Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. W
Umur : 60 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kluwihan 4/4 Sidomukti Bandungan Kab. Semarang
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SD
Status Martial : Menikah
Cara Bayar : Umum
Bangsal : Wijaya Kusuma
No. RM : 146xxx-xxxx
Masuk RS : 28 Mei 2018, pukul 21.40
Keluar RS : 4 Juni 2018, pukul 16.00

B. DATA DASAR
Diperoleh dari pasien serta keluarga pasien dilakukan secara
(autoalloanamnesis) tanggal 1 Juni 2018, pukul 16.00 di bangsal Wijaya
Kusuma.

C. KELUHAN UTAMA :
Kejang

D. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :


Pasein awalnya mengeluhkan demam 16 hari SMRS. Demam naik
turun dengan suhu tinggi pada malam hari dan turun pada siang hari.
Kemudian pasien berobat ke Rumah Sakit Umum setelah pasien diperiksa
dokter mendiagnosis pasien dengan thypoid dan meyarankan pasien untuk

1
dirawat, beberapa hari kemudian keluhan semakin berkurang dan pasien
merasa sedikit membaik, pasien diperbolehkan untuk pulang.
4 hari SMRS pasien demam tinggi dirasakan kembali, rasa lemas dan
letih, nafsu makan berkurang, daya ingat menurun, badan pegal-pegal. Tidak
ada kejang, rasa baal di tubuh, kelemahan anggota gerak tangan atau kaki,
nyeri kepala, mual dan muntah, pusing berputar, BAK lancar, urin berwarna
kuning, tidak ada nyeri saat BAK. BAB lancar, feses berwarna kuning
kecoklatan, tidak ada darah, lendir di feses. Kemudian keluarga membawa
pasien ke RSUD Ambarawa dirawat dengan Dokter Penanggung Jawab Pasien
(DPJP) adalah dokter spesialis penyakit dalam. Selama 2 hari pasien dirawat
dengan febris H+4 pasien mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
Kemudian dokter memutuskan untuk konsul ke dokter spesialis saraf.

E. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :


a. Riwayat kejang: disangkal
b. Riwayat sakit serupa: disangkal
c. Riwayat hipertensi: disangkal
d. Riwayat diabetes mellitus: disangkal
e. Riwayat karies dentis: disangkal
f. Riwayat sinusitis: disangkal
g. Riwayat infeksi telinga: disangkal
h. Riwayat infeksi salurah kemih: disangkal
i. Riwayat infeksi saluran cerna: disangkal
j. Riwayat batuk lama atau kontak dengan penderita TBC: disangkal,
sesak nafas disangkal. Menurut pasien dan keluarga, tidak ada
anggota keluarga, tetangga yang sedang mengalami atau memiliki
riwayat batuk lama/TBC atau sedang dalam pengobatan batuk
selama 6 bulan. Batuk berdarah disangkal. Pasien mengalami
keringat pada malam hari dan penurunan berat badan kurang lebih 1
bulan terakhir.
k. Riwayat konsumsi minuman beralkohol: disangkal
2
l. Riwayat konsumsi obat-obatan terlarang: disangkal

F. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA :


a. Riwayat sakit serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
d. Riwayat batuk lama : disangkal

G. RIWAYAT PRIBADI SOSIAL EKONOMI :


Pasien bekerja sebagai petani. Pasien tinggal bersama istri dan 2
anaknya. Pasien bukan perokok aktif maupun pasif pasien juga tidak
mengonsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang. Biaya hidup
ditanggung oleh diri sendiri. Kesan ekonomi cukup.

H. ANAMNESIS SISTEM :
a. Sistem Serebrospinal
Penurunan kesadaran (+), kejang (+), demam(+), mual (-), muntah (-),
pingsan (-), kelemahan anggota gerak (-), perubahan tingkah laku (-),
wajah merot (-), bicara pelo (-), kesemutan/baal (-).
b. Sistem Kardiovaskuler
Riwayat hipertensi (-), riwayat sakit jantung (-), nyeri dada (-)
c. Sistem Respirasi
Sesak napas (-), batuk (-), riwayat sesak napas (-)
d. Sistem Gastrointestinal :
Mual (-), muntah (-), makan-minum (-), BAB (n)
e. Sistem Muskuloskeletal
Kelemahan anggota gerak (-)
f. Sistem Integumen
Ruam merah (-)
g. Sistem Urogenital
BAK (n)
3
I. RESUME ANAMNESI :
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis. Pasien 60 tahun datang
ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan demam tinggi yang berulang
dengan suhu naik turun, disertai rasa lemas dan letih, nafsu makan berkurang,
daya ingat menurun, badan pegal-pegal. Keluhan mulai timbul sejak 4 hari
SMRS dan memberat tiap harinya. Hal inilah yang menjadikan sebagai alasan
keluarga pasien membawa pasien ke RSUD Ambarawa.
Saat di follow up pasien mengalami penurunan kesadaran dan selalu
mengantuk disertai kejang sebanyak 3 kali dengan jarak antara kejang 1-3 jam
dan lama waktu -/+ 1 menit, pasien mengalami kejang di seluruh tubuh
dengan posisi tangan dan kaki menekuk, demam tinggi, leher dan pundak
pasien terasa berat dan kaku, pingsan (-), fotopobia (-), nyeri kepala (-).
Kemudian keluarga pasien mengatakan pasien sering mengantuk atau tidur
dan berkomunikasi kurang baik. Selama 1 minggu dirawat inap di RSUD
Ambarawa keluhan belum berkurang, kemudian keluarga pasien memutuskan
untuk merawat pasien dirumah.

J. DIAGNOSIS SEMENTARA :
Diagnosis Klinis : Penurunan kesadaran, febris, kejang
Diagnosis Topis : Meningens dan parenkim otak
Diagnosis Etiologi : Ensefalopati ec infeksi (Bakteri, Virus, Jamur) dd
gangguan elektrolit, metabolic

K. DISKUSI 1
Berdasarkan autolloanamnesa, pasien dan keluarga mengeluhkan
demam dengan suhu naik turun. Demam adalah kenaikan suhu tubuh yang
ditandai oleh kenaikan titik ambang regulasi panas hipotalamus, dapat
disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Penyebab paling
umum dari demam adalah infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Suhu
badan pasien dirasakan meningkat pada malam hari dan turun pada siang hari
demam tersebut termasuk dalam tipe demam septik. Keluarga pasien juga
4
mengatakan pasien mengalami kejang, penurunan kesadaran dan
berkomunikasi kurang baik. Kejang merupakan sebuah perubahan perilaku
yang bersifat sementara dan tiba-tiba yang merupakan hasil dari aktivitas
listrik yang abnormal didalam otak, terjadi karena adanya pergeseran nilai
normal yang menyeimbangkan eksitasi dan inhibisi didalam susunan saraf
pusat, karena terlalu banyak faktor yang dapat mempengaruhi nilai normal
eksibilitas susunan saraf pusat maka ada banyak penyebab yang dapat
menimbulkan kejang. Kemudian dapat disertai dengan gangguan metabolisme
seperti uremia, hipoglikemia, hiperglikemia, dan gagal hati, toksik seperti
overdosis dan sindrom withdrawal, dan infeksi seperti meningitis dan
ensefalitis.
Penurunan kesadaran adalah kegawatan neurologi yang menjadi
petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai “final common
pathway” dari gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan
mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian. Penurunan kesadaran
menjadi pertanda disregulasi dan disfungsi otak dengan kecenderungan
kegagalan seluruh fungsi tubuh.
Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di
kedua hemisfer serebri dan Ascending Reticular Activating System (ARAS)
yang terdapat dibatang otak. ARAS merupakan suatu rangkaian atau network
system yang dari kaudal berasal dari medulla spinalis menuju rostral yaitu
diensefalon melalui brain stem sehingga kelainan yang mengenai lintasan
ARAS tersebut akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran.
Rasa berat dan kaku pada leher serta pundak pasien merupakan salah
satu gejala rangsangan meningeal. Adanya rangsangan abnormal pada
meningens bisa menyebabkan nyeri menjalar sampai ke leher dan pundak,
serta menyebabkan kontraksi otot-otok ekstensor tengkuk atau leher belakang.
Keluhan ini disebut juga dengan istilah kaku kuduk.
Secara garis besar penyebab penurunan kesadaran dapat dibagi menjadi
3, yaitu:
1. Penurunan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk
5
Contoh : gangguan iskemik, gangguan metabolik, intoksikasi, infeksi
sistemis, hipertermia, dan epilepsi
2. Penurunan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku kuduk
Contoh : perdarahan subarakhnoid, radang selaput otak dan jaringan otak
(meningoencephalitis)
3. Penurunan kesadaran dengan kelainan fokal
Contoh : tumor otak, perdarahan otak, infark otak, dan abses otak
Berdasarkan gejala kemungkinan penurunan kesadaran yang dialami
oleh pasien saat ini disebabkan karena meningoensefalitis karena tanpa adanya
lateralisasi dan ditemukan adanya demam yang menandakan adanya suatu
reaksi infeksi.
Meningoensefalitis adalah merupakan proses inflamasi pada parenkim
otak dan selaput otak. Hal ini dapat menimbulkan disfungsi neuropsikologis
difus dan/atau fokal yang menyebabkan gangguan pada ARAS sehingga
mengakibatkan penurunan kesadaran.
4 hari SMRS pasien demam tinggi dirasakan kembali, rasa lemas dan
letih, nafsu makan berkurang, daya ingat menurun, badan pegal-pegal.
Keluhan tersebut merupakan gejala prodromal penyakit infeksi akut. Gejala
prodromal ini bersifat sistemik dan tidak spesifik, sehingga dari gejala
tersebut belum bisa dipastikan letak atau fokus infeksi yang terjadi pada
pasien.

MENINGOENSEFALITIS
A. Definisi
Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama
lainnya yaitu cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis.1
Meningitis adalah radang umum pada araknoid dan piameter yang
disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa yang dapat terjadi secara akut dan
kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat
disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa, jamur, atau virus.2

6
Pada ensefalitis, reaksi radang mencapai cairan serebrospinal (CSS)
dan menimbulkan gejala-gejala iritasi meningeal di samping gejala-gejala
yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada beberapa agen etiologi dapat
menyerang meninges maupun otak misalnya enterovirus.3,4 Meningitis dibagi
menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak
yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah
radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan yang jernih.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah Mycobacterium tuberculosa,
Toxoplasma gondii, Ricketsia dan virus. Meningitis purulenta adalah radang
bernanah araknoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis.
Penyebabnya antara lain: Diplococcus pneumonia (pneumokokus), Neisseria
meningitidis (meningokok), Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus
aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Pseudomonas aeuruginosa.2

B. Epidemiologi

Sering terjadi pada penduduk dengan sosio-ekonomi rendah.


Insiden meningkat individu dengan usia ekstrim (terlalu muda atau terlalu
tua) dan individu dengan penurunan sistem imun.
Berdasarkan penelitian epidemiologi mengenai infeksi sistem saraf
pusat di Asia, pada daerah Asia Tenggara, meningitis yang paling

sering dijumpai adalah meningitis tuberkulosis2.

Di Indonesia, Meningitis/Ensefalitis merupakan penyebab kematian


pada semua umur dengan urutan ke 17 (0,8%) setelah malaria.
Meningitis/Ensefalitis merupakan penyakit menular pada semua umur
dengan proporsi 3,2%. Sedangkan proporsi Meningitis/Ensefalitis
merupakan penyebab kematian bayi pada umur 29 hari-11 bulan dengan
urutan ketiga yaitu (9,3%) setelah diare (31,4%) dan pneumoni (23,8%).
Proporsi Meningitis/Ensefalitis penyebab kematian pada umur 1-4 tahun
yaitu (8,8%) dan merupakan urutan ke-4 setelah Necroticans Entero
7
Colitis (NEC) yaitu (10,7%)1.

C. Etiologi

Dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, parasit.


Meningoensefalitis paling sering terjadi akibat infeksi :

 Bakteri : Mycobacterium Tuberculosis

 Virus : Tick-borne meningoencephalitis

 Jamur : Kriptococcus neoformans


Parasit : Naegleria fowleri Pada individu dewasa imunokompeten,
S. pneumonia dan N. meningitidis adalah pathogen utama penyebab MB,
karena kedua bakteri tersebut memiliki kemampuan kolonisasi nasofaring
dan menembus sawar darah otak (SDO). Basil gram negatif seperti
Escherichia coli, Klebsiella spp, Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, dan Pseudomonas spp biasanya merupakan penyebab
MB nosokomial, yang lebih mudah terjadi pada pasien kraniotomi,

kateterisasi ventrikel internal ataupun eksternal, dan trauma kepala8.

D. Faktor Resiko

 Fraktur kepala terbuka

 Sinusitis

 Otitis

 Mastoiditis

 Tuberkulosis

 HIV dan keadaan immunocompromised lainnya.

E. Patofisiologi
Dalam proses perjalanan penyakit meningitis yang disebabkan oleh
bakteri, invasi organisme harus mencapai ruangan subarachnoid. Proses ini
8
berlangsung secara hematogen dari saluran pernafasan atas dimana di dalam
lokasi tersebut sering terjadi kolonisasi bakteri. Walaupun jarang, penyebaran
dapat terjadi secara langsung yaitu dari fokus yang terinfeksi seperti
(sinusitis, mastoiditis, dan otitis media) maupun fraktur tulang kepala.6
Organisme yang umum menyebabkan meningitis (seperti
N.Meningitidis, S.pneumoniae, H. influenzae) terdiri atas kapsul polisakarida
yang memudahkannya berkolonisasi pada nasofaring anak yang sehat tanpa
reaksi sistemik atau lokal. Infeksi virus dapat muncul secara sekunder akibat
penetrasi epitel nasofaring oleh bakteri ini. Selain itu melalui pembuluh
darah, kapsul polisakarida menyebabkan bakteri tidak mengalami proses
opsonisasi oleh pathway komplemen klasik sehingga bakteri tidak terfagosit.6
Pada perjalanan patogenesis meningitis bakterial terdapat fase
bakterial dimana pada fase ini bakteri mulai berpenetrasi ke dalam cairan
serebropsinal melalui pleksus choroid. Cairan serebrospinal kurang baik
dalam menanggapi infeksi karena kadar komplomen yang rendah dan hanya
antibody tertentu saja yang dapat menembus barier darah otak.2
Dinding bakteri gram positif dan negatif terdiri atas zat patogen yang
dapat memacu timbulnya respon inflamasi. Asam teichoic merupakan zat
patogen bakteri gram positif dan lipopolisakarida atau endotoksin pada gram
negatif. Saat terjadinya lisis dinding sel bakteri, zat-zat pathogen tersebut
dibebaskan pada cairan serebrospinal.7
Terapi antibiotik menyebabkan pelepasan yang signifikan dari
mediator dari respon inflamasi. Adapun mediator inflamasi antara lain sitokin
(tumor necrosis factor, interleukin 1, 6, 8 dan 10), platelet activating factor,
nitric oxide, prostaglandin, dan leukotrien. Mediator inflamasi ini
menyebabkan terganggunya keseimbangan sawar darah otak, vasodilatasi,
neuronal toxicity, peradangan meningeal, agregasi platelet, dan aktifasi
leukosit. Sel endotel kapiler pada daerah lokal terjadinya infeksi meningitis
bacterial mengalami peradangan (vaskulitis), yang menyebabkan rusaknya
agregasi vaskuler. Konsekuensi pokok dari proses ini adalah rusaknya

9
mekanisme sawar darah otak, edema otak, hipoperfusi aliran darah otak, dan
neuronal injury.8
Akibat kerusakan yang disebabkan oleh respons tubuh terhadap
infeksi, agen anti-inflamasi berbagai telah digunakan dalam upaya untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas meningitis bakteri. Hanya
deksametason yang telah terbukti efektif.2
Meningitis viral atau meningitis aseptik adalah infeksi umum pada
sebagian besar infeksi sistem saraf pusat khususnya pada anak-anak < 1
tahun. Enterovirus adalah agen penyebab paling umum dan merupakan
penyebab penyakit demam tersering pada anak. Patogen virus lainnya
termasuk paramyxoviruses, herpes, influenza, rubella, dan adenovirus.
Meningitis dapat terjadi pada hampir setengah kejadian dari anak-anak < 3
bulan dengan infeksi enterovirus. infeksi enterovirus dapat terjadi setiap saat
selama tahun tetapi dikaitkan dengan epidemi di musim panas dan gugur.
Infeksi virus menyebabkan respon inflamasi tetapi untuk tingkat yang lebih
rendah dibandingkan dengan infeksi bakteri. Kerusakan dari meningitis viral
mungkin karena adanya ensefalitis terkait dan tekanan intrakranial
meningkat.1
Ensefalitis adalah penyakit yang sama dari sistem saraf pusat.
Penyakit ini adalah suatu peradangan dari parenkim otak. Seringkali, terdapat
agen virus yang bertanggung jawab sebagai promotor. Masuknya virus terjadi
melalui jalur hematogen atau neuronal. Ensefalitis yang sering terjadi adalah
ensefalitis yang ditularkan oleh gigitan nyamuk dan kutu yang terinfeksi
virus. Virus berasal dari, Flavivirus, dan Bunyavirus keluarga Togavirus.
Jenis ensefalitis yang paling umum terjadi di Amerika Serikat adalah La
Crosse virus, ensefalitis virus kuda timur, dan St Louis virus. Seringkali,
penyebab ensefalitis ini menyebabkan tanda-tanda dan gejala yang sama.
Konfirmasi dan diferensiasi berasal dari pengujian laboratorium. Namun,
manfaatnya terbatas pada sejumlah patogen diidentifikasi.3
Ensefalitis dapat ditularkan dengan cara lain. Ensefalitis Herpetic dan
rabies adalah dua contoh, di mana penularan masing-masing terjadi melalui
10
kontak langsung dan gigitan mamalia. Dalam kasus ensefalitis herpes,
terdapat bukti reaktivasi virus dan transmisi intraneuronal sehingga
menyebabkan ensefalitis.3

F. Gejala Klinis
Gabungan dari gambaran meningitis dan ensefalitis.
Meningitis : Kaku kuduk, sakit kepala, demam, gangguan
penglihatan/fotofobia.
Ensefalitis : Kejang, penurunan kesadaran, peningkatan TIK,
defisit neurologis (gangguan motorik dan sensorik), atau gejala psikiatrik.
Neonatus memiliki gambaran klinik berbeda dengan anak dan
orang dewasa. Meningitis karena bakteri pada neonatus terjadi secara akut
dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu
makan berkurang, minum sangat berkurang, konstipasi, diare. Kejang
terjadi pada lebih kurang 44% anak dengan penyebab Haemophilus
influenzae, 25% oleh Streptococcus pneumonia, 78% oleh streptokok dan
10% oleh infeksi meningokokus. Gangguan kesadaran berupa apatis,
letargi, renjatan, koma. Pada bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2
tahun) yaitu demam, malas makan, muntah, mudah terstimulasi, kejang,
menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk dan tanda
Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak-anak dan remaja terjadi demam
tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti oleh perubahan sensori,
fotofobia, mudah terstimulasi dan teragitasi, halusinasi, perilaku agresif,
stupor, koma, kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak
yang lebih besar dan orang dewasa permulaan penyakit juga terjadi akut
dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum,
kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung. Biasanya dimulai dengan
gangguan saluran pernafasan bagian atas. Selanjutnya terjadi kaku kuduk,
opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi dan takikardi karena

septikimia4,15.
Meningitis yang disebabkan Mumpsvirus ditandai dengan anoreksia dan
11
malaise, diikuti pembesaran kelenjar parotid sebelum terjadinya invasi ke
susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus
ditandai dengan keluhan sakit kepala, sakit tenggorok, nyeri otot, dan
demam, disertai dengan timbulnya ruam kulit makulo papular yang

tidak disertai gatal terdapat pada wajah, leher, dada dan badan7.
Keluhan utama pada penderita ensefalitis yaitu sakit kepala,
demam, kejang disertai penurunan kesadaran. Ensefalitis yang
disebabkan oleh infeksi Famili Togavirus (memiliki gejala yang sangat
bervariasi, mulai dari yang tanpa gejala sampai terjadinya sindrom
demam akut disertai demam berdarah dan gejala-gejala sistem saraf
pusat). Western Equine Virus (WEE) pada umumnya menimbulkan
infeksi yang sangat ringan, gejala pada orang dewasa dapat berupa letargi,
kaku kuduk dan punggung, serta mudah bingung dan koma yang tidak
tetap. Gejala berat pada anak berupa konvulsi, muntah dan gelisah, yang
sesudah

sembuh akan menimbulkan cacat fisik dan mental yang berat10.


Gejala yang
mungkin tampak dengan penyebab Japanese B enchephalitis virus
adalah panas mendadak, nyeri kepala, kesadaran yang menurun, fotofobi,
gerak tidak terkoordinasi, hiperhidrosis. Pemeriksaan laboratorium
berupa uji serologis
misalnya ELISA terhadap bahan atau cairan serebrospinal menunjukkan
adanya IgM. Uji fiksasi komplemen menunjukkan nilai titer yang

meningkat 4 kali lipat15.


Pada umumnya terdapat 4 jenis atau bentuk manifestasi klinik, yaitu:
1. Bentuk asimtomatik
Umumnya gejalanya ringan, vertigo, diplopia. Diagnosis hanya
ditegakkan atas pemeriksaan CSS.
2. Bentuk abortif
Gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan kaku

12
kuduk ringan. Umumnya terdapat gejala-gejala seperti infeksi
saluran pernafasan bagian atas atau gastrointestinal.
3. Bentuk fulminant
Bentuk ini berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari yang
berakhir dengan kematian. Pada stadium akut terdapat demam
tinggi, nyeri kepala difus yang hebat, apatis, kaku kuduk, sangat
gelisah dan dalam waktu singkat masuk ke dalam koma yang
dalam.
4. Bentuk khas ensefalitis
Bentuk ini mulai secara bertahap dengan gejala awal nyeri kepala
ringan, demam, gejala infeksi saluran nafas bagian atas. Kemudian
muncul tanda radang Sistem Saraf Pusat (SSP) seperti kaku kuduk,
tanda Kernig positif, gelisah, lemah, sukar tidur. Selanjutnya
kesadaran mulai menurun sampai koma, dapat terjadi kejang fokal
atau umum, hemiparesis, gangguan koordinasi, gangguan bicara,
gangguan mental. Saraf Pusat (SSP) seperti kaku kuduk, gangguan
bicara, gangguan mental.

G. Pemeriksaan Fisik
Beberapa hal yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik pasien
dengan meningoensefalitis antaralain:
1. Kesadaran menurun
2. Panas
3. Tanda-tanda kaku kuduk dengan tanda kernig dan Brudzinsky positif
4. Pada anak : adanya fontanella mencembung
5. Bisa dengan parese nervi kranialis
6. Hemiparesis
7. Adanya rash, kemungkinan karena bakteri atau virus
8. Fotofobia
9. Dapat disertai defisit neurologis

13
H. Pemeriksaan Penunjang5
Bertujuan untuk mengetahui penyebab infeksi: diperlukan untuk terapi
kausatif.
1) Pemeriksaan laboratorium : darah rutin, serologi, PCR
Pada pemeriksaan darah, MB disertai dengan peningkatan
leukosit dan penanda inflamasi, dan kadang disertai hipokalsemia,
hiponatremia, serta gangguan fungsi ginjal dengan asidosis
metabolik. Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) bersifat
sensitif terhadap Streptococcus pneumoniae dan Neisseria

meningitidis8.
2) Lumbal pungsi 
Analisi LCS, kultur LCS
Tekanan pembukaan saat pungsi lumbal berkisar antara 20-50
cmH2O. Pencitraan otak harus dilakukan secepatnya untuk
mengeksklusi lesi massa, hidrosefalus, atau edema serebri yang
merupakan kontraindikasi relatif pungsi lumbal. Jika pencitraan
tidak dapat dilakukan, pungsi lumbal harus dihindari pada pasien
dengan gangguan kesadaran, keadaan immunocompromised
(AIDS, terapi imunosupresan, pasca-transplantasi), riwayat penyakit
sistem saraf pusat (lesi massa, stroke, infeksi fokal), defisit
neurologik fokal, bangkitan awitan baru, atau papil edema yang

memperlihatkan tanda-tanda ancaman herniasi8.

Kontraindikasi relatife lumbal pungsi antara lain5:


 Kemungkinan adanya peningkatan tekanan intracranial
 Trombositopenia atau diatesis perdarahan lainnya (termasuk
terapi antikoagulan yang sedang berlangsung)
 Diduga abses epidural spinal

14
Tabel 1 Perbandingan karakteristik LCS pada meningitis yang berbeda8.

3) Pemeriksaan radiologi :
 Foto polos untuk mengetahui fokus atau
sumber infeksi (ex : paru, mastoiditis, nasalis,
periodontal,dll).

 CT-Scan dengan kontras untuk melihat ada atau


tidaknya fokus lesi fokal pada otak. CT-Scan perlu
dilakukan untuk mengeksklusikan kontraindikasi
relatif fungsi lumbal.

 MRI Menentukan ada atau tidaknya


abnormalitas dan fokus lesi pada tahap awal.

 Pemeriksaan EEG Diindikasikan pada pasien


yang mengalami kejang.

I. Penatalaksanaan6
Terapi antibiotik diberikan secepatnya setelah didapatkan hasil kultur.
Pada orang dewasa, Benzylpenicillin G dengan dosis 1-2 juta unit diberikan
secara intravena setiap 2 jam. Pada anak dengan berat badan 10-20 kg.
Diberikan 8 juta unit/ hari, anak dengan berat badan kurang dari 10 kg
diberikan 4 juta unit/ hari.Ampicillin dapat ditambahkan dengan dosis 300-

15
400mg/ KgBB/ hari untuk dewasa dan 100-200 mg/ KgBB/ untuk anak-anak.
Untuk pasien yang alergi terhadap penicillin, dapat diberikan sampai 5 hari
bebas panas.

J. Prognosis4
Prognosis meningoensefalitis bergantung pada kecepatan dan
ketepatan pertolongan, di samping itu perlu dipertimbangkan pula
mengenai kemungkinan penyulit seperti hidrosefalus, gangguan mental,
yang dapat muncul selama perawatan. Bila meningoensefalitis
(tuberkulosa) tidak diobati, prognosisnya jelek sekali. Penderita dapat
meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Angka kematian pada umumnya 50%.
Prognosisnya jelek pada bayi dan orang tua. Prognosis juga tergantung
pada umur dan penyebab yang mendasari, antibiotik yang diberikan,
hebatnya penyakit pada permulaannya, lamanya gejala atau sakit sebelum
dirawat, serta adanya kondisi patologik lainnya. Tingkat kematian virus
mencakup 40-75% untuk herpes simpleks, 10-20% untuk campak, dan 1%

untuk gondok4. Penyakit pneumokokus juga lebih sering menyebabkan


gejala sisa jangka panjang (kurang dari 30% kasus) seperti
hidrosefalus, palsi nervus kranials, defisit visual dan motorik, serta
epilepsi. Gejala sisa penyakit terjadi pada kira- kira 30% penderita yang
bertahan hidup, tetapi juga terdapat predileksi usia serta patogen, dengan
insidensi terbesar pada bayi yang sangat muda serta bayi yang terinfeksi
oleh bakteri gram negatif dan S. pneumoniae. Gejala neurologi tersering
adalah tuli, yang terjadi pada 3-25% pasien; kelumpuhan saraf kranial pada
2-7% pasien; dan cedera berat seperti hemiparesis atau cedera otak umum
pada 1-2% pasien. Lebih dari 50% pasien dengan gejala sisa neurologi
pada saat pemulangan dari rumah sakit akan membaik seiring waktu, dan
keberhasilan dalam implan koklea belum lama ini memberi harapan bagi
anak dengan kehilangan pendengaran.

16
K. Komplikasi
Komplikasi dari meningitis tuberkulosa adalah hidrosefalus,
epilepsi, gangguan jiwa, buta karena atrofi N.II, kelumpuhan otot yang
disarafi N.III, N.IV, N.VI, hemiparesis. Komplikasi dari meningitis
purulenta adalah efusi subdural, abses otak, hidrosefalus, paralisis

serebri, epilepsi, ensefalitis, tuli, renjatan septik4.


SIADH (Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion)
A. Definisi
SIADH merupakan kumpulan gejala akibat gangguan hormon
antidiuretik atau yang lebih dikenal dengan Inappropriate ADH syndrome,
Schwartz-Bartter syndrome. SIADH dapat didefiisikan sebagai Gangguan
produksi hormon antidiuretik ini menyebabkan retensi garam atau
hiponatremia.9

B. Etiologi10
SIADH sering terjadi pada pasien gagal jantung atau dengan
gangguan hipotalamus (bagian dari otak yang berkoordinasi langsung dengan
kelenjar hipofise dalam memproduksi hormone). Pada kasus lainnya, missal:
beberapa keganasan (ditempat lain dari tubuh) bisa merangsang produksi
hormon anti diuretik, terutama keganasan di paru dan kasus lainnya seperti
dibawah ini:
a. Kelebihan vasopressin
b. Peningkatan tekanan intracranial baik pada proses infeksi maupun trauma
pada otak.
c. Obat yang dapat merangsang atau melepaskan vasopressin (vinuristin,
cisplatin, dan ocytocin)
d. Penyakit endokrin seperti insufislensi adrenal,dan insufisiensi pituitary
anterior
e. Tumor pituitary terutama karsinoma bronkogenik/ karsinoma pancreatic
yang dapat mensekresi ADH secara ektopic(salah tempat)

17
f. Cidera Kepala
g. Pembedahan(dapat memunculkan SIADH sesaat)
h. Obat- obatan seperti: cholorpropamid(obat yang menurunkan gula darah),
Carbamazepine (obat anti kejang), Tricilyc (antidepresan), Vasopressin
dan oxytocin ( hormon anti deuretik buatan ).
i. Meningitis

Faktor Pencetus :
a. Trauma Kepala
b. Meningitis.
c. Ensefalitis.
d. Neoplasma.
e. Cedera Serebrovaskuler.
f. Pembedahan.
g. Penyakit Endokrin.

C. Manifestasi Klinis9
Gejala yang sering muncul adalah:
1. Hiponatremi (penurunan kadar natrium )
2. Mual, muntah, anorexia, diare
3. Takhipnea
4. Retensi air yang berlebihan
5. Letargi
6. Penurunan kesadaran sanpai koma.
7. Osmolalitas urine melebihi osmolalitas plasma , menyebabkan produksi
urine yang kurang terlarut.
8. Ekskresi natrium melalui urine yangberkelanjutan
9. Penurunan osmolalitas serum dan cairan ekstraselular
Tanda dan gejala yang dialami pasien dengan SIADH tergantung pada
derajat lamanya retensi air dan hiponatremia . perlu dilakukan pemeriksaan

18
tingka osmolalitas serum , kadar BUN, kreatinin, Natrium, Kalium, Cl dan tes
kapasitas pengisian cairan:
1. Na serum >125 mEq/L.
a. Anoreksia.
b. Gangguan penyerapan.
c. Kram otot.
2. Na serum = 115 – 120 mEq/L.
a. Sakit kepala, perubahan kepribadian.
b. Kelemahan dan letargia.
c. Mual dan muntah.
d. Kram abdomen.
3. Na serum < 115 mEq/L.
a. Kejang dan koma.
b. Reflek tidak ada atau terbatas.
c. Tanda babinski.
d. Papiledema.
e. Edema diatas sternum.

D. Patofisiologi
Hormon Antidiuretik (ADH) bekerja pada sel-sel duktus koligentes
ginjal untuk meningkatkan permeabilitas terhadap air. Ini mengakibatkan
peningkatan reabsorbsi air tanpa disertai reabsorbsi elektrolit. Air yang
direabsorbsi ini meningkatkan volume dan menurunkan osmolaritas cairan
ekstraseluler (CES). Pada saat yang sama keadaan ini menurunkan volume
dan meningkatkan konsentrasi urine yang diekskresi.10
Pengeluaran berlebih dari ADH menyebabkan retensi air dari tubulus
ginjal dan duktus. Volume cairan ekstra selluler meningkat dengan
hiponatremi delusional.Dimana akan terjadi penurunan konsentrasi air dalam
urin sedangkan kandungan natrium dalam urin tetap,akibatnya urin menjadi
pekat.10

19
Dalam keadaan normal, ADH mengatur osmolaritas serum. Bila
osmolaritas serum menurun, mekanisme feedback akan menyebabkan inhibisi
ADH. Hal ini akan mengembalikan dan meningkatkan ekskresi cairan oleh
ginjal untuk meningkatkan osmolaritas serum menjadi normal.9
Terdapat berapa keadaan yang dapat mengganggu regulasi cairan
tubuh dan dapat menyebabkan sekresi ADH yang abnormal . Tiga mekanisme
patofisiologi yang bertanggung jawab akan SIADH , yaitu:9
a. Sekresi ADH yang abnormal sari system hipofisis. Mekanisme ini
disebabkan olehkelainan system saraf pusat, tumor, ensafalitis , sindrom
guillain Barre. Pasien yang mengalami syok, status asmatikus, nyeri hebat
atau stress tingkat tinggi, atau tidak adanya tekanan positif pernafasan juga
akan mengalami SIADH.
b. ADH atau substansi ADH dihasilkan oleh sel-sel diluar system supraoptik
hipofisis , yang disebut sebagai sekresi ektopik ( misalnya pada infeksi).
Kerja ADH pada tubulus ginjal bagian distal mengalami pemacuan
bermacam-macam obat-obat menstimulasi atau mempotensiasi pelepasan
ADH . obat-obat tersebut termasuk nikotin , transquilizer, barbiturate,
anestesi umum, suplemen kalium, diuretic tiazid , obat-obat hipoglikemia,
asetominofen , isoproterenol dan empat anti neoplastic : sisplatin,
siklofosfamid, vinblastine dan vinkristin.

CSWS (Cerebro Salt Wasting Syndrome)10


A. Definisi
CSWS didefinisikan dengan perkembangan natriuresis yang
berlebihan dimana terjadi pada pasien dengan penyakit intrakranial. Ini
menyebabkan hiponatremia dan ekstraseluler penipisan volume.

B. Etiologi
Hiponatremia terjadi dalam konteks sentral gangguan sistem saraf yang
disebabkan oleh CSWS. Antara bukti pendukung:

20
Keseimbangan negatif natrium mendahului atau terjadi membangun
perkembangan hiponatremia dalam banyak kasus pasien dengan penyakit
intrakranial. Banyak dari pasien ini menunjukkan kontraksi ekstraseluler
volume, yang tidak sesuai dengan SIADH. Pasien-pasien ini menunjukkan
respon yang baik terhadap pengobatan dengan penggantian cairan dan garam
daripada cairan larangan. Menurut beberapa data yang tersedia, kejadian
CSWS bisa sama atau bahkan melebihi SIADH di pasien yang menjalani
bedah saraf (11–13). Namun, dalam artikel yang baru-baru ini diterbitkan pada
pasien dengan subarachnoid haemorrhage (SAH), SIADH adalah penyebab
paling umum hiponatremia setelah SAH.

C. Patofisiologi
Mekanisme di mana penyakit intrakranial mengarah ke pengeluaran air garam
pada ginjalmasih belum jelas, meskipun beberapa hipotesis melibatkan
pelepasan faktor natriuretik (atrial peptida natriuretik (ANP), peptida
natriuretik otak (BNP), peptida natriuretik tipe-C dan sejenis oubain peptida)
bersama dengan penurunan input simpatik ke ginjal. Faktor-faktor ini
meningkatkan natrium pada ekskresi urin dan mengurangi volume darah arteri
yang efektif, yang merangsang baroreseptor pada pengeluaran ADH. Tidak
seperti SIADH, pelepasan vasopresin dalam CSWS adalah memadai
menanggapi penurunan volume.
Penurunan input simpatis ke ginjal mungkin menjelaskan reabsorpsi natrium
yang diubah oleh distal nefron, karena sistem simpatis (SNS) terlibat baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam garam dan air yang ditangani
oleh ginjal. SNS memainkan peran kunci untuk kontrol renin rilis dan
penurunan nada simpatik menyebabkan menurunnya kadar renin dan
aldosteron hipovolemia. Ini akan menjelaskan hiponatremia dan natriuresis
observed pada CSWS. Terlepas dari penyimpanan yang diubah simpatik ke
ginjal, pelepasan satu atau lebih banyak faktor natriuretik berkontribusi
terhadap hilangnya natrium di CSWS; ANPAN yang BNP berkontribusi pada
sekresi garam karena efek penghambatan langsung garam transportasi di
21
tubulus pengumpul distal. Natriuretik peptida juga bertanggung jawab untuk
renin yang menurun dan pelepasan aldosterone. Dari natriuretik yang
disebutkan di atas faktor, BNP mungkin yang paling terlibat dalam
pengeluaran garam oleh ginjal.

D. Penatalaksanaan
Perawatan hiponatremia sekunder harus dimulai setelah diagnosis banding
antara CSWS dan SIADH telah ditetapkan. Kapan mengobati pasien dengan
hiponatremia, hal ini penting untuk Ingatlah faktor-faktor berikut: keparahan
dan kronologi penyakit, dan manifestasi klinisnya.
Pada pasien dengan kadar natrium serum HAI <120 mEq/l. hiponatremia atau
koreksi jarang meninggalka efek setelahnya, tetapi gejala neurologis mungkin
signifikan jika osmolalitas serum menurun dengan cepat. Dalam kasus
hiponatremia akut (<48 jam dalam durasi), gejala muncul jika hiponatremia
berat (<120 mEq/l). Dalam kasus yang parah, ada risiko tinggi komplikasi
neurologis dan hiponatremia harus segera diperbaiki. Sebaliknya, dalam kasus
hiponatremia kronis (> 48 jam dalam durasi), yang memiliki gejala neurologis
minimum, ada risiko rendah komplikasi oleh hiponatremia itu sendiri; dalam
kasus ini, koreksi cepat dapat menyebabkan komplikasi neurologis yang serius
seperti demielinisisasi.
Perawatan di SIADH melibatkan pembatasan cairan. Tingkat pembatasan
akan tergantung pada kadar natrium serum. Capsulari et al. telah menyarankan
kisaran berikut sesuai dengan kadar natrium plasma: antara 130 dan 134 mEq /
l, tidak lebih dari 1200 ml / hari, antara 126 dan130, satu pasang fluidi
saround 800 ml dan itu akan berada di bawah 600 ml setiap kali natraemia
adalah < 125 mEq/1. Furosemide ditambahkan ke perawatan ketika
konsentrasi natrium <128 mEq / l pada pasien bergejala sehingga kadar
natrium serum mereka cepat kembali ke normal. Larutan garam hipertonik
tiga persen hanya akan diberikan kepada pasien dengan tanda klinis dan
biokimia hiponatremia berat (konsentrasi natrium serum <120). Tingkat infus

22
larutan garam hipertonik 3% akan ditentukan sesuai dengan tingkat natrium
plasma dan menggunakan formula yang diterbitkan dalam setiap kasus.
Dalam kasus hiponatremia sekunder akibat insufisiensi adrenal (kondisi
seperti SIADH), pengobatan harus dilengkapi dengan hidrokortison.
Perawatan di CSWS melibatkan penggantian garam dan cairan. Kapan pun
konsentrasi natrium> 130 mEq / l, pengobatan spesifik tidak diperlukan.
Antara 125 dan 130 mEq / l, penggantian natrium dapat dilakukan dengan
pemberian larutan garam fisiologis (0,9%) atau garam dalam pil (1-3 g / hari.
Penggunaan larutan garam hipertonik akan dibatasi pada situasi-situasi di
mana konsentrasi natrium serum <120 mEq / l. Fludrocortisone, karena aksi
mineralokortikoidnya, mungkin bermanfaat pada dosis 0,1-0,4 mg / hari.
Koreksi cepat hiponatremia dapat menyebabkan myelinolysis pontine atau
extrapontine. Batas koreksi maksimum ditetapkan pada 1–2 mEq / l per jam
dan totalnya tidak boleh melebihi 25 mEq / l selama 48 jam pertama.
Beberapa penulis menyarankan batas koreksi yang lebih kecil: maksimum 12
mEq / l selama 24 jam pertama, 18 mEq / l selama 48 jam pertama. atau tidak
lebih dari 0,7 mEq / l per jam. Pada pasien dengan peningkatan risiko
mielinolisis pons sentral (yaitu pasien yang menderita malnutrisi atau
alkoholisme), tingkat koreksi harus <8 mEq / l per 24 jam.

Diagnosis banding SIADH dan CSWS


Evaluasi klinis yang teliti dan tes laboratorium harus dilakukan untuk dapat
membedakan gangguan keduanya. Faktor diferensial utama adalah volume
ekstraseluler status: hipovolemia pada CSWS dan euvolaemia atau
hypervolaemia pada SIADH. Menurunnya dextra sel volume dengan garam
negatif dan keseimbangan air adalah kuncinya faktor diagnostik CSWS yang
membedakannya dari SIADH. Gejala penipisan volume ekstraseluler termasuk
beberapa tanda yang tidak spesifik seperti anoreksia, muntah, mual, apatis,
dan kelelahan. Temuan klinis yang relevan hipotensi, peningkatan turgiditas
kulit, mata cekung, selaput lendir kering, kurangnya keringat aksila,
tachycardia dan hipotensi ortostatik. Dalam kasus pasien yang dipantau
23
dengan tekanan kapiler paru atau tekanan vena sentral, kapiler paru rendah (<8
mmHg) atau tekanan vena sentral (<6 mmHg) menyarankan volume
ekstraseluler terkontrak.
Baik penilaian konsentrasi serum ADH- trations atau peptida natriuretik
berguna untuk membedakan kedua gangguan ini. Peningkatan kadar ADH
dapat menyebabkan SIADH atau mereka dapat menjadi konsekuensi dari
penipisan volume ekstraseluler dan hipoosmolalitas disebabkan oleh CSWS.
Baik tingkat keparahan maupun onset hiponatremia memungkinkan
diferensiasi dari dua gangguan ini, meskipun, dalam CSWS, konsentrasi
natrium sering lebih rendah sebagai akibat dari natriuresis yang berlebihan.
Kedua kondisi mencapai puncak insidensi maksimumnya sekitar hari ketujuh
setelah operasi. Aliran tingkat kemih meningkat pada CSWS karena
natriuresis, dan menurun pada SIADH karena berlebihan Sekresi ADH.
Penting untuk memperhitungkan bahwa dalam beberapa kasus hiponatremia
dapat didukung oleh kondisi campuran SIADH dan CSWS.
Data klinis dan biokimia yang memungkinkan perbedaan antara SIADH dan
CSWS ditunjukkan dalam Tabel

L. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 1 Juni 2018, pukul 16.00 WIB.
Status Generalis :
24
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : Somnolen. GCS 12
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 92 x / menit
Nafas : 20x/menit
Suhu : 37,7oC
SpO2 : 99%
Status Gizi : kesan cukup

Status Internus :
a. Kepala:
Mesocephal, nyeri kepala (-), hematoma (-)
b. Mata:
Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
3mm/3mm, edema pupil (-/-), reflek pupil direk (+/+), reflek pupil
indirek (+/+), reflek kornea (+/+), ptosis (-)
c. Telinga:
Serumen (-/-), sekret (-/-), nyeri mastoid (-/-)
d. Hidung:
Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), septum deviasi (-/-)
e. Mulut:
Bibir sianosis (-), karies dentis (-)
f. Leher:
Simetris, pembesaran KGB (-), tiroid (normal)
g. Thorak:
1) Cor :
- Inspeksi : Tidak tampak ictus cordis
- Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC IV LMCS
- Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : Bunyi jantung I & II + normal, bising -, gallop –

25
2) Pulmo :
Depan Dextra Sinistra
Inspeksi Pergerakan simetris, retraksi (-) Pergerakan simetris, retraksi (-)
Palpasi Vokal fremitus normal kanan = Vokal fremitus normal kanan =
kiri kiri
Perkusi
Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi
SD paru vesikuler (+), suara SD paru vesikuler (+),suara
tambahan paru: wheezing (-), tambahan paru: wheezing (-),
ronki (-) ronki (-)

3) Abdomen :
- Inspeksi : Dinding abdomen datar, spider naevi (-), warna
kulit sama dengan warna kulit sekitar
- Auskultasi : Bising usus + normal
- Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, ascites (-)
- Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), hepar & lien tidak teraba
h. Ekstremitas :
1) Atas : Oedem (-/-), CRT <2 detik, akral dingin (-/-).
2) Bawah : Oedem (-/-), CRT <2 detik, akral dingin (-/-).

Status Neurologis :
1. GCS 13 : E3 M6 V4
2. Tanda rangsangan meningeal :
- Kaku kuduk (+)
- Brudzinsky I (-)
- Brudzinsky II (+)
- Kernig (-)
3. Tanda peningkatan tekanan intrakranial :
- Muntah proyektil (-)
- Sakit kepala progresif (-)
4. N. Kranialis :
26
Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri
N. I. Olfaktorius Daya penghidu Tidak dapat Tidak dapat
dilakukan dilakukan
(TDL) (TDL)
N. II. Optikus Daya penglihatan TDL TDL
Pengenalan warna TDL TDL
Lapang pandang TDL TDL
N. III. Ptosis TDL TDL
Okulomotor Gerakan mata ke medial TDL TDL
Gerakan mata ke atas TDL TDL
Gerakan mata ke bawah TDL TDL
Ukuran pupil 2 mm 2mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya konsensual + +
N. IV. Troklearis Strabismus divergen TDL TDL
Gerakan mata ke lat-bwh TDL TDL
Strabismus konvergen TDL TDL
N. V. Trigeminus Menggigit TDL TDL
Membuka mulut TDL TDL
Sensibilitas muka TDL TDL
Refleks kornea TDL TDL
Trismus TDL TDL
N. VI. Abdusen Gerakan mata ke lateral TDL TDL
Strabismus konvergen TDL TDL
N. VII. Fasialis Kedipan mata TDL TDL
Lipatan nasolabial Simetris
Sudut mulut Simetris
Mengerutkan dahi TDL TDL
Menutup mata TDL TDL

27
Meringis TDL TDL
Menggembungkan pipi TDL TDL
Daya kecap lidah 2/3 ant TDL
N. VIII. Mendengar suara bisik TDL TDL
Vestibulokoklearis Mendengar bunyi arloji TDL TDL
Tes Rinne TDL TDL
Tes Schwabach TDL TDL
Tes Weber TDL TDL
N. IX. Arkus faring TDL TDL
Glosofaringeus Daya kecap lidah 1/3 post TDL
Refleks muntah TDL
Sengau TDL
Tersedak TDL
N. X. Vagus Denyut nadi 94 x/menit
Arkus faring TDL TDL
Bersuara TDL
Menelan TDL
N. XI. Aksesorius Memalingkan kepala TDL TDL
Sikap bahu TDL TDL
Mengangkat bahu TDL TDL
Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi
N. XII. Sikap lidah TDL
Hipoglossus Artikulasi TDL
Tremor lidah TDL
Menjulurkan lidah TDL TDL
Trofi otot lidah TDL
Fasikulasi lidah TDL

28
5. Pemeriksaan Motorik
SDN SDN SDN SDN
Gerakan SDN SDN Kekuatan SDN SDN
SDN SDN Eu Eu
Tonus SDN SDN Trofi Eu Eu

Refleks Fisiologi + + Refleks Patologis - -


+ + - -
6. Fungsi Sensorik
- Eksteroseptif : TDN
- Proprioseptif : TDN
7. Fungsi otonom : BAK dan BAB tidak ada keluhan

M. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
a. Tanggal 29 Juni 2018, 18.50
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Hematologi
Hemoglobin 13,1 (L) 13,2 - 17,3 g/dl
Leukosit 7,3 3,8-10,6 Ribu
Eritrosit 4,86 4,4-5,9 Juta
Hematokrit 40,0 40-52 %
Trombosit 262 150-400 Ribu
MCV 82,3 82-98 fL
MCH 27,0 27-32 Pg
MCHC 32,7 32-37 g/dl
RDW 15,0 10-16 %
MPV 8,1 7-11 mikro m3
Limfosit 0,71 (L) 1,0-4,5 103/mikro m3
Monosit 0,63 0,2-1,0 103/mikro m3

29
Eusinofil 0,06 0,04-0,8 103/mikro m3
Basofil 0,01 0-02 103/mikro m3
Neutrofil 5,85 1,8-7,5 103/mikro m3
Limfosit% 9,8 (L) 25 - 40 %
Monosit% 8,7 2-8 %
Eusinofil% 0,8 (L) 2-4 %
Basofil% 0,2 0-1 %
Neutrofil% 80,5 (H) 50- 70 %
PCT 0,212 0,2 - 0,5 %
PDW 6,2 (L) 10 - 18 %
GDS 155 (H) 74 - 106 mg/dL
Serologi
Anti Salmonella 0 <=2: Negatif -
IgM 3: Boderline
4-5: Positif
Lemah
=> 6: Positif
Kuat

b. Tanggal 31 Mei 2018, 20.58


Urin Rutin
Warna urin Kuning -
Kekeruhan Jernih -
Protein urin Negatif Negatif g/l
Glukosa urin Negatif Negatif Mmol/L
pH 5,0 5-9 -
Bilirubin urin Negatif Negatif Umol/L
Urobilinogen Negatif Negatif Umol/L
Berat Jenis Urin 1.015 1.000-1.030 -
Keton Urin Negatif Nrgatif Mmol/L

30
Leukosit Negatif Negatif Sel/mL
Eritrosit Negatif Negatif Sel/mL
Nitrit Negatif Negatif -
Sedimen
Epitel 10.0 <4 /LPB
Eritrosit 14,4 <5 /LPB
Leukosit 8,5 <5 /LPB
Silinder 0,12 <0,47 /LPK
Kristal 0,3 Negatif /LPB
Lain-lain Bakteri 1,9 <23 -
Sperma 0,0 Negatif -
Konduktivity 7,5 Negatif -

c. Tanggal 30 Mei 2018, 13.43


Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Kimia Klinik
Ureum 28,3 10-50 mg/dl
Kreatinin 0,79 0,62-1,1 mg/dl
Glukosa Sewaktu 143 74-105 mg/dl
Na + K + Cl
Natrium 116 (L) 136-146 mmol/L
Kalium 3,3 (L) 3,9-5,1 mmol/L
Chlorida 9,8 98-106 mmol/L
FT4 1,63 0,9-2,0 mg/dl
TSH 0,30 (L) 0,5-50 u/ml3
FT3 1,46 (H) 0,2-0,25 ng/dl
Serologi
HbA1C 5,61 Normal:4-6% %
Terkontrol
baik: <7%

31
Kurang baik:
7-8%
Dm tidak
terkontrol:
>8%

d. Tanggal 1 Juni 2018, 16.59


Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Kimia Klinik
Ureum 34,9 10-50 mg/dl
Kreatinin 0,64 0,62-1,1 mg/dl

e. Tanggal 3 Juni 2018, 13.43


Urin Rutin
Warna urin Kuning -
Kekeruhan Agak keruh -
Protein urin Negatif Negatif g/l
Glukosa urin Negatif Negatif Mmol/L
pH 6,5 5-9 -
Bilirubin urin Negatif Negatif Umol/L
Urobilinogen Negatif Negatif Umol/L
Berat Jenis Urin 1.015 1.000-1.030 -
Keton Urin Negatif Nrgatif Mmol/L
Leukosit Negatif Negatif Sel/mL
Eritrosit +/- 10 Negatif Sel/mL
Nitrit Negatif Negatif -
Sedimen
Epitel 6,8 <4 /LPB
Eritrosit 37,7 <5 /LPB
Leukosit 12,9 <5 /LPB

32
Silinder 0,84 Negatif /LPK
Kristal 110,2 Negatif /LPB
Lain-lain Bakteri 147,2 -

2. X foto thorax PA (30 Mei 2018)

Gambar 1.1. X foto thorax PA


Hasil :
- Cor tidak membesar
- Cenderung gambaran TB paru

3. Pemeriksaan CT Scan Kepala Kontras (2 Juni 2018)


Hasil:
- Tak tampak massa Intra Sinus Para Nasal dan cavum nasi yang pada
post pemberian kontras tak tampak adanya penyengatan
- Tak tampak lesi Hyperdens parenkhim otak
- Tak tampak lesi Hyperdens pada parenkhim otak
- Tak tampak massa pada Parenkhim Otak yang pada post pemberian
kontras tak tampak adanya penyengatan
- Tak tampak Midline schiffting
33
- Ventrikel lateralis Dx/Sn Cornu Anterior, Posterior, 3 dan 4 DBN
- Fissura Sylvii Dx/Sn dan Falk Cerebri DBN
- Sulcus sempit dan Gyrus lebar
- Tak tampak kalsifikasi Ganglion Basalis Dx/Sn
- Pons dan Cerevellum DBN
Kesan:
- Tak tampak gambaran meningoenchepalitis
- Tak tampak kelainan pada parenkhim otak
- Tak tampak massa intra cavum nasi
- Tak tampak Sinusitis Para Nasal

34
Gambar 1.3. CT Scan Kepala Kontras
N. DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis Klinis : Penurunan Kesadaran, kejang, px rangsang
meningeal (+)
Diagnosis Topis : Meningens dan parenkim otak
Diagnosis Etiologi : Meningoensefalitis ec infeksi bakterial (spesifik,
non spesifik)

O. DISKUSI 2
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kesadaran pasien E3M5V4 (somnolen)
yang menunjukkan penurunan kesadaran. Tanda vital pasien, tekanan darah
140/80 menunjukkan hipertensi grade 1 menurut JNC 7. RR 20 x/ menit. Suhu
37,7oC menunjukkan keadaan demam.
Pemeriksaan rangsang meningens, yaitu kaku kuduk dan kernig
dengan hasil positif menunjukkkan bahwa telah terjadi rangsangan abnormal
pada selaput otak (meningens). Rangsangan abnormal ini bisa disebabkan
karena adanya peradangan, perdarahan, ataupun tumor pada selaput otak.
Tetapi pada anamnesis pasien tidak ditemukan adanya gejala perdarahan
maupun tumor pada selaput otak, sehingga kemungkinan penyebabnya
35
adalah infeksi pada selaput otak pasien.
Pasien mengalami penurunan kesadaran dengan GCS 12. Kondisi
pasien yang masih kooperatif dan dapat mengikuti perintah dilakukan
pemeriksaan neurologi yang menunjukkan bahwa tidak dijumpai kelainan
pemeriksaan nervus kranial, motoric, sensibilitas dan fungsi vegetatif. Hal
ini menandakan bahwa tidak adanya kerusakan pada jaras nervus kranial,
jaras UMN-LMN, jaras sensoricneural, dan fungsi saraf otonom (simpatis
dan parasimpatis).
Pemeriksaan laboratorium darah dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan lain yang menyebabkan pasien mengalami penurunan
kesadaran serta untuk membantu menegakkan diagnosis pasti pasien.
Ditemukan peningkatan FT3 (1,46) dan penurunan TSH (0,30), Natrium (116),
Kalium (3,3) menunjukan adanya kelaianan hormon yang menyebabkan
penurunan elektrolit. Kemudian pada pemeriksaan urine rutin ditemukan
peningkatan bakteri (147,2) menandakan adanya infeksi saluran kemih,
terutama infeksi karena bakteri.
Keadaan hiponatremi pada pasien disebabkan karena SIADH (Syndrome
Inappropriate Anti Diuretic Hormone) adalah keadaan dimana sekresi ADH
yang berlebihan, karena adanya infeksi otak yang menyebabkan stimulus
langsung ADH pada hipofisis. ADH yang berlebih akan menyebabkan retensi air
pada intrasel dan tidak mampu mereabsorbsi natrium. Sehingga natrium
tertumpuk di ekstra sel dan menyebabkan hiponatremi. Retensi air yang
berlebihan dapat menyebabkan sel-sel, termasuk sel glia, sel tunica intima dan
akson menjadi edem atau bengkak.
Pada rontgen thorax ditemukan gambaran TB paru. Infeksi yang
terjadi pada sistem pernafasan pasien dicurigai menjadi sumber infeksi yang
menyebabkan meningoensefalitis pada pasien. mikroorganisme penyebab
infeksi paru tersebut dicurigai menyebar secara hematogen hingga
melewati BBB sehingga menimbulkan peradangan pada parenkim dan selaput
otak pasien. Pada foto CT scan dengan kontras hasilnya tidak ada kelainan
structural pada otak.
36
Hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan mendukung diagnosis meningoensefalitis. Namun untuk
mengetahui diagnosis dan etiologi pasti harus dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut yaitu pemeriksaan sputum BTA S-P-S untuk mengkonfirmasi apakah
pasien terinfeksi TB atau tidak, lumbal pungsi untuk menegakkan diagnosis
pasti penyebab meningoensefalitis pada pasien.
Pada kasus ini diusulkan kultur, serta tes sensitifitas LCS. Analisis LCS
digunakan untuk mengetahui karakteristik mikroorganisme penyebab infeksi.
Kultur digunakan untuk mengetahui secara pasti mikroorganisme penyebab
infeksi. Tes sensitifitas dilakukan untuk mengetahui terapi antibiotik spesifik
pada mikroorganisme penyebab infeksi. Setelah diketahui bakteripada LCS
kemudian dilakukan pemeriksaan kultur untuk infeksi paru dan infeksi saluran
kemih pada pasien jika salah satu bakteri dari pada infeksi paru ataupun saluran
kemih cocokdengan bakteri LCS maka dapat diketahui jenis bakteri dan port
de’entrée penyebab pada meningoensefalitis pada pasien tersebut. Sedangkan
infeksi lainnya yang juga dialami pasien merupakan komplikasi akibat bed rest
lama.
Semua hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tersebut
mendukung diagnosis meningoensefalitis. Namun untuk kepentingan diagnosis
etiologis pasti dan terapi yang sesuai, diperlukan pemeriksaan penunjang analisis
LCS, kultur, dan tes sensitivitas yang diperoleh dari punksi lumbal.

PLANNING :
Usulan Pemeriksaan penunjang :
1. Px Sputum BTA (S-P-S)
2. Px IgG anti Tb
3. Px Urin Rutin
4. Tes sensitifitas, kultur, dan analisis LCS  Lumbal punksi
VI. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Farmakologis:
a. IVFD RL 20 tpm
37
b. Inj. Ceftriaxon 2 x 2 gr
c. Inj. Soohobion 1 x 1 amp
d. Inj. Dexamethason 4 x 1amp
e. Inj. Citicolin 2 x 500
f. P/o. Phenytoin 2 x 200 mg
2. Terapi Non-farmakologis:
a. Rawat inap
b. Bed rest
3. Monitoring
a. Keadaan umum
b. Tanda vital
c. GCS
d. Monitoring hasil pemeriksaan penunjang
4. Edukasi
a. Menjelaskan penyakit kepada keluarga pasien, meliputi definisi,
etiologi, gejala, dan terapi
b. Motivasi keluarga tentang prognosis pasien

VII. PROGNOSIS
1. Death : dubia
2. Disease : dubia
3. Disability : dubia
4. Discomfort : dubia
5. Dissatisfaction : dubia
6. Distitution : dubia

38
Tanggal S O A P
Jum’at pasien Ku: Lemah Saraf: Saraf:
01/6/18 mengalami Kesadaran: Meningoensefalitis Inj. Brainact
HP:II penurunan Somnolent dengan Tb 2x500mg
kesadaran dan GCS : E3 V6 Inj. Ceftriaxone
selalu M4 2x2 gr
mengantuk TD: 140/80 Inj. Sohobion 1x1
disertai kejang N: 92, RR: 20 Inj.
sebanyak 3 kali S: 37,7 Dexamethasone
dengan jarak 5 5 4x1 amp
antara kejang 1- 5 5 P/o. Ikaphen
3 jam dan lama
waktu -/+ 1
menit, pasien
mengalami
kejang di seluruh
tubuh dengan
posisi tangan
dan kaki
menekuk,
demam tinggi,
leher dan pundak
pasien terasa
berat dan kaku,
pingsan (-),
fotopobia (-),
nyeri kepala (-).
sabtu, Kejang (-), Ku: Lemah Saraf: Saraf:
02/6/18 demam (+), mual Kesadaran: Meningoensefalitis Inj. Brainact
HP: III (-) muntah (-), Somnolent dengan Tb 2x500mg

39
nyeri kepala (-), GCS : E3 V6 Inj. Ceftriaxone
sulit tidur (-), M4 2x2 gr
batuk (-), sesak TD: 140/80 Inj. Sohobion 1x1
(-), BAK (n) N: 92, RR: 20 Inj.
BAB terakhir S: 37,7 Dexamethasone
kamis. 4x1 amp
P/o. Ikaphen
Minggu Kejang (-), Ku: Lemah Saraf: Saraf:
03/6/18 demam (+), mual Kesadaran: Meningoensefalitis Inj. Brainact
(-) muntah (-), Somnolent dengan Tb 2x500mg
nyeri kepala (-), GCS : E3 V5 Inj. Ceftriaxone
sulit tidur (-), M4 2x2 gr
batuk (-), sesak TD: 130/80 Inj. Sohobion 1x1
(-), BAB (n), N: 96, RR: 20 Inj.
BAK (n). S: 39 Dexamethasone
4x1 amp
P/o. Ikaphen
Senin Kejang (-), Ku: Lemah Saraf: Saraf:
04/6/18 demam (+), mual Kesadaran: Meningoensefalitis Inj. Brainact
(-) muntah (-), Somnolent dengan Tb 2x500mg
nyeri kepala (-), GCS : E3 V5 Inj. Ceftriaxone
3 hari pasien M4 2x2 gr
tidur terus, BAB TD: 130/80 Inj. Sohobion 1x1
(n), BAK (n). N: 98, RR: 20 Inj.
S: 39 Dexamethasone
4x1 amp
P/o. Ikaphen
*Pasien APS

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Batubara, AS. 1992. Koma dalam Majalah Cermin Dunia Kedokteran. Ed


80. FK USU. Hal 85-87.
2. Harris, S. 2004. Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam
Updates in Neuroemergencies. FKUI. Jakarta. h.1-7. 2005.
3. UGM Press. Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
4. Lindsay, KW dan Bone I. Coma and Impaired Conscious Level dalam
Neurology and Neurosurgery Illustrated. Churchill Livingstone, UK. h-81.
1997.
5. Greenberg, MS. Coma dalam Handbook of Neurosurgery. 5th Thieme.
NY. Hal 119-123. 2001.
6. Sidharta P. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Dian Rakyat, Jakarta;
2009.
7. Sustrani, Lanny, Syamsir Alam, Iwan hadibroto. Stroke. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama; 2003
8. Lazoff M, Hemphill RR, Pritz T. Encephalitis. (Online).
http://emedicine.medscape.com/article/791896-overview, diakses 5 mei
2015.
9. Kugler, John. 2000. Hiponatremia dan Hipernatremia di Lansia.
American Family Physician
10. Tisdale , James & Miller, Douglas . 2010. Drug-Induced Diseases:
Prevention, Detection, and Management, page 892. U.S :heartside
publishing.

41

Anda mungkin juga menyukai