ANATOMI
a) Nervus Ischiadicus
N. Ischiadicus (L4 dan 5, S1, 2, dan 3) melengkung ke lateral dan turun kebawah
melalui regio glutea, mula-mula terletak di pertengahan antara spina iliaca posterior
superior dan tuber ischiadicum. Saraf ini kemudian berjalan kebawah pada garis tengah
di aspek posterior tungkai atas dan terbagi menjadi n. peroneus communis dan tibialis
pada tempat yang bervariasi di atas fossa poplitea.4
Foot drop merupakan kondisi yang dihasilkan dari kelemahan otot kompartemen anterior
(dorsiflexor) otot kaki, spasme ankle plantar flexor atau adanya kontraktur pada ankle plantar
flexion.
Foot drop atau drop foot didefinisikan sebagai kelemahan otot tibialis anterior dan
seringkali disertai dengan kelemahan ekstensor hallucis longus dan ekstensor digitorum longus.
Biasanya disebabkan oleh patologi LMN, biasanya gangguan konduksi dari saraf peroneum yang
dalam (L4-L5). Radikulopati L4-L5 adalah penyebab yang paling umum dari penurunan kaki,
biasanya disebabkan oleh nukleus pulposus atau stenosis foraminal. Neuropati peroneum perifer
adalah yang paling umum berikutnya dan disebabkan oleh penyebab neurogenik dan
nonneurogenik seperti jebakan saraf, diabetes mellitus, neuropati inflamasi, trauma, massa atau
tekanan di dekat kepala fibula, tumor intraneural, dan patologi vaskular. Penyebab pusat atau
UMN sangat jarang tetapi harus dipertimbangkan.
Etiologi
Drop foot dapat terjadi setelah cedera langsung pada dorsiflexor. Beberapa kasus ruptur
tendon tibialis anterior yang menyebabkan penurunan kaki dan kecurigaan kelumpuhan
saraf peroneum telah dilaporkan.
Sindrom kompartemen juga dapat menyebabkan penurunan kaki. Ini adalah keadaan
darurat bedah dan tidak hanya terkait dengan fraktur atau trauma akut. March gangrene,
suatu bentuk sindrom kompartemen anterior, diperkirakan disebabkan oleh edema dan
pendarahan kecil pada otot-otot kompartemen anterior yang terjadi setelah aktivitas berat
pada individu yang tidak terbiasa dengannya.
Penyebab neurologis dari penurunan kaki termasuk mononeuropati dari saraf peroneum
yang dalam, saraf peroneum yang umum, atau saraf skiatik. Pleksopati lumbosakral,
radikulopati lumbal, penyakit neuron motorik, atau lesi serebral kortikal atau subkortikal
parasagital juga dapat bermanifestasi sebagai penurunan kaki. Lesi ini dapat dibedakan
melalui pemeriksaan klinis dan elektrodiagnostik
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sebenarnya sudah dimulai ketika penderita datang ke dokter
dengan mengamati penampakan umum penderita, raut muka, cara berjalan, cara duduk
dan cara tidur, proporsi tinggi badan terhadap anggota tubuh lainnya, keadaan simetris
bagian tubuh kiri dan kanan, cara berjalan dan tingkah laku, ekspresi wajah, kecemasan
serta reaksi emosional lainnya untuk melihat aspek-aspek emosional dan somatis dari
penderita.
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang paling penting dalam memperkuat
penemuan-penemuan yang berhasil kita dapatkan dari riwayat dan anamnesis yang
telah kita buat dan menambah atau mengurangi pilihan diagnosis yang dapat kita
lakukan .
Cara berjalan (gait)
Pengamatan gait merupakan aspek penting dari diagnosis yang dapat
memberikan informasi mengenai beberapa kondisi muskuloskeletal dan saraf.
Secara khusus, ada delapan gaits patologis dasar yang dapat dikaitkan dengan
kondisi neurologis : hemiplegia, diplegic kejang, neuropati, miopati,
Parkinsonian, choreiform, ataxic (serebelum) dan sensorik.
Hemiplegia Gait
Pasien berdiri dengan kelemahan unilateral pada sisi yang terkena, lengan
tertekuk, adduksi dan diputar secara internal. Kaki pada sisi yang sama
dalam ekstensi dengan fleksi plantar kaki dan jari kaki. Saat berjalan,
pasien akan terus memegang lengannya atau ke satu sisi dan menyeret
kaki yang terkena di setengah lingkaran (circumduction) karena
kelemahan otot distal (foot drop) dan ekstensor hypertonia di tungkai
bawah. Hal ini paling sering terlihat pada stroke. Dengan hemiparesis
ringan, kehilangan lengan ayun normal dan sedikit circumduction
mungkin satu-satunya kelainan .
Diplegic Gait
Pasien memiliki keterlibatan di kedua sisi dengan kelenturan di
ekstremitas bawah lebih buruk daripada ekstremitas atas. Pasien berjalan
dengan basis normal sempit, menyeret kedua kaki dan gesekan jari-jari
kaki. Cara berjalan ini terlihat pada lesi periventrikular bilateral, seperti
yang terlihat pada cerebral palsy. Ada juga karakteristik ekstrim
adductors pinggul yang dapat menyebabkan kaki untuk menyeberangi
garis tengah disebut sebagai gaya berjalan gunting. Di negara-negara
dengan perawatan medis yang memadai, pasien dengan cerebral palsy
mungkin memiliki operasi rilis adduktor hip untuk meminimalkan
scissoring.
Neuropathy Gait (steppage gait, Equine gait)
Terlihat pada pasien dengan drop foot (kelemahan kaki dorsofleksi),
penyebab gait ini adalah karena upaya untuk angkat kaki cukup tinggi
selama berjalan sehingga kaki menyeret di lantai. Jika unilateral,
penyebab termasuk peroneal kelumpuhan saraf dan L5 radiculopathy.
Jika bilateral, penyebab termasuk amyotrophic lateral sclerosis, penyakit
Charcot - Marie - Tooth dan neuropati perifer lainnya termasuk yang
berhubungan dengan diabetes yang tidak terkontrol.
Miopati Gait (Waddling Gait)
Otot panggul bertanggung jawab untuk menjaga tingkat panggul saat
berjalan. Jika Anda memiliki kelemahan pada satu sisi, hal ini akan
menyebabkan penurunan panggul di sisi kontralateral panggul sambil
berjalan (Trendelenburg tanda). Dengan kelemahan bilateral, Anda akan
menjatuhkan panggul di kedua sisi selama berjalan. Cara berjalan ini
terlihat pada pasien dengan miopati, seperti distrofi otot .
Gait Parkinsonian
Dalam gait ini, pasien akan memiliki kekakuan dan bradikinesia. Dia akan
membungkuk dengan kepala dan leher ke depan, dengan fleksi pada lutut.
Seluruh ekstremitas atas juga fleksi dengan jari biasanya ekstensi. Pasien
berjalan dengan langkah-langkah agak lambat diketahui pada marche a
petits pas (berjalan dari langkah-langkah kecil). Pasien juga mungkin
mengalami kesulitan memulai langkah. Pasien mungkin menunjukkan
kecenderungan tak sadar untuk mengambil langkah-langkah percepatan,
yang dikenal sebagai festinasi. Kiprah ini terlihat pada penyakit Parkinson
atau kondisi yang menyebabkan lain parkinsonisme, seperti efek samping
dari obat-obatan .
Choreiform Gait (hiperkinetik Gait)
Cara berjalan ini ini terlihat dengan gangguan ganglia basal tertentu
termasuk Sydenham 's chorea, Penyakit Huntington dan bentuk lain dari
chorea, athetosis atau dystonia. Pasien akan menampilkan gerakan tidak
teratur, gerakan involunter di semua ekstremitas. Berjalan dapat
menonjolkan gangguan gerakan dasar mereka .
Ataxic Gait ( serebelum )
Paling sering terlihat pada penyakit serebelar, cara berjalan ini
digambarkan sebagai kikuk, gerakan mengejutkan dengan kiprah berbasis
lebar. Sambil berdiri diam, tubuh pasien akan bolak-balik dan dari sisi ke
sisi, yang dikenal sebagai titubasi. Pasien tidak akan mampu berjalan dari
tumit sampai ujung kaki atau dalam garis lurus. Kiprah keracunan alkohol
akut akan menyerupai kiprah penyakit cerebellar. Pasien dengan
ketidakstabilan yang lebih truncal lebih mungkin untuk memiliki penyakit
cerebellar garis tengah pada vermis .
Gait sensorik
Saat kaki kita menyentuh tanah, kita menerima informasi propioreceptive
untuk memberitahu kita lokasi mereka. Cara berjalan ataxic sensorik
terjadi ketika kehilangan masukan propioreceptive ini. Dalam upaya
untuk mengetahui kapan kaki menapak dan lokasi mereka, pasien akan
membanting kaki keras ke tanah untuk merasakannya. Kunci cara
berjalan ini melibatkan eksaserbasi ketika pasien tidak dapat melihat kaki
mereka (yaitu dalam gelap). Cara berjalan ini juga kadang-kadang disebut
sebagai gait menghentak karena pasien dapat mengangkat kaki mereka
sangat tinggi untuk memukul tanah keras. Gait ini dapat dilihat pada
gangguan kolom dorsal (defisiensi B12 atau tabes dorsalis) atau penyakit
yang mempengaruhi saraf perifer (diabetes yang tidak terkontrol). Dalam
bentuk yang berat, gaya berjalan ini dapat menyebabkan ataksia yang
menyerupai gaya berjalan ataksia cerebellar.
c) Pemeriksaan Lokalis
Pemeriksaan dilakukan secara sitematis dengan urutan-urutan sebagai berikut:
Inspeksi (Look)
Inspeksi dilakukan secara sistematik dan perhatian terutama ditujukan pada
:
a. Kulit, meliputi warna kulit dan tekstur kulit.
b. Jaringan lunak yaitu pembuluh darah, saraf, otot, tendo, ligamen,
jaringan lemak, fasia, kelenjar limfe.
c. Tulang dan Sendi
d. Sinus dan jaringan parut
Palpasi (Feel)
Yang perlu diperhatikan pada palpasi adalah:
a. Suhu kulit, apakah lebih panas/dingin dari biasanya, apakah denyutan
arteri dapat diraba atau tidak.
b. Jaringan lunak; palpasi jaringan lunak dilakukan untuk mengetahui
adanya spasme otot, atrofi otot, keadaan membran sinovial, penebalan
membran jaringan sinovial, adanya tumor dan sifatnya, adanya cairan
di dalam/ di luar sendi atau adanya pembengkakan.
c. Nyeri tekan; perlu diketahui lokalisasi yang tepat dari nyeri, apakah
nyeri setempat atau nyeri yang bersifat kiriman dari tempat lain
(referred pain).
d. Tulang; diperhatikan bentuk, permukaan, ketebalan, penonjolan dari
tulang atau adanya gangguan di dalam hubungan yang normal antara
tulang yang satu dengan lainnya.
e. Pengukuran panjang anggota gerak; terutama untuk anggota gerak
bawah dimana adanya perbedaan panjang merupakan suatu hal yang
penting untuk dicermati. Pengukuran juga berguna untuk mengetahui
adanya atrofi/pembengkakan otot dengan membandingkan dengan
anggota gerak yang sehat.
Penilaian deformitas yang menetap;pemeriksaan ini dilakukan apabila
sendi tidak dapat diletakkan pada posisi anatomis yang normal.
Kekuatan otot (Power)
Pemeriksaan kekuatan otot penting artinya untuk diagnosis, tindakan,
prognosis serta hasil terapi. Penilaian dilakukan menurut Medical Research
Council dimana kekuatan otot dibagi dalam grade 0-5, yaitu:
Grade 0
Tidak ditemukan adanya kontraksi otot.
Grade 1
Kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus otot yang
dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakkan sendi.
Grade 2
Otot hanya mampu menggerakkan persendian tetapi kekuatannya tidak
dapat melawan pengaruh gravitasi.
Grade 3
Disamping dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh
gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan oleh pemeriksa.
Grade 4
Kekuatan otot seperti pada grade 3 disertai dengan kemampuan otot
terhadap tahanan yang ringan.
Grade 5
Kekuatan otot normal.
Penilaian gerakan sendi baik pergerakan aktif maupun pasif (Move)
Pada pergerakan sendi dikenal dua istilah pergerakan yang aktif merupakan
pergerakan sendi yang dilakukan oleh penderita sendiri dan pergerakan
pasif yaitu pergerakan sendi dengan bantuan pemeriksa.
Pada pergerakan dapat diperoleh informasi mengenai:
a) Evaluasi gerakan sendi secara aktif dan pasif
Apakah gerakan ini menimbulkan rasa sakit
Apakah gerakan ini disertai dengan adanya krepitasi
b) Stabilitas sendi
Terutama ditentukan oleh integritas kedua permukaan sendi dan
keadaan ligamen yang mempertahankan sendi. Pemeriksaan
stabilitas sendi dapat dilakukan dengan memberikan tekanan pada
ligamen dan gerakan sendi diamati.
c) Pemeriksaan ROM (Range of Join Movement)
Pemeriksaan batas gerakan sendi harus dicatat pada setiap
pemeriksaan ortopedi yang meliputi batas gerakan aktif dan batas
gerakan pasif.
Setiap sendi mempunyai nilai batas gerakan normal yang
merupakan patokan untuk gerakan abnormal dari sendi. Dikenal
beberapa macam gerakan pada sendi, yaitu : abduksi, adduksi,
ekstensi, fleksi, rotasi eksterna, rotasi interna, pronasi, supinasi,
fleksi lateral, dorso fleksi, plantar fleksi, inversi dan eversi.
Pemeriksaan Sensoris
Pemeriksaan sistem sensori sangat bergantung pada kemampuan dan keinginan
pasien untuk bekerja sama. Sensasi dirasakan oleh pasien (sifat subjektif) dan
oleh karena itu pemeriksa sangat bergantung pada tingkat kepercayaan kita
terhadap pasien. Pemeriksaan ini tidak perlu untuk memeriksa semua wilayah
di permukaan kulit.
Sebuah pemeriksaan cepat pada wajah, leher, lengan, badan, dan kaki dengan
jarum hanya membutuhkan beberapa detik. Biasanya salah satu tujuannya adalah
mencari perbedaan antara kedua sisi tubuh. Lebih baik untuk bertanya
apakah rangsangan pada sisi berlawanan dari tubuh terasa sama daripada
menanyakan apakah terasa berbeda. Pemeriksaan sensorik terdiri dari:
Sentuhan ringan
Sensasi nyeri
Sensasi getaran
Propriosepsi
Lokalisasi taktil
Pada pasien tanpa tanda atau gejala penyakit neurologis, pemeriksaan fungsi
sensorik dapat dilakukan dengan cepat, dengan memeriksa adanya sensasi normal
pada ujung jari tangan dan kaki. Pemeriksa dapat memilih apakah ia mau
memeriksa sentuhan ringan, nyeri dan sensasi getaran. Jika semuanya normal,
pemeriksaan sensorik lainnya tidak diperlukan. Jika ada gejala atau tanda yang
menunjukkan gangguan neurologi, harus dilakuka pemeriksaan lengkap.
a) Pemeriksaan Sentuhan Ringan
Sentuhan ringan diperiksa dengan menyentuh pasien secara ringan
dengan sepotong kecil kain kasa. Mintalah pasien untuk menutup
mata dan memberitahu anda jika anda sedang menyentuhnya.
Diusahakan menyentuh jari kaki dan tangan pasien. Jika sensasinya
normal, lanjutkan dengna pemeriksaan yang lain. Jika sensasinya
abnormal, lakukanlah pemeriksaan di bagian proksimal sampai
batas ketinggian gangguan sensorik dapat ditentukan.
b) Pemeriksaan Sensasi Nyeri
Rasa nyeri dapat dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya
dengan menusuk, memukul, merangsang dengan api atau sesuatu
yang sangat dingin dan juga dengan berbagai larutan kimia. Sensasi
nyeri diperiksa dengan menggunakan peniti dan menanyakan
kepada pasien apakah ia merasakannya. Mintalah kepada pasien
untuk menutup matanya. Bukalah peniti dan sentuhlah pasien
dengan ujungnya. Sebelumnya perlu diberitahukan kepaa pasien
bahwa yang diperiksa ialah rasa nyeri dan bukan rasa raba. Kita
periksa seluruh tubuh, dan bagian-bagian yang simetris
dibandingkan. Bila bagian yang simetris dibandingkan, tusukan
harus sama kuat. Bila kita memeriksa sensibilitas pada pasien yang
gelisah atau yang agak menurun kesadarannya, maka pemeriksaan
rasa tusuk masih dapat dilakukan, sedang yang lainnya perlu
ditangguhkan.
c) Pemeriksaan Sensasi Getar
Sensasi getaran diperiksa dengan menggunakan garpu tala 128 hz.
Ketuklah garpu tala dengan tumit tangan anda dan letakkanlah di
suatu tonjolan tulang di bagian distal tubuh pasien. Minta pasien
untuk memberitahukan anda kalau ia sudah tidak dapat merasakan
getaran itu lagi. Minta kepada pasien untuk menutup matanya.
Letakkan garpu tala yang sedang bergetar pada falangs distal jari
tangan pasien dan jari tangan anda sendiri. Dengan cara ini anda
akan dapat mersakan getaran melalui jari pasien untuk menentukan
ketepatan respon pasien. Setelah jari tangan periksa juga jari kaki.
Jika tidak ada gangguan lakukan pemeriksaan berikutnya. Jika ada
gangguan, tentukanlah batas gangguannya.
d) Pemeriksaan Propiosepsi
Sensasi posisi, atau propriosepsi, diperiksa dengan menggerakkan
falangs distal. Pemeriksa memegang falangs distal pada sisi
lateralnya dan menggerakkan ke atas sambil memberitahukan
pasien. Pemeriksa kemudian menggerakkan falangs distal pasien ke
bawah dan memberitahukannya. Dengan mata pasien tertutup,
pemeriksa menggerakkan falangs distal naik turun dan akhirnya
berhenti, setelah itu tanyakan pada pasien apakah falangs distal
terletak di atas atau di bawah. Secara rutin lakukanlah pemeriksaan
pada falang terminal sebuah jari pada tiap tangan dan falang
terminal jari kaki. Jika tidak ada gangguan sensasi posisi, pemeriksa
harus melanjutkan sisa pemeriksaan berikutnya.
e) Pemeriksaan Lokalisasi Taktil
Lokalisasi taktil, yang dikenal pula sebagai perangsangan simultan
ganda, diperiksa dengan meminta pasien menutup matanya sambil
menanyakan kepadanya bagian tubuh mana yang disentuh.
Pemeriksa dapat menyentuh pasien pada pipi kanannya dan lengan
kiri. Pasien kemudian ditanyakan dimana jari pemeriksa berada.
Biasanya pasien tidak menemukan kesulitan dalam menentukan
kedua daerah ini. Pasien dengan lesi lobus parietalis mungkin
merasakan kedua sentuhan ini, tetapi mungkin memadamkan
sensasi pada sisi kontralateral dengan sisi lesi. Perasaan ini
merupakan fenomena yang disebut ekstingsi.
Studi Laboratorium
Penegakan diagnosis drop foot dengan menggunakan studi laboratorium sampai
saat ini belum menunjukan hasil yang bermakna. Penurunan kaki unilateral
spontan secara tiba tiba dengan keadaan awal yang sehat, memerlukan investigasi
lebih lanjut kedalam penyebab seperti penyebab metabolik, termasuk diabetes,
penyalahgunaan alkohol, dan paparan racun.
Tes – tes laboratorium yang sering digunakan adalah sebagai berikut.
Hemoglobin A1C
C – reaktif protein
BUN
Kreatinin
Studi Pencitraan
Studi pencitraan dalam penegakan drop foot, pencitraan yang dapat dilakukan
adalah plain foto polos, ultrasonografi, magnetic renonance neurography.
Adapun penjelasnya adalah sebagai berikut.
Plain Foto Polos
Plain foto polos pada drop foot dilakukan dengan indikasi yakni, pasca
trauma dan non trauma. Plain foto pasca trauma dilakukan dengan plain foto
tibia dan fibula serta pergelangan kaki untuk melihat cedera tulang. Plain foto
polos non trauma dilakukan dengan indikasi kecurigaan adanya disfungsi
anatomi misalnya charot. Plain foto yang dilakukan dalam kasus disfungsi
anatomi adalah plain foto polos kaki dan pergelangan kaki, dimana dari
hasilnya nanti dapat memberikan informasi yang berguna. Selain itu plain
foto polos tulang belakang juga diperlukan untuk menilai jarak
intravertebralis dan pedicle untuk mengindikasikan adanya lesi pada saraf
yang disebabkan oleh proses metastase.
Ultrasonografi
Ultrasonografi dilakukan dalam kasus drop foot dengan kecurigaan terjadi
pendarahan pada pasien dengan pinggul atau lutut prosthesis.
Magnetic Resonance Imanging
Magnetic Resonance Imanging (MRI) dilakukan dengan indikasi kecurigaan
terhadap tumor atau massa tekan ke saraf peroneal, dimana dilakukan dengan
sistem standar 1,5 Tesla MRI. Magnetic Resonance Imanging digunakan
untuk menghasilkan gambar dengan resolusi tinggi dari saraf perifer, serta
intraneural dan ekstraneural terkait lesi yang terjadi.
Magnetic Resonance Imanging memnungkinkan akusisi cepat gambar
anatomi lebih rinci, bidang pandang yang lebih kecl, resolusi yanglebiih
tinggi, dan dengan bagian potongan yang lebih tipis. Keunggulan pada MRI
ini dapat memberikan gambar yang mampu menunjukan organisasi fasciculus
saraf perifer normal, sehingga membuat saraf lebih jelas daat dibedakan dari
jaringan lain (misalnya, tumor atau pembuluh darah)
Selain itu, gambar pada MRI dapat diproses lebih lanjut untuk
memungkinkan susunan bagian aksial dan memotong data di bagian lain. Hal
ini bermanfaat dalam mengetahui batas longitudinal keterlibatan saraf
tersebut.
REFERENSI