Abstrak
Hipertensi merupakan masalah umum yang sering dihadapi dalam praktek klinis seharihari. Pasien dengan hipertensi tidak terkontrol mungkin datang ke ruang gawat darurat
dengan "hipertensi emergensi", di mana tekanan darah sangat tinggi (> 180/120 mmHg) yang
berhubungan dengan kerusakan pada organ, termasuk sistem saraf, kardiovaskular atau ginjal.
Kurangnya literatur tentang batas yang sesuai untuk menurunkan tekanan darah yang dipilih
dalam mengobati pasien, serta obat yang tepat untuk digunakan. Berdasarkan pendapat ahli
dan data anekdot, dianjurkan bahwa manajemen awal harus terfokus pada segera
mengidentifikasi kerusakan organ yang akan datang atau yang menetap dan menurunkan
tekanan darah sekitar 25% dalam 2 jam pertama, kecuali pada diseksi aorta dimana
penurunan tekanan darah dengan cepat dianjurkan. Tinjauan ini memberikan pendekatan
yang terfokus pada manajemen keadaan hipertensi emergensi.
Kata kunci: Hipertensi, Emergensi; Urgensi
Pengantar
Hipertensi merupakan masalah umum yang mempengaruhi 60-70 juta orang di Amerika
Serikat [1]. Dua pertiga pasien tidak menyadari bahwa mereka menderita hipertensi [2].
Sementara itu diketahui bahwa hipertensi yang tidak terkontrol merupakan faktor risiko
utama penyebab kematian akibat kardiovaskular dan serebrovaskular, peningkatan akut pada
tekanan darah juga dapat menyebabkan kerusakan organ akut. Sekitar 1-2% dari semua
pasien hipertensi datang ke ruang gawat darurat dengan hipertensi emergensi setidaknya
sekali dalam seumur hidup mereka [3]. Mengingat tingginya prevalensi hipertensi pada
masyarakat kita, keadaan hipertensi emergensi biasa ditemukan dalam praktek klinis seharihari [3]. Pengenalan, evaluasi dan pengobatan sangat penting dalam mencegah kerusakan
organ yang permanen. Tinjauan terbaru oleh Joint National Committee (JNC) on Prevention,
Detection, Evaluation and Treatment of High BloodPressure, tidak memberikan pedoman
tegas pada manajemen keadaan hipertensi emergensi [4].
Tinjauan artikel ini bertujuan untuk membahas tentang managemen pada keadaan
hipertensi emergensi didasarkan pada situasi klinis tertentu.
Definisi
JNC 7 mengklasifikasikan tekanan darah dalam kategori yang berbeda ( Tabel 1) [4].
Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai "tingginya peningkatan tekanan darah
(biasanya > 180/120 mmHg) dengan komplikasi akan atau terjadi disfungsi organ target
progresif melibatkan sistem neurologis, jantung atau sistem ginjal"[4]. Manifestasi klinis
umum dari kerusakan organ pada hipertensi emergensi termasuk Sindrom Koroner Akut
(ACS), dekompensasi akut gagal jantung, ensefalopati, perdarahan intraserebral dan gagal
ginjal akut. Manifestasi klinis umum dari kerusakan organ pada hipertensi emergensi yang
ditunjukkan pada Gambar 1.
Hipertensi urgensi adalah tingginya peningkatan tekanan darah yang akut (> 180/120
mmHg) tanpa bukti kerusakan organ. Istilah "krisis hipertensi" sering digunakan untuk
mencakup keadaan hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi.
Riwayat
Semua pasien dengan hipertensi berat harus dicurigai terjadinya kerusakan organ target
akut.
Kategori
usaha yang dilakukan untuk mengetahui tekanan darah yang biasanya untuk setiap pasien
baik di rumah atau dalam rawat jalan sebelum terjadinya krisis hipertensi. Penting untuk
dipahami bahwa beberapa pasien dengan hipertensi kronis selalu memiliki tekanan darah
tinggi. Bahkan, tekanan darah normal 120/80 mmHg, mungkin terlalu rendah bagi mereka.
Oleh karena itu, diagnosis hipertensi emergensi atau urgensi tidak dapat dibuat hanya
berdasarkan pada pengukuran tekanan darah saja, tetapi didasarkan pada peningkatan tekanan
darah akut dari baseline terkait dengan kerusakan organ.
Pemeriksaan
Tekanan darah harus dievaluasi pada kedua lengan dengan ukuran manset yang tepat.
Pemeriksaan fisik juga harus bertujuan untuk menentukan atau menjelaskan disfungsi target
organ. Fokus pemeriksaan nerologis untuk menilai perubahan status mental dan defisit
neurologis fokal juga harus dilakukan. Perubahan status mental dengan pemeriksaan
funduskopi yang menunjukkan adanya eksudat, perdarahan atau papiledema yang mengarah
pada ensefalopati hipertensi [5]. Pemeriksaan kardiovaskuler harus terfokus pada adanya
gallop (S3 dan S4) dan murmur patologis (seperti regurgitasi aorta). Pulsasi vena jugularis
yang meningkat dan ronki pada lapang paru menunjukkan adanya edema pulmonal dan
dekompensasi gagal jantung kongestif. Nadi distal harus dipalpasi pada semua ekstremitas,
dan nadi yang tidak sama seharusnya menimbulkan kecurigaan untuk terjadinya diseksi aorta.
Pemeriksaan laboratorium
Elektrokardiogram harus dilakukan untuk menilai hipertropi ventrikel kiri, aritmia,
iskemia akut atau infark. Urinalisis harus dilakukan untuk menilai hematuria dan proteinuria.
Profil basal metabolik termasuk nitrogen urea dan serum kreatinin darah penting untuk
menilai disfungsi ginjal. Biomarker jantung juga harus diperiksa jika dicurigai ACS.
Pemeriksaan radiografik
Pasien yang datang dengan perubahan status mental atau defisit neurologis fokal harus
melewati pemeriksaan Computed Tomography (CT) otak untuk menilai adanya perdarahan
atau infark. X ray dada sering dilakukan untuk menilai adanya edema pulmonal. Jika
dicurigai adanya diseksi aorta (berdasarkan riwayat nyeri dada, nadi yang tidak sama
dan/atau pelebaran mediastinum pada X ray dada), pencitraan aorta (CT angiogram/ magnetic
resonance imaging/ transesophageal echocardiogram) harus dilakukan sesegera mungkin.
Terapi awal
Literatur sebelumnya pada hipertensi emergensi atau urgensi tidak memberikan bukti
yang cukup berdasarkan tingkat kepentingan spesifik pada tekanan darah yang seharusnya
dicapai agar mengurangi mortalitas dan morbiditas [6]. Saat ini terdapat uji coba acak
terkontrol untuk menilai hasil klinis, membandingkan tingkatan berbeda dari kekuatan
tekanan darah di antara pasien yang datang dengan hipertensi emergensi.
Otoregulasi cerebral dari tekanan darah berubah pada keadaan hipertensi emergensi.
Karena itu, hal ini telah diterima bahwa reduksi cepat tekanan darah dapat mengakibatkan
penurunan perfusi cerebral melipatgandakan kerusakan organ akhir [6]. Oleh karena itu,
pengawasan hemodinamik arterial invasif pada perawatan intensif dilatarbelakangi dengan
rekomendasi penggunaan obat antihipertensi intravena kerja singkat yang dapat dititrasi pada
situasi seperti ini [6].
Panduan paraktik klinis berdasarkan JNC 7 menyarankan bahwa mean arterial blood
pressure (tekanan darah arterial rata-rata) harus dikurangi < 25% dalam 2 jam pertama dan
menjadi sekitar 160/100-110 mmHg setelah 6 jam berikutnya [4]. Diseksi aorta, merupakan
situasi klinis spesial dimana direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah menjadi
kurang dari 120 mmHg dalam 20 menit [4]. Pilihan untuk obat antihipertensi sering
berdasarkan disfungsi target organ, availabilitas, dan kemudahan pemakaian, kebiasaan suatu
institusi dan selera dari dokter itu sendiri [7].
Manajemen farmokologis
Terdapat beberapa obat untuk dipilih, dalam manajemen hipertensi emergensi. Tidak
ada satu obat pun yang telah dibuktikan lebih menguntungkan dibandingkan dengan yang
lainnya dalam keadaan klinis ini.
Beberapa obat yang umum digunakan sebagi berikut (Tabel 2):
Sodium nitroprusside: sodium nitroprusside merupakan vasodilator arteri dan vena
[8,9]. Obat ini mudah dititrasi dan efeknya reversibel. Bagaimanapun, obat ini menyebabkan
penurunan perfusi cerebral dengan meningkatkan tekanan intrakranial, dan harus secara hatihati digunakan ada ensefalopati hipertensi [10,11]. Juga, pada pasien dengan penyakit arteri
koroner, obat ini dapat menyebabkan penurunan signifikan pada aliran darah koroner setelah
fenomena coronary steal (coronary steal phenomenon) [12]. Dalam suatu uji coba acak
terkontrol yang berskala besar di antara pasien dengan infark miokard akut dan peningkatan
tekanan pengisian ventrikel kiri, penggunaan nitroprusside dalam 9 jam setelah onset nyeri
dada, mengakibatkan peningkatan mortalitas [13]. Karena obat ini merupakan obat yang
sangat poten dengan onset aksi cepat dan waktu paruh pendek, obat ini harusnya hanya
digunkan dengan pengawasan tekanan darah intra-arterial dalam ruang/ keadaan perawatan
intensif [6].
Nitroprusside mengandung 44% sianida berat [14]. Ekskresi sianida dalam bentuk
tiosiat membutuhkan fungsi hepar dan renal yang adekuat. Toksisitas sianida yang potensial
dan kebutuhan akan pengawasan hemodinamik invasif yang aktif dengan garis arterial, obat
ini tidak sering digunakan sebagai obat pilihan pertama dalam hipertensi emergensi [14].
Nitroglycerin: Nitroglycerin merupakan vasodilator dan bekerja sebagai dilator
arteriolar hanya pada penggunaan dosis tinggi [15]. Obat ini menurunkan tekanan darah
dengan mengurangi preload dan after load pada dosis tinggi. Sama dengan nitroprusside,
nitroglycerin dapat membahayakan perfusi cerebral dan karena itu tidak digunakan pada
ensefalopati hipertensi. Obat ini sering menjadi obat pilihan pada hipertensi emergensi yang
berhubungan dengan edema pulmonal atau sindrom koroner akut [6].
Labetalol: Labetalol merupakan suatu kombinasi alpha adrenergik dan beta-adrenergik
reseptor blocker non-selektif [16]. Obat ini memiliki onset kerja cepat yaitu dalam 2-5 menit
setelah pemberian lewat IV dan berefek hingga sekitar 2-4 jam [17]. Labetalol dapat
diberikan secara bolus dan injeksi intravena secara terus menerus tanpa pengawasan tekanan
darah invasif. Efek samping potensial dapat berupa bradikardi karena efek beta-blocker-nya.
Obat ini menurunkan resistensi vaskuler sistemik total, namun menjaga aliran darah cerebral
dan koroner [18,19]. Oleh karena itu, labetalol direkomendasikan oleh American Stroke
Association untuk manajemen hipertensi pada pasien-pasien yang menerima tissue
Plasminogen Activator (tPA) untuk stroke [20]. Labetalol juga sering digunakan pada
hipertensi emergensi yang disebabkan kehamilan karena lipidnya dapat larut dan tidak
melewati plasenta [17,21].
Fenoldopam: fenoldopam bekerja pada reseptor dopamine-1 perifer mengakibatkan
vasodilatasi perifer, dominan pada renal, jantung dan splanchnic vascular beds [22-24].
Ironisnya, selain menurunkan tekanan darah, obat ini meningkatkan perfusi renal [22,24].
Dalam beberapa studi yang membandingkan fenoldopam dengan obat antihipertensi lainnya
dalam hipertensi emergensi, dilakukan observasi peningkatan creatinine clearance [25-27].
Oleh karena itu, fanoldopam dapat menjadi obat yang bermanfaat pada pasien-pasien dengan
hipertensi emergensi yang berhubungan dengan gagal ginjal akut.
Obat
Sodium
nitopusside
Mekanisme
kerja
Langsung
pada arteri
dan
vasodilator
vena
Dosis
0,25-10
mcg/kg
/ mnt
Ons
et
1-2
mnt
Durasi
Keadaan klinis
3-4 mnt
setelah
infus
dihenti
kan
Digunakan dalam
semua
situasi
klinis hipertensi
emergensi. Hati2
pada
keadaan
emergensi
neurologis, karena
dapat
menyebabkan
penurunan
tekanan
darah
cerebral dan pada
ACS
dapat
menyebabkan
koroner menjadi
kaku
Umumnya
digunakan untuk
ACS dan ADHF
Nitroglyceri
n
Vasodilator
vena
5-200
mcg/kg
/ mnt
2-5
mnt
5-10
mnt
Labetalol
Kombinasi
alpha
dan
beta bloker
adrenergik
2-5
mnt
sete
-lah
bolus
2-4 jam
setelah
infus
dihentikan
Fenoldopam
Reseptor
agonis
dopamin-1
perifer
Iv
bolus:
20 mg
selama
2 mnt
Infus:
1-2mg/
mnt
0,1-1,6
mcg/kg
/mnt
10
mnt
1 jam
setelah
dihenti
kan
Nicardipine
dihydorpyrid
ine calcium
channel
blcker,
vasodilator
Ultra short
acting
dihydorpyrid
ine calcium
channel
blcker
5-15
mg/ hr
10
mnt
2-6 jam
Sangat berguna
pada
hipertensi
emergensi dengan
komplikasi gagal
ginjal
Post
operasi
hipertensi
dan
neurologis
emergensi
2-16
mcg/kg
/mnt
1-5
mnt
5 menit
setelah
dihenti
kan
Vasodilator
langsung
pada arteri
Iv
bolus:
10-20
mcg IV
1020
mnt
1-4 jam
Clevidipine
Hydralazine
Berpotensi
digunakan pada
kebanyakan
hipertensi
emergensi; studi
ekstensif
pada
post
operasi
pasien
bedah
jantung
Pre eklampsia dan
eklamsia
Tindakan
pencegahan
Meningkatkan
tekanan intrakranial
serebrovaskuler dan
insufisiensi
cardiovaskuler,
kerusakan
ginjal,
kerusakan hepar
Baik
digunakan
untuk
inhibitor
phosphodiesterase5,
meningkatkan
tekanan
intrakranial, infark
miokard dengan ST
elevasi
daerah
inferior.
Bradikardi
berat,
asma bronkial, baru
menggunakan
kokain,
pheochromocytoma.
Dekompensasi
gagal jantung akut
Alergi
sulfite,
hipokalemia
Diseksi
aorta
aneurisma
Pada pasien dengan perdarahan subarachnoid, target tekanan darah yang optimal masih
kontroversi. Sementara tekanan darah tinggi dapat mengakibatkan perdarahan berulang,
penurunan cepat pada tekanan darah dapat berakibat pada menurunnya perfusi serebral
karena vasospasme arteriol mengakibatkan iskemia otak. Sementara beberapa studi
menyarankan untuk mempertahankan tekanan rata-rata arteri sistolik 15% di atas baseline,
yang lain menyarankan pendekatan yang lebih agresif untuk menjaga tekanan darah sistolik
puncak 20% di bawah baseline [49,50].
Pada pasien dengan kecelakaan serebrovaskular, labetalol atau nicardipine baik
digunakan sebagai obat pilihan pertama karena obat ini memiliki efek minimal terhadap
aliran darah otak dan tidak menyebabkan hipoperfusi. Nicardipine sering digunakan dalam
perdarahan subarachnoid untuk mencegah vasospasme arteriol serebral dan dapat
mempertahankan perfusi serebral [50].
Emergensi Jantung
Keadaan hipertensi emergensi dengan keterlibatan sistem kardiovaskular dapat hadir
dengan tiga entitas klinis: Sindrom Koroner Akut (ACS), dekompensasi gagal jantung akut
(ADHF) dan diseksi aorta.
Sindrom koroner akut
Pasien dengan ACS biasanya datang dengan keluhan nyeri dada prekordial. Spektrum
yang terlihat bisa berkisar dari angina tidak stabil, infark miokard non ST-segmen elevasi
atau infark miokard ST-segmen elevasi. Elektrokardiogram mungkin menunjukkan tandatanda hipertrofi ventrikel kiri dan /atau perubahan ST-segmen dinamis yang sesuai dengan
iskemia. Pada pasien ini, serangan adrenergik akut berakibat pada peningkatan tekanan darah
dan takikardia dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Pada beberapa pasien, elevasi
akut tekanan darah dengan sendirinya dapat mengakibatkan ketidakcocokan penyediaan
kebutuhan dari peningkatan beban kerja jantung, menyebabkan elevasi enzim jantung. Tujuan
dari pengobatan adalah secara bertahap menurunkan tekanan darah pasien untuk
mengoptimalkan fungsi jantung dan mengurangi gejala. Intravena (IV) nitrogliserin dan
sublingual morfin bisa diberikan segera selagi menentukan penanganan selanjutnya. Obat
seperti nitrogliserin IV dan labetalol IV adalah pilihan yang baik dalam situasi ini. Semua
obat ini merupakan obat-obat anti-angina yang mengurangi beban kerja jantung secara
signifikan dan memperbaiki gejala. Karena pasien dengan iskemia jantung akut rentan untuk
mengalami aritmia, labetalol memiliki keunggulan teoritis lebih dari obat lain karena
cepat tekanan darah ke tingkat normal. Nitroprusside intravena adalah obat yang sangat baik
sebagai lini pertama. Jika ini yang dipilih, pemberian beta blocker diperlukan [51]. Obat lain
yang juga efektif meliputi labetalol dan nicardipine. Jika diagnosis tipe A diseksi aorta yang
dibuat, maka manajemen definitif adalah operasi, yang harus segera dilakukan.
Kesimpulan
Hipertensi emergensi adalah suatu kesatuan klinis umum dengan berbagai manifestasi
klinis yang mengancam kehidupan jika tidak dikenali dan ditindaklanjuti segera.
Manajemennya menantang karena meskipun terdapat ketersediaan beberapa obat, secara
menyeluruh penggunaannya agak terbatas dikarenakan efek samping yang ditimbulkan ,
kemudahan pengambilan atau ketersediaannya. Sayangnya karena sifat dari penyakit dan
ketajaman yang ditampilkan sulit untuk melakukan percobaan prospektif secara acak dan
karenanya ada kekurangan jelas dari data di lapangan mengenai pilihan pengobatan dan
tingkat dalam menurunkan tekanan darah pada setiap situasi klinis. Clevidipine, obat yang
baru disetujui ini tampaknya aman dan menjanjikan untuk digunakan. Untuk saat ini, pilihan
obat yang tepat didasarkan pada kerusakan organ, mekanisme aksi dan potensi efek samping
setiap obat, ketersediaan dan budaya kelembagaan.
Referensi
1.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2011) Vital signs: prevalence, treatment, and control of
hypertension--United States, 1999-2002 and 2005-2008. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 60: 103-108.
2.
Aggarwal M, Khan IA (2006) Hypertensive crisis: hypertensive emergencies and urgencies. CardiolClin 24:
135-146.
3.
4.
Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, et al. (2003) Seventh Report of the Joint
National Committee on prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure. Hypertension 42:
1206-1252.
5.
Marik PE, Varon J (2007) Hypertensive crises: challenges and management. Chest 131: 1949-1962.
6.
Cherney D, Straus S (2002) Management of patients with hypertensive urgencies and emergencies: a systematic
review of the literature. J Gen Intern Med 17: 937-945.
7.
Pollack CV, Rees CJ (2008) Hypertensive Emergencies: Acute Care Evaluation and Management. Emergency
Medicine Cardiac Research and Education Group 3.
8.
Friederich JA, Butterworth JF 4th (1995) Sodium nitroprusside: twenty years and counting. AnesthAnalg 81:
152-162.
9.
Robin ED, McCauley R (1992) Nitroprusside-related cyanide poisoning. Time (long past due) for urgent,
effective interventions. Chest 102: 1842-1845.
10. Griswold WR, Reznik V, Mendoza SA (1981) Nitroprusside-induced intracranial hypertension. JAMA 246:
2679-2680.
11. Anile C, Zanghi F, Bracali A, Maira G, Rossi GF (1981) Sodium nitroprusside and intracranial pressure.
ActaNeurochir (Wien) 58: 203-211.
12. Mann T, Cohn PF, Holman LB, Green LH, Markis JE, et al. (1978) Effect of nitroprusside on regional
myocardial blood fow in coronary artery disease. Results in 25 patients and comparison with nitroglycerin.
Circulation 57: 732-738.
13. Cohn JN, Franciosa JA, Francis GS, Archibald D, Tristani F, et al. (1982) Effect of short-term infusion of
sodium nitroprusside on mortality rate in acute myocardial infarction complicated by left ventricular failure:
results of a Veterans Administration cooperative study. N Engl J Med 306: 1129-1135.
14. Pasch T, Schulz V, Hoppelshuser G (1983) Nitroprusside-induced formation of cyanide and its detoxication
with thiosulfate during deliberate hypotension. J Cardiovasc Pharmacol 5: 77-85.
15. Bussmann WD, Kenedi P, von Mengden HJ, Nast HP, Rachor N (1992) Comparison of nitroglycerin with
nifedipine in patients with hypertensive crisis or severe hypertension. Clin Investig70: 1085-1088.
16.
17. Kanto J, Allonen H, Kleimola T, Mntyl R (1981) Pharmacokinetics of labetalol in healthy volunteers. Int J
ClinPharmacolTherToxicol 19: 41-44.
18. Marx PG, Reid DS (1979) Labetalol infusion in acute myocardial infarction with systemic hypertension. Br J
ClinPharmacol 8: 233S-238S.
19. Olsen KS, Svendsen LB, Larsen FS, Paulson OB (1995) Effect of labetalol on cerebral blood fow, oxygen
metabolism and autoregulation in healthy humans. Br J Anaesth 75: 51-54.
20. Kanto J, Allonen H, Kleimola T, Mntyl R (1981) Pharmacokinetics of labetalol in healthy volunteers. Int J
Clin Pharmacol Ther Toxicol 19: 41-44.
21. Papadopoulos DP, Mourouzis I, Thomopoulos C, Makris T, Papademetriou V (2010) Hypertension crisis. Blood
Press 19: 328-336.
22. Bodmann KF, Trster S, Clemens R, Schuster HP (1993) Hemodynamic profle of intravenous fenoldopam in
patients with hypertensive crisis. Clin Investig 72: 60-64.
23. Munger MA, Rutherford WF, Anderson L, Hakki AI, Gonzalez FM, et al. (1990) Assessment of intravenous
fenoldopammesylate in the management of severe systemic hypertension. Crit Care Med 18: 502-504.
24. White WB, Radford MJ, Gonzalez FM, Weed SG, McCabe EJ, et al. (1988) Selective dopamine-1 agonist
therapy in severe hypertension: effects of intravenous fenoldopam. J Am Coll Cardiol 11: 1118-1123.
25. Shusterman NH, Elliott WJ, White WB (1993) Fenoldopam, but not nitroprusside, improves renal function in
severely hypertensive patients with impaired renal function. Am J Med 95: 161-168.
26. Elliott WJ, Weber RR, Nelson KS, Oliner CM, Fumo MT, et al. (1990) Renal and hemodynamic effects of
intravenous fenoldopam versus nitroprusside in severe hypertension. Circulation 81: 970-977.
27. Tumlin JA, Dunbar LM, Oparil S, Buckalew V, Ram CV, et al. (2000) Fenoldopam, a dopamine agonist, for
hypertensive emergency: a multicenter randomized trial. Fenoldopam Study Group. Acad Emerg Med 7: 653662.
28. Schillinger D (1987) Nifedipine in hypertensive emergencies: a prospective study. J Emerg Med 5: 463-473.
29. Rodriguez G, Varon J (2006) Clevidipine: A unique agent for the critical care practitioner. Crit Care Shock; 9:
37-41.
30. Ericsson H, Tholander B, Regrdh CG (1999) In vitro hydrolysis rate and protein binding of clevidipine, a new
ultrashort-acting calcium antagonist metabolised by esterases, in different animal species and man. Eur J Pharm
Sci 8: 29-37.
31. Ericsson H, Fakt C, Jolin-Mellgrd A, Nordlander M, Sohtell L, et al. (1999) Clinical and pharmacokinetic
results with a new ultra short-acting calcium antagonist, clevidipine, following gradually increasing intravenous
doses to healthy volunteers. Br J linPharmacol47: 531-538.
32. Barrett TW, Schriger DL (2009) Annals of Emergency Medicine Journal Club. Pollack CV, Varon J, Garrison
NA, et al. Clevidipine, an intravenous dihydropyridine calcium channel blocker, is safe and effective for
treatment of patients with acute severe hypertension. Ann Emerg Med 53: 339-340.
33.
Pollack CV, Varon J, Garrison NA, Ebrahimi R, Dunbar L, et al. (2009) Clevidipine, an intravenous
dihydropyridine calcium channel blocker, is safe and effective for the treatment of patients with acute severe
hypertension. Ann Emerg Med 53: 329-338.
34. Levy JH, Mancao MY, Gitter R, Kereiakes DJ, Grigore AM, et al. (2007) Clevidipine effectively and rapidly
controls elevated blood pressure preoperatively in cardiac surgery patients: the results of the randomized,
placebo-controlled effcacy study of clevidipine assessing its preoperative hypertensive effect in cardiac surgery1. AnesthAnalg105:918-925.
35.
Singla N, Warltier DC, Gandhi SD, Lumb PD, Sladen RN, et al. (2008) Treatment of acute postoperative
hypertension in cardiac surgery patients: an effcacy study of clevidipine assessing its postoperative
antihypertensive effect in the cardiac surgery-2 (ESCAPE-2), a randomized, double-blind, placebo-controlled
trial. AnesthAnalg107: 59-67.
36. Aronson S, Dyke CM, Stierer KA, Levy JH, Cheung AT, et al. (2008) The ECLIPSE trials: comparative studies
of clevidipine to nitroglycerin, sodium nitroprusside, and nicardipine for acute hypertension treatment in cardiac
surgery patients. Anesth Analg 107: 1110-1121.
37. Weder AB, Erickson S (2010) Treatment of hypertension in the inpatient setting: use of intravenous labetalol
and hydralazine. J Clin Hypertens (Greenwich) 12: 29-33.
38. Shepherd AM, Ludden TM, McNay JL, Lin MS (1980) Hydralazine kinetics after single and repeated oral
doses. Clin Pharmacol Ther 28: 804-811.
39. Marik PE, Rivera R (2011) Hypertensive emergencies: an update. Curr Opin Crit Care 17: 569-580.
40. Blumenfeld JD, Laragh JH (2001) Management of hypertensive crises: the scientifc basis for treatment
decisions. Am J Hypertens 14: 1154-1167.
41. Traon AP, Costes-Salon MC, Galinier M, Fourcade J, Larrue V (2002) Dynamics of cerebral blood fow
autoregulation in hypertensive patients. J Neurol Sci 195: 139-144.
42. Eames PJ, Blake MJ, Panerai RB, Potter JF (2003) Cerebral autoregulation indices are unimpaired by
hypertension in middle aged and older people. Am J Hypertens 16: 746-753.
43. Vaughan CJ, Delanty N (2000) Hypertensive emergencies. Lancet 356: 411-417.
44. Hirschl MM (1995) Guidelines for the drug treatment of hypertensive crises. Drugs 50: 991-1000.
45. Powers WJ (1993) Acute hypertension after stroke: the scientifc basis for treatment decisions. Neurology 43:
461-467.
46. Adams HP Jr, Adams RJ, Brott T, del Zoppo GJ, Furlan A, et al. (2003) Guidelines for the early management of
patients with ischemic stroke: A scientifc statement from the Stroke Council of the American Stroke
Association. Stroke 34: 1056-1083.
47. Bath P (2004) High blood pressure as risk factor and prognostic predictor in acute ischaemic stroke: when and
how to treat it? Cerebrovasc Dis 17: 51-57.
48. Broderick JP, Adams HP Jr, Barsan W, Feinberg W, Feldmann E, et al. (1999) Guidelines for the management of
spontaneous intracerebral hemorrhage: A statement for healthcare professionals from a special writing group of
the Stroke Council, American Heart Association. Stroke 30: 905-915.
49. Kraus JJ, Metzler MD, Coplin WM (2002) Critical care issues in stroke and subarachnoid hemorrhage. Neurol
Res 24: S47-57.
50. Sen J, Belli A, Albon H, Morgan L, Petzold A, et al. (2003) Triple-H therapy in the management of aneurysmal
subarachnoid haemorrhage. Lancet Neurol 2: 614-621.
51. Chen K, Varon J, Wenker OC, Judge DK, Fromm RE Jr, et al. (1997) Acute thoracic aortic dissection: the
basics. J Emerg Med 15: 859-867.
52. Elliott WJ (2004) Clinical features and management of selected hypertensive emergencies. J Clin Hypertens
(Greenwich) 6: 587-592.
53. ACOG Committee on Obstetric Practice (2002) ACOG practice bulletin. Diagnosis and management of
preeclampsia and eclampsia. Number 33, January 2002. American College of Obstetricians and Gynecologists.
Int J Gynaecol Obstet 77: 67-75.
54. Magee LA, Cham C, Waterman EJ, Ohlsson A, von Dadelszen P (2003) Hydralazine for treatment of severe
hypertension in pregnancy: meta-analysis. BMJ 327: 955-960.
55. Pickles CJ, Broughton Pipkin F, Symonds EM (1992) A randomised placebo controlled trial of labetalol in the
treatment of mild to moderate pregnancy induced hypertension. Br J Obstet Gynaecol 99: 964-968.
56.
Jannet D, Carbonne B, Sebban E, Milliez J (1994) Nicardipine versus metoprolol in the treatment of
hypertension during pregnancy: a randomized comparative trial. Obstet Gynecol 84: 354-359.
57. Carbonne B, Jannet D, Touboul C, Khelifati Y, Milliez J (1993) Nicardipine treatment of hypertension
during pregnancy. Obstet Gynecol 81: 908-914.