Anda di halaman 1dari 46

BAB I

Pendahuluan
Kemajuan jaman yang terus berkembang disegala bidang, tidak hanya dapat
memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, tetapi juga dapat merugikan
masyarakat. Hal yang dapat merugikan antara lain yaitu adanya polusi udara yang
dapat mempengaruhi derajat kesehatan. Gangguan kesehatan akibat polusi udara
diantaranya adalah gangguan pada saluran pernapasan yaitu salah satunya
bronkiektasis. Riwayat bronkiektasis pertama kali dikemukakan oleh Rene Theophile
Hyacinthe Laennec pada tahun 1819 pada pasien dengan flegmon supuratif. Tahun
1922, Jean Athanase Sicard dapat menjelaskan perubahan destruktif saluran
respiratorik pada gambaran radiologis melalui penemuannya, yaitu bronkografi
dengan kontras. Adanya pemberian imunisasi terhadap pertusis, campak, dan juga
regiman pengobatan penyakit Tuberkulosis (TB) yang lebih baik, maka diduga
prevalens penyakit ini semakin rendah. Hal ini dikarenakan penyakit TB dan pertusis
merupakan salah satu penyebab bronkiektasis (Rahajoe dkk, 2008).
Frekuensi bronkiektasis dilaporkan lebih tinggi di negara berkembang yang
mana negara tersebut juga banyak melaporkan kejadian penyakit campak, TB, dan
infeksi HIV. Di Negara maju, kejadian penyakit ini berkaitan dengan fibrosis kistik
atau defisiensi imun. Meskipun di negara maju insidensnya dilaporkan mengalami
penurunan, tetapi akhir-akhir ini diperkirakan meningkat sejalan dengan penggunaan
metode pemeriksaan yang semakin sensitif. Hasil penelitian di Australia menunjukkan
bahwa angka kejadian bronkiektasis yang dikonfirmasi dengan HRCT (High
Resulution Computed Tomografi) pada anak berusia di bawah 15 tahun adalah 147 per
10.000 anak suku Aborigin. Survei nasional yang dilakukan oleh dokter anak di New
Zealand menyatakan bahwa insidens bronkiektasis nonkistik fibrosis pada populasi
ini 3,7 per 100.000 dengan prevalens 1 per 3000 orang. Data dari Inggris
memperlihatkan prevalens 1 setiap 5.800 anak (Rahajoe dkk, 2008).
Bronkiektasis merupakan kelainan bronkus di mana terjadi pelebaran atau
dilatasi bronkus lokal dan permanen karena kerusakan struktur dinding. Bronkiektasis
merupakan kelainan saluran pernapasan yang sering kali tidak berdiri sendiri, akan
tetapi dapat merupakan bagian dari suatu sindrom atau sebagai akibat (penyulit) dari
kelainan paru yang lain. Insiden bronkiektasis cenderung menurun dengan adanya
kemajuan pengobatan antibiotik. Akan tetapi, perlu diingat bahwa insiden ini juga

dipengaruhi oleh kebiasaan merokok, polusi udara, dan kelainan kongenital (Mandal,
2008). Di negara-negara barat, kekerapan bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3%
di antara populasi. Kekerapan setinggi itu ternyata mengalami penurunan yang berarti
sesudah dapat ditekannya frekuensi kasus-kasus infeksi paru dengan pengobatan
memakai antibiotik. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti
mengenai penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan di klinikklinik dan diderita oleh laki-laki maupun wanita. Penyakit ini dapat diderita mulai
sejak anak, bahkan dapat merupakan kelainan kongenital (Rahmatullah, 2004).
Bronkiektasis merupakan penyebab kematian yang amat penting di negaranegara berkembang terutama negara dengan sarana medis dan terapi antibiotika
terbatas. Bronkiektasis pada umumnya terjadi pada penderita dengan umur rata-rata
39 tahun, terbanyak pada usia 60-80 tahun. Sebab kematian yang terbanyak pada
bronkiektasis adalah karena gagal napas. Kejadian ini lebih banyak menyerang
perempuan dibading dengan laki-laki, dan bukan perokok. Untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang memadai, maka peran serta tenaga kesehatan sangat
dibutuhkan. Peran fisioterapis dalam membantu penderita bronkiektasis yang pertama
adalah aspek promotif, fisioterapis memberikan terapi pada klien meliputi biopsikososio, kultural-spritual, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan klien. Kedua
adalah preventif, untuk mencegah timbulnya gejala-gejala yang terjadi. Ketiga adalah
kuratif, suatu terapi/ pengobatan yang dilakukan apabila gejala-gejala tadi sudah
menjadi kronis, yang terakhir adalah rehabilitatif, merupakan cara pemulihan untuk
sehat kembali dalam melakukan aktifitas sehari-hari (Mandal, 2008).
Pemeriksaan radiologi yang digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosa pada bronkiektasis ini adalah pemeriksaan rontgen thorax. Radiologi
merupakan suatu ilmu tentang penggunaan sumber sinar pengion dan bukan pengion,
gelombang suara dan magnet untuk imaging diagnostik dan terapi. Rontgen
merupakan satuan pemaparan radiasi yang memberikan muatan 2, 58 X 10-4 coulomb
per kg udara. Rontgen merupakan satuan nilai penyinaran sinar x atau sinar , tetapi
tidak digunakan untuk sinar , , atau neutron. Alat pengukurradiasi biasanya
dikalibrasi dalam rontgen atau m R (milirontgen , 1 R = 1000 mR). untuk sinar -
dan sinar dengan energy yang sampai 3 MeV yang melalui air atau jaringan lunak,
suatu penyinaran sebesar 1 R ekivalen dan dosis serap sebesar 0, 93 0, 98 rad
(Rusdi, 2008).

Foto rontgen thorax atau sering disebut chest x-ray (CXR) adalah suatu
proyeksi

radiografi

dari

thorax

untuk

mendiagnosis

kondisi-kondisi

yang

mempengaruhi thorax, isi dan struktur-struktur di dekatnya. Foto thorax


menggunakan radiasi terionisasi dalam bentuk x-ray. Dosis radiasi yang digunakan
pada orang dewasa untuk membentuk radiografi adalah sekitar 0.06 mSv. Foto thorax
digunakan untuk mendiagnosis banyak kondisi yang melibatkan dinding thorax,
tulang thorax dan struktur yang berada di dalam kavitas thorax termasuk paru-paru,
jantung dan saluran-saluran yang besar. CXR sering digunakan untuk skrining
penyakit paru yang terkait dengan pekerjaan di industri-industri seperti pertambangan
dimana para pekerja terpapar oleh debu (Rusdi, 2008).
Gambaran yang berbeda dari thorax dapat diperoleh dengan merubah orientasi
relatif

tubuh dan arah pancaran X-ray. Gambaran yang paling umum adalah

posteroanterior (PA), anteroposterior (AP) dan lateral. Pada kasus ini foto rontgen
thorax diambil dari proyeksi PA. Foto PA dapat dilakukan dengan erect (berdiri) atau
duduk. Pada umunya, pemeriksaan thoraks adalah posisi PA erect. Karena pada posisi
ini apabila ada cairan dalam paru akan nampak jelas batas-batasnya. Tujuannya untuk
memperlihatkan organ rongga dada beserta kelainannya (Ekayuda, 2009).

BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1. Anatomi dan fisiologi
2.1.1. Paru
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama sebagai
alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki peran untuk
terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida (CO2). Pertukaran ini
terjadi pada alveolus-alveolus di paru melalui sistem kapiler. Paru terdiri atas 3 lobus
pada paru sebelah kanan, dan 2 lobus pada paru sebelah kiri. Pada paru kanan lobuslobusnya antara lain yakni lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Sementara
pada paru kiri hanya terdapat lobus superior dan lobus inferior. Namun pada paru kiri
terdapat satu bagian di lobus superior paru kiri yang analog dengan lobus medius paru
kanan, yakni disebut sebagai lingula pulmonis. Di antara lobus-lobus paru kanan
terdapat dua fissura, yakni fissura horizontalis dan fissura obliqua, sementara di antara
lobus superior dan lobus inferior paru kiri terdapat fissura obliqua (Amir dan Bahar,
2007).

Gamba
r 1. anatomi paru. Sumber : Medicina Islamica, 2012
Paru sendiri memiliki kemampuan recoil, yakni kemampuan untuk
mengembang dan mengempis dengan sendirinya. Elastisitas paru untuk mengembang
dan mengempis ini di sebabkan karena adanya surfactan yang dihasilkan oleh sel
alveolar tipe 2. Namun selain itu mengembang dan mengempisnya paru juga sangat
dibantu oleh otot-otot dinding thoraks dan otot pernafasan lainnya, serta tekanan
negatif yang teradapat di dalam cavum pleura (Amir dan Bahar, 2007).
2.1.2 Cavum thoraks
Paru terletak pada sebuah ruangan di tubuh manusia yang di kenal sebagai
cavum thoraks. Karena paru memiliki fungsi yang sangat vital dan penting, maka
cavum thoraks ini memiliki dinding yang kuat untuk melindungi paru, terutama dari
trauma fisik. Cavum thoraks memiliki dinding yang kuat yang tersusun atas 12 pasang
costa beserta cartilago costalisnya, 12 tulang vertebra thoracalis, sternum, dan otototot rongga dada. Otot-otot yang menempel di luar cavum thoraks berfungsi untuk
membantu respirasi dan alat gerak untuk extremitas superior (Dermawan, 2010).
2.1.3 Pleura

Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thoraks, paru juga


dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa bangunan embriologi dari
coelom extra-embryonal yakni pleura. Pleura sendiri dibagi menjadi 3 yakni pleura
parietal, pleura visceral dan pleura bagian penghubung. Pleura visceral adalah pleura
yang menempel erat dengan substansi paru itu sendiri. Sementara pleura parietal
adalah lapisan pleura yang paling luar dan tidak menempel langsung dengan paru.
Pelura bagian penghubung yakni pleura yang melapisi radikspulmonis, pleura ini
merupakan pelura yang menghubungkan pleura parietal dan pleura visceral (Reviono,
2011).
Pleura parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni pleura
diafragmatika, pelura mediastinalis, pleura sternocostalis dan cupula pleura. Pleura
diafragmatika yakni pleura parietal yang menghadap ke diafragma. Pleura
mediastinalis merupakan pleura yang menghadap ke mediastinum thoraks, pleura
sternocostalis adalah pleura yang berhadapan dengan costa dan sternum. Sementara
cupula pleura adalah pleura yang melewati apertura thoracis superior (Amir dan
Bahar, 2007).

Gambar 2. Anatomi Pleura. Sumber : Wikipedia, 2015


Pada proses fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal akan menyerap
cairan pleura melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam aliran limfe pleura. Di
antara pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan yang disebut cavum
pleura. Ruangan ini memiliki peran yang sangat penting padaproses respirasi yakni
mengembang dan mengempisnya paru, dikarenakan pada cavum pleura memiliki
tekanan negatif yang akan tarik menarik, di mana ketika diafragma dan dinding dada
mengembang maka paru akan ikut tertarik mengembang begitu juga sebaliknya.
Normalnya ruangan ini hanya berisi sedikit cairan serous untuk melumasi dinding
dalam pleura (Dermawan, 2010).

2.1.4. Fisiologi

Gambar 3. Anatomi Bronkus. Sumber : Medicina Islamica, 2012

Dari gambar dapat kita lihat bahwa cabang utama bronkus kanan dan kiri akan
bercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan
terus-menerus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya
menjadi bronkiolus terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak mengandung alveoli.
Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1 mm. Bronkiolus tidak
diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat
berubah. Seluruh saluran udara sampai pada tingkat ini disebut saluran penghantar
udara karena fungsinya menghantarkan udara ke tempat pertukaran gas terjadi
(Dermawan, 2010).
Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional dari paru
paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakkus
alveolaris terminalis. Asinus atau kadang disebut lobulus primer memiliki diameter
0,5 sampai 1 cm. Terdapat sekitar 23 percabangan mulai dari trakea sampai sakkus
alveolaris terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh septum.
Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn yang memungkinkan komunikasi
antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel saja, namun jika seluruh alveolus yang
berjumlah sekitar 300 juta itu dibentangkan akan seluas satu lapangan tennis
(Dermawan, 2010).
Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi oleh
kapiler-kapiler darah. Batas antara cairan dengan gas akan membentuk suatu tegangan
permukaan yang cenderung mencegah ekspansi pada saat inspirasi dan cenderung
kolaps saat ekspirasi. Di sinilah letak peranan surfaktan sebagai lipoprotein yang
mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi saat inspirasi sekaligus
mencegah kolaps saat ekspirasi (Dermawan, 2010).
Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus dipengaruhi oleh
kematangan sel-sel alveolus, enzim biosintetik utamanya alfa anti tripsin, kecepatan
regenerasi,

ventilasi

yang

adekuat

serta

perfusi

ke

dinding

alveolus.

Defisiensisurfaktan, enzim biosintesis serta mekanisme inflamasi yang berjung pada


pelepasan produk yang mempengaruhi elastisitas paru menjadi dasar patogenesis
emphysema,dan penyakit lainnya (Amir dan Bahar, 2007).
Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Terdiri dari bronkus dextra dan
bronchus sinistra. Bronkus Dextra mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih pendek
dan letaknya lebih vertikal daripada bronkus sinistra. Hal ini disebabkan oleh desakan
dari arcus aortae pada ujung caudal trachea ke arah kanan, sehingga benda-benda

asing mudah masuk ke dalam bronkus dextra. Panjangnya kira-kira 2,5 cm dan masuk
kedalam hilus pulmonis setinggi vertebra thoracalis VI. Vena Azygos melengkung di
sebelah cranialnya. Ateria pulmonalis pada mulanya berada di sebelah inferior,
kemudian beradadi sebelah ventralnya. Membentuk tiga cabang (bronkus sekunder),
masing-masing menuju ke lobussuperior, lobus medius, dan lobus inferior. Bronkus
sekunder yang menuju ke ke lobus superior letaknya di sebelah cranial a.pulmonalis
dan disebut bronkus eparterialis. Cabang bronkus yangmenuju ke lobus medius dan
lobus inferior berada di sebelah caudala pulmonalis disebut bronkus hyparterialis.
Selanjutnya bronkus sekunder tersebut mempercabangkan bronkus tertier yang
menuju ke segmen pulmo (Amir dan Bahar, 2007).
Bronkus Sinistra mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi bentuknya lebih
panjang dari pada bronkus dextra. Berada di sebelah caudal arcus aortae, menyilang di
sebelah ventral oesophagus, ductus thoracicus, dan aortathoracalis. Pada mulanya
berada di sebelah superior arteri pulmonalis, lalu di sebelah dorsalnya dan akhirnya
berada di sebelah inferiornya sebelum bronkus bercabang menuju ke lobus superior
dan lobus inferior, disebut letak bronkus hyparterialis. Pada tepi lateral batas trachea
dan bronkus terdapat lymphonodus tracheobronchialis superior dan pada bifurcatio
trachea (di sebelah caudal) terdapat lymphonodus tracheobronchialis inferior.
Bronkus memperoleh vascularisasi dari a.thyroidea inferior. Innervasinya berasal dari
N.vagus, n. Recurrens, dan truncus sympathicus (Amir dan Bahar, 2007).
2.2. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi dan
distorsi bronkus lokal yang bersifat patologik dan berjalan kronik, persisten atau
ireversibel. Dilatasi tersebut menyebabkan berkurangnya aliran udara dari dan ke
paru-paru. Dengan alasan ini, bronkiektasis digolongkan dalam penyakit paru
obstruktif kronik, yang bermanifestasi sebagai peradangan saluran pernafasan dan
mudah kolaps, lalu menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak,
gangguan pembersihan mukus yang biasanya disertai dengan batuk dan kadangkadang hemoptisis. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan
dalam dinding bronkus berua destruksi elemen elastis, otot polos bronkus, tulang
rawan dan pembuluh-pembuluh darah. Bronkus yang terkena pada umunya adalah
bronkus yang memiliki ukuran sedang, sedangkan bronkus dengan ukuran besar pada
umumnya jarang (Rahajoe, 2008).

Bronkiektasis paling banyak bermanifestasi sebagai proses fokal yang


melibatkan satu lobus segmen atau sub-segmen paru, atau proses yang bersifat difus
dan melibatkan kedua paru. Proses pertama adalah yang umum terjadi, sedangkan
proses kedua biasanya berkaitan dengan penyakit sistemik dan/atau penyakit
sinopulmoner dan asma. Bronkiektasis merupakan akibat dari proses patologis yang
berlangsung luas dan lama, termasuk kelainan srtuktur bronkus (Defisiensi kartilago
padaWilliam

Campbell

Syndrome),

penyakit

akibat

penimbunan

mukus

(Fibrosiskistik, kelainan fungsi silia), akibat infeksi (Pneumonia yang berat pada
anak, defisiensi imunoglobulin) dan penyakit inflamasi (Kolitis ulceratif). Pada
kebanyakan kasus, infeksi merupakan penyebab tersering dari inflamasi jalan nafas
(Mahanani, 2006).
Dalam keadaan normal, dinding bronkus terbuat dari beberapa lapisan yang
ketebalan dan komposisinya bervariasi pada setiap bagian dari saluran pernapasan.
Lapisan dalam (mukosa) dan daerah dibawahnya (submukosa) mengandung sel-sel
yang melindungi saluran pernafasan dan paru-paru dari zat-zat yang berbahaya. Selsel ini terdiri dari sel penghasil lendir Sel bersilia, yang memiliki rambut getar untuk
membantu menyapu partikel- partikel dan lendir ke bagian atas atau keluar dari
saluran pernafasan. Sel-sel lainnya yang berperan dalam kekebalan dan sistem
pertahanan tubuh melawan organisme dan zat-zat yang berbahaya lainnya (Mahanani,
2006).
Berdasarkan lokasinya bronkiektasis dibagi menjadi:

Setempat (localized) yaitu di lobus bawah, lobus tengah kanan atau lingula,
biasanya sebagai komplikasi dari pneumonia berat, dapat juga karena
penyumbatan oleh benda asing, tumor atau penekanan dari luar (kompresi oleh
tuberkulosis kelenjar limfa). Bronkiektasis di lobus atas biasanya disebabkan

oleh tuberkulosis atau aspergilosis bronkopulmonar (Alan, 2002).


Menyeluruh (generalized), biasanya karena infeksi sistem pernapasan yang
berulang disertai kelainan imunitas ataupun kelainan mucocilliary clearance.
Penyebab lainnya adalah vaskulitis, defisiensi -1-antitripsin, AIDS, sindrom
merfan, SLE, dan sarkoidosis (Alan, 2002).

II. INSIDENS
Angka kejadian yang sebenarnya dari bronkiektasis tidak diketahui pasti. Di
negara-negara Barat, insidens bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3% diantara

populasi. Insidens bronkiektasis cenderung menurun dengan adanya kemajuan


pengobatan antibiotika. Akan tetapi perlu di ingat bahwa insidens ini juga dipengaruhi
oleh kebiasaan merokok, polusi udara dan kelainan kongenital (Dermawan, 2010).
Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai
penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan diklinik-klinik dan
diderita oleh laki-laki maupun wanita. Penyakit ini dapat dideritamulai sejak anak
bahkan dapat berupa kelainan kongenital (Dermawan, 2010).
III. EPIDEMIOLOGI
Bronkiektasis merupakan penyebab kematian yang amat penting pada negaranegara berkembang. Di negara-negara maju seperti AS, bronkiektasis mengalami
penurunan seiring dengan kemajuan pengobatan. Prevalensi bronkiektasis lebih tinggi
pada penduduk dengan golongan sosioekonomi yang rendah (Rahmawati, 2008).

IV. ETIOLOGI
Penyebab bronkiektasis sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Namun
diduga bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat (Mahananai,
2006).

Kelainan Kongenital

Faktor genetik atau pertumbuhan dan perkembangan memegang peranan


penting. Bronkiektasis karena kongenital biasanya mengenai hampir
seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua bronkus. Selain itu,
bronkiektasis kongenital biasanya menyertai penyakit-penyakit kongenital
seperti

fibrosis

kistik,

Kertagener

Syndrome, William

Campbell

Syndrome, Mounier-Kuhn Syndrome dan lain-lain (Mahananai, 2006).

Kelainan Didapat
Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita
pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia
merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita
semasa anak, tuberkulosis paru, dan sebagainya. Aspergillosis

bronkopulmonalis alergi dapat menyebabkan bronkiektasis karena


invasi jamur pada saluran napas yang kemudian merusak saluran

napas (Mahananai, 2006).


Obstruksi Bronkus
Obstruksi bronkus dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab
seperti korpus alienum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar
lainnya terhadap bronkus. Menurut penelitian para ahli diketahui
bahwa infeksi ataupun obstruksi bronkus tidak selalu nyata (automatis)
menimbulkan bronkiektasis (Mahananai, 2006).

V. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan defenisinya, bronkiektasis menggambarkan suatu keadaandimana
terjadi dilatasi bronkus yang ireversibel yang merupakan akibat dari destruksi
komponen muskular dan elastis pada dinding bronkus. Rusaknya kedua komponen
tersebut adalah akibat dari suatu prosesinfeksi, dan juga oleh pengaruh cytokine
inflamasi, nitrit okside dan netrophilic protease yang dilepaskan oleh system imun
tubuh sebagai respon terhadapantigen. Mukus mengandung produk-produk neutrofil
yang bisa merusak jaringan paru (protease serin, elastase, kolagenase), oksida nitrit,
sitokin inflamasi (IL8) dan substansi yang menghambat gerakan silia dan mucociliary
clearance. Bronkiektasis dapat terjadi pada kerusakan secara langsung dari dinding
bronkus atau secara tidak langsung dari intervensi pada pertahanan normal jalannafas.
Pertahanan jalan nafas terdiri dari silia yang berukuran kecil pada jalannafas. Silia
tersebut bergerak berulang-ulang, memindahkan cairan berupa mukusyang normal
melapisi jalan nafas. Partikel yang berbahaya dan bakteri yang terperangkap pada
lapisan mukus tersebut akan dipindahkan naik ke tenggorokandan kemudian batukkan
keluar atau tertelan (Huriawati dkk, 2006).
Terlepas dari apakah kerusakan tersebut diakibatkan secara langsung atau tidak
langsung, daerah dinding bronkus mengalami kerusakan dan menjadi inflamasi yang
kronik. Bronkus yang mengalami inflamasi akan kehilangan keelastisannya, sehingga
bronkus akan menjadi lebar dan lembek serta membentuk kantung atau saccus yang
menyerupai balon yang kecil. Inflamasi juga meningkatkan sekresi mukus. Karena sel
yang bersilia mengalami kerusakan, sekret yang dihasilkan akan menumpuk dan
memenuhi jalan nafas dan menjadi tempat berkembangnya bakteri. Yang pada

akhirnya bakteri-bakteri tersebut akan merusak dinding bronkus, sehingga menjadi


lingkaran setan antara infeksi dankerusakan jalan nafas (Huriawati dkk, 2006).

Gambar 4. Perbandingan bronkus. Sumber : Medicina Islamica, 2012


Belum diketahui secara sempurna, tetapi nampaknya yang menjadi penyebab
utama adalah peradangan dengan destruksi otot, jaringan elastik dan tulang rawan
dinding bronkus, oleh mukus yang terinfeksi yang kontak lama dan erat dengan
dinding bronkus. Terjadi mukokel yang terinfeksi setelah dilatasi mekanik bronkus
yang telah lunak oleh pengaruh proteolitik. Inflammatory insult yang pertama akan
diikuti oleh kolonisasi bakteri yang akan menyebabkan kerusakan bronkus lebih
lanjut. Pada akhirnya terjadi fibrosis dinding bronkus dan jaringan paru sekitarnya
menyebabkan penarikan dinding bronkus yang sudah lemah sehingga terjadi distorsi.
Distensi juga bisa diperberat oleh atelektasis paru sekitar bronkus yang menyebabkan
bronkus mendapatkan tekanan intratorakal yang lebih besar (Huriawati dkk, 2006).
IV. KLASIFIKASI BRONKIEKTASIS
Berdasarkan progresifitas penyakit, bronkiektasis dibagi menjadi 3:
1. Tipe ringan
Ciri klinis : batuk dan sputum mukoid dan jernih (bila

terjadi infeksi sekunder,

sputum berwarna kehijauan), produksi sputum terjadi dengan adanya perubahan posisi
tubuh, hemoptisis jarang terjadi, pasien tampak sehat dan fungsi paru normal
(Mahananai, 2006).
2. Tipe sedang
Ciri klinis : batuk produktif terjadi setiap saat, sputum sering berwarna kehijauan,
hemoptisis sering ditemukan, pasien umumnya tampak sehat dan fungsi paru normal.

Jarang ditemukan jari tabuh. Pada pemeriksaan fisik, sering ditemukan ronki basah
kasar pada daerah paru yang terkena gambaran foto dada, masih terbilang normal
(Mahananai, 2006).
3. Tipe berat
Ciri klinis : batuk produktif dnegan sputum banyak berwarna kotor dan berbau.
Sering ditemukan pneumonia dengan hemoptisis dan nyeri pelura. Sering ditemukan
jari tabuh. Bila ada obstruksi napas, dapat ditemukan adanya dispnea, sianosis.
Umumnya keadaan pasien kurang baik. Pada pemeriksaan fisik paru, ditemukan ronki
basah kasar pada daerah paru yang terkena. Pada gambaran foto dada ditemukan
kelainan:
1) penambahan bronchovascular marking
2) multiple cysts containing fluid levels (honey comb appearance)
(Mahananai, 2006).

Berdasarkan kelainan anatomi:


1. Bronkiektasis tabung / tubular
Variasi ini merupakan bronkiektasis yang paling ringan. Bentuk ini sering ditemukan
pada bronkiektasis yang menyertai bronkitis kronik (Mahananai, 2006).
2. Bronkiektasis kantong / sakuler
Merupakan bentuk bronkiektasis yang klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan
penyempitan bronkus yang bersifat ireguler. Bentuk ini kadang-kadang berbentuk
kista (Mahananai, 2006).
3. Bronkiektasis varicose
Bentuknya merupakan bentuk antara diantara bentuk tabung dan kantong. Istilah ini
digunakan karena perubahan bentuk bronkus yang menyerupai varises pembuluh vena
(Mahananai, 2006).

Gambar 5. Gambaran Bronkiektasis. Sumber : Medicina Islamica, 2012


V. DIAGNOSIS
4.1. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari bronkiektasis adalah batuk dan produksi sputum harian
yang mukopurulen sering berlangsung bulanan sampai tahunan. Sputum yang
bercampur darah atau hemoptisis dapat menjadi akibat dari kerusakan jalan napas
dengan infeksi akut. Dahulu, jumlah total sputum harian digunakan untuk membagi
karakteristik berat-ringannya bronkiektasis. Sputum yang kurang dari 10 ml
digolongkan sebagai bronkiektasis ringan, sputum dengan jumlah 10-150 ml per hari
digolongkan sebagai bronkiektasis moderat dan sputum lebih dari 150 ml per hari
digolongkan

sebagai

bronkiektasis

berat.

Namun

sekarang

diklasifikasikan

berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien fibrosis kistik, volume sputum pada
umumnya

lebih banyak dibandingkan dengan penyebab bronkiektasis lainnya

(Rahmatullah, 2009).

Hemoptisis terjadi pada 56-92% pasien dengan bronkiektasis. Homoptisis


mungkin terjadi masif dan berbahaya bila terjadi perdarahan pada arteri
bronkial. hemoptisis biasanya terjadi pada bronkiektasis kering, walaupun
angka kejadian dari bronkiektasis tipe ini jarang ditemukan (Rahmatullah,
2009).

Dyspnea terjadi pada kurang lebih 72% pasien bronkiektasis tapi bukan
merupakan temuan yang universal. Biasanya terjadi pada pasien dengan
bronkiektasis luas yang terlihat pada gambaran radiologisnya (Rahmatullah,

2009).
Wheezing sering dilaporkan dan mungkin akibat obstruksi jalan napas yang
diikuti oleh destruksi dari cabang bronkus. Seperti dyspnea, ini juga mungkin

merupakan kondisi yang mengiringi, seperti asma (Rahmatullah, 2009).


Nyeri dada pleuritik kadang-kadang ditemukan, terjadi pada 46% pasien pada
sekali observasi. Paling sering merupakan akibat sekunder pada batuk kronik,

tetapi juga terjadi pada eksaserbasi akut (Rahmatullah, 2009).


Penurunan berat badan sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasis yang
berat. Hal ini terjadi sekunder akibat peningkatankebutuhan kalori berkaitan
dengan peningkatan kerja pada batuk dan pembersihan sekret pada jalan napas.
Namun, pada umumnya semua penyakit kronik disertai dengan penurunan

berat badan (Rahmatullah, 2009).


Demam biasanya terjadi akibat infeksi yang berulang (Rahmatullah, 2009).

4.2. Pemeriksaan Fisik


Ditemukannya suara napas tambahan pada pemeriksaan fisik dada termasuk
crackles (70%), wheezing (34%) dan ronki (44%) adalah petunjuk untuk diagnosis.
Dahulu, clubbing finger adalah gambaran yang sering ditemukan tapi saat ini
prevalensi gambaran tersebut hanya 3%. Penyakit utama yang mengaburkan
bronkiektasis adalah penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) (Huriawati, 2006).

Gambar 6. PPOK dan Bronkiektasis


4.3. Pemeriksaan Penunjang

Spirometri
Pada spirometri sering menunjukkan keterbatasan aliran udara dengan rasio
penurunan volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1) untuk memaksa volume
kapasitas paksa (FVC). FVC normal atau sedikit berkurang dan FEV1 menurun.
Penurunan FVC menunjukkan bahwa saluran udara tertutup oleh lendir, di mana
saluran napas kolaps saat ekspirasi paksa atau adanya pneumonitis pada paru
(Huriawati, 2006).
Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pada gambaran makroskopis paru bronkiektasis tampak dilatasi permanen dari
jalan napas subsegmental yang mengalami inflamasi, berliku-liku dan sebagian atau
sepenuhnya dipenuhi mukus. Proses ini meliputi bronkiolus dan bagian akhir jalan
napas yang ditandai dengan fibrosis jalan napas kecil. Gambaran Mikroskopis.
Seluruh lapang pandang tampak inflamasi kronik pada dinding bronkus dengan sel
inflamasi dan mukus di dalam lumen. Terdapat destruksipada lapisan elastin pada
dinding bronkus dengan fibrosis. Netrofil merupakan populasi sel terbanyak dalam
lumen bronkus, sedangkan sel yang terbanyak pada dinding bronkus adalah
mononuklear.Pada aspergilosis bronkopulmonaris alergi perubahan umumnya terjadi
pada jalan napas yang proksimal (Huriawati, 2006).
Pada pemeriksaan patologi anatomi terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik
mengenai jumlah atau luasnya bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit.
Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan berupa proses inflamasi
yang sifatnya destruktif dan ireversibel. Pada pemeriksaan patologi anatomi sering
ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses inflamasi serta terdapat proses fibrosis.
Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga
elemen-elemen elastis (Huriawati, 2006).
a. Mukosa bronkus
Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia pada selepitel
menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa, dan terjadi sebukan
hebat sel-sel inflamasi. Apabila terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa
akan terjadi pengelupasan, ulserasi, dan pernanahan (Huriawati, 2006).
b. Jaringan paru peribronkial
Pada parenkim paru peribronkial dapat ditemukan kelainan antara lain berupa
pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis apabila prosesnya dekat pleura. Pada
keadaan yang berat, jaringan parudistal bronkiektasis akan diganti jaringan
fibrotik dengan kista-kista berisi nanah (Huriawati, 2006).

Pemeriksaan Radiologis
a. Rontgen Thoraks
1. Ring Shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran (dapat mencapai
diameter 1 cm) dengan jumlah satu atau lebih bayangan cincin sehingga membentuk
honeycomb appearance atau bounches of grapes. Bayangan tersebut menunjukkan
kelainan yang terjadi pada bronkus (Kusumawidjaja, 2006).

Gambar 7. Gambaran Ring Shadow. Sumber: Kusumawidjaja, 2006

Gambar 8. Gambaran Ring Shadow. Sumber: Kusumawidjaja, 2006

2. Tramline Shadow
Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru. Bayangan ini terlihat
terdiri atas dua garis paralel yang putih dan tebal yang dipisahkan oleh daerah
berwarna hitam. Gambaran seperti ini sebenarnya normal ditemukan pada daerah
parahilus. Tramline shadow yang sebenarnya terlihat lebih tebal dan bukan pada
daerah parahilus (Kusumawidjaja, 2006).

Gambar 9. Tramline Shadow. Sumber: Kusumawidjaja, 2006


3. Tubular Shadow
Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya dapat mencapai 8
mm. Gambaran ini sebenarnya menunjukkan bronkus yang penuh dengan sekret.
Gambaran ini jarang ditemukan, namun gambaran ini khas untuk bronkiektasis
(Kusumawidjaja, 2006).

Gambar 10. Tubular Shadow. Sumber: Kusumawidjaja, 2006


b. Bronkografi
Bronkografi merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian media kontras ke
dalam sistem saluran bronkus pada berbagai posisi (AP, lateral, oblik). Pemeriksaan
ini selain menentukan adanya bronkiektasis juga menentukan bentuk-bentuk
bronkiektasis. Pemeriksaan bronkografi juga dilakukan pada penderita bronkiektasis
yang akan dilakukan pembedahan pengangkatan untuk menentukan luasnya paru yang
mengalami bronkiektasis yang akan diangkat (Rasad, 2006).

Gambar 11. Bronkografi yang menunjukkan bronkiektasis silindris disertai dilatasi bronkus
lobus bawah. Sumber: Kusumawidjaja, 2006.
c. CT Scan Thoraks
CT Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan penunjang terbaik untuk
mendiagnosis bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari foto thoraks dan melihat
kelainan jalan napas yang tidak terlihat pada foto polos thoraks. CT Scan resolusi
tinggi mempunyai sensitivitas 97% dan spesifisitas 93%. CT Scan resolusi tinggi akan
memperlihatkan dilatasi bronkus dan penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga
mampu mengetahui lobus mana yang terkena terutama penting untuk menentukan
apakah diperlukan pembedahan (Kusumawidjaja, 2006).

Gambar 12. CT Scan thoraks menunjukkan adanya dilatasi bronkus pada lobus
inferior kiri. Sumber: Kusumawidjaja, 2006.
V. DIAGNOSIS BANDING
Fibrosis Kistik kelainan yang ditemukan dapat bervariasi dari pasien yang satu
ke pasien yang lain, namun banyak individu yang memiliki gambaran radiografi yang
memperlihatkan bronkiektasis kronis disertai fibrosis kistik yangmeliputi: hiperinflasi,
penebalan dan dilatasi bronkus, peribronkial cuffing,mucoid impaction, kistik
radiolusen, peningkatan tanda interstisial dan penyebaran nodul-nodul ( Rahmatullah,
2009).

Beberapa penyakit yang perlu dipertimbangkan jika berhadapan dengan


bronkiektasis :
Bronkitis kronik

Tuberkulosis paru
Abses paru
Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya karsinoma paru, adenoma paru
(Rahmatullah, 2009).
VI. PENATALAKSANAAN
a. Pengelolaan Konservatif
1. Pengobatan Umum
Pengelolaan umum ini ditujukan terhadap semua pasien bronkiektasis, meliputi :

Menciptakan lingkungan yang tepat bagi pasien


Contohnya dengan membuat ruangan menjadi hangat, udara ruangan
kering,

mencegah

atau

menghentikan

merokok,

mencegah

atau

menghindari debu, asap dan sebagainya.


Memperbaiki drainase sekret bronkus (Rahmatullah 2009).

2. Melakukan Drainase Postural


Melakukan drainase postural tindakan ini merupakan cara yang paling efektif
untuk mengurangi gejala, tetapi harus terjadi secara terus-menerus. Pasien diletakkan
dengan posisi tubuh sedemikaian rupa sehingga dapat dicapai drainase sputum secara
maksimal. Tiap kali melakukan drainase postural dikerjakan selama 10-20 menit
samapi sputum tidak keluar lagi dan tiap hari dikerjakan 2 sampai 4 kali. Prinsip
drainase postural ini adalah usaha mengeluarkan sputum dengan bantuan gravitasi.
Untuk keperluan tersebut, posisi tubuh saat dilakukan drainase postural harus
disesuaikan dengan letak bronkiektasisnya. Tujuannya adalah untuk menggerakkan
sputum dengan pertolongan gaya gravitasi agar menuju ke hilus paru bahkan mengalir
sampai tenggorokan sehingga mudah dibatukkan keluar. Apabila dengan mengatur
posisi tubuh pasien seperti tersebut diatas belum diperoleh drainase sputum secara
maksimal dapat dibantu dengan tindakan memberikan ketukan dengan jari pada
punggung pasien (tabotage) (Rahmatullah 2009).
3. Mencairkan Sputum yang Kental
Hal ini dapat dilakukan dengan jalan inhalasi uap air panas atau dingin,
menggunakan obat-obatan mukolitik dan perbaikan hidrasi tubuh (Rahmatullah
2009).
4. Mengatur Posisi Tempat Tidur Pasien

Posisi tempat tidur pasien sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga posisi
tidur pasien dapat memudahkan drainase sekret bronkus (Rahmatullah 2009).
5. Mengontrol Infeksi Saluran Napas (Rahmatullah 2009).
Adanya infeksi saluran napas akut (ISPA) harus diminimalisir dengan
mencegah pajanan kuman dan bila sudah terinfeksi harus segera diobati agar tidak
berkelanjutan (Rahmatullah, 2009).
b. Pengobatan Khusus
1. Kemoterapi
Kemoterapi pada bronkiektasis dapat digunakan:
1). Secara kontinyu untuk mengontrol infeksi bronkus (ISPA),
2). Untuk pengobatan eksaserbasi infeksi akut pada bronkus/paru (Rahmatullah,
2009).
Pemilihan antibiotik mana yang harus dipakai sebaiknya berdasarkan hasil uji
sensitivitas kuman terhadap antibiotik. Antibiotik hanya diberikan kalau diperlukan
saja, yaitu apabila terdapat eksaserbasi infeksi akut. Antibiotik diberikan selama 7-10
hari, terapi tunggal atau kombinasi beberapa antibiotik, sampai kuman penyebab infeksi
terbasmi atau sampai terjadi konversi warna sputum yang semula berwarna kuning /
hijau menjadi mukoid (putih jernih). Selanjutnya ada dosis pemeliharaan. Ada yang
berpendapat bahwa kemoterapi dengan antibiotik ini apabila berhasil akan dapat
mengurangi gejala batuk, jumlah sputum dan gejala lainnya terutama pada saat ada
eksaserbasi akut, tetapi keadaan ini hanya bersifat sementara (Rahmatullah, 2009).
2. Drainase Sekret dengan Bronkoskop
Cara ini penting dikerjakan terutama pada permulaan perawatan pasien.
Keperluannya antara lain adalah untuk:
1). Menentukan darimana asal sekret,
2). Mengidentifikasi lokali stenosis atau obstruksi bronkus, dan
3). Menghilangkan obstruksi bronkus dengan sustion drainage daerah obstruksi
tadi (misalnya pada pengobatan atelektasis paru) (Rahmatullah, 2009).
3. Pengobatan Simtomatis
Pengobatan Obstruksi Bronkus
Apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus yang diketahui dari hasil uji faal
paru (% VEP 1 < 70%) dapat diberikan obat bronkodilator. Sebaiknya sewaktu
dilakukan uji faal paru dan diketahui adanya tanda obstruksi saluran napas sekaligus

dilakukan tes terhadap obat bronkodilator. Apabila hasil tes bronkodilator positif,
pasien perlu diberikan obat bronkodilator tersebut (Rahmatullah, 2009).

Pengobatan Hipoksia

Pada pasien yang mengalami hipoksia (terutama pada waktu terjadinya


eksaserbasi akut) perlu diberikan oksigen. Apabila pada pasien telah terdapat
komplikasi bronkitis kronik, pemberian oksigen harus hati-hati, harus dengan aliran
rendah (cukup 1 liter/menit) (Rahmatullah, 2009).

Pengobatan Hemoptisis

Apabila perdarahan cukup banyak (masif), mungkin merupakan perdarahan


arterial yang memerlukan tidakan operatif segera untuk menghentikan perdarahannya,
dan sementara harus diberikan transfusi darah untuk menggantikan darah yang hilang
(Rahmatullah, 2009).

Pengobatan Demam

Pada pasien dengan eksaserbasi akut sering terdapat demam, terlebih jika terjadi
septikemia. Pada keadaan ini selain perlu diberikan antibiotik yang sesuai, dosis cukup,
perlu ditambahkan obat antipiretik lainnya (Rahmatullah, 2009).

Pengobatan Pembedahan

Tujuan pembedahan adalah untuk mengangkat (reseksi) segmen/lobus paru yang


terkena bronkiektasis. Indikasi dilakukannya pembedahan antara lain pada pasien
bronkiektasis yang terbatas dan resektabel yang tidak berespon terhadap tindakantindakan konservatif yang adekuat, pasien yang sering mengalami infeksi berulang dan
pasien dengan hemoptisis masif. Sedangkan pasien dengan bronkiektasis disertai
PPOK, pasien bronkiektasis berat dan pasien dengan komplikasi korpulmonal kronik
dekompensata

tidak

boleh

dilakukan

pengobatan

pembedahan.

Syarat-syarat

dilakukannya pengobatan pembedahan adalah kelainan harus resektabel, daerah paru


yang terkena telah mengalami perubahan ireversibel dan bagian paru yang lain harus
masih baik (Rahmatullah, 2009).
VII. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang dapat ditemui pada pasien bronkiektasis antara lain:

Kegagalan pernapasan, merupakan komplikasi paling akhir yang timbul pada

bronkiektasis berat dan luas.


Abses otak sebagai akibat dari penyebaran infeksi secara hematogen.

Amiloidosis dengan gagal ginjal pada pasien dengan bronkiektasis berat dan

berlangsung lama.
Kor pulmonal kronik (KPK) sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasis
yang berat dan lanjut atau mengenai beberapa bagian paru. Bila terjadi
anastomosis cabang-cabang arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus
akan terjadi arterio-venous shunt sehingga dapat terjadi gangguan oksigenasi
darah, timbul sianosis sentral yang selanjutnya terjadi hipoksemia. Pada
keadaan selanjutnya akan terjadi hipertensi pumonal, kor pulmonal kronik yang
bila berlanjut akan menyebabkan gagal jantung kanan (Mandal, 2008).

VIII. PROGNOSIS
a. Kelangsungan Hidup
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat-ringannya serta luasnya
penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat
(konservatif atau pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit. Pada kasuskasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek, survivalnya tidak akan lebih
dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena pneumonia, empiema,
payah jantung kanan, hemoptisis danlain-lain. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi
bronkitis kronik berat dan difus biasanya disabilitasnya ringan (Dermawan, 2010).

b. Kelangsungan Organ
Kelainan pada bronkiektasis biasanya mengenai bronkus dengan ukuran sedang.
Adanya peradangan dapat menyebabkan destruksi lapisan muskular dan elastik dari
bronkus serta dapat pula menyebabkan kerusakan daerah peri bronchial. Kerusakan
ini biasanya akan menyebabkan timbulnya daerah fibrosis terutama pada daerah
peribronkial (Dermawan, 2010).
IX. PENCEGAHAN
Timbulnya bronkiektasis sebenarnya dapat dicegah kecuali pada bentuk
kongenital. Beberapa usaha untuk mencegah bronkiektasis antara lain :

Pengobatan dengan antibiotika dan terapi suportif lainnya secara tepat tehadap
semua bentuk pneumonia.

Tindakan vaksinasi pertusis, influenza dan pneumonia pada anak (Amin dan
Bahar, 2007).

2.3. Rongten Thorax


2.3.1 Anatomi Radiografi Thorax
Paru-paru terletak di dalam rongga dada di kedua sisi mediastinum, terpisah
dari perut oleh diafragma, paru-paru kanan lebih besar dari kiri karena kecenderungan
dari jantung ke sisi kiri. Dalam radiografi thorax normal, beberapa jaringan paru-paru
dikaburkan oleh tulang rusuk, klavikula, jantung, diafragma dan perut bagian atas
dalam proyeksi postero anterior. Paru-paru kanan terbagi menjadi lobus atas, tengah
dan bawah. Sedangkan paru-paru kiri terbagi menjadi lobus atas dan bawah ( Ekayuda,
2009).

Udara masuk melalui trakea yang kemudian bercabang menjadi bronkus kiri
dan kanan. Bronkus utama masuk hilus kemudian terbagi menjadi bronkiolus dan
alveolus. Paru-paru terisi udara, jadi tidak muncul pada radiografi thorax normal
(Ekayuda, 2009).

Gambar.13 Anatomi Radiografi Paru, PA. Sumber: Kusumawidjaja, 2006.

Gambar. 14 Anatomi Radiografi Paru, Lateral. Sumber: Kusumawidjaja, 2006.


Keterangan gambar
a = trakea
b = bronus kiri
c = bronkus kanan
d = fisura horizontalis
e = arteri pulmonalis
f = fisura oblique
g = diafragma (Kusumawidjaja, 2006).
2.3.2 Definisi Foto Polos Thorax Paru
Foto thorax paru merupakan jenis pemeriksaan radiologi untuk melihat kondisi
anatomi paru yang akan mengindikasikan kelainan-kelainan pada paru. Thorax terbagi
dua oleh mediastinum di tengah-tengah. Di sebelah kiri dan kanan mediastinum
terdapat paru-paru yang berisi udara, yang oleh karenanya relatif radiolusen (hitam)
bila dibandingkan dengan mediastinum, dinding thoraks dan bagian atas abdomen
(putih) (Ekayuda, 2009).
Hal-hal berikut yang menjadi kriteria foto thoraks paru:
1.

Diafragma untuk letak dan bentuknya.

2.

Daerah di bawah diafragma.

3.

Letak daripada trakea dan bayangan-bayangannya.

4.

Hili, untuk bentuk, letak dan besarnya.

5.

Lapangan paru (Rasad, 2006).

Foto thorax menggunakan kV yang bervariasi yaitu:


1.

Low kV 60 70 kV

2.

Medium kV 80 100 kV

3.

High kV 120 150 Kv (Rasad 2006).

Pemilihan kV sesuai dengan proyeksi foto dan ketebalan pasien/objek yang difoto
(Rasad 2006).
2.3.3 Indikasi dan Kontrindikasi
1.

Indikasi
Indikasi pemeriksaan thorax paru adalah hal-hal yang dianjurkan untuk

melakukan pemeriksaan ini yaitu, radang bronkus, radang paru, abses paru, emfisema,
atelektasis, bronkiektasis, efusi pleura, pneumotoraks, pleuritis, TBC dll (Ekayuda,
2009).
2.

Kontraindikasi

Sedangkan kontraindikasi pemeriksaan thorax paru adalah hal-hal yang dilarang


untuk melakukan pemeriksaan ini yaitu, wanita yang sedang hamil. Karena
dikhawatirkan

dapat

menimbulkan

kecacatan

atau

kelainan

tertentu

pada

janinnya (Ekayuda, 2009).

2.3 Posisi Foto

PA
Foto PA dapat dilakukan dengan erect (berdiri) atau duduk. Pada umunya,
pemeriksaan thoraks adalah posisi PA erect. Karena pada posisi ini apabila ada cairan
dalam paru akan nampak jelas batas-batasnya. Tujuannya untuk memperlihatkan
organ rongga dada beserta kelainannya (Ekayuda, 2009).
o Technical Faktor:
FFD 150 cm
Kaset 35cm x 43cm atau sesuai dengan lebar dada pasien.
Kolimasi letakkan pada daerah paru-paru yang akan diperiksa. Lakukan ekspose pada
akhir inspirasi penuh (Ekayuda, 2009).
o Posisi Pasien

Erect (berdiri ), bagian anterior tubuh menempel kaset. sisi atas kaset

berada 3 cm diatas margin kulit diatas apex thorax.


Dagu pasien diletakkan ditas cassette holder dan sedikit ekstensi.
Pasien meletakkan bagian belakang tangan di pinggang kanan-kiri.
Bahu dan lengan diputar ke luar & depan untuk membawa scapula
keluar dari cavum thorax.

Exposure dilakukan saat pasien diminta untuk inspirasi (Ekayuda, 2009).


o

Posisi Alat
Letakkan MSP pada pertengahan kaset.
CR diarahkan pada pertengahan kaset dengan ujung atas kaset harus
berjarak sekitar 7-8 cm diatas bahu pasien (Ekayuda, 2009).
Center Ray
Arah sinar Horizontal. Tegak lurus kaset (Ekayuda, 2009).

o Center Point
Pada T5-T6 (Ekayuda, 2009)
o Kriteria
Tampak gambaran trachea, lungs, arcus aorta dan jantung
Scapula tidak menutupi gambaran paru-paru
Kedua costal margin dan sinus costoprenikus tidak terpotong
Kedua paru simetris dilihat dari jarak costal margin ke columna

vertebra dan jarak acromioclavicular joint simetris


Tampak juga gambaran thoracal I-VII sebagai indikasi kV yang cukup
(Ekayuda, 2009).

Gambar 15. Posisi Foto Thorax PA. Sumber: Kusumawidjaja, 2006.

Gambar 16. Foto Thorax PA. Sumber: Kusumawidjaja, 2006.

AP (Antero Posterior)

Proyeksi ini digunakan sebagai alternatif untuk posisi PA. Yaitu apabila pasien
mengalami kelainan tertentu seperti sesak nafas, apabila dilakukan foto PA akan
memperburuk keadaan pasien. Teknik radiografi posisi AP sama dengan PA, yang
membedakan adalah arah sinarnya datang dari anterior tubuh pasien. Bagiam posterior
tubuh pasien menempel kaset. Dapat dilakukan dengan erect, supine atau semi erect
(Ekayuda, 2009).

Gambar 17. Posisi Foto Thorax AP. Sumber: Kusumawidjaja, 2006.

Gambar 18. Foto Thorax AP. Sumber: Kusumawidjaja, 2006.

Lateral

Pada foto lateral sering dilakukan pada sebelah kiri, kecuali jika Bila dicurigai
patologi di paru kanan, ambil foto lateral kanan. Penggunaan kV lebih besar daripada
posisi PA dan AP karena objek lebih tebal. Tujuan untuk memperlihatkan organ
rongga dada dan kelainannya dari lateral (Ekayuda, 2009).
o Technical Factor:
FFD = 150cm
Kaset = 35cm x 43cm atau sesuai dengan ukuran dada pasien
Kolimasi letakkan pada daerah paru-paru yang akan diperiksa. Lakukan
ekspose pada akhir inspirasi penuh (Ekayuda, 2009).
o Posisi Pasien
Berdiri menyamping bucky stand
Posisikan dada menempel kaset di salah satu sisi. Kedua lengan fleksi
dan diletakkan di atas kepala, usahalan true lateral (Ekayuda, 2009).
o Center Ray
Arah sinar Horizontal. Tegak lurus kaset (Ekayuda, 2009).

Center Point
Pada T5-T6 (Ekayuda, 2009).

Kriteria
Tampak gambaran paru dari sisi lateral, bagian apex superposisi
dengan bahu (Ekayuda, 2009).

Gambar 19. Posisi Foto Thorax Lateral. Sumber: Kusumawidjaja, 2006.

Gambar 20. Foto Thorax Lateral. Sumber: Kusumawidjaja, 2006.

Apical Lordotic
Foto ini dilakukan untuk melihat apex paru. Karena apabila dilakukan foto PA,

AP atau lateral bagian apex paru tertutup clavicula. Tujuan proyeksi ini intinya untuk
memperlihatkan masses di bawah klavikula (Ekayuda, 2009).
o Technical Factors
FFD = 150 cm.
Ukuran kaset = 35x35 cm atau sesuai ukuran dada pasien.
Kolimasi letakkan pada daerah paru-paru yang akan diperiksa.
Lakukan ekspos pada akhir inspirasi penuh (Ekayuda, 2009).
o Posisi Pasien

Pasien berdiri dengan jarak kurang lebih 1 kaki dari kaset, dan
menyondongkan badan ke belakang dengan bahu, leher dan bagian

belakang kepala bersentuhan dengan kaset.


Kedua tangan pasien diletakkan diatas pinggang, kedua telapak tangan

menghadap keluar dan bahu ditekuk ke depan (Ekayuda, 2009).


o Posisi Alat
Letakkan MSP pada pertengahan kaset.
CR diarahkan pada pertengahan kaset dengan ujung atas kaset harus
berjarak sekitar 7-8 cm diatas bahu pasien (Ekayuda, 2009).
o Center Ray
CR diangulasikan 10 - 20 ke arah kranial (Ekayuda, 2009).
o Center Point
Pada T5-T6 (Ekayuda, 2009).
o Kriteria
Tampak gambaran dari apex sampai sinus prenico-costalis kanan-kiri,
lapangan paru tampak. Kedua scapula tidak menutup lapangan paru, tampak
diafragma dan jantung (Ekayuda, 2009).

Gambar 21. Posisi Foto Apical Lordotic. Sumber: Kusumawidjaja, 2006.

Gambar 22. Foto Apical Lordotic. Sumber: Kusumawidjaja, 2006.

BAB III
STATUS PASIEN

UNIVERSITAS

DEPARTEMEN RADIOLOGI

ISLAM

STATUS PASIEN UNTUK UJIAN

INDONESIA

Untuk Dokter Muda

FAKULTAS KEDOKTERAN
Nama Dokter Muda

Lily Fitriani

NIM

10711213

Tanggal Ujian

31 November 2015

Rumah sakit

RSUD Dr. Soedirman Kebumen

Gelombang Periode

23 November 12 Desember 2015

1. Identitas Pasien
Nama

: Tn. MD

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 82 tahun

Tanda Tangan

Alamat

: Mirit, Kebumuen

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Buruh Bangunan

Tanggal masuk

: 31 November 2015

Nomor CM

: 293.939

2. Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 31 November 2015 pukul 15.30 WIB di IGD RSUD
Dr. Soedirman Kebumen.
Keluhan Utama : Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Soedirman Kebumen dengan rujukan dari dokter
kelurga dengan keluhan sesak napas. Sesak napas mulai dirasakan pasien sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit, namun memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengatakan adanya keluhan batuk sejak 2 tahun yang lalu dan memberat dalam 1
minggu ini, batuk berdahak berwarna kuning kehijauan, kadang-kadang dahak berwarna
kuning seperti nanah, keluar darah saat batuk saat ini disangkal, namun pasien pernah
mengalami batuk dengan dahak bercampur darah saat 2 bulan yang lalu, keluhan dirasakan
pasien sekitar 3 hari dan keluhan tersebut membaik dengan sendirinya.
Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri dada yang muncul saat pasien sedang batuk.
Pasien juga memiliki keluhan demam, demam yang dirasakan sering hilang timbul. Demam
biasanya tidak terlalu tinggi, pasien mengatakan sering merasa meriang. Namun sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit badan pasien terasa semakin panas, keluhan ini memperberat
keluhan batuk dan sesak pasien. Keluhan demam kambuh-kambuhan ini sering dialami oleh
pasien sejak pasien memiliki keluhan batuk yang berulang, tepatnya sekitar 2 tahun yang lalu.
Pasien juga merasakan nyeri pada bagian perut dan pemurunan nafsu makan serta penurunan
berat badan selama pasien menderita penyakit ini, namun pasien menyangkal pusing, mual,
muntah.
Pasien telah berobat ke dokter keluarga pada malam harinya, oleh dokter keluarga
pasien diberikan 3 macam obat dan dokter keluarga tersebut menyarankan pasien untuk
berobat ke RSUD, namun pasien tidak mengingat nama obat tersebut. Menurut pasien setelah
mengkonsumsi obat dari dokter keluarga tidak ada perubahan yang dirasakan oleh pasien,
hingga akhirnya pasien dibawa ke IGD menggunakan surat rujukan yang telah diberikan oleh
dokter keluarga sebelumnya.

Anamnesis Sistem
Serebrovaskular

: nyeri kepala (-), demam (+), lemas (+)

Kardiovaskular

: nyeri dada (+), berdebar- debar (-), berkeringat dingin (-)

Respiratori

: sesak nafas (+), batuk berdahak (+), pilek (-)

Gastrointestinal

: nyeri perut (+), mual (-), muntah (-), penurunan nafsu makan (+),
penurunan berat badan (+), diare (-), konstipasi (-)

Urogenital

: nyeri BAK (-), warna kencing kekuningan

Muskuloskeletal

: nyeri otot (-)

Integumentum

: benjolan pada kulit (-)

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki keluhan batuk berulang sejak 2 tahun yang lalu. Riwayat betuk dan

sedak sebelumnya disangkal oleh pasien.


Pasien memiliki riwayat penyakit tekanan darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu.
Pasien memiliki riwayat penyakit maag.
Pasien memiliki benjolan diwajah, tepatnya pada bagian hidung dan pipi. Benjolan
tersebut telah ada sejak 2 tahun yang lalu namun belum pernah diperiksakan oleh

pasien.
Pasien tidak mempunyai riwayat alergi, asma dan kencing manis.
Pasien belum pernah modok dirumah sakit sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa.


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami batuk lama.

Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan

Pasien adalah seorang buruh bangunan, pasien telah bekerja selama 20 tahun.
Pasien adalah seorang perokok, biasanya pasien merngkonsumsi 1 bungkus rokok

dalam satu hari. Pasien telah merokok selama 40 tahun.


Pasien tinggal bersama istri dan anak-anak pasien dengan lingkungan rumah yang
cukup bersih serta ventilasi yang cukup.

Resume Anamnesis
Seorang laki-laki berusia 82 tahun datang dengan keluhan sesak napas (+) batuk lama
(+) secara kambuh-kambuhan sejak 2 tahun yang lalu, batuk berdahak (+) berwarna kuning

kehijauan, nyeri dada (+), nyeri perut (+), penurunan nafsu makan (+) penurunan berat badan
(+) dan lemas (+) dengan riwayat hipertensi (+).
3. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 31 November 2015 pukul 15.50 WIB di IGD RSUD Dr. Soedirman
Kebumen.
Keadaan umum

: Cukup

Kesadaran

: Compos mentis, E4V5M6

Berat badan

: 54 kg

Pemeriksaan tanda vital

Tekanan darah
Suhu tubuh
Denyut nadi
Pernafasan

: 150/90 mmHg
: 38,3 C
: 96 x/menit, regular
: 28 x/ menit, regular

Skema manusia

Tidak didapatkan kelainan lokal pada pasien


Pemeriksaan Fisik Umum
Kepala

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher

: simetris, benjolan (-),

Thoraks

Cor

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: dinding dada kanan-kiri simetris, ictus cordis tidak terlihat


: ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicularis sinistra, thrill (-)
: kesan batas jantung membesar
: bunyi jantung I-II reguler, bising (-), murmur (-)

Pulmo

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: gerakan nafas kanan-kiri simetris, retraksi (-)


: fremitus kanan-kiri simetris
: sonor di seluruh lapang paru
: SDV (+/+), ronki basah kasar (+/+), ronki basah halus (+/+) wheezing

(+/+)
Abdomen

Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi

Ekstremitas

:
: dinding perut mendatar, benjolan (-)
: bising usus (+) 8x/menit
: nyeri tekan (+) di epigastrium
: timpani di seluruh lapang perut, tanda hepatomegali (-), tanda
splenomegali (-)
: oedem (-) pada ekstremitas superior dan inferior

Resume Pemeriksaan Fisik


Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup, kesadaran
compos mentis, tanda vital didapatkan adanya hipertensi, febris dan takipneu. Pemeriksaan
fisik umum pada thoraks ditemukan adanya ronkhi (+), pada perut ditemukan adanya nyeri
tekan pada epigastrium.
4. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (Tanggal 29 November 2015 Pukul 14.00 WIB)
Pemeriksaan
Hematologi

Hasil

Satuan

Nilai Rujukan

Hemoglobin

12,4

g/dl

11,7-15,5

Leukosit

17,3

103/ul

3,6-11,0

Hematokrit

39

35-47

Eritrosit

4,4

106/ul

3,80-5,20

Trombosit

220

103/ul

150-400

MCH

29

pg

26-34

MCHC

32

g/dl

32-36

MCV

89

fL

80-100

DIFF COUNT

Eosinofil

0,00

1-4

Basofil

0,10

0-1

Netrofil

90,80

50-70

Limfosit

4,00

22-40

Monosit
Kimia Klinik

5,10

4-8

Gula Darah Sewaktu

117

mg/dl

70-120

Ureum

57

mg/dl

10-50

Creatinin

0,80

mg/dl

0,60-1,10

SGOT

50

U/L

0-50

SGPT
Imunologi

28

U/L

0-50

HbSAg Rapid

Non Reaktif

Non Reaktif

Foto Thoraks PA (Tanggal 31 November 2015 Pukul WIB)

Interpretasi foto thorax sebagai berikut.


Pada foto thorax posisi erect, proyeksi PA, simetris, kondisi cukup, inspirasi cukup.

Tampak corakan vaskuler pulmo meningkat


Tampak perselubungan semiopak inhomogen pada basal pulmo dextra
Gambaran Honey Comb (+)

Sinus cotofrenicus dextra tumpul, sinus costofrenicus sinistra lancip.


CTR > 0,5

Kesan :

Bronkiektasis
Edema Pulmo
Kardiomegali

Resume Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah rutin didapatkan adanya anemia, leukositosis.


Rontgen thorax kesan Bronkiektasis, edem pulmo dan kardiomegali.

5. Daftar Masalah Pasien

Masalah aktif : batuk lama, sesak nafas, demam, nyeri perut, lemas, penurunan nafsu

makan.
Masalah pasif : riwayat hipertensi.

6. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis Primer
Diagnosis Banding

: Bronkiektasis.
Congestive Heart Failure.

Diagnosis Sekunder

Hipertensi
Gastritiss

7. Rencana
Rencana Tindakan Terapi

Diberikan O2 3-4 Lpm untuk mengatasi sesak napas yang dialami pasien
.
Diberikan pengobatan nebulizer menggunakan obat Ventolin + Fleksotide + Nacl tiap
6 jam untuk mengobati keluhan sesak napas. Pengobatan diberikan selama pasien

masih merasa sesak.


Diberikan injeksi ceftriaxone 2x1 gr untuk pengobatan infeksi paru-paru pada pasien.
Diberikan injeksi ranitidin 2x1 gr untuk pengobatan keluhan nyeri perut pada pasien.
Diberikan tablet ambroxol 3x30mg untuk pengobatan batuk berdahak pada pasien.
Diberikan tablet Parasetamol 3x500 mg untuk mengatasi demam dan nyeri perut.

Rencana Pemeriksaan Penunjang

Dilakukan pemeriksaan bronkografi untuk menentukan bentuk bronkiektasis serta


menentukan luasnya paru yang mengalami bronkiektasis.

BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis pasien didagnosa bronkiektasis berdasarkan gejala yang
dikeluhkan pasien berupa sesak napas, batuk berdahak dengan produksi sputum purulen yang
dialami pasien selama 2 tahun ini, batuk dengan sputum bercampur darah, nyeri dada,
penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan. Bronkiektasis merupakan kelainan
bronkus di mana terjadi pelebaran atau dilatasi bronkus lokal dan permanen karena kerusakan
struktur dinding pembuluh darah yang bermanifestasi sebagai peradangan saluran pernafasan
dan mudah kolaps, lalu menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak,
gangguan pembersihan mukus yang biasanya disertai dengan batuk dan kadang-kadang
hemoptisis, hal ini sesuai dengan keluhan yang dialami oleh pasien. Kebiasaan sehari-hari
pasien sebagai pekerja buruh bangunan yang menyebabkan pasien terpapar debu selama
puluhan tahun, serta riwayat merokok selama 40 tahun pada pasien mendukung terjadinya
peradangan paru-paru pada pasien.
Keluhan sesak napas yang dialami pasien terjadi pada kurang lebih 72% pasien
bronkiektasis tapi bukan merupakan temuan yang universal. Biasanya terjadi pada pasien
dengan bronkiektasis luas yang terlihat pada gambaran radiologisnya, hal ini teradi karena
rusaknya dinding bronkus sehingga menyebabkan kerusakan fungsi brokus meliputi rusaknya
elemen elastisitas dan otot-otot bronkus sehingga menyebabkan gangguan proses lewatnya
udara yang menyebabkan pasien merasa sesak napas. Keluhan batuk berdahak yang dialami
pasien dapat disebabkan oleh kerusakan mukosa dan silia pada bronkus, hal ini dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pada reflek batuk dan menimbulkan statis sputum.
Keluhan batuk dengan dahak bercampur darah atau terjadi pada 56-92% pasien dengan
bronkiektasis. Adanya sputum yang bercampur darah ini dapat menjadi akibat dari kerusakan
jalan napas dengan infeksi akut. Homoptisis mungkin terjadi masif dan berbahaya bila terjadi
perdarahan pada arteri bronkial. hemoptisis biasanya terjadi pada bronkiektasis kering.
Keluhan Nyeri dada yang dialami oleh pasien merupakan nyeri dada pleuritik, hal ini terjadi
pada 46% pasien pada sekali observasi. Paling sering merupakan akibat sekunder pada batuk

kronik, tetapi juga terjadi pada eksaserbasi akut. Keluhan demam yang dialami oleh pasien
merupakan suatu reaksi pertanda tubuh sedang mengalami peradangan. Penurunan berat
badan yang terjadi pada pasien ini biasanya terjadi pada pasien dengan bronkiektasis yang
berat. Hal ini terjadi akibat peningkatan kebutuhan kalori berkaitan dengan peningkatan kerja
pada batuk dan pembersihan sekret pada jalan napas, hal ini diperkuat dengan keadaan pasien
yang mengalami penurunan nafsu makan, sehingga kebutuhan kalori yang dibutuhkn pasien
semakin meningkat. Namun, pada umumnya semua penyakit kronik disertai dengan
penurunan berat badan. Demam biasanya terjadi akibat infeksi yang berulang.
Bronkiektasis yang dialami oleh pasien ini merupakan bronkiektasis berat. Hal ini
disimpulkan berdasarkan keluhan yang dialami pasien berupa batuk menahun dengan sputum
yang purulen dan adanya riwayat hemoptisis. Gambaran klinis lainnya selain batuk produktif
dengan sputum

banyak berwarna kotor dan berbau. Sering ditemukan adanya dispnea.

Umumnya keadaan pasien kurang baik. Pada pemeriksaan fisik paru, ditemukan ronki basah
kasar pada daerah paru yang terkena. Pada gambaran foto dada ditemukan kelainan
penambahan bronchovascular marking multiple cysts containing fluid levels (honey comb
appearance).
Pada foto thoraks pasien ditemukan gambaran honey comb appearance. Menurut
Rahmatullah, 2009 gambaran radiologi khas untuk bronkiektasis biasanya menunjukkan
kista-kista kecil dengan fluid level, mirip seperti gambaran sarang tawon (honeycomb
appearance) pada daerah yang terkena. Gambaran seperti ini hanya ditemukan pada 13%
kasus. Kadang-kadang gambaran radiologis paru pada bronkiektasis menunjukkan adanya
bercak-bercak pneumonia, fibrosis atau kolaps (ateletaksis), bahkan kadang-kadang
gambaran seperti pada paru normal (pada 7% kasus). Terdapat bayangan seperti cincin
dengan berbagai ukuran (dapat mencapai diameter 1 cm) dengan jumlah satu atau lebih
bayangan cincin sehingga membentuk honeycomb appearance atau bounches of grapes.
Bayangan tersebut menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus.
Setelah melakuakn dilakukan pemeriksaan pada pasien dan telah ditemukan penyakit
yang diderita oleh pasien, maka selanjutnya dilakukan penatalaksaan pada penyakit pasien.
Penatalaksaan yang pertama dilakukan adalah dengan melakukan pengolahan konservatif,
pengobatan khusus dan pengobatan simptomatik. Penatalaksaan konservatif dilakukan
dengan menciptakan lingkungan yang tepat pada pasien dengan membuat ruangan menjadi
hangat, udara ruangan kering, mencegah atau menghentikan merokok, mencegah atau
menghindari debu dan asap. Melakukan drainase portural tindakan ini merupakan cara yang

paling efektif untuk mengurangi gejala. Prinsip drainase postural ini adalah usaha
mengeluarkan sputum dengan bantuan gravitasi. Untuk keperluan tersebut, posisi tubuh saat
dilakukan drainase postural harus disesuaikan dengan letak bronkiektasisnya. Tujuannya
adalah untuk menggerakkan sputum dengan pertolongan gaya gravitasi agar menuju ke hilus
paru bahkan mengalir sampai tenggorokan sehingga mudah dibatukkan.
Selain

penatalaksaan

konserfatif

kemudian

dilakukan

pengobatan

khusus,

penatalaksaan ini adalah dengan kemoterapi menggunakan antibiotika. Pemilihan antibiotik


mana akan digunakan sebaiknya berdasarkan hasil uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik.
Karena belum dilakukan uji sensitivisasi terhadap kuman yang terdapat pada paru-paru
pasien maka pasien diberikan antibiotika spektrum luas berupa ceftriaxone. Antibiotik
diberikan selama 7-10 hari, terapi tunggal atau kombinasi beberapa antibiotik, sampai kuman
penyebab infeksi terbasmi atau sampai terjadi konversi warna sputum yang semula berwarna
kuning / hijau menjadi mukoid (putih jernih). Selanjutnya ada dosis pemeliharaan. Ada yang
berpendapat bahwa kemoterapi dengan antibiotik ini apabila berhasil akan dapat mengurangi
gejala batuk, jumlah sputum dan gejala lainnya terutama pada saat ada eksaserbasi akut.
Kemudian selain itu diberikan juga pengobatan simptomatik, karena pasien
mengalami sesak napas maka diberikan O2 3-4 Lpm, kemudian diberikan nebulizer
menggunakan obat Ventolin + Fleksotide + Nacl tiap 6 jam. Pengobatan ini diberikan selama
pasien masih merasa sesak. Selain itu untuk keluhan lainnya berupa batuk berdahak diberikan
tablet ambroxol 3x30mg, diberikan tablet Parasetamol 3x500 mg untuk mengatasi demam
dan nyeri perut dan diberikan injeksi ranitidin 2x1 gr untuk pengobatan keluhan nyeri perut
pada pasien.

BAB V
KESIMPULAN
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi dan
distorsi bronkus lokal yang bersifat patologik dan berjalan kronik, persisten atau
ireversibel. Manifestasi klinis dari bronkiektasis adalah batuk dan produksi sputum
harian yang mukopurulen sering berlangsung hingga tahunan, selain itu ada juga
gejala lainnya berupa hemoptisis, dyspnea, nyeri dada dan penurunan berat badan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mediagnosa penyakit
bronkiektasis adalah dengen foto rontgen thorax, bronkografi dan CT-Scan thorax.
Gambaran radiologis yang menyokong diagnosis bronkiektasis pada rontgen thorax
adalah gambaran Ring Shadow yang menyerupai gambaran Honey Comb Appearance
atau Bounches Of Grapes, gambaran Tramline Shadow, gambaran Tubular Shadow.
Pada pemeriksaan bronkografi akan menunjukkan bentuk bronkiektasis serta
menentukan luas bagian paru yang terkena. Pemeriksaan CT-Scan Thorax merupakan
penunjang terbaik untuk mendiagnosis bronkiektasis. Pada pemeriksaan ini kita akan
mengetahui lobus mana yang terkena terutama penting untuk menentukan apakah
diperlukan pembedahan. Penatalaksaan pada bronkiektasis dapat dilakukan dengan
pengeloaan konservatif dan drainase postural, pengobatan khusus dan pengobatan
simptomatik.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Z. dan Bahar, A. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi IV . Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. pp: 988-993
Bronkiektasis. http://medicastore.com/med/detail_pyk.php, 2004 5.Hassan I.
Barker, Alan F. 2002. Bronchiectasis. Medical Progress. N Engl J Med, Vol. 346, Diakses 4
Desember 2015. Dari: http:// www.nejm.org

Dermawan,

R.

2010.

Sistem

Pernapasan.

Diakses

dari:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21283/4/Chapter%20II.pdf
Ekayuda, I. 2009. Radilogi Diagnostik. Balai Penerbit FK UI : Jakarta
http://medicina-islamica-lg.blogspot.co.id/2012/03/anatom
https://en.wikipedia.org/wiki/Pulmonary_pleuraei-pulmo-paru.html
Huriawati, dkk.2006. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi enam. Jakarta : EGC.
Kusumawidjaja. 2006. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta : FK UI.

Mandal, B.K, et all. 2008. Lecture Notes; Penyakit Infeksi Edisi Keenam.
Jakarta:Erlangga
Mahanani, D.A., Hartanto, H., Susi, N., Wulansari, P. (eds). 2006. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC.
Rahmatullah, Pasiyan. 2009. Bronkiektasis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing

Rahajoe, N.N. dkk (eds). 2008. Pedoman Nasional Tuberculosis Anak. Jakarta : Unit
Koordinasi Kerja Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Rahmawati, A. Dkk. 2008. Bronkiektasis. fkui.org/tiki-download_wiki_attachment.?


attId=1495&page=Aktifitas
Reviono. 2011. Kuliah Penunjang Blok Respirasi: TBC. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret
Rasad, Sahriar dkk. 2006. Radiologi Diagnostik. Jakarta. Gaya Baru
Rusdi. 2008. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press.

Anda mungkin juga menyukai