Anda di halaman 1dari 33

ASUHAN KEPERAWATAN PADA GUILLAIN BARRE SYNDROME

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis

Dosen Pengampu :
Ns. Diah Tika Anggraini S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh :
Jihan Almira Dewi 1810711036
Ni Made Anggun Millenia 1810711065
Ezzah Najlalya 1810711075
Elfrida Juniartha 1810711093

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
2021
BAB I
LANDASAN TEORITIS

A. KONSEP DASAR
1. Anatomi Fisiologi Guillain Barre Syndrome

a. Pengertian Neuron
Neuron adalah unit fungsional dasar sistem syaraf yang terjadi dari badan sel
dan perpanjangan sitoplasma. Berdasarkan fungsinya, sel syaraf di bagi menjadi
dua macam, yaitu neuron dan neuroglia. Neuron berfungsi sebagai pembawa
impuls dari organ ke saraf pusat atau sebaliknya, sedangkan neuroglia berperan
untuk mendukung neuron melaksanakan tugasnya dengan baik. (Setiadi, 2016)
a) Badan sel atau perikarion, suatu neuron mengendalikan metabolisme
keseluruhan neuron. Bagian ini tersusun dari komponen berikut : Satu nucleus
tunggal, nucleolus yang menonjol dan organel lain seperti konpleks golgi dan
mitochondria, tetapi nucleus ini tidak memiliki sentriol dan tidak dapat
bereplikasi. Badan nissi, terdiri dari reticulum endoplasma kasar dan ribosom-
ribosom bebas serta berperan dalam sintesis protein. Neurofibril yaitu
neurofilamen dan neurotubulus yang dapat dilihat melalui mikroskop cahaya
jika diberi pewarnaan dengan perak.
b) Dendrit adalah perpanjangan sitoplasma yang biasanya berganda dan pendek
serta berfungsi untuk menghantar impuls ke sel tubuh.
c) Akson adalah suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih panjang dari
dendrite. Bagian ini menghantar impuls menjauhi badan sel ke neuron lain, ke
sel lain (sel otot atau kelenjar) atau ke badan sel neuron yang menjadi asal
akson.

b. Klasifikasi Neuron
a) Fungsi, neuron diklasifikasi secara fungsional berdasarkan arah transmisi
impulsnya. Neuron sensorik (aferen) menghantarkan impuls listrik dari
reseptor pada kulit, organ indera atau suatu organ internal ke SSP. Neuron
motorik menyampaikan impuls dari SSP ke efektor. Interneuron (neuron yang
berhubungan) ditemukan seluruhnya dalam SSP. Neuron ini menghubungkan
neuron sensorik dan motorik atau menyampaikan informasi ke interneuron
lain.
b) Struktur, neuron diklasifikasi secara structural berdasarkan jumlah
prosesusnya. Neuron unipolar memiliki satu akson dan dua denderit atau lebih.
Sebagian besar neuron motorik, yang ditemukan dalam otak dan medulla
spinalis, masuk dlam golongan ini. Neuron bipolar memiliki satuϑ akson dan
satu dendrite. Neuron ini ditemukan pada organ indera, seperti mata, telinga
dan hidung. Neuron unipolar kelihatannya memiliki sebuah prosesus tunggal,
tetapi neuron ini sebenarnya bipolar.

c. Sel Neuroglial
Biasanya disebut glia, sel neuroglial adalah sel penunjang tambahan pada SSP
yang berfungsi sebagai jaringan ikat.
a) Astrosit adalah sel berbentuk bintang yang memiliki sejumlah prosesus
panjang, sebagian besar melekat pada dinding kapilar darah melalui pedikel
atau “kaki vascular”.
b) Oligodendrosit menyerupai astrosit, tetapi badan selnya kecil dan jumlah
prosesusnya lebih sedikit dan lebih pendek.
c) Mikroglia ditemukan dekat neuron dan pembuluh darah, dan dipercaya
memiliki peran fagositik.
d) Sel ependimal membentuk membran spitelial yang melapisi rongga serebral
dan ronggal medulla spinalis.

d. Kelompok Neuron
a) Nukleus adalah kumpulan badan sel neuron yang terletak di dalam SSP.
b) Ganglion adalah kumpulan badan sel neuron yang terletak di bagian luar SSP
dalam saraf perifer.
c) Saraf adalah kumpulan prosesus sel saraf (serabut) yang terletak di luar SSP.
d) Saraf gabungan. Sebagian besar saraf perifer adalah saraf gabungan ; saraf ini
mengandung serabut arefen dan eferen yang termielinisasi dan yang tidak
termielinisasi.
e) Traktus adalah kumpulan serabut saraf dalam otak atau medulla spinalis yang
memiliki origo dan tujuan yang sama.
f) Komisura adalah pita serabut saraf yang menghubungkan sisi-sisi yang
berlawanan pada otak atau medulla spinalis.

2. Pengertian Guillain Barre Syndrome

Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012),


Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem
kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan
kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini
terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum
belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf
tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada
penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.
Guillaine Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit autoimun yang
menimbulkan peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari
lemak dan protein yang membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa
jenis serat saraf perifer). Gejala dari penyakit ini mula-mula adalah
kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat menyebar menimbulkan
kelumpuhan. Penyakit ini perlu penanganan segera dengan tepat, karena
dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna
(Inawati, 2010).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa guillaine barre syndrom (GBS)
adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem syaraf tepi dan
menyebabkan kelemahan otot bahkan kelumpuhan.

3. Etiologi Guillain Barre Syndrome


Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat
diketahui dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut
sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response
maupun immune mediated process. Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis
memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu
respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya
tidak ditemukan namun terdapat gangguan di medula spinalis dan medula oblongata
(Japardi, 2002).
Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan
terjadinya GBS, antara lain (Japardi, 2002) :
a. Infeksi virus atau bakteri
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas
atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang berhubungan dengan GBS :

b. Vaksinasi
c. Pembedahan, anestesi
d. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis,
dan penyakit Addison
e. Kehamilan atau dalam masa nifas
f. Gangguan endokrin
4. Patofisiologis Guillain Barre Syndrome
5. Manifestasi Klinik Guillain Barre Syndrome
Guillane Barre Syndrom biasanya memengaruhi tangan atau kaki terlebih
dahulu sebelum menyebar ke bagian tubuh yang lain. Biasanya mulai dalam beberapa
hari atau minggu dengan gejala nyeri perut atau flu. Gejala klinis dari GBS umumnya
terjadi kelemahan bilateral yang progresif dan didahului baal selama 2-3 minggu
setelah mengalami demam.(Wahyu, 2018)
Gejala awal dari GBS biasanya berkembang atau terlihat dalam beberajam saja
atau hari, yang diawali dengan bagian tubuh tangan dan kaki sebelum mulai ke bagian
tubuh yang lain, gejala yang biasa dirasakan biasanya :
a) Kebas / Mati rasa
b) Kesemutan
c) Kelemahan otot
d) Nyeri
e) Koordinasi tubuh dan keseimbangan menurun

Gejala-gejala diatas biasanya memengaruhi kedua sisi tubuh disaat yang


bersamaan. Gejala akhir merupakan gejala yang memburuk dari gejala awal, biasanya
terlihat beberapa hari atau minggu. Gejala yang dapat ditunjukkan saat gejala akhir
dapat berupa :

a) Sulit berjalan tanpa bantuan


b) Tidak dapat menggerakan tangan, kaki atau wajah (paralisis)
c) Sulit bernafas
d) Penglihatan kabur
e) Sulit berbicara
f) Sulit untuk mengunyah atau menelan
g) Sulit BAK & BAB
h) Nyeri Akut

Tingkat keparahan gejala GBS biasanya terlihat dalam 4 minggu, dan jika
ditangani dengan tepat, manusia dapat stabil setelahnya untuk beberapa minggu atau
bulan sebelum kembali sehat seperti semula. Kebanyakan manusia menderita GBS
dapat sembuh total dari GBS, namun memakan waktu yang cukup lama, biasanya 1
tahun. Namun 1 dari 5 orang dapat memiliki penyakit GBS untuk lebih dari 1 tahun
atau kelemahan secara permanen

6. Komplikasi Guillain Barre Syndrome


Penyakit ini mampu menyebabkan komplikasi yang fatal apabila sistem saraf
otonom dan sistem pernapasan terlibat (Wahyu, 2018). Fitriany & Heriyani (2018)
menyebutkan bahwa komplikasi yang dapat terjadi pada GBS, diantaranya yaitu:
a. Gagal napas
b. Aspirasi makanan atau cairan ke dalam paru
c. Pneumonia
d. Meningkatkan terjadinya infeksi
e. Trombosis vena dalam
f. Paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu
g. Kontraktur pada sendi

Komplikasi paling berat pada penderita GBS yaitu kematian, bisa disebabkan
karena kelemahan atau paralisis pada otot-otot pernafasan, dimana angka mortalitas
sekitar 5% bila terjadi paralisis pernapasan. Kematian pada GBS biasanya disebabkan
oleh pneumonia, sepsis dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS (Agustin,
2012).

Selain itu, gangguan sensasi juga bisa menyebabkan komplikasi seperti gangguan
rasa tebal, disertai kelemahan otot, dapat menyebabkan decubitus. Oleh karena itu,
perawat perlu memperhatikan mobilisasi pasien GBS saat berada di atas tempat tidur,
karena tekanan yang lama pada daerah yang menonjol menyebabkan sirkulasi darah
pada daerah yang mengalami penekanan tidak adekuat sehingga dapat menyebabkan
terjadinya luka decubitus (Agustin, 2012).

7. Penatalaksanaan Medis Guillain Barre Syndrome


Dalam Wahyu (2018), menyebutkan bahwa tatalaksana GBS sebenarnya tidak
spesifik. Hal ini sejalan dengan literature review oleh Fitriany & Heriyani (2018)
yang juga menyatakan bahwa sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk
GBS, terutama secara simptomatis. Dalam penelitian tersebut juga menjelaskan
bahwa tujuan utama dari penatalaksanaan pada GBS adalah mengurangi gejala,
mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosis.
Rahayu (2013) menjelaskan bahwa pengobatan GBS adalah dengan pemberian
immunoglobulin secara intravena dan plasmapheresis atau pengambilan antibody
yang merusak sistem saraf tepi dengan jalan mengganti plasma darah. Selain terapi
pokok tersebut, diperlukan juga pemberian fisioterapi dan perawatan dengan terapi
khusus serta pemberian obat untuk mengurangi rasa sakit.
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah:
a. Sistem pernafasan
Gagal nafas merupakan penyebab utama pada penderita Guillain Barre Syndrome.
Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu
dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat bantu pernapasan (ventilator)
bila vital capacity turun dibawah 50%.
b. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru.
Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah
penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk
melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
c. Manajemen Disfungsi Otonom
Disfungsi otonom merupakan salah satu penyebab kematian pada penderita GBS.
Gangguan sistem kardio dan gangguan hemodinamik dengan manifestasi klinis
antara lain: hipertensi, postural hipotensi, dan takikardi, yang disebabkan oleh
aktifitas berlebihan dari saraf simpatis dan saraf parasimpatis yang ditekan
aktifitasnya. Manajemen pada sekumpulan gejala disfungsi otonom antara lain
dengan menggunakan medikasi untuk mengatasi hipertensi, penerapan
hiperoksigenasi pada tindakan penghisapan endotrakeal untuk reduksi pemicu
bradikardia atau sistol, pemasangan selang nasogastric dan medikasi dengan
eritromisin atau neostigmine.
d. Imunoterapi
Tujuan pengobatan GBS ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui sistem imunitas:
1) Plasma exchange therapy, atau plasmaparesis. Bertujuan untuk mengeluarkan
faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada GBS
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2
minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per
exchange adalah 40-50ml.kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai
lima kali exchange.
2) Imunoglobulin IV, intravenous infusion of human immunoglobulin (IVIg)
dapat menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi
auto antibody tersebut. Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih
menguntungkan dibanding plasmaparesis karena efek samping/komplikasi
lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala
muncul dengan dosis 0,4 g/kgBB/hari selama 5 hari.

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian Pengkajian terhadap komplikasi Guillain Barre Syndrome meliputi
pemantauan terus menerus terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang
mengancam kehidupan. Komplikasi ini mencakup disritmia jantung, yang terlihat
melalui pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda thrombosis vena
provunda dan emboli paru – paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan
paralisis. (Arif mutaqin, 2012)
a. Keluhan utama
Kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun local seperti
melemahnya otot – otot pernapasan.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian klien GBS biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan
dengan proses demielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya gejala – gejala
neurologis diawalai dengan parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot
kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah.
Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien
mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), infeksi gastrointestinal dan
tindakan bedah saraf.
d. Pengkajian psikososiospiritual
Meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh
persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
e. Pemeriksaan fisik
Pada klien dengan GBS biasanya suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi
terjadi berhubungan dengan tanda – tanda penurunan curah jantung. Peningkatan
frekuensi napas berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan
adanya infeksi pada sistem pernapasan serta akumulasi secret akibat insufisiensi
pernapasan. Tekanan darah di dapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan darah
meningkat (hipertensi 39 transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf
simpatis dan parasimpatis.
f. Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan perkembangan
gejala klinis dan tidak ada satu pemeriksaanpun yang dapat memastikan GBS;
pemeriksaan tersebut hanya menyingkirkan dugaan – dugaan.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot–otot pernapasan, dan ancaman gagal napas.
b. Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan
frekuensi jantung ritme dan irama bradikardia.
c. Resiko perubahan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan asupan yang tidak adekuat.
d. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular,
penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.
e. Ansietas yang berhubungan dengan ancaman, kondisi sakit dan perubahan
kesehatan.
f. Koping individu dan keluarga tidak efektif yang berhubungan dengan prognosis
penyakit yang tidak jelas, perubahan peran keluarga, dan status sosioekonomi
yang tidak jelas.

3. Rencana Keperawatan
Intervensi dilakukan sesuai dengan diagnose dan keluhan yang pasien rasakan, seperti
pada diagnose pola nafas, intervensi dapat dilakukan dengan mengkaji fungsi paru
dengan mendengarkan adanya bunyi nafas. Lalu pada diagnose hambatan mobilitas
fisik, dapat dilakukan intervensi seperti mengkaji tingkat kemampuan klien dalam
mobilitas fisik. Dekatkan alat dan saran yang dibutuhkan untuk membantu mobilitas
pasien, menghindari faktor yang dapat berisiko membuat pasien trauma saat
mobilisasi.

4. Implementasi Keperawatan
pelaksanaan implementasi harus berpusat pada kebutuhan keperawatan, strategi
implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Kozier et al, 1995).
Pelaksanaan implementasi akan mengidentifikasi, mengapa sesuatu terjadi, apa yang
terjadi, kapan, bagaimana dan siapa yang melakukan intervensi (Deden Dermawan,
2012)

5. Evaluasi
Evaluasi adalah membandingkan suatu hasil/ perbuatan dengan standar untuk tujuan
pengambilan keputusan yang tepat sejauh mana tujuan tercapai. Evaluasi keperwatan :
membandingkan efek/hasil suatu tindakan keperawatan dengan norma atau kriteria
tujuan yang sudah dibuat. (Deden dermawan, 2012)
BAB II
TINJAUAN KASUS

KASUS GULLAIN BARRE SYNDROME

An.W (16 tahun) dirawat di ICU dengan diagnose medis Respiratory failure e.c Guillain-
barre syndrome. Riwayat masuk RS: Pasien mengalami flu, demam sedang selama 2 minggu
sebelum masuk RS. Kemudian, pasien merasa badan pegal – pegal dan lemah pada tangan
kiri, kemudian menjalar pada kedua kaki, disertai dengan sulit menelan dan bernafas. GCS :
E4MtidakterkajiVETT. Kesadaran Composmentis. Ukuran pupil dan reflex cahaya:
+3mm/+3mm. Skor CPOT : 3. Terdapat secret seperti buih putih pada mulut, terdengar suara
gurgling, bentuk dan gerakan dada ki/ka simetris, barel chest (-), perkusi paru sonor, suara
paru ronki basah ka/ki pada lapang paru atas sampai bawah, tidak tampak penggunaan otot
pernapasan tambahan. CVP : 8-12,5 cmH2O. Mukosa bibir tampak kering dan pecah – pecah,
kulit tampak kemerahan, teraba hangat. Tampak kebiruan pada tangan (bekas penusukan
pada arteri radialis).

Total Intake dalam 24 jam (Enteral, Parenteral): 3954 cc Output cairan dalam 24 jam (Urin
dan IWL): 4364cc Balance cairan dalam 24 jam (cc): -410 cc (0, 68 cc/kgBB/jam)

TTV : TD: 125-140/ 60-65 mmHg, MAP: 80 s/d 90 mmHg, HR: 150-160 x/menit, Irama
jantung dari monitor sinus takikardi, Suhu: 37,5 – 38,4 oC, SaO2: 94 - 96%, RR: 24 -
32x/menit dengan mode ventilator : CPAP +PS, RR : 24 – 32x/menit, PEEP : 7, FiO2 : 50%,
Pressure support: 6 ,Peak pressure : 15.

Hasil pemeriksaan torax :

Foto asimetris

• Cor: tidak membesar

• Sinus dan diafragma kanan tertutup perselubungan tampaknya tidak membesar

• Pulmo : hillus kanan tertutup perselubungan, kiri normal

• Corakan bronkovaskuler kanan sebagian normal, kiri normal

• Tampak perselubungan opak inhormogen di lapang tengah paru kanan


• Tampak CVC dengan ujung setinggi paravertebra TH 7-8 kanan

• Tampak ujung NGT setinggi paravertebra TH-11 – 12 Kesan : Parapneumonic effusion


kanan

Pemeriksaan Kultur

Sputum Hasil : Candida albicans.

Sensitif dengan : Fluconazole, voriconazole, flucytosin

Hasil pemeriksaan Hematologis : Hb : 10,9 g/dl, Hematokrit : 33,9 %, Leukosit : 16,52


x103 /uL, Trombosit : 140 x103 /uL, Eritrosit : 4 x106 /uL, Limfosit : 6%, GDS : 138 mg/dl,
Albumin : 2,8 g/dl, Kalsium : 4,53 mEq/L, Kalium : 3,1 mEq/L, Magnesium : 1,9 mEq/L,
INR : 1,58, PT : 17,10 detik, APTT : 32,60 detik, D-dimer kuantitatif : 4mg/dl

Hasil AGD : PH : 7,50, PCO2 : 36,5 mmHg, HCO3: 28,9mmol/L, PO2: 196,8 mmHg,
SpO2 :99,8 %

Terapi : • Ringer Fudin 20 tetes/menit • N-asetil sistein 3x200 mg (PO) • Amikasin 1x1gr
(IV) • Paracetamol 4x1gr (IV) • Cotrimoxazole 2x960 mg (PO) • KCL 25 meq dalam NS
0,9% (50cc) dalam 2 jam • Cotrizine 10 mg (PO)
A. PENGKAJIAN
Pengkajian terlampir.

ANALISIS DATA

No Day/ Data Masalah Keperawatan Simple


Etiologi Pathway
Date/Time
1 26/8/2021 DS: Bersihan Jalan Napas Disfungsi Reaksi autoimun
11.00 - Pasien mengatakan sulit Tidak Efektif (SDKI Neuromuskular 
bernafas D.0149 Hal 18) Merusak selaput
myelin
DO: 
- Terdapat sekret seperti Demyelinisasi
buih putih pada mulut 
- Terdengar suara Kelumpuhan
gurgling 
- Suara paru ronki basah Kelumpuhan otot
kanan dan kiri pada pernafasan
lapang paru atas sampai 
bawah Autoimun
- RR 24-32x/menit SO2 
99,8% SaO2 94-96% Sirkulasi darah
FiO2 50% ketubuh menurun
- Hasil pemeriksaan torax: 
Pulmo : hillus kanan Kebutuhan O2 di
tertutup perselubungan, paru berkurang
kiri normal 
Sesak respon batuk
Sputum Hasil : Candida menurun
albicans. 
Sensitif dengan : Penumpukan sekret
Fluconazole, 
voriconazole, flucytosin Bersihan jalan nafas
Hasil pemeriksaan tidak efektif

2 26/8/2021 DS: Pola Nafas tidak Gangguan Reaksi autoimun


11.00 - Keluarga mengatakan efektif (SDKI D.0005 neurologis (mis. 
pasien mengeluh merasa Hal 26) Guillain Barre Merusak selaput
sesak SMRS Syndrom) myelin
- Keluarga mengatakan 
mengeluh dadanya Kelumpuhan
terasa berat 
Kelumpuhan otot
DO: pernafasan
- Rr =24-32x/menit 
- Pemeriksaan Fisik Autoimun
- Suara paru ronki basah 
- Irama pernafasan Daya kembang paru
menurun
Takipnea 
Pola nafas tidak
efektif
2 26/8/2021 DS: Gangguan mobilitas Gangguan Reaksi autoimun
10.00 - Pasien mengatakan fisik (SDKI D.0054 neuromuskular 
badannya pegal pegal Hal 124) (paralisis) Merusak selaput
dan lemah pada tangan myelin
kiri menjalar pada kedua 
kaki Demyelinisasi

DO: Kelumpuhan
- CPOT score = 3 
- GCS E4Mtidakterkaji Gangguan Mobilitas
VETT Fisik

B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif Berhubungan Dengan Disfungsi Neuromuskular
(SDKI D.0149 Hal 18)
2. Pola Nafas Tidak Efektif Berhubungan Dengan Gangguan neurologis (mis. Guillain
Barre Syndrom) (SDKI D.0005 Hal 26)
3. Gangguan Mobilitas Fisik Berhubungan Dengan Gangguan Neuromuskular (paralisis)
(SDKI D.0054 Hal 124)

C. RENCANA KEPERAWATAN

Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi (NIC)


(NOC)
Bersihan Jalan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas (SIKI, I.
Napas Tidak keperawatan diharapkan 01011. Hal 186)
Efektif masalah bersihan jalan nafas Observasi:
Berhubungan dapat teratasi, dengan kriteria - Monitor pola napas (frekuensi,
Dengan hasil : kedalaman, usaha napas)
Disfungsi Bersihan Jalan Napas - Monitor bunyi napas tambahan
Neuromuskular (SLKI, L.01001. Hal 18) (gurgling)
(SDKI D.0149 - Frekuensi napas - Monitor sputum (jumlah, warna,
Hal 18) diharapkan membaik dari aroma)
skala (2) cukup menurun
ke skala (4) cukup Terapeutik:
meningkat - Posisikan semi-fowler atau fowler
- Pola napas diharapkan - Lakukan penghisapan lendir kurang
membaik dari skala (2) daari 15 detik
cukup menurun ke skala Manajemen Jalan Napas Buatan
(4) cukup meningkat (SIKI, I. 01012. Hal 187)
Respons Ventilasi Mekanik Observasi:
(SLKI, L.01005. Hal 104) - Monitor posisi selang endotrakeal
- Kesulitan bernapas (ETT), terutama setelah mengubah
dengan ventilator posisi
diharapkan membaik dari - Monitor tekanan balon ETT selama
skala (2) cukup menurun 4-8 jam
ke skala (4) cukup - Monitor kulit area stoma
meningkat trakeostomi (mis, kemerahan,
- Kesulitan mengutarakan drainase atau perdarahan)
kebutuhan diharapkan
membaik dari skala (1) Terapeutik :
menurun ke skala (4) - Kurangi tekanan balon secara
cukup meningkat periodic setiap shift
- Sekresi jalan napas - Cegah ETT terlipat
diharapkan membaik dari - Ganti fiksasi ETT setiap 24 jam
skala (2) cukup menurun - Ubah posisi ETT secara bergantian
ke skala (4) cukup (kiri dan kanan) setiap 24 jam
meningkat
- Suara napas tambahan Edukasi :
diharapkan membaik dari - Jelaskan pasien dan/atau keluarga
skala (1) menurun ke tujuan dan prosedur pemasangan
skala (4) cukup jalan napas buatan
meningkat
Pola Nafas Tidak Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi (SIKI,
Efektif keperawatan, diharapkan I.01014, hal. 247)
Berhubungan masalah Pola Nafas Tidak
Dengan Efektif dapat teratasi dengan 1. Observasi
Gangguan kriteria hasil: - Monitor frekuensi,
neurologis (mis. Pola Nafas (SLKI, L.01004, irama, kedalaman, dan upaya
Guillain Barre Hal. 95) napas
Syndrom) (SDKI - Ventilasi semenit - Monitor pola napas
D.0005 Hal 26) dipertahankan pada (seperti bradipnea, takipnea,
skala 3 (sedang) dan hiperventilasi, Kussmaul, Che
ditingkatkan ke skala yne-Stokes, Biot, ataksik0
5 (membaik) - Monitor adanya
- Frekuensi napas produksi sputum
dipertahankan pada - Monitor adanya
skala 3 (sedang) dan sumbatan jalan napas
ditingkatkan keskala 5 - Palpasi kesimetrisan
(membaik) ekspansi paru
- Kedalaman napas - Auskultasi bunyi napas
dipertahankan pada - Monitor saturasi oksigen
skala 3 (sedang) dan - Monitor hasil x-
ditingkatkan ke skala ray toraks
5 (membaik) 2. Terapeutik
- Atur interval waktu
pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil
pemantauan
3. Edukasi
- Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
- Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu

Manajemen Ventilasi Mekani (SIKI,


I.01013)

1. Observasi
- Monitor efek ventilator
terhadap status oksigenasi
(bunyi paru, x ray paru, AGD,
SaO2, dll)
- Monitor efek negatif ventilator
(deviasi trakea, barotrauma,
volutrauma, penurunan curah
jantung, dll)
- Monitor gejala peningkatan
pernapasan (peningkatan denyut
jantung atau pernapasan,
peningkatan TD, dll)
- Monitor kondisi yang
meningkatkan konsumsi
oksigen (demam, menggigil,
kejang, nyeri)
2. Terapeutikrasi
- Atur posisi kepala 45-60o untuk
mencegah aspirasi
- Reposisi pasien tiap 2 jam, jika
perlu
- Ganti sirkuit ventilator tiap 24
jam atau sesuai prosedur
- Dokumentasikan respon
terhadap ventilator
3. Kolaborasi
- Kolaborasi pemilihan moder
ventilator
- Kolaborasi penggunaan PS atau
PEEP untuk meminimalkan
hipoventilasi alveolus

Gangguan Setelah dilakukan tindakan Dukungan Mobilisasi (SIKI, I.05173,


Mobilitas Fisik keperawatan diharapkan hal. 30)
Berhubungan masalah Gangguan Mobilitas - Identifikasi adanya keluhan nyeri
Dengan Fisik dapat teratasi, dengan atau keluhan fisik lainnya
Gangguan kriteria hasil: - Identifikasi toleransi fiisk
Neuromuskular Mobilitas Fisik (SLKI, melakukan pergerakan
(paralisis) (SDKI L.05042, Hal. 65) - Monitor frekuensi jantung dan
D.0054 Hal 124) - Pergerakan ekstremitas tekanan darah sebelum memulai
ditingkatkan dari skala 3 mobilisasi
(sedang) ke skala 5 - Fasilitasi melakuakn pergerakan,
(meningkat) jika perlu
- Kekuatan otot - Jelaskan tujuan dari prosedur
ditingkatkan dari skala 3 mobilisasi
(sedang) ke skala 5 Perawatan Tirah Baring (SIKI,
(meningkat) I.14572, Hal. 350)
- Rentang gerak - Monitor kondisi fisik
ditingkatkan dari skala 3 - Tempatkan pada kasus terapeutik ,
(sedang) ke skala 5 jika tersedia
(meningkat) - Posisikan senyaman mungkin
- Nyeri ditingkatkan dari - Pasang siderails
skala 4 ke skala 5 - Berikan latihan gerakan aktif atau
(meningkat) pasif
- Kelemahan fisik - Pertahankan kebersihan pasien
ditingkatkan dari skala 2 - Fasilitasi pemenuhan kebutuhan
(cukup menurun) ke skala sehari-hari
5 (meningkat) - Ubah posisi setiap 2 jam
- Jelaskan tujuan dilakukan tirah
baring
ANALISIS JURNAL

A. JURNAL 1
1. Deskripsi Jurnal: Theresia. (2017). Laporan Kasus Penanganan Sindrom Guillain
Barre dengan Terapi Plasmafaresis. Nursing Current. Vol. 5 No. 2: 10-19.
2. Resume Jurnal
a. Subjek: Metode yang digunakan pada intervensi ini adalah pemaparan secara
naratif catatan keperawatan pada 1 orang pasien yang terdiagnosa SGB dengan
terapi plasmaferesis di ruang rawat inap di RS Swasta X di Jakarta Selatan
b. Prosedur Intervensi
Intervensi yang dilakukan adalah plasmafaresis, merupakan prosedur dimana
makromolekul pada plasma dihilangkan dari plasma dengan gaya sentrifugal yang
diberikan pada darah sehingga darah akan terpisah menurut berat jenisnya
(Winters 2012 dalam Dewi 2015). Pemisahan komponen darah yang masuk ke
dalam mesin plasmaferesis terdiri dari dua prinsip dasar sentrifugasi dan filtrasi
darah melewati filter penyaring. Kedua metode tersebut memerlukan akses
vaskuler dan juga sistem akses untuk memindahkan darah dari pasien ke mesin
plasmaferesis dan mengembalikan ke dalam sirkulasi pasien (Panagiotou et al.,
2009 dalam Stavroula et al., 2015). Pemisahan Protokol plasmaferesis untuk SGB
yang sering digunakan yaitu North American trial dimana 200-250 ml/kg yang
ditukar selama 7-10 hari (Meena, Khadilkar, & Murthy, 2011).
Pada kasus penulis, pasien menjalani plasmafaresis sebanyak 5 kali dengan
rentang waktu dua hari sekali. Setiap kali proses plasmafaresis memerlukan
albumin 5% sebagai pengganti.
c. Hasil Intervensi
Selama melakukan terapi plasmaferesis ke-1 dan ke-2 pasien belum terdapat
perubahan yang signifikan. Pasien masih memerlukan bed rest karena kekuatan
otot masih belum adekuat, status respirasi stabil (hanya memerlukan nasal
kanula), kemampuan menelan masih belum adekuat (makan masih melalui selang
nasogastrik).
Pada plasmaferesis yang ke-3 hingga ke-4 mulai tampak kemajuan pada status
klinis pasien. Kemajuan tersebut antara lain: peningkatan kemampuan menelan di
mana pasien mulai dicoba untuk makan per oral dengan diet lunak, status respirasi
semakin membaik dengan mulai stabil tanpa bantuan oksigen, kekuatan otot
ekstrimitas semakin meningkat, namun masih memerlukan bantuan fisioterapi.
Pada plasmaferesis yang ke-5, hal yang paling tampak adalah kemampuan
menelan pasien mulai kembali pulih dengan mulai makan per oral dengan baik.
Selain itu, kekuatan otot ekstrimitas semakin membaik di mana pasien mulai
berlatih berjalan dengan bantuan walker.
d. Evaluasi Intervensi
Proses perbaikan kondisi klinis sesuai dengan beberapa uji klinis yang tedapat
di literatur yaitu kondisi gagal nafas tidak terjadi, paralisis otot ekstrimitas dapat
berkurang, kemampuan menelan juga semakin membaik.
3. Lampiran Jurnal

B. JURNAL 2
1. Deskripsi Jurnal
Schnetzer, C. (2019). Physical Therapy Management of a Patient with Guillain-Barré
Syndrome During Inpatient Rehabilitation Stay: A Case Report. Lowa Research
Online.

2. Resume Jurnal
a. Subjek
Subjek pada jurnal yakni adalah 1 orang pasien yang terdiagnosa Guillain
Barre Syndrome dengan akan dilakukan manajemen terapi fisik. Pasien
merupakan seorang laki-laki 49 tahun dirawat di fasilitas rehabilitasi rawat inap
selama dua minggu setelah didiagnosis dengan sindrom Guillain-Barré. Dia
disajikan dengan penurunan fungsional status, kelelahan, kelemahan ekstremitas
bawah, gangguan keterampilan motorik halus, dan kesulitan berjalan.
b. Prosedur Intervensi
Individu diharuskan untuk menerima minimal tiga jam terapi sehari untuk
memenuhi syarat untuk pengaturan rehabilitasi rawat inap. Karena kurangnya
kebutuhan pasien untuk terapi wicara, dia menerima 90 menit terapi fisik dan
terapi okupasi sehari, 5-6 hari seminggu, untuk total 18 sesi perawatan. Intervensi
terapi fisik yang terampil diterapkan untuk mengatasi mobilitas fungsional, daya
tahan kardiovaskular, pelatihan gaya berjalan, keseimbangan, ekstremitas bawah
penguatan, dan pendidikan pasien/keluarga. Edukasi pasien tentang
intensitas/frekuensi terapi, protokol pencegahan jatuh, rencana perawatan, dan
prognosis GBS memainkan peran penting dalam proses rehabilitasi. Pasien
menunjukkan defisit dalam kekuatan, keseimbangan, dan aktivitas daya tahan
yang membutuhkan istirahat yang sering selama rawat inap. Komponen penting
dari proses rehabilitasi adalah mengajarkan energy teknik konservasi dan aktivitas
mondar-mandir untuk menghindari penggunaan energi berlebihan dan kelelahan,
dan dapat sangat memperpanjang pemulihan pada populasi pasien ini.
c. Hasil Intervensi
Fokus utama melakukan terapi fisik ini adalah mencoba mengembalikkan
fungsi bergerak pasien ke seperti semula sebelum sakit. Setelah dilakukan
intervensi latihan fisik selama 18 hari, dapat diketahui bahwa pasien memiliki
perkembangan disetiap langkah prosedur latihan. Pasien dapat bergerak sebanyak
320 kaki menggunakan walker 4 roda. Pasien juga dapat berpindah dari tempat
tidur ke kursi atau sebaliknya tanpa bantuan. Pasien dikontak oleh peneliti setelah
3 bulan dan menunjukkan bahwa pasien dapat berpindah tanpa alat bantuan
apapun sebanyak perkiraan 800 meter, namun pasien belum bisa berjalan tanpa
alat jika permukaan jalan tidak rata. Pasien juga sudah dapat menaiki tangga
sebanyak 12 anak tangga tanpa bantuan namun tetap berpegangan ke sisi tangga.
d. Evaluasi Intervensi
Terapi fisik penting dilakukan untuk pasien dengan Guillain barre syndrome
yang bertujuan untuk membantu pasien mengembalikan fungsi pergerakan
normal. Namun masih sedikit penelitian yang membahas mengenai terapi fisik
memengaruhi manifestasi dari guillain barre sindrom, sehingga peneliti
mengharapkan untuk terdapat penelitian selanjutnya yang meneliti mengenai
pemilihan intervensi yang paling efektif untuk membantu pasien GBS kembali ke
fungsi yang normal.

3. Lampiran Jurnal
LAMPIRAN

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UPN


VETERAN JAKARTA

ASUHAN KEPERAWATAN INTENSIVE CARE UNIT

PENGKAJIAN

Tanggal pengkajian : 26/08/2021


Waktu pengkajian : 10.00
Tanggal masuk : 25 Agustus 2021
Nomor register : oooo
Diagnosa medis : Guillain Barre Syndrome

1. IDENTITAS KLIEN
Nama : An. W
Tanggal Lahir : 4 Januari 2015
No. RM : 0000
Jenis kelamin : Laki-laki
Diagnosa Medis : Guillain Barre Syndrome
Berat Badan : 39 kg (Kg)
Tinggi Badan : 155 (Cm)
Alamat : Jalan Kutilang no 55

IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB


Nama : Ny. T
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Jalan kutilang no 55
Pendidikan : S1
Hubungan dengan klien : Ibu

Kesadaran :  CM  Apatis  Somnolen  Soporous/Koma


GCS :Eye: 4 Motorik: tidak terkaji Verbal: VETT
AVPU : A = Sadar Penuh V= VETT P= tidak terkaji U=tidak terkaji

A. PENGKAJIAN
1. Airway / JalanNafas
 Bersih
 Sumbatan (berupa):  Sputum  Putih
 Kuning  Hijau
 Konsistensi :  Kental  Tidak kental
Darah
2. Breathing / Pernapasan
Sesak : Ya  Tidak
Penggunaan otot bantu nafas :  Ya Tidak
Jenis pernapasan :  Spontan  Kusmaul
Cheynestokes
Terpasangpatensi jalan nafas :  Gudel ETT
Irama :  Teratur
Tidakteratur

Kedalaman :  Dalam Tidakdalam


Suara nafas :  Vesikuler Ronchi
 Wheezing 
Rales Nyeri saat bernapas :  Ya Tidak
3. Circulation / sirkulasi
a. Perifer
Nadi : 150 x/menit
Pulsasi : Kuat 
Lemah Distensi vena jugularis
Kanan :  Ada Tidak ada
Kiri :  Ada Tidakada
Akral : Hangat  Dingin
Warna kulit : Kemerahan Pucat 
Sianosis Pengisian kapiler : 1/ detik
Edema
Tangan :  Ya Tidak
Kaki :  Ya  Tidak
b. Jantung
Irama EKG : Teratur  Tidak teratur
Nyeri dada :  Ya Tidak
Bunyi jantung :  Murmur  Gallop
c. Perdarahan :  Ya Tidak
Area perdarahan :
Jumlah : cc/jam

4. Drugs / obat-obatan, Infus


a. Macamobat (pemberian obat yang sedang berlangsung)
Ringer Fudin 20 tetes/menit
N-asetil sistein 3x200 mg (PO)
Amikasin 1x1gr (IV)
Paracetamol 4x1gr (IV)
Cotrimoxazole 2x960 mg (PO)
KCL 25 meq dalam NS 0,9% (50cc) dalam 2 jam
Cotrizine 10 mg (PO)

b. Macam infus (yang terpasang)


Ringer Fudin 20 tetes/menit

5. Equipment (peralatan yang terpasang )


1) Infus : Ya  Tidak
2) NGT :  Ya Tidak
3) CVP :  Ya  Tidak
4) Catheter urine :  Ya  Tidak
5) Drain :  Ya  Tidak
6) Gelang identitas : Ya  Tidak

(Tanggal pengkajian: 26/08/2021 Nama dan Paraf: Kelompok Gullain Barre Syndrome)

PENGKAJIAN KEPERAWATAN PASIEN ICU Nama: An .W


No. RM : 000
Tgl. Lahir : 4 Januari 2005

Tgl : 26/08/2021 Jam :


Sumber Data :  Pasien  Keluarga  Lainnya…….
Rujukan : Tidak  Ya,  RS………..  Puskesmas……….  Dokter…….
Diagnosis rujukan……..
PendidikanPasien :  SD  SMP  SMA/SMK
 D3  S1  Lainnya……
PekerjaanPasien :

1. PEMERIKSAAN FISIK
a. Sistem Pernapasan
Pernapasan
 RR : 24-32x/menit
 Penggunaan otot bantu nafas :  Ya  Tidak
 Retraksi dinding dada :  Ya Tidak
 Terpasang ETT : Ya  Tidak
 Terpasang Ventilator : Ya  Tidak
Mode : CPAP+PS  TV……  RR24-32  PEEP7  I:E 1:2 FiO2…50%
 Irama :  Tidak Teratur  Teratur
 Kedalaman :  Tidak Teratur  Teratur
 Nyeri tekan : Ya,..............................Tidak
 Ada massa/ abnormal palpation result :  Ya,................................... Tidak
 Perkusi : Sonor  Hipersonor  Pekak
 Suara Napas :  Ronchi  Wheezing  Vesikuler
b. System kardiovaskuler :
Sirkulas iperifer
 Nadi : 150-160x/mnt Tekanan darah : 125/60
 Pulsasi :  Kuat  Lemah
 Akral :  Hangat  Dingin
 Warna kulit : Kemerahan  Pucat 
Cyanosis Sirkulasi jantung
 Irama :  Tidak teratur  Teratur
 Nyeri dada :  Tidak  Ya, Lama : …………….
Perdarahan :  Tidak  Ya,
Area perdarahan : ……
Jumlah..............cc/ jam
 Palpasi tidak ada barel chest
 Perkusi paru sonor
 Auskultasi Ronkhi

c. System saraf pusat


 Kesadaran :  Composmentis  Apatis
 Somnolent  Soporo
 Soporocoma  Koma
 GCS : ……..Eye : 4 Motorik Tidak terkaji Verbal : VETT
 Kekuatan otot : Tidak terkaji
d. System gastrointestinal
 Inpeksi
Distensi :  Tidak  Ya, Lingkar perut.................cm
 Auskultasi
 Peristaltic :  Tidak Ya, Lama 7..............x/ mnt
 Palpasi :
……………………………………………………………
……
 Perkusi :
……………………………………………………………
……
 Defekasi :  Tidak Normal  Normal
e. System perkemihan
 Warna :  Bening  Kuning
 Merah  Kecoklatan
 Distensi :  Tidak  Ya
 Penggunaan catheter urine : Tidak Ya
 Jumlah urine : 4300cc
f. Obstetric &ginekologi
 Hamil :  Tidak  Ya, HPHT :.........Keluhan :
g. System hematologi
Perdarahan :  Gusi  Nassal  Pethecia
 Echimosis  Lainya ………………….
h. System musculoskeletal & integumet
 Turgor kulit :  Tidak Elastis  Elastis
 Terdapat luka :  Tidak  Ya, Lokasi Luka : ……

Lokasi Luka / Lesi lain :


 Fraktur :  Tidak  Ya, Lokasi fraktur
 Kesulitan bergerak :  Tidak  Ya
 Penggunaan alat bantu :  Tidak  Ya, nama alat
i. Alat invasive yang digunakan
 Ventilator  Tidak  Ya, mode ventilator : CPAP+PS FiO2 50%
 CVC  Tidak Ya,
 Drain/ WSD :  Tidak  Ya, Warna..
Jumlah....................cc/jam
 Drain kepala :  Tidak  Ya, Warna..
Jumlah....................cc/jam
 IV Line :  Ya, Warna..
Tidak
 NGT :  Ya, Warna..
Tidak
Jumlah....................cc/jam
 Urine chateter  Tidak  Ya,
DLL…………………………………………….........................................

2. RIWAYAT PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL


a. Pikososial
 Komunitas yang diikuti : ……………………………………………………
 Koping :  Menerima  Menolak
 Kehilangan  Mandiri
 Afek :  Gelisah  Insomnia
Tegang  Depresi
 HDR :  Emosional Tidak berdaya
 Rasa bersalah
 Persepsi penyakit : Menerima  Menolak
 Hubungan keluarga harmonis : Tidak  Ya, orang terdekat : ………

b. Spiritual
 Kebiasaan keluarga/ pasien untuk mengatasi stress dari spiritual beribadah

3. KEBUTUHAN EDUKASI
a. Terdapat hambatan dalam pembelajaran :
 Tidak  Ya, Jika Ya :  Pendengaran  Penglihatan
 Kognitif  Fisik
 Budaya  Emosi
 Bahasa  Lainya……………
Dibutuhkan penerjemah :  Tidak  Ya, Sebutkan ……………………………
Kebutuhan edukasi (pilih topic edukasi pada kotak yang tersedia)
Diagnosa dan manajemen penyakit  Obat-obatan / Terapi
 Diet dan nutrisi  Tindakan Keperawatan
 Rehabilitasi  Manajemen Nyeri
 Lain lain, Sebutkan ………………………………………………………………….
b. Bersedia untuk dikunjungi :  Tidak  Ya :
Keluarga  Kerabat

 Rohaniawan
4. Risiko cedera / jatuh (isi formulir monitoring pencegahan jatuh)
 Tidak  Ya, Jika Ya, gelang resiko jatuh warna kuning harus dipasang)
5. Status fungsional (isi formulir monitoring barthel index (lampirkan))
Aktivitas dan mobilisasi :  Mandiri Perlu bantuan, …………………………
6. Skala nyeri
Nyeri : Tidak Ya

 Nyeri Kronis, Lokasi : ……………… Frekuensi : …………… Durasi …………….


 Nyeri Akut Lokasi : badan Frekuensi : tiba tiba Durasi 1 jam
 Score Nyeri (0-10) : 3 (CPOT)

Nyeri hilang
 Minum Obat  Istirahat
 Mendengar music  Berubah posisi tidur  Lain-lain,
………...
7. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium/ CT Scan/ dll tanggal ………………….
Pemeriksaan Hasil Satuan Harga Normal
Hb 10,9 gr% 13 – 16
Ht 33,9 % 35 - 47
Eritrosit 4x106 juta/ mmk 3,9 – 5,6
MCH pg 27 – 32
MCV fl 76 – 96
MCHC g/ dl 29 - 36
Lekosit 16,52 x 103 H ribu / mmk 4 - 11
Trombosit 140 x 103 ribu / mmk 150 – 400
RDW-CV % 11,5 – 14,5
RDW-SD fl 35 – 47
PDW fl 9 – 13
Pemeriksaan Hasil Satuan Harga Normal
MPV fl 7,2 – 11,1
P-LCR % 15 – 25
Glukosaswkt 138 mg / dl 80 – 110
Kolesterol H mg/dl < 200
Trigliserid H mg/dl < 150
Ureum H mg/dl 10 – 50
Kreatinin mg / dl Lk : 0,6 – 1,2
Pr : 0,5 – 1,1
Natrium H mmol / L 136 - 145
Kalium 3,1 mmol / L 3,5 – 5,1
SGOT u/l Lk : s/d 37
Pr : s/d 31
SGPT u/l Lk : s/d 42
Pr : s/d 32

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan


PH 7,50 7,35 – 7,45
PCO2 36,5 35 - 45 mmHg
PO2 196,8 80 - 100 mmHg
BE 2–3 mmol/l
tCO2
HCO3 28,9 23 - 33 mmol/l
StHCO3
Elektrolit
Na 135 -145 mmol/l
Ka 3,1 3,5 – 5,1 mmol/l
AaGap
Hemoglobin/O2 10,9
status
tHb
SO2 99,8% 90 - 100 %
Hct %
AaDO2
Enter Parameter
Temp
Hbtipe
FiO2 50%
RQ
P50
Barometer
DAFTAR PUSTAKA

Agustin, W. R. (2012). Pengalaman Pasien Sindrom Guillain-Barre (SGM) pada Saat Kondisi
Kritis di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal
Kesehatan Kusuma Husada Vol. 3 No. 2: 1-15.

Fitriany, J. & Netty Heriyani. (2018). Artikel Review: Sindrome Guillain Barre. Jurnal
Kedokteran Nanggroe Medika. Vol. 1, No. 1: 54-62.

Mayo Clinic, Guillain Barre Syndrome [Internet]. US: Mayo Clinic; 2017 [disitasi tanggal 20
Agustus 2021]. Tersedia dari:
http://www.mayoclinic.org/diseasesconditions/guillainbarresyndrome/basics/definition/co
n20025832.

NIH, Guillain Barre Syndrome [Internet]. US: NIH; 2017 [disitasi tanggal 20 Agustus 2021].
Tersedia dari: https://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs /detail_gbs.htm.

NHS UK, Conditions Guillain Barre Syndrome [Internet]. UK: NHS; 2020 [disitasi tanggal
20 Agustus 2021]. Tersedia dari: https://www.nhs.uk/conditions/guillain-barre-
syndrome/\

Piccione E.A., Salame K., Katirji B. (2014) Guillain-Barré Syndrome and Related
Disorders. In: Katirji B., Kaminski H., Ruff R. (eds) Neuromuscular Disorders in
Clinical Practice. Springer, New York, NY. https://doi.org/10.1007/978-1-4614-6567-
6_28

Rahayu, T. (2013). Mengenal Guillain Barre Syndrome. Jurnal Ilmiah WUNY Vol. XV, No. 1.

Theresia. (2017). Laporan Kasus Penanganan Sindrom Guillain Barre dengan Terapi
Plasmafaresis. Nursing Current. Vol. 5 No. 2: 10-19.

Wahyu, F. F. (2018). Guillain-Barre Syndrome: Penyakit Langka Beronset Akut yang


Mengancam Nyawa. Jurnal Medula Vol. 8, No. 1: 112-116

Anda mungkin juga menyukai