Pendahuluan
Kemajuan jaman yang terus berkembang disegala bidang, tidak hanya dapat
memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, tetapi juga dapat merugikan
masyarakat. Hal yang dapat merugikan antara lain yaitu adanya polusi udara yang
dapat mempengaruhi derajat kesehatan. Gangguan kesehatan akibat polusi udara
diantaranya adalah gangguan pada saluran pernapasan yaitu salah satunya
bronkiektasis. Riwayat bronkiektasis pertama kali dikemukakan oleh Rene Theophile
Hyacinthe Laennec pada tahun 1819 pada pasien dengan flegmon supuratif. Tahun
1922, Jean Athanase Sicard dapat menjelaskan perubahan destruktif saluran
respiratorik pada gambaran radiologis melalui penemuannya, yaitu bronkografi
dengan kontras. Adanya pemberian imunisasi terhadap pertusis, campak, dan juga
regiman pengobatan penyakit Tuberkulosis (TB) yang lebih baik, maka diduga
prevalens penyakit ini semakin rendah. Hal ini dikarenakan penyakit TB dan pertusis
merupakan salah satu penyebab bronkiektasis (Rahajoe dkk, 2008).
Frekuensi bronkiektasis dilaporkan lebih tinggi di negara berkembang yang
mana negara tersebut juga banyak melaporkan kejadian penyakit campak, TB, dan
infeksi HIV. Di Negara maju, kejadian penyakit ini berkaitan dengan fibrosis kistik
atau defisiensi imun. Meskipun di negara maju insidensnya dilaporkan mengalami
penurunan, tetapi akhir-akhir ini diperkirakan meningkat sejalan dengan penggunaan
metode pemeriksaan yang semakin sensitif. Hasil penelitian di Australia menunjukkan
bahwa angka kejadian bronkiektasis yang dikonfirmasi dengan HRCT (High
Resulution Computed Tomografi) pada anak berusia di bawah 15 tahun adalah 147 per
10.000 anak suku Aborigin. Survei nasional yang dilakukan oleh dokter anak di New
Zealand menyatakan bahwa insidens bronkiektasis nonkistik fibrosis pada populasi
ini 3,7 per 100.000 dengan prevalens 1 per 3000 orang. Data dari Inggris
memperlihatkan prevalens 1 setiap 5.800 anak (Rahajoe dkk, 2008).
Bronkiektasis merupakan kelainan bronkus di mana terjadi pelebaran atau
dilatasi bronkus lokal dan permanen karena kerusakan struktur dinding. Bronkiektasis
merupakan kelainan saluran pernapasan yang sering kali tidak berdiri sendiri, akan
tetapi dapat merupakan bagian dari suatu sindrom atau sebagai akibat (penyulit) dari
kelainan paru yang lain. Insiden bronkiektasis cenderung menurun dengan adanya
kemajuan pengobatan antibiotik. Akan tetapi, perlu diingat bahwa insiden ini juga
dipengaruhi oleh kebiasaan merokok, polusi udara, dan kelainan kongenital (Mandal,
2008). Di negara-negara barat, kekerapan bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3%
di antara populasi. Kekerapan setinggi itu ternyata mengalami penurunan yang berarti
sesudah dapat ditekannya frekuensi kasus-kasus infeksi paru dengan pengobatan
memakai antibiotik. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti
mengenai penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan di klinikklinik dan diderita oleh laki-laki maupun wanita. Penyakit ini dapat diderita mulai
sejak anak, bahkan dapat merupakan kelainan kongenital (Rahmatullah, 2004).
Bronkiektasis merupakan penyebab kematian yang amat penting di negaranegara berkembang terutama negara dengan sarana medis dan terapi antibiotika
terbatas. Bronkiektasis pada umumnya terjadi pada penderita dengan umur rata-rata
39 tahun, terbanyak pada usia 60-80 tahun. Sebab kematian yang terbanyak pada
bronkiektasis adalah karena gagal napas. Kejadian ini lebih banyak menyerang
perempuan dibading dengan laki-laki, dan bukan perokok. Untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang memadai, maka peran serta tenaga kesehatan sangat
dibutuhkan. Peran fisioterapis dalam membantu penderita bronkiektasis yang pertama
adalah aspek promotif, fisioterapis memberikan terapi pada klien meliputi biopsikososio, kultural-spritual, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan klien. Kedua
adalah preventif, untuk mencegah timbulnya gejala-gejala yang terjadi. Ketiga adalah
kuratif, suatu terapi/ pengobatan yang dilakukan apabila gejala-gejala tadi sudah
menjadi kronis, yang terakhir adalah rehabilitatif, merupakan cara pemulihan untuk
sehat kembali dalam melakukan aktifitas sehari-hari (Mandal, 2008).
Pemeriksaan radiologi yang digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosa pada bronkiektasis ini adalah pemeriksaan rontgen thorax. Radiologi
merupakan suatu ilmu tentang penggunaan sumber sinar pengion dan bukan pengion,
gelombang suara dan magnet untuk imaging diagnostik dan terapi. Rontgen
merupakan satuan pemaparan radiasi yang memberikan muatan 2, 58 X 10-4 coulomb
per kg udara. Rontgen merupakan satuan nilai penyinaran sinar x atau sinar , tetapi
tidak digunakan untuk sinar , , atau neutron. Alat pengukurradiasi biasanya
dikalibrasi dalam rontgen atau m R (milirontgen , 1 R = 1000 mR). untuk sinar -
dan sinar dengan energy yang sampai 3 MeV yang melalui air atau jaringan lunak,
suatu penyinaran sebesar 1 R ekivalen dan dosis serap sebesar 0, 93 0, 98 rad
(Rusdi, 2008).
Foto rontgen thorax atau sering disebut chest x-ray (CXR) adalah suatu
proyeksi
radiografi
dari
thorax
untuk
mendiagnosis
kondisi-kondisi
yang
tubuh dan arah pancaran X-ray. Gambaran yang paling umum adalah
posteroanterior (PA), anteroposterior (AP) dan lateral. Pada kasus ini foto rontgen
thorax diambil dari proyeksi PA. Foto PA dapat dilakukan dengan erect (berdiri) atau
duduk. Pada umunya, pemeriksaan thoraks adalah posisi PA erect. Karena pada posisi
ini apabila ada cairan dalam paru akan nampak jelas batas-batasnya. Tujuannya untuk
memperlihatkan organ rongga dada beserta kelainannya (Ekayuda, 2009).
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1. Anatomi dan fisiologi
2.1.1. Paru
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama sebagai
alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki peran untuk
terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida (CO2). Pertukaran ini
terjadi pada alveolus-alveolus di paru melalui sistem kapiler. Paru terdiri atas 3 lobus
pada paru sebelah kanan, dan 2 lobus pada paru sebelah kiri. Pada paru kanan lobuslobusnya antara lain yakni lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Sementara
pada paru kiri hanya terdapat lobus superior dan lobus inferior. Namun pada paru kiri
terdapat satu bagian di lobus superior paru kiri yang analog dengan lobus medius paru
kanan, yakni disebut sebagai lingula pulmonis. Di antara lobus-lobus paru kanan
terdapat dua fissura, yakni fissura horizontalis dan fissura obliqua, sementara di antara
lobus superior dan lobus inferior paru kiri terdapat fissura obliqua (Amir dan Bahar,
2007).
Gamba
r 1. anatomi paru. Sumber : Medicina Islamica, 2012
Paru sendiri memiliki kemampuan recoil, yakni kemampuan untuk
mengembang dan mengempis dengan sendirinya. Elastisitas paru untuk mengembang
dan mengempis ini di sebabkan karena adanya surfactan yang dihasilkan oleh sel
alveolar tipe 2. Namun selain itu mengembang dan mengempisnya paru juga sangat
dibantu oleh otot-otot dinding thoraks dan otot pernafasan lainnya, serta tekanan
negatif yang teradapat di dalam cavum pleura (Amir dan Bahar, 2007).
2.1.2 Cavum thoraks
Paru terletak pada sebuah ruangan di tubuh manusia yang di kenal sebagai
cavum thoraks. Karena paru memiliki fungsi yang sangat vital dan penting, maka
cavum thoraks ini memiliki dinding yang kuat untuk melindungi paru, terutama dari
trauma fisik. Cavum thoraks memiliki dinding yang kuat yang tersusun atas 12 pasang
costa beserta cartilago costalisnya, 12 tulang vertebra thoracalis, sternum, dan otototot rongga dada. Otot-otot yang menempel di luar cavum thoraks berfungsi untuk
membantu respirasi dan alat gerak untuk extremitas superior (Dermawan, 2010).
2.1.3 Pleura
2.1.4. Fisiologi
Dari gambar dapat kita lihat bahwa cabang utama bronkus kanan dan kiri akan
bercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan
terus-menerus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya
menjadi bronkiolus terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak mengandung alveoli.
Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1 mm. Bronkiolus tidak
diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat
berubah. Seluruh saluran udara sampai pada tingkat ini disebut saluran penghantar
udara karena fungsinya menghantarkan udara ke tempat pertukaran gas terjadi
(Dermawan, 2010).
Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional dari paru
paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakkus
alveolaris terminalis. Asinus atau kadang disebut lobulus primer memiliki diameter
0,5 sampai 1 cm. Terdapat sekitar 23 percabangan mulai dari trakea sampai sakkus
alveolaris terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh septum.
Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn yang memungkinkan komunikasi
antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel saja, namun jika seluruh alveolus yang
berjumlah sekitar 300 juta itu dibentangkan akan seluas satu lapangan tennis
(Dermawan, 2010).
Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi oleh
kapiler-kapiler darah. Batas antara cairan dengan gas akan membentuk suatu tegangan
permukaan yang cenderung mencegah ekspansi pada saat inspirasi dan cenderung
kolaps saat ekspirasi. Di sinilah letak peranan surfaktan sebagai lipoprotein yang
mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi saat inspirasi sekaligus
mencegah kolaps saat ekspirasi (Dermawan, 2010).
Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus dipengaruhi oleh
kematangan sel-sel alveolus, enzim biosintetik utamanya alfa anti tripsin, kecepatan
regenerasi,
ventilasi
yang
adekuat
serta
perfusi
ke
dinding
alveolus.
asing mudah masuk ke dalam bronkus dextra. Panjangnya kira-kira 2,5 cm dan masuk
kedalam hilus pulmonis setinggi vertebra thoracalis VI. Vena Azygos melengkung di
sebelah cranialnya. Ateria pulmonalis pada mulanya berada di sebelah inferior,
kemudian beradadi sebelah ventralnya. Membentuk tiga cabang (bronkus sekunder),
masing-masing menuju ke lobussuperior, lobus medius, dan lobus inferior. Bronkus
sekunder yang menuju ke ke lobus superior letaknya di sebelah cranial a.pulmonalis
dan disebut bronkus eparterialis. Cabang bronkus yangmenuju ke lobus medius dan
lobus inferior berada di sebelah caudala pulmonalis disebut bronkus hyparterialis.
Selanjutnya bronkus sekunder tersebut mempercabangkan bronkus tertier yang
menuju ke segmen pulmo (Amir dan Bahar, 2007).
Bronkus Sinistra mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi bentuknya lebih
panjang dari pada bronkus dextra. Berada di sebelah caudal arcus aortae, menyilang di
sebelah ventral oesophagus, ductus thoracicus, dan aortathoracalis. Pada mulanya
berada di sebelah superior arteri pulmonalis, lalu di sebelah dorsalnya dan akhirnya
berada di sebelah inferiornya sebelum bronkus bercabang menuju ke lobus superior
dan lobus inferior, disebut letak bronkus hyparterialis. Pada tepi lateral batas trachea
dan bronkus terdapat lymphonodus tracheobronchialis superior dan pada bifurcatio
trachea (di sebelah caudal) terdapat lymphonodus tracheobronchialis inferior.
Bronkus memperoleh vascularisasi dari a.thyroidea inferior. Innervasinya berasal dari
N.vagus, n. Recurrens, dan truncus sympathicus (Amir dan Bahar, 2007).
2.2. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi dan
distorsi bronkus lokal yang bersifat patologik dan berjalan kronik, persisten atau
ireversibel. Dilatasi tersebut menyebabkan berkurangnya aliran udara dari dan ke
paru-paru. Dengan alasan ini, bronkiektasis digolongkan dalam penyakit paru
obstruktif kronik, yang bermanifestasi sebagai peradangan saluran pernafasan dan
mudah kolaps, lalu menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak,
gangguan pembersihan mukus yang biasanya disertai dengan batuk dan kadangkadang hemoptisis. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan
dalam dinding bronkus berua destruksi elemen elastis, otot polos bronkus, tulang
rawan dan pembuluh-pembuluh darah. Bronkus yang terkena pada umunya adalah
bronkus yang memiliki ukuran sedang, sedangkan bronkus dengan ukuran besar pada
umumnya jarang (Rahajoe, 2008).
Campbell
Syndrome),
penyakit
akibat
penimbunan
mukus
(Fibrosiskistik, kelainan fungsi silia), akibat infeksi (Pneumonia yang berat pada
anak, defisiensi imunoglobulin) dan penyakit inflamasi (Kolitis ulceratif). Pada
kebanyakan kasus, infeksi merupakan penyebab tersering dari inflamasi jalan nafas
(Mahanani, 2006).
Dalam keadaan normal, dinding bronkus terbuat dari beberapa lapisan yang
ketebalan dan komposisinya bervariasi pada setiap bagian dari saluran pernapasan.
Lapisan dalam (mukosa) dan daerah dibawahnya (submukosa) mengandung sel-sel
yang melindungi saluran pernafasan dan paru-paru dari zat-zat yang berbahaya. Selsel ini terdiri dari sel penghasil lendir Sel bersilia, yang memiliki rambut getar untuk
membantu menyapu partikel- partikel dan lendir ke bagian atas atau keluar dari
saluran pernafasan. Sel-sel lainnya yang berperan dalam kekebalan dan sistem
pertahanan tubuh melawan organisme dan zat-zat yang berbahaya lainnya (Mahanani,
2006).
Berdasarkan lokasinya bronkiektasis dibagi menjadi:
Setempat (localized) yaitu di lobus bawah, lobus tengah kanan atau lingula,
biasanya sebagai komplikasi dari pneumonia berat, dapat juga karena
penyumbatan oleh benda asing, tumor atau penekanan dari luar (kompresi oleh
tuberkulosis kelenjar limfa). Bronkiektasis di lobus atas biasanya disebabkan
II. INSIDENS
Angka kejadian yang sebenarnya dari bronkiektasis tidak diketahui pasti. Di
negara-negara Barat, insidens bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3% diantara
IV. ETIOLOGI
Penyebab bronkiektasis sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Namun
diduga bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat (Mahananai,
2006).
Kelainan Kongenital
fibrosis
kistik,
Kertagener
Syndrome, William
Campbell
Kelainan Didapat
Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita
pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia
merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita
semasa anak, tuberkulosis paru, dan sebagainya. Aspergillosis
V. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan defenisinya, bronkiektasis menggambarkan suatu keadaandimana
terjadi dilatasi bronkus yang ireversibel yang merupakan akibat dari destruksi
komponen muskular dan elastis pada dinding bronkus. Rusaknya kedua komponen
tersebut adalah akibat dari suatu prosesinfeksi, dan juga oleh pengaruh cytokine
inflamasi, nitrit okside dan netrophilic protease yang dilepaskan oleh system imun
tubuh sebagai respon terhadapantigen. Mukus mengandung produk-produk neutrofil
yang bisa merusak jaringan paru (protease serin, elastase, kolagenase), oksida nitrit,
sitokin inflamasi (IL8) dan substansi yang menghambat gerakan silia dan mucociliary
clearance. Bronkiektasis dapat terjadi pada kerusakan secara langsung dari dinding
bronkus atau secara tidak langsung dari intervensi pada pertahanan normal jalannafas.
Pertahanan jalan nafas terdiri dari silia yang berukuran kecil pada jalannafas. Silia
tersebut bergerak berulang-ulang, memindahkan cairan berupa mukusyang normal
melapisi jalan nafas. Partikel yang berbahaya dan bakteri yang terperangkap pada
lapisan mukus tersebut akan dipindahkan naik ke tenggorokandan kemudian batukkan
keluar atau tertelan (Huriawati dkk, 2006).
Terlepas dari apakah kerusakan tersebut diakibatkan secara langsung atau tidak
langsung, daerah dinding bronkus mengalami kerusakan dan menjadi inflamasi yang
kronik. Bronkus yang mengalami inflamasi akan kehilangan keelastisannya, sehingga
bronkus akan menjadi lebar dan lembek serta membentuk kantung atau saccus yang
menyerupai balon yang kecil. Inflamasi juga meningkatkan sekresi mukus. Karena sel
yang bersilia mengalami kerusakan, sekret yang dihasilkan akan menumpuk dan
memenuhi jalan nafas dan menjadi tempat berkembangnya bakteri. Yang pada
sputum berwarna kehijauan), produksi sputum terjadi dengan adanya perubahan posisi
tubuh, hemoptisis jarang terjadi, pasien tampak sehat dan fungsi paru normal
(Mahananai, 2006).
2. Tipe sedang
Ciri klinis : batuk produktif terjadi setiap saat, sputum sering berwarna kehijauan,
hemoptisis sering ditemukan, pasien umumnya tampak sehat dan fungsi paru normal.
Jarang ditemukan jari tabuh. Pada pemeriksaan fisik, sering ditemukan ronki basah
kasar pada daerah paru yang terkena gambaran foto dada, masih terbilang normal
(Mahananai, 2006).
3. Tipe berat
Ciri klinis : batuk produktif dnegan sputum banyak berwarna kotor dan berbau.
Sering ditemukan pneumonia dengan hemoptisis dan nyeri pelura. Sering ditemukan
jari tabuh. Bila ada obstruksi napas, dapat ditemukan adanya dispnea, sianosis.
Umumnya keadaan pasien kurang baik. Pada pemeriksaan fisik paru, ditemukan ronki
basah kasar pada daerah paru yang terkena. Pada gambaran foto dada ditemukan
kelainan:
1) penambahan bronchovascular marking
2) multiple cysts containing fluid levels (honey comb appearance)
(Mahananai, 2006).
sebagai
bronkiektasis
berat.
Namun
sekarang
diklasifikasikan
berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien fibrosis kistik, volume sputum pada
umumnya
(Rahmatullah, 2009).
Dyspnea terjadi pada kurang lebih 72% pasien bronkiektasis tapi bukan
merupakan temuan yang universal. Biasanya terjadi pada pasien dengan
bronkiektasis luas yang terlihat pada gambaran radiologisnya (Rahmatullah,
2009).
Wheezing sering dilaporkan dan mungkin akibat obstruksi jalan napas yang
diikuti oleh destruksi dari cabang bronkus. Seperti dyspnea, ini juga mungkin
Spirometri
Pada spirometri sering menunjukkan keterbatasan aliran udara dengan rasio
penurunan volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1) untuk memaksa volume
kapasitas paksa (FVC). FVC normal atau sedikit berkurang dan FEV1 menurun.
Penurunan FVC menunjukkan bahwa saluran udara tertutup oleh lendir, di mana
saluran napas kolaps saat ekspirasi paksa atau adanya pneumonitis pada paru
(Huriawati, 2006).
Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pada gambaran makroskopis paru bronkiektasis tampak dilatasi permanen dari
jalan napas subsegmental yang mengalami inflamasi, berliku-liku dan sebagian atau
sepenuhnya dipenuhi mukus. Proses ini meliputi bronkiolus dan bagian akhir jalan
napas yang ditandai dengan fibrosis jalan napas kecil. Gambaran Mikroskopis.
Seluruh lapang pandang tampak inflamasi kronik pada dinding bronkus dengan sel
inflamasi dan mukus di dalam lumen. Terdapat destruksipada lapisan elastin pada
dinding bronkus dengan fibrosis. Netrofil merupakan populasi sel terbanyak dalam
lumen bronkus, sedangkan sel yang terbanyak pada dinding bronkus adalah
mononuklear.Pada aspergilosis bronkopulmonaris alergi perubahan umumnya terjadi
pada jalan napas yang proksimal (Huriawati, 2006).
Pada pemeriksaan patologi anatomi terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik
mengenai jumlah atau luasnya bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit.
Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan berupa proses inflamasi
yang sifatnya destruktif dan ireversibel. Pada pemeriksaan patologi anatomi sering
ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses inflamasi serta terdapat proses fibrosis.
Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga
elemen-elemen elastis (Huriawati, 2006).
a. Mukosa bronkus
Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia pada selepitel
menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa, dan terjadi sebukan
hebat sel-sel inflamasi. Apabila terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa
akan terjadi pengelupasan, ulserasi, dan pernanahan (Huriawati, 2006).
b. Jaringan paru peribronkial
Pada parenkim paru peribronkial dapat ditemukan kelainan antara lain berupa
pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis apabila prosesnya dekat pleura. Pada
keadaan yang berat, jaringan parudistal bronkiektasis akan diganti jaringan
fibrotik dengan kista-kista berisi nanah (Huriawati, 2006).
Pemeriksaan Radiologis
a. Rontgen Thoraks
1. Ring Shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran (dapat mencapai
diameter 1 cm) dengan jumlah satu atau lebih bayangan cincin sehingga membentuk
honeycomb appearance atau bounches of grapes. Bayangan tersebut menunjukkan
kelainan yang terjadi pada bronkus (Kusumawidjaja, 2006).
2. Tramline Shadow
Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru. Bayangan ini terlihat
terdiri atas dua garis paralel yang putih dan tebal yang dipisahkan oleh daerah
berwarna hitam. Gambaran seperti ini sebenarnya normal ditemukan pada daerah
parahilus. Tramline shadow yang sebenarnya terlihat lebih tebal dan bukan pada
daerah parahilus (Kusumawidjaja, 2006).
Gambar 11. Bronkografi yang menunjukkan bronkiektasis silindris disertai dilatasi bronkus
lobus bawah. Sumber: Kusumawidjaja, 2006.
c. CT Scan Thoraks
CT Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan penunjang terbaik untuk
mendiagnosis bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari foto thoraks dan melihat
kelainan jalan napas yang tidak terlihat pada foto polos thoraks. CT Scan resolusi
tinggi mempunyai sensitivitas 97% dan spesifisitas 93%. CT Scan resolusi tinggi akan
memperlihatkan dilatasi bronkus dan penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga
mampu mengetahui lobus mana yang terkena terutama penting untuk menentukan
apakah diperlukan pembedahan (Kusumawidjaja, 2006).
Gambar 12. CT Scan thoraks menunjukkan adanya dilatasi bronkus pada lobus
inferior kiri. Sumber: Kusumawidjaja, 2006.
V. DIAGNOSIS BANDING
Fibrosis Kistik kelainan yang ditemukan dapat bervariasi dari pasien yang satu
ke pasien yang lain, namun banyak individu yang memiliki gambaran radiografi yang
memperlihatkan bronkiektasis kronis disertai fibrosis kistik yangmeliputi: hiperinflasi,
penebalan dan dilatasi bronkus, peribronkial cuffing,mucoid impaction, kistik
radiolusen, peningkatan tanda interstisial dan penyebaran nodul-nodul ( Rahmatullah,
2009).
Tuberkulosis paru
Abses paru
Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya karsinoma paru, adenoma paru
(Rahmatullah, 2009).
VI. PENATALAKSANAAN
a. Pengelolaan Konservatif
1. Pengobatan Umum
Pengelolaan umum ini ditujukan terhadap semua pasien bronkiektasis, meliputi :
mencegah
atau
menghentikan
merokok,
mencegah
atau
Posisi tempat tidur pasien sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga posisi
tidur pasien dapat memudahkan drainase sekret bronkus (Rahmatullah 2009).
5. Mengontrol Infeksi Saluran Napas (Rahmatullah 2009).
Adanya infeksi saluran napas akut (ISPA) harus diminimalisir dengan
mencegah pajanan kuman dan bila sudah terinfeksi harus segera diobati agar tidak
berkelanjutan (Rahmatullah, 2009).
b. Pengobatan Khusus
1. Kemoterapi
Kemoterapi pada bronkiektasis dapat digunakan:
1). Secara kontinyu untuk mengontrol infeksi bronkus (ISPA),
2). Untuk pengobatan eksaserbasi infeksi akut pada bronkus/paru (Rahmatullah,
2009).
Pemilihan antibiotik mana yang harus dipakai sebaiknya berdasarkan hasil uji
sensitivitas kuman terhadap antibiotik. Antibiotik hanya diberikan kalau diperlukan
saja, yaitu apabila terdapat eksaserbasi infeksi akut. Antibiotik diberikan selama 7-10
hari, terapi tunggal atau kombinasi beberapa antibiotik, sampai kuman penyebab infeksi
terbasmi atau sampai terjadi konversi warna sputum yang semula berwarna kuning /
hijau menjadi mukoid (putih jernih). Selanjutnya ada dosis pemeliharaan. Ada yang
berpendapat bahwa kemoterapi dengan antibiotik ini apabila berhasil akan dapat
mengurangi gejala batuk, jumlah sputum dan gejala lainnya terutama pada saat ada
eksaserbasi akut, tetapi keadaan ini hanya bersifat sementara (Rahmatullah, 2009).
2. Drainase Sekret dengan Bronkoskop
Cara ini penting dikerjakan terutama pada permulaan perawatan pasien.
Keperluannya antara lain adalah untuk:
1). Menentukan darimana asal sekret,
2). Mengidentifikasi lokali stenosis atau obstruksi bronkus, dan
3). Menghilangkan obstruksi bronkus dengan sustion drainage daerah obstruksi
tadi (misalnya pada pengobatan atelektasis paru) (Rahmatullah, 2009).
3. Pengobatan Simtomatis
Pengobatan Obstruksi Bronkus
Apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus yang diketahui dari hasil uji faal
paru (% VEP 1 < 70%) dapat diberikan obat bronkodilator. Sebaiknya sewaktu
dilakukan uji faal paru dan diketahui adanya tanda obstruksi saluran napas sekaligus
dilakukan tes terhadap obat bronkodilator. Apabila hasil tes bronkodilator positif,
pasien perlu diberikan obat bronkodilator tersebut (Rahmatullah, 2009).
Pengobatan Hipoksia
Pengobatan Hemoptisis
Pengobatan Demam
Pada pasien dengan eksaserbasi akut sering terdapat demam, terlebih jika terjadi
septikemia. Pada keadaan ini selain perlu diberikan antibiotik yang sesuai, dosis cukup,
perlu ditambahkan obat antipiretik lainnya (Rahmatullah, 2009).
Pengobatan Pembedahan
tidak
boleh
dilakukan
pengobatan
pembedahan.
Syarat-syarat
Amiloidosis dengan gagal ginjal pada pasien dengan bronkiektasis berat dan
berlangsung lama.
Kor pulmonal kronik (KPK) sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasis
yang berat dan lanjut atau mengenai beberapa bagian paru. Bila terjadi
anastomosis cabang-cabang arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus
akan terjadi arterio-venous shunt sehingga dapat terjadi gangguan oksigenasi
darah, timbul sianosis sentral yang selanjutnya terjadi hipoksemia. Pada
keadaan selanjutnya akan terjadi hipertensi pumonal, kor pulmonal kronik yang
bila berlanjut akan menyebabkan gagal jantung kanan (Mandal, 2008).
VIII. PROGNOSIS
a. Kelangsungan Hidup
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat-ringannya serta luasnya
penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat
(konservatif atau pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit. Pada kasuskasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek, survivalnya tidak akan lebih
dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena pneumonia, empiema,
payah jantung kanan, hemoptisis danlain-lain. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi
bronkitis kronik berat dan difus biasanya disabilitasnya ringan (Dermawan, 2010).
b. Kelangsungan Organ
Kelainan pada bronkiektasis biasanya mengenai bronkus dengan ukuran sedang.
Adanya peradangan dapat menyebabkan destruksi lapisan muskular dan elastik dari
bronkus serta dapat pula menyebabkan kerusakan daerah peri bronchial. Kerusakan
ini biasanya akan menyebabkan timbulnya daerah fibrosis terutama pada daerah
peribronkial (Dermawan, 2010).
IX. PENCEGAHAN
Timbulnya bronkiektasis sebenarnya dapat dicegah kecuali pada bentuk
kongenital. Beberapa usaha untuk mencegah bronkiektasis antara lain :
Pengobatan dengan antibiotika dan terapi suportif lainnya secara tepat tehadap
semua bentuk pneumonia.
Tindakan vaksinasi pertusis, influenza dan pneumonia pada anak (Amin dan
Bahar, 2007).
Udara masuk melalui trakea yang kemudian bercabang menjadi bronkus kiri
dan kanan. Bronkus utama masuk hilus kemudian terbagi menjadi bronkiolus dan
alveolus. Paru-paru terisi udara, jadi tidak muncul pada radiografi thorax normal
(Ekayuda, 2009).
2.
3.
4.
5.
Low kV 60 70 kV
2.
Medium kV 80 100 kV
3.
Pemilihan kV sesuai dengan proyeksi foto dan ketebalan pasien/objek yang difoto
(Rasad 2006).
2.3.3 Indikasi dan Kontrindikasi
1.
Indikasi
Indikasi pemeriksaan thorax paru adalah hal-hal yang dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan ini yaitu, radang bronkus, radang paru, abses paru, emfisema,
atelektasis, bronkiektasis, efusi pleura, pneumotoraks, pleuritis, TBC dll (Ekayuda,
2009).
2.
Kontraindikasi
dapat
menimbulkan
kecacatan
atau
kelainan
tertentu
pada
PA
Foto PA dapat dilakukan dengan erect (berdiri) atau duduk. Pada umunya,
pemeriksaan thoraks adalah posisi PA erect. Karena pada posisi ini apabila ada cairan
dalam paru akan nampak jelas batas-batasnya. Tujuannya untuk memperlihatkan
organ rongga dada beserta kelainannya (Ekayuda, 2009).
o Technical Faktor:
FFD 150 cm
Kaset 35cm x 43cm atau sesuai dengan lebar dada pasien.
Kolimasi letakkan pada daerah paru-paru yang akan diperiksa. Lakukan ekspose pada
akhir inspirasi penuh (Ekayuda, 2009).
o Posisi Pasien
Erect (berdiri ), bagian anterior tubuh menempel kaset. sisi atas kaset
Posisi Alat
Letakkan MSP pada pertengahan kaset.
CR diarahkan pada pertengahan kaset dengan ujung atas kaset harus
berjarak sekitar 7-8 cm diatas bahu pasien (Ekayuda, 2009).
Center Ray
Arah sinar Horizontal. Tegak lurus kaset (Ekayuda, 2009).
o Center Point
Pada T5-T6 (Ekayuda, 2009)
o Kriteria
Tampak gambaran trachea, lungs, arcus aorta dan jantung
Scapula tidak menutupi gambaran paru-paru
Kedua costal margin dan sinus costoprenikus tidak terpotong
Kedua paru simetris dilihat dari jarak costal margin ke columna
AP (Antero Posterior)
Proyeksi ini digunakan sebagai alternatif untuk posisi PA. Yaitu apabila pasien
mengalami kelainan tertentu seperti sesak nafas, apabila dilakukan foto PA akan
memperburuk keadaan pasien. Teknik radiografi posisi AP sama dengan PA, yang
membedakan adalah arah sinarnya datang dari anterior tubuh pasien. Bagiam posterior
tubuh pasien menempel kaset. Dapat dilakukan dengan erect, supine atau semi erect
(Ekayuda, 2009).
Lateral
Pada foto lateral sering dilakukan pada sebelah kiri, kecuali jika Bila dicurigai
patologi di paru kanan, ambil foto lateral kanan. Penggunaan kV lebih besar daripada
posisi PA dan AP karena objek lebih tebal. Tujuan untuk memperlihatkan organ
rongga dada dan kelainannya dari lateral (Ekayuda, 2009).
o Technical Factor:
FFD = 150cm
Kaset = 35cm x 43cm atau sesuai dengan ukuran dada pasien
Kolimasi letakkan pada daerah paru-paru yang akan diperiksa. Lakukan
ekspose pada akhir inspirasi penuh (Ekayuda, 2009).
o Posisi Pasien
Berdiri menyamping bucky stand
Posisikan dada menempel kaset di salah satu sisi. Kedua lengan fleksi
dan diletakkan di atas kepala, usahalan true lateral (Ekayuda, 2009).
o Center Ray
Arah sinar Horizontal. Tegak lurus kaset (Ekayuda, 2009).
Center Point
Pada T5-T6 (Ekayuda, 2009).
Kriteria
Tampak gambaran paru dari sisi lateral, bagian apex superposisi
dengan bahu (Ekayuda, 2009).
Apical Lordotic
Foto ini dilakukan untuk melihat apex paru. Karena apabila dilakukan foto PA,
AP atau lateral bagian apex paru tertutup clavicula. Tujuan proyeksi ini intinya untuk
memperlihatkan masses di bawah klavikula (Ekayuda, 2009).
o Technical Factors
FFD = 150 cm.
Ukuran kaset = 35x35 cm atau sesuai ukuran dada pasien.
Kolimasi letakkan pada daerah paru-paru yang akan diperiksa.
Lakukan ekspos pada akhir inspirasi penuh (Ekayuda, 2009).
o Posisi Pasien
Pasien berdiri dengan jarak kurang lebih 1 kaki dari kaset, dan
menyondongkan badan ke belakang dengan bahu, leher dan bagian
BAB III
STATUS PASIEN
UNIVERSITAS
DEPARTEMEN RADIOLOGI
ISLAM
INDONESIA
FAKULTAS KEDOKTERAN
Nama Dokter Muda
Lily Fitriani
NIM
10711213
Tanggal Ujian
31 November 2015
Rumah sakit
Gelombang Periode
1. Identitas Pasien
Nama
: Tn. MD
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 82 tahun
Tanda Tangan
Alamat
: Mirit, Kebumuen
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Buruh Bangunan
Tanggal masuk
: 31 November 2015
Nomor CM
: 293.939
2. Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 31 November 2015 pukul 15.30 WIB di IGD RSUD
Dr. Soedirman Kebumen.
Keluhan Utama : Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Soedirman Kebumen dengan rujukan dari dokter
kelurga dengan keluhan sesak napas. Sesak napas mulai dirasakan pasien sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit, namun memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengatakan adanya keluhan batuk sejak 2 tahun yang lalu dan memberat dalam 1
minggu ini, batuk berdahak berwarna kuning kehijauan, kadang-kadang dahak berwarna
kuning seperti nanah, keluar darah saat batuk saat ini disangkal, namun pasien pernah
mengalami batuk dengan dahak bercampur darah saat 2 bulan yang lalu, keluhan dirasakan
pasien sekitar 3 hari dan keluhan tersebut membaik dengan sendirinya.
Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri dada yang muncul saat pasien sedang batuk.
Pasien juga memiliki keluhan demam, demam yang dirasakan sering hilang timbul. Demam
biasanya tidak terlalu tinggi, pasien mengatakan sering merasa meriang. Namun sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit badan pasien terasa semakin panas, keluhan ini memperberat
keluhan batuk dan sesak pasien. Keluhan demam kambuh-kambuhan ini sering dialami oleh
pasien sejak pasien memiliki keluhan batuk yang berulang, tepatnya sekitar 2 tahun yang lalu.
Pasien juga merasakan nyeri pada bagian perut dan pemurunan nafsu makan serta penurunan
berat badan selama pasien menderita penyakit ini, namun pasien menyangkal pusing, mual,
muntah.
Pasien telah berobat ke dokter keluarga pada malam harinya, oleh dokter keluarga
pasien diberikan 3 macam obat dan dokter keluarga tersebut menyarankan pasien untuk
berobat ke RSUD, namun pasien tidak mengingat nama obat tersebut. Menurut pasien setelah
mengkonsumsi obat dari dokter keluarga tidak ada perubahan yang dirasakan oleh pasien,
hingga akhirnya pasien dibawa ke IGD menggunakan surat rujukan yang telah diberikan oleh
dokter keluarga sebelumnya.
Anamnesis Sistem
Serebrovaskular
Kardiovaskular
Respiratori
Gastrointestinal
: nyeri perut (+), mual (-), muntah (-), penurunan nafsu makan (+),
penurunan berat badan (+), diare (-), konstipasi (-)
Urogenital
Muskuloskeletal
Integumentum
Pasien memiliki keluhan batuk berulang sejak 2 tahun yang lalu. Riwayat betuk dan
pasien.
Pasien tidak mempunyai riwayat alergi, asma dan kencing manis.
Pasien belum pernah modok dirumah sakit sebelumnya.
Pasien adalah seorang buruh bangunan, pasien telah bekerja selama 20 tahun.
Pasien adalah seorang perokok, biasanya pasien merngkonsumsi 1 bungkus rokok
Resume Anamnesis
Seorang laki-laki berusia 82 tahun datang dengan keluhan sesak napas (+) batuk lama
(+) secara kambuh-kambuhan sejak 2 tahun yang lalu, batuk berdahak (+) berwarna kuning
kehijauan, nyeri dada (+), nyeri perut (+), penurunan nafsu makan (+) penurunan berat badan
(+) dan lemas (+) dengan riwayat hipertensi (+).
3. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 31 November 2015 pukul 15.50 WIB di IGD RSUD Dr. Soedirman
Kebumen.
Keadaan umum
: Cukup
Kesadaran
Berat badan
: 54 kg
Tekanan darah
Suhu tubuh
Denyut nadi
Pernafasan
: 150/90 mmHg
: 38,3 C
: 96 x/menit, regular
: 28 x/ menit, regular
Skema manusia
Leher
Thoraks
Cor
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
(+/+)
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
Ekstremitas
:
: dinding perut mendatar, benjolan (-)
: bising usus (+) 8x/menit
: nyeri tekan (+) di epigastrium
: timpani di seluruh lapang perut, tanda hepatomegali (-), tanda
splenomegali (-)
: oedem (-) pada ekstremitas superior dan inferior
Hasil
Satuan
Nilai Rujukan
Hemoglobin
12,4
g/dl
11,7-15,5
Leukosit
17,3
103/ul
3,6-11,0
Hematokrit
39
35-47
Eritrosit
4,4
106/ul
3,80-5,20
Trombosit
220
103/ul
150-400
MCH
29
pg
26-34
MCHC
32
g/dl
32-36
MCV
89
fL
80-100
DIFF COUNT
Eosinofil
0,00
1-4
Basofil
0,10
0-1
Netrofil
90,80
50-70
Limfosit
4,00
22-40
Monosit
Kimia Klinik
5,10
4-8
117
mg/dl
70-120
Ureum
57
mg/dl
10-50
Creatinin
0,80
mg/dl
0,60-1,10
SGOT
50
U/L
0-50
SGPT
Imunologi
28
U/L
0-50
HbSAg Rapid
Non Reaktif
Non Reaktif
Kesan :
Bronkiektasis
Edema Pulmo
Kardiomegali
Masalah aktif : batuk lama, sesak nafas, demam, nyeri perut, lemas, penurunan nafsu
makan.
Masalah pasif : riwayat hipertensi.
: Bronkiektasis.
Congestive Heart Failure.
Diagnosis Sekunder
Hipertensi
Gastritiss
7. Rencana
Rencana Tindakan Terapi
Diberikan O2 3-4 Lpm untuk mengatasi sesak napas yang dialami pasien
.
Diberikan pengobatan nebulizer menggunakan obat Ventolin + Fleksotide + Nacl tiap
6 jam untuk mengobati keluhan sesak napas. Pengobatan diberikan selama pasien
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis pasien didagnosa bronkiektasis berdasarkan gejala yang
dikeluhkan pasien berupa sesak napas, batuk berdahak dengan produksi sputum purulen yang
dialami pasien selama 2 tahun ini, batuk dengan sputum bercampur darah, nyeri dada,
penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan. Bronkiektasis merupakan kelainan
bronkus di mana terjadi pelebaran atau dilatasi bronkus lokal dan permanen karena kerusakan
struktur dinding pembuluh darah yang bermanifestasi sebagai peradangan saluran pernafasan
dan mudah kolaps, lalu menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak,
gangguan pembersihan mukus yang biasanya disertai dengan batuk dan kadang-kadang
hemoptisis, hal ini sesuai dengan keluhan yang dialami oleh pasien. Kebiasaan sehari-hari
pasien sebagai pekerja buruh bangunan yang menyebabkan pasien terpapar debu selama
puluhan tahun, serta riwayat merokok selama 40 tahun pada pasien mendukung terjadinya
peradangan paru-paru pada pasien.
Keluhan sesak napas yang dialami pasien terjadi pada kurang lebih 72% pasien
bronkiektasis tapi bukan merupakan temuan yang universal. Biasanya terjadi pada pasien
dengan bronkiektasis luas yang terlihat pada gambaran radiologisnya, hal ini teradi karena
rusaknya dinding bronkus sehingga menyebabkan kerusakan fungsi brokus meliputi rusaknya
elemen elastisitas dan otot-otot bronkus sehingga menyebabkan gangguan proses lewatnya
udara yang menyebabkan pasien merasa sesak napas. Keluhan batuk berdahak yang dialami
pasien dapat disebabkan oleh kerusakan mukosa dan silia pada bronkus, hal ini dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pada reflek batuk dan menimbulkan statis sputum.
Keluhan batuk dengan dahak bercampur darah atau terjadi pada 56-92% pasien dengan
bronkiektasis. Adanya sputum yang bercampur darah ini dapat menjadi akibat dari kerusakan
jalan napas dengan infeksi akut. Homoptisis mungkin terjadi masif dan berbahaya bila terjadi
perdarahan pada arteri bronkial. hemoptisis biasanya terjadi pada bronkiektasis kering.
Keluhan Nyeri dada yang dialami oleh pasien merupakan nyeri dada pleuritik, hal ini terjadi
pada 46% pasien pada sekali observasi. Paling sering merupakan akibat sekunder pada batuk
kronik, tetapi juga terjadi pada eksaserbasi akut. Keluhan demam yang dialami oleh pasien
merupakan suatu reaksi pertanda tubuh sedang mengalami peradangan. Penurunan berat
badan yang terjadi pada pasien ini biasanya terjadi pada pasien dengan bronkiektasis yang
berat. Hal ini terjadi akibat peningkatan kebutuhan kalori berkaitan dengan peningkatan kerja
pada batuk dan pembersihan sekret pada jalan napas, hal ini diperkuat dengan keadaan pasien
yang mengalami penurunan nafsu makan, sehingga kebutuhan kalori yang dibutuhkn pasien
semakin meningkat. Namun, pada umumnya semua penyakit kronik disertai dengan
penurunan berat badan. Demam biasanya terjadi akibat infeksi yang berulang.
Bronkiektasis yang dialami oleh pasien ini merupakan bronkiektasis berat. Hal ini
disimpulkan berdasarkan keluhan yang dialami pasien berupa batuk menahun dengan sputum
yang purulen dan adanya riwayat hemoptisis. Gambaran klinis lainnya selain batuk produktif
dengan sputum
Umumnya keadaan pasien kurang baik. Pada pemeriksaan fisik paru, ditemukan ronki basah
kasar pada daerah paru yang terkena. Pada gambaran foto dada ditemukan kelainan
penambahan bronchovascular marking multiple cysts containing fluid levels (honey comb
appearance).
Pada foto thoraks pasien ditemukan gambaran honey comb appearance. Menurut
Rahmatullah, 2009 gambaran radiologi khas untuk bronkiektasis biasanya menunjukkan
kista-kista kecil dengan fluid level, mirip seperti gambaran sarang tawon (honeycomb
appearance) pada daerah yang terkena. Gambaran seperti ini hanya ditemukan pada 13%
kasus. Kadang-kadang gambaran radiologis paru pada bronkiektasis menunjukkan adanya
bercak-bercak pneumonia, fibrosis atau kolaps (ateletaksis), bahkan kadang-kadang
gambaran seperti pada paru normal (pada 7% kasus). Terdapat bayangan seperti cincin
dengan berbagai ukuran (dapat mencapai diameter 1 cm) dengan jumlah satu atau lebih
bayangan cincin sehingga membentuk honeycomb appearance atau bounches of grapes.
Bayangan tersebut menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus.
Setelah melakuakn dilakukan pemeriksaan pada pasien dan telah ditemukan penyakit
yang diderita oleh pasien, maka selanjutnya dilakukan penatalaksaan pada penyakit pasien.
Penatalaksaan yang pertama dilakukan adalah dengan melakukan pengolahan konservatif,
pengobatan khusus dan pengobatan simptomatik. Penatalaksaan konservatif dilakukan
dengan menciptakan lingkungan yang tepat pada pasien dengan membuat ruangan menjadi
hangat, udara ruangan kering, mencegah atau menghentikan merokok, mencegah atau
menghindari debu dan asap. Melakukan drainase portural tindakan ini merupakan cara yang
paling efektif untuk mengurangi gejala. Prinsip drainase postural ini adalah usaha
mengeluarkan sputum dengan bantuan gravitasi. Untuk keperluan tersebut, posisi tubuh saat
dilakukan drainase postural harus disesuaikan dengan letak bronkiektasisnya. Tujuannya
adalah untuk menggerakkan sputum dengan pertolongan gaya gravitasi agar menuju ke hilus
paru bahkan mengalir sampai tenggorokan sehingga mudah dibatukkan.
Selain
penatalaksaan
konserfatif
kemudian
dilakukan
pengobatan
khusus,
BAB V
KESIMPULAN
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi dan
distorsi bronkus lokal yang bersifat patologik dan berjalan kronik, persisten atau
ireversibel. Manifestasi klinis dari bronkiektasis adalah batuk dan produksi sputum
harian yang mukopurulen sering berlangsung hingga tahunan, selain itu ada juga
gejala lainnya berupa hemoptisis, dyspnea, nyeri dada dan penurunan berat badan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mediagnosa penyakit
bronkiektasis adalah dengen foto rontgen thorax, bronkografi dan CT-Scan thorax.
Gambaran radiologis yang menyokong diagnosis bronkiektasis pada rontgen thorax
adalah gambaran Ring Shadow yang menyerupai gambaran Honey Comb Appearance
atau Bounches Of Grapes, gambaran Tramline Shadow, gambaran Tubular Shadow.
Pada pemeriksaan bronkografi akan menunjukkan bentuk bronkiektasis serta
menentukan luas bagian paru yang terkena. Pemeriksaan CT-Scan Thorax merupakan
penunjang terbaik untuk mendiagnosis bronkiektasis. Pada pemeriksaan ini kita akan
mengetahui lobus mana yang terkena terutama penting untuk menentukan apakah
diperlukan pembedahan. Penatalaksaan pada bronkiektasis dapat dilakukan dengan
pengeloaan konservatif dan drainase postural, pengobatan khusus dan pengobatan
simptomatik.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Z. dan Bahar, A. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi IV . Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. pp: 988-993
Bronkiektasis. http://medicastore.com/med/detail_pyk.php, 2004 5.Hassan I.
Barker, Alan F. 2002. Bronchiectasis. Medical Progress. N Engl J Med, Vol. 346, Diakses 4
Desember 2015. Dari: http:// www.nejm.org
Dermawan,
R.
2010.
Sistem
Pernapasan.
Diakses
dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21283/4/Chapter%20II.pdf
Ekayuda, I. 2009. Radilogi Diagnostik. Balai Penerbit FK UI : Jakarta
http://medicina-islamica-lg.blogspot.co.id/2012/03/anatom
https://en.wikipedia.org/wiki/Pulmonary_pleuraei-pulmo-paru.html
Huriawati, dkk.2006. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi enam. Jakarta : EGC.
Kusumawidjaja. 2006. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta : FK UI.
Mandal, B.K, et all. 2008. Lecture Notes; Penyakit Infeksi Edisi Keenam.
Jakarta:Erlangga
Mahanani, D.A., Hartanto, H., Susi, N., Wulansari, P. (eds). 2006. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC.
Rahmatullah, Pasiyan. 2009. Bronkiektasis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing
Rahajoe, N.N. dkk (eds). 2008. Pedoman Nasional Tuberculosis Anak. Jakarta : Unit
Koordinasi Kerja Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia.