Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Polineuropati diabetes adalah suatu kondisi yang mempengaruhi berberapa

saraf perifer yang disebabkan oleh degenerasi saraf perifer akibat langsung dari

peningkatan kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus. Istilah deskriptif

yang menunjukan adanya gangguan, baik klinis maupun subklinis, yang terjadi

pada diabetes melitus tanpa penyebab neuropati perifer yang lain. Distribusi

polineuropati umumnya bilateral simetris dan perkembangannya lambat.

Polineuropati atau peripheral neuropati diidentifikasikan pada daerah distal dan

dimulai dari kaki kemudian meningkat ke atas.10,11

2.2 Epidemiologi

Studi epidemiologi menunjukan prevalensi dari peripheral neuropati

berkisar antara 5% sampai 100%. Prevalensi neuropati diabetik (ND) dalam

berbagai literatur sangat bervariasi. Penelitian di Amerika Serikat memperlihatkan

bahwa 10-20 % pasien saat ditegakan Diabetes Melitus telah mengalami

neuropati. Prevalensi neuropati diabetik ini akan meningkat sejalan dengan

lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia. Diperkirakan setelah menderita

diabetes selama 25 tahun, prevalensi neuropati diabetik 50 %. Kemungkinan

terjadi neuropati diabetik pada kedua jenis kelamin sama.12,13,14

Neuropati ditemukan pada hampir 30 % penderita diabetes melitus, angka

kejadian neuropati diabetik yang disertai dengan nyeri ditemukan pada 16 %

sampai dengan 26 % penderita neuropati diabetik. Lama menderita diduga sangat

1
berkaitan dengan perkembangan dan progresivitas neuropati diabetik dan hal ini

berpengaruh terhadap timbulnya nyeri neuropati pada penderita diabetes

melitus.2,15

Diabetes Mellitus (DM) terjadi pada sekitar 20 % populasi > 65 tahun.

Penyebab Neuropati terbanyak. Prevalensi neuropati pada pasien DM sekitar

66%. Sekitar 8% sudah menderita neuropati pada saat didiagnosa DM, 50%

setelah 25 tahun didiagnosa DM, 45% pada pasien NIDDM, 54% pada pasien

IDDM.1,15

2.3 Faktor Risiko

Hiperglikemia merupakan faktor risiko pada pasien DM Tipe 1 dan DM

Tipe 2. Hubungan lain yang juga berperan adalah usia, lama mengalami diabetes,

kualitas kontrol metabolik, berat badan, konsumsi rokok, kadar HDL dan temuan

penyakit kardiovaskular.15,16

A. PATOFISIOLOGI
Banyak teori yang dikemukan oleh para ahli tentang patofisiologi terjadinya
neuropati diabetika, namun semuanya sampai sekarang belum diketahui
sepenuhnya. Faktor-faktor etiologi neuropati diabetika diduga adalah
vaskular, berkenaan dengan metabolisme, neurotrofik dan imunologik. Studi
terbaru menunjukkan adanya kecenderungan suatu multifaktorial patogenesis
yang terjadi pada neuropati diabetika. Beberapa teori yang diterima adalah :
a. Teori vaskular (iskemia-hipoksia)
Pada pasien neuropati diabetika dapat terjadi penurunan aliran darah ke
endoneurium yang disebabkan oleh adanya resistensi pembuluh darah
akibat hiperglikemia. Biopsi nervus suralis pada pasien neuropati
diabetika ditemukan adanya penebalan pembuluh darah, agregasi platelet,
hiperplasi sel endotelial dan pembuluh darah, yang kesemuanya dapat
menyebabkan iskemia. Iskemia juga dapat menyebabkan terganggunya

2
transport aksonal, aktifitas NA+/K+ ATPase yang akhirnya menimbulkan
degenerasi akson.

b. Teori Metabolik
Teori Advanced Glycation End Product (AGEs)
Peningkatan glukosa intraseluler menyebabkan pembentukan advanced
glycosilation products (AGEs) melalui glikosilasi nonenzymatik pada
protein seluler. Glikosilasi dan protein jaringan menyebabkan
pembentukan AGEs. Glikosilasi non enzimatik ini merupakan hasil
interaksi glukosa dengan kelompok amino pada protein. Pada
hiperglikemia kronis beberapa kelebihan glukosa berkombinasi dengan
asam amino pada sirkulasi atau protein jaringan. Proses ini pada awalnya
membentuk produk glikosilasi awal yang reversibel dan selanjutnya
membentuk AGEs yang ireversibel. Konsentrasi AGEs meningkat pada
penderita DM. Pada endotel mikrovaskular manusia , AGEs menghambat
produksi prostasiklin dan menginduksi PAI-1(Plasminogen Activator
Inhibitor-1) dan akibatnya terjadi agregasi trombosit dan stabilisasi fibrin,
memudahkan trombosis. Mikrotrombus yang dirangsang oleh AGEs
berakibat hipoksia lokal dan meningkatkan angiogenesis dan akhirnya
mikroangiopati.

c. Teori Nerve Growth Factor (NGF)


Faktor neurotrophic penting untuk pemeliharaan, pengembangan, dan
regenerasi unsur-unsur yang responsif dari saraf. Neurotrophic factor
(NF) sangat penting untuk saraf dalam mempertahankan perkembangan
dan respon regenerasi. Nerve Growth Factor (NGF) berupa protein yang
memberi dukungan besar terhadap kehidupan serabut saraf dan neuron
simpatis. Telah banyak dilakukan penelitian mengenai adanya faktor
pertumbuhan saraf, yaitu suatu protein yang berperan pada ketahanan
hidup neuron sensorik serabut kecil dan neuron simpatik sistem saraf
perifer . Beberapa penelitian pada binatang menunjukkan adanya
defisiensi neurotropik sehingga menurunkan proses regenerasi saraf dan
mengganggu pemeliharaan saraf. Pada banyak kasus, defisit yang paling

3
awal, melibatkan serabut saraf yang kecil. 3,17 Pada pasien dengan DM
terjadi penurunan NGF sehingga transport aksonal yang retrograde ( dari
organ target menuju badan sel) terganggu. Penurunan kadar NGF pada
kulit pasien DM berkorelasi positif dengan adanya gejala awal small
fibers sensory neuropathy.
d. Stres Oksidatif pada Patogenesis Neuropati Diabetika
Stres oksidatif terjadi dalam sebuah sistem seluler saat produksi dari
radikal bebas melampaui kapasitas antioksidan dari sistem tersebut. Jika
antioksidan seluler tidak memindahkan radikal bebas, radikal bebas
tersebut menyerang dan merusak protein, lipid dan asam nukleat. Oksidasi
produk radikal bebas menurunkan aktifitas biologi, membuat hilangnya
energi metabolisme, sinyal sel, transport, dan fungsi fungsi utama lainnya.
Hasil produknya juga membuat degradasi proteosome, kemudian dapat
menurunkan fungsi seluler. Akumulasi dari beberapa kerusakan membuat
sel mati melalui nekrotisasi atau mekanisme apoptosis. Hiperglikemik
kronis menyebabkan stres oksidatif pada jaringan cenderung pada
komplikasi pasien dengan diabetes. Metabolisme glukosa yang berlebihan
menghasilkan radikal bebas. Beberapa jenis radikal bebas di produksi
secara normal di dalam tubuh untuk menjalankan beberapa fungsi spesifik.
Superoxide (O2), hydrogen peroxide (H2O2), dan nitric oxide (NO) adalah
tiga diantara radikal bebas ROS yang penting untuk fisiologi normal,
tetapi juga dipercaya mempercepat proses penuaan dan memediasi
degenerasi selular pada keadaan sakit.
Glukosa dapat bereaksi dengan Reactive Oxygen Species (ROS) dan akan
membentuk karbonil. Karbonil bereaksi dengan protein atau lemak akan
menyebabkan pembentukan glikosidasi atau liposidasi. Selain itu glukosa
dapat juga membentuk karbonil secara langsung dengan protein dan
membentuk Advanced glycation end products(AGEs) yang berperan dalam
stress oksidatif dan dapat menyebabkan kerusakan sel.

4
2.4 Patofisiologi

Saraf perifer (saraf spinalis dan kranialis) untuk memelihara otot, kulit, dan

pembuluh darah terdiri dari sejumlah saraf campuran yaitu saraf motorik,

sensorik, dan vegetatif. Dari segi fisiologis, ketiga jenis saraf tadi dibedakan

5
berdasarkan ukuran penampangnya, yaitu saraf tipe A (5-12 mikron), tipe B (3-4

mikron), dan tipe C (1-2 mikron). Saraf tipe A aksonnya bermielin tebal, tipe b

bermielin tipis dan tipe C aksonnya tidak bermielin. Akson bermielin tebal adalah

akson saraf motorik pada umumnya dan sebagian saraf sensorik untuk jenis

protopatik. Akson bermielin tipis adalah sebagian akson saraf motorik dan

sebagian saraf sensorik. Akson yang tidak bermielin adalah akson sensorik dan

autonom.2

Neuropati diabetik tidak terjadi oleh karena faktor tunggal, melainkan

karena interaksi beberapa faktor, seperti faktor metabolik, vaskular dan mekanik.

Faktor kausatif utama adalah gangguan metabolik jaringan saraf.1,2,12,15

1) Faktor metabolik
Proses kejadian neuropati berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang

berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, pembentukan radikal

bebas dan aktivasi Protein Kinase C (PKC), sintesis advance glycosilation end

products (AGEs). Aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya

vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun bersama rendahnya

mioninositol dalam sel terjadilah neuropati diabetik. Berbagai penelitian

membuktikan bahwa kejadian neuropati diabetik sangat berhubungan dengan

lama dan beratnya diabetes melitus.


a. Peningkatan aktivitas jalur poliol
Proses terjadinya neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia yang

berkepanjangan. Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivitas jalur

poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim adose-reduktase, yang

mengubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian dimetabolisasi oleh

sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa

6
dalam sel saraf merusak sel saraf melalui mekanisme yang belum jelas.

Salah satu kemungkinannya ialah akibat akumulasi sorbitol dalam sel saraf

menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan

edem saraf. Peningkatan sintesis sorbitol mengakibatkan terhambatnya

mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan

akumulasi sorbitol secara langsung menimbulkan stress osmotik yang akan

merusak mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase c (PKC).


b. Aktivasi PKC
Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi Na-K-ATP-ase, sehingga kadar na

intraseluler menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol

masuk ke dalam saraf sehingga terjadi gangguan tranduksi sinyal saraf.

Reaksi jalur poliol ini juga menyebabkan turunnya persediaan nadph saraf

yang merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif. Karena

nadph merupakan kofaktor penting untuk gluthation dan nitric oxide

synthase (NOS), pengurangan kofaktor tersebut membatasi kemampuan

saraf untuk mengurangi radikal bebas dan penurunan produksi nitric oxide

(NO).
c. Sintesis advance glycosilation end products (AGEs).
Disamping meningkatkan aktivitas jalur poliol, hiperglikemia

berkepanjangan akan menyebabkan terbentuknya advance glycosilation

end products (AGEs). Ages ini sangat toksik dan merusak semua protein

tubuh, termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka

sintesis dan fungsi NO akan menurun, yang berakibat vasodilatasi

berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan bersama rendahnya

mioinositol dalam sel saraf, terjadilah neuropati diabetik. Kerusakan

7
aksonal metabolik awal masih dapat kembali pulih dengan kendali

glikemik yang optimal. Tetapi bila kerusakan metabolik ini berlanjut

menjadi kerusakan iskemik, maka kerusakan struktural akson tersebut

tidak dapat diperbaiki lagi.


2) Kelainan vaskular
Hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan kerusakan mikrovaskular.

Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal bebas oksidatif yang

disebut reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas ini membuat kerusakan

endotel vaskular dan menetralisir NO, yang berefek menghalangi vasodilatasi

mikrovaskular. Mekanisme kelainan mikrovaskular tersebut dapat melalui

penebalan membran basalis; trombosit pada arteriol intraneural; peningkatan

agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas eritrosit; berkurangnnya

aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular; stasis aksonal,

pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut. Kejadian

neuropati yang didasari oleh kelainan vaskular masih bisa dicegah dengan

modifikasi faktor risiko kardiovaskular, yaitu kadar trigliserida yang tinggi,

indeks massa tubuh, merokok dan hipertensi.


3) Mekanisme Imun
Suatu penelitian menunjuikan bahwa 22% dari 120 penyandang dm tipe 1

memiliki complement fixing antisciatic nerve antibodies dan 25% pasien dm

tipe 2 memperlihatkan hasil yang positif. Hal ini menunjukan bahwa antibody

tersebut berperan pada patogenesis neuropati diabetik. Bukti lain yang

menyokong peran antibodi dalam mekanisme patogenik adalah antineural

antibodies pada serum sebagian penyandang diabetes melitus. Autoantibodi

yang beredar ini secara langsung dapat merusak struktur saraf motorik dan

8
sensorik yang bias dideteksi dengan imunofloresens indirek. Disamping itu

adanya penumpukan antibodi dan komplemen pada berbagai komponen saraf

suralis memperlihatkan kemungkinan peran proses imun.


4) Peran nerve growth factor (NGF).
NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf.

Pada penyandang diabetes, kadar NGF serum cenderung turun dan

berhubungan dengan derajat neuropati. NGF juga berperan dalam regulasi gen

substance p dan calcitonin-gen-regulated peptide (CGRP). Peptide ini

mempunyai efek terhadap vasodilatasi, mobilitas intestinal dan nosiseptif, yang

semuanya mengalami gangguan pada neuropati diabetik.

2.5 Manifestasi Klinis

Terlihat pada 20% pasien diabetes melitus, tetapi dengan pemeriksaan

elektrofisiologi pada diabetes melitus asimptomatik tampak bahwa penderita

sudah mengalami neuropati subklinik. Pada kasus yang jarang, neuropati mungkin

merupakan tanda awal suatu diabetes melitus.1,2,16

9
Gambar 2-1 Perbedaan manifestasi klinis dari neuropati diabetes (Modified from Pickup J, Williams G [eds].
5
Textbook of Diabetes, Vol 1. Oxford, UK, Blackwell Scientific, 1997.)

Polineuropati sensorik-motorik simetris, bentuk ini paling sering dijumpai,

keluhan dapat dimulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat.

Polineuropati biasanya memiliki karakteristik : 12,17

Gambar 2-2 Perbedaan manifestasi klinis neuropati serat besar dan kecil fibroneuropathy. ADL, activities of
daily living; QOL, quality of life. (Adapted from Vinik AI, Mehrabyan A. Diabetic neuropathies. Med Clin
5
North Am 2004;88:947-999.)

10
1) Tanda pertama muncul pada tungkai bawah.
2) Parestesia selalu terjadi pada jari kaki atau telapak kaki, terutama pada malam

hari. Ada rasa tebal atau kesemutan, terutama pada tungkai bawah
3) Sensasi sarung pada kaki seperti kaos kaki
4) Kehilangan refleks Achilles
5) Penyusutan atau kehilangan perasaan getar, dimulai dari distal.
6) Saat kondisi berkembang, terjadi paresis extensor jari kaki pada dorsum kaki.
7) Makin lama, paresis sepanjang extensor jari dan kaki.
8) Kedua kaki terkulai.
9) Sensasi seperti terbakar.
10) Gangguan sensoris dan kelemahan menyebar ke tungkai atas.

2.6 Diagnosis
2.6.1 Diagnosis Diabetes Melitus

Langkah-langkah diagnosis dm dan gangguan toleransi glukosa berdasarkan

perkeni dalam konsensus diabetes melitus tipe 2 Tahun 2011 ditegakkan atas dasar

pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar

adanya glukosuria.13,14
Untuk penentuan diagnosis, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan

adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.

Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan

menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.13


Secara ringkas kriteria diagnosis diabetes melitus untuk dewasa tidak hamil

berdasarkan Perkeni Tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 2-1 seperti yang tertera

di bawah ini. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.

Kecurigaan adanya diabetes melitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan

klasik diabetes melitus seperti di bawah ini :14

1) Keluhan klasik berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat

badan.

11
2) Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Tabel 2-1. Kriteria Diagnosis DM

No. Kriteria diagnosis diabetes melitus

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl (11,1 mmol/l). Glukosa plasma
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan
waktu makan terakhir.
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7.0 mmol/l). Puasa diartikan
pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dl (11,1 mmol/l). TTGO yang dilakukan
3. dengan standar who, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa
anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
* pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ada 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM,
14
jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.

Keterangan gambar :
GDP = glukosa darah puasa
GDS = glukosa darah sewaktu
GDPT = glukosa darah puasa terganggu
TGT = toleransi glukosa terganggu

Gambar 2-1. Langkah-Langkah Diagnostik DM

12
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau dm,

bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam

kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu

(GDPT).13,14

1) TGT : diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan

glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dl (7,8-11,0 mmol/l).
2) GDPT : diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma

puasa didapatkan antara 100 125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/l) dan pemeriksaan

TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dl.

2.6.2 Diagnosis Polineuropati Diabetes

Polineuropati sensori-motor simetris distal atau distal symmetrical

sensorymotor polyneuropathy (DPN) merupakan jenis kelainan yang paling sering

terjadi, ditandai dengan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif dan fungsi

motorik (lebih jarang) berlangsung pada bagian distal yang berkembang ke arah

proksimal.1,2

Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat

bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hanya

dengan jawaban tidak ada keluhan neuropati saja tidak cukup mengeluarkan

kemungkinan adanya neuropati. Pada evaluasi tahunan, perlu dilakukan

pengkajian terhadap : 1). Refleks motorik, 2). Fungsi serabut saraf besar dengan

tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa getar (biotesiometer) dan rasa tekan

(estesiometer dengan filament mono semmes-weinstein); 3). Fungsi serabut saraf

13
kecil dengan sensasi suhu; 4). Untuk mengetahui dengan lebih awal adanya

gangguan hantar saraf dapat dikerjakan elektromiografi.2

Bentuk lain yang juga sering ditemukan ialah neuropati otonom

(parasimpatis dan simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy (dan). Uji

komponen parasimpatis dan dilakukan dengan 1). Tes respons denyut jantung

terhadap maneuver vasalva; 2). Variasi denyut jantung selama napas dalam

(denyut jantung maksimum-minimum). Uji komponen simpatis dan dilakukan

dengan 1). Respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik); respons

tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik).18

2.7 Terapi

Strategi pengelolaan pasien diabetes melitus dengan keluhan neuropati

diabetes dibagi ke dalam 3 bagian. Strategi pengelolaan pertama adalah diagnosis

nd sedini mungkin, strategi kedua yaitu dengan kendali glikemik dan perawatan

kaki sebaik-baiknya, dan strategi yang ketiga yaitu pengendalian keluhan

neuropati/nyeri neuropati diabetik. Selain itu pengendalian neuropati diabetik

perlu melibatkan banyak seperti perawatan umum, pengendalian glukosa darah

dan parameter metabolik lain.13

1) Perawatan umum/kaki1
Jaga kebersihan kulit, hindari trauma kaki seperti sepatu yang sempit. Cegah

trauma berulang pada neuropati kompresi.


2) Pengendalian glukosa darah2
Pengendalian glukosa darah dan monitor HbA1c secara berkala merupakan

langkah pertama yang harus dilakukan, pengendalian faktor metabolik lain

perlu dilakukan seperti hemoglobin, albumin, dan lipid sebagai komponen tak

14
terpisahkan juga perlu dilakukan. Pengendalian glukosa darah mampu

mengurangi komplikasi kronik diabetes termasuk neuropati.


3) Terapi medikamentosa1
Untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya komplikasi kronik diabetes

melitus termasuk neuropati, saat ini sedang diteliti penggunaan obat-obat yang

berperan pada proses timbulnya komplikasi kronik diabetes, yaitu :


a. Golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat

penimbunan sorbitol dan fruktosa.


b. Penghambat ACE
c. Neurotropin : nerve growth factor, brain-derived neurotrophic factor.
d. Alpha lipoic acid, suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan

radikal hidroksil, superoksida, dan peroksil serta membentuk kembali

glutation.
e. Penghambat protein kinase c
f. Gangliodes, merupakan komponen utama membrane sel.
g. Gamma linoleic acid (GLA) suatu prekusor membrane fosfolipid.
h. Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan AGEs.
i. Human intravenous immunoglobulin, memperbaiki gangguan neurologik

maupun non neurologik akibat penyakit autoimun.


4) Pedoman pengelolaan dengan nyeri 1,2
Sedangkan untuk mengatasi berbagai keluhan nyeri, sangat dianjurkan untuk

memahami mekanisme yang mendasari keluhan nyeri tersebut, antara lain

aktivasi reseptor n-methyl-d-aspartate (NMDA) yang berlokasi di membran

post spinatik spinal cord dan pengeluaran substance p dari serabut saraf besar a

yang berfungsi sebagai neuromodulator nyeri. Manifestasi nyeri dapat berupa

rasa terbakar, hiperalgesia, alodinia, nyeri menjalar, dll. Pemahaman terhadap

mekanisme nyeri penting agar dapat member terapi yang lebih rasional,

meskipun terapi nyeri neuropati diabetik pada dasarnya bersifat simtomatis.

Pengelolaan dengan nyeri yang dianjurkan ialah :


a. NSAID (ibuprofen 600 mg 4 x/hari, sulindac 200 mg 2 x/hari).

15
b. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150 mg malam hari, imipramin 100

ng/hari, nortriptilin 50-150 mg malam hari, paroxetine 40 mg/hari).


c. Antikonvulsan (gabapentin 900 mg 3 x/hari, karbamazepin 200 mg 4

x/hari).
d. Antiaritmia (mexilletin 150-450 mg/hari)
e. Topical : capsaicin 0,075 % 4x/hari, fluphenazine 1 mg 3x/hari,

transcutaneous electrical nerve stimulation.

Dalam praktek sehari-hari, jarang ada obat tunggal yang mampu mengatasi

nyeri neuropati diabetes. Meskipun demikian, pengobatan nyeri umumnya

dimulai dengan obat anti-depresan atau anti-konvulsan tergantung ada tidaknya

efek samping. Dosis obat dapat ditingkatkan hingga dosis maksimum atau

sampai efek samping muncul. Kadang-kadang kombinasi anti-depresan dan

anti-konvulsan cukup efektif. Bila dengan regimen ini belum atau kurang ada

perbaikan nyeri, dapat ditambahkan obat topikal. Bila tetap tidak atau kurang

berhasil, kombinasi obat yang lain dapat dilakukan.1,2

2.8 Komplikasi

Kehilangan sensasi menyebabkan cedera pada sendi, desktruksi sendi

permanen (Charcot joint), ulser pada kaki dan amputasi. Dapat menyebabkan

ketidakmampuan, isolasi sosial dan kehilangan kemandirian terutama pada pasien

usia tua. 19

2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk neuropati perifer motorik adalah Guillain-Barr

syndrome, Charcot-Marie-Tooth syndrome, porphyria, lead poisoning dan

16
diphtheria. Sedangkan nyeri pada neuropati perifer adalah neuropati alkoholik,

diabetic amyotrophy, porphyria, defisiensi vitamin B1 atau vitamin B12 dan

carcinoma.16

2.10 Edukasi

Edukasi pasien menjadi sangat penting dalam pengelolaan nyeri. Diperlukan

penjelasan tentang bahaya kurang atau hilangnya sensasi rasa di kaki, perlunya

pemeriksaan kaki, pentingnya evaluasi secara teratur terhadap kemungkinan

timbulnya neurpati diabetik pada pasien diabetes melitus.20,21

2.11 Prognosis

Tipe diabetes melitus yang diderita akan mempengaruhi diagnosis neuropati

diabetik. Pada NIDDM (non-insulin dependent diabetes melitus atau DM Tipe 2)

memiliki prognosis yang lebih baik daripada tipe IDDM (insulin dependent

diabetes melitus atau DM Tipe 1). Lama dan beratnya diabetes melitus serta lama

dan beratnya keluhan neuropati yang dialami, dan apakah sudah mengenai saraf

otonom, semuanya akan menentukan prognosis neuropati diabetik.1,2,21

17

Anda mungkin juga menyukai