Disusun Oleh :
NABIL HAJAR H2A010030
1
Nama : Nabil Hajar
NIM : H2A011030
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Muhammadiyah Semarang
Stase : Ilmu Penyakit Saraf
Judul Kasus : Penurunan Kesadaran et causa Meningoencephalitis
Pembimbing : dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan ,Sp.S, M.Sc
Pembimbing
BAB I
LAPORAN KASUS
2
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Rukidi
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kelurahan Jambu, Kabupaten Semarang
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SD
Status : Sudah menikah
No. RM : 0929xx
Masuk RS : 30 Desember 2015
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Alloanamnesis tanggal 2 Januari 2016,
pukul 19.30.
Keluhan utama : Penurunan kesadaran
3
3 jam SMRS, pasien terbangun karena nyeri kepala dirasakan semakin
memberat. Nyeri kepala dirasakan seperti ditusuk-tusuk dengan NPS
8-9. Pasien hanya mampu berbaring di tempat tidur. Nyeri kepala
tidak berkurang dengan istirahat, tidak disertai mual muntah. 1 jam
SMRS pasien marah-marah tanpa sebab pada keluarganya. Ia
menjadi gelisah dan sering berteriak. Kesemutan/baal disangkal,
penglihatan ganda disangkal, bicara pelo disangkal, wajah merot
disangkal.
30 menit SMRS, pasien ingin ke kamar mandi untuk BAK. Pasien berjalan
sendiri ke kamar mandi, namun tiba-tiba ia terjatuh karena lemas.
Beberapa saat kemudian pasien tidak sadar dan tidak bisa
dibangunkan. Oleh keluarga, pasien dibawa ke RS. Kelemahan
anggota gerak (-), kejang (-), muntah (-).
Saat perjalanan ke RS, pasien diangkut oleh keluarga dengan menggunakan
mobil pribadi, pasien dalam keadaan tidak sadar dan tidak bisa
dibangunkan. Kejang (-), muntah (-).
Di UGD, pasien langsung diperiksa oleh petugas dan diberi O2, obat
hipertensi, serta infus. Pasien masih dalam keadaan tidak sadar dan
tidak bisa dibangunkan. Kejang (-), muntah (-). Kemudian pasien
pindah ruang dan mendapat perawatan intensif di ICU.
4
- Riwayat sakit serupa : disangkal
- Riwayat hipertensi : diakui, ayah pasien
- Riwayat kencing manis : disangkal
- Riwayat batuk lama : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
Anamnesis Sistem :
Sistem Serebrospinal : nyeri kepala (+), muntah menyembur tiba-tiba (-),
penurunan kesadaran (+), kelemahan anggota gerak
(-), perubahan tingkah laku (+), wajah merot (-),
bicara pelo (-), kesemutan/baal (-), BAB, BAK (+)
Sistem Kardiovaskuler : Riwayat hipertensi (+), riwayat sakit jantung (-),
nyeri dada (-)
Sistem Respirasi : Sesak napas (+), batuk (+), riwayat sesak napas (+)
Sistem Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), makan-minum (+), BAB (+)
Sistem Muskuloskeletal: Kelemahan anggota gerak (-)
Sistem Integumen : Ruam merah (-)
Sistem Urogenital : BAK (+)
RESUME ANAMNESIS
2 hari SMRS, pasien mengeluh demam. Demam muncul dengan suhu
tidak begitu tinggi serta terus menerus. Pasien juga mengeluh sesak napas
disertai batuk tidak berdahak. 24 jam SMRS, pasien mengeluhkan nyeri kepala
terus-menerus seperti ditusuk-tusuk dengan NPS 7-8. 3 jam SMRS, pasien
terbangun karena nyeri kepala dirasakan semakin memberat dengan NPS 8-9. 1
jam SMRS pasien marah-marah tanpa sebab pada keluarganya. Ia menjadi
gelisah dan sering berteriak. Bicara pelo disangkal, wajah merot disangkal. 30
menit SMRS, pasien ingin ke kamar mandi untuk BAK. Pasien berjalan sendiri
ke kamar mandi, namun tiba-tiba ia terjatuh karena lemas. Beberapa saat
5
kemudian pasien tidak sadar dan tidak bisa dibangunkan. Oleh keluarga, pasien
dibawa ke RS. Kelemahan anggota gerak (-), kejang (-), muntah (-), wajah merot
(-), bicara pelo (-), kesemutan/baal (-), BAB (+), BAK (+).
Keluarga pasien mengatakan pasien mempunyai riwayat hipertensi
sampai mondok 4 tahun yang lalu. Merokok (+),olahraga jarang, dan makan
tidak terkontrol.
DISKUSI 1
Berdasarkan alloanamnesa, keluarga pasien mengeluhkan pasien dengan
penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran adalah kegawatan neurologi yang
menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai final common
pathway dari gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan
mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian. Penurunan kesadaran
menjadi pertanda disregulasi dan disfungsi otak dengan kecenderungan
kegagalan seluruh fungsi tubuh.
Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua
hemisfer serebri dan Ascending Reticular Activating System (ARAS) yang
terdapat dibatang otak. ARAS merupakan suatu rangkaian atau network system
yang dari kaudal berasal dari medulla spinalis menuju rostral yaitu diensefalon
6
melalui brain stem sehingga kelainan yang mengenai lintasan ARAS tersebut
akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran.
Secara garis besar penyebab penurunan kesadaran dapat dibagi menjadi
3, yaitu :
1. Penurunan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk
Contoh : gangguan iskemik, gangguan metabolik, intoksikasi, infeksi
sistemis, hipertermia, dan epilepsi
2. Penurunan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku kuduk
Contoh : perdarahan subarakhnoid, radang selaput otak dan jaringan otak
(meningoencephalitis)
3. Penurunan kesadaran dengan kelainan fokal
Contoh : tumor otak, perdarahan otak, infark otak, dan abses otak
7
MENINGOENCEPHALITIS
A. Definisi
Meningitis adalah infeksi akut pada selaput meningen (selaput yang
menutupi otak dan medula spinalis). Encephalitis adalah peradangan jaringan
otak yang dapat mengenai selaput pembungkus otak dan medulla spinalis.
Meningoencephalitis adalah peradangan pada selaput meningen dan jaringan
otak.
B. Epidemiologi
Meskipun meningitis adalah suatu penyakit yang harus dilaporkan di
banyak negara, insidens sebenarnya masih belum diketahui. Meningitis
bakterial terjadi pada kira-kira 3 per 100.000 orang setiap tahunnya di negara-
8
negara Barat. Studi populasi secara luas memperlihatkan bahwa meningitis
virus lebih sering terjadi, sekitar 10,9 per 100.000 orang, dan lebih sering
terjadi pada musim panas. Di Brasil, angka meningitis bakterial lebih tinggi,
yaitu 45,8 per 100,000 orang setiap tahun. Afrika Sub-Sahara sudah
mengalami epidemik meningitis meningokokus yang luas selama lebih dari
satu abad, sehingga disebut sabuk meningitis. Epidemik biasanya terjadi
dalam musim kering (Desember sampai Juni), dan gelombang epidemik bisa
berlangsung dua atau tiga tahun, mereda selama musim hujan. Angka
serangan dari 100800 kasus per 100.000 orang terjadi di daerah ini yang
kurang terlayani oleh pelayanan medis. Kasus-kasus ini sebagian besar
disebabkan oleh meningokokus. Epidemik terbesar yang pernah tercatat
dalam sejarah melanda seluruh wilayah ini pada 19961997, yang
menyebabkan lebih dari 250.000 kasus dan 25.000 kematian.
Epidemik penyakit meningokokus terjadi di daerah-daerah di mana
orang tinggal bersama untuk pertama kalinya, seperti barak tentara selama
mobilisasi, kampus perguruan tinggi[1] dan ziarah Haji tahunan. Walaupun
pola siklus epidemik di Afrika tidak dipahami dengan baik, beberapa faktor
sudah dikaitkan dengan perkembangan epidemik di daerah sabuk meningits.
Faktor-faktor itu termasuk: kondisi medis (kerentanan kekebalan tubuh
penduduk), kondisi demografis (perjalanan dan perpindahan penduduk dalam
jumlah besar), kondisi sosial ekonomi (penduduk yang terlalu padat dan
kondisi kehidupan yang miskin), kondisi iklim (kekeringan dan badai debu),
dan infeksi konkuren (infeksi pernafasan akut).
Ada perbedaan signifikan dalam distribusi lokal untuk kasus
meningitis bakterial. Contohnya, N. meningitides grup B dan C menyebabkan
kebanyakan penyakit di Eropa, sedangkan grup A ditemukan di Asia dan
selalu menonjol di Afrika, di mana bakteri ini menyebabkan kebanyakan
epidemik besar di daerah sabuk meningitis, yaitu sekitar 80% hingga 85%
kasus meningitis meningokokus yang didokumentasikan.
C. Etiologi
9
Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau beberapa kasus
yang jarang disebabkan oleh jamur. Istilah meningitis aseptic merujuk pada
meningitis yang disebabkan oleh virus tetapi terdapat kasus yang menunjukan
gambaran yang sama yaitu pada meningitis yang disebabkan organisme lain
(lyme disease, sifilis dan tuberculosis); infeksi parameningeal (abses otak,
abses epidural, dan venous sinus empyema); pajanan zat kimia (obat NSAID,
immunoglobulin intravena); kelainan autoimn dan penyakit lainnya.
Bakteri yang sering menyebabkan meningitis bacterial sebelum
ditemukannya vaksin Hib, S.pneumoniae, dan N. meningitidis. Bakteri yang
menyebabkan meningitis neonatus adalah bakteri yang sama yang
menyebabkan sepsis neonatus.
10
Enterobacter Citrobacter diversus
Salmonella
Listeria monocytogenes
Pseudomonas aeruginosa
Gram-negatif bacilli
L. monocytogenes
11
Encephalitis merupakan hasil dari inflamasi parenkim otak yang dapat
menyebabkan disfungsi serebral. Encephalitis sendiri dapat bersifat difus atau
terlokalisasi. Organisme tertentu dapat menyebabkan encephalitis dengan satu
dari dua mekanisme yaitu (1). Infeksi secara langsung pada parenkim otak
atau (2) sebuah respon yang diduga berasal dari sistem imun (an apparent
immune-mediated response) pada sistem saraf pusat yang biasanya bermula
pada beberapa hari setelah munculnya manifestasi ekstraneural.
Adenoviruses HIV
encephalitis
St. Louis encephalitis
California encephalitis
West Nile encephalitis
Colorado tick fever
2. Di luar amerika utara
Venezuelan equine
encephalitis
Japanese encephalitis
Tick-borne
encephalitis
Murray Valley
encephalitis
Enteroviruses
12
Herpesviruses
Herpes simplex
viruses
Epstein-Barr virus
Varicella-zoster virus
Human herpesvirus-6
Human herpesvirus-7
HIV
Influenza viruses
Virus rabies
Virus rubella
D. Patofisiologi
Dalam proses perjalanan penyakit meningitis yang disebabkan oleh
bakteri, invasi organisme harus mencapai ruangan subarachnoid. Proses ini
berlangsung secara hematogen dari saluran pernafasan atas dimana di dalam
lokasi tersebut sering terjadi kolonisasi bakteri. Walaupun jarang, penyebaran
dapat terjadi secara langsung yaitu dari fokus yang terinfeksi seperti
(sinusitis, mastoiditism, dan otitis media) maupun fraktur tulang kepala.
13
Organisme yang umum menyebabkan meningitis (seperti
N.Meningitidis, S.pneumoniae, H. influenzae) terdiri atas kapsul polisakarida
yang memudahkannya berkolonisasi pada nasofaring anak yang sehat tanpa
reaksi sistemik atau lokal. Infeksi virus dapat muncul secara sekunder akibat
penetrasi epitel nasofaring oleh bakteri ini. Selain itu melalui pembuluh
darah, kapsul polisakarida menyebabkan bakteri tidak mengalami proses
opsonisasi oleh pathway komplemen klasik sehingga bakteri tidak terfagosit.
Pada perjalanan patogenesis meningitis bakterial terdapat fase
bakterial dimana pada fase ini bakteri mulai berpenetrasi ke dalam cairan
serebropsinal melalui pleksus choroid. Cairan serebrospinal kurang baik
dalam menanggapi infeksi karena kadar komplomen yang rendah dan hanya
antibody tertentu saja yang dapat menembus barier darah otak.
Dinding bakteri gram positif dan negatif terdiri atas zat patogen yang
dapat memacu timbulnya respon inflamasi. Asam teichoic merupakan zat
patogen bakteri gram positif dan lipopolisakarida atau endotoksin pada gram
negatif. Saat terjadinya lisis dinding sel bakteri, zat-zat pathogen tersebut
dibebaskan pada cairan serebrospinal.
Terapi antibiotik menyebabkan pelepasan yang signifikan dari
mediator dari respon inflamasi. Adapun mediator inflamasi antara lain sitokin
(tumor necrosis factor, interleukin 1, 6, 8 dan 10), platelet activating factor,
nitric oxide, prostaglandin, dan leukotrien. Mediator inflamasi ini
menyebabkan terganggunya keseimbangan sawar darah otak, vasodilatasi,
neuronal toxicity, peradangan meningeal, agregasi platelet, dan aktifasi
leukosit. Sel endotel kapiler pada daerah lokal terjadinya infeksi meningitis
bacterial mengalami peradangan (vaskulitis), yang menyebabkan rusaknya
agregasi vaskuler. Konsekuensi pokok dari proses ini adalah rusaknya
mekanisme sawar darah otak, edema otak, hipoperfusi aliran darah otak, dan
neuronal injury.
Akibat kerusakan yang disebabkan oleh respons tubuh terhadap
infeksi, agen anti-inflamasi berbagai telah digunakan dalam upaya untuk
14
mengurangi morbiditas dan mortalitas meningitis bakteri. Hanya
deksametason yang telah terbukti efektif.
Meningitis viral atau meningitis aseptik adalah infeksi umum pada
sebagian besar infeksi sistem saraf pusat khususnya pada anak-anak < 1
tahun. Enterovirus adalah agen penyebab paling umum dan merupakan
penyebab penyakit demam tersering pada anak. Patogen virus lainnya
termasuk paramyxoviruses, herpes, influenza, rubella, dan adenovirus.
Meningitis dapat terjadi pada hampir setengah kejadian dari anak-anak < 3
bulan dengan infeksi enterovirus. infeksi enterovirus dapat terjadi setiap saat
selama tahun tetapi dikaitkan dengan epidemi di musim panas dan gugur.
Infeksi virus menyebabkan respon inflamasi tetapi untuk tingkat yang lebih
rendah dibandingkan dengan infeksi bakteri. Kerusakan dari meningitis viral
mungkin karena adanya ensefalitis terkait dan tekanan intrakranial meningkat.
Ensefalitis adalah penyakit yang sama dari sistem saraf pusat.
Penyakit ini adalah suatu peradangan dari parenkim otak. Seringkali, terdapat
agen virus yang bertanggung jawab sebagai promotor. Masuknya virus terjadi
melalui jalur hematogen atau neuronal. Ensefalitis yang sering terjadi adalah
ensefalitis yang ditularkan oleh gigitan nyamuk dan kutu yang terinfeksi
virus. Virus berasal dari, Flavivirus, dan Bunyavirus keluarga Togavirus. Jenis
ensefalitis yang paling umum terjadi di Amerika Serikat adalah La Crosse
virus, ensefalitis virus kuda timur, dan St Louis virus. Seringkali, penyebab
ensefalitis ini menyebabkan tanda-tanda dan gejala yang sama. Konfirmasi
dan diferensiasi berasal dari pengujian laboratorium. Namun, manfaatnya
terbatas pada sejumlah patogen diidentifikasi.
Ensefalitis dapat ditularkan dengan cara lain. Ensefalitis Herpetic dan
rabies adalah dua contoh, di mana penularan masing-masing terjadi melalui
kontak langsung dan gigitan mamalia. Dalam kasus ensefalitis herpes,
terdapat bukti reaktivasi virus dan transmisi intraneuronal sehingga
menyebabkan ensefalitis.
E. Gejala Klinis
15
Gejala meningoensefalitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan
tekanan intrakranial :
1. Nyeri kepala
2. Muntah
3. Fotofobi
4. Kaku kuduk
5. Demam
6. Kesadaran menurun
7. Kejang
F. Pemeriksaan Fisik
Beberapa hal yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik pasien
dengan meningoencephalitis antaralain:
1. Kesadaran menurun
2. Panas
3. Tanda-tanda kaku kuduk dengan tanda kernig dan Brudzinsky positif
4. Pada anak : adanya fontanella mencembung
5. Bisa dengan parese nervi kranialis
6. Hemiparesis
7. Adanya rash, kemungkinan karena bakteri atau virus
8. Fotofobia
9. Dapat disertai defisit neurologis
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang disarankan pada meningoencephalitis
antaralain:
1. Analisis, kultur, dan tes sensitifitas LCS
Temuan pada pemeriksaan cairan serebrospinal pada beberapa
gangguan sistem saraf pusat dipaparkan pada tabel 1.3.
16
30-40%
monosit,
1-3% neutrofil
17
karena limfosit dan terjadi tidak adekuat terlihat
bendunga monosit blok pada
n cairan mendominasi cairan pemeri
serebrospi pada akhirnya serebrospi ksaan
nal pada nal usap
tahap CSF;
tertentu
18
normal
H. Penatalaksanaan
Terapi antibiotik diberikan secepatnya setelah didapatkan hasil kultur.
Pada orang dewasa, Benzylpenicillin G dengan dosis 1-2 juta unit diberikan
secara intravena setiap 2 jam. Pada anak dengan berat badan 10-20 kg.
Diberikan 8 juta unit/ hari, anak dengan berat badan kurang dari 10 kg
diberikan 4 juta unit/ hari.Ampicillin dapat ditambahkan dengan dosis 300-
400mg/ KgBB/ hari untuk dewasa dan 100-200 mg/ KgBB/ untuk anak-anak.
Untuk pasien yang alergi terhadap penicillin, dapat diberikan sampai 5 hari
bebas panas.
I. Prognosis
Prognosis penyakit ini bervariasi, tergantung pada :
1. Umur : Anak : Makin muda makin bagus prognosisnya
Dewasa : Makin tua makin jelek prognosisnya
2. Kuman penyebab
3. Lama penyakit sebelum diberikan antibiotika
4. Jenis dan dosis antibiotika yang diberikan
5. Penyakit yang menjadi faktor predisposisi.
19
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 2 Januari 2016, pukul 20.00 WIB.
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Koma
GCS : E1M1Vx (terpasang OPA)
Vital sign
TD : 182/107 mmHg
Nadi : 104 x /menit, irama regular, isi dan tegangan cukup
RR : 33 x/menit
Suhu : 37,3 0 C secara aksiler
Status Internus
Kepala : Mesocephal
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor (2mm/2mm), reflek pupil direk (+/+), reflek pupil indirek
(+/+)
Telinga : Sekret (-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), sekret (+/+), septum deviasi (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-), karies dentis (+)
Leher : Simetris, pembesaran KGB (-), tiroid (Normal)
Thorax :
Pergerakan dinding thorax statis simetris, dinamis simetris, tampak ictus
cordis.
20
Cor :
Inspeksi : Tampak ictus cordis
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC IV LMCS
Perkusi :
- Batas atas jantung : ICS II Linea parasternal sinistra
- Pinggang jantung : ICS III Linea parasternal sinistra
- Batas kiri bawah jantung: ICS V Linea midclavicularis sinistra
- Batas kanan bawah jantung: ICS V Linea sternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II (+) normal, bising (-), gallop (-)
Pulmo :
Depan Dextra Sinistra
Inspeksi Simetris statis & dinamis, Simetris statis & dinamis,
retraksi (-) retraksi (-)
Palpasi Stem fremitus normal Stem fremitus normal
kanan = kiri kanan = kiri
Perkusi Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang
paru
Auskultasi SD paru vesikuler (+), SD paru vesikuler (+),
suara tambahan paru: suara tambahan paru:
wheezing (-), ronki (+) wheezing (-), ronki (+)
Abdomen :
Inspeksi : Dinding abdomen datar, spider naevi (-), warna kulit sama
dengan warna kulit sekitar
Auskultasi : Bising usus (+) normal (14x/menit)
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, ascites (-)
Palpasi : Hepar & lien tak teraba
Ekstremitas :
21
Atas : Oedem (-/-), CRT (<2 dtk), Akral dingin (-/-)
Bawah : Oedem (-/-), CRT(< 2 dtk), Akral dingin (-/-)
Status Neurologis
Sikap Tubuh : Simetris
Gerakan Abnormal : -
Cara berjalan : Tidak bisa dinilai
22
Menggembungkan pipi TDL TDL
Daya kecap lidah 2/3 ant TDL
N. VIII. Mendengar suara bisik TDL TDL
Mendengar bunyi arloji TDL TDL
Vestibulokoklearis
Tes Rinne TDL TDL
Tes Schwabach TDL TDL
Tes Weber TDL TDL
N. IX. Arkus faring TDL TDL
Daya kecap lidah 1/3 post TDL
Glosofaringeus
Refleks muntah TDL
Sengau TDL
Tersedak TDL
N. X. Vagus Denyut nadi 104 x/menit
Arkus faring TDL TDL
Bersuara TDL
Menelan TDL
N. XI. Aksesorius Memalingkan kepala TDL TDL
Sikap bahu TDL TDL
Mengangkat bahu TDL TDL
Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi
N. XII. Sikap lidah TDL
Artikulasi TDL
Hipoglossus
Tremor lidah TDL
Menjulurkan lidah TDL TDL
Trofi otot lidah TDL
Fasikulasi lidah TDL
Pemeriksaan Motorik
+ + - - -
RF RP Cl
+ + - - -
23
- Defekasi : inkontinentia alvi (-), retensio alvi (-)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
a. Tanggal 30 Desember 2015, 14.18
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Hemoglobin 14,4 13,2 - 17,3 g/dl
Leukosit 12,0 3,8-10,5 ribu
Eritrosit 4,28 4,5-5,8 juta
Hematokrit 42,5 37-47 %
Trombosit 187 150-400 ribu
MCV 99,1 82-95 fL
MCH 33,6 >27 pg
MCHC 33,8 32-37 g/dl
RDW 13,0 10-15 %
MPV 7,4 7-11 mikro m3
Limfosit 0,5 1,0-4,5 103/mikro m3
Monosit 0,1 0,2-1,0 103/mikro m3
Eusinofil 0,0 0,04-0,8 103/mikro m3
Basofil 0,0 0,02 103/mikro m3
Neutrofil 11,3 1,8-7,5 103/mikro m3
Limfosit% 5,3 25 - 40 %
Monosit% 0,5 2-8 %
Eusinofil% 0,1 2-4 %
24
Basofil% 0,2 0-1 %
Neutrofil% 93,9 50- 70 %
PCT 0,136 0,2 - 0,5 %
PDW 11,1 10 - 18 %
GDS 182 74 - 106 mg/dL
SGOT 25 0 - 50 U/L
SGPT 15 0 - 50 IU/L
Ureum 33,1 10 - 50 mg/dL
Kreatinin 1,22 0,62 - 1,1 mg/dL
Asam Urat 6.89 2-7 mg/dL
Cholesterol 224 < 200 mg/dL
dianjurkan,
200 - 239
res sedang,
> 240 resti
HDL 18 28 - 63 mg/dL
LDL 195,2 < 150 mg/dL
Trigliserida 54 70 - 140 mg/dL
25
PCT 0,139 0,2 - 0,5 %
DISKUSI 2
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kesadaran pasien E 1M1Vx (koma)
yang menunjukkan penurunan kesadaran. Tanda vital pasien, tekanan darah
182/107 menunjukkan hipertensi grade II. RR 33 x/ menit (takipneu)
menandakan sesak napas. Suhu 37,3oC menunjukkan keadaan tidak demam,
yang mungkin disebabkan terapi paracetamol yang diberikan. Sebelumnya, suhu
pasien saat masuk mencapai 38oC (demam).
Pada pemeriksaan jantung, didapatkan batas jantung kiri bawah berada di
ICS V linea midclavicularis sinistra, yang menunjukkan apeks jantung bergeser
ke kiri, dan dikonfirmasi pada foto thorax bahwa terdapat kardiomegali.
Pada pemeriksaan paru, ditemukan ronki pada auskultasi. Hal ini
menandakan terdapat inflamasi pada parenkim paru, yang sebelumnya ditandai
26
dengan sesak napas dan batuk pada anamnesis. Hal ini dikonfirmasi pada
pemeriksaan foto thorax bahwa terdapat gambaran bronkopneumonia.
Pemeriksaan status neurologis pada pasien ditemukan penurunan
kesadaran pasien hingga koma (E1M1Vx). Pada pemeriksaan saraf kranial, yang
beberapa poin tidak dapat diperiksa karena kesadaran pasien yang menurun,
tidak dijumpai kelainan. Hal ini menunjukkan kemungkinan tidak adanya lesi
pada jaras Nervi kranialis I hingga XII. Pemeriksaan fungsi motorik ditemukan
reflek fisiologis positif di 4 ekstremitas dan refleks patologis serta klonus tidak
ditemukan. Ini menandakan jaras motorik UMN maupun LMN bebas dari lesi
(kelumpuhan). Pemeriksaan fungsi vegetatif normal, menunjukkan fungsi
otonom simpatis parasimpatis yang diatur nervus kraniosacral dan
thoracolumbal berfungsi dengan baik. Pemeriksaan rangsang meningeal berupa
pemeriksaan kaku kuduk, Brudzinsky I, dan Brudzinsky IV positif, yang
menunjukkan adanya iritasi pada meningens.
Pemeriksaan penunjang laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan penurunan kesadaran tanpa lateralisasi lainnya. Ditemukan
leukosit meningkat (12.000, 16.100), dan shift-to-the-left yang menunjukkan
infeksi, terutama mengarah ke infeksi bakteri. Kreatinin serum yang meningkat
masih dalam batas waspada (dibawah 1,5 mg/dL). Faktor resiko stroke yang
meningkat antara lain adalah kolesterol dan komponennya.
Pemeriksaan Ro Thorax mengkonfirmasi dugaan adanya infeksi paru,
yaitu ditemukan bronkopneumonia. Adanya kardiomegali menunjukkan
hipertensi yang mungkin sudah menahun sehingga mengubah struktur jantung.
Pada kasus ini diusulkan pemeriksaan Head CT Scan dan Analisis, kultur,
serta tes sensitifitas LCS. Analisis LCS digunakan untuk mengetahui
karakteristik mikroorganisme penyebab infeksi. Kultur digunakan untuk
mengetahui secara pasti mikroorganisme penyebab infeksi. Tes sensitifitas
dilakukan untuk mengetahui terapi antibiotik spesifik pada mikroorganisme
penyebab infeksi. CT scan dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan
struktural di otak dan untuk menyingkirkan diagnosa lainnya.
27
Semua hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tersebut
mendukung diagnosis meningoensefalitis. Namun untuk kepentingan diagnosis
etiologis pasti dan terapi yang sesuai, diperlukan pemeriksaan penunjang analisis
LCS, kultur, dan tes sensitivitas yang diperoleh dari punksi lumbal.
PLANNING :
Usulan Pemeriksaan penunjang :
1. Head CT-Scan
2. Analisis, kultur, dan tes sensitifitas LCS Lumbal punksi
3. Urin rutin
4. Elektrolit
VI. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Farmakologis:
a. O2 3 L/menit
b. IVFD RL 20 tpm
c. Inj. Ceftriaxon 2 x 2 gr
d. Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
e. Inj. Sohobion 1 x 1 amp
f. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
g. Inj. Piracetam 2 x 3 gr
h. Inj. Dexamethason 4 x 1
i. Inj. Furosemid 4 x 1
j. Paracetamol 3 x 500 mg
k. Salbutamol 3 x 4 mg
l. Diltiazem 3 x 30 mg
m. Clonidin 3 x 1 tab
n. Phenitoin 2x100 mg
2. Terapi Non-farmakologis:
a. Rawat di ICU
b. NGT
c. DC
d. Bed rest
e. Alih baring
f. Diet cair
28
3. Monitoring
- Keadaan umum
- Tanda vital
- GCS
- Defisit neurologis
- Monitoring hasil pemeriksaan penunjang
4. Edukasi
- Menjelaskan penyakit kepada keluarga pasien, meliputi definisi,
etiologi, gejala, dan terapi
- Motivasi keluarga tentang prognosis pasien
VII. PROGNOSIS
1. Death : dubia
2. Disease : dubia
3. Disability : dubia
4. Discomfort : dubia
5. Dissatisfaction : dubia
6. Distitution : dubia
29
DISKUSI 3
Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus ini antaralain terapi
farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi pada kasus ini adalah :
1. O2 3 L/menit
2. IVFD RL 20 tpm
3. Injeksi Ceftriaxone 2x2gr
Ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin yang mempunyai
spektrum luas dengan waktu paruh eliminiasi 8 jam. Efektif terhadap
mikroorganisme gram positif dan gram negatif. Ceftriaxone juga stabil
terhadap enzim betalaktamase yang dihasilkan oleh bakteri.
4. Injeksi Ranitidin 21 ampul
Ranitidin adalah anatagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi
asam lambung. Pada pemberian i.m./i.v. kadar dalam serum yang diperlukan
untuk menghambat 50% perangsangan sekresi asam lambung adalah 3694
mg/mL. Kadar tersebut bertahan selama 68jam . Ranitidine diabsorpsi 50%
setelah pemberian oral. Konsentrasi puncak plasma dicapai 23 jam setelah
pemberian dosis 150 mg. Absorpsi tidak dipengaruhi secara nyata oleh
makanan dan antasida. Waktu paruh 2 3 jam pada pemberian oral,
Ranitidine diekskresi melalui urin.
5. Injeksi Sohobion 1x1 ampul
Sohobion mengandung Vitamin B1 100 mg, vitamin B6 100 mg,
vitamin B12 5000 mcg. Mengatasi gejala akibat defisiensi vitamin
neurotropik (vitamin B1,B6,B12) Polineuritis (degenerasi saraf-saraf tepi
secara serentak dan simetris) toksis dan non toksis, astenia (lemah/tidak
bertenaga), polineuropati diabetik, paresis (kelumpuhan ringan) pada wajah.
6. Injeksi Citicolin 2x 500mg
Citicoline dapat meningkatkan aliran darah dan konsumsi O2 di otak
pada pengobatan gangguan serebrovaskuler sehingga dapat memperbaiki
gangguan kesadaran. Citicoline meningkatkan kerja formatio reticularis dari
batang otak, terutama sistem pengaktifanformatio reticularis ascendens yang
berhubungan dengan kesadaran.Citicoline mengaktifkan sistem piramidal dan
memperbaiki kelumpuhan sistem motoris.Citicoline menaikkan konsumsi O2
dari otak dan memperbaiki metabolisme otak.
30
7. Injeksi Piracetam 2x3 gr
Meningkatkan energi (ATP) otak, meningkatkan aktifitas adenylat
kinase(AK) yang merupakan kunci metabolisme energi dimana mengubah
ADP menjadi ATP dan AMP, meningkatkan sintesis dan pertukaran
cytochrome b5 yang merupakan komponen kunci dalam rantai transport
elektron dimana energi ATP diproduksi di mitokondria. Piracetam juga
digunakan untuk perbaikan defisit neurologi khususnya kelemahan motorik
dan kemampuan bicara pada kasus-kasus cerebral iskemia, dan juga dapat
mengurangi severitas atau kemunculan post traumatik/concussion sindrom.
Piracetam mempengaruhi aktifitas otak melalui berbagai mekanisme antara
lain : Merangsang transmisi neuron di otak, Merangsang metabolimse otak,
Memperbaiki mikrovaskular tanpa efek vasodilatasi.
8. Injeksi Dexametason 41
Deksametason adalah glukokortikoid sintetik dengan aktivitas
imunosupresan dan anti-inflamasi. Sebagai imunosupresan Deksametason
bekerja dengan menurunkan respon imun tubuh terhadap stimulasi rangsang.
Aktivitas anti-inflamasi Deksametason dengan jalan menekan atau mencegah
respon jaringan terhadap proses inflamasi dan menghambat akumulasi sel
yang mengalami inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada tempat
inflamasi. Dexamethasone merupakan anti inflamasi yang direkomendasikan
penggunaannya pada pasien gejala neurologis dan peningkatan tekanan
intrakranial. Dexamethason dapat meminimalkan resiko obliterasi endarteritis
serta meminimalkan resiko adhesi arachnoid.
9. Injeksi Furosemid 4x1
Furosemid adalah suatu derivat asam antranilat yang efektif sebagai
diuretik. Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada
bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat transport elektrolit
natrium, kalium, dan klorida. Mekanisme kerja furosemida adalah
menghambat penyerapan kembali natrium oleh sel tubuli ginjal.
10. Paracetamol 3x500 mg
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam
arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat
siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase
31
pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol
menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas.
Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer.
Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau
mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang.
11. Salbutamol 3x4 mg
Salbutamol atau albuterol adalah obat golongan beta-adrenergik
yang berfungsi melebarkan saluran napas, sehingga diindikasikan untuk asma
dan penyakit paru obstruktif kronik (bronkitis kronik dan emfisema). Obat ini
dapat meredakan gejala asma ringan, sedang atau berat dan digunakan untuk
pencegahan serangan asma. Efek salbutamol timbul setelah 5 15 menit
penggunaan dan bertahan 3 5 jam.
12. Diltiazem 3 x 30 mg
Diltiazem bekerja dengan menghambat influx transmembran ion
kalsium ekstraselular ke membran sel miokardial dan sel otot polos vaskular,
tanpa merubah konsentrasi kalsium dalam serum. Dengan menghambat influx
kalsium, diltiazem menghambat proses kontraksi otot jantung dan otot polos
vaskular; sehingga melebarkan arteri koroner dan arteri sistemik utama dan
menurunkan kontraktilitas miokardial.
13. Clonidin 3x1 tab
Clonidine merupakan obat anti hipertensi golongan alpha agonist.
Clonidine menurunkan tekanan darah dengan cara mengurangi kadar kimia
tertentu dalam darah. Hal ini membuat pembuluh darah mengendur dan
jantung berdetak dengan lebih lambat dan mudah.
14. Phenitoin 2x100 mg
Fenitoin digunakan sebagai obat utama anti kejang dengan
mempengaruhi sistem inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme
kerja berbagai antiepilepsi. Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada
atom C5 penting untuk efek pengendalian bangkitan tonik-klonik, sedangkan
gugus alkil berkaitan dengan efek sedasinya. Adanya gugus metil pada N3
akan mengubah spektrum aktivitas misalnya mefenitoin, dan hasil N
demetilasi oleh enzim mikrosom hati menghasilkan metabolit yang tidak
aktif.
32
Prognosis pasien ini dubia. Karena telah dilaksanakan terapi yang sesuai
namun tidak ada perubahan signifikan hingga hari ke-4. Namun terapi antibiotik
belum teruji sensitifitas LCS sehingga hanya sebatas antibiotik spektrum luas,
tidak spesifik.
VIII. FOLLOW UP
1. 30 Desember 2015
S :-
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit berat/ E1M2V1
TD : 214/134 mmHg RR : 22 x/menit
N : 120 x/menit S : 38,8oC
33
A : Hipertensi Emergensi + Suspek Meningoencephalitis
P :
a. O2 3 L/menit
b. Pasang NGT + DC
c. Nifedipin 5 mg
d. Inj. Cefotaxim 2x2 2 x 2 gr
e. Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
f. Inj. Sohobion 1 x 1 amp
g. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
h. Inj. Piracetam 3 x 3 gr
i. Inj. Herbeser 3 x 30 mg
j. Inj. Furosemid 1 amp
k. Inf Paracetamol 1000 mg/ jam
l. Motivasi masuk ICU
2. 31 Desember 2015
S :-
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit berat/ E1M1V1
TD : 178/126 mmHg RR : 29 x/menit
N : 97 x/menit S : 36,6oC
Cek DR dan Ro Thorax AP
A : Meningoencephalitis H-3
P :
a. Inj. Ceftriaxon 2 x 2 gr
b. Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
c. Inj. Sohobion 1 x 1 amp
d. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
e. Inj. Piracetam 2 x 3 gr
f. Inj. Dexamethason 4 x 1
g. Inj. Furosemid 3 x 1
h. Paracetamol 3 x 500 mg
34
i. Salbutamol 3 x 4 mg
j. Diltiazem 2 x 30 mg
3. 1 Januari 2016
S :-
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit berat/ E1M1Vx
TD : 213/110 mmHg RR : 32 x/menit
N : 129 x/menit S : 39oC
A : Meningoencephalitis H-4
P :
a. Inj. Ceftriaxon 2 x 2 gr
b. Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
c. Inj. Sohobion 1 x 1 amp
d. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
e. Inj. Piracetam 2 x 3 gr
f. Inj. Dexamethason 4 x 1
g. Inj. Furosemid 3 x 1
h. Paracetamol 3 x 500 mg
i. Salbutamol 3 x 4 mg
j. Diltiazem 2 x 30 mg
4. 2 Januari 2016
S :-
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit berat/ E1M1Vx
TD : 182/107 mmHg RR : 33 x/menit
N : 104 x/menit S : 37,3oC
A : Meningoencephalitis H-5
P :
a. Inj. Ceftriaxon 2 x 2 gr
b. Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
c. Inj. Sohobion 1 x 1 amp
35
d. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
e. Inj. Piracetam 2 x 3 gr
f. Inj. Dexamethason 4 x 1
g. Inj. Furosemid 4 x 1
h. Paracetamol 3 x 500 mg
i. Salbutamol 3 x 4 mg
j. Diltiazem 3 x 30 mg
k. Clonidin 3 x 1
l. Phenitoin 2x100 mg
5. 3 Januari 2016
S :-
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit berat/ E1M1Vx
TD : 195/105 mmHg RR : 30 x/menit
N : 110 x/menit S : 37,6oC
A : Meningoencephalitis H-6
P :
a. Inj. Ceftriaxon 2 x 2 gr
b. Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
c. Inj. Sohobion 1 x 1 amp
d. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
e. Inj. Piracetam 2 x 3 gr
f. Inj. Dexamethason 4 x 1
g. Inj. Furosemid 4 x 1
h. Paracetamol 3 x 500 mg
i. Salbutamol 3 x 4 mg
j. Diltiazem 3 x 30 mg
k. Clonidin 3 x 1
l. Phenitoin 2x100 mg
6. 4 Januari 2016
36
S :-
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit berat/ E1M1Vx
TD : 166/108 mmHg RR : 37 x/menit
N : 116 x/menit S : 38,6oC
A : Meningoencephalitis H-7
P :
a. Inj. Ceftriaxon 2 x 2 gr
b. Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
c. Inj. Sohobion 1 x 1 amp
d. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
e. Inj. Piracetam 2 x 3 gr
f. Inj. Dexamethason 4 x 1
g. Inj. Furosemid 4 x 1
h. Paracetamol 3 x 500 mg
i. Salbutamol 3 x 4 mg
j. Diltiazem 3 x 30 mg
k. Clonidin 3 x 1
l. Phenitoin 2x100 mg
7. 5 Januari 2016
S :-
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit berat/ E1M1Vx
TD : 195/105 mmHg RR : 30 x/menit
N : 110 x/menit S : 37,6oC
DR ulang
A : Meningoencephalitis H-8
P :
a. Inj. Ceftriaxon 2 x 2 gr
b. Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
c. Inj. Sohobion 1 x 1 amp
d. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
37
e. Inj. Piracetam 2 x 3 gr
f. Inj. Dexamethason 4 x 1
g. Inj. Furosemid 4 x 1
h. Paracetamol 3 x 500 mg
i. Salbutamol 3 x 4 mg
j. Diltiazem 3 x 30 mg
k. Clonidin 3 x 1
l. Phenitoin 2x100 mg
8. 6 Januari 2016
S :-
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit berat/ E1M1Vx
TD : 204/108 mmHg RR : 33 x/menit
N : 105 x/menit S : 38,3oC
A : Meningoencephalitis H-9
P :
a. Inj. Ceftriaxon 2 x 2 gr
b. Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
c. Inj. Sohobion 1 x 1 amp
d. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
e. Inj. Piracetam 2 x 3 gr
f. Inj. Dexamethason 4 x 1
g. Inj. Furosemid 4 x 1
h. Paracetamol 3 x 500 mg
i. Salbutamol 3 x 4 mg
j. Diltiazem 3 x 30 mg
k. Clonidin 3 x 1
l. Phenitoin 2x100 mg
9. 7 Januari 2016
S :-
38
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit berat/ E1M1Vx
TD : 201/123 mmHg RR : 29 x/menit
N : 109 x/menit S : 38oC
A : Meningoencephalitis H-10
P :
a. Inj. Ceftriaxon 2 x 2 gr
b. Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
c. Inj. Sohobion 1 x 1 amp
d. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
e. Inj. Piracetam 2 x 3 gr
f. Inj. Dexamethason 4 x 1
g. Inj. Furosemid 4 x 1
h. Paracetamol 3 x 500 mg
i. Salbutamol 3 x 4 mg
j. Diltiazem 3 x 30 mg
k. Clonidin 3 x 1
l. Phenitoin 2x100 mg
39
g. Inj. Furosemid 4 x 1
h. Paracetamol 3 x 500 mg
i. Salbutamol 3 x 4 mg
j. Diltiazem 3 x 30 mg
k. Clonidin 3 x 1
l. Phenitoin 2x100 mg
2. 8 Januari 2016
17.30
S : Nafas satu-satu
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit berat/ E1M1Vx
TD : 220/138 mmHg RR : 38 x/menit
N : 135 x/menit S : 40,1oC
SpO2 : 84% Akral dingin
Pupil midriasis, RC (-)
A : Meningoencephalitis H-11
P : O2 10 L/menit, pengawasan/ 15 menit, Motivasi keluarga
3. 8 Januari 2016
17.45
40
S : Nafas satu-satu
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit berat/ E1M1Vx
TD : 90/60 mmHg
Nadi tak teraba
SpO2 : 28%
Pupil midriasis, RC (-)
A : Meningoencephalitis H-11
P : O2 10 L/menit, pengawasan/15 menit, Motivasi keluarga
4. 8 Januari 2016
18.00
S : Nafas satu-satu
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit berat/ E1M1Vx
TD : -
Nadi tak teraba
SpO2 : 0%
Pupil midriasis, RC (-)
A : Meningoencephalitis H-11
P : O2 10 L/menit, Motivasi keluarga, pasang EKG
240
41
5. 8 Januari 2016
220
40
18.05
200
39 S : Nafas (-)
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit berat/ E1M1Vx
180
38
Nadi tak teraba
160
37 SpO2 : 0%
Pupil midriasis, RC (-)
140
36
EKG : Flat
120
35 A : Meningoencephalitis H-11
P : Motivasi keluarga
100
34
80
60 41
0
16.00 17.30 17.45 18.00 18.05
DAFTAR PUSTAKA
42
3. UGM Press. Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
4. Lindsay, KW dan Bone I. Coma and Impaired Conscious Level dalam
Neurology and Neurosurgery Illustrated. Churchill Livingstone, UK. h-81.
1997.
5. Greenberg, MS. Coma dalam Handbook of Neurosurgery. 5th Thieme.
NY. Hal 119-123. 2001.
6. Sidharta P. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Dian Rakyat, Jakarta;
2009.
7. Sustrani, Lanny, Syamsir Alam, Iwan hadibroto. Stroke. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama; 2003
8. Lazoff M, Hemphill RR, Pritz T. Encephalitis. (Online).
http://emedicine.medscape.com/article/791896-overview, diakses 5 mei
2015.
9. Tunkel AR et al. The Management of Encephalitis: Clinical Practice
Guidelines by the Infectious Diseases Society of America. Clinical
Infectious Diseases. 47:30327. 2008
10. Price S.A., Wilson L.M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 4, Buku II, EGC, Jakarta; 1995.
43