Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 . LATAR BELAKANG


Neuropati diabetika merupakan merupakan salah satu komplikasi kronik
diabetes melitus(DM) yang sering meresahkan penderita karena dirasakan sebagai
siksaan oleh penderita. Neuropati juga menambah angka mortalitas dan
menurunkan kualitas hidup penderita DM. Satu diantara 4 penderita DM akan
mengalami polineuropati distal simetris.1
Prevalensi neuropati diabetika (ND) dalam berbagai literatur sangat
bervariasi. Penelitian di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa 10-20% pasien
saat ditegakkan DM telah mengalami neuropati. Prevalensi neuropati diabetika ini
akan meningkat sejalan dengan lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia.
Diperkirakan setelah menderita diabetes selama 25 tahun, prevalensi neuropati
diabetika 50%. Kemungkinan terjadi neuropati diabetika pada kedua jenis kelamin
sama.1,2,3 United Kingdom Propective Diabetes Study (UKPDS) pada tahun 1998
menemukan kejadian ND meningkat pada usia tua dan ternyata 50 % penderita
berusia lebih dari 60 tahun.1
Neuropati diabetes adalah kelompok gangguan heterogen yang menunjukan
abonrmalitas, merupakan komplikasi jangka panjang dan sangat signifikan
menghasilkan morbiditas dan mortalitas.5
Diabetes sendiri merupakan penyakit kronis yang diderita seumur hidup
sehingga progresifitas penyakit akan terus berjalan, pada suatu saat dapat
menimbulkan komplikasi. Diabetes Mellitus (DM) biasanya berjalan lambat
dengan gejala-gejala yang ringan sampai berat, bahkan dapat menyebabkan
kematian akibat baik komplikasi akut maupun kronis.6
Umumnya neuropati diabetik terjadi setelah adanya intoleransi glukosa yang
cukup lama sehingga hiperglikemia persisten dianggap sebagai faktor primer.
Walaupun demikian, faktor metabolik ini bukanlah satu-satunya faktor yang

2
bertanggung jawab terhadap terjadinya neuropati diabetik. Beberapa teori lain
yang diterima ialah teori vaskular, autoimun dan nerve growth factor.1,2
Ada beberapa manifestasi klinik neuropati termasuk diantaranya
mononeuropati ataupun polineuropati. Pada pasien diabetes melitus lebih banyak
ditemukan polineuropati sensoris distalis, disertai dengan gangguan serat saraf
motorik dan otonom. Polineuropati merupakan jenis neuropati yang menyebabkan
kelainan fungsional simetris akibat kelainan-kelainan difus yang mempengaruhi
seluruh susunan saraf perifer.1,7,8
Manifestasi bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan dan hanya bisa
terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat.
Bisa juga keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik yang semua itu
bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi.9
Diagnosis neuropati diabetika ditegakkan bila terdapat gejala dan tanda
klinik berupa gangguan sensorik, motorik maupun otonom ditambah pemeriksaan
penunjang.2 Pemeriksaan penunjang yang sangat berguna untuk menegakkan
diagnosis penyakit sistem saraf perifer antara lain pemeriksaan elektromiografi
(EMG). 2,7,8
Risiko yang dihadapi pasien diabetes melitus dengan polineuropati
diabetes antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh dan amputasi
jari/kaki.2
Dalam referat ini akan dibahas tentang definisi polineuropati diabetikum,
tanda dan gejala, diagnosis, tatalaksana dan prognosis.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. POLINEUROPATI DIABETIKA


A. DEFINISI
Definisi neuropati diabetika adalah adanya gejala dan / atau tanda dari
disfungsi saraf perifer dari penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain
4,10
diabetes melitus setelah dilakukan eksklusi penyebab lainnya. Polineuropati
diabetika menggambarkan keterlibatan banyak saraf tepi dan distribusinya
umumnya bilateral simetris meliputi gangguan sensorik, motorik maupun
otonom.
B. EPIDEMIOLOGI
Studi epidemiologi menunjukan prevalensi dari peripheral neuropati
berkisar antara 5% sampai 100%. Prevalensi neuropati diabetik (ND) dalam
berbagai literatur sangat bervariasi. Penelitian di Amerika Serikat memperlihatkan
bahwa 10-20 % pasien saat ditegakan Diabetes Melitus telah mengalami
neuropati. Prevalensi neuropati diabetik ini akan meningkat sejalan dengan
lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia. Diperkirakan setelah menderita
diabetes selama 25 tahun, prevalensi neuropati diabetik 50 %. Kemungkinan
terjadi neuropati diabetik pada kedua jenis kelamin sama.12,13,14
Neuropati ditemukan pada hampir 30 % penderita diabetes melitus, angka
kejadian neuropati diabetik yang disertai dengan nyeri ditemukan pada 16 %
sampai dengan 26 % penderita neuropati diabetik. Lama menderita diduga sangat
berkaitan dengan perkembangan dan progresivitas neuropati diabetik dan hal ini
berpengaruh terhadap timbulnya nyeri neuropati pada penderita diabetes
melitus.2,14
Diabetes Mellitus (DM) terjadi pada sekitar 20 % populasi > 65 tahun.
Penyebab Neuropati terbanyak. Prevalensi neuropati pada pasien DM sekitar
66%. Sekitar 8% sudah menderita neuropati pada saat didiagnosa DM, 50%
setelah 25 tahun didiagnosa DM, 45% pada pasien NIDDM, 54% pada pasien
IDDM.1,14

4
C. FAKTOR RESIKO
Hiperglikemia merupakan faktor risiko pada pasien DM Tipe 1 dan DM Tipe
2. Hubungan lain yang juga berperan adalah usia, lama mengalami diabetes,
kualitas kontrol metabolik, berat badan, konsumsi rokok, kadar HDL dan temuan
penyakit kardiovaskular.13,14
D. PATOFISIOLOGI
Banyak teori yang dikemukan oleh para ahli tentang patofisiologi terjadinya
neuropati diabetika, namun semuanya sampai sekarang belum diketahui
sepenuhnya. Faktor-faktor etiologi neuropati diabetika diduga adalah
vaskular, berkenaan dengan metabolisme, neurotrofik dan imunologik. Studi
terbaru menunjukkan adanya kecenderungan suatu multifaktorial patogenesis
yang terjadi pada neuropati diabetika. Beberapa teori yang diterima adalah :
a. Teori vaskular (iskemia-hipoksia)
Pada pasien neuropati diabetika dapat terjadi penurunan aliran darah ke
endoneurium yang disebabkan oleh adanya resistensi pembuluh darah
akibat hiperglikemia. Biopsi nervus suralis pada pasien neuropati
diabetika ditemukan adanya penebalan pembuluh darah, agregasi platelet,
hiperplasi sel endotelial dan pembuluh darah, yang kesemuanya dapat
menyebabkan iskemia. Iskemia juga dapat menyebabkan terganggunya
transport aksonal, aktifitas NA+/K+ ATPase yang akhirnya menimbulkan
degenerasi akson.

b. Teori Metabolik
Teori Advanced Glycation End Product (AGEs)
Peningkatan glukosa intraseluler menyebabkan pembentukan advanced
glycosilation products (AGEs) melalui glikosilasi nonenzymatik pada
protein seluler. Glikosilasi dan protein jaringan menyebabkan
pembentukan AGEs. Glikosilasi non enzimatik ini merupakan hasil
interaksi glukosa dengan kelompok amino pada protein. Pada

5
hiperglikemia kronis beberapa kelebihan glukosa berkombinasi dengan
asam amino pada sirkulasi atau protein jaringan. Proses ini pada awalnya
membentuk produk glikosilasi awal yang reversibel dan selanjutnya
membentuk AGEs yang ireversibel. Konsentrasi AGEs meningkat pada
penderita DM. Pada endotel mikrovaskular manusia , AGEs menghambat
produksi prostasiklin dan menginduksi PAI-1(Plasminogen Activator
Inhibitor-1) dan akibatnya terjadi agregasi trombosit dan stabilisasi fibrin,
memudahkan trombosis. Mikrotrombus yang dirangsang oleh AGEs
berakibat hipoksia lokal dan meningkatkan angiogenesis dan akhirnya
mikroangiopati.

c. Teori Nerve Growth Factor (NGF)


Faktor neurotrophic penting untuk pemeliharaan, pengembangan, dan
regenerasi unsur-unsur yang responsif dari saraf. Neurotrophic factor
(NF) sangat penting untuk saraf dalam mempertahankan perkembangan
dan respon regenerasi. Nerve Growth Factor (NGF) berupa protein yang
memberi dukungan besar terhadap kehidupan serabut saraf dan neuron
simpatis. Telah banyak dilakukan penelitian mengenai adanya faktor
pertumbuhan saraf, yaitu suatu protein yang berperan pada ketahanan
hidup neuron sensorik serabut kecil dan neuron simpatik sistem saraf
perifer. Beberapa penelitian pada binatang menunjukkan adanya
defisiensi neurotropik sehingga menurunkan proses regenerasi saraf dan
mengganggu pemeliharaan saraf. Pada banyak kasus, defisit yang paling
awal, melibatkan serabut saraf yang kecil.3,17 Pada pasien dengan DM
terjadi penurunan NGF sehingga transport aksonal yang retrograde ( dari
organ target menuju badan sel) terganggu. Penurunan kadar NGF pada
kulit pasien DM berkorelasi positif dengan adanya gejala awal small
fibers sensory neuropathy.
d. Stres Oksidatif pada Patogenesis Neuropati Diabetika
Stres oksidatif terjadi dalam sebuah sistem seluler saat produksi dari
radikal bebas melampaui kapasitas antioksidan dari sistem tersebut. Jika

6
antioksidan seluler tidak memindahkan radikal bebas, radikal bebas
tersebut menyerang dan merusak protein, lipid dan asam nukleat. Oksidasi
produk radikal bebas menurunkan aktifitas biologi, membuat hilangnya
energi metabolisme, sinyal sel, transport, dan fungsi fungsi utama lainnya.
Hasil produknya juga membuat degradasi proteosome, kemudian dapat
menurunkan fungsi seluler. Akumulasi dari beberapa kerusakan membuat
sel mati melalui nekrotisasi atau mekanisme apoptosis. Hiperglikemik
kronis menyebabkan stres oksidatif pada jaringan cenderung pada
komplikasi pasien dengan diabetes. Metabolisme glukosa yang berlebihan
menghasilkan radikal bebas. Beberapa jenis radikal bebas di produksi
secara normal di dalam tubuh untuk menjalankan beberapa fungsi spesifik.
Superoxide (O2), hydrogen peroxide (H2O2), dan nitric oxide (NO) adalah
tiga diantara radikal bebas ROS yang penting untuk fisiologi normal,
tetapi juga dipercaya mempercepat proses penuaan dan memediasi
degenerasi selular pada keadaan sakit.
Glukosa dapat bereaksi dengan Reactive Oxygen Species (ROS) dan akan
membentuk karbonil. Karbonil bereaksi dengan protein atau lemak akan
menyebabkan pembentukan glikosidasi atau liposidasi. Selain itu glukosa
dapat juga membentuk karbonil secara langsung dengan protein dan
membentuk Advanced glycation end products(AGEs) yang berperan
dalam stress oksidatif dan dapat menyebabkan kerusakan sel.

7
E. MANIFESTASI KLINIS
Terlihat pada 20% pasien diabetes melitus, tetapi dengan pemeriksaan
elektrofisiologi pada diabetes melitus asimptomatik tampak bahwa penderita
sudah mengalami neuropati subklinik. Pada kasus yang jarang, neuropati mungkin
merupakan tanda awal suatu diabetes melitus.1,2,16

8
Gambar 2-1 Perbedaan manifestasi klinis dari neuropati diabetes (Modified from Pickup J, Williams G [eds].
5
Textbook of Diabetes, Vol 1. Oxford, UK, Blackwell Scientific, 1997.)

Polineuropati sensorik-motorik simetris, bentuk ini paling sering dijumpai,


keluhan dapat dimulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat.
Polineuropati biasanya memiliki karakteristik : 12,14

Gambar 2-2 Perbedaan manifestasi klinis neuropati serat besar –dan kecil fibroneuropathy. ADL, activities

of daily living; QOL, quality of life. (Adapted from Vinik AI, Mehrabyan A. Diabetic neuropathies. Med Clin

North Am 2004;88:947-999.) 5

9
1) Tanda pertama muncul pada tungkai bawah.
2) Parestesia selalu terjadi pada jari kaki atau telapak kaki, terutama pada malam
hari. Ada rasa tebal atau kesemutan, terutama pada tungkai bawah
3) Sensasi sarung pada kaki “seperti kaos kaki”
4) Kehilangan refleks Achilles
5) Penyusutan atau kehilangan perasaan getar, dimulai dari distal.
6) Saat kondisi berkembang, terjadi paresis extensor jari kaki pada dorsum kaki.
7) Makin lama, paresis sepanjang extensor jari dan kaki.
8) Kedua kaki terkulai.
9) Sensasi seperti terbakar.
10) Gangguan sensoris dan kelemahan menyebar ke tungkai atas.
F. DIAGNOSIS
1. Diagnosis Diabetes Melitus
Kadar gula darah untuk menentukan diagnosis DM menurut Konsesus
Pengelolaan DM tahun 2015.
Tabel 2. Diagnosis DM menurut Konsensus Pengelolaan DM Perkeni

2015.

2. Diagnosis Neuropati Diabetika


Polineuropati sensori-motor simetris distal atau distal symmetrical
sensorymotor polyneuropathy (DPN) merupakan jenis kelainan yang paling
sering terjadi, ditandai dengan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif

10
dan fungsi motorik (lebih jarang) berlangsung pada bagian distal yang
berkembang ke arah proksimal.1,2
Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat
bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Hanya dengan jawaban tidak ada keluhan neuropati saja tidak cukup
mengeluarkan kemungkinan adanya neuropati. Pada evaluasi tahunan, perlu
dilakukan pengkajian terhadap : 1). Refleks motorik, 2). Fungsi serabut saraf
besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa getar
(biotesiometer) dan rasa tekan (estesiometer dengan filament mono semmes-
weinstein); 3). Fungsi serabut saraf kecil dengan sensasi suhu; 4). Untuk
mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantar saraf dapat
dikerjakan elektromiografi.2
Bentuk lain yang juga sering ditemukan ialah neuropati otonom
(parasimpatis dan simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy (dan). Uji
komponen parasimpatis dan dilakukan dengan 1). Tes respons denyut jantung
terhadap maneuver vasalva; 2). Variasi denyut jantung selama napas dalam
(denyut jantung maksimum-minimum). Uji komponen simpatis dan
dilakukan dengan 1). Respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan
sistolik); respons tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan
diastolik).14
Pemeriksaan Eletrodiagnostik
Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk
memeriksa saraf perifer dan otot. Pemeriksaan EMG adalah obyektif,
tidak tergantung input penderita dan tidak ada bias. EMG dapat memberi
informasi yang dapat dipercaya ,kuantitatif dari fungsi saraf. EMG dapat
mengetahui denervasi parsial pada otot kaki sebagai tanda dini ND. EMG
ini dapat menunjukkan kelaianan dini pada ND yang asimptomatik.
Kecepatan hantar saraf (KHS) mengukur serat saraf sensorik
bermyelin besar dan serat saraf motorik, jadi tidak dapat mengetahui
kelainan pada neuropati selektifserat bermielin kecil. Pemeriksaan KHS
sensorik mengakses integritas sel-sel ganglion radiks dorsalis dan akson

11
perifernya. KHS sensorik berkurang pada demielinisasi serabut saraf
sensorik. KHS motorik biasanya lambat dibagian distal lambat, terutama
bagian distal. Respon motorik mungkin amplitudonya normal atau
berkurang bila penyakitnya bertambah parah. Penyelidikan kecepatan
hantar saraf sensorik biasanya lebih jelas daripada perubahan KHS
motorik. EMG jarang menimbulkan aktivitas spontan abnormal dan
amplitude motor unit bertambah, keduanya ini menunjukkan hilangnya
akson dengan dengan reinervasi kompensatoris. Bila kerusakan saraf
kecil memberi keluhan nyeri neuropatik , kecepatan hantar sarafnya
normal,dan diagnosis memerlukan biopsi saraf. Hasil-hasil EMG saja
tidak pernah patognomonik untuk suatu penyakit, walau ia dapat
membantu atau menyangkal suatu diagnosis klinis. Oleh karena itu
pemeriksaan klinis dan neurologik serta amamnesis penting sekali untuk
membantu diagnosis pasti suatu penyakit.

G. PENATALAKSANAAN
Strategi pengelolaan pasien diabetes melitus dengan keluhan neuropati
diabetes dibagi ke dalam 3 bagian. Strategi pengelolaan pertama adalah diagnosis
ND sedini mungkin, strategi kedua yaitu dengan kendali glikemik dan perawatan
kaki sebaik-baiknya, dan strategi yang ketiga yaitu pengendalian keluhan
neuropati/nyeri neuropati diabetik. Selain itu pengendalian neuropati diabetik
perlu melibatkan banyak seperti perawatan umum, pengendalian glukosa darah
dan parameter metabolik lain.13
1) Perawatan umum/kaki1
Jaga kebersihan kulit, hindari trauma kaki seperti sepatu yang sempit. Cegah
trauma berulang pada neuropati kompresi.
2) Pengendalian glukosa darah2
Pengendalian glukosa darah dan monitor HbA1c secara berkala merupakan
langkah pertama yang harus dilakukan, pengendalian faktor metabolik lain
perlu dilakukan seperti hemoglobin, albumin, dan lipid sebagai komponen tak

12
terpisahkan juga perlu dilakukan. Pengendalian glukosa darah mampu
mengurangi komplikasi kronik diabetes termasuk neuropati.
3) Terapi medikamentosa1
Untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya komplikasi kronik diabetes
melitus termasuk neuropati, saat ini sedang diteliti penggunaan obat-obat yang
berperan pada proses timbulnya komplikasi kronik diabetes, yaitu :
a. Golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat
penimbunan sorbitol dan fruktosa.
b. Penghambat ACE
c. Neurotropin : nerve growth factor, brain-derived neurotrophic factor.
d. Alpha lipoic acid, suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan
radikal hidroksil, superoksida, dan peroksil serta membentuk kembali
glutation.
e. Penghambat protein kinase c
f. Gangliodes, merupakan komponen utama membrane sel.
g. Gamma linoleic acid (GLA) suatu prekusor membrane fosfolipid.
h. Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan AGEs.
i. Human intravenous immunoglobulin, memperbaiki gangguan neurologik
maupun non neurologik akibat penyakit autoimun.
4) Pedoman pengelolaan dengan nyeri 1,2
Sedangkan untuk mengatasi berbagai keluhan nyeri, sangat dianjurkan untuk
memahami mekanisme yang mendasari keluhan nyeri tersebut, antara lain
aktivasi reseptor n-methyl-d-aspartate (NMDA) yang berlokasi di membran
post spinatik spinal cord dan pengeluaran substance p dari serabut saraf besar a
yang berfungsi sebagai neuromodulator nyeri. Manifestasi nyeri dapat berupa
rasa terbakar, hiperalgesia, alodinia, nyeri menjalar, dll. Pemahaman terhadap
mekanisme nyeri penting agar dapat member terapi yang lebih rasional,
meskipun terapi nyeri neuropati diabetik pada dasarnya bersifat simtomatis.
Pengelolaan dengan nyeri yang dianjurkan ialah :
a. NSAID (ibuprofen 600 mg 4 x/hari, sulindac 200 mg 2 x/hari).

13
b. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150 mg malam hari, imipramin 100
ng/hari, nortriptilin 50-150 mg malam hari, paroxetine 40 mg/hari).
c. Antikonvulsan (gabapentin 900 mg 3 x/hari, karbamazepin 200 mg 4
x/hari).
d. Antiaritmia (mexilletin 150-450 mg/hari)
e. Topical : capsaicin 0,075 % 4x/hari, fluphenazine 1 mg 3x/hari,
transcutaneous electrical nerve stimulation.
Dalam praktek sehari-hari, jarang ada obat tunggal yang mampu mengatasi
nyeri neuropati diabetes. Meskipun demikian, pengobatan nyeri umumnya
dimulai dengan obat anti-depresan atau anti-konvulsan tergantung ada
tidaknya efek samping. Dosis obat dapat ditingkatkan hingga dosis
maksimum atau sampai efek samping muncul. Kadang-kadang kombinasi
anti-depresan dan anti-konvulsan cukup efektif. Bila dengan regimen ini
belum atau kurang ada perbaikan nyeri, dapat ditambahkan obat topikal. Bila
tetap tidak atau kurang berhasil, kombinasi obat yang lain dapat dilakukan.1,2

H. PROGNOSIS
Prognosis dari penyakit polineuropati bergantung kepada jenis dan
penyebabnya, tingkat keparahan dari saraf yang terkena, dan komplikasi-
komplikasi yang ditimbulkan. Bagaimanapun, dengan terapi yang segera,
kebanyakan orang membaik dengan sangat cepat, dalam hitungan hari atau
beberapa minggu saja. Hanya kurang dari 2% dapat mengakibatkan kematian.
Setelah membaik secara bertahap, 3 – 10% orang menjadi kelainan yang
mengarah ke CIDP (cronic inflamatori demyelinisation polineuropaty) . Pada
CIDP yang tertangani dengan baik 30% sembuh dan tidak terdapat gangguan,
45% dengan tetap ada gangguan yang ringan, dan 25% tetap mengalami
gangguan saraf yang buruk Pada diabetic polineuropati, komplikasi biasanya
baik apabila diabetesnya baik, tetapi akan memburuk apabila terjadi
komplikasi neuropati autonom (diabetic neuropati)

14
BAB III
PENUTUP

Definisi neuropati diabetika adalah adanya gejala dan / atau tanda dari
disfungsi saraf perifer dari penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain
diabetes melitus setelah dilakukan eksklusi penyebab lainnya. Polineuropati
diabetika menggambarkan keterlibatan banyak saraf tepi dan distribusinya
umumnya bilateral simetris meliputi gangguan sensorik, motorik maupun
otonom. Polineuropati diabetika memiliki tanda dan gejala yang mudah dikenal
yaitu kelainan yang sifatnya simetris. Gangguan sensorik selalu lebih nyata
dibanding kelainan motorik dan sudah terlihat pada awal penyakit. Umumnya
gejala nyeri, parastesi dan hilang rasa timbul ketika malam hari. Khas diawali
dari jari kaki berjalan ke proksimal tungkai. Seiring memberatnya penyakit jari
tangan dan lengan dapat mengenai saraf sensoris, motor dan fungsi otonomik
dengan bermacam-macam derajat tingkat, dengan predominan terutama disfungsi
sensoris.2Nyeri mungkin bisa tiba-tiba saja timbul atau mungkin dicetus oleh
stimulasi pada daerah kulit dan nyerinya tajam atau terbakar. Parastesi biasanya
digambarkan dengan rasa tebal, gringgingen, terbakar, atau kesemutan.
Oleh karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan polineuropati diabetik
pada pasien diabetes melitus perlu diperhatikan, berdasarkan diagnosis diikuti
dengan pengendalian glukosa darah. Usaha mengatasi keluhan nyeri pada
dasarnya bersifat simtomatis, dilakukan dengan memberikan obat yang bekerja
sesuai mekanisme yang mendasari keluhan nyeri tersebut.
Prognosis dari penyakit polineuropati bergantung kepada jenis dan
penyebabnya, tingkat keparahan dari saraf yang terkena, dan komplikasi-
komplikasi yang ditimbulkan. Bagaimanapun, dengan terapi yang segera,
kebanyakan orang membaik dengan sangat cepat, dalam hitungan hari atau
beberapa minggu saja

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhartono T. Diabetik Neuropati: Manajemen Terapi Fokus Cinula. Dalam:


Lestariningsih, Nugroho KH, editor. Semarang: Badan PenerbitUniversitas
Diponegoro 2009 ; 15-20.
2. Sadeli HA. Nyeri Neuropati Diabetika. Dalam : Meliala L, Suryamiharja,
Wirawan, Sadeli HA, Amir D, editor. Nyeri Neuropatik. Yogyakarta:
Medigama Press 2008 ; 77-90.
3. Meliala L. Penatalaksanaan Nyeri Neuropati Diabetika. Dalam: Meliala L,
Rusdi I, Gofir A, Pinzon R , editor. Toward Mechanism-Based Pain Treatment
The Recent Trent and Current Evidences. Yogyakarta: 2004 ; 121- 8.
4. Widjaja D. Diagnosis of Diabetic Neuropathy in Course and Workshop on
Neurophysiology in Clinical Practice. Kongres Nasional PERDOSSI ke 6.
Yogjakarta: 2007; 20-39.
5. Aswin S. Diabetes Melitus dan Disfungsi Sistem Saraf.In: Djokomoeljanto,
Darmono, Suhartono T(ed). Naskah Lengkap: Pertemuan Ilmiah Tahunan V
Endrokinologi, Semarang 9-11 Desember 2004. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro 29; 329-49.
6. Pinzon R. Peran Alpha Lipoic Acid dalam Terapi Polineuropati Diabetika:
Kajian Sistematis dalam Penelitian Terdahulu. Medicinus 2010;22(4):157- 9.
7. Widjaja D. Pemeriksaan Neurofisiologik pada Sindroma Nyeri Akut dan
8. Menahun. Dalam : Meliala L, Suryamiharja, Wirawan, Sadeli HA, Amir D,
editor. Nyeri Neuropati Diabetika.Yogyakarta: Medigama Press, 2008 ; 30 40.
9. Meijer JWK, Bosma E, Lefrandt JD, Links TP, Smith AJ, Steward RE et al.
Clinical Diagnosis of Diabetic Neuropathy Symptom and Diabetic Neuropathy
Examination Scores. Diabetes Care 2003; 23(3): 691-701.
10. Widiastuti MI. Peran Neuropati Pada Patogenesis kaki diabetik. Dalam:
Suhartono T,Tjokorda GDE, Nugroho KH, editor. Kursus Manajemen Holistik
Kaki Diabetik. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro 2007; 2:19-
11. Vincent AM, Russell JW, Low P, Feldman EL. Oxidative Stress in the
Pathogenesis osf Diabetic Neuropathy. Endocr Rev 2004; 25(4): 612-28.

16
12. Ziegler, Christph GH, Zadeh JN. Oxidative Stress and Antioxidant Defence in
Relation to the Severity of Diabetic Polyneuropathy and Cardiovascular
Autonomic Neuropathy. Diabetes Care 2004; 27: 2178- 83.
13. Mirza N, Cornblath D, Hasan S, Hussain U. Alpha Lipoic Acid for Diabetic
Peripheral Neuropathy (Protocol). Cohrane Database of Systematic Reviews
(internet). 2005 (cited 2005 July 30). Available from Willey Interscience.
14. Ziegler D, Hanefeld M, Ruhnau KJ, Meissner HP, Lobisch M, Schutte K, et
al.Treatment of Symptomatic of Diabetic peripheral neuropathy with the
antioxidant alpha-lipoic acid 3-week multicentre randomized controlled trial
(ALADIN Study). Diabetologia 1995;38:1425-33.

17

Anda mungkin juga menyukai