Anda di halaman 1dari 2

Kebanyakan kasus dari stroke hemoragik spontan atau non traumatik disebabkan

oleh aterosklerosis dan hipertensi primer yang merusak dinding pembuluh darah
dan proses angiopati seperti angiopati amyloid serebri dan penyakit Moyamoya
(Wang, 2010; Rincon dan Mayer, 2012). Selain itu, stroke
hemoragik spontan ini juga dapat disebabkan oleh disfungsi autoregulasi dengan
aliran darah otak yang berlebihan (reperfusion injury) dan
transformasi
hemoragik), ruptur aneurisma atau
arteriovenous malformation
(AVM),
perubahan hemostasis (penggunaan trombolisis, anti agregasi platelet,
antikoagulan, bleeding diathesis), nekrosis hemoragik (tumor, infeksi) dan
obstruksi aliran vena seperti pada trombosis vena serebri (Misbach, 1999;
Liebeskind, 2013).
Stroke hemoragik paling banyak disebabkan oleh pecahnya mikro aneurisma
akibat hipertensi kronik yang tidak terkontrol. Hipertensi kronik menyebabkan
arteriola dalam otak mengalami perubahan patologis berupa lipohialinosis,
nekrosis fibrinoid dan terbentuknya mikroaneurisma tipe Bouchard.
Peningkatan tekanan dan aliran darah secara tiba-tiba menyebabkan pecahnya
arteriola walaupun tanpa adanya hipertensi kronik. Lokasi tersering terjadi stroke
hemoragik adalah pada subkortikal, batang otak dan serebelum (Caplan, 2009).
Selain hipertensi, faktor risiko lainnya seperti penggunaan alkohol, kadar
kolesterol serum kurang dari 4,1 mmol per liter, penggunaan antiagregasi
platelet
atau antikoagulan, anemia aplastik, angiopati amyloid serebral dan faktor
genetik seperti mutasi gen yang mengkode subunit dari faktor XII juga telah
dilaporkan (Qureshi et al., 2009; Mohr et al., 2010).
Stroke hemoragik sering menyebabkan kematian atau disabilitas mayor
dibandingkan dengan stroke iskemik walaupun insidensinya lebih rendah
dibandingkan stroke iskemik. Hal ini mungkin diakibatkan oleh efek massa dan
edema otak yang menyertai dapat menekan jaringan otak disekitarnya sehingga
terjadi disfungsi otak yang berat dan peningkatan tekanan intrakranial sehingga
menimbulkan herniasi otak yang berakibat fatal (Ropper dan Brown, 2005;
Warlow et al., 2008).
2.5.2. Peran Leukosit pada Proses Inflamasi setelah Perdarahan Otak
Sel leukosit merupakan salah satu sel dalam komponen darah yang penting
dalam proses inflamasi seperti pada perdarahan otak. Setelah terjadi perdarahan
otak, leukosit tampak mengelilingi daerah perdarahan. Peningkatan jumlah
leukosit ini dapat ditemukan di cairan serebrospinal dan darah perifer.
Peningkatan jumlah leukosit pada darah perifer dan jumlahnya akan meningkat
sesuai dengan besarnya ukuran perdarahan. Peningkatan hitung leukosit pada
darah perifer disebabkan oleh respon tubuh terhadap stres dan kerusakan
jaringan.
Tingginya jumlah leukosit dikatakan berkorelasi dengan perburukan klinis

neurologis awal pada stroke hemoragik (Hoffbrand dan Petit, 2000; Wang dan
Dor, 2007; Yabluchanskiy, 2012).
Bukti lain yang baru mengatakan bahwa leukosit bisa juga secara
langsung terlibat dalam patogenesis dan perluasan dari perdarahan otak.
Leukosit
melepaskan enzim hidrolisis, lemak peroksidase dan pelepasan radikal bebas
(Caplan, 2009 ; Nai-Wen Tsai et al., 2010) .
Aktivasi
dari respon inflamasi yang diukur sebagai perubahan jumlah leukosit perifer
telah
dapat dianalisis dan penilaian mortalitas dan luaran fungsional setelah stroke
hemoragik telah dapat ditentukan (Agnihotri et al., 2011).
Leukosit darah perifer dapat digunakan sebagai petanda dalam menilai
respon imun dan menggambarkan aktivasi kaskade inflamasi yang menyertai
perdarahan otak. Biopetanda ini mudah dan sering digunakan. Penelitian yang
dilakukan oleh Agnihotri et al. pada tahun 2011 yang menilai perubahan leukosit
dalam 72 jam lebih baik untuk menggambarkan jumlah respon inflamasi pada
respon terjadinya perdarahan otak dibandingkan hanya sekali pengukuran.
Tingginya hitung leukosit merupakan prediktor independen dari perburukan
neurologis awal setelah terjadi stroke hemoragik (Wang dan Dor, 2007;
Aronowski dan Zhao, 2011).

Anda mungkin juga menyukai