Anda di halaman 1dari 29

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN SEPTEMBER 2021

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA REHABILITASI PADA


NEUROPATI DIABETIK

DISUSUN OLEH :

1. Nurqolby Athiyah Patyapali C014202074


2. Nur Ismi Amaliah C014202192

Supervisor Pembimbing :

dr. Nuralam Sam, Sp. KFR

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2021
HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL REFERAT: DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA REHABILITASI


PADA
NEUROPATI DIABETIK

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

1. Nama : Nurqolby Athiyah Patyapali


NIM : C014202074
2. Nama : Nur Ismi Amaliah
NIM : C014202192

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada


Departemen Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitas Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.

Makassar, September 2021

dr. Nuralam Sam, Sp.KFR

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patogenesis neuropati diabetic.………..………………………..6


Gambar 2.2 Fenomena glove and stocking…….....………………………….7
Gambar 2.3 Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs ……...9
Gambar 2.4 Latihan Kaki Diabetik …………………………………….…..15
Gambar 2.5 Senam Kaki Diabetik………………………………………….16
Gambar 2.6 patellar tendon weight bearing..................................................17
Gambar 2.7 TENS pada neuropati ………..…………………………..……18

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Stadium neuropati diabetik perifer……………………………7

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... ii


DAFTAR GAMBAR ........................................................................................iii
DAFTAR TABEL .............................................................................................iv
DAFTAR ISI ..................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………...2
2.1. Definisi ........................................................................................... 2
2.2. Epidemiologi .................................................................................. 2
2.3. Faktor Resiko ................................................................................. 3
2.4. Klasifikasi ...................................................................................... 4
2.5 Patogenesis ...................................................................................... 4
2.6. Manifestasi Klinis .......................................................................... 7
2.7. Diagnosis ........................................................................................ 8
2.8. Tatalaksana ..................................................................................... 10
2.8.1. Medikamentosa .................................................................... 10
2.8.2. Rehabilitasi .......................................................................... 11
2.9. Prognosis ........................................................................................ 20
BAB III KESIMPULAN ................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 22

v
BAB I
PENDAHULUAN

Secara global, angka pasien yang menderita penyakit diabetes mellitus


meningkat empat kali lipat sejak tiga dekade yang terakhir, dan menduduki tempat
ke-sembilan penyebab kematian utama di dunia. Sekitar 1 dalam 11 orang dewasa
di seluruh dunia mengidap penyakit diabetes mellitus, di mana 90% adalah
diabetes mellitus tipe 2. Diabetes merupakan penyebab utama kebutaan, gagal
ginjal, serangan jantung, strok dan amputasi kaki dan diperkirakan sejumlah 1,5
juta kematian yang diakibatkan langsung oleh diabetes pada tahun 20191.
Kondisi hiperglikemia yang berlangsung kronis memberi sejumlah efek
pada makrovaskular dan mikrovaskular, termasuk nefropati diabetik, retinopati
diabetik dan neuropati diabetik dengan efek yang besar mempengaruhi kualitas
hidup dan ekspektasi hidup secara menyeluruh. Dalam sebuah review, didapatkan
25% pasien diabetes mellitus yang menderita komplikasi diabetik nefropati dan
retinopati sedangkan neuropati diabetik didapatkan pada 50% dari populasi pasien
diabetes mellitus. Neuropati diabetik perifer merupakan antara tiga risiko utama
sehingga 2-3 kali lipat untuk jatuh dalam kalangan penderita diabetes dan
mempunyai impak yang signifikan terhadap kualitas hidup maupun produktivitas
kerja sehari-hari2.
Seiring dengan peningkatan kasus, prevalensi komorbiditas akibat
gangguan metabolisme glukosa ini turut mengalami peningkatan. Antara
komplikasi yang paling sering dialami adalah neuropati diabetik3.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Neuropati diabetik adalah hilangnya fungsi sensoris dimulai secara distal
di ekstremitas bawah ditandai dengan nyeri dan morbiditas substansial di mana
manifestasi neuropati yang paling sering adalah polineuropati distal simetris
selain fokal, multifokal dan neuropati autonomik yang biasa juga ditemukan. Di
antara komplikasi diabetes, sekelompok sindrom klinis yang disebabkan oleh
kerusakan pada sistem saraf perifer dan otonom adalah yang paling umum.
Umumnya disebut sebagai bentuk neuropati, sindrom ini disebabkan oleh
kerusakan sistem saraf difus dan fokal dan terjadi pada setengah dari semua
individu dengan diabetes. Neuropati difus lainnya yang sekunder akibat diabetes
dapat terjadi dan termasuk kumpulan neuropati otonom, seperti neuropati otonom
jantung, dismotilitas gastrointestinal dan sistopati diabetik dan impotensi. 4,5

2.2. Epidemiologi
The International Diabetes Federation memperkirakan bahwa 425 juta
orang di seluruh dunia menderita diabetes, menjadikannya epidemi global terbesar
di abad ke-21.5 Indonesia berada di peringkat ke-7 di antara 10 negara dengan
jumlah penderita terbanyak, sebesar 10,7 juta.7 50% dari jumlah penderita
diabetes akan mengalami komplikasi neuropati perifer diabetik. Polineuropati
distal simetris adalah penyebab utama terjadinya ulserasi pada kaki dan amputasi
ekstremitas bawah di Amerika Serikat. Pasien dengan polineuropati distal simetris
dan sebelum amputasi ekstremitas bawah, mempunyai 50% risiko tinggi untuk
kehilangan kaki kedua dalam jangka waktu 2 tahun kedepan dengan kadar
kelangsungan hidup 5 tahun, lebih rendah n berbanding penderita DM tanpa
komplikasi neuropati diabetik.8 Neuropati diabetik perifer adalah penyebab
tersering neuropati di seluruh dunia, dan diestimasi dapat ditemukan pada 50%
penderita diabetes, di mana 10% hingga 20% mempunyai gejala yang memburuk
sehingga membutuhkan perawatan.9

2
3

2.3. Faktor Risiko


- Usia
Banyaknya penderita neuropati pada rentang usia 45 – 65 tahun
disebabkan karena usia tersebut terjadi kerusakan jaringan yang
disebabkan oleh radikal bebas seperti peningkatan kadar lipid peroksida
dan perubahan aktivitas enzim9.
- Kadar glikemik darah tidak terkontrol
Pasien dengan DM tipe 2 dan HbA1c ≥7.0% menunjukkan peningkatan
risiko neuropati diabetik perifer. Gula darah tinggi yang tidak terkontrol
merusak saraf dan mengganggu kemampuan untuk mengirim sinyal yang
menyebabkan neuropati diabetik. Gula darah tinggi juga melemahkan
dinding pembuluh darah kecil (kapiler) yang memasok saraf dengan
oksigen dan nutrisi.9
- Durasi diabetes yang lama
Prevalensi neuropati diabetik perifer meningkat seiring dengan lamanya
durasi diabetes. Durasi penyakit mempunyai efek yang signifikan secara
statistik pada komplikasi neuropati perifer yaitu pada penderita diabetes
dengan durasi 5 – 12 tahun9,10.
- Diabetik retinopati
Diabetik retinopati dalam kasus dengan neuropati diabetik perifer (37%)
adalah 2,75 kali dibandingkan dengan kasus tanpa neuropati diabetik
perifer (14%). Retinopati sebagai salah satu faktor risiko terpenting untuk
neuropati diabetik perifer Neuropati lebih sering dilihat pada pasien yang
mempunyai retinopati11.
- Merokok
Merokok menyebabkan vasokonstriksi dimana vasokonstriksi akan
meningkatkan risiko terjadinya neuropati diabetik perifer.13
- Riwayat Hipertensi
Hipertensi dapat menyebabkan penebalan pembuluh darah arteri
menyebabkan diameter pembuluh darah menyempit. Penyempitan
pembuluh darah akan mempengaruhi pengangkutan metabolisme dalam
darah, sehingga kadar glukosa darah akan terganggu14.
4

2.4. Klasifikasi
Klasifikasi neuropati diabetik15:
1. Menurut perjalanan penyakitnya, ND dibagi menjadi:
- Neuropati fungsional/subklinis, yaitu gejala yang muncul sebagai akibat
perubahan biokimiawi. Pada fase ini belum ada kelainan patologik sehingga
masih reversibel.
- Neuropati struktural/klinis, yaitu gejala timbul sebagai akibat kerusakan
struktural serabut saraf. Pada fase ini masih ada komponenyang reversible.
- Kematian neuronhingkat lanjut, yaitu terjadi penurunan kepadatan serabut
saraf akibat kematian neuron. Pada fase ini sudah irreversible.
- Kerusakan serabut saraf pada umumnya dimulai dari distal menuju ke
proksimal,sedangkan proses perbaikan mulai dari proksimal ke distal. Oleh
karena itu lesi distal paling banyak ditemukan, seperti polineuropati simetris
distal.
2. Menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi
 Neuropati difus
- Polineuropati sensori-motor simetris distal,
- Neuropati otonom: neuropati sudomotor, neuropati otonom
kardiovaskular, neuropati gastrointestinal, neuropati genitourinaria
- Neuropati lower limb motor simetris proksimal (amiotropi)
 Neuropati fokal
- Neuropati kranial
- Radikulopati/pleksopati
- Entrapment neuropathy

2.5. Patogenesis
Proses kejadian ND (Neuropati Diabetik) berawal dari hiperglikernia
berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol,
sintesis advance glycosilation end products (AGEs), pernbentukan radikal
bebas dan aktivasi protein kinase C(PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut
berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf rnenurun
5

dan bersarna rendahnya mioinxitol dalam sel terjadilah ND. Berbagai


penelitian rnernbuktikan bahwa kejadian ND berhubungan sangat kuat dengan
lama dan beratnya DM15:
• Faktor Metabolik
Proses terjadinya ND berawal dari hiperglikernia yang berkepanjangan.
Hiperglikernia persisten rnenyebabkan aktivitasjalur poliol rneningkat, yaitu
terjadi aktivasi enzirn aldose-reduktase, yang rnerubah glukosa rnenjadi
sorbitol, yang kernudian dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase rnenjadi
fruktosa. Akurnulasi sorbitol dan fruktosa dalarn sel saraf rnerusak sel saraf
rnelalui rnekanisrne yang belurn jelas. Salah satu kernungkinan-nya ialah
akibat akurnulasi sorbitol dalarn sel saraf rnenyebabkan keadaan hipertonik
intraselular sehingga rnengakibatkan edem saraf. Peningkatan sintesis sorbitol
berakibat terharnbatnya mioinositol rnasuk ke dalarn sel saraf. Penurunan
mioinositol dan akumulasi sorbitol secara langsung rnenirnbulkan stres
osrnotik yang akan rnerusak rnitokondria dan akan rnenstirnulasi protein
kinase C (PKC). Aktivasi PKC akan rnenekan fungsi No-K-ATP-ase, sehingga
kadar Na intraselular rnenjadi berlebihan, yang berakibat terharnbatnya
mioinositol rnasuk ke dalarn sel saraf sehingga terjadi gangguan transduksi
sinyal pada saraf. Reaksi jalur poliol ini juga rnenyebabkan turunnya
persediaan NADPH saraf yang rnerupakan kofaktor penting dalarn
rnetabolisrne oksidatif. Karena NADPH merupakan kofaktor penting untuk
glutathion dan nitric oxide synthase (NOS), pengurangan kofaktor tersebut
rnernbatasi kernarnpuan saraf untuk rnengurangi radikal bebas dan penurunan
produksi nitric oxide (NO). Disarnping rneningkatkan aktivitas jalur poliol ,
hiperglikernia berkepanjangan akan rnenyebabkan terbentuknya advance
glycosilation end products (AGEs). AGEs ini sangat toksik dan rnerusak
sernua protein tubuh, terrnasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGE5 dan
sorbitol, rnaka sintesis dan fungsi NO akan rnenurun, yang berakibat
vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf rnenurun, dan bersarna rendahnya
mioinositol dalarn sel saraf, terjadilah ND. Kerusakan aksonal rnetabolik awal
rnasih dapat kernbali pulih dengan kendali glikernik yang optimal. Tetapi bila
6

kerusakan rnetabolik ini berlanjut rnenjadi kerusakan iskernik, rnaka kerusakan


structural akson tersebut tidak dapat diperbaiki lagi.
 Kelainan Vaskular
Penelitian rnernbuktikan bahwa hiperglikernia juga rnernpunyai hubungan
dengan kerusakan rnikrovaskular. Hiperglikernia persisten rnerangsang
produksi radikal bebas oksidatif yang disebut reactiveoxygen species (ROS).
Radikal bebas ini rnernbuat kerusakanendotel vaskular dan rnenetralisasi NO,
yang berefek rnenghalangi vasodilatasi rnikrovaskular. Mekanisrne kelainan
rnikrovaskular tersebut dapat rnelalui penebalan rnernbrana basalis; trornbosis
pada arteriol intraneural; peningkatan agregasi trornbosit dan berkurangnya
deforrnabilitas eritrosit; berkurangnya aliran darah saraf dan peningkatan
resistensi vaskular; stasis aksonal, pernbengkakan dan dernielinisasipada saraf
akibat iskernia akut. Kejadianneuropati yang didasari oleh kelainan vaskular
rnasih bisa dicegah dengan rnodifikasi faktor risiko kardiovaskular, yaitu kadar
trigliserida yang tinggi, indeks rnassa tubuh, rnerokok dan hipertensi.
 Mekanisme Imun
Suatu penelitian rnenunjukkan bahwa 22% dari 120 penyandang DM tipe
1r nerniliki complement fixing ant isciatic nerve antibodies dan 25% DM tipe 2
rnernperlihatkan hasil yang positif. Hal ini rnenunjukkan bahwa antibody
tersebut berperan pada patogenesis ND. Bukti lain yang rnenyokong peran
antibodi dalarn rnekanisrne patogenik ND adalah adanya antineural antibodies
pada serum sebagian penyandang DM. Autoantibodi yang beredar ini secara
langsung dapat rnerusak struktur saraf rnotorik dan sensorik yang bisa
dideteksi dengan irnunofloresens indirek. Disarnping itu adanya penurnpukan
antibody dan kornplernen pada berbagai kornponen saraf suralis
rnernperlihatkan kernungkinan peran proses imun pada patogenesis ND.
 Peran nerve growth factor (NGF)
NGF diperlukan untuk rnernpercepat dan rnernpertahankan perturnbuhan
saraf. Pada penyandang diabetes, kadar NGF serum cenderung turun dan
berhubungan dengan derajat neuropati. NGF juga berperan dalarn regulasi gen
substance P dan calcitonin-gen-regulated peptide (CGRP).Peptidaini rnernpunyai
7

efek terhadap vasodilatasi, rnotilitas intestinal dan nosiseptif, yang kesernuanya


itu mengalami gangguan pada ND.

Gambar 2.1 Patogenesis diabetik neuropati


2.6. Manifestasi Klinis
• Neuropati diabetik perifer
Gejala rasa terbakar, mati rasa, atau kesemutan pada kaki yang
cenderung memburuk pada malam hari adalah ciri khasnya. Pasien dengan
parestesia dan disestesia sering menggambarkan gejala nonspesifik yang
mengakibatkan kesulitan dengan ambulasi dan aktivitas dasar kehidupan
sehari - hari (ADL). Neuropati perifer sensorik terdapat pada sekitar 80%
pasien DM sering digambarkan sebagai "fenomena glove and stocking",
dan dapat memakan waktu beberapa tahun untuk berkembang. Gejala yang
mengenai serabut saraf besar bermielin biasanya kebas, kesemutan dan
keseimbangan yang memburuk. Gejala yang mengenai serabut saraf kecil
bermielin adalah nyeri, rasa terbakar dan seperti terkena renjatan
listrik12,17.
8

Gambar 2.2 Fenomena glove and stocking.


Tabel Stadium neuropati diabetic perifer18
Stadium neuropati diabetik perifer Karakteristik
Stadium 0/1 : tidak ada klinis
Tidak ada tanda atau gejala
neuropati
Stadium 2 : neuropati klinis
- Nyeri kronis Gejala positif (nyeri bertambah ketika
malam) : rasa terbakar, nyeri menusuk
±
- Nyeri Akut
Tidak sering, diabetes yang tidak
terkontrol, hiperestesia, atau
pemeriksaan neurologi perifer yang
normal
- Tidak nyeri dengan
kehilangan sensoris komplit Tidak ada gejala kesemutan dikaki,
/parsial
sensitivitas suhu menurun, dan cedera
yang tidak nyeri.
- Amiotropi diabetik
Kelemahan otot dan wasting, hilang
sedikit sensoris
Lesi kaki seperti ulcer
Deformitas neuropati seperti Charchot
Stadium 3 : Komplikasi lambat
neuropati klinis joint
Amputasi non trauma
Tabel 2.1 Stadium neuropati diabetik perifer
9

• Neuropati otonom17
Gejala neuropati otonom juga sangat umum pada diabetes dan
dapat mempengaruhi organ gastrointestinal, kardiovaskular, dan
genitourinari. Gejala khas meliputi:
- GI: Ketidaknyamanan perut, disfagia, mual, inkontinensia tinja,
sembelit, diare
- Jantung: Hipotensi, sinus takikardia, denyut jantung variabel,
sinkop
- Kandung kemih: Aliran urin lemah, mengejan untuk berkemih,
pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap,
- Kulit: Intoleransi panas, keringat gustatorik, diaforesis ekstrim
- Saraf: Carpal Tunnel Syndrome, radikulopati, lumbosakral, dan
neuropati serviks. Selain itu, saraf kranial 3,4,6, dan 7 mungkin
terpengaruh.

2.7. Diagnosis
A. Tanda dan Gejala
• Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS)
merupakan instrument dalam menilai nyeri neuropatik dan telah
divalidasi diberbagai negara dengan sensitivitas 82-91 % dan
spesifitas 80-94%. Instrumen ini mampu mendeteksi komponen
nyeri neuropatik menggunakan pemeriksaan sensitivitas. Terdapat
instrument lain yang juga dapat mendeteksi gejala nyeri neuropatik
seperti Douleur Neuropathique en 4 Questions (DN4),
Neuropathic Pain Questionnare (NPQ), Kuesioner nyeri McGill,19
10

Gambar 2.3 Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and


Signs

B. Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)
Pemeriksaan elektrodiagnostik terdiri dari KHS dan
elektromiografi (EMG), yang standar untuk pemeriksaan neuropati
akibat kerusakan serabut saraf besar. EMG dapat membedakan
antara polineuropati dengan miopati, neuripati, pleksopati, ataupun
poliradikulopati. Pemeriksaan elektrodiagnostik meningkatkan
ketajaman distribusi disfungsi saraf, membedakan keterlibatan
motor dan sensorik, tingkat keparahan, serta dapat menilai
gangguan saraf berdasarkan aksonopati maupun mielinopati.
Elektrodiagnostik juga dapat dilakukan berulang dengan tujuan
evaluasi atau menilai progresifitas penyakit19.
• Nerve conduction study (NCS)
Konsensus Toronto , merekomendasikan penggunaan NCS
abnormal dengan gejala atau tanda untuk mendiagnosis neuropati
diabetik perifer. Temuan elektrofisiologis yang khas pada
neuropati diabetik perifer adalah pengurangan amplitudo potensial
11

aksi otot majemuk, perlambatan NCV sensorik dan motorik, latensi


gelombang-F yang berkepanjangan dan tidak adanya refleks
Hoffman. tetapi cedera saraf kecil yang terjadi di awal neuropati
diabetik perifer tidak dapat ditangkap oleh NCS19.
• Biopsi kulit
Pemeriksaan ini untuk menilai inervasi serabut saraf kecil
intraepidermal tidak bermielin yang menghantarkan sensasi nyeri
dan suhu dari kulit serta berperan dalam regulasi fungsi otonom.
• Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan standar yang disarankan diantaranya gula darah
puasa, elektrolit, pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hepar, darah
lengkap, hitung jenis, kadar vitamin B12, laju endap darah, fungsi
tiroid, dan jika memungkinkan immunofixation electrophoresis
(IFE)20.

2.8. Tatalaksana
2.8.1. Medikamentosa15
Sejauh ini, selain kendali glikemik yang ketat, belum ada
bukti kuat suatu terapi dapat memperbaiki atau mencegah neuropati
diabetik. Namun demikian, untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya
komplikasi kronik DM termasuk neuropati, saat ini sedang diteliti
penggunaan obat-obat yang berperan pada proses timbulnya komplikasi
kronik diabetes, yaitu :
- Golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat
penimbunan sorbitol dan fruktosa
- PenghambatACE
- Neurotropin (Nerve growth factor ,Brain-derived neurotrophic factor)
- Alpha Lipoic Acid, suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan
radikal hidroksil, superoksida dan peroksil serta membentuk kembali
glutation.
- Penghambat Protein Kinase C
- Gangliosides,merupakan komponen utama membrane sel
12

- Gamma linoleic acid (GLA), suatu prekursor membrane fosfolipid


- Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan AGES
- Human intravenous immunoglobulin, memperbaiki gangguan neurologic
maupun non neurologik akibat penyakit autoimun.

Pedoman pengelolaan ND dengan nyeri, yang dianjurkan ialah:


- NSAlD (ibuprofen 600mg 4x/hari, sulindac 200mg 2x/hari)
- Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150mg malam hari, imipramin
100ng/hari, nortriptilin 50-150mg malam hari, paroxetine 40mg/hari)
- Antikonvulsan (gabapentin 900mg 3x/hari, karbamazepin 200mg
4x/hari)
- Antiaritmia (mexilletin 150-450mg/hari)
- Topikal: capsaicin 0,075% 4x/hari, fluphenazine 1mg 3x/hari,
transcutaneous electrical nerve stimulation.
Dalam praktek sehari-hari, jarang ada obat tunggal mampu
mengatasi nyeri neuropati diabetes. Meskipun demikian, pengobatan
nyeri umumnya dimulai dengan obat anti-depresan atau anti-konvulsan
tergantung ada tidaknya efek samping.

2.8.2. Rehabilitasi
Modalitas terapi untuk mengobati neuropati diabetik bervariasi
dari latihan untuk mencegah penyakit hingga penggunaan kemajuan
teknologi seperti rTMS dan CCTS untuk mempromosikan perubahan
kortikal dalam modulasi nyeri tersebut. Singkatnya, rehabilitasi fisik pada
neuropati perifer diabetik melibatkan latihan aerobik karena manfaat
neurovaskularnya, lebih dari latihan penguatan, TENS dan rTMS.20.

a. Rutinitas olahraga adalah adjuvan utama yang terkait dengan


pengobatan medis dan farmakologis untuk neuropati perifer. Bukti
manfaat seperti (i) peningkatan fungsional makro dan mikrovaskular, (ii)
peningkatan fungsi endotel, (iii) penurunan vasokonstriksi dan
peningkatan aliran darah, (iv) peningkatan kekuatan otot, (v) peningkatan
13

resistensi kardio-pernapasan, (vi) peningkatan langsung kadar glikemia


dan pembentukan produk seperti AGEs dan (vii) penurunan komorbiditas
terkait DM, seperti hipertensi sistemik dan aterosklerosis20.

o Latihan Aerobik
Dengan latihan aerobik selama 10 minggu dengan 17
pasien neuropati diabetik, Kluding et al. mendapatkan penurunan
intensitas nyeri yang signifikan yang diukur dengan skala analog
visual (VAS) dan penurunan gejala neuropatik, selain peningkatan
serabut saraf intraepidermal dengan biopsi kulit.20 Randomized
controlled trial menetapkan bahwa latihan aerobik meningkatkan
kebugaran fisik, kontrol glikemik, dan sensitivitas insulin pada
penderita diabetes. Olahraga direkomendasikan sebagai cara bagi
penderita diabetes untuk meningkatkan kontrol glikemik dan
meminimalkan komplikasi diabetes. Pelatihan aerobik termasuk
treadmill, ikut kelas aerobic, berenang, dan sepeda statis. Sesi
latihan harus dimulai dengan peregangan singkat dan/atau
pemanasan 5 menit dan selesaikan dengan pendinginan 5-10 menit.
Dilakukan sekitar 30 menit sehari, 3 – 5 hari dalam semimggu.
Randomized controlled trial oleh Dixit et al juga menemukan
bahwa latihan aerobik memiliki efek positif mempengaruhi
kecepatan konduksi saraf. 21

o Pelatihan Keseimbangan
Kelemahan di bagian distal tubuh terjadi di akhir kondisi
DPN. Seiring dengan peningkatan keparahan DPN, tanda Romberg
positif dan ataksia dapat ditemukan karena kelemahan pada fleksor
plantar pergelangan kaki dan dorsifleksor. Ketidakstabilan pada
otot ini menyebabkan kesulitan dalam menjaga keseimbangan dan
akhirnya mempengaruhi gaya berjalan. DPN mempengaruhi statis
sekaligus dinamis keseimbangan. Berbagai faktor yang
mempengaruhi keseimbangan dalam populasi ini adalah hasil dari
14

gangguan sensasi yang signifikan, gangguan propriosepsi,


gangguan strategi gerakan, gangguan struktural biomekanik, dan
disorientasi. Latihan umum untuk peningkatan keseimbangan telah
terbukti efisien dalam klien DPN seperti hip flexion, hip extension,
side leg rise dengan bertumpu pada meja atau kursi dengan satu
tangan lalu tanpa tangan. Posisi dipertahankan selama 5 – 10 detik,
dilkukan 2 kali sehari. Menurut Hung et al, 12 minggu Tai Chi
telah menghasilkan peningkatan median dan tibialis kecepatan
konduksi saraf dan peningkatan kualitas hidup, keseimbangan, dan
gejala neuropatik.21
o Latihan Fleksibilitas
Pemeriksaan muskuloskeletal menyeluruh oleh ahli terapi
fisik dapat mengidentifikasi kebutuhan individu yang harus
ditangani untuk memaksimalkan alignment sendi dan
meminimalkan cedera terkait gerakan serta membantu menjaga
sendi fleksibel. Peregangan hamstring, peregangan betis,
peregangan lutut ke dada, toe curl dan pergelangan kaki bipedal
inversi dan eversi dapat digunakan dengan aman sebagai latihan
fleksibilitas seperi calf stretch, seated hamstring stretch,
plantarfascia stretch, posisi dipertahankan selama 15 – 20 detik, 2
kali sehari. Pembatasan ROM khusus telah terbukti berkontribusi
pada peningkatan tekanan mekanis pada permukaan plantar.
Dinyatakan bahwa semakin kecil gerakan sagital metatarsal yang
pertama dan lateral kaki depan dan eversi/inversi kalkaneus,
semakin tinggi besarnya beban plantar di bawah segmen masing-
masing. Latihan terapi di rumah telah disarankan untuk
meningkatkan mobilitas sendi distal dan distribusi tekanan plantar
pada gaya berjalan dalam RCT dengan klien DPN.21
o Latihan Kekuatan
Pernyataan bersama dari American College of Sports
Medicine dan ADA merekomendasikan 2 atau 3 hari latihan
ketahanan pada kelompok otot besar per minggu. Pelatihan ini
15

harus mencakup minimal 1 set dari 5 atau lebih latihan resistensi.


DM tipe 2 memiliki efek besar pada kekuatan otot maksimal
dengan pengurangan sekitar 30-50% di kedua kaki bagian atas dan
bawah. Kelemahan otot diamati pada klien dengan gejala neuropati
berat. Kekuatan pergelangan kaki yang berkurang dan tingkat
produksi kekuatan dapat menyebabkan gangguan keseimbangan,
Olahraga dapat menunda atau bahkan mencegah timbulnya DPN
pada penderita diabetes seperti chair squat, seated dorsiflexion atau
kitchen counter calf raises yang dapat diulangi 10 – 15 kali, 2 kali
sehari. Dilaporkan juga oleh Allet et al. bahwa ada peningkatan
yang signifikan pada keseimbangan dan kekuatan, peningkatan
kecepatan berjalan, dan penurunan rasa takut jatuh pada peserta
setelah 60 menit dua kali seminggu selama 12 minggu program
pelatihan fungsional, kekuatan dan keseimbangan. Program
pelatihan ini layak dan aman untuk orang dengan neuropati perifer.
21

o Latihan Kaki Diabetik meliputi gerakan rentang gerak plantar fleksi,


dorsofleksi, inversi, eversi dan sirkumduksi jari kaki. Latihan, yang
dilakukan setelah menggunakan insulin, harus mencakup 5 hingga
10 latihan dengan 10 pengulangan. Jika kadar glukosa darah >300
mg/dL dan tekanan darah >180 mmHg, pasien tidak diperbolehkan
melakukan latihan. Pasien harus berhenti berolahraga jika merasa
mual, pusing, atau mengantuk. Instruksi khusus untuk pasien
adalah menghindari latihan angkat beban dan menyelesaikan
program latihan kaki dalam posisi duduk dan berdiri setelah luka
sembuh. Latihan juga membantu meningkatkan penyembuhan luka
karena oksigen dapat menjamin produksi energi dari ATP dan
merangsang metabolisme sel dan angiogenesis, setelah itu oksigen
dapat meningkatkan proliferasi fibroblas, sintesis kolagen, dan
epitelisasi, sehingga dapat membuat luka mengecil dan infeksi luka
dapat dicegah. Hal ini berkaitan dengan perubahan yang terjadi
16

akibat latihan (aktivitas otot, peningkatan aliran darah ke area luka,


dan penurunan hipoksia). 23

Gambar 2.4. Latihan Kaki Diabetik


o Senam Kaki Diabetes (Buerger Allen Exercise)
Buerger Allen Exercise. Buerger Allen Exercise dilakukan
2x sehari selama tiga minggu, adapun prosedurnya ada tiga tahap
yaitu: 1) Kaki diangkat pada posisi 45 derajat dengan kaki
disanggah oleh bantal selama 1-2 menit sampai kulit terlihat
menjadi pucat; 2) Penderita duduk dalam posisi santai dengan
posisi tungkai kaki digantungkan di bawah tempat tidur atau kursi,
selanjutnya kaki pasien melakukan gerakan seperti terlihat pada
gambar (kaki menekuk ke atas kemudian kebawah, dan gerakan
kaki berputar dari luar ke dalam. Gerakan ini dilakukan selama 5
menit sampai kulit terlihat kemerahan kembali; 3) penderita
berbaring ditempat tidur dengan tenang selama 10 menit dengan
kedua kaki pasien beristirahat serta diselimuti kain24.
17

Gambar 2.5 Senam Kaki diabetik

b. Rehabilitasi sensoris. Foot drop dan wrist drop dapat dicegah dengan
posisi orthosis yang tepat. Jika penurunan kaki telah terjadi, menggunakan
orthosis pergelangan kaki dapat mengkompensasi kelemahan dorsofleksi.
Orthosis pergelangan kaki dapat dibentuk dari plastik atau logam. brace
tegak dengan stop anterior-posterior, yang biasanya melekat pada sepatu.
Pada pasien diabetes, pertimbangan sensasi dan sirkulasi harus diberikan
sehingga orthosis kaki polipropilen yang disesuaikan dengan kebutuhan
direkomendasikan. Jika dorsofleksi tidak dikoreksi, pasien mencoba untuk
mengkompensasi dengan stepage gait, sehingga mengembangkan pola
gaya berjalan yang buruk dan peningkatan pengeluaran energi. Tergantung
pada tingkat keparahan kasus, alat bantu mobilitas yang sesuai, seperti
tongkat, alat bantu jalan, two-wheeled walkers, kruk, dan kursi roda dapat
diresepkan. Tongkat, alat bantu jalan, dan kruk memberikan basis
dukungan yang lebih luas dan memberikan masukan sensorik melalui
ekstremitas atas, dan tongkat dapat berguna dalam menjelajahi
lingkungan. Artopati neuropatik, sendi Charcot, dapat terjadi karena
hilangnya sensasi keseluruhan termasuk sensasi sendi dan trauma
berulang. Pada pasien seperti itu, sepatu cetakan khusus diresepkan. Pada
18

neuropati perifer diabetik kronis, ulkus kaki sering terjadi. Terkadang


ulkus kaki kronis mungkin membutuhkan bantalan absolute non- weight
bearing. Dalam keadaan ini, pasien dapat dipasangkan dengan patellar
tendon weight bearing brace25.

Gambar 2.6 patellar tendon weight bearing

c. Elektroterapi telah digambarkan sebagai metode terapi fisik dengan efek


analgesik potensial pada nyeri neuropatik, terutama nyeri neuropati
diabetik. Penelitian telah menunjukkan transcutaneal electrical stimulation
(TENS) sebagai preferensial utama. Dalam suatu meta-analisis, TENS
dengan penggunaan frekuensi rendah (2-4Hz) untuk mengobati neuropati
diabetik memiliki efek menguntungkan sedang (6 dan 12 minggu) dalam
menghilangkan rasa sakit. Terapi TENS ditoleransi dengan baik dan tidak
ada laporan efek samping sama sekali. Mekanisme aksi yang mungkin dari
elektroterapi akan terkait dengan pelepasan neurotransmiter lokal, seperti
serotonin, adenosin trifosfat (ATP) dan endorfin. Arus frekuensi rendah
meningkatkan mikrosirkulasi dan aliran darah endoneural, yang sangat
berpengaruh untuk neuropati diabetik. Studi menunjukkan bahwa TENS
mengaktifkan mekanisme sentral penghasil analgesia. Ada bukti bahwa
TENS frekuensi rendah mengaktifkan opioid µ di sumsum tulang belakang
19

dan batang otak, dan arus frekuensi tinggi akan menghasilkan efek melalui
reseptor δ. Mima et al. telah mengamati bahwa TENS frekuensi tinggi
juga menurunkan amplitud potensial yang membangkitkan motor,
menunjukkan penurunan rangsangan eksitabilitas korti-kospinal dan
korteks motorik. 20

Gambar 2.7 TENS pada neuropati

d. Modulasi korteks motorik primer (M1) untuk mengontrol nyeri juga


dapat diperoleh dengan neuromodulasi transkranial noninvasif24. Sumber
yang paling umum digunakan adalah rTMS dan CCTS. Modulasi rangsang
korteks motorik primer dapat diperoleh dengan rTMS frekuensi tinggi
(umumnya di atas 5Hz) atau CCTS anodal (anoda di M1 dan katoda di
daerah supraorbital kontralateral). Stimulasi daerah ini memodulasi
thalamus dan serangkaian daerah lain yang terkait dengan jaringan saraf
proses nyeri otak, termasuk daerah proses sensorik dan emosional. Kim et
al. telah melakukan uji klinis dengan 60 pasien nyeri neuropatik yang
dibagi dalam tiga kelompok yang diberikan CCTS anodal aktif di M1, di
korteks pre-frontal dorsolateral atau CCTS simulasi, selama lima hari
berturut-turut. Hanya modulasi M1 yang mampu secara signifikan
mengurangi rasa sakit dan efeknya dipertahankan hingga empat minggu
setelah perawatan. Sampai saat ini, hanya satu penelitian yang menyelidiki
rTMS untuk secara khusus mengobati nyeri pasien neuropati diabetik.
20

Onesti et al. menggunakan deep stimulation coil (H-coil), dalam lima sesi
perawatan. Hasilnya adalah penurunan nyeri yang terkait dengan
penurunan penanda nyeri fisiologis, refleks H. 20
e. Edukasi
Pasien memainkan peran penting dalam meminimalkan risiko
mengembangkan neuropati perifer diabetik dan dalam mencegah
kemungkinan konsekuensinya. Beberapa tindakan pencegahan penting
meliputi menjaga kadar gula darah tetap terkendali, kenakan sepatu yang
pas untuk menghindari luka dan periksa kaki setiap hari. Jika ada luka,
kemerahan, lecet, atau bengkak, segera temui ahli bedah kaki dan
pergelangan kaki.20

2.9 Prognosis
Prognosis untuk neuropati diabetik sangat tergantung pada seberapa baik
kondisi yang mendasari diabetes ditangani. Mengobati diabetes dapat
menghentikan perkembangan dan memperbaiki gejala neuropati, tetapi
pemulihannya lambat. Sensasi nyeri neuropati diabetik dapat menjadi cukup parah
untuk menyebabkan depresi pada beberapa pasien. Beberapa neuropati berakibat
fatal. Kematian lebih tinggi pada orang dengan neuropati otonom kardiovaskular.
Tingkat kematian keseluruhan selama periode hingga 10 tahun adalah 27% pada
pasien dengan DM dan terdeteksi neuropati otonom kardiovaskular, dibandingkan
dengan 5% angka kematian pada mereka yang tidak memiliki bukti neuropati
otonom kardiovaskular. Morbiditas dihasilkan dari ulserasi kaki dan amputasi
ekstremitas bawah.22
BAB III
KESIMPULAN

Neuropati diabetik adalah komplikasi mikrovaskular bersifat


multifaktorial yang paling sering ditemukan dengan prevalensi tertinggi dalam
kalangan penderita diabetes mellitus. Beberapa faktor yang meningkatkan risiko
terjadinya komplikasi ini seperti usia, kadar glikemik tidak terkontrol dengan
pengukuran HbA1c, durasi penyakit diabetes yang lama, retinopati diabetic,
merokok, riwayat hipertensi dan sebagainya. Diagnosis untuk neuropati dapat
ditegakkan dari gejala neuropati pada anamnesis, pemeriksaan fisik yang
mengarah ke arah penemuan disfungsi sensoris maupun motorik sehingga
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan.
Tatalaksana medikamentosa bervariasi dari pengawasan kadar gula darah,
penggunaan obat-obatan untuk mencegah komplikasi diabetes serta pengobatan
untuk nyeri neuropati diabetik. Terapi fisik dan rehabilitasi pada neuropati
diabetik juga diperlukan seperti latihan aerobik, latihan fleksibilitas, latihan
kekuatan, latihan keseimbangan, latihan kaki diabetik, senam kaki diabetik
maupun penggunaan modalitas elektroterapi seperti TENS dan rTMS. Terapi
medikamentosa serta latihan fisik dan rehabilitasi ini jika dikombinasikan dengan
edukasi yang baik dapat menghasilkan kualitas hidup yang lebih baik pada
penderita neuropati diabetik.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Zheng Y, Ley SH, Hu FB. Global aetiology and epidemiology of type 2


diabetes mellitus and its complications. Nat Rev Endocrinol. 2018
Feb;14(2):88-98.
2. Faselis C, Katsimardou A, Imprialos K, Deligkaris P, Kallistratos M,
Dimitriadis K. Microvascular Complications of Type 2 Diabetes Mellitus.
Curr Vasc Pharmacol. 2020;18(2):117-124.
3. Hestiana DW. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan
Dalam Pengelolaan Diet Pada Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus Tipe
2 di Kota Semarang. Journal of Health Education (JHE). 2017; 2(2): 138-
146.
4. Zakin E, Abrams R, Simpson DM. Diabetic Neuropathy. Semin Neurol.
2019 Oct;39(5):560-569.
5. Feldman EL, Callaghan BC, Pop-Busui R, Zochodne DW, Wright DE,
Bennett DL, Bril V, Russell JW, Viswanathan V. Diabetic neuropathy. Nat
Rev Dis Primers. 2019 Jun 13;5(1):41.
6. World Health Organization. 2021.
7. Kemenkes. 2020.
8. Mizokami-Stout KR, Li Z, Foster NC, Shah V, Aleppo G, McGil JB, et al.
The Contemporary Prevalence of Diabetic Neuropathy in Type 1 Diabetes:
Findings From the T1D Exchange. Diabetes Care. 2020 Apr; 43(4): 806-
812.
9. Liu X, Xu Y, Zeng Q. The risk factors for diabetic peripheral neuropathy:
A metaanalysis. PLoS One. 2019; 14(2): 1-16.
10. Khawaja, N., Abu-Shennar, J., Saleh, M. et al. The prevalence and risk
factors of peripheral neuropathy among patients with type 2 diabetes
mellitus; the case of Jordan. Diabetol Metab Syndr. 2018; 10(8).
11. Sharma VK, Joshi MV, Vishnoi AA. Interrelation of retinopathy with
peripheral neuropathy in diabetes mellitus. J Clin Ophthalmol Res. 2016;
4: 83-7.

22
12. Andersen ST, Witte DR, Dalsgaard EM, Andersen H, Nowroth P, Fleming
T, et al. Risk factors for incident diabetic polyneuropathy in a cohort with
screen-detected type 2 diabetes followed for 13 years: ADDITION-
Denmark. Diabetes Care. 2018; 41:10681075.
13. Fakkel TM, Cakici N, Coert JH, Verhagen AP, Bramer WM, Neck JWV.
Risk factors for developing diabetic periperhal neuropathy: a meta
analysis.SN Comprehensive Clinical Medicine. 2020; 2: 1853-1864.
14. Ponirakis G, Petropoulos IN, Alam U, Ferdousi M, Asghar O, Marshall A
et al. Hypertension contributes to neuropathy in patients with type 1
diabetes. American Journal of Hypertension. 2019 Aug; 32(8): 796-802.
15. Subekti, I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.6. Interna Publishing.
2014;2395-9.
16. Bodman MA, Varacallo M. Peripheral Diabetic Neuropathy. [Updated
2021 Apr 19]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-.
17. Quan D. What are the signs and symptoms of diabetic thoracic
radiculoneuropathy. [Updated 2020 Jan 17]. Available from
https://www.medscape.com/answers/1170337-4971/what-are-the-signs-
and-symptoms-of-diabetic-thoracic-radiculoneuropathy
18. Yang Z, Zhang Y, Chen R, Huang Y, Ji L, Sun F, Hong T, Zhan S. Simple
tests to screen for diabetic peripheral neuropathy. Cochrane Database of
Systematic Reviews 2018, Issue 7.
19. Aninditha T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi. Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2017; 668-9.
20. de Souza JB, Carqueja CL, Baptista AF. Physical rehabilitation to treat
neuropathic pain. Rev Dor Sao Paulo. 2016; 17(1): 85-90.
21. Majeedkutty NA, Jabbar MA, Sreenivasulu S. Physical therapy for
diabetic neuropathy: A narrative review. 2019; 30(1): 112-125.
22. Diabetic Neuropathy. National Institute of Neurological Disorders and
Stroke. 2019.

23
23. Mirtha LT, Ariono M, Putra SM. The effect of foot exercise on diabetic
patients with foot ulcer: an evidence-based case report. Journal of Diabetes
and Metabolic disorders. 2018. Available from:
https://www.heraldopenaccess.us/openaccess/the-effect-of-foot-
exerciseon-diabetic-patients-with-foot-ulcer-an-evidence-based-case-
report
24. Chang, C.F., Chang C.C., Hwang, S.L., & Chen, M.Y. (2015). Effects of
buerger exercise combined health-promoting program on peripheral
neurovasculopathy among community residents at high risk for diabetic
foot ulceration. Worldviews on EvidenceBased Nursing, 12 (3), 145–53.
25. Shah, SJ. Rehabilitation in Diabetic Neuropathy. Geriatrics and
Rehabilitation, Southern Arizona VA Health Care System. 99-103.

24

Anda mungkin juga menyukai