Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis
Dosen Pengampu :
Ns. Diah Tika Anggraini S.Kep., M.Kep
Disusun Oleh :
Jihan Almira Dewi 1810711036
Ni Made Anggun Millenia 1810711065
Ezzah Najlalya 1810711075
Elfrida Juniartha 1810711093
A. KONSEP DASAR
1. Anatomi Fisiologi Guillain Barre Syndrome
a. Pengertian Neuron
Neuron adalah unit fungsional dasar sistem syaraf yang terjadi dari badan sel
dan perpanjangan sitoplasma. Berdasarkan fungsinya, sel syaraf di bagi menjadi
dua macam, yaitu neuron dan neuroglia. Neuron berfungsi sebagai pembawa
impuls dari organ ke saraf pusat atau sebaliknya, sedangkan neuroglia berperan
untuk mendukung neuron melaksanakan tugasnya dengan baik. (Setiadi, 2016)
a) Badan sel atau perikarion, suatu neuron mengendalikan metabolisme
keseluruhan neuron. Bagian ini tersusun dari komponen berikut : Satu nucleus
tunggal, nucleolus yang menonjol dan organel lain seperti konpleks golgi dan
mitochondria, tetapi nucleus ini tidak memiliki sentriol dan tidak dapat
bereplikasi. Badan nissi, terdiri dari reticulum endoplasma kasar dan ribosom-
ribosom bebas serta berperan dalam sintesis protein. Neurofibril yaitu
neurofilamen dan neurotubulus yang dapat dilihat melalui mikroskop cahaya
jika diberi pewarnaan dengan perak.
b) Dendrit adalah perpanjangan sitoplasma yang biasanya berganda dan pendek
serta berfungsi untuk menghantar impuls ke sel tubuh.
c) Akson adalah suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih panjang dari
dendrite. Bagian ini menghantar impuls menjauhi badan sel ke neuron lain, ke
sel lain (sel otot atau kelenjar) atau ke badan sel neuron yang menjadi asal
akson.
b. Klasifikasi Neuron
a) Fungsi, neuron diklasifikasi secara fungsional berdasarkan arah transmisi
impulsnya. Neuron sensorik (aferen) menghantarkan impuls listrik dari
reseptor pada kulit, organ indera atau suatu organ internal ke SSP. Neuron
motorik menyampaikan impuls dari SSP ke efektor. Interneuron (neuron yang
berhubungan) ditemukan seluruhnya dalam SSP. Neuron ini menghubungkan
neuron sensorik dan motorik atau menyampaikan informasi ke interneuron
lain.
b) Struktur, neuron diklasifikasi secara structural berdasarkan jumlah
prosesusnya. Neuron unipolar memiliki satu akson dan dua denderit atau lebih.
Sebagian besar neuron motorik, yang ditemukan dalam otak dan medulla
spinalis, masuk dlam golongan ini. Neuron bipolar memiliki satuϑ akson dan
satu dendrite. Neuron ini ditemukan pada organ indera, seperti mata, telinga
dan hidung. Neuron unipolar kelihatannya memiliki sebuah prosesus tunggal,
tetapi neuron ini sebenarnya bipolar.
c. Sel Neuroglial
Biasanya disebut glia, sel neuroglial adalah sel penunjang tambahan pada SSP
yang berfungsi sebagai jaringan ikat.
a) Astrosit adalah sel berbentuk bintang yang memiliki sejumlah prosesus
panjang, sebagian besar melekat pada dinding kapilar darah melalui pedikel
atau “kaki vascular”.
b) Oligodendrosit menyerupai astrosit, tetapi badan selnya kecil dan jumlah
prosesusnya lebih sedikit dan lebih pendek.
c) Mikroglia ditemukan dekat neuron dan pembuluh darah, dan dipercaya
memiliki peran fagositik.
d) Sel ependimal membentuk membran spitelial yang melapisi rongga serebral
dan ronggal medulla spinalis.
d. Kelompok Neuron
a) Nukleus adalah kumpulan badan sel neuron yang terletak di dalam SSP.
b) Ganglion adalah kumpulan badan sel neuron yang terletak di bagian luar SSP
dalam saraf perifer.
c) Saraf adalah kumpulan prosesus sel saraf (serabut) yang terletak di luar SSP.
d) Saraf gabungan. Sebagian besar saraf perifer adalah saraf gabungan ; saraf ini
mengandung serabut arefen dan eferen yang termielinisasi dan yang tidak
termielinisasi.
e) Traktus adalah kumpulan serabut saraf dalam otak atau medulla spinalis yang
memiliki origo dan tujuan yang sama.
f) Komisura adalah pita serabut saraf yang menghubungkan sisi-sisi yang
berlawanan pada otak atau medulla spinalis.
b. Vaksinasi
c. Pembedahan, anestesi
d. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis,
dan penyakit Addison
e. Kehamilan atau dalam masa nifas
f. Gangguan endokrin
4. Patofisiologis Guillain Barre Syndrome
5. Manifestasi Klinik Guillain Barre Syndrome
Guillane Barre Syndrom biasanya memengaruhi tangan atau kaki terlebih
dahulu sebelum menyebar ke bagian tubuh yang lain. Biasanya mulai dalam beberapa
hari atau minggu dengan gejala nyeri perut atau flu. Gejala klinis dari GBS umumnya
terjadi kelemahan bilateral yang progresif dan didahului baal selama 2-3 minggu
setelah mengalami demam.(Wahyu, 2018)
Gejala awal dari GBS biasanya berkembang atau terlihat dalam beberajam saja
atau hari, yang diawali dengan bagian tubuh tangan dan kaki sebelum mulai ke bagian
tubuh yang lain, gejala yang biasa dirasakan biasanya :
a) Kebas / Mati rasa
b) Kesemutan
c) Kelemahan otot
d) Nyeri
e) Koordinasi tubuh dan keseimbangan menurun
Tingkat keparahan gejala GBS biasanya terlihat dalam 4 minggu, dan jika
ditangani dengan tepat, manusia dapat stabil setelahnya untuk beberapa minggu atau
bulan sebelum kembali sehat seperti semula. Kebanyakan manusia menderita GBS
dapat sembuh total dari GBS, namun memakan waktu yang cukup lama, biasanya 1
tahun. Namun 1 dari 5 orang dapat memiliki penyakit GBS untuk lebih dari 1 tahun
atau kelemahan secara permanen
Komplikasi paling berat pada penderita GBS yaitu kematian, bisa disebabkan
karena kelemahan atau paralisis pada otot-otot pernafasan, dimana angka mortalitas
sekitar 5% bila terjadi paralisis pernapasan. Kematian pada GBS biasanya disebabkan
oleh pneumonia, sepsis dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS (Agustin,
2012).
Selain itu, gangguan sensasi juga bisa menyebabkan komplikasi seperti gangguan
rasa tebal, disertai kelemahan otot, dapat menyebabkan decubitus. Oleh karena itu,
perawat perlu memperhatikan mobilisasi pasien GBS saat berada di atas tempat tidur,
karena tekanan yang lama pada daerah yang menonjol menyebabkan sirkulasi darah
pada daerah yang mengalami penekanan tidak adekuat sehingga dapat menyebabkan
terjadinya luka decubitus (Agustin, 2012).
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian Pengkajian terhadap komplikasi Guillain Barre Syndrome meliputi
pemantauan terus menerus terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang
mengancam kehidupan. Komplikasi ini mencakup disritmia jantung, yang terlihat
melalui pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda thrombosis vena
provunda dan emboli paru – paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan
paralisis. (Arif mutaqin, 2012)
a. Keluhan utama
Kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun local seperti
melemahnya otot – otot pernapasan.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian klien GBS biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan
dengan proses demielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya gejala – gejala
neurologis diawalai dengan parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot
kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah.
Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien
mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), infeksi gastrointestinal dan
tindakan bedah saraf.
d. Pengkajian psikososiospiritual
Meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh
persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
e. Pemeriksaan fisik
Pada klien dengan GBS biasanya suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi
terjadi berhubungan dengan tanda – tanda penurunan curah jantung. Peningkatan
frekuensi napas berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan
adanya infeksi pada sistem pernapasan serta akumulasi secret akibat insufisiensi
pernapasan. Tekanan darah di dapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan darah
meningkat (hipertensi 39 transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf
simpatis dan parasimpatis.
f. Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan perkembangan
gejala klinis dan tidak ada satu pemeriksaanpun yang dapat memastikan GBS;
pemeriksaan tersebut hanya menyingkirkan dugaan – dugaan.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot–otot pernapasan, dan ancaman gagal napas.
b. Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan
frekuensi jantung ritme dan irama bradikardia.
c. Resiko perubahan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan asupan yang tidak adekuat.
d. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular,
penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.
e. Ansietas yang berhubungan dengan ancaman, kondisi sakit dan perubahan
kesehatan.
f. Koping individu dan keluarga tidak efektif yang berhubungan dengan prognosis
penyakit yang tidak jelas, perubahan peran keluarga, dan status sosioekonomi
yang tidak jelas.
3. Rencana Keperawatan
Intervensi dilakukan sesuai dengan diagnose dan keluhan yang pasien rasakan, seperti
pada diagnose pola nafas, intervensi dapat dilakukan dengan mengkaji fungsi paru
dengan mendengarkan adanya bunyi nafas. Lalu pada diagnose hambatan mobilitas
fisik, dapat dilakukan intervensi seperti mengkaji tingkat kemampuan klien dalam
mobilitas fisik. Dekatkan alat dan saran yang dibutuhkan untuk membantu mobilitas
pasien, menghindari faktor yang dapat berisiko membuat pasien trauma saat
mobilisasi.
4. Implementasi Keperawatan
pelaksanaan implementasi harus berpusat pada kebutuhan keperawatan, strategi
implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Kozier et al, 1995).
Pelaksanaan implementasi akan mengidentifikasi, mengapa sesuatu terjadi, apa yang
terjadi, kapan, bagaimana dan siapa yang melakukan intervensi (Deden Dermawan,
2012)
5. Evaluasi
Evaluasi adalah membandingkan suatu hasil/ perbuatan dengan standar untuk tujuan
pengambilan keputusan yang tepat sejauh mana tujuan tercapai. Evaluasi keperwatan :
membandingkan efek/hasil suatu tindakan keperawatan dengan norma atau kriteria
tujuan yang sudah dibuat. (Deden dermawan, 2012)
BAB II
TINJAUAN KASUS
An.W (16 tahun) dirawat di ICU dengan diagnose medis Respiratory failure e.c Guillain-
barre syndrome. Riwayat masuk RS: Pasien mengalami flu, demam sedang selama 2 minggu
sebelum masuk RS. Kemudian, pasien merasa badan pegal – pegal dan lemah pada tangan
kiri, kemudian menjalar pada kedua kaki, disertai dengan sulit menelan dan bernafas. GCS :
E4MtidakterkajiVETT. Kesadaran Composmentis. Ukuran pupil dan reflex cahaya:
+3mm/+3mm. Skor CPOT : 3. Terdapat secret seperti buih putih pada mulut, terdengar suara
gurgling, bentuk dan gerakan dada ki/ka simetris, barel chest (-), perkusi paru sonor, suara
paru ronki basah ka/ki pada lapang paru atas sampai bawah, tidak tampak penggunaan otot
pernapasan tambahan. CVP : 8-12,5 cmH2O. Mukosa bibir tampak kering dan pecah – pecah,
kulit tampak kemerahan, teraba hangat. Tampak kebiruan pada tangan (bekas penusukan
pada arteri radialis).
Total Intake dalam 24 jam (Enteral, Parenteral): 3954 cc Output cairan dalam 24 jam (Urin
dan IWL): 4364cc Balance cairan dalam 24 jam (cc): -410 cc (0, 68 cc/kgBB/jam)
TTV : TD: 125-140/ 60-65 mmHg, MAP: 80 s/d 90 mmHg, HR: 150-160 x/menit, Irama
jantung dari monitor sinus takikardi, Suhu: 37,5 – 38,4 oC, SaO2: 94 - 96%, RR: 24 -
32x/menit dengan mode ventilator : CPAP +PS, RR : 24 – 32x/menit, PEEP : 7, FiO2 : 50%,
Pressure support: 6 ,Peak pressure : 15.
Foto asimetris
Pemeriksaan Kultur
Hasil AGD : PH : 7,50, PCO2 : 36,5 mmHg, HCO3: 28,9mmol/L, PO2: 196,8 mmHg,
SpO2 :99,8 %
Terapi : • Ringer Fudin 20 tetes/menit • N-asetil sistein 3x200 mg (PO) • Amikasin 1x1gr
(IV) • Paracetamol 4x1gr (IV) • Cotrimoxazole 2x960 mg (PO) • KCL 25 meq dalam NS
0,9% (50cc) dalam 2 jam • Cotrizine 10 mg (PO)
A. PENGKAJIAN
Pengkajian terlampir.
ANALISIS DATA
B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif Berhubungan Dengan Disfungsi Neuromuskular
(SDKI D.0149 Hal 18)
2. Pola Nafas Tidak Efektif Berhubungan Dengan Gangguan neurologis (mis. Guillain
Barre Syndrom) (SDKI D.0005 Hal 26)
3. Gangguan Mobilitas Fisik Berhubungan Dengan Gangguan Neuromuskular (paralisis)
(SDKI D.0054 Hal 124)
C. RENCANA KEPERAWATAN
1. Observasi
- Monitor efek ventilator
terhadap status oksigenasi
(bunyi paru, x ray paru, AGD,
SaO2, dll)
- Monitor efek negatif ventilator
(deviasi trakea, barotrauma,
volutrauma, penurunan curah
jantung, dll)
- Monitor gejala peningkatan
pernapasan (peningkatan denyut
jantung atau pernapasan,
peningkatan TD, dll)
- Monitor kondisi yang
meningkatkan konsumsi
oksigen (demam, menggigil,
kejang, nyeri)
2. Terapeutikrasi
- Atur posisi kepala 45-60o untuk
mencegah aspirasi
- Reposisi pasien tiap 2 jam, jika
perlu
- Ganti sirkuit ventilator tiap 24
jam atau sesuai prosedur
- Dokumentasikan respon
terhadap ventilator
3. Kolaborasi
- Kolaborasi pemilihan moder
ventilator
- Kolaborasi penggunaan PS atau
PEEP untuk meminimalkan
hipoventilasi alveolus
A. JURNAL 1
1. Deskripsi Jurnal: Theresia. (2017). Laporan Kasus Penanganan Sindrom Guillain
Barre dengan Terapi Plasmafaresis. Nursing Current. Vol. 5 No. 2: 10-19.
2. Resume Jurnal
a. Subjek: Metode yang digunakan pada intervensi ini adalah pemaparan secara
naratif catatan keperawatan pada 1 orang pasien yang terdiagnosa SGB dengan
terapi plasmaferesis di ruang rawat inap di RS Swasta X di Jakarta Selatan
b. Prosedur Intervensi
Intervensi yang dilakukan adalah plasmafaresis, merupakan prosedur dimana
makromolekul pada plasma dihilangkan dari plasma dengan gaya sentrifugal yang
diberikan pada darah sehingga darah akan terpisah menurut berat jenisnya
(Winters 2012 dalam Dewi 2015). Pemisahan komponen darah yang masuk ke
dalam mesin plasmaferesis terdiri dari dua prinsip dasar sentrifugasi dan filtrasi
darah melewati filter penyaring. Kedua metode tersebut memerlukan akses
vaskuler dan juga sistem akses untuk memindahkan darah dari pasien ke mesin
plasmaferesis dan mengembalikan ke dalam sirkulasi pasien (Panagiotou et al.,
2009 dalam Stavroula et al., 2015). Pemisahan Protokol plasmaferesis untuk SGB
yang sering digunakan yaitu North American trial dimana 200-250 ml/kg yang
ditukar selama 7-10 hari (Meena, Khadilkar, & Murthy, 2011).
Pada kasus penulis, pasien menjalani plasmafaresis sebanyak 5 kali dengan
rentang waktu dua hari sekali. Setiap kali proses plasmafaresis memerlukan
albumin 5% sebagai pengganti.
c. Hasil Intervensi
Selama melakukan terapi plasmaferesis ke-1 dan ke-2 pasien belum terdapat
perubahan yang signifikan. Pasien masih memerlukan bed rest karena kekuatan
otot masih belum adekuat, status respirasi stabil (hanya memerlukan nasal
kanula), kemampuan menelan masih belum adekuat (makan masih melalui selang
nasogastrik).
Pada plasmaferesis yang ke-3 hingga ke-4 mulai tampak kemajuan pada status
klinis pasien. Kemajuan tersebut antara lain: peningkatan kemampuan menelan di
mana pasien mulai dicoba untuk makan per oral dengan diet lunak, status respirasi
semakin membaik dengan mulai stabil tanpa bantuan oksigen, kekuatan otot
ekstrimitas semakin meningkat, namun masih memerlukan bantuan fisioterapi.
Pada plasmaferesis yang ke-5, hal yang paling tampak adalah kemampuan
menelan pasien mulai kembali pulih dengan mulai makan per oral dengan baik.
Selain itu, kekuatan otot ekstrimitas semakin membaik di mana pasien mulai
berlatih berjalan dengan bantuan walker.
d. Evaluasi Intervensi
Proses perbaikan kondisi klinis sesuai dengan beberapa uji klinis yang tedapat
di literatur yaitu kondisi gagal nafas tidak terjadi, paralisis otot ekstrimitas dapat
berkurang, kemampuan menelan juga semakin membaik.
3. Lampiran Jurnal
B. JURNAL 2
1. Deskripsi Jurnal
Schnetzer, C. (2019). Physical Therapy Management of a Patient with Guillain-Barré
Syndrome During Inpatient Rehabilitation Stay: A Case Report. Lowa Research
Online.
2. Resume Jurnal
a. Subjek
Subjek pada jurnal yakni adalah 1 orang pasien yang terdiagnosa Guillain
Barre Syndrome dengan akan dilakukan manajemen terapi fisik. Pasien
merupakan seorang laki-laki 49 tahun dirawat di fasilitas rehabilitasi rawat inap
selama dua minggu setelah didiagnosis dengan sindrom Guillain-Barré. Dia
disajikan dengan penurunan fungsional status, kelelahan, kelemahan ekstremitas
bawah, gangguan keterampilan motorik halus, dan kesulitan berjalan.
b. Prosedur Intervensi
Individu diharuskan untuk menerima minimal tiga jam terapi sehari untuk
memenuhi syarat untuk pengaturan rehabilitasi rawat inap. Karena kurangnya
kebutuhan pasien untuk terapi wicara, dia menerima 90 menit terapi fisik dan
terapi okupasi sehari, 5-6 hari seminggu, untuk total 18 sesi perawatan. Intervensi
terapi fisik yang terampil diterapkan untuk mengatasi mobilitas fungsional, daya
tahan kardiovaskular, pelatihan gaya berjalan, keseimbangan, ekstremitas bawah
penguatan, dan pendidikan pasien/keluarga. Edukasi pasien tentang
intensitas/frekuensi terapi, protokol pencegahan jatuh, rencana perawatan, dan
prognosis GBS memainkan peran penting dalam proses rehabilitasi. Pasien
menunjukkan defisit dalam kekuatan, keseimbangan, dan aktivitas daya tahan
yang membutuhkan istirahat yang sering selama rawat inap. Komponen penting
dari proses rehabilitasi adalah mengajarkan energy teknik konservasi dan aktivitas
mondar-mandir untuk menghindari penggunaan energi berlebihan dan kelelahan,
dan dapat sangat memperpanjang pemulihan pada populasi pasien ini.
c. Hasil Intervensi
Fokus utama melakukan terapi fisik ini adalah mencoba mengembalikkan
fungsi bergerak pasien ke seperti semula sebelum sakit. Setelah dilakukan
intervensi latihan fisik selama 18 hari, dapat diketahui bahwa pasien memiliki
perkembangan disetiap langkah prosedur latihan. Pasien dapat bergerak sebanyak
320 kaki menggunakan walker 4 roda. Pasien juga dapat berpindah dari tempat
tidur ke kursi atau sebaliknya tanpa bantuan. Pasien dikontak oleh peneliti setelah
3 bulan dan menunjukkan bahwa pasien dapat berpindah tanpa alat bantuan
apapun sebanyak perkiraan 800 meter, namun pasien belum bisa berjalan tanpa
alat jika permukaan jalan tidak rata. Pasien juga sudah dapat menaiki tangga
sebanyak 12 anak tangga tanpa bantuan namun tetap berpegangan ke sisi tangga.
d. Evaluasi Intervensi
Terapi fisik penting dilakukan untuk pasien dengan Guillain barre syndrome
yang bertujuan untuk membantu pasien mengembalikan fungsi pergerakan
normal. Namun masih sedikit penelitian yang membahas mengenai terapi fisik
memengaruhi manifestasi dari guillain barre sindrom, sehingga peneliti
mengharapkan untuk terdapat penelitian selanjutnya yang meneliti mengenai
pemilihan intervensi yang paling efektif untuk membantu pasien GBS kembali ke
fungsi yang normal.
3. Lampiran Jurnal
LAMPIRAN
PENGKAJIAN
1. IDENTITAS KLIEN
Nama : An. W
Tanggal Lahir : 4 Januari 2015
No. RM : 0000
Jenis kelamin : Laki-laki
Diagnosa Medis : Guillain Barre Syndrome
Berat Badan : 39 kg (Kg)
Tinggi Badan : 155 (Cm)
Alamat : Jalan Kutilang no 55
A. PENGKAJIAN
1. Airway / JalanNafas
Bersih
Sumbatan (berupa): Sputum Putih
Kuning Hijau
Konsistensi : Kental Tidak kental
Darah
2. Breathing / Pernapasan
Sesak : Ya Tidak
Penggunaan otot bantu nafas : Ya Tidak
Jenis pernapasan : Spontan Kusmaul
Cheynestokes
Terpasangpatensi jalan nafas : Gudel ETT
Irama : Teratur
Tidakteratur
(Tanggal pengkajian: 26/08/2021 Nama dan Paraf: Kelompok Gullain Barre Syndrome)
1. PEMERIKSAAN FISIK
a. Sistem Pernapasan
Pernapasan
RR : 24-32x/menit
Penggunaan otot bantu nafas : Ya Tidak
Retraksi dinding dada : Ya Tidak
Terpasang ETT : Ya Tidak
Terpasang Ventilator : Ya Tidak
Mode : CPAP+PS TV…… RR24-32 PEEP7 I:E 1:2 FiO2…50%
Irama : Tidak Teratur Teratur
Kedalaman : Tidak Teratur Teratur
Nyeri tekan : Ya,..............................Tidak
Ada massa/ abnormal palpation result : Ya,................................... Tidak
Perkusi : Sonor Hipersonor Pekak
Suara Napas : Ronchi Wheezing Vesikuler
b. System kardiovaskuler :
Sirkulas iperifer
Nadi : 150-160x/mnt Tekanan darah : 125/60
Pulsasi : Kuat Lemah
Akral : Hangat Dingin
Warna kulit : Kemerahan Pucat
Cyanosis Sirkulasi jantung
Irama : Tidak teratur Teratur
Nyeri dada : Tidak Ya, Lama : …………….
Perdarahan : Tidak Ya,
Area perdarahan : ……
Jumlah..............cc/ jam
Palpasi tidak ada barel chest
Perkusi paru sonor
Auskultasi Ronkhi
b. Spiritual
Kebiasaan keluarga/ pasien untuk mengatasi stress dari spiritual beribadah
3. KEBUTUHAN EDUKASI
a. Terdapat hambatan dalam pembelajaran :
Tidak Ya, Jika Ya : Pendengaran Penglihatan
Kognitif Fisik
Budaya Emosi
Bahasa Lainya……………
Dibutuhkan penerjemah : Tidak Ya, Sebutkan ……………………………
Kebutuhan edukasi (pilih topic edukasi pada kotak yang tersedia)
Diagnosa dan manajemen penyakit Obat-obatan / Terapi
Diet dan nutrisi Tindakan Keperawatan
Rehabilitasi Manajemen Nyeri
Lain lain, Sebutkan ………………………………………………………………….
b. Bersedia untuk dikunjungi : Tidak Ya :
Keluarga Kerabat
Rohaniawan
4. Risiko cedera / jatuh (isi formulir monitoring pencegahan jatuh)
Tidak Ya, Jika Ya, gelang resiko jatuh warna kuning harus dipasang)
5. Status fungsional (isi formulir monitoring barthel index (lampirkan))
Aktivitas dan mobilisasi : Mandiri Perlu bantuan, …………………………
6. Skala nyeri
Nyeri : Tidak Ya
Nyeri hilang
Minum Obat Istirahat
Mendengar music Berubah posisi tidur Lain-lain,
………...
7. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium/ CT Scan/ dll tanggal ………………….
Pemeriksaan Hasil Satuan Harga Normal
Hb 10,9 gr% 13 – 16
Ht 33,9 % 35 - 47
Eritrosit 4x106 juta/ mmk 3,9 – 5,6
MCH pg 27 – 32
MCV fl 76 – 96
MCHC g/ dl 29 - 36
Lekosit 16,52 x 103 H ribu / mmk 4 - 11
Trombosit 140 x 103 ribu / mmk 150 – 400
RDW-CV % 11,5 – 14,5
RDW-SD fl 35 – 47
PDW fl 9 – 13
Pemeriksaan Hasil Satuan Harga Normal
MPV fl 7,2 – 11,1
P-LCR % 15 – 25
Glukosaswkt 138 mg / dl 80 – 110
Kolesterol H mg/dl < 200
Trigliserid H mg/dl < 150
Ureum H mg/dl 10 – 50
Kreatinin mg / dl Lk : 0,6 – 1,2
Pr : 0,5 – 1,1
Natrium H mmol / L 136 - 145
Kalium 3,1 mmol / L 3,5 – 5,1
SGOT u/l Lk : s/d 37
Pr : s/d 31
SGPT u/l Lk : s/d 42
Pr : s/d 32
Agustin, W. R. (2012). Pengalaman Pasien Sindrom Guillain-Barre (SGM) pada Saat Kondisi
Kritis di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal
Kesehatan Kusuma Husada Vol. 3 No. 2: 1-15.
Fitriany, J. & Netty Heriyani. (2018). Artikel Review: Sindrome Guillain Barre. Jurnal
Kedokteran Nanggroe Medika. Vol. 1, No. 1: 54-62.
Mayo Clinic, Guillain Barre Syndrome [Internet]. US: Mayo Clinic; 2017 [disitasi tanggal 20
Agustus 2021]. Tersedia dari:
http://www.mayoclinic.org/diseasesconditions/guillainbarresyndrome/basics/definition/co
n20025832.
NIH, Guillain Barre Syndrome [Internet]. US: NIH; 2017 [disitasi tanggal 20 Agustus 2021].
Tersedia dari: https://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs /detail_gbs.htm.
NHS UK, Conditions Guillain Barre Syndrome [Internet]. UK: NHS; 2020 [disitasi tanggal
20 Agustus 2021]. Tersedia dari: https://www.nhs.uk/conditions/guillain-barre-
syndrome/\
Piccione E.A., Salame K., Katirji B. (2014) Guillain-Barré Syndrome and Related
Disorders. In: Katirji B., Kaminski H., Ruff R. (eds) Neuromuscular Disorders in
Clinical Practice. Springer, New York, NY. https://doi.org/10.1007/978-1-4614-6567-
6_28
Rahayu, T. (2013). Mengenal Guillain Barre Syndrome. Jurnal Ilmiah WUNY Vol. XV, No. 1.
Theresia. (2017). Laporan Kasus Penanganan Sindrom Guillain Barre dengan Terapi
Plasmafaresis. Nursing Current. Vol. 5 No. 2: 10-19.