Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN REFRAT

HIPERTENSI SEKUNDER

HIPERTENSI SEKUNDER

1.1.

Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi

diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%).
Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah
tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan lain (Bakri, 2008).
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifik
diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta,
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain lain (Schrier, 2000).
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan
darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat
1 dan derajat 2 seperti yang terlihat pada tabel 1 dibawah (Gray, et al. 2005).
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi Tekanan Darah

Normal
Prahipertensi
Hipertensi Grade 1
Hipertensi Grade 2

Tekanan Darah Sistolik


(mmHg)
<120
120-139
140-159
160

1.2. Beberapa Jenis Hipertensi Sekunder


1.2.1 Hipertensi Pada Penyakit Ginjal

Tekanan Darah Diastolik


(mmHg)
<80
80-89
90-99
100

Kelainan ginjal dibagi menjadi kelainan perenkim ginjal dan sisanya karena penyakit
pembuluh darah ginjal (renovaskuler). Hampir 80% penyebab hipertensi sekunder pada anak
adalah penyakit parenkim ginjal . Hipertensi karena penyakit parenkim ginjal umumnya
bersifat kronik, misalnya pada glomerulonefritis kronik, pielonefritis kronik, nefropati
membranosa, kelainan kongenital misalnya ginjal polikistik, ginjal displasia. Pada Penyakit
pembuluh darah ginjal bayi atau anak kecil dengan hipertensi renovaskuler pada umumya
tidak menunjukan gejala klinis yang khas. Gejala yang lazim ditemukan adalah retardasi
pertumbuhan, anoreksia, iritabel, muntah, kejang atau dekompensasi jantung. Pada anak yang
besar gejala dapat asimptomatis atau simptomatis dengan ensefalofati hipertensif berat.
Diagnosis ke arah hipertensi renovaskuler ditegakan setelah dilakukan pemeriksaan
penunjang termasuk angiografi, bila evaluasi telah lengkap dapat dilakukan tindakan
pembedahan dan diharapkan tekanan darah kembali normal.
Penyakit ginjal dapat menaikkan tekanan darah dan sebaliknya hipertensi dalam
jangka waktu lama dapat mengganggu ginjal. Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal
tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi. Makin tinggi
tekanan darah, maka makin berat komplikasi yang dapat ditimbulkan. Hipertensi pada
penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun penyakit ginjal kronik baik
pada kelainan glomerolus maupun pada kelainan vaskular.
Penyakit glomerolus akut
Hipertensi terjadi oleh karena adanya retensi natrium yang menyebabkan hipervolemi.
Retensi natrium terjadi akibat adanya peningkatan reabsorbsi natrium di duktus
koligentes. Peningkatan ini mungkin terjadi karena adanya resistensi relatif terhadap
hormon natriuretik peptida dan peningkatan aktifitas pompa Na-K-ATPase di duktus
koligentes.
Penyakit vaskular
Pada keadaan ini, terjadi iskemi pada pembuluh darah renal yang klemudian merangsang
sistem renin angiotensin aldosteron sehingga tekanan darah dapat meningkat.
Gagal ginjal kronik
Pada keadaan ini, hipertensi umumnya terjadi karena retensi natrium, peningkatan sistem
RAA akibat iskemia relatif terhadap kerusakan regional, aktifitas saraf simpatis yang

meningkat karena kerusakan ginjal, hiperparatiroid sekunder, dan akibat pemberian


eritropoetin.

Beberapa Patogenesis pada penyakit ginjal yang dapat meneybabakan hipertensi,


diantaranya:
1. Hipervolemia
Hipervolemia timbul sebagai akibat retensi air dan natrium, efek ekses
mineralokortikoid terhadap peningkatan reabsorpsi natrium dan air di tubulus distal,
pemberian infus larutan garam fisiologik, koloid dan tranfusi darah yang berlebihan
pada anak dengan laju filtrasi glomerulus yang buruk. Hipervolemia menyebabkan
curah jantung meningkat dan mengakibatkan timbulnya hipertensi. Hipertensi oleh
karena mekanisme hipervolemia lebih sering terjadi pada penyakit parenkim ginjal
bilateral seperti glmerulonefritis akut paska streptokok, glomerulonefritis kronik, atau
gagal ginjal kronik.
2. Gangguan Sistem Renin Angiotensin dan Aldosteron
Sistem renin angiotensin aldosteron merupakan salah satu pengatur utama
tekanan darah. Renin merupakan enzim yang disintesis, disimpan dan disekresi ke
dalam aliran darah oleh sel aparat yuksta glomerular. Peradangan, penekanan jaringan
parenkim ginjal oleh tumor, abses dan parut pielonefritik menyebabkan aliran darah
intra renal dan laju filtrasi glomerulus turun. Hal ini menimbulkan rangsangan
terhadap sel aparat yuksta glomerular untuk meningkatkan sintesis dan sekresi renin
ke dalam aliran darah.
Renin bekerja pada subtrat renin yaitu angiotensinogen globulin yang dibentuk
da dalam hati dan diubah menjadi angiotensin I kemudian diubah menjadi angiotensin
II oleh enzim konvertase. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi yang
menyebabkan tahanan perifer meningkat dan meningkatkan sekresi aldosteron dan
menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium dan air disertai meningkatnya eksresi
kalium. Keadaan ini menyebabkan tejadinya hipervolemia, curah jantung meningkat
dan terjadi hipertensi. Penyakit ginjal yang berkaitan dengan sistem renin angiotensin

aldosteron adalah stenosis areteri renalis dan penyakit parenkim ginjal unilateral yaitu
hipoplasia ginjal segmental, pielonefritis kronik dengan atau tanpa uropati obstruktif
unilateral, hematoma subscapular unilateral.

3. Berkurangnya zat vasodilator


Zat vasodilator seperti prostaglandin A2, kinin dan bradikinin dihasilkan oleh
medula ginjal. Berkurangnya pembentukan dan sekresi zat-zat tersebut berperan pada
timbulnya hipertensi renal. Penyakit pembuluh darah ginjal memberikan gejala klinis
tidak khas, diagnosa ditegakan dengan bantuan pemeriksaan angiografi.
1.2.2. Hipertensi Renovaskular
Hipertensi renovaskular merupakan penyebab tersering dari hipertensi
sekunder. Diagnosis terhadap keadaan ini penting karena kelainan ini potensial untuk
disembuhkan dengan menghilangkan stenosis arteri renalis. Stenosis arteri renalis merupakan
keadaan terdapatnya lesi obstruktif secara anatomik pada arteri renalis, sedangkan HRV
adalah hipertensi yang terjadi akibat fisiologis adanya stenosis tersebut.
Setidaknya ada 3 penyebab terjadinya hipertensi renovaskular ini antara lain:
Lesi aterosklerotik arteri renalis
Merupakan penyebab tersering, mencapai 90% kasus dan biasanya terjadi pada usia lanjut
dan sering pada riwayat keluarga hipertensi. Lesi biasanya bilateral pada daerah ostium
serta pada 1/3 bagian proksimal arteri renalis.
Displasia fibromuskular
Merupakan penyebab terbanyak kedua, lebih sering ditemukan pada perempuan muda
dekade ketiga dan keempat. Biasanya tidak mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarga
dan umumnya belum mempunyai kelainan organ target. Pada 2/3 kasus terjadi bilateral
pada 2/3 bagian distal arteri renalis atau cabang intrarenal.
Penyebab-penyebab lain
Penyebab-penyebab lain yang mungkin seperti arteritis takayasu, neurofibromatosis,
aneurisma aorta disekans, fistula arteri-vena renalis, arteritis radiasi, dan emboli.

Patofisiologi terjadinya HRV ini terjadi pada dua fase yaitu fase akut dan kronik yaitu
sebagai berikut:
Fase akut
Terjadinya konstriksi pada arteri renalis akan menungkatkan tekanan darah dan juga
peningkatan renin dan aldosteron. Pemberian ACEI atau ARB dapat mencegah
peningkatan tekanan darah ini. Ini membuktikan bahwa peningkatan tekanan darah ini
akibat hiperreninemia.
Fase kronik
Untuk mendiagnosis HRV diperlukan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan
aktivitas renin plasma perifer basal, pemeriksaan renin vena renalis, serta pemeriksaan
radiologi seperti renogram atau arterigrafi. Arteriografi dianggap sebagai gold standard
dalam untuk diagnosis stenosis arteri renalis.
Tabel 2. Jenis penyakit renovaskuler pada anak.
Penyakit arteri renalis intrinsik (intrarenal)
Stenosis segmental, hipoplasia segmental
Aneurisma
Vaskulitis
Penyakit arteri ginjal intrinsik (perubahan hillus)
Lesi fibromuskular
Neurofibromatosis
Arteritis
Defek kongenital kombinasi
Stenosis arteri pasca transplantasi ginjal
Lesi arteri renalis ekstrinsik
Iatrogenik

1.2.3. Gangguan endokrin


a. Feokromasitoma
0,5% hipertensi sekunder disebabakan oleh feokromasitoma.

Feokromasitoma

merupakan neoplasma yang berasal dari sel kromafin terutama di bagian medula kelenjar
adrenal. Kromafin merupakan tempat untuk mensintesis, menyimpan dan mensekresi hormon
katekolamin yang berfungsi untuk neurotransmiter alfa adrenergik. Peningkatan sintesis dan
sekresi katekolamin menyebabkan hipertensi sekunder pada feokromasitoma. Manifestasi
klinis dari feokromasitoma adalah hipertensi paroksisimal atau intermiten, palpitasai,
takikardi, pucat, flushing, sakit kepala, keringat berlebih, berat badan turun, poliuri dan
polidipsi. Diagnosis ditegakan dengan pemeriksaan kadar katekolamin dalam darah dan
metabolitnya (vanilyl mandeic acid = VMA) dalam urin.
Feokromositoma berarti warna coklat, merupakan salah stau bentuk hipertensi
endokrin, sebagian besar tumor ini tumbuh di dalam kelenjar adrenal, hanya 10% yang
tumbuh diluar kelenjar adrenal (paraganglioma). Umumnya bersifat jinak dan hanya 10%
yang metastasis ke paru, hati dan kelenjar getah bening. Tumor ini dapat mensekresi
bermacam hormon seperti morefinefrin, efinefrin dan dopamin.
Manifestasi klinis berhubungan dengan overproduksi katekolamin seperti sakit
kepala, berkeringat, dan berdebar-debar yang dikenal sebagai trias. Kadang-kadang juga
terdapat hipertensi dan diabetes. Beberapa tanda klinis untuk mencurigai feokromositoma
antara lain:
1

Hiperetensi menetap atau yang paroksismal disertai sakit kepala, berkeringat dan
berdebar.

Hipertensi dan riwayat feokromositoma dalam keluarga

Hipertensi refrakter disertai berat badan menurun

Sinus takikardi

Hipertensi ortostatik

Aritmia rekuren

Krisis hipertensi yang terjadi selama pembedahan anestesi


Diagnosis biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium seperti adanya

peningkatan kadar katekolamin 5-10 kali normal. Selain itu perlu dilakukan tes klonidin
dimana akan terjadi penekanan kadar norefinefrin. Ada juga tes provokasi yaitu tes regitin
(fentolamin), dan tes stimulasi glukagon. Tes regitin berdasarkan dugaan kelebihan
katekolamin, sebaliknya tes glukagon berdasarkan stimulasi glukagon. Apabila ditemukan
kadar laboratorium yang positif, maka perlu dicari lokasi tumor dengan menggunakan CTScan.
b. Neuroblastoma dan ganglioneuroma
Kedua jenis tumor ini mensekresi katekolamin dalam jumlah yang besar ke dalam
aliran darah sehingga menyebabkan hipertensi.
c. Sindrom adrenogenital
Penyakit endokrin yang menyebabkan hipertensi sekunder dan sangat jarang
ditemukan adalah defisiensi 11 beta hidroksilase dan 17 alfahidroksilase.
Defisiensi 11 beta hidroksilase
Pada laki-laki ditandai dengan hipertensi, pubertas prekok, dan gejala hipokalemia,
pada anak perempuan diemukan hipertensi, hipokalemia, pseudohermaproditisme.
Defisiensi 17 alfahidroksilase.pertensi, hipokalemia
Pembentukan kortisol berkurang, sintesis ACTH meningkat. Peningkatan sintesis
ACTH merangsang peningkatan pembentukan deoksikortikosteron. Gejala yang ditemukan
pada anak wanita adalah hipertensi, hipokalemia, hipoplasia kelenjar susu, amenorea, rambut
di daerah aksiler dan pubis berkurang. Pada anak laki-laki ditemukan hiperetensi,
hipokalemia dan pseudohermafroditisme. Diagnosis diperkuat dengan adanya peningkatan
kadar ACTH, deoksikortikosteron dan rendahnya kadar kortisol dalm plasma.
Hiperaldosteronism primer

Hiperaldosteronism primer didefinisikan sebagai produksi yang berlebih dari


aldosteron independen dari regulasi sistem reninn angiotensin. Jarang ditemukan, disebabkan
oleh hiperplasia, adenoma, karsinoma kelenjar adrenal. Hipertensi diakibatkan oleh retensi air
dan garam oleh pengaruh ekses aldosteron.

Gejala klinik berupa anak tampak lemah,

poliuria, polidipsi, aritmia, tetani. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hipokalemia,


alkalosis, peningkatan kadar aldosteron dalam plasma dan urin.
Hiperaldosteronisme primer adalah sindrom yang disebabkan oleh hipersekresi
aldosteron dari kelenjar korteks adrenal yang tak terkendali. Keadaan ini dikenal dengan trias
terdiri dari hipertensi, hipokalemi dan alkalosis metabolik sehingga umumnya gejala yang
timbul adalah rasa lemas pada pasien dan tekanan darah tinggi yang biasanya sukar
dikendalikan. Sindrom ini disebabkan oleh hiperplasi kelenjar korteks adrenal, adenoma
unilateral atau karsinoma adrenal.
Sel kelenjar adrenal yang mengalami hiperplasia atau adenoma akan menghasilkan
kelenjar aldosteron yang berlebihan yang akan merangsang penambahan jumlah saluran
natrium pada membran lumen duktus kolektivus kortek ginjal. Akibat penambahan ini,
reabsorbsi natrium akan mengalami peningkatan yang juga akan membawa air sehingga
tubuh cenderung menjadi hipervolemia. Sejalan dengan keadaan ini, lumen duktus kolektivus
menjadi lebih bermuatan negatif yang mengakibatkan keluarnya ion kaliumk dari sel duktus
kolektivus masuk ke dalam lumen tubuli melalui saluran kalium sehingga terjadi peningkatan
ekskresi kalium di urin. Hipokalemi ini akan merangsang peningkatan eksresi ion H di
tubulus proksimal melalui pompa NH3+, sehingga rearbsorbsi bikarbonat meningkat di
tubulus proksimal sehingga terjadi alkalosis metabolik.
Untuk menegakkan diagnosis, dilakukan pemeriksaan serum aldosteron dan plasma
renin activity. Rasio antara kadar aldosteron dalam plasma dengan kadar renin dalam plasma
(aldosterone renin ratio=ARR) memiliki nilai diagnostik yang bermakna

untuk

hiperaldosteronisme bila ARR>100. Diagnostik lain yaitu dengan terdapatnya peningkatan


ekskresi kalium dalam urin 24 jam (>30 meq/L). Pemeriksaan lain adalah analisis gas darah
yang menunjukkan gambara alkalosis metabolik.
d. Sindrom cushing
Ganguan endokrin karena peningkatan produksi dan sekresi glukokortikoid adrenal
secara berlebih. Hal ini disebabkan oleh neoplasma adrenal atau pengobatan kortikosteroid

dosis tinggi pada sindrom nefrotik atau asma bronkial. Gangguan ini ditandai dengan gejala
hipertensi, obesitas, moon face, buffalo hump, strie, pertumbuhan rambut yang berlebihan,
kelemahan otot, osteoporosis dan diabetes mellitus.

1.2.4. Hipertensi Pada Kehamilan


Hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab utama meningkatnya morbiditas dan
mortalitas ibu, janin dan neonatus. Perempuan hamil dengan hipertensi mempunyai resiko
yang tinggi untuk komplikasi yang berat seperti gagal organ, penyakit serebrovaskular,
koagulasi intravaskular, ruptur plasenta dan lain-lain.
Pada dasranya terdapat 4 jenis hipertensi dalam kehamilan yaitu:
1

Preeklampsia-eklampsia

Hipertensi kronik

Preeklampsia pada hipertensi kronik

Hipertensi gestasional

1.2.5. Penyakit kardiovaskuler


Penyakit kardiovaskuler yang menyebabkan hipertensi sekunder adalah koartasio
aorta. Anak dengan koartasio aorta umumnya tidak memperlihatkan gejala selama dekade
pertama kehidupan, gejala ditemukan lazimnya disebabkan oleh hipertensi dan fungsi
miokard yang menurun dan atau aliran darah yang berkurang pada ekstremitas bagian bawah.
Diagnosis koartasio aorta dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik yang ditunjukan dengan
tekanan darah lengan atas lebih tinggi dari tekanan darah tungkai, denyut nadai perifer ( arteri
femoralis, tibialis dan dorsum pedis ) melemah atau sulit teraba.
1.2.6. Gangguan Neurologik
Tumor, infeksi, trauma yang menyebabkan peningkatan tekanan tinggi intrakranial
dapat menyebabkan hipertensi. Patogenesis diduga karena peningkatan rangsang patologik
terhadap sistem saraf pusat.
1.3. Patofisiologi Hipertensi Secara Umum

Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan


darah yang mempengaruhi rumus dasar:
Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer. (Yogiantoro, 2006).

Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi esensial


antara lain :
1) Curah jantung dan tahanan perifer
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh terhadap
kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial curah jantung
biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah ditentukan oleh
konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot
halus akan berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan
konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah
arteriol yang mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan
perifer yang irreversible (Gray, et al. 2005).
2) Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan ekstraseluler dan
sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem endokrin yang penting dalam
pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai
respon glomerulus underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem
saraf simpatetik (Gray, et al. 2005).
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan
fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang
diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi
angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II
berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui
dua jalur, yaitu:

a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di
hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan
volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar
tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan
dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon
steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,
aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari
tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan
volume dan tekanan darah (Gray, et al. 2005).
3) Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan dilatasi
arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam pempertahankan
tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem
renin-angiotensin bersama sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan
beberapa hormon (Gray, et al. 2005).
4) Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam pengontrolan
pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida
nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi
primer. Secara klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan
produksi dari oksida nitrit (Gray, et al. 2005).
5) Substansi vasoaktif
Banyak

sistem

vasoaktif

yang

mempengaruhi

transpor

natrium

dalam

mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan vasodilator


yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin dapat meningkatkan sensitifitas garam
pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic

peptide merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan
volum darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya
dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi (Gray, et al. 2005).

6) Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding pembuluh
darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium), ketidaknormalan faktor
homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan
hiperkoagulasi yang semakin lama akan semakin parah dan merusak organ target. Beberapa
keadaan dapat dicegah dengan pemberian obat anti-hipertensi (Gray, et al. 2005).
7) Disfungsi diastolik
Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika terjadi
tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan input ventrikel, terutama
pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan
tekanan ventrikel (Gray, et al. 2005).
1.4. Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium untuk evaluasi diagnostik hipertensi sekunder:
A. Pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit ginjal
- Urinalisis, biakan urin
- Kimia darah (kolesterol, albumin, globulin, asam urat, ureum, kreatinin)
- Klirens kreatinin dan ureum
- Darah lengkap
- Pielografi intravena (bila skanning ginjal dan USG tak tersedia)
B. Pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit endokrin
- Elektrolit serum
- Aktivitas rennin plasma dan aldosteron
- Katekolamin plasma
- Katekolamin urin dan metaboliknya dalam urin
- Aldosteron dan metabolit steroid dalam urin
C. Evaluasi akibat hipertensi terhadap organ target
EKG, foto roentgen dada, dan ekokardiografi

Pemeriksaan lanjutan bila pada pemeriksaan awal didapatkan kelainan, dan jenis
pemeriksaan yang dilakukan disesuaikan dengan kelainan yang didapat.
-

ASTO, komplemen (C3), kultur apus tenggorok/keropeng infeksi kulit


Sel LE, uji serologi untuk SLE
Miksio sistouretrografi (MSU)
Biopsi ginjal
CT ginjal
Tc 99m DTPA atau DMSA scan, Renografi
Arteriografi
Digital Subtraction Angiografi (DSA)
CT kelenjar adrenal atau abdomen
Scanning adrenal dengan I 131 meta-iodobenzilguanidin
Katekolamin vena cava
Analisis aldosteron dan elektrolit urin
Uji supresi dengan deksamethasone
Renin vena renalis
Pemeriksaan lain yang harus dilakukan adalah pengukuran BMI karena kuatnya

hubungan antara obesitas dengan hipertensi. Mengukur tekanan darah ekstremitas atas dan
bawah untuk menyingkirkan kemungkian koartasio aorta. Pemerikssaan retina diperlukan
untuk melihat efek dari hipertensi. Namun pada umumnya anak dengan hipertensi
menunjukan pemeriksaan fisik yang normal.
1.5. Penatalaksanaan Hipertensi Sekunder
1.5.1. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Penyakit Ginjal
Berdasarkan patogenesis terjadinya hipertensi pada penyakit ginjal, maka pengobatan
sebaiknya disesuaikan pada masing-masing kelompok. Pengobatan hipertensi pada kelompok
penyakit glomerulus akut, diberikan diuretik yang berperan sekaligus untuk mengurangi
edema yang terjadi pada kelompok ini. Pengurangan cairan dengan dialisis dapat juga
menurunkan tekanan darah. Pemberian ACEI atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) juga
dimungkinkan, stimulasi terhadap sistem renin angiotensin aldosteron jaringan (tissue-ACE)
dapat terjadi bila ada lesi pada ginjal.
ACEI atau ARB merupakan obat pilihan pengobatan hipertensi pada kelainan
vaskular ginjal oleh karena iskemi yang terjadi akan merangsang system-RAA. Pada gagal
ginjal kronis, pemberian diuretik atau ACEI/ARB atau Calcium Channel Blocker (CCB) atau
Beta Blocker dimungkinkan untuk pengobatan hipertensi secara sendiri-sendiri atau
kombinasi. Komplikasi terjadinya hiperkalemi pada pemberian ACEI atau Beta Blocker atau

penurunan fungsi ginjal pada pemberian ACEI harus menjadi perhatian. Bila terjadi
hiperkalemi atau penurunan fungsi ginjal lebih dari 30%, pemberian obat ini harus
dihentikan. Sesuai anjuran dari The Seventh Report of the Joint National Commitee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) tahun
2003, tekanan darah sasaran pada gagal ginjal kronik adalah 130/80 mmHg untuk menahan
progresi penurunan fungsi ginjal, maka tekanan darah diusahakan diturunkan untuk mencapai
sasaran dengan kombinasi obat-obat di atas.
Pengobatan hipertensi pada penyakit glomerulus kronik dapat diperlakukan sebagai
pengobatan hipertensi pada penyakit glomerulus akut. Pada glomerulonefritis kronik dapat
ditemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri walaupun tekanan darah masih dalam rentang
normal, sehingga pemberian ACEI atau ARB dapat dipakai.
1.5.2 Penatalaksanaan Hipertensi Renovaskular
Tujuan penatalaksanaan HRV adalah mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
akibat peningkatan tekanan darah dan iskemi ginjal, melalui pemberian obat antihipertensi,
revaskularisasi dengan angioplasti atau operasi. Pilihan pengobatan yang akan diambil harus
mempertimbangkan etiologi dari stenosis arteri renalis, dan keadaan umum pasien.
Pada HRV akibat penyakit renovaskular aterosklerotik, hipertensi esensial biasanya
sudah didiagnosis sebelum diagnosis HRV dan umumnya pasien sudah mendapat pengobatan
antihipertensi sebelum perburukan dari kontrol tekanan darahnya atau fungsi ginjalnya, yang
menjurus kepada suatu HRV. Pada penelitian the Dutch Renal Artery Stenosis Intervention
Cooperative study, pengobatan medikamentosa dengan 3 atau lebih jenis obat antihipertensi
dapat mengontrol tekanan darah pada lebih dari separuh pasien.
Pada pasien dengan fibromuskular displasia, tindakan revaskularisasi dapat
merupakan pengobatan definitif dalam menurunkan tekanan darah. Berbeda dengan pasien
HRV akibat displasia fibromuskular, pasien dengan penyakit renovaskular aterosklerotik
biasanya tetap membutuhkan obat antihipertensi walaupun tindakan revaskularisasinya
berhasil.
Tindakan revaskularisasinya biasanya kurang memberikan hasil yang memuaskan
pada pasienHRV yang berusia lanjut, HRVdengan insufisiensi ginjal lanjut (kreatinin serum
lebih dari 3 mg%), bila penyebabnya penyakit renovaskular aterosklerotik atau bila ukuran
ginjal kurang dari 9 cm pada pemeriksaan radiografi atau ultrasonografi.

Pengobatan medikamentosa tidak berbeda dengan hipertensi esensial. Perhatian


khusus harus diberikan bila memberikan ACEI atau ARB. Kedua obat ini merupakan pilihan
pada stenosis unilateral di mana ginjal kontralateral berfungsi baik; sebaliknya merupakan
kontraindikasi pada stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis unilateral pada pasien dengan
hanya satu ginjal (yang stenotik) yang berfungsi, oleh karena akan menyebabkan perburukan
fungsi ginjal, bahkan gagal ginjal akut. Umumnya dibutuhkan kombinasi beberapa macam
antihipertensi untuk mendapatkan kontrol yang optimal pada pasien HRV.
1.5.3. Angioplasti Perkutan
Pada lesi fibromuskular, keberhasilan teknik pengobatan ini mencapai 85-100%, di
mana 50% pasien dapat disembuhkan sedangkan 40% mengalami perbaikan kontrol tekanan
darah. Pada lesi aterosklerotik, keberhasilannya dalam menormalkan tekanan darah lebih
kurang dibandingkan pada lesi aterosklerosis; walaupun demikian pada sebagian pasien
terjadi perbaikan kontrol tekanan darah dan fungsi ginjal.
1.5.4. Revaskularisasi Dengan Tindakan Bedah
Berbagai teknik operasi revaskularisasi telah dipergunakan, tergantung letak, luas, dan
beratnya lesi pada arteri renalis. Untuk lesi ostial aterosklerotik dilakukan tindakan
aortorenal endareterectomy dan aortorenal bypass. Untuk lesi fibromuskular dilakukan graft
dari arteri hipogastrika. Dapat pula dilakukan aortorenal vein bypass graft pada lesi
aterosklerotik dan lesi fibromuskular. Kontrol tekanan darah lebih banyak didapatkan pada
lesi fibromuskular dari pada lesi aterosklerotik.
1.5.5. Penatalaksanaan Hipertensi Akibat Hiperaldosteronisme Primer
Tujuan terapi adalah menormalkan tekanan darah, serum kalium dan kadar serum
aldosteron. Pada hiperplasi kelenjar aldosteron hal ini dicapai dengan dengan pemberian obat
antagonis aldosteron. Pemberian spironolakton 12,5-25 mg biasanya sudah cukup efektif
mengendalikan tekanan darah dan menormalkan kadar kalium plasma. Sayangnya obat
spironolakton yang diberikan dalam jangka panjang mempunyai efek samping seperti
impotensi, ginekomastia, gangguan haid dan gangguan traktus gastrointestinal sehingga
pemberian jangka panjang spironolakton mempunyai banyak kendala. Saat ini ada obat baru
eplerenon dengan dosis 2 kali 25 mg perhari dengan efek samping yang

lebih ringan

daripada spironolakton sehingga dapat diberikan dalam jangka panjang, walaupun harganya
relatif mahal.

Bila pasien tidak toleran dengan spironolaktan, dapat diberikan amiloride hingga
dosis 15 mg dua kali sehari. Amiloride hanya dipakai untuk menormalkan kadar kalium dan
tidak dapat menurunkan tekanan darah oleh karena itu perlu ditambahkan obat antihipertensi
lain. Perlu diperhatikan bahwa pada terapi ini kadar aldosteron dalam darah tetapi tinggi dan
dalam jangka panjang dikhawatirkan hal ini dapat menimbulkan gangguan pada jantung.
1.5.6. Penatalaksanaan Hipertensi Akibat Feokromositoma
Terapi utama pada kondisi ini adalah tindakan operasi. Persiapan sebelum operasi
yang perlu dilakukan adalah mengontrol tekanan darah menggunakan dan -blocker.
Operasi dapat dilakukan secara konvensional ataupun laparaskopi. Pasca operasi dapat terjadi
hipotensi dan hipoglikemia. Umumnya terjadi penurunan tensi pasca operasi, namun pada
beberapa kasus tensi tetap tinggi sehingga perlu obat anti hipertensi. Follow-up harus
dilakukan sepanjang hidup karena tumor sisa sering menimbulkan gejala klinis. Untuk jenis
yang malignan, perlu reseksi yang agresif. Gejala perlu dikontrol dengan dan -blocker
dan radiasi dilakukan untuk metastase ke tulang. Kemoterapi dengan siklosfosfamid,
vinkristin dan dakarlazin perlu dipertimbangkan bila pembedahan tidak bisa dilakukan.
Operasi tumor adalah pilihan terapi dan tingkat kesembuhan mencapai 90%.
1.5.7. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Kehamilan
Penatalaksanaan

hipertensi

pada

kehamilan

dapat

dilakukan

dengn

terapi

nonfarmakologis dan intervensi farmakologis.


a

Terapi Non-farmakologis
Pada preeklampsia, hipertensi kembali menjadi normal setelah melahirkan. Akan

tetapi bagi janin, kelahiran sebelum waktunya (preterm) tidak menguntungkan. Untuk itu
walaupun berisiko, penatalaksanaan konservatif dipilih, menunggu agar janin dapat
dilahirkan dalam keadaan yang lebih baik.
Pada kisaran tekanan darah sistolik 140-160 atau diastolik 90-99 mmHg dapat
dilakukan pengobatan non farmakologik. Perawatan singkat dilakukan untuk diagnosis dan
menyingkirkan kemungkinan preeklampsia. Penanganan tergantung pada keadaan klinik,
beratnya hipertensi, umur kehamilan dan risiko ibu serta janinnya. Dapat berupa pengawasan
yang ketat, pembatasan aktivitas fisik, tirah baring miring ke kiri. Dalam keadaan ini
dianjurkan diet normal tanpa pembatasan garam.

Terapi Farmakologis
Pada hipertensi kronik yang hamil dengan tekanan darah yang tinggi, pengobatan

sebelumnya dianjurkan untuk diteruskan. Akan tetapi pada tekanan darah yang tidak begitu
tinggi, harus hati-hati, bila perlu, dilakukan pengurangan dosis. Tekanan darah yang terlalu
rendah berisiko mengurangi perfusi utero-plasenta yang dapat mengganggu perkembangan
janin. Bukti penelitian manfaat pengobatan hipertensi ringan pada kehamilan masih belum
meyakinkan karena jumlah kasus penelitian yang masih sedikit sehingga tak cukup
memperlihatkan manfaat penurunan angka komplikasi obstetrik.
Tekanan darah lebih dari 170 atau diastolik lebih dari 110 mmHg pada perempuan
hamil harus dianggap kedaruratan medis dan dianjurkan dirawat di rumah sakit. Pada
keadaan ini tekanan darah harus diturunkan sesegera mungkin. Banyak yang tidak
memberikan obat sampai batas tekanan darah diastolik >105 110 mmHg diastolik atau 160
mmHg sistolik, batas sering terjadinya komplikasi pendarahan otak. Walaupun pada beberapa
keadaan batasan ini tidak begitu tepat, mengingat tekanan diastolik sebelumnya kurang dari
75 mmHg.
Pada hipertensi gestasional (tanpa proteinuria) batas pemberian pengobatan umumnya
adalah di atas 140 mmHg sistolik atau 80 mmHg diastolik. Pada yang dengan hipertensi
dengan proteinuria atau terdapat keluhan atau dengan tanda kerusakan organ target (pada
hipertensi kronik) pemberian obat dapat diberikan untuk mencapai tekanan darah yang
normal.
Obat antihipertensi yang dapat atau tidak boleh dipakai dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 3. Obat anti hipertensi pada kehamilan
Agonis alfa sentral

Metildopa, obat pilihan

Penghambat beta

Atenolol dan metoprolol aman dan efektif pada


kehamilan trimester akhir

Penghambat alfa dan beta

Labetolol, efektif seperti metildopa, pada kegawatan


dapat diberi intravena

Antagonis kalsium

Nifedipine oral, isradipine i.v dapat dipakai pada


kedaruratan hipertensi

Inhibitor

ACE

dan Kontraindikasi, dapat mengakibatkan kematian janin

antagonis angiotensin

atau abnormalitas

Diuretik

Direkomendasikan apabila telah dipakai sebelum


kehamilan.

Tidak

direkomendasikan

pada

preeklampsia
Vasodilator

Hydralazine tidak dianjurkan lagi mengingat efek


perinatal

1.6. Kesimpulan
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya sudah jelas, sehingga terapi
pada keadaan ini langsung ditujukan pada penyebab terjadinya hipertensi tersebut.
Setidaknya ada 5 jenis hipertensi sekunder yaitu hipertensi akibat penyakit ginjal, hipertensi
renovaskular,

hipertensi

akibat

hiperaldosteronisme

primer,

hipertensi

akibat

feokromositoma, dan hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.


Penatalaksanaan pada hipertensi akibat penyakit ginjal sebaiknya disesuaikan pada
masing-masing kelompok. Pengobatan hipertensi pada kelompok penyakit glomerulus akut,
diberikan diuretik. Pada kelainan vaskular ginjal diberikan ACEI atau ARB. Sedangkan pada
gagal ginjal kronis, pemberian diuretik atau ACEI/ARB atau Calcium Channel Blocker

(CCB) atau Beta Blocker dimungkinkan untuk pengobatan hipertensi secara sendiri-sendiri
atau kombinasi.
Pada hipertensi renovaskular, pengobatan medikamentosa tidak berbeda dengan
hipertensi esensial. Pada lesi fibromuskular, dapat dilakukan angiplasti perkutan dengan
keberhasilan

mencapai

85-100%.

Disamping

itu

dapat

juga

dilakukan

tindakan

revaskularisasi dengan tindakan aortorenal endareterectomy dan aortorenal bypass.


Tujuan penatalaksanaan hipertensi akibat hiperaldosteronisme primer adalah
menormalkan tekanan darah, serum kalium dan kadar serum aldosteron. Pada hiperplasi
kelenjar aldosteron hal ini dicapai dengan dengan pemberian obat antagonis aldosteron.
Pemberian spironolakton 12,5-25 mg biasanya sudah cukup efektif mengendalikan tekanan
darah dan menormalkan kadar kalium plasma.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim.Hipertensi.Primer.http://www.scribd.com/doc/3498615/HIPERTENSI
PRIMER?autodown=doc
Bangun.

A.P. 2002.

Terapi

Jus

dan

Ramuan

Tradisional

untuk

Hipertensi.

Tanggerang:PT.AgromediaPustaka(online),(http:/www.ekuator.com/index .p?
see=katalog&topik=25-169k,
Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI: 2001.

Oktora R. Gambaran Penderita Hipertensi Yang Dirawat Inap di Bagian Penyakit

Dalam

RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari Sampai Desember 2005, Skripsi,
FK UNRI, 2007, hal 41-42.
Rani, Aziz, dkk. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI;

2006

Salim, Edi Mart dkk. Standar Profesi Ilmu Penyakit Dalam, Palembang: Lembaga Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI;2002:42
Seventh Report of Joint National Committee on Prevention, Detection,
Treatment of High Blood Pressure. Available at:

Evaluation,

and

http://www.hypertensionaha.org

Shapo L, Pomerleau J, McKee M. Epidemiology of Hypertension and


Cardiovascular Risk Factors in a Country in Transition.

Associated

Albania:

Journal

Epidemiology Community Health 2003;57:734739


Yogiantoro M. Hipertensi Esensial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: FK UI. 2006.
Yunis Tri, dkk. Blood Presure Survey Indonesia Norvask Epidemiology Study.
Medika Volume XXXIX 2003; 4: 234-8.

Anda mungkin juga menyukai