesi fibromuskular
Neurofibromatosis
Arteritis
Defek kongenital kombinasi
Stenosis arteri pasca transplantasi ginjal
Lesi arteri renalis ekstrinsik
Iatrogenik
Feokromasitoma
merupakan neoplasma yang berasal dari sel kromafin terutama di bagian medula kelenjar
adrenal. Kromafin merupakan tempat untuk mensintesis, menyimpan dan mensekresi hormon
katekolamin yang berfungsi untuk neurotransmiter alfa adrenergik. Peningkatan sintesis dan
sekresi katekolamin menyebabkan hipertensi sekunder pada feokromasitoma. Manifestasi
klinis dari feokromasitoma adalah hipertensi paroksisimal atau intermiten, palpitasai,
takikardi, pucat, flushing, sakit kepala, keringat berlebih, berat badan turun, poliuri dan
polidipsi. Diagnosis ditegakan dengan pemeriksaan kadar katekolamin dalam darah dan
metabolitnya (vanilyl mandeic acid = VMA) dalam urin.
Feokromositoma berarti warna coklat, merupakan salah stau bentuk hipertensi
endokrin, sebagian besar tumor ini tumbuh di dalam kelenjar adrenal, hanya 10% yang
tumbuh diluar kelenjar adrenal (paraganglioma). Umumnya bersifat jinak dan hanya 10%
yang metastasis ke paru, hati dan kelenjar getah bening. Tumor ini dapat mensekresi
bermacam hormon seperti morefinefrin, efinefrin dan dopamin.
Manifestasi klinis berhubungan dengan overproduksi katekolamin seperti sakit
kepala, berkeringat, dan berdebar-debar yang dikenal sebagai trias. Kadang-kadang juga
terdapat hipertensi dan diabetes. Beberapa tanda klinis untuk mencurigai feokromositoma
antara lain:
1
Hiperetensi menetap atau yang paroksismal disertai sakit kepala, berkeringat dan
berdebar.
Sinus takikardi
Hipertensi ortostatik
Aritmia rekuren
peningkatan kadar katekolamin 5-10 kali normal. Selain itu perlu dilakukan tes klonidin
dimana akan terjadi penekanan kadar norefinefrin. Ada juga tes provokasi yaitu tes regitin
(fentolamin), dan tes stimulasi glukagon. Tes regitin berdasarkan dugaan kelebihan
katekolamin, sebaliknya tes glukagon berdasarkan stimulasi glukagon. Apabila ditemukan
kadar laboratorium yang positif, maka perlu dicari lokasi tumor dengan menggunakan CTScan.
b. Neuroblastoma dan ganglioneuroma
Kedua jenis tumor ini mensekresi katekolamin dalam jumlah yang besar ke dalam
aliran darah sehingga menyebabkan hipertensi.
c. Sindrom adrenogenital
Penyakit endokrin yang menyebabkan hipertensi sekunder dan sangat jarang
ditemukan adalah defisiensi 11 beta hidroksilase dan 17 alfahidroksilase.
Defisiensi 11 beta hidroksilase
Pada laki-laki ditandai dengan hipertensi, pubertas prekok, dan gejala hipokalemia,
pada anak perempuan diemukan hipertensi, hipokalemia, pseudohermaproditisme.
Defisiensi 17 alfahidroksilase.pertensi, hipokalemia
Pembentukan kortisol berkurang, sintesis ACTH meningkat. Peningkatan sintesis
ACTH merangsang peningkatan pembentukan deoksikortikosteron. Gejala yang ditemukan
pada anak wanita adalah hipertensi, hipokalemia, hipoplasia kelenjar susu, amenorea, rambut
di daerah aksiler dan pubis berkurang. Pada anak laki-laki ditemukan hiperetensi,
hipokalemia dan pseudohermafroditisme. Diagnosis diperkuat dengan adanya peningkatan
kadar ACTH, deoksikortikosteron dan rendahnya kadar kortisol dalm plasma.
Hiperaldosteronism primer
untuk
dosis tinggi pada sindrom nefrotik atau asma bronkial. Gangguan ini ditandai dengan gejala
hipertensi, obesitas, moon face, buffalo hump, strie, pertumbuhan rambut yang berlebihan,
kelemahan otot, osteoporosis dan diabetes mellitus.
Preeklampsia-eklampsia
Hipertensi kronik
Hipertensi gestasional
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di
hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan
volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar
tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan
dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon
steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,
aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari
tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan
volume dan tekanan darah (Gray, et al. 2005).
3) Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan dilatasi
arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam pempertahankan
tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem
renin-angiotensin bersama sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan
beberapa hormon (Gray, et al. 2005).
4) Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam pengontrolan
pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida
nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi
primer. Secara klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan
produksi dari oksida nitrit (Gray, et al. 2005).
5) Substansi vasoaktif
Banyak
sistem
vasoaktif
yang
mempengaruhi
transpor
natrium
dalam
peptide merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan
volum darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya
dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi (Gray, et al. 2005).
6) Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding pembuluh
darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium), ketidaknormalan faktor
homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan
hiperkoagulasi yang semakin lama akan semakin parah dan merusak organ target. Beberapa
keadaan dapat dicegah dengan pemberian obat anti-hipertensi (Gray, et al. 2005).
7) Disfungsi diastolik
Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika terjadi
tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan input ventrikel, terutama
pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan
tekanan ventrikel (Gray, et al. 2005).
1.4. Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium untuk evaluasi diagnostik hipertensi sekunder:
A. Pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit ginjal
- Urinalisis, biakan urin
- Kimia darah (kolesterol, albumin, globulin, asam urat, ureum, kreatinin)
- Klirens kreatinin dan ureum
- Darah lengkap
- Pielografi intravena (bila skanning ginjal dan USG tak tersedia)
B. Pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit endokrin
- Elektrolit serum
- Aktivitas rennin plasma dan aldosteron
- Katekolamin plasma
- Katekolamin urin dan metaboliknya dalam urin
- Aldosteron dan metabolit steroid dalam urin
C. Evaluasi akibat hipertensi terhadap organ target
EKG, foto roentgen dada, dan ekokardiografi
Pemeriksaan lanjutan bila pada pemeriksaan awal didapatkan kelainan, dan jenis
pemeriksaan yang dilakukan disesuaikan dengan kelainan yang didapat.
-
hubungan antara obesitas dengan hipertensi. Mengukur tekanan darah ekstremitas atas dan
bawah untuk menyingkirkan kemungkian koartasio aorta. Pemerikssaan retina diperlukan
untuk melihat efek dari hipertensi. Namun pada umumnya anak dengan hipertensi
menunjukan pemeriksaan fisik yang normal.
1.5. Penatalaksanaan Hipertensi Sekunder
1.5.1. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Penyakit Ginjal
Berdasarkan patogenesis terjadinya hipertensi pada penyakit ginjal, maka pengobatan
sebaiknya disesuaikan pada masing-masing kelompok. Pengobatan hipertensi pada kelompok
penyakit glomerulus akut, diberikan diuretik yang berperan sekaligus untuk mengurangi
edema yang terjadi pada kelompok ini. Pengurangan cairan dengan dialisis dapat juga
menurunkan tekanan darah. Pemberian ACEI atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) juga
dimungkinkan, stimulasi terhadap sistem renin angiotensin aldosteron jaringan (tissue-ACE)
dapat terjadi bila ada lesi pada ginjal.
ACEI atau ARB merupakan obat pilihan pengobatan hipertensi pada kelainan
vaskular ginjal oleh karena iskemi yang terjadi akan merangsang system-RAA. Pada gagal
ginjal kronis, pemberian diuretik atau ACEI/ARB atau Calcium Channel Blocker (CCB) atau
Beta Blocker dimungkinkan untuk pengobatan hipertensi secara sendiri-sendiri atau
kombinasi. Komplikasi terjadinya hiperkalemi pada pemberian ACEI atau Beta Blocker atau
penurunan fungsi ginjal pada pemberian ACEI harus menjadi perhatian. Bila terjadi
hiperkalemi atau penurunan fungsi ginjal lebih dari 30%, pemberian obat ini harus
dihentikan. Sesuai anjuran dari The Seventh Report of the Joint National Commitee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) tahun
2003, tekanan darah sasaran pada gagal ginjal kronik adalah 130/80 mmHg untuk menahan
progresi penurunan fungsi ginjal, maka tekanan darah diusahakan diturunkan untuk mencapai
sasaran dengan kombinasi obat-obat di atas.
Pengobatan hipertensi pada penyakit glomerulus kronik dapat diperlakukan sebagai
pengobatan hipertensi pada penyakit glomerulus akut. Pada glomerulonefritis kronik dapat
ditemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri walaupun tekanan darah masih dalam rentang
normal, sehingga pemberian ACEI atau ARB dapat dipakai.
1.5.2 Penatalaksanaan Hipertensi Renovaskular
Tujuan penatalaksanaan HRV adalah mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
akibat peningkatan tekanan darah dan iskemi ginjal, melalui pemberian obat antihipertensi,
revaskularisasi dengan angioplasti atau operasi. Pilihan pengobatan yang akan diambil harus
mempertimbangkan etiologi dari stenosis arteri renalis, dan keadaan umum pasien.
Pada HRV akibat penyakit renovaskular aterosklerotik, hipertensi esensial biasanya
sudah didiagnosis sebelum diagnosis HRV dan umumnya pasien sudah mendapat pengobatan
antihipertensi sebelum perburukan dari kontrol tekanan darahnya atau fungsi ginjalnya, yang
menjurus kepada suatu HRV. Pada penelitian the Dutch Renal Artery Stenosis Intervention
Cooperative study, pengobatan medikamentosa dengan 3 atau lebih jenis obat antihipertensi
dapat mengontrol tekanan darah pada lebih dari separuh pasien.
Pada pasien dengan fibromuskular displasia, tindakan revaskularisasi dapat
merupakan pengobatan definitif dalam menurunkan tekanan darah. Berbeda dengan pasien
HRV akibat displasia fibromuskular, pasien dengan penyakit renovaskular aterosklerotik
biasanya tetap membutuhkan obat antihipertensi walaupun tindakan revaskularisasinya
berhasil.
Tindakan revaskularisasinya biasanya kurang memberikan hasil yang memuaskan
pada pasienHRV yang berusia lanjut, HRVdengan insufisiensi ginjal lanjut (kreatinin serum
lebih dari 3 mg%), bila penyebabnya penyakit renovaskular aterosklerotik atau bila ukuran
ginjal kurang dari 9 cm pada pemeriksaan radiografi atau ultrasonografi.
lebih ringan
daripada spironolakton sehingga dapat diberikan dalam jangka panjang, walaupun harganya
relatif mahal.
Bila pasien tidak toleran dengan spironolaktan, dapat diberikan amiloride hingga
dosis 15 mg dua kali sehari. Amiloride hanya dipakai untuk menormalkan kadar kalium dan
tidak dapat menurunkan tekanan darah oleh karena itu perlu ditambahkan obat antihipertensi
lain. Perlu diperhatikan bahwa pada terapi ini kadar aldosteron dalam darah tetapi tinggi dan
dalam jangka panjang dikhawatirkan hal ini dapat menimbulkan gangguan pada jantung.
1.5.6. Penatalaksanaan Hipertensi Akibat Feokromositoma
Terapi utama pada kondisi ini adalah tindakan operasi. Persiapan sebelum operasi
yang perlu dilakukan adalah mengontrol tekanan darah menggunakan dan -blocker.
Operasi dapat dilakukan secara konvensional ataupun laparaskopi. Pasca operasi dapat terjadi
hipotensi dan hipoglikemia. Umumnya terjadi penurunan tensi pasca operasi, namun pada
beberapa kasus tensi tetap tinggi sehingga perlu obat anti hipertensi. Follow-up harus
dilakukan sepanjang hidup karena tumor sisa sering menimbulkan gejala klinis. Untuk jenis
yang malignan, perlu reseksi yang agresif. Gejala perlu dikontrol dengan dan -blocker
dan radiasi dilakukan untuk metastase ke tulang. Kemoterapi dengan siklosfosfamid,
vinkristin dan dakarlazin perlu dipertimbangkan bila pembedahan tidak bisa dilakukan.
Operasi tumor adalah pilihan terapi dan tingkat kesembuhan mencapai 90%.
1.5.7. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Kehamilan
Penatalaksanaan
hipertensi
pada
kehamilan
dapat
dilakukan
dengn
terapi
Terapi Non-farmakologis
Pada preeklampsia, hipertensi kembali menjadi normal setelah melahirkan. Akan
tetapi bagi janin, kelahiran sebelum waktunya (preterm) tidak menguntungkan. Untuk itu
walaupun berisiko, penatalaksanaan konservatif dipilih, menunggu agar janin dapat
dilahirkan dalam keadaan yang lebih baik.
Pada kisaran tekanan darah sistolik 140-160 atau diastolik 90-99 mmHg dapat
dilakukan pengobatan non farmakologik. Perawatan singkat dilakukan untuk diagnosis dan
menyingkirkan kemungkinan preeklampsia. Penanganan tergantung pada keadaan klinik,
beratnya hipertensi, umur kehamilan dan risiko ibu serta janinnya. Dapat berupa pengawasan
yang ketat, pembatasan aktivitas fisik, tirah baring miring ke kiri. Dalam keadaan ini
dianjurkan diet normal tanpa pembatasan garam.
Terapi Farmakologis
Pada hipertensi kronik yang hamil dengan tekanan darah yang tinggi, pengobatan
sebelumnya dianjurkan untuk diteruskan. Akan tetapi pada tekanan darah yang tidak begitu
tinggi, harus hati-hati, bila perlu, dilakukan pengurangan dosis. Tekanan darah yang terlalu
rendah berisiko mengurangi perfusi utero-plasenta yang dapat mengganggu perkembangan
janin. Bukti penelitian manfaat pengobatan hipertensi ringan pada kehamilan masih belum
meyakinkan karena jumlah kasus penelitian yang masih sedikit sehingga tak cukup
memperlihatkan manfaat penurunan angka komplikasi obstetrik.
Tekanan darah lebih dari 170 atau diastolik lebih dari 110 mmHg pada perempuan
hamil harus dianggap kedaruratan medis dan dianjurkan dirawat di rumah sakit. Pada
keadaan ini tekanan darah harus diturunkan sesegera mungkin. Banyak yang tidak
memberikan obat sampai batas tekanan darah diastolik >105 110 mmHg diastolik atau 160
mmHg sistolik, batas sering terjadinya komplikasi pendarahan otak. Walaupun pada beberapa
keadaan batasan ini tidak begitu tepat, mengingat tekanan diastolik sebelumnya kurang dari
75 mmHg.
Pada hipertensi gestasional (tanpa proteinuria) batas pemberian pengobatan umumnya
adalah di atas 140 mmHg sistolik atau 80 mmHg diastolik. Pada yang dengan hipertensi
dengan proteinuria atau terdapat keluhan atau dengan tanda kerusakan organ target (pada
hipertensi kronik) pemberian obat dapat diberikan untuk mencapai tekanan darah yang
normal.
Obat antihipertensi yang dapat atau tidak boleh dipakai dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 3. Obat anti hipertensi pada kehamilan
Agonis alfa sentral
Penghambat beta
Antagonis kalsium
Inhibitor
ACE
antagonis angiotensin
atau abnormalitas
Diuretik
Tidak
direkomendasikan
pada
preeklampsia
Vasodilator
1.6. Kesimpulan
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya sudah jelas, sehingga terapi
pada keadaan ini langsung ditujukan pada penyebab terjadinya hipertensi tersebut.
Setidaknya ada 5 jenis hipertensi sekunder yaitu hipertensi akibat penyakit ginjal, hipertensi
renovaskular,
hipertensi
akibat
hiperaldosteronisme
primer,
hipertensi
akibat
(CCB) atau Beta Blocker dimungkinkan untuk pengobatan hipertensi secara sendiri-sendiri
atau kombinasi.
Pada hipertensi renovaskular, pengobatan medikamentosa tidak berbeda dengan
hipertensi esensial. Pada lesi fibromuskular, dapat dilakukan angiplasti perkutan dengan
keberhasilan
mencapai
85-100%.
Disamping
itu
dapat
juga
dilakukan
tindakan
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.Hipertensi.Primer.http://www.scribd.com/doc/3498615/HIPERTENSI
PRIMER?autodown=doc
Bangun.
A.P. 2002.
Terapi
Jus
dan
Ramuan
Tradisional
untuk
Hipertensi.
Tanggerang:PT.AgromediaPustaka(online),(http:/www.ekuator.com/index .p?
see=katalog&topik=25-169k,
Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI: 2001.
Dalam
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari Sampai Desember 2005, Skripsi,
FK UNRI, 2007, hal 41-42.
Rani, Aziz, dkk. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI;
2006
Salim, Edi Mart dkk. Standar Profesi Ilmu Penyakit Dalam, Palembang: Lembaga Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI;2002:42
Seventh Report of Joint National Committee on Prevention, Detection,
Treatment of High Blood Pressure. Available at:
Evaluation,
and
http://www.hypertensionaha.org
Associated
Albania:
Journal