Anda di halaman 1dari 19

MYELITIS

PRESENTASI KASUS STASE REHABILITASI MEDIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Dokter Spesialis I

Program Studi Ilmu Kedokteran Klinik Minat Utama Neurologi

Diajukan oleh:
ANDRE STEFANUS PANGGABEAN

BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2022
PRESENTASI KASUS REHABILITASI MEDIK

Diajukan oleh : dr. Andre Stefanus Panggabean


Pembimbing : dr. Ahmad Fuath, Sp.KFR
dr. Pujiatun, Sp.KFR
dr. Bernita, Sp.KFR
dr. Lulus Hardiyanti, Sp.KFR
dr. Adrian Utomo, Sp.KFR., M.Ked.Klin
dr. Sarah Jehan Suhastika, Sp.KFR

Selasa, 28 November 2022 pukul 11.00-13.00

IDENTITAS
Nama : Tn. JA
Umur : 21 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMA
Alamat : Yogyakarta
Masuk ke RS : 9 Juni 2022
No. CM : 02.01.xx.xx

ANAMNESIS (10 Juni 2022)


Autoanamnesis dengan pasien

KELUHAN UTAMA
Kelemahan anggota gerak bawah

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Satu bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan demam, kemudian diikuti
kedua lutut terasa lemas, nyeri dan kesulitan untuk berjalan. Pasien saat it tidak
memeriksakan diri ke RS. Disangkal adanya penurunan kesadaran, kejang, mual, muntah,
gangguan visus, gangguan pendengaran, gangguan BAB dan BAK, kelemahan dan
kesemutan anggota gerak atas, pelo, perot, gangguan menelan, nyeri punggung.
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan kelemahan anggota
gerak bawah semakin memberat, terasa berat dan lemas, hingga pasien tidak dapat berjalan.
Keluhan disertai rasa tebal dan kesemutan dari bawah pusat hingga kedua tungkai. Disangkal
adanya penurunan kesadaran, kejang, mual, muntah, gangguan visus, gangguan pendengaran,
gangguan BAB dan BAK, kelemahan dan kesemutan anggota gerak atas, pelo, perot,
gangguan menelan, nyeri punggung.
Saat hari masuk rumah sakit, keluhan kelemahan anggota gerak bawah dan rasa tebal
dan kesemutan anggota gerak bawah dari pusat hingga kedua tungkai menetap. Pasien
periksa ke Poli Saraf, kemudian disarankan untuk mondok. Disangkal adanya penurunan

2
kesadaran, kejang, mual, muntah, gangguan visus, gangguan pendengaran, gangguan BAB
dan BAK, kelemahan dan kesemutan anggota gerak atas, pelo, perot, gangguan menelan,
nyeri punggung.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Ditemukan
1. Pasien riwayat operasi pankreas 1 bulan yang lalu, dengan hasil PA berupa kista
pankreas

Disangkal
1. Trauma
2. Demam lama
3. Batuk lama
4. Penurunan berat badan drastis
5. Penggunaan NAPZA dan seks bebas
6. Merokok
7. Keganasan
8. Hipertensi
9. Diabetes Melitus

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Diakui: -
Disangkal:
 Riwayat penyakit autoimun lainnya
 Riwayat kejang/epilepsi
 Riwayat tumor/benjolan, operasi, kemoterapi dan penyinaran/radioterapi
 Riwayat diabetes, hipertensi, penyakit jantung/paru, dan stroke
 Riwayat infeksi menular/paru/THT
 Riwayat TB

RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Pasien saat ini memiliki hubungan yang baik dengan keluarga, menggunakan BPJS
kelas III. Tidak ada riwayat penggunaan tato, seks bebas, maupun jarum suntik.

ANAMNESIS SISTEM
Sistem serebrospinal : Kelemahan anggota gerak bawah cum kesemutan dan tebal
dari pusat hingga tungkai
Sistem kardiovaskuler : tidak ada keluhan
Sistem respirasi : tidak ada keluhan
Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
Sistem muskuloskeletal : tidak ada keluhan
Sistem endokrin : tidak ada keluhan
Sistem integumentum : tidak ada keluhan

3
Sistem urogenital : tidak ada keluhan

RESUME ANAMNESIS
Laki-laki, 21 tahun, datang dengan keluhan kelemahan anggota gerak bawah onset
subakut progresif. Kelemahan disertai dengan rasa kesemutan dan tebal dari bawah pusat
hingga tungkai bawah. Pasien sebelumnya memiliki riwayat operasi kista pancreas.

DISKUSI 1
Dari hasil anamnesis pasien, didapatkan adanya keluhan kelemahan anggota gerak
bawah disertai rasa tebal dan kesemutan pada anggota gerak bawah. Keluhan telah dirasakan
sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit tetapi tidak didapatkan pemberatan keluhan setelah
itu. Oleh karena itu, didapatkannya ada defisit neurologis yang waktu bersamaan pada sistem
motorik, sensorik, mengarahkan ke kasus myelitis.
Myelitis transversa sendiri biasanya bersifat akut atau subakut, sangat jarang terjadi
pada kasus kronis. Gejala yang pertama kali muncul biasanya adalah perubahan sensasi
sensorik (39%), kelemahan anggota gerak (25%), dan nyeri (22%) (Greenberg et al., 2019).
Gejala motorik yang paling sering adalah paraparesis progresif yang bisa mencapai
ekstremitas atas apabila mengenai level medula spinalis tertentu, dengan awal berupa flasid
yang kemudian menjadi spastik apabila mengenai substantia alba. Pada substantia grisea
biasanya flasid menetap. Gejala sensorik yang paling sering adalah nyeri, disestesia dan
paraesthesia. Gejala otonom yang paling sering adalah urgensi urin, inkontinensia urin dan
alvi, retensi urin, retensi alvi, dan disfungsi seksual (Krishnan et al., 2006).
Penegakkan diagnosis dari myelitis transversa harus memenuhi beberapa kriteria. Tidak
semua dari kriteria di bawah ini harus terpenuhi, tetapi pada poin 1 – 3 merupakan poin yang
paling penting dan seharusnya ada pada pasien myelitis transversa (Transverse Myelitis
Consortium Working Group, 2002):
1. Disfungsi sensorik, motorik, atau otonom yang terkait lesi pada medula spinalis
2. Didapatkan perubahan sinyal T2 berupa hiperintens pada pemeriksaan MRI
3. Tidak didapatkan tandanya kompresi pada medula spinalis
4. Gejala dan kelainan bersifat bilateral
5. Level kelainan sensorik yang jelas
6. Adanya inflamasi yang ditandai dengan pleositosis pada CSF atau peningkatan
nilai IgG
7. Progresi hingga nadir berjalan dari 4 jam hingga 21 hari
Berdasarkan kriteria diagnosis di atas, maka pada pasien ini kriteria yang terpenuhi
adalah kriteria nomor 1 dan nomor 4. Untuk memenuhi kriteria lainnya, maka perlu
dilanjutkan kepada pemeriksaan fisik yang menekankan pada pemeriksaan :
1. Penentuan level sensorik (dengan tes sensibilitas)
2. Penentuan tipe kelemahan (apakah spastik atau flasid) dan tingkat kelemahan
(motorik dan reflek)
3. Pemeriksaan lain eksklusi penyebab lain : Lasegue atau Patrick untuk
mengeksklusi kejadian radikulopathy, tidak adanya stock & glove paraesthesia
untuk mengeksklusi polineuropati akibat Guillain-barre Syndrome atau
neuropati diabetikum

4
Berangkat dari pemeriksaan fisik tersebut, pemeriksaan penunjang yang sebaiknya
dilakukan adalah MRI medula spinalis dan pemeriksaan cairan serebrospinal. MRI yang
disarankan adalah MRI seluruh medula spinalis, baik dengan kontras maupun tidak. Pada
pasien dengan myelitis transversa akan didapatkan hiperintensitas lesi pada T2 serta dapat
ditemukan penyengatan kontras yang terjadi melewati lebih dari satu segmen. Tampakan
medula spinalis akan tampak membengkak pada level lesi (Bakshi et al., 1998). Pemeriksaan
cairan serebrospinal yang dilakukan adalah untuk melihat adanya pleositosis, infeksi,
glukosa, protein, VDRL, oligoclonal band, dan sitologi. Dengan pemeriksaan CSF kita dapat
menentukan apakah lesi bersifat inflamatorik atau non-inflamatorik. Selain itu, pemeriksaan
darah rutin hingga kultur darah juga diperlukan untuk mencari etiologi dari myelitis
transversa, apakah infeksi, atau sebuah proses autoimun (SLE, Rheumatoid), atau sebuah
myelopati akibat neoplasma.

DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis klinik : Kelemahan kedua anggota gerak bawah cum kesemutan
dan tebal kedua anggota gerak bawah hingga paha
Diagnosis topik : Medula Spinalis
Cauda Equinq
Diagnosis etiologi : Susp
1. Myelitis
2. Cauda Equina Syndrome

PEMERIKSAAN FISIK (10 Juni 2022)


Pemeriksaan umum
Keadaan Umum : Sedang, Gizi normal (BB=55 kg, TB=160cm,
IMT=21,48)
Kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6
Tanda Vital : T : 125/72 mmHg MAP = 87
N : 76 kali/menit, reguler, isi dan tekanan cukup
RR : 20 kali/menit
t : 36.8 0C
Kepala : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, faring
tidak hiperemis, malar rash (-)
Leher : Limfonodi tidak teraba, JVP tidak meningkat
Dada : Paru: sonor, irama vesikuler di seluruh lap paru,
Jantung: Konfigurasi kesan dalam batas normal, SI-II
reguler, bising negatif
Abdomen : Supel, timpani, peristaltik positif normal, hepar dan lien
tak teraba, massa tak teraba

5
Ekstremitas : Rash pada keempat ekstremitas, berbentuk bulat seperti
koin, multipel, berbatas tegas, kering.
Pemeriksaan Neurologis
Kesadaran : Kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6
Numeric Pain Scale : 0
Sikap Tubuh : Lurus, simetri
Gerakan Abnormal : Negatif
Kepala : Pupil isokor diameter 3/3 mm, refleks cahaya +/+, refleks kornea
+/+, DEP +, meningeal Sign (-)
Leher Kaku Kuduk (-) Meningeal sign (-)
NERVI KRANIALES KANAN KIRI
NI Daya penghiduan Normal Normal
N II Daya penglihatan >3/60 >3/60
Medan penglihatan Normal Normal
Pengenalan warna Normal Normal
Fundus okuli Normal Normal
Papil Edema (-) Edema (-)
Retina Normal Normal
Arteri/vena Normal Normal
Perdarahan (-) (-)
N III Ptosis negatif negatif
Gerakan mata Normal Normal
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Refleks cahaya langsung positif Positif
Refleks cahaya tidak langsung positif Positif
Refleks akomodasi positif Positif
N IV Strabismus divergen negatif negatif
Gerakan mata ke lateral bawah positif Positif
Strabismus konvergen negatif negatif
NV Menggigit positif Positif
Membuka mulut positif Positif
Sensibilitas muka Normal Normal
Refleks kornea positif Positif
Trismus negatif negatif
N VI Gerakan mata ke lateral positif Positif
Strabismus konvergen negatif negatif

6
Diplopia negatif negatif
N VII Kedipan mata positif Positif
Lipatan nasolabial positif Positif
Sudut mulut Simetris
Mengerutkan dahi positif positif
Mengerutkan alis positif positif
Menutup mata positif Positif
Meringis Simetris
Menggembungkan pipi positif positif
Daya kecap lidah 2/3 depan Normal Normal
Tik fasialis negatif Negatif
Lakrimasi Normal Normal
reflek visuo-palpebra positif positif
reflek glabella negatif
reflek aurikulo-palpebra positif positif
tanda myerson negatif
tanda chovstek negatif negatif
Bersiul positif
N VIII Mendengar suara berbisik positif positif
Mendengar detik arloji positif positif
Test Rinne Normal Normal
Test Weber Normal
Tes Schwabach Normal Normal
N IX Arkus faring simetris
Daya kecap lidah 1/3 belakang Normal Normal
Refleks muntah Normal Normal
Sengau - -
Tersedak - -
NX Denyut nadi 92 x/menit 92 x/menit
Arkus faring Simetris
Bersuara disfonia (-)
Menelan Normal Normal
N XI Memalingkan kepala positif positif
Sikap bahu Normal Normal
Mengangkat bahu Normal normal
Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi
N XII Sikap lidah Simetris midline
Artikulasi Normal

7
Tremor lidah negatif negatif
Menjulurkan lidah simetris
Trofi otot lidah eutrofi eutrofi
Fasikulasi lidah negatif negatif

Refleks Primitif:
Glabella : (-)
Palmomental : (-)
Sucking : (-)
Grasping : (-)
Snouting : (-)

Refleks Refleks
Gerak Kekuatan Klonus Trofi Tonus
Fisiologis Patologis
B B 5/5/5 5/5/5 +2 +2 + + Eu Eu N N
- -
T T 3/3/3 3/3/3 +2 +2 + - Eu Eu N N
Sensibilitas : Hipoestesi segmental setinggi Thorakal 12 ke bawah
Fungsi Vegetatif : Dalam batas normal
Keseimbangan : Dalam batas normal

Status Neurobehavior
Kewaspadaan : Normal
Pengamatan tingkah laku
1. Riwayat perubahan tingkah laku : ada
2. Status mental
- Tingkah laku dan keadaan umum : tenang, berpakaian rapi, sesuai umur
- Alur pembicaraan/cara berbicara : normal
- Mood dan afek : normal
- Isi pikiran : realistis
- Kapasitas intelektual : normal
3. Sensorium :
a. Kesadaran : compos mentis
b. Atensi : normal
c. Orientasi waktu, tempat, orang : normal
d. Memori jangka panjang dan pendek : normal
e. Kecerdasan berhitung : normal
f. Tilikan, keputusan dan rencana : normal
g. Fungsi visuospatial : normal

Pemeriksaan lain:
 MMSE : 29/30

8
 MocaINA : 28/30
 ADL :4
 IADL :4
 Barthel Index : 60 (Ketergantungan Sedang)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium:
DARAH RUTIN 09/06 14/06 17/06 Nilai Normal
Leukosit 17,5 16,9 14,5 4.50-11.50
Eritrosit 3,56 4,04 4,02 4.60-6.00
Hemoglobin 8,6 10,3 10,2 13.0-18.0
Hematokrit 27,9 33,8 33,9 40.0-54.0
Trombosit 879 541 377 150-450
Neutrofil 71,2 82,0 90,0 50.0-80.0
Limfosit 14,4 12,3 7,8 18.0-42.0
Monosit 10,1 5,6 7,8 2.0-11.0
Eosinofil 4,1 0,0 0,0 1.0-3.0
Basofil 0,2 0,1 0,1 0.0-2.0
Bil Total 0,45 < 1,20
Bil direk 0,36 0 – 0,20
Bil indirek 0,09
KIMIA DARAH
Albumin 3,27 3,11 2,82 3.97-5.00
SGOT 29,7 39,1 15-37
SGPT 35,4 80,4 16-63
BUN 19,8 30,7 6.0-20.0
Creatinin 0.872 0,792 0.8-1.30
Natrium 135 139 139 136-145
Kalium 3,82 4,32 3,88 3.5-5.10
Chlorida 96 104 107 98-107
Magnesium 1,95 1,60 1.6-2.4
Kalsium 2,1 1,9 2.15-2.55
GDS 69,7 74-140
APTT 31.4-40.8
INR 0.9-1.1
PPT 14.0-15.8

9
LDH 175 115 240-480
CRP > 150 <5
Amilase 233 28 – 100
Lipase 301 13 – 60

Urinalisis 15-06 Nilai Normal


Kimiawi
Urobilinogen Normal Normal
Darah +1 Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Protein +1 Negatif
pH 6.0 4.5 – 8.0
Leukosit Negatif Negatif
Esterase
Kreatinin 50 <50 mg/dL
Albumin 80 Normal
Berat Jenis 1.042 1.010 – 1.030
Kekeruhan Jernih Jernih
Eritrosit 38.8 < 23.0 sel/uL
Leukosit 5.3 < 25.0 sel/uL

Lumbal Pungsi 10-06-2022 Nilai Normal


Kejernihan Agak keruh Jernih
Jumlah Sel 2 0 – 5 sel
Sel PMN 0 0–6%
Sel MN 100 54 – 100 %
Kadar Protein Cairan 0.04 0.02 – 0.05 g/dl
Kadar Glukosa Cairan 77 50,0 – 80,0 mg/dl
None LCS negatif Negatif
Lactat LCS 2,07 1,10 – 2,40 mmol/L
Pandy positif Negatif
LDH 17 U/L

Pemeriksaan Mikrobiologi
Jenis Sampel : Cairan cerebrospinal
Hasil Pewarnaan : BTA (-), Genexpert (-)

10
Hasil Kultur : Tidak didapatkan bakteri
Uji Sensitivitas :-

2. EKG (10/06/2022)
Normal Sinus Rhytm

3. Ro Thorax (09/06/2022)

- Hasil : Diafragma bilateral letak tinggi curiga ec proses infradiafragma


- Pulmo tak tampak kelainan

11
- Besar cor tak valid dinilai

4. MRI Thorakal Lengkap Kontras (12/10/2020)

T2

T1 tanpa kontras

12
T1 dengan kontras

Hasil :
 Tak tampak transverse myelitis pada medula spinalis
 Tak tampak kelainan pada vertebra thoracalis
 Tak tampak bulging maupun protrusion discus intervertebralis
 Tak tampak gambaran stenosis foramina neuralis
 Tak tampak bulging maupun protrusio discus intervertebralis
 Tak tampak gambaran stenosis foramina neuralis

5. ENMG (20 Juni 2022)


Motor Conduction Study
N. Tibialis kanan dan kiri: latensi distal normal, amplitudo normal, KHST normal

F-wave
F-Wave tibialis kanan dan kiri: occurrence 30% dan 10%, latensi normal

Sensory Nerve Conduction Study


N. Suralis kanan dan kiri: latensi distal normal, amplitudo normal

H-Reflex
H- reflex soleus kanan: latensi memanjang, amplitudo menurun
H-reflex soleus kiri: latensi normal, amplitudo menurun

SSEP
Fossa poplitea (N10): latensi normal
Vertebra L3 (N21) : no response
Vertebra T12 (N25): no response

Kesimpulan : Hasil ENMG dan SSEP menunjukkan suatu blok konduksi pada perekaman
setinggi cauda equina

13
Hasil Konsultasi:

- Rehabilitasi Medik
Asesmen: Paraparesis spastik
Plan: Fisioterapi dan okupasi terapi

Resume Pemeriksaan
Keadaan umum : Compos mentis, E4V5M6
IMT= 21,48 (gizi cukup)
Tanda Vital : TD = 125/72 mmHg MAP =87
N= 76 kali/menit, reguler, isi dan tekanan cukup
RR= 20 kali/menit
Suhu= 36.8 0C
NPS = 0
Status neurologis : Paraparesis ekstremitas inferior
Refleks patologis Babinski positif bilateral
ADL :4
IADL :4
Barthel Index : 60 (Moderate dependent)
MMSE : 29/30
MocaINA : 29/30
Laboratorium : Anemia, hipoalbuminemia, ISK
EKG : Normal sinus rhytm
ENMG : mengarah suatu kondisi konduksi pada cauda equina
Ro thorax : Pulmo tak tampak kelainan, besar cor normal
MRI Thorakal : thorakal dalam batas normal

DISKUSI II
Dari pemeriksaan fisik didapatkan hasil berupa paraparesis inferior bilateral spastik
disertai dengan hipoestesi segmental setinggi T12 ke bawah. Ini menunjukkan bahwa lesi
mengenai medula spinalis bilateral, baik pada sisi anterior maupun posterior. Tidak
didapatkan adanya tanda Lasegue, Bragard, Sicard menunjukkan bahwa kemungkinan tidak
didapatkan lesi kompresi pada pasien semakin menegaskan ke arah myelitis. Pada
pemeriksaan MRI didapatkan lesi hiperintensitas pada T2 di bagian sentral dari medula
spinalis yang sesuai dengan gambaran MRI myelitis transversa. Namun pada pemeriksaan
CSF didapatkan hasil yang tidak terlalu signifikan yang ditandai dengan tidak adanya
pleiocytosis dan dari kultur bakteri tidak didapatkan pertumbuhan. Ini menunjukkan bahwa
penyebab myelitis kemungkinan bukan disebabkan oleh faktor infeksi tetapi dapat
disebabkan oleh adanya proses autoimun. Hal ini dipertegas dengan adanya hasil ANA IF
yang positif dan riwayat pengobatan SLE sejak tahun 2014.
Secara umum, etiologi dari myelitis dapat dibagi menjadi (Ropper et al., 2019):
1. Myelitis Viral

14
a. Enterovirus (Coxsackievirus A dan B, poliomyelitis,dll)
b. Herpes zoster
c. Myelitis pada AIDS
d. Epstein-Barr virus (EBV), cytomegalovirus (CMV), herpes simplex
e. Rabies
f. Arboviruses-Flaviviruses (Japanese, West Nile, etc)
g. HTLV-1(human T-cell lymphotropic virus type I)
2. Myelitis sekunder akibat infeksi bakteri, fungal, parasit, atau infeksi granuloma
dari meninges dan medula spinalis
a. Mycoplasma pneumoniae
b. Lyme disease
c. Pyogenic myelitis
i. Abses epidural akut dan granuloma
ii. Abses medula spinalis
d. Myelitis tuberkulosa
i. Pott disease dengan penekanan medula spinalis
ii. Meningomyelitis tuberkulosa
iii. Tuberkuloma medula spinalis
e. Infeksi parasit atau fungal yang mengakibatkan granuloma epidoral,
meningitis terlokalisir atau meningomyelitis dan abses, seperti
schistosomiasis
f. Myelitis sifilis
i. Chronic meningoradiculitis (tabes dorsalis)
ii. Chronic meningomyelitis
iii. Meningovascular syphilis
iv. Gummatous meningitis termasuk chronic spinal pachymeningitis
g. Myelitis sarcoidosis
3. Myelitis inflamatorik noninfeksi
a. Myelitis postinfeksius dan postvaksin
b. Multiple sclerosis akut, progresif, atau relaps kronis
c. Neuromyelitis optika (subacute necrotizing myelitis, NMO, anti-MOG,
Devic disease; longitudinally extensive myelopathy) oleh antibodi
terhadap aquaporin
d. Myelopathy pada lupus atau penyakit jaringan ikat lainnya atau
antiphospholipid antibody
e. Paraneoplastic myelopathy dan poliomyelitis
Penyebab myelitis paling sering disebabkan karena infeksi virus. Namun pada kasus
ini, kemungkinan penyebab bukan dikarenakan oleh infeksi virus. Infeksi oleh virus polio dan
herpes zoster terjadi pada ganglion dorsalis, yang merupakan bagian dari LMN. Pada kasus
didapatkan lesi terjadi pada bagian sentral dari medula spinalis. Enterovirus memiliki
prevalensi pada daerah cornu anterior dari medula spinalis atau nucleus motorik dari batang
otak. Pada kasus ini juga tidak sesuai karena lesi daerah cornu anterior akan menghasilkan
lesi flasid. Selain itu, myelitis virus juga biasanya disertai dengan gejala demam, gejala
sistemik, kadang memunculkan gejala kutaneus (vesikel pada herpes zoster). Namun, pada

15
kasus ini tidak didapatkan gejala demikian. Sehingga infeksi akibat viral dapat dieksklusi
(Ropper et al., 2019).
Selain virus, organisme lain juga dapat mengakibatkan lesi myelitis transversa. Myelitis
transversa oleh bakteri biasanya akan menghasilkan gambaran pleositosis, dominan
polimorphonuclear, peningkatan protein, penurunan glukosa, dan peningkatan laktat pada
pemeriksaan CSF. Selain itu, seringkali myelitis akibat bakteri juga disertai dengan reaksi
inflamasi pada meninges, yang ditandai dengan positifnya tanda meningeal. Selain dalam
bentuk peradangan meninges (leptomeningitis), infeksi bakteri dapat juga membentuk
gambaran lesi abses atau granuloma yang kemudian merusak medula spinalis. Pada kasus ini
kemungkinan akibat bakteri juga kecil karena hasil CSF tidak sesuai, tidak ada gejala
sistemik infeksi, dan tanda meningeal atau gambaran abses pada MRI yang negatif (Ropper et
al., 2019).
Myelitis noninfeksius lainnya dapat disebabkan oleh bagian sindroma dari multiple
sclerosis atau neuromyelitis optika. Pada MS, lesi myelitis biasanya berkembang lebih
lambat, membutuhkan waktu 1 – 3 minggu atau lebih panjang. Kemudian karena sifatnya
demyelinisasi, maka kesemmutan akan berjalan dari bagian sakral kemudian naik hingga ke
perut. Pada pemeriksaan CSF didapatkan limfositosis ringan, disertai dengan oligoclonal
band. Jika pada pasien didapatkan adanya keluhan gangguan pandangan kabur atau nyeri
pada gerakan bola mata, maka bisa saja disebabkan oleh neuromyelitis optika, suatu bagian
sindrome yang diakibatkan adanya autoimun terhadap aquaporin. Pada pemeriksaan klinis
dan CSF mirip dengan myelitis MS, akan tetapi seringkali oligoclonal band negatif dan
didapatkan antibodi positif terhadap aquaporin. Pada kasus ini, MS atau NMO dikatakan
sebagai penyebab myelitis pada kasus ini masih kecil dikarenakan keluhan sensori pasien
langsung mengenai hingga paha, kemudian tidak adanya lesi cerebral atau nervus optikus
mengakibatkan penegakkan diagnosis menjadi lebih sulit.
Oleh karena itu, yang paling memungkinkan pada pasien ini adalah berhubungan
dengan kondisi dari SLE pasien. SLE merupakan penyakit autoimun kronis yang menyerang
hampir semua organ tubuh. Salah satu marker, yaitu antinuclear antibodi (ANA) merupakan
tampakan khas dari penyakit ini. SLE ditegakkan dengan kriteria oleh SLICC, yang
mengharuskan adanya 4 dari 17 kriteria, terutama 1 kriteria klinis dan 1 kriteria imunologis;
atau didapatkan nefritis lupus yang tegak oleh biopsi (Bertsias et al., 2013). Berdasarkan studi
epidemiologi, manifestasi klinis neurologis dari SLE yang paling sering adalah berupa
gangguan kognitif, stroke, kejang, nyeri kepala, dan neuropati perifer (Schur 2020). Myelitis
transversa termasuk salah satu bentuk neurologis yang jarang ditemukan. Seringkali myelitis
transversa ditemukan sebagai gambaran awal dari SLE, tetapi onset myelitis SLE seringkali
muncul saat lupus pasien aktif (D’Cruz et al. 2004). Penyebab patologi dari SLE adalah
akibat arteritis yang kemudian menyebabkan nekrosis iskemik dari medula spinalis (Kovac et
al., 2000). Pada pemeriksaan MRI seringkali didapatkan lesi hiperintens pada T2 disertai
edema terlokalisir dan pada pemeriksaan CSF didapatkan sedikit peningkatan protein dan
pleositosis limfositis ringan (Boumpas et al., 1990).
Selain oleh SLE, myelitis transversa juga dapat disebabkan oleh penyakit autoimun lain
seperti mixed connective tissue disorder (MCTD), stiff syndorme, dan Sjogren Syndrome.
Gejala klinis myelitis pada pasien di atas mirip dengan autoimun SLE. Penegakkan diagnosis
juga menggunakan MRI (hiperintensitas T2) dan CSF, kemudian ditegakkan kembali dengan

16
pemeriksaan antibodi spesifik dan gejala klinis autoimun yang menyertai. Pada Sjogren
Sydrome, didapatkan klinis mata kering dan mulut kering. Pada Behcet disease, dapat
ditemukan gejala klinis luka pada genital dan mulut, uveitis, arthropati, deep vein thrombosis.
Pada MCTD, didapatkan beberapa tampakan klinis pasien SLE, scleroderma, dan
polymyositis (Trebst et al., 2011).
Pada pasien ini, kausa autoimun masih belum dapat ditegakkan. Berdasarkan krietria
SLICC, hanya terdapat 2 lesi klinis (lesi neurologi dan lesi kulit) serta 1 kriteria imunologis
(nilai ANA meningkat). Karena hanya ditemukan 3 kriteria, maka belum bisa memenuhi
kriteria SLICC yang menghendaki adanya 4 kriteria terpenuhi. Oleh karena itu, pada pasien
ini kasus autoimun yang paling memungkinkan adalah MCTD, karena belum bisa
dimasukkan sebagai definitif SLE.

DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis klinik : Paraparesis spastik onset kronis cum hipoestesia
segmental thorakal 12 ke bawah onset subakut progresif
Diagnosis topis : Medula spinalis dan cauda equina
Diagnosis etiologi : Myelitis dan cauda equina syndrome

DAFTAR MASALAH
1. Diagnosis penegakkan etiologi kasus myelitis transversa
2. Manajemen kasus myelitis transversa

DISKUSI III
Pada myelitis yang disebabkan oleh proses autoimun, apapun kausa autoimunnya
manajemen umumnya sama yaitu dengan menggunakan dosis steroid tinggi. Steroid yang
digunakan adalah methylprednisolone sebanyak 1 gram per hari diberikan secara terus
menerus 5 hari. Jika tidak didapatkan respon atau hanya respons parsial, maka steroid dapat
diulang atau bahkan dinaikkan hingga 2 gram per hari selama 5 hari kembali. Setelah itu
dapat diberikan secara oral prednisone dengan dosis 1mg/kgBB dan diturunkan secara
perlahan hingga dosis minimal dengan penyakit terkendali (Trebst et al., 2011).
Pada kasus yang tidak terkendali dengan pemberian steroid, atau kondisi serangan yang
berat, pemberian plasma exchange dapat dipertimbangkan. Kombinasi pemberian plasma
exchange ditambah steroid memiliki efek yang lebih baik dibandingkan hanya steroid saja.
Selain plasma exchange, pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) juga memberikan
hasil yang mirip pada kasus myelitis transversa. Namun, penggunaannya belum sebanyak
plasma exchange sehingga IVIG dapat diberikan pada pasien yang tidak bisa mendapatkan
plasma exchange (Kitley et al., 2012).
Selanjutnya, perlu penanganan khusus juga terkait penyakit autoimun sistemik yang
dialami pasien. Pada kasus SLE dapat diberikan DMD (disease-modifying drugs) seperti agen
imunosupresif, antimalarial. Pada SLE agen imunosupresan yang dapat digunakan seperti
hydroxychloroquie atau chloroquin, mycophenolate mofetil, azathioprine, siklophosphamide,
atau rituximab. Pada pasien dengan MCTD biasanya sensitif dengan pemberian
kortikosteroid, tetapi dapat ditambah agen imunosupresan lainnya (Wallace, 2020). Pada

17
subjek dengan lesi lupus berupa lesi kutaneus, dapat diberikan vitamin D. Hal ini dikarenakan
perlunya pasien menghindari paparan matahari pada kulit (Cusack et al., 2008).

PENATALAKSANAAN
Non-Medikamentosa
1. Fisioterapi dan mobilisasi aktif
2. Cukupi kebutuhan cairan 30 cc/kgBB/hari
3. Hindari paparan matahari langsung

Medikamentosa
Inf NaCl 0,9% 16 tpm
Inj Dexamethasone bolus 5 mg/6 jam i.v. tapoff per 3 hari
Inj Lansoprazole 30 mg/24 jam i.v.
Inj. Mecobalamin 500 mcg/12 jam i.v.
Tablet diazepam 2 mg/12 jam p.o.
Inj. Ceftriaxone 1 gram/12 jam
Tablet mofetil mycophenolate 2 x 180 mg p.o.
Vitamin E 2 x 1 tablet p.o.
Tablet citicholin 500 mcg/12 jam p.o

DISKUSI IV
Pasien dengan myelitis transversa biasanya bisa mencapai kepulihan parsial, yang
biasanya dimulai dari 1 hingga 3 bulan dan dapat dilanjutkan dengan terapi latihan dan
rehabilitas. Penyembuhan total dapat membutuhkan waktu beberapa tahun. Disabilitas
permanen didapatkan pada 40 persen subjek, terutama dengan onset yang sangat cepat dan
disertai dengan spinal syok biasanya memiliki prognosis yang lebih buruk. Rekurensi,
terutama pada pasien dengan myelitis transversa idiopatik dapat terjadi hingga 25 – 33 persen
pasien, terutama yang memiliki antibodi MOG atau aquaporin 4. Rekurensi dapat terjadi
terutama pada pasien dengan gejala awal sebagai berikut : lesi ekstensif pada medula spinalis
dengan pemeriksaan MRI, didapatkan lesi otak pada MRI, adanya antibodi autoimun (ANA,
dsDNA, antiphospholipid, c-ANCA), didapatkan penyakit jaringan ikat penyerta, didapatkan
oligoclonal band, serta didapatkan antibodi persisten NMO-IgG dan anti-MOG-IgG
(Borchers & Gershwin, 2012). Pada kasus myelitis akibat SLE, kemungkinan untuk terjadi
rekurensi berulang dari myelitis adalah 41.7% (Ahn et al., 2018). Sebanyak 60% dapat
mengalami kepulihan total atau mendekati nilai normal dalam 1 tahun

PROGNOSIS
Death : ad bonam
Disease : ad bonam
Disability : ad malam
Discomfort : ad malam
Dissatisfaction : ad malam
Destitution : ad malam

18
DAFTAR PUSTAKA

Ahn SM, Hong S, Lim DH, et al. 2018. Clinical features and prognoses of acute trasnverse
myelitis in patients with systemic lupus erythematosus. Korean journal of Internal
Medicine; 34(2):pp. 442-451.
Bakshi R, Kinkel PR, Mechtler LL, Bates VE, Lindsay BD, Esposito SE, et al. 1998.
Magnetic resonance imaging findings in 22 cases of myelitis: comparison between
patients with and without multiple sclerosis. European Journal of Neurology ;5(1):35
Bertsias GK, Pamfil C, Fanouriakis A, Boumpas DT. 2013. Diagnostic criteria for systemic
lupus erythematosus: has the time come? Nature Review Rheumatology;9(11):pp 687
Borchers AT & Gershwin ME. 2012. Transverse myelitis. Autoimmune Reviews;11(3): pp
231 – 248.
Boumpas DT, Patronas NJ, Dalakas MC, et al. 1990. Acute transverse myelitis in systemic
lupus erythematosus: magnetic resonance imaging and review of the literature. Journal
of rheumatology; 17: 89.
Cusack C, Danby C, Fallon JC, et al. 2008. Photoprotective behaviour and sunscreen use:
impact on vitamin D levels in cutaneus lupus erythematosus. Photodermatology,
photoimmunology, and photomedicine;24(5): pp. 260.
D’Cruz DP, Mellor-Pita S, Joven B, et al. 2004. Transverse myelitis as the first manifestation
of systemic lupus erythematosus or lupus-like disease: good functional outcome and
relevance of antiphospholipid antibodies. Journal of Rheumatology ; 31: 280.
Greenberg BM, Krishnan C, Harder L, et al. 2019. New onset transverse myelitis diagnostic
accuracy and patient experiences. Multiple Sclerosis and Related Disorders; 30:42
Kitley JL, Leite MI, George JS, et al. The differential diagnosis of longitudinally extensive
transverse myelitis. Multiple Sclerosis Journal 2012; 18(3): pp. 271-285
Kovacs B, Lafferty TL, Brent LH, et al. 2000. Transverse myelopathy in systemic lupus
erythematosus: an analysis of 14 cases and review of the literature. Annual
Rheumatology Disorder; 59: 120
Krishnan C, Kaplin AI, Pardo CA, Kerr DA, Keswani SC. 2006. Demyelinating disorders:
update on transverse myelitis. Current Neurology and Neuroscience Reports ;6(3):pp
236.
Ropper AH, Samuels MA, Klein JP, Prasad S. 2019. Adams and Victors: Principles of
Neurology. 11th edition. McGraw-Hill Education: Philadelphia.
Schur PH. 2020. Neurologic manifestations of systemic lupus erythematosus. Uptodate.
Transverse Myelitis Consortium Working Group. 2002. Proposed diagnostic criteria and
nosology of acute transverse myelitis. Neurology;59(4):pp.499
Trebst C, Raab P, Voss EV, et al. 2017. Longitudinal extensive transverse myelitis – It’s not
all neuromyelitis optica. Nature Reviews Neurology;7: pp 688 – 698.

19

Anda mungkin juga menyukai