Anda di halaman 1dari 16

MANAJEMEN HIPERTENSI EMERGENSI

Jaya Mallidi, Srikanth Penumetsa dan Amir Lotfi *


Divisi Kardiologi, Baystate Medical Center, Amerika Serikat

Abstrak
Hipertensi merupakan masalah umum yang sering dihadapi dalam praktek klinis seharihari. Pasien dengan hipertensi tidak terkontrol mungkin datang ke ruang gawat darurat
dengan "hipertensi emergensi", di mana tekanan darah sangat tinggi (> 180/120 mmHg) yang
berhubungan dengan kerusakan pada organ, termasuk sistem saraf, kardiovaskular atau ginjal.
Kurangnya literatur tentang batas yang sesuai untuk menurunkan tekanan darah yang dipilih
dalam mengobati pasien, serta obat yang tepat untuk digunakan. Berdasarkan pendapat ahli
dan data anekdot, dianjurkan bahwa manajemen awal harus terfokus pada segera
mengidentifikasi kerusakan organ yang akan datang atau yang menetap dan menurunkan
tekanan darah sekitar 25% dalam 2 jam pertama, kecuali pada diseksi aorta dimana
penurunan tekanan darah dengan cepat dianjurkan. Tinjauan ini memberikan pendekatan
yang terfokus pada manajemen keadaan hipertensi emergensi.
Kata kunci: Hipertensi, Emergensi; Urgensi

Pengantar
Hipertensi merupakan masalah umum yang mempengaruhi 60-70 juta orang di Amerika
Serikat [1]. Dua pertiga pasien tidak menyadari bahwa mereka menderita hipertensi [2].
Sementara itu diketahui bahwa hipertensi yang tidak terkontrol merupakan faktor risiko
utama penyebab kematian akibat kardiovaskular dan serebrovaskular, peningkatan akut pada
tekanan darah juga dapat menyebabkan kerusakan organ akut. Sekitar 1-2% dari semua
pasien hipertensi datang ke ruang gawat darurat dengan hipertensi emergensi setidaknya
sekali dalam seumur hidup mereka [3]. Mengingat tingginya prevalensi hipertensi pada
masyarakat kita, keadaan hipertensi emergensi biasa ditemukan dalam praktek klinis seharihari [3]. Pengenalan, evaluasi dan pengobatan sangat penting dalam mencegah kerusakan
organ yang permanen. Tinjauan terbaru oleh Joint National Committee (JNC) on Prevention,
Detection, Evaluation and Treatment of High BloodPressure, tidak memberikan pedoman
tegas pada manajemen keadaan hipertensi emergensi [4].

Tinjauan artikel ini bertujuan untuk membahas tentang managemen pada keadaan
hipertensi emergensi didasarkan pada situasi klinis tertentu.

Definisi
JNC 7 mengklasifikasikan tekanan darah dalam kategori yang berbeda ( Tabel 1) [4].
Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai "tingginya peningkatan tekanan darah
(biasanya > 180/120 mmHg) dengan komplikasi akan atau terjadi disfungsi organ target
progresif melibatkan sistem neurologis, jantung atau sistem ginjal"[4]. Manifestasi klinis
umum dari kerusakan organ pada hipertensi emergensi termasuk Sindrom Koroner Akut
(ACS), dekompensasi akut gagal jantung, ensefalopati, perdarahan intraserebral dan gagal
ginjal akut. Manifestasi klinis umum dari kerusakan organ pada hipertensi emergensi yang
ditunjukkan pada Gambar 1.
Hipertensi urgensi adalah tingginya peningkatan tekanan darah yang akut (> 180/120
mmHg) tanpa bukti kerusakan organ. Istilah "krisis hipertensi" sering digunakan untuk
mencakup keadaan hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi.

Evaluasi Klinis Awal


Pasien dengan hipertensi emergensi biasanya datang dengan gejala baru terkait dengan
organ target yang terlibat. Anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan fisik harus dilakukan dan
strategi pengobatan yang tepat harus digunakan untuk mengatasi penyebab yang mendasar.

Riwayat
Semua pasien dengan hipertensi berat harus dicurigai terjadinya kerusakan organ target
akut.
Kategori

Tekanan darah sistolik


(mmHg)
< 120
120 139
140 159
160
>180

Tekanan darah diastolik


(mmHg)
Normal
< 80
Pre hipertensi
80 89
Hipertensi stadium I
90 99
Hipertensi stdium II
100
Hipertensi Emergensi
> 120 dan kerusakan
organ akhir
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa [4].
Riwayat hipertensi pasien, penggunaan obat saat ini, dosis terakhir obat antihipertensi
dan kepatuhan dalam pengobatan harus diperoleh. Riwayat penggunaan narkoba (amfetamin,
kokain, monoamine oxidase inhibitors atau phencyclidine) juga harus diselidiki. Adanya

usaha yang dilakukan untuk mengetahui tekanan darah yang biasanya untuk setiap pasien
baik di rumah atau dalam rawat jalan sebelum terjadinya krisis hipertensi. Penting untuk
dipahami bahwa beberapa pasien dengan hipertensi kronis selalu memiliki tekanan darah
tinggi. Bahkan, tekanan darah normal 120/80 mmHg, mungkin terlalu rendah bagi mereka.
Oleh karena itu, diagnosis hipertensi emergensi atau urgensi tidak dapat dibuat hanya
berdasarkan pada pengukuran tekanan darah saja, tetapi didasarkan pada peningkatan tekanan
darah akut dari baseline terkait dengan kerusakan organ.

Pemeriksaan
Tekanan darah harus dievaluasi pada kedua lengan dengan ukuran manset yang tepat.
Pemeriksaan fisik juga harus bertujuan untuk menentukan atau menjelaskan disfungsi target
organ. Fokus pemeriksaan nerologis untuk menilai perubahan status mental dan defisit
neurologis fokal juga harus dilakukan. Perubahan status mental dengan pemeriksaan
funduskopi yang menunjukkan adanya eksudat, perdarahan atau papiledema yang mengarah
pada ensefalopati hipertensi [5]. Pemeriksaan kardiovaskuler harus terfokus pada adanya
gallop (S3 dan S4) dan murmur patologis (seperti regurgitasi aorta). Pulsasi vena jugularis
yang meningkat dan ronki pada lapang paru menunjukkan adanya edema pulmonal dan
dekompensasi gagal jantung kongestif. Nadi distal harus dipalpasi pada semua ekstremitas,
dan nadi yang tidak sama seharusnya menimbulkan kecurigaan untuk terjadinya diseksi aorta.
Pemeriksaan laboratorium
Elektrokardiogram harus dilakukan untuk menilai hipertropi ventrikel kiri, aritmia,
iskemia akut atau infark. Urinalisis harus dilakukan untuk menilai hematuria dan proteinuria.
Profil basal metabolik termasuk nitrogen urea dan serum kreatinin darah penting untuk
menilai disfungsi ginjal. Biomarker jantung juga harus diperiksa jika dicurigai ACS.
Pemeriksaan radiografik
Pasien yang datang dengan perubahan status mental atau defisit neurologis fokal harus
melewati pemeriksaan Computed Tomography (CT) otak untuk menilai adanya perdarahan
atau infark. X ray dada sering dilakukan untuk menilai adanya edema pulmonal. Jika
dicurigai adanya diseksi aorta (berdasarkan riwayat nyeri dada, nadi yang tidak sama
dan/atau pelebaran mediastinum pada X ray dada), pencitraan aorta (CT angiogram/ magnetic
resonance imaging/ transesophageal echocardiogram) harus dilakukan sesegera mungkin.

Terapi awal
Literatur sebelumnya pada hipertensi emergensi atau urgensi tidak memberikan bukti
yang cukup berdasarkan tingkat kepentingan spesifik pada tekanan darah yang seharusnya
dicapai agar mengurangi mortalitas dan morbiditas [6]. Saat ini terdapat uji coba acak
terkontrol untuk menilai hasil klinis, membandingkan tingkatan berbeda dari kekuatan
tekanan darah di antara pasien yang datang dengan hipertensi emergensi.
Otoregulasi cerebral dari tekanan darah berubah pada keadaan hipertensi emergensi.
Karena itu, hal ini telah diterima bahwa reduksi cepat tekanan darah dapat mengakibatkan
penurunan perfusi cerebral melipatgandakan kerusakan organ akhir [6]. Oleh karena itu,
pengawasan hemodinamik arterial invasif pada perawatan intensif dilatarbelakangi dengan
rekomendasi penggunaan obat antihipertensi intravena kerja singkat yang dapat dititrasi pada
situasi seperti ini [6].
Panduan paraktik klinis berdasarkan JNC 7 menyarankan bahwa mean arterial blood
pressure (tekanan darah arterial rata-rata) harus dikurangi < 25% dalam 2 jam pertama dan
menjadi sekitar 160/100-110 mmHg setelah 6 jam berikutnya [4]. Diseksi aorta, merupakan
situasi klinis spesial dimana direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah menjadi
kurang dari 120 mmHg dalam 20 menit [4]. Pilihan untuk obat antihipertensi sering
berdasarkan disfungsi target organ, availabilitas, dan kemudahan pemakaian, kebiasaan suatu
institusi dan selera dari dokter itu sendiri [7].

Manajemen farmokologis
Terdapat beberapa obat untuk dipilih, dalam manajemen hipertensi emergensi. Tidak
ada satu obat pun yang telah dibuktikan lebih menguntungkan dibandingkan dengan yang
lainnya dalam keadaan klinis ini.
Beberapa obat yang umum digunakan sebagi berikut (Tabel 2):
Sodium nitroprusside: sodium nitroprusside merupakan vasodilator arteri dan vena
[8,9]. Obat ini mudah dititrasi dan efeknya reversibel. Bagaimanapun, obat ini menyebabkan
penurunan perfusi cerebral dengan meningkatkan tekanan intrakranial, dan harus secara hatihati digunakan ada ensefalopati hipertensi [10,11]. Juga, pada pasien dengan penyakit arteri
koroner, obat ini dapat menyebabkan penurunan signifikan pada aliran darah koroner setelah
fenomena coronary steal (coronary steal phenomenon) [12]. Dalam suatu uji coba acak
terkontrol yang berskala besar di antara pasien dengan infark miokard akut dan peningkatan

tekanan pengisian ventrikel kiri, penggunaan nitroprusside dalam 9 jam setelah onset nyeri
dada, mengakibatkan peningkatan mortalitas [13]. Karena obat ini merupakan obat yang
sangat poten dengan onset aksi cepat dan waktu paruh pendek, obat ini harusnya hanya
digunkan dengan pengawasan tekanan darah intra-arterial dalam ruang/ keadaan perawatan
intensif [6].
Nitroprusside mengandung 44% sianida berat [14]. Ekskresi sianida dalam bentuk
tiosiat membutuhkan fungsi hepar dan renal yang adekuat. Toksisitas sianida yang potensial
dan kebutuhan akan pengawasan hemodinamik invasif yang aktif dengan garis arterial, obat
ini tidak sering digunakan sebagai obat pilihan pertama dalam hipertensi emergensi [14].
Nitroglycerin: Nitroglycerin merupakan vasodilator dan bekerja sebagai dilator
arteriolar hanya pada penggunaan dosis tinggi [15]. Obat ini menurunkan tekanan darah
dengan mengurangi preload dan after load pada dosis tinggi. Sama dengan nitroprusside,
nitroglycerin dapat membahayakan perfusi cerebral dan karena itu tidak digunakan pada
ensefalopati hipertensi. Obat ini sering menjadi obat pilihan pada hipertensi emergensi yang
berhubungan dengan edema pulmonal atau sindrom koroner akut [6].
Labetalol: Labetalol merupakan suatu kombinasi alpha adrenergik dan beta-adrenergik
reseptor blocker non-selektif [16]. Obat ini memiliki onset kerja cepat yaitu dalam 2-5 menit
setelah pemberian lewat IV dan berefek hingga sekitar 2-4 jam [17]. Labetalol dapat
diberikan secara bolus dan injeksi intravena secara terus menerus tanpa pengawasan tekanan
darah invasif. Efek samping potensial dapat berupa bradikardi karena efek beta-blocker-nya.
Obat ini menurunkan resistensi vaskuler sistemik total, namun menjaga aliran darah cerebral
dan koroner [18,19]. Oleh karena itu, labetalol direkomendasikan oleh American Stroke
Association untuk manajemen hipertensi pada pasien-pasien yang menerima tissue
Plasminogen Activator (tPA) untuk stroke [20]. Labetalol juga sering digunakan pada
hipertensi emergensi yang disebabkan kehamilan karena lipidnya dapat larut dan tidak
melewati plasenta [17,21].
Fenoldopam: fenoldopam bekerja pada reseptor dopamine-1 perifer mengakibatkan
vasodilatasi perifer, dominan pada renal, jantung dan splanchnic vascular beds [22-24].
Ironisnya, selain menurunkan tekanan darah, obat ini meningkatkan perfusi renal [22,24].
Dalam beberapa studi yang membandingkan fenoldopam dengan obat antihipertensi lainnya
dalam hipertensi emergensi, dilakukan observasi peningkatan creatinine clearance [25-27].
Oleh karena itu, fanoldopam dapat menjadi obat yang bermanfaat pada pasien-pasien dengan
hipertensi emergensi yang berhubungan dengan gagal ginjal akut.

Obat
Sodium
nitopusside

Mekanisme
kerja
Langsung
pada arteri
dan
vasodilator
vena

Dosis
0,25-10
mcg/kg
/ mnt

Ons
et
1-2
mnt

Durasi

Keadaan klinis

3-4 mnt
setelah
infus
dihenti
kan

Digunakan dalam
semua
situasi
klinis hipertensi
emergensi. Hati2
pada
keadaan
emergensi
neurologis, karena
dapat
menyebabkan
penurunan
tekanan
darah
cerebral dan pada
ACS
dapat
menyebabkan
koroner menjadi
kaku
Umumnya
digunakan untuk
ACS dan ADHF

Nitroglyceri
n

Vasodilator
vena

5-200
mcg/kg
/ mnt

2-5
mnt

5-10
mnt

Labetalol

Kombinasi
alpha
dan
beta bloker
adrenergik

2-5
mnt
sete
-lah
bolus

2-4 jam
setelah
infus
dihentikan

Diseksi aorta, dan


neurologis
emergensi

Fenoldopam

Reseptor
agonis
dopamin-1
perifer

Iv
bolus:
20 mg
selama
2 mnt
Infus:
1-2mg/
mnt
0,1-1,6
mcg/kg
/mnt

10
mnt

1 jam
setelah
dihenti
kan

Nicardipine

dihydorpyrid
ine calcium
channel
blcker,
vasodilator
Ultra short
acting
dihydorpyrid
ine calcium
channel
blcker

5-15
mg/ hr

10
mnt

2-6 jam

Sangat berguna
pada
hipertensi
emergensi dengan
komplikasi gagal
ginjal
Post
operasi
hipertensi
dan
neurologis
emergensi

2-16
mcg/kg
/mnt

1-5
mnt

5 menit
setelah
dihenti
kan

Vasodilator
langsung
pada arteri

Iv
bolus:
10-20
mcg IV

1020
mnt

1-4 jam

Clevidipine

Hydralazine

Berpotensi
digunakan pada
kebanyakan
hipertensi
emergensi; studi
ekstensif
pada
post
operasi
pasien
bedah
jantung
Pre eklampsia dan
eklamsia

Tindakan
pencegahan
Meningkatkan
tekanan intrakranial
serebrovaskuler dan
insufisiensi
cardiovaskuler,
kerusakan
ginjal,
kerusakan hepar

Baik
digunakan
untuk
inhibitor
phosphodiesterase5,
meningkatkan
tekanan
intrakranial, infark
miokard dengan ST
elevasi
daerah
inferior.
Bradikardi
berat,
asma bronkial, baru
menggunakan
kokain,
pheochromocytoma.
Dekompensasi
gagal jantung akut
Alergi
sulfite,
hipokalemia

Stenosis aorta yang


parah
Kerusakan renal
Dekompensasi
gagal jantung akut
Alergi
produk
kedele dan telur
Stenosis aorta yang
parah
Dekompensasi
gagal jantung akut

Diseksi
aorta

aneurisma

Nicardipine: Nicardipine merupakan dihydorpyridine calcium channel blocker


generasi kedua. Obat ini bekerja pada L-type voltage gated calcium channels menyebabkan
relaksasi otot polos arteriolar perifer [5]. Nicardipine merupakan obat vasodilator arterial
serebral dan koroner [5]. Obat ini meningkatkan perfusi cerebral dan sering digunakan untuk
krisis hipertensi pada pasien yang menerima tPA untuk stroke akut [28].
Clevidipine: Clevidipine merupakan dihydropyridine calcium channel blocker generasi
ketiga, yang diakui oleh FDA pada tahun 2008 untuk manajemen hipertensi emergensi [29].
Clevidipine menghambat masukan kalsium ekstraseluler melalui channel tipe L,
merelaksasikan otot polos arteriolar yang mengakibatkan resistensi vaskuler perifer,
meningkatkan stroke volume dan cardiac output [30]. Clevidipine memiliki onset dan offset
kerja yang cepat (< 1 menit) dan mudah dititrasi [31]. Obat ini dimetabolisme menjadi bentuk
tidak aktif oleh esterase dalam darah dan jaringan ekstravaskuler dan karena itulah obat ini
tidak membutuhkan penyesuaian dosis pada pasien dengan disfungsi renal dan hepar [30].
Keamanan dan keefektifan dari clevidipine telah dinilai dalam Evaluation of the Effect
of Ultra-Short-Acting Clevidipine in Treatment of Patients with Severe Hypertension
(VELOCITY) [32]. Di antara 126 pasien yang datang ke UGD atau ICU dengan krisis
hipertensi (81% memiliki kerusakan organ akhir), 90% pasien diterapi dengan clevidipine,
mencapai target tekanan darah mereka dalam 30 menit (waktu median 10.9 menit) [32].
Tekanan darah turun lebih rendah daripada tingkat target pra-penentuan hanya pada 2 pasien.
The Efficacy Study of Clevidipine Assessing its PreoperativeAntihypertensive Effect in
Cardiac Surgery-1,2 (ESCAPE -1, 2) dan the Evaluation of Clevidipine in the Perioperative
Treatment of Hypertension Assessing Safety Events Trial (ECLIPSE) merupakan uji coba
acak yang menunjukkan bahwa clevidipine menjadi obat hipertensi urgensi yang aman di
antara pasien-pasien pasca operasi jantung [33-35].
Hydralazine: Hydralazine merupakan vasodilator arteriolar direk. Obat ini biasanya
digunakan sebagai antihipertensi pada suatu PRN berdasarkan pada keadaan pasien bahkan
untuk peningkatan tekanan darah yang asimptomatis [36]. Obat ini memiliki periode laten
awal yaitu 5-15 menit diikuti oleh penurunan tekanan darah yang mendadak, dengan efek
yang bertahan hingga 10 tahun [37,38]. Hydralazine tidak direkomendasikan untuk
penggunaan pada krisis hipertensi karena efek antihipertensinya yang tidak dapat diprediksi
dan sulitnya titrasi [39]. Obat ini juga sering digunakan pada kehamilan yang berkaitan
dengan krisis hipertensi karena obat ini tidak bersifat teratogenik dan meningkatkan aliran
darah uterus [7].

Manajemen Hipertensi dalam Situasi Klinis Spesifik


Emergensi neurologis
Ensefalopati hipertensi: Pada pasien dengan ensefalopati hipertensi, otoregulasi
vaskuler cerebral terganggu, mengakibatkan kerusakan organik otak [40]. Aliran darah
cerebral merupakan otoregulasi dalam batas spesifik seperti peningkatan tekanan darah,
vesokonstriksi cerebral terjadi untuk mencegah hiperperfusi [41,42]. Bagaimanapun, ketika
mean arterial pressure jauh lebih tinggi dibandingkan batas atas otoregulasi (biasanya sekitar
180 mmHg untuk pasien hipertensi), vasodilatasi cerebral yang terjadi mengakibatkan perfusi
yang berlebihan [41,42]. Sawar darah otak yang terganggu mengakibatkan perdarahan mikro
dan edema cerebral. Gejala termasuk onset yang tersembunyi seperti letargi, bingung, sakit
kepala berat, gangguan penglihatan dan kejang, yang biasanya membaik dalam 24-48 jam
dengan menurunkan tekanan darah. Perdarahan retina, eksudat atau papiledema ditemukan
pada pemeriksaan funduskopi. Jika tidak ditangani segera, keadaan ini dapat berlanjut
menjadi perdarahan cerebral dan kematian.
Perawatan harus bertujuan menurunkan tekanan darah sebesar 20-25% atau tekanan
darah diastolik 100-110 mmHg dalam 1-2 jam pertama [43]. Obat yang umum digunakan
termasuk nicardipine, labetalol, clevidipine dan fenoldopam. Sodium nitroprusside sering
digunakan meskipun berpotensi terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Pengurangan
cepat tekanan darah tidak dibenarkan karena hal ini dapat menyebabkan hipoperfusi otak
sehingga memperburuk status neurologis dan stroke [43].
Kecelakaan Cerebrovascular (CVA): Berbeda pada pasien dengan hipertensi
ensefalopati, pada pasien dengan CVA didapatkan defisit neurologis fokal akut. Managemen
optimal tekanan darah pada pasien ini belum diketahui dengan baik.
Pada pasien dengan stroke iskemik, penurunan cepat pada tekanan darah dapat
menyebabkan hipoperfusi daerah peri-infark, mengakibatkan perluasan infark [44,45]. Oleh
karena itu, pengobatan anti hipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik > 120 mmHg
atau tekanan darah sistolik > 220 mmHg [46,47]. "Permissive" hipertensi diperbolehkan
selama 24-48 jam [46]. Pada pasien yang menerima trombolitik, monitoring tekanan darah
yang lebih agresif (tekanan darah sistolik <180 mmHg dan tekanan darah diastolik <110
mmHg) dianjurkan untuk mencegah konversi hemoragik [46]. Pada pasien dengan stroke
hemoragik, American Heart Association merekomendasikan untuk mempertahankan tekanan
arteri rata-rata <130 mmHg [48].

Pada pasien dengan perdarahan subarachnoid, target tekanan darah yang optimal masih
kontroversi. Sementara tekanan darah tinggi dapat mengakibatkan perdarahan berulang,
penurunan cepat pada tekanan darah dapat berakibat pada menurunnya perfusi serebral
karena vasospasme arteriol mengakibatkan iskemia otak. Sementara beberapa studi
menyarankan untuk mempertahankan tekanan rata-rata arteri sistolik 15% di atas baseline,
yang lain menyarankan pendekatan yang lebih agresif untuk menjaga tekanan darah sistolik
puncak 20% di bawah baseline [49,50].
Pada pasien dengan kecelakaan serebrovaskular, labetalol atau nicardipine baik
digunakan sebagai obat pilihan pertama karena obat ini memiliki efek minimal terhadap
aliran darah otak dan tidak menyebabkan hipoperfusi. Nicardipine sering digunakan dalam
perdarahan subarachnoid untuk mencegah vasospasme arteriol serebral dan dapat
mempertahankan perfusi serebral [50].

Emergensi Jantung
Keadaan hipertensi emergensi dengan keterlibatan sistem kardiovaskular dapat hadir
dengan tiga entitas klinis: Sindrom Koroner Akut (ACS), dekompensasi gagal jantung akut
(ADHF) dan diseksi aorta.
Sindrom koroner akut
Pasien dengan ACS biasanya datang dengan keluhan nyeri dada prekordial. Spektrum
yang terlihat bisa berkisar dari angina tidak stabil, infark miokard non ST-segmen elevasi
atau infark miokard ST-segmen elevasi. Elektrokardiogram mungkin menunjukkan tandatanda hipertrofi ventrikel kiri dan /atau perubahan ST-segmen dinamis yang sesuai dengan
iskemia. Pada pasien ini, serangan adrenergik akut berakibat pada peningkatan tekanan darah
dan takikardia dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Pada beberapa pasien, elevasi
akut tekanan darah dengan sendirinya dapat mengakibatkan ketidakcocokan penyediaan
kebutuhan dari peningkatan beban kerja jantung, menyebabkan elevasi enzim jantung. Tujuan
dari pengobatan adalah secara bertahap menurunkan tekanan darah pasien untuk
mengoptimalkan fungsi jantung dan mengurangi gejala. Intravena (IV) nitrogliserin dan
sublingual morfin bisa diberikan segera selagi menentukan penanganan selanjutnya. Obat
seperti nitrogliserin IV dan labetalol IV adalah pilihan yang baik dalam situasi ini. Semua
obat ini merupakan obat-obat anti-angina yang mengurangi beban kerja jantung secara
signifikan dan memperbaiki gejala. Karena pasien dengan iskemia jantung akut rentan untuk
mengalami aritmia, labetalol memiliki keunggulan teoritis lebih dari obat lain karena

memiliki beta-blocking. Nitroprusside intravena sebaiknya dihindari dalam skenario ini


karena berpotensi memperburuk iskemia akibat steal phenomenon koroner [12].
Dekompensasi akut gagal jantung kongestif
Pasien dengan ADHF biasanya datang dengan onset akut dyspnea dengan atau tanpa
nyeri dada. Sejumlah skenario klinis dapat menyebabkan ADHF dan hipertensi emergensi.
Diseksi aorta akut (dibahas kemudian) dapat melibatkan katup aorta dan menyebabkan
insufisiensi aorta akut, yang dapat memicu gagal jantung akut dan edema paru. Pasien dengan
stenosis arteri ginjal yang mendasar dapat mengalami kejadian hipertensi akut yang dapat
menyebabkan ADHF terlihat sebagai "flash pulmonary edema". Pasien-pasien ini bisa relatif
euvolemik. Pasien yang memiliki disfungsi sistolik dan /atau diastolik yang mendasari dan
riwayat hipertensi yang tidak terkontrol dapat datang dengan kejadian hipertensi akut yang
menyebabkan edema paru akut. Pasien-pasien ini biasanya kelebihan beban volume. Pasien
yang hadir de novo dengan hipertensi akut dan "Flash pulmonary edema" harus diselidiki
adanya stenosis arteri ginjal. Loop diuretik intravena (furosemid, bumetanide dan torsemide)
harus diberikan pada pasien yang hipervolemik dan dapat menyebaban pengurangan BP.
Pemberian diuretik yang bijaksana harus dilakukan, khususnya pada pasien yang tidak
memiliki kelebihan volum yang signifikan karena hal ini dapat menyebabkan dehidrasi dan
cedera ginjal. Nitroprusside dan nitrogliserin merupakan obat yang sangat baik untuk
manajemen tekanan darah pada ADHF. Karena penggunaan nitroprusside membutuhkan
pemantauan tekanan darah invasif dan memerlukan perawatan ICU, nitrogliserin adalah obat
yang dipilih jika fasilitas ini tidak tersedia. Disfungsi ginjal berat dan penggunaan
phosphodiesterase inhibitor yang baru belakangan dilakukan bisa menghalangi penggunaan
nitroprusside dan nitrogliserin. Intravena labetalol dan nicardipine relatif kontraindikasi pada
pasien dengan disfungsi sistolik, mengingat efek inotropik negatif. Namun, obat-obat ini
dapat digunakan jika obat lini pertama tidak efektif atau kontraindikasi. Pengurangan cepat
dari tekanan darah sekitar 20% dalam satu jam pertama cukup untuk meningkatkan kinerja
jantung dan pengurangan lebih lanjut sampai tekanan darah normal dapat dicapai selama 6
jam berikutnya.
Diseksi aorta akut
Pasien dengan diseksi aorta akut datang dengan keluhan nyeri dada akut. Pengukuran
tekanan darah lengan tidak merata dan / atau mediastinum melebar pada sinar-X dada
merupakan petunjuk untuk diagnosis. Ketika kecurigaan klinis kuat, manajemen tekanan
darah tidak boleh ditunda sambil menunggu pemeriksaan diagnostik definitif. Tidak seperti
kebanyakan situasi yang terlihat lainnya, tujuan dalam situasi ini adalah mengurangi dengan

cepat tekanan darah ke tingkat normal. Nitroprusside intravena adalah obat yang sangat baik
sebagai lini pertama. Jika ini yang dipilih, pemberian beta blocker diperlukan [51]. Obat lain
yang juga efektif meliputi labetalol dan nicardipine. Jika diagnosis tipe A diseksi aorta yang
dibuat, maka manajemen definitif adalah operasi, yang harus segera dilakukan.

Cedera Ginjal Akut


Memburuknya fungsi ginjal selama manajemen hipertensi emergensi merupakan
kejadian umum, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Hal ini sering kali
terjadi akibat dari penurunan tajam tekanan darah yang diakibatkan oleh obat daripada
komplikasi tekanan darah tinggi akut [52]. Tingkat ideal dalam menurunan tekanan darah
untuk perlindungan ginjal masih belum diketahui. Strategi yang direkomendasikan adalah
pengurangan 10-20% tekanan arteri rata-rata selama satu atau dua jam pertama dan kemudian
lebih lanjut 10-15% selama 6-12 jam berikutnya [52].
Obat ideal yang digunakan untuk keadaan hipertensi emergensi pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis masih kontroversi. Nitroprusside sering digunakan, namun obat ini
meningkatkan risiko toksisitas sianida pada pasien dengan gagal ginjal. Fenoldopam, agonis
dopamin 1, memperlihatkan perbaikan natriuresis, diuresis dan creatinin clearance
dibandingkan dengan nitroprusside dalam beberapa studi dan saat ini lebih disukai daripada
nitroprusside pada pasien dengan gagal ginjal [25-27].

Hipertensi Emergensi Selama Kehamilan


Pasien dengan hipertensi akibat kehamilan (PIH) dapat datang dengan pre-eklampsia
atau eklampsia. Terapi awal dengan magnesium sulfat direkomendasikan sebagai obat
profilaksis kejang [53]. Melahirkan adalah pengobatan definitif untuk eklampsia [53].
Penurunan awal tekanan darah sampai kisaran yang aman, berhati-hati untuk menghindari
tekanan darah turun terlalu jauh merupakan hal penting untuk mencegah pendarahan otak
tanpa mengorbankan aliran darah otak. American College of Obstetricians and Gynecologists
menyarankan untuk mempertahanakan tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan
tekanan darah diastolik antara 90-105 mmHg [53]. Hydralazine dan nifedipin oral telah
digunakan pada hipertensi akibat kehamilan. Namun, data terakhir menunjukkan penggunaan
IV labetalol atau nicardipine, yang keduanya mudah titrasi, aman dan efektif dalam
menangani PIH [54-57].

Hipertensi Emergensi akibat Kelebihan katekolamin


Hipertensi emergensi akibat kelebihan katekolamin paling sering disebabkan oleh tiga
skenario klinis berikut: pheochromocytoma, krisis monoamine oxidase inhibitor dan
penyalahgunaan obat-obatan seperti kokain [52]. Pengobatan dimulai dengan alpha blocker
(phentolamine intravena) dan beta blockers ditambahkan hanya jika diperlukan. Beta
blockers tidak boleh dimulai pertama karena blokade reseptor adrenergik vasodilatasi perifer
secara teoritis dapat menyebabkan stimulasi dilindungi reseptor alfa adrenergik,
mengakibatkan elevasi tinggi tekanan darah. Pada hipertensi yang diinduksi kokain, beta
bloker yang terisolasi meningkatkan vasokonstriksi koroner, denyut jantung dan tekanan
darah [52]. Mengontrol tekanan darah yang memadai dengan obat lain seperti nicardipine,
fenoldopam, verapamil atau phentolamine yang dikombinasi dengan verapamil dapat
digunakan.

Kesimpulan
Hipertensi emergensi adalah suatu kesatuan klinis umum dengan berbagai manifestasi
klinis yang mengancam kehidupan jika tidak dikenali dan ditindaklanjuti segera.
Manajemennya menantang karena meskipun terdapat ketersediaan beberapa obat, secara
menyeluruh penggunaannya agak terbatas dikarenakan efek samping yang ditimbulkan ,
kemudahan pengambilan atau ketersediaannya. Sayangnya karena sifat dari penyakit dan
ketajaman yang ditampilkan sulit untuk melakukan percobaan prospektif secara acak dan
karenanya ada kekurangan jelas dari data di lapangan mengenai pilihan pengobatan dan
tingkat dalam menurunkan tekanan darah pada setiap situasi klinis. Clevidipine, obat yang
baru disetujui ini tampaknya aman dan menjanjikan untuk digunakan. Untuk saat ini, pilihan
obat yang tepat didasarkan pada kerusakan organ, mekanisme aksi dan potensi efek samping
setiap obat, ketersediaan dan budaya kelembagaan.
Referensi
1.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2011) Vital signs: prevalence, treatment, and control of
hypertension--United States, 1999-2002 and 2005-2008. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 60: 103-108.

2.

Aggarwal M, Khan IA (2006) Hypertensive crisis: hypertensive emergencies and urgencies. CardiolClin 24:
135-146.

3.

Zampaglione B, Pascale C, Marchisio M, Cavallo-Perin P (1996) Hypertensive urgencies and emergencies.


Prevalence and clinical presentation. Hypertension 27: 144-147.

4.

Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, et al. (2003) Seventh Report of the Joint
National Committee on prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure. Hypertension 42:
1206-1252.

5.

Marik PE, Varon J (2007) Hypertensive crises: challenges and management. Chest 131: 1949-1962.

6.

Cherney D, Straus S (2002) Management of patients with hypertensive urgencies and emergencies: a systematic
review of the literature. J Gen Intern Med 17: 937-945.

7.

Pollack CV, Rees CJ (2008) Hypertensive Emergencies: Acute Care Evaluation and Management. Emergency
Medicine Cardiac Research and Education Group 3.

8.

Friederich JA, Butterworth JF 4th (1995) Sodium nitroprusside: twenty years and counting. AnesthAnalg 81:
152-162.

9.

Robin ED, McCauley R (1992) Nitroprusside-related cyanide poisoning. Time (long past due) for urgent,
effective interventions. Chest 102: 1842-1845.

10. Griswold WR, Reznik V, Mendoza SA (1981) Nitroprusside-induced intracranial hypertension. JAMA 246:
2679-2680.
11. Anile C, Zanghi F, Bracali A, Maira G, Rossi GF (1981) Sodium nitroprusside and intracranial pressure.
ActaNeurochir (Wien) 58: 203-211.
12. Mann T, Cohn PF, Holman LB, Green LH, Markis JE, et al. (1978) Effect of nitroprusside on regional
myocardial blood fow in coronary artery disease. Results in 25 patients and comparison with nitroglycerin.
Circulation 57: 732-738.
13. Cohn JN, Franciosa JA, Francis GS, Archibald D, Tristani F, et al. (1982) Effect of short-term infusion of
sodium nitroprusside on mortality rate in acute myocardial infarction complicated by left ventricular failure:
results of a Veterans Administration cooperative study. N Engl J Med 306: 1129-1135.
14. Pasch T, Schulz V, Hoppelshuser G (1983) Nitroprusside-induced formation of cyanide and its detoxication
with thiosulfate during deliberate hypotension. J Cardiovasc Pharmacol 5: 77-85.
15. Bussmann WD, Kenedi P, von Mengden HJ, Nast HP, Rachor N (1992) Comparison of nitroglycerin with
nifedipine in patients with hypertensive crisis or severe hypertension. Clin Investig70: 1085-1088.
16.

Lund-Johansen P (1984) Pharmacology of combined alpha-beta-blockade. II. Haemodynamic effects of


labetalol. Drugs 28: 35-50.

17. Kanto J, Allonen H, Kleimola T, Mntyl R (1981) Pharmacokinetics of labetalol in healthy volunteers. Int J
ClinPharmacolTherToxicol 19: 41-44.
18. Marx PG, Reid DS (1979) Labetalol infusion in acute myocardial infarction with systemic hypertension. Br J
ClinPharmacol 8: 233S-238S.
19. Olsen KS, Svendsen LB, Larsen FS, Paulson OB (1995) Effect of labetalol on cerebral blood fow, oxygen
metabolism and autoregulation in healthy humans. Br J Anaesth 75: 51-54.
20. Kanto J, Allonen H, Kleimola T, Mntyl R (1981) Pharmacokinetics of labetalol in healthy volunteers. Int J
Clin Pharmacol Ther Toxicol 19: 41-44.
21. Papadopoulos DP, Mourouzis I, Thomopoulos C, Makris T, Papademetriou V (2010) Hypertension crisis. Blood
Press 19: 328-336.

22. Bodmann KF, Trster S, Clemens R, Schuster HP (1993) Hemodynamic profle of intravenous fenoldopam in
patients with hypertensive crisis. Clin Investig 72: 60-64.
23. Munger MA, Rutherford WF, Anderson L, Hakki AI, Gonzalez FM, et al. (1990) Assessment of intravenous
fenoldopammesylate in the management of severe systemic hypertension. Crit Care Med 18: 502-504.
24. White WB, Radford MJ, Gonzalez FM, Weed SG, McCabe EJ, et al. (1988) Selective dopamine-1 agonist
therapy in severe hypertension: effects of intravenous fenoldopam. J Am Coll Cardiol 11: 1118-1123.
25. Shusterman NH, Elliott WJ, White WB (1993) Fenoldopam, but not nitroprusside, improves renal function in
severely hypertensive patients with impaired renal function. Am J Med 95: 161-168.
26. Elliott WJ, Weber RR, Nelson KS, Oliner CM, Fumo MT, et al. (1990) Renal and hemodynamic effects of
intravenous fenoldopam versus nitroprusside in severe hypertension. Circulation 81: 970-977.
27. Tumlin JA, Dunbar LM, Oparil S, Buckalew V, Ram CV, et al. (2000) Fenoldopam, a dopamine agonist, for
hypertensive emergency: a multicenter randomized trial. Fenoldopam Study Group. Acad Emerg Med 7: 653662.
28. Schillinger D (1987) Nifedipine in hypertensive emergencies: a prospective study. J Emerg Med 5: 463-473.
29. Rodriguez G, Varon J (2006) Clevidipine: A unique agent for the critical care practitioner. Crit Care Shock; 9:
37-41.
30. Ericsson H, Tholander B, Regrdh CG (1999) In vitro hydrolysis rate and protein binding of clevidipine, a new
ultrashort-acting calcium antagonist metabolised by esterases, in different animal species and man. Eur J Pharm
Sci 8: 29-37.
31. Ericsson H, Fakt C, Jolin-Mellgrd A, Nordlander M, Sohtell L, et al. (1999) Clinical and pharmacokinetic
results with a new ultra short-acting calcium antagonist, clevidipine, following gradually increasing intravenous
doses to healthy volunteers. Br J linPharmacol47: 531-538.
32. Barrett TW, Schriger DL (2009) Annals of Emergency Medicine Journal Club. Pollack CV, Varon J, Garrison
NA, et al. Clevidipine, an intravenous dihydropyridine calcium channel blocker, is safe and effective for
treatment of patients with acute severe hypertension. Ann Emerg Med 53: 339-340.
33.

Pollack CV, Varon J, Garrison NA, Ebrahimi R, Dunbar L, et al. (2009) Clevidipine, an intravenous
dihydropyridine calcium channel blocker, is safe and effective for the treatment of patients with acute severe
hypertension. Ann Emerg Med 53: 329-338.

34. Levy JH, Mancao MY, Gitter R, Kereiakes DJ, Grigore AM, et al. (2007) Clevidipine effectively and rapidly
controls elevated blood pressure preoperatively in cardiac surgery patients: the results of the randomized,
placebo-controlled effcacy study of clevidipine assessing its preoperative hypertensive effect in cardiac surgery1. AnesthAnalg105:918-925.
35.

Singla N, Warltier DC, Gandhi SD, Lumb PD, Sladen RN, et al. (2008) Treatment of acute postoperative
hypertension in cardiac surgery patients: an effcacy study of clevidipine assessing its postoperative
antihypertensive effect in the cardiac surgery-2 (ESCAPE-2), a randomized, double-blind, placebo-controlled
trial. AnesthAnalg107: 59-67.

36. Aronson S, Dyke CM, Stierer KA, Levy JH, Cheung AT, et al. (2008) The ECLIPSE trials: comparative studies
of clevidipine to nitroglycerin, sodium nitroprusside, and nicardipine for acute hypertension treatment in cardiac
surgery patients. Anesth Analg 107: 1110-1121.
37. Weder AB, Erickson S (2010) Treatment of hypertension in the inpatient setting: use of intravenous labetalol
and hydralazine. J Clin Hypertens (Greenwich) 12: 29-33.

38. Shepherd AM, Ludden TM, McNay JL, Lin MS (1980) Hydralazine kinetics after single and repeated oral
doses. Clin Pharmacol Ther 28: 804-811.
39. Marik PE, Rivera R (2011) Hypertensive emergencies: an update. Curr Opin Crit Care 17: 569-580.
40. Blumenfeld JD, Laragh JH (2001) Management of hypertensive crises: the scientifc basis for treatment
decisions. Am J Hypertens 14: 1154-1167.
41. Traon AP, Costes-Salon MC, Galinier M, Fourcade J, Larrue V (2002) Dynamics of cerebral blood fow
autoregulation in hypertensive patients. J Neurol Sci 195: 139-144.
42. Eames PJ, Blake MJ, Panerai RB, Potter JF (2003) Cerebral autoregulation indices are unimpaired by
hypertension in middle aged and older people. Am J Hypertens 16: 746-753.
43. Vaughan CJ, Delanty N (2000) Hypertensive emergencies. Lancet 356: 411-417.
44. Hirschl MM (1995) Guidelines for the drug treatment of hypertensive crises. Drugs 50: 991-1000.
45. Powers WJ (1993) Acute hypertension after stroke: the scientifc basis for treatment decisions. Neurology 43:
461-467.
46. Adams HP Jr, Adams RJ, Brott T, del Zoppo GJ, Furlan A, et al. (2003) Guidelines for the early management of
patients with ischemic stroke: A scientifc statement from the Stroke Council of the American Stroke
Association. Stroke 34: 1056-1083.
47. Bath P (2004) High blood pressure as risk factor and prognostic predictor in acute ischaemic stroke: when and
how to treat it? Cerebrovasc Dis 17: 51-57.
48. Broderick JP, Adams HP Jr, Barsan W, Feinberg W, Feldmann E, et al. (1999) Guidelines for the management of
spontaneous intracerebral hemorrhage: A statement for healthcare professionals from a special writing group of
the Stroke Council, American Heart Association. Stroke 30: 905-915.
49. Kraus JJ, Metzler MD, Coplin WM (2002) Critical care issues in stroke and subarachnoid hemorrhage. Neurol
Res 24: S47-57.
50. Sen J, Belli A, Albon H, Morgan L, Petzold A, et al. (2003) Triple-H therapy in the management of aneurysmal
subarachnoid haemorrhage. Lancet Neurol 2: 614-621.
51. Chen K, Varon J, Wenker OC, Judge DK, Fromm RE Jr, et al. (1997) Acute thoracic aortic dissection: the
basics. J Emerg Med 15: 859-867.
52. Elliott WJ (2004) Clinical features and management of selected hypertensive emergencies. J Clin Hypertens
(Greenwich) 6: 587-592.
53. ACOG Committee on Obstetric Practice (2002) ACOG practice bulletin. Diagnosis and management of
preeclampsia and eclampsia. Number 33, January 2002. American College of Obstetricians and Gynecologists.
Int J Gynaecol Obstet 77: 67-75.
54. Magee LA, Cham C, Waterman EJ, Ohlsson A, von Dadelszen P (2003) Hydralazine for treatment of severe
hypertension in pregnancy: meta-analysis. BMJ 327: 955-960.
55. Pickles CJ, Broughton Pipkin F, Symonds EM (1992) A randomised placebo controlled trial of labetalol in the
treatment of mild to moderate pregnancy induced hypertension. Br J Obstet Gynaecol 99: 964-968.
56.

Jannet D, Carbonne B, Sebban E, Milliez J (1994) Nicardipine versus metoprolol in the treatment of
hypertension during pregnancy: a randomized comparative trial. Obstet Gynecol 84: 354-359.

57. Carbonne B, Jannet D, Touboul C, Khelifati Y, Milliez J (1993) Nicardipine treatment of hypertension
during pregnancy. Obstet Gynecol 81: 908-914.

Anda mungkin juga menyukai