Anda di halaman 1dari 29

f

DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI KLINIK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2021

UNIVERSITAS HASANUDDIN

ASPEK LABORATORIUM SINDROM NEFROTIK

Disusun Oleh :

Besse Dahlia Rizky Aulia A. C014202252

Rika Sari C11116336

Nurjihan Harahap C11116561

Residen Pembimbing :

dr. Fauziah

Supervisor :

dr. Rima Yuliati Muin, M.Kes, Sp.PK

DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Besse Dahlia Rizky Aulia A. C014202252

Rika Sari C11116336

Nurjihan Harahap C11116561

Judul Referat : Aspek Laboratorium Sindrom Nefrotik

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada departemen

Ilmu Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Oktober 2021

Mengetahui,

Residen Pembimbing

dr. Fauziah

Supervisor Pembimbing

dr. Rima Yuliati Muin, M.Kes., Sp.PK

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul...............................................................................................................................i

Halaman Pengesahan...................................................................................................................ii

DAFTAR ISI...............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................2

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sindrom Nefrotik........................................................................................2

2.2 Definisi Sindrom Nefrotik...............................................................................................................4

2.3 Epideomologi Sindrom Nefrotik.....................................................................................................4

2.4 Etiologi Sindrom Nefrotik...............................................................................................................5

2.5 Faktor Resiko..................................................................................................................................5

2.6 Patofisiologi Sindrom Nefrotik........................................................................................................6

2.7 Manifestasi Klinis..........................................................................................................................10

2.8 Komplikasi 13

2.9 Diagnosis..................................................................................................................16

2.10 Pemeriksaan Laboratorium.......................................................................................17

2.11 Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik.............................................................................18

BAB III KESIMPULAN...........................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit glomerular yang ditandai dengan


edema, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia. (Charles Kodner, 2016)
Insiden sindrom nefrotik pada dewasa terjadi 3 per 100.000 populasi. Rata – rata
80%-90% kasus sindrom nefrotik pada dewasa penyebabnya masih belum diketahui.
Nefropati membranosa merupakan penyebab paling sering pada ras kulit putih dan
glomerulosklerosis fokal segmental paling sering terjadi pada ras kulit hitam, dimana
setiap gangguan tersebut rata – rata 30% hingga 35% kasus pada dewasa. Sindrom
nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi,
keganasan, penyakit jaringan ikat, obat atau toksin dan akibat penyakit sitemik. (Charles
Kodner, 2016)
Penyebab Sindrom Nefrotik sangat luas maka anamnesis dan pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan urin termasuk pemeriksaan sedimen perlu dengan cermat.
Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol dan trigliserid juga membantu
penilaian terhadap sindrom nefrotik. Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan
berbagai infeksi dan riwayat penyakit sistemik lain perlu diperhatikan. Manajemen dari
Sindrom nefrotik yaitu mengatasi penyababnya, memberikan terapi berdasarkan
gejalanya serta pada beberapa kasus diberikan agen immunosuppressant. (Kharisma,
2017)
Pengobatan sindrom nefrotik adalah untuk mengurangi atau menghilangkan
proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia, mencegah dan mengatasi penyakit penyerta
seperti infeksi, trombosis dan kerusakan ginjal pada gagal ginjal akut dan sebagainya.
Jika tidak dilakukan terapi sedini mungkin maka akan menyebabkan kerusakan
glomeruli ginjal sehingga mempengaruhi kemampuan ginjal menfiltrasi darah. Hal ini
dapat menyebabkan gagal ginjal akut ataupun kronik. (Kharisma 2017)
Umumnya terapi yang diberikan adalah diet rendah protein dan rendah garam,
kortikosteroid, diuretik dan antibiotik. Dengan pemberian kortikosteroid golongan
glukokortikoid sebagian besar akan membaik. Terapi antibiotik dapat mengurangi
mortalitas akibat infeksi sedangkan diuretik dapat membantu ginjal dalam mengatur
pengeluaran garam dan air. Pada sindrom nefrotik juga terdapat komplikasi, diantara
dapat terjadi keseimbangan nitrogen yang negatif yang diakibatkan oleh proteinuria

1
masif, terjadi hiperkoagulasi, hiperlipidemia dan lipidemia, terjadi gangguan
metabolisme kalsium dan tulang dan infeksi. (PAPDI, 2014)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal

2.1.1 Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ yang berada di rongga abdomen, berada di belakang


peritoneum, dan terletak di kanan kiri kolumna vertebralis sekitar vertebra T12 hingga
L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3
cm, berbentuk seperti biji kacang dengan lekukan mengahadap ke dalam, dan berukuran
kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1%
berat seluruh tubuh atau kurang lebih antara 120-150 gram.

Gambar 1 : Anatomi Ginjal


Sumber :

Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak yaitu lemak pararenal dan lemak
perirenal yang dipisahkan oleh sebuah fascia yang disebut fascia gerota. Dalam
potongan frontal ginjal, ditemukan dua lapisan ginjal di distal sinus renalis, yaitu
korteks renalis (bagian luar) yang berwarna coklat gelap dan medulla renalis (bagian
dalam) yang berwarna coklat terang. Di bagian sinus renalis terdapat bangunan
berbentuk corong yang merupakan kelanjutan dari ureter dan disebut pelvis renalis.

2
Masing-masing pelvis renalis membentuk dua atau tiga kaliks rmayor dan masing-
masing kaliks mayor tersebut akan bercabang lagi menjadi dua atau tiga kaliks minor.
Vaskularisasi ginjal berasal dari arteri renalis yang merupakan cabang dari aorta
abdominalis di distal arteri mesenterica superior. Arteri renalis masuk ke dalam hillus
renalis bersama dengan vena, ureter, pembuluh limfe, dan nervus kemudian bercabang
menjadi arteri interlobaris. Memasuki struktur yang lebih kecil, arteri interlobaris ini
berubah menjadi arteri interlobularis lalu akhirnya menjadi arteriola aferen yang
menyusun glomerulus.
Ginjal mendapatkan persarafan melalui pleksus renalis yang seratnya berjalan
bersama dengan arteri renalis. Impuls sensorik dari ginjal berjalan menuju korda
spinalis segmen T10-11 dan memberikan sinyal sesuai dengan level dermatomnya. Oleh
karena itu, dapat dimengerti bahwa nyeri di daerah pinggang (flank) bisa merupakan
nyeri alih dari ginjal. (Fadila Amalina Ariputri, 2016)

2.1.2 Fisiologi Ginjal


Ginjal memerankan berbagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi kehidupan,
yakni menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah serta
mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit yang kemudian dibuang melalui
urine. Pembentukan urin adalah fungsi ginjal yang paling esensial dalam
mempertahankan homeostatis tubuh. Pada orang dewasa sehat, kurang lebih 1200 ml
darah, atau 25% cardiac output, mengalir ke kedua ginjal. Pada keadaan tertentu, aliran
darah ke ginjal dapat meningkat hingga 30% (pada saat latihan fisik) dan menurun
hingga 12% dari cardiac output.
Proses pembentukan urine yang pertama terjadi adalah filtrasi, yaitu penyaringan
darah yang mengalir melalui arteria aferen menuju kapiler glomerulus yang dibungkus
kapsula bowman untuk menjadi filtrat glomerulus yang berisi zat-zat ekskresi. Kapiler
glomerulus tersusun atas sel endotel, membrana basalis dan sel epitel. Kapiler glomeruli
berdinding porous (berlubang- 15 lubang), yang memungkinkan terjadinya filtrasi
cairan dalam jumlah besar (± 180 L/hari). Molekul yang berukuran kecil (air, elektrolit,
dan sisa metabolisme tubuh, di antaranya kreatinin dan ureum) akan difiltrasi dari
darah, sedangkan molekul berukuran lebih besar (protein dan sel darah) tetap tertahan di
dalam darah. Oleh karena itu, komposisi cairan filtrat yang berada di kapsul Bowman,
mirip dengan yang ada di dalam plasma, hanya saja cairan ini tidak mengandung protein
dan sel darah.
3
Volume cairan yang difiltrasi oleh glomerulus setiap satuan waktu disebut sebagai
rerata filtrasi glomerulus atau Glomerular Filtration Rate (GFR). Selanjutnya cairan
filtrat akan direabsorbsi dan beberapa elektrolit akan mengalami sekresi di tubulus
ginjal, yang kemudian menghasilkan urine yang akan disalurkan melalui duktus
koligentes. Proses dari reabsorbsi filtrat di tubulus proksimal, ansa henle, dan sekresi di
tubulus distal terus berlangsung hingga terbentuk filtrat tubuli yang dialirkan ke kalises
hingga pelvis ginjal. Ginjal merupakan alat tubuh yang strukturnya amat rumit, berperan
penting dalam pengelolaan berbagai faal utama tubuh. (Fadila Amalina Ariputri, 2016)
Beberapa fungsi ginjal:
a. Regulasi volume dan osmolalitas cairan tubuh
b. Regulasi keseimbangan elektrolit
c. Regulasi keseimbangan asam basa
d. Ekskresi produk metabolit dan substansi asing
e. Fungsi endokrin
· Partisipasi dalam eritropoiesis
· Pengatur tekanan arteri
f. Pengaturan produksi 1,25-dihidroksi vitamin D3
g. Sintesa glukosa

2.2 Definisi Sindrom Nefrotik

Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit glomerular yang ditandai dengan


edema, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia <3,5 gram/hari,
hiperkolesterolemia dan lipiduria. (Charles Kodner, 2016) Sindrom nefrotik memiliki
berbagai efek metabolik yang berdampak pada individu, beberapa episode sindrom
nefrotik adalah self-limited dan sebagian diantaranya respon dengan terapi spesifik,
sementara sebagiannya lagi merupakan kondisi kronis. (Kharisma, 2017)

2.3 Epidemiologi

· Global
Di Amerika Serikat, nefropati diabetik dengan sindrom nefrotik dilaporkan paling
sering terjadi dengan insidensi 50 kasus per 1 juta populasi. Sedangkan, insidensi
sindrom nefrotik pada anak adalah sebesar 20 kasus per 1 juta anak. Sekitar 80-90%

4
kasus sindrome nefrotik pada dewasa merupakan SN primer atau idiopatik. Sindrom
nefrotik merupakan salah satu penyakit glomerular tersering pada anak. Angka kejadian
sindrom nefrotik pada anak-anak sehat sebesar 2-7 kasus per 100.000 anak berusia <18
tahun. Laki-laki dilaporkan lebih sering terkena dibandingkan perempuan pada
kelompok usia yang lebih muda. Namun, setelah usia remaja tidak didapatkan perbedaan
yang signifikan antara jenis kelamin.

· Indonesia
Data epidemiologi sindrom nefrotik di Indonesia masih terbatas. Berdasarkan hasil
studi deskriptif potong lintang dari 64 pasien anak dengan sindrom nefrotik idiopatik
yang berkunjung ke Poliklinik Anak RSUP Fatmawati, didapatkan usia rata-rata pasien
adalah 3 tahun, dengan rasio laki-laki dan perempuan sebesar 1,4:1. Sebagian besar
kasus datang dengan keluhan edema (95,3%). 75% pasien mengalami hipertensi. 67,2%
pasien berespon baik terhadap pengobatan steroid.

2.4 Etiologi

Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder


akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan ikat, obat atau toksin dan akibat penyakit
sitemik. Penyebab sindrom nefritik pada dewasa dihubungkan dengan penyakit
sistemik seperti diabetes mellitus, amiloidosis atau lupus eritemtosis sistemik. Berikut
merupakan klasifikasi dan penyebab sindrom nefrotik. (PAPDI, 2014)

Tabel 1 : Klasifikasi dan penyebab sindrom nefrotik

Glomerulonefritis primer
a. GN lesi minimal
b. Glomerulosklerosis segmental
c. GN membranosa
d. GN membranoproliferatif
e. GN proliferatif lain
Glomerulonefritis sekunder
a. Infeksi (HIV, hepatitis B dan C, Sifilis, malaria, skistosoma,
tuberkulosis dan lepra)
b. Keganasan (adenosarkoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgkin,

5
mieloma multipel dan karsinoma ginjal)
c. Connective tissue disease ( SLE, artritis reumatoid, mixed connective
tissue disease)
d. Efek obat dan toksin ( NSAID, penisilamin, probenesid)
e. Lain–lain (Diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklamsia, refluks
vesikoureter)

2.5 Faktor Risiko Sindrom Nefrotik

Faktor risiko sindrom nefrotik antara lain adalah:


· Kondisi medis seperti diabetes, lupus, dan amiloidosis.
· Obat-obatan seperti anti-radang non-steroid atau beberapa antibiotik.
· Infeksi seperti HIV, hepatitis B, hepatitis C, dan malaria.

2.6 Patofisiologi

Menurut Betz & Sowden, Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan
oleh kerusakan glomerulus. Peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein
plasma menimbulkan protein, hipoalbumin, hiperlipidemia dan edema. Hilangnya
protein dari rongga vaskuler menyebabkan penurunan tekanan osmotik plasma dan
peningkatan tekanan hidrostatik, yang menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dalam
rongga interstisial dan rongga abdomen. Penurunan volume cairan vaskuler
menstimulasi system renin– angiotensin yang mengakibatkan diskresikannya hormone
antidiuretik dan aldosterone. Reabsorsi tubular terhadap natrium (Na) dan air mengalami
peningkatan dan akhirnya menambah volume intravaskuler. Retensi cairan ini
mengarah pada peningkatan edema. Koagulasi dan thrombosis vena dapat terjadi karena
penurunan volume vaskuler yang mengakibatkan hemokonsentrasi dan hilangnya urine
dari koagulasi protein. Kehilangan immunoglobulin pada urine dapat mengarah pada
peningkatan kerentanan terhadap infeksi.

6
7
Gambar 2 : pathway sindrom nefrotik
Sumber : doenges,2000, Hartono,2011)

8
· Proteinuria
Ada tiga jenis proteinuria yaitu glomerular, tubular dan overflow.
Kehilangan protein pada sindrom nefrotik termasuk dalam proteinuria
glomerular. Proteinuria pada penyakit glomerular disebabkan oleh
meningkatnya filtrasi makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus.
Hal ini sering diakibatkan oleh kelainan pada podosit glomerular. Dalam
keadaan normal membran basal glomerulus mempunyai mekanisme
penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang
pertama berdasarkan ukuran molekul dan yang kedua berdasarkan muatan
listriknya.(Charles Kodner, 2016) Pada sindrom nefrotik kedua mekanisme
tersebut terganggu.proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Protein
selktif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil mialnya
albumin, sedangkan yang non-selektif apabila protein yang keluar terdiri
dari molekul besar seperti imunoglobulin. (Charles kodner,2016)
· Hipoalbuminemia
Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-
200 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang
dikatabolisme. Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal,
sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah
resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik,
hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam
urin yang berlebihan dan peningkatan katabolisme albumin. Hilangnya
albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada kejadian
hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan
satu-satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis
albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu
dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin. (UKK Nefrologi
IDAI, 2014)

9
· Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema
pada sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang
pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh
menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan
merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler
glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan
hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari
albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi
hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati
dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian
timbul edema. (Kharisma,2017)

Gambar 3: skema hipotesis “UNDERFILL”


Sumber : Tinjauan Umum Sindrom Nefrotik.(Kharisma, Y,
2017)

10
Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak
bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme
intrarenal primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi
volume plasma dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang
interstisial menyebabkan terbentuknya edema.

Gambar 4: skema hipotesis “OVERFILL”


Sumber : Tinjauan Umum Sindrom Nefrotik.(Kharisma, Y,
2017)

· Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan
penjelasan antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein.
Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar
11
lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari
plasma. Beberapa peningkatan serum lipoprotein yang di filtrasi di
glomerulus akan mencetuskan terjadinya lipiduria sehingga adanya temuan
khas oval fat bodies dan fatty cast pada sedimen urin. (Floege,Feehally
2015)

2.7 Manifestasi Klinis

2.7.1 Proteinuria

Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein

akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus

mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme

penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua

berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN mekanisme barrier tersebut akan

terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya

protein melalui membran basal glomerulus. (Prodjosudjadi, 2009)

Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran

molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang

keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin sedangkan non-selektif apabila yang

keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria

ditentukan oleh keutuhan struktur membran basal glomerulus. (Prodjosudjadi, 2009)

Pada SN yang disebabkan oleh glomerulonefritis lesi minimal ditemukan

proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi dari foot

processus sel epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur membran basal

glomerulus. Berkurangnya preparat heparan sulfat proteoglikan pada glomerulonefritis

lesi minimal menyebabkan muatan negatif membran basal glomerulus menurun dan

albumin dapat lolos ke dalam urine. Pada glomerulosklerosis fokal segmental

peningkatan permeabilitas membran basal glomerulus disebabkan suatu faktor yang


12
ikut dalam sirkulas. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral glomerulus terlepas

dari membran basal glomerulus sehingga permeabilitasnya meningkat.

Pada glomerulonefritis membranosa kerusakan membran basal glomerulus terjadi

akibat endapa komplek imun di sub-epitel. Kompleks C5b-9 yang terbentuk pada

glomerulonefritis membranosa akan meningkatkan permeabilitas membran glomerulus,

walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui. (Prodjosudjadi, 2009)

2.7.2 Hipolbuminemia

Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati

dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh

proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk

mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis

albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya

hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati

akan tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.

(Prodjosudjadi, 2009)

2.7.3 Edema

Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori

underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya

edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma

dan bergesernya cairan plasma sehingga terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan

kompensasi dengan meningkatkan retensi air dan natrium. Mekanisme kompensasi

ini akan memperbaiki volume inravaskular tetapi juga mengeksaserbasi terjadinya

hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. (Prodjosudjadi, 2009)

Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal utama.

Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga


13
terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan

menambah terjadinya retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut

ditemukan pada pasien SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi

steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan

penyakit jantung dan hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.

(Prodjosudjadi, 2009)

Gambar 5 : Patogenesis terjadinya edema pada sindrom nefrotik


Sumber :

2.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada sindrom nefrotik adalah:

a. Hiperlipidemi dan lipiduria

Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN.Kadar


kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi ari normal
sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan
meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama
14
pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan
peningkatan VLDL (very low density lipoprotein). Selain itu
ditemukan pula peningkatan IDL dan lipoprotein a sedangkan HDL
cenderung normal atau rendah.1 Mekanisme hiperlipidemia pada SN
dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan
menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia merupakan
hasil stimulasi non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Karena
sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan
hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipo-albuminemia.
Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin
mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia
kadar kolesterol dapat normal.1- 2 Tinginya kadar LDL pada SN
disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme.
Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL
menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya
ektivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan
penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan
sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau
viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat
berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterolacyltransferase)
yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan
mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme.
Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait dengan
hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria sering ditemukan
pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast
seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast.
Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.

b. Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada sindrom nefrotik akibat
peningkatan koagulasi intravascular.Pada Sindrom nefrotik akibat GNMN
kecenderungan terjadinya trombosis vena renalis cukup tinggi sedangkan
SN pada GNLM dan GNMP frekuensinya kecil. Emboli paru dan thrombosis
vena dalam (deep vein thrombosis=DVT) sering dijumpai pada SN.

15
Kelainan tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai
faktor koagulasi intrinsic dan ekstrinsik.Mekanisme. hiperkoagulasi pada SN
cukup kompleks meliputi peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit,dan
penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan
peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui
urin. (Cohen EP,2019)

c. Gangguan metabolisme kalsium dan tulang.


Vitamin D merupakan unsure penting dalam metabolisme kalsium dan
tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan
melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma.
Kadar 25(OH)D dan 1,25(OH)2D plasma juga ikut menurun sedangkan
kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal
pada SN umumnya normal maka osteomalasi atau
hiperparatiroidisme yang tidak terkontrol jarang dijumpai. Pada SN juga
terjadi kehilangan hormone tiroid yang terikat protein melalui urin dan
penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormon
yang menstimulasi tiroksin (TSH) tetap normal sehingga secara klinis
tidak menimbulkan gangguan. (Cohen EP,2019)

d. Infeksi
Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab
kematian pada SN terutama oleh organism berkapsul
(encapsulated organisms). Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas
humoral, selular, dan ganggauan system komplemen. Penurunan IgG, IgA,
dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena
sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan
bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin.
Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan
gangguan imunitas selular. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin
dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan
normal. (Cohen EP,2019)

e. Gangguan fungsi ginjal

16
Pasien SN memiliki potensi untuk mengalami gagal ginjal akut
melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau
sepsis sering menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme
lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah
terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus
ginjal.1- 4 Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang
menjadi PGTA(penyakit ginjal tahap akhir). Proteinuria merupakan
faktor risiko penentu terhadap progresivitas SN. Progresivitas
kerusakan glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis, dan
kerusakan tubulointerstisium dikaitkan dengan proteinuria. Hiperlipidemia
juga dihubungkan dengan mekanisme terjadinya
glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisium pada SN,
walaupun peran terhadap progresivitas penyakitnya belum diketahui
secara pasti. (Cohen EP,2019)

f. Komplikasi Lain pada SN


Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama
apabila disertai proteinuria masif, asupan oral yang kurang, dan
proses katabolisme yang tinggi. Kemungkinan efek toksik obat
yang terikat protein akan meningkat karena
hipoalbuminemia menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma lebih
tinggi. Hipertensi tidak jarang ditemukan sebagai komplikasi SN terutama
dikaitkan dengan retensi natrium dan air. (Cohen EP,2019)

2.9 Diagnosis
Berdasarkan pemikiran bahwa penyebab Sindrom Nefrotik sangat luas maka
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan urin termasuk pemeriksaan
sedimen perlu dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol
dan trigliserid juga membantu penilaian terhadap sindrom nefrotik. (Floege, 2015)
1. Gambaran Klinis

Dari anamnesis akan di dapatkan bahwa pasien sindrom nefrotik datang dengan
edema yang progresif pada ekstremitas bawah, peningkatan berat badan dan lemah,
yang merupakan gejala tipikal pada sindrom nefrotik. Selain itu juga dapat
ditemukan urin berbusa. Pada kondisi yang lebih serius, akan terjadi edema

17
periorbital dan genital (skrotum), ascites, efusi pleura. Jika terjadi bengkak hebat
dan generalisata dapat bermanifestasi sebagai anasarka. Kemudian dari
pemeriksaan fisik akan di temukan pretibial edema, edema periorbita, edema
skrotum, edema anasarka, ascites.
2. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakaukan pada
sindrom nefrotik adalah sebagai berikut :

a. Pemeriksaan Laboratorium

- Pemeriksaan Urinalisis : Pemeriksaan urinalisis ditemukan silinderuria


(silindris granula kasar 02/LPK) yang merupakan tanda kerusakan
tubulus ginjal. Selain silinder granula kasar, pada urin pasien Sindrom
Nefrotik dapat ditemukan lipiduria yaitu oval fat bodies atau silinder
lemak. Untuk dapat membuktikan adanya oval fat bodies di urin
dianjurkan untuk melakukan pewarnaan Sudan III.

Gambar 6 : Oval fat bodies


Sumber : Urinalysis and Body Fluids Fifth Edition

18
Gambar 7 : Silinder Lemak
(Sumber : Urinalysis and Body Fluids Fifth Edition)
Sumber : Graff’s Textbook of Routine Urinalysis and Body Fluids

- Pemeriksaan Proteinuria masif: (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/


kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstick ≥2+). Proteinuria
massif menyebabkan pasien mengalami Hipoalbuminemia ≤ 2.5 g/dL dan
dapat disertai hiperkolesterolemia dengan kadar kolesterol yang
meningkat yaitu 494 mg/dl.

- Pemeriksaan kadar ureum pasien ini diketahui meningkat namun


kreatinin serum rendah. Kadar kreatinin yang rendah kemungkinan akibat
meningkatnya katabolisme protein yang berasal dari otot sebagai
kompensasi dari proteinuria masif. Keadaan ini dikenal dengan balans
nitrogen negatif. Peningkatan kadar ureum pada pasien ini kemungkinan
akibat meningkatnya pembentukan ureum di hati atau akibat intake
makanan. Walaupun kadar kreatinin serum pasien ini tidak tinggi, namun
volume urin sedikit sehingga tetap diperlukan pemeriksaan Laju Filtrasi
Ginjal (LFG) untuk melihat progresifitas penyakit ini menjadi gagal
ginjal terminal

- Pemeriksaan Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis


leukosit, trombosit, hematokrit, LED), Albumin dan kolesterol serum,
Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin. (UKK Nefrologi IDAI, 2014)

19
- Pemeriksaan elektrolit serum terlihat kadar natrium serum rendah. Hal ini
kemungkinan berkaitan dengan dilusi akibat hypoalbuminemia. (Charles,
2016)

b. Pemeriksaan Radiologi ; dapat dilakukan USG ginjal untuk mengidentifikasi


trombosis vena renalis jika terdapat indikasi curiga adanya keluhan nyeri
pinggang (flank pain), hematuria atau gagal ginjal akut. (Charles, 2016)
c. Pemeriksaan Histopatologi; dapat dilakukan biopsi ginjal, pemeriksaan ini
direkomendasikan pada pasien sindrom nefrotik untuk mengkonfirmasi subtipe
penyakitnya atau untuk konfirmasi diagnosis. Meskipun begitu, belum ada
guidline yang pasti menjelaskan kapan biposi ginjal di indikasikan. (Charles
kodner,2016)

2. 11 Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik


2.11.1 Non-Farmako
Nutrisi dan Cairan karena adanya mekanisme retensi natrium pada sindrom
nefrotik, maka beberapa literatur merekomendasikan diet natrium yang dibatasi agar
kurang dari 3 gram/hari dan diet cairan < 1500 ml/hari. Diet rendah garam diberikan
untuk menurunkan derajat edema dan sebaiknya kurang dari 35% kalori berasal dari
lemak untuk mencegah obesitas selama terapi steroid dan mengurangi
hiperkolesterolemia. (Kodner, 2016) Pasien disarankan untuk istirahat, retriksi
asupan protein dengan diet protein 0,8 gram/kgBB/hari serta ekskresi protein urin/24
jam dan jika fungsi ginjal menurun maka diet disesuaikan hingga 0,6
gram/kgBB/hari disertai ekskresi protein dalam urin/24 jam kemudian diet rendah
kolesterol <600 mg/hari dan berhenti merokok. (PPK PAPDI,2015)

2.11.2 Farmako
a. Diuretik
Pasien dengan nefrosis resisten terhadap diuretik, bahkan jika filtrasi
glomerulus tingkat normal. Loop diuretik bekerja pada ginjal tubulus dan harus
terikat protein agar efektif. Protein serum yang berkuran pada sindrom nefrotik
akan membatasi efektivitas loop diuretik, dan pasien mungkin memerlukan
lebih tinggi dari dosis normal. Mekanisme lain untuk resistensi diuretik juga
20
dimungkinkan terjadi, diuretik loop oral dengan administrasi dua kali sehari
biasanya lebih disukai karena mekanisme aksinya memiliki durasi yang lebih
lama. Namun, pada sindrom nefrotik dan edema yang parah, penyerapan
diuretik gastrointestinal mungkin tidak pasti karena dinding usus edema, dan
diuretik intravena mungkin diperlukan. Diuresis harus relatif bertahap dan
dipandu oleh penilaian berat badan harian, dengan target 1 hingga 2 kg per
hari.
Furosemide (Lasix) pada 40 mg per oral dua kali setiap hari atau bumetanide
1 mg dua kali sehari merupakan dosis awal yang masuk akal, dengan perkiraan
menggandakan dosis setiap satu hingga tiga hari jika ada peningkatan yang
tidak memadai pada edema atau bukti lain adanya kelebihan cairan. Batas atas
perkiraan untuk furosemide adalah 240 mg per dosis atau total 600 mg per hari,
tetapi tidak ada bukti atau alasan yang jelas untuk batas ini. Jika masih ada
kekurangan respon klinis, pasien dapat dirawat dengan mengubah ke diuretik
loop intravena, menambahkan diuretik tiazid oral, atau memberikan bolus
intravena 20% albumin manusia sebelum bolus diuretik intravena. (Kahrisma,
2017)
b. ACE-Inhibitor
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor menunjukkan dapat
menurunkan proteinuria dengan menurunkan tekanan darah, mengurangi
tekanan intraglomerular dan aksi langsung di podosit, dan mengurangi risiko
progresifitas dari gangguan ginjal pada pasien sindrom nefrotik sekunder.
Dosis yang direkomendasikan masih belum jelas, tapi pada umumnya
digunakan enalapril dengan dosis 2,5 – 20 mg/hari. (Charles Kordner, 2016)
c. Terapi Kortikosteroid
Yang digunakan sebagai immunosupressan pada sindrom nefrotik adalah
golongan glukokortikoid yaitu prednison, prednisolon dan metilprednisolon.
Penatalaksanaan sindrom nefrotik dengan kortikosteroid yaitu :
a) Sebelum pemberian kortikosteroid perlu dilakukan skrining untuk
menentukan ada tidaknya TBC
b) Pengobatan dengan prednison secara luas menggunakan standar dari
ISKDC yaitu :

21
· 4 minggu pertama diberikan prednison 60 mg/hari (2 mg/kgBB)
dibagi dalam 3-4 dosis sehari. Dosis ini diteruskan selama 4 minggu
tanpa memperhatikan adanya remisi atau tidak (maksimum 80
mg/hari)
· 4 minggu kedua diberikan prednison diteruskan dengan dosis 40
mg/hari, diberikan dengan cara intermiten, yaitu 3 hari berturut turt
dalam 1 minggu dengan dosis tunggal setelah makan pagi atau
alternate (selang 1 hari dengan dosis tunggal setelah makan pagi)
· Tappering off prednison pelan – pelan diturunkan setiap minggu
nya menjadi 30 mg, 20 mg, 10 mg/hari diberikan secara intermiten
atau alternate.
· Jika terjadi relapse maka pengobatan diulangi dengan cara yang
sama. (UKK Nefrologi IDAI, 2014)
d. Terapi Hiperlipidemia
Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat peningkatan risiko atherogenesis
atau miokard infark pada pasien dengan sindrom nefrotik yang berkaitan
dengan peningkatan level lipid. Sehingga disarankan untuk pemberian
hipolipidemic agents pada pasien sindrom nefrotik. (Charles Kodner, 2016)
e. Terapi Antibiotik
Terapi ini digunakan jika pasien sindrom nefrotik mengalami infeksi, infeksi
tersebut harus di atasi dengan adekuat untuk mengurangi morbiditas. Jenis
antibiotik yang banyak dipakai yaitu golongan penisilin dan sefalosporin.
(Floege, 2015)
f. Antikoagulan
Tidak ada rekomendasi dari studi terbaru mengenai antikoagulan sebagai
profilaktik untuk mencegah adanya tromboemboli pada pasien sindrom
nefrotik yang tanpa riwayat tromboemboli sebelumnya. Sedangkan terapi
antikoagulan dapat diberikan pada pasien sindrom nefrotik dengan riwayat
tromboemboli sebelumnya sebagai profilaksis.(Charles K., 2016)

22
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit glomerular yang ditandai dengan edema,
proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia < 3,5 gram/hari, hiperkolesterolemia dan
lipiduria. Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder
akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan ikat, obat atau toksin dan akibat penyakit sitemik.
Pada pasien ini dari anamnesis didapatkan gejela seperti edema pada extremitas bagian
bawah, wajah dan bagian abdomen sejak bulan Mei, pemeriksaan fisik yang dilakukan pada
saat dilakukan pada tanggal 2 Juli 2019 sudah tidak didapatkan gejala tersebut dan
pemeriksaan penunjang saat pasien dirawat didapatkan hiperkolesterolemia, proteinuria dan
hipoalbunemia. Manajemen yang diberikan adalah manajemen secara umum seperti istirahat,
diet rendah kolesterol, diet garam rendah garam dan diet protein. Pengobatan edema,
pengobatan proteinuria dengan penghambat ACE atau antagonis reseptor angiotensin II,

23
pengobatan dyslipidemia dengan golongan statin dan pengobatan kasual sesuai dengan
etiologi dari sindrom nefrotik. Pada pasien sudah dilakukan manajemen planning dan terapi
yang sesuai dengan penanganan sindrom nefrotik.

DAFTAR PUSTAKA

Floege J.( 2015). Introduction to glomerular disease: clinical presentations. In: Johnson
RJ, Feehally J, Floege J, eds. Comprehensive Clinical Nephrology. 5th ed
Philadelphia: Elsevier Saunders.

Kharisma, Y. (2017). Tinjauan Umum Sindrom Nefrotik. Universitas Islam Bandung.

Charles Kordner (2016). Diagnosis and Management of Nephrotic Syndrome in Adults.


University of Louisville School of Medicine, Louisville, Kentucky, Am Fam
Physician. 15;93(6):479-485.

Fadila Amalina Ariputri, 2016, Pengaruh Pemberian Ekstrak Meniran (Phyllanthus Niruri L.)
Dosis Bertingkat Terhadap Gambaran Mikroskopis Ginjal Studi Pada Mencit Balb/C
24
Yang Diinduksi Metanil Yellow. Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah, Fakultas Kedokteran:
Universitas Diponegoro.

Tumlin JA, Campbell KN. Proteinuria in Nephrotic Syndrome: Mechanistic and Clinical
Considerations in Optimizing Management. Am J Nephrol. 2018; 47(suppl 1): 1–2.

Cadnapaphornchai MA, Tkachenko O, Shchekochikhin D, Schrier RW. The nephrotic


syndrome: pathogenesis and treatment of edema formation and secondary complications.
Pediatr Nephrol. 2014; 29: 1159–1167.

Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik
Idiopatik pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012

Nishi S, Ubara Y, Utsunomiya Y, Okada K, Obata Y. Evidence-based clinical practice


guidelines for nephrotic syndrome 2014. Clin Exp Nephrol. 2016; 20: 342–370.

Gadegbeku, C., Wayo, R., Badu, G. A., Nukpe, E., & Okai, A. (2013). Food taboos among
residents at Ashongman-Accra, Ghana. Food Science and Quality Management, 15, 21–
30.

Tapia C, Bashir K. Nephrotic Syndrome. 2019. https://www.ncbi.nlm.nih.


gov/books/NBK470444/

Cohen EP. Nephrotic Syndrome. Medscape, 2019. https://emedicine.medscape.com


/article/244631-overview

Sobh MA. Nephrology for medical students. Diunduh dari


http://www1.mans.edu.eg/pcvs/14122/Ne phrology_for_medical_students.pdf tanggal 16
Januari 2018.

PAPDI. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.

PPK PAPDI. (2015). Penatalaksanaan Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.

25
UKK IDAI. (2014). Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik
pada Anak. Jakarta

Rachmadi R. Diagnosis dan Tata Laksana Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (Simposium
Tata
Laksana Terkini penyakit ginjal pada anak). Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Uviversitas Padjajaran, Juni 2013.

Prodjosudjadi, W. & Suhardjono, A., 2009.End-stage renal disease in Indonesia, Division of


Nephrology and Hypertension, Departement of Internal Medicine, University of
Indonesia. Vol.16, p. S133-36

26

Anda mungkin juga menyukai