Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1
BAB I PENDAHULUAN 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 ANATOMI RETINA 4
2.2 FISIOLOGI RETINA 8
2.3 ABLASIO RETINA 9
2.3.1 DEFINISI 9
2.3.2 EPIDEMIOLOGI 9
2.3.3 ETIOLOGI 11
2.3.4 PATOGENESIS 11
2.3.5 KLASIFIKASI 12
2.3.6 DIAGNOSIS 17
2.3.7 PENATALAKSANAAN 16
2.3.8 PROGNOSIS 25
BAB III KESIMPULAN 26
DAFTAR PUSTAKA 27

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Retina merupakan lapisan membran neurosensoris dan merupakan lapisan
ketiga bola mata setelah sklera yang merupakan jaringan ikat dan jaringan uvea
yang merupakan jaringan vaskuler yang terdiri dari iris, badan siliar, dan koroid.
Retina berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina. Antara retina dan
koroid terdapat rongga yang potensial yang bisa mengakibatkan retina terlepas
dari koroid. Hal ini yang disebut sebagai ablasio retina.
Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisir, yang
terdiri dari lapisan-lapisan badan sel dan prosesus sinaptik. Walaupun ukurannya
kompak dan tampak sederhana apabila dibandingkan dengan struktur saraf
misalnya korteks serebrum, retina memiliki daya pengolahan yang sangat
canggih. Pengolahan visual retina diuraikan oleh otak, dan persepsi warna,
kontras, kedalaman, dan bentuk berlangsung di korteks. Pengolahan informasi di
retina berlangsung dari lapisan fotoreseptor melalui akson sel ganglion menuju
ke saraf optikus dan otak.
Istilah “ablasio retina” (retinal detachment) menandakan pemisahan retina
yaitu fotoreseptor dan lapisan bagian dalam, dari epitel pigmen retina dibawahnya.
Terdapat tiga jenis utama : ablasio regmatogenosa, ablasio traksi dan ablasio serosa
atau hemoragik.1
Bentuk tersering dari ketiga jenis ablasio retina adalah ablasio retina
regmatogenosa. Menurut penelitian, di Amerika Serikat insiden ablasio retina 1
dalam 15.000 populasi dengan prevalensi 0,3%. Sedangkan insiden per tahun kira-
kira 1 diantara 10.000 orang dan lebih sering terjadi pada usia lanjut kira-kira umur
40-70 tahun. Pasien dengan miopia yang tinggi (>6D) memiliki 5% kemungkinan

2
resiko terjadinya ablasio retina, afakia sekitar 2%, komplikasi ekstraksi katarak
dengan hilangnya vitreus dapat meningkatkan angka kejadian ablasio hingga 10%.3

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Retina

Retina merupakan selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan dan


terdiri atas beberapa lapis yang melapisi bagian dalam dua pertiga belakang bola
mata. Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan
berakhir di tepi ora serrata.1

Gambar 1. Anatomi retina

Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi luar ke dalam adalah sebagai berikut:
1. Epitelium pigmen retina
Merupakan lapisan terluar dari retina. Epitel pigmen retina terdiri dari
satu lapisan sel mengandung pigmen dan terdiri atas sel-sel silindris
dengan inti di basal. Daerah basal sel melekat erat membran Bruch dari
koroid. Fotoreseptor dipelihara oleh epitel pigmen retina, yang berperan
pada proses penglihatan. Epitel pigmen ini bertanggung jawab untuk

4
fagositosis segmen luar fotoreseptor, transportasi vitamin, mengurangi
hamburan sinar, serta membentuk sawar selektif antara koroid dan retina.3,
4, 5

2. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut.


Sel-sel batang dan kerucut di laisan fotoreseptor mengubah
rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh
jaras-jaras penglihatan ke korteks penglihatan ocipital. Fotoreseptor
tersusun sehingga kerapatan sel-sel kerucut meningkat di di pusat makula
(fovea), dan kerapatan sel batang lebih tinggi di perifer. Pigmen
fotosensitif di dalam sel batang disebut rodopsin. Sel kerucut
mengandung tiga pigmen yang belum dikenali sepenuhnya yang disebut
iodopsin yang kemungkinan menjadi dasar kimiawi bagi tiga warna
(merah,hijau,biru) untuk penglihatan warna. Sel kerucut berfungsi untuk
penglihatan siang hari (fotopik). Subgrup sel kerucut responsif terhadap
panjang gelombang pendek, menengah, dan panjang (biru, hijau merah).
Sel batang berfungsi untuk penglihatan malam (skotopik). Dengan bentuk
penglihatan adaptasi gelap ini terlihat beragam corak abu-abu, tetapi
warnanya tidak dapat dibedakan. Waktu senja (mesopik) diperantarai oleh
kombinasi sel kerucut dan batang.2,4, 5
3. Membrana limitans externa
4. Lapisan inti luar sel fotoreseptor, Ini terdiri dari inti dari
batang dan kerucut.3,6
5. Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan – sambungan sel
bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor .3,6
6. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal.
7. Lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung sambungan – sambungan
sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar .3,6
8. Lapisan sel ganglion, Ini terutama mengandung sel badan sel ganglion

5
9. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson – akson sel ganglion yang
berjalan menuju ke nervus optikus.3,6
10. Membrana limitans interna. Ini adalah lapisan paling dalam dan
memisahkan retina dari vitreous. Itu terbentuk oleh persatuan ekspansi
terminal dari serat yang Muller, dan pada dasarnya adalah dasar membran..
3,6

Gambar 2.
Lapisan retina

Gambar 3.
Gambaran retina normal

6
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub
posterior. Di tengah – tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis makula
dapat didefinisikan sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh
pigmen luteal (xantofil) yang berdiameter 1,5 mm. Secara histologis makula
merupakan bagian retina yang lapisan ganglionnya mempunyai lebih dari satu lapis
sel. Secara klinis, makula adalah bagian yang dibatasi oleh arkade – arkade
pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula sekitar 3,5 mm di sebelah lateral
diskus optikus terdapat fovea yang secara klinis jelas – jelas merupakan suatu
cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop.2
Fovea merupakan zona avaskular di retina pada angiografi fluoresens.
Secara histologi, fovea ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan tidak
adanya lapisan – lapisan parenkim karena akson – akson sel fotorreceptor (lapisan
serat Henle) berjalan oblik dan pergeseran secara sentrifugal lapisan retina yang
lebih dekat ke permukaan dalam retina. Foveola adalah bagian paling tengah pada
fovea, disini fotoreseptornya adalah sel kerucut dan bagian retina yang paling tipis.
Semua gambaran histologis ini memberikan diskriminasi visual yang halus. Ruang
ekstraseluler retina yang normalnya kosong potensial paling besar di makula dan
penyakit yang menyebabkan penumpukan bahan di ekstrasel dapat menyebabkan
daerah ini menjadi tebal sekali.2

7
Gambar 4.
Anatomi makula

Pembuluh darah di dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika, arteri


retina sentral masuk retina melalui papil saraf optic yang akan memberikan nutrisi
dalam retina. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dari
koroid. Retina menerima darah dari dua sumber yaitu khoriokapilaria yang berada
tepat diluar membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina termasuk lapisan
pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreceptor, dan lapisan epitel pigmen retina
serta cabang – cabang dari arteri sentralis retinae yang mendarahi dua pertiga sebelah
dalam. Fovea sepenuhnya diperdarahi oleh khoriokapilaria dan mudah terkena
kerusakan yang tak dapat diperbaiki kalau retina mengalami ablasi. Pembuluh darah
retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang yang membentuk sawar darah
retina. Lapisan endotel pembuluh khoroid dapat ditembus. Sawar darah retina sebelah
luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.2,3

2.2. Fisiologi Retina

Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata harus
berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu
transducer yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu

8
mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh
lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan.
Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk
penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis,
terdapat hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat
saraf keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam. Macula terutama
digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan
bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan
terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik).

Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskuler


pada retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang
mencetuskan proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung
rodopsin, yang merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif yang terbentuk
sewaktu molekul protein opsin bergabung dengan 11-sis-retinal. Sewaktu foton
cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera mengalami isomerisasi menjadi
bentuk all-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid membran yang separuhnya
terbenam di lempeng membran lapis ganda pada segmen paling luar fotoreseptor.

Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang.


Pada bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam-macam nuansa abu-
abu, tetapi warna tidak dapat dibedakan. Penglihatan siang hari terutama diperantarai
oleh fotoreseptor kerucut, jika senja hari diperantarai oleh kombinasi sel kerucut dan
batang, dan penglihatan malam oleh fotoreseptor batang.

2.3. Ablasio Retina

2.3.1. Definisi

Ablasio retina (retinal detachment) adalah pemisahan retina sensorik,


yakni lapisan fotoreseptor (sel kerucut dan batang) dan jaringan bagian dalam,

9
epitel pigmen retina dibawahnya. Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih
melekat erat dengan membran Bruch. Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel
batang retina tidak terdapat suatu perlekatan struktural dengan koroid atau
pigmen epitel, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas
secara embriologis. 1,3,7

Gambar 5

2.3.2. Epidemiologi

. Menurut penelitian, di Amerika Serikat insiden ablasio retina 1 dalam 15.000


populasi dengan prevalensi 0,3%. Sedangkan insiden per tahun kira-kira 1 diantara
10.000 orang dan lebih sering terjadi pada usia lanjut kira-kira umur 40-70 tahun.
Pasien dengan miopia yang tinggi (>6D) memiliki 5% kemungkinan resiko terjadinya
ablasio retina, afakia sekitar 2%, komplikasi ekstraksi katarak dengan hilangnya
vitreus dapat meningkatkan angka kejadian ablasio hingga 10%.3

10
2.3.3. Etiologi

1. Terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang mengalami likuifikasi


dapat memasuki ruangan subretina.
2. Retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina
3. Akumulasi cairan dalam ruangan subretina akibat proses eksudasi.

2.3.4 Patogenesis

Ruangan potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai dengan


rongga vesikel optik embriogenik. Kedua jaringan ini melekat longgar, pada mata
yang matur dapat berpisah :

1. Jika terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang mengalami likuifikasi
dapat memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio progresif (ablasio
regmatogenosa).
2. Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina,
misalnya seperti pada retinopati proliferatif pada diabetes mellitus (ablasio retina
traksional).
3. Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruangan subretina
akibat proses eksudasi, yang dapat terjadi selama toksemia pada kehamilan
(ablasio retina eksudatif)

Ablasio retina idiopatik (regmatogen) terjadinya selalu karena adanya robekan


retina atau lubang retina. Sering terjadi pada miopia, pada usia lanjut, dan pada mata
afakia. Perubahan yang merupakan faktor prediposisi adalah degenerasi retina perifer
(degenerasi kisi-kisi/lattice degeration), pencairan sebagian badan kaca yang tetap
melekat pada daerah retina tertentu, cedera, dan sebagainya.12 Perubahan degeneratif
retina pada miopia dan usia lanjut juga terjadi di koroid. Sklerosis dan sumbatan
pembuluh darah koroid senil akan menyebabkan berkurangnya perdarahan ke retina.
Hal semacam ini juga bisa terjadi pada miopia karena teregangnya dan menipisnya
pembuluh darah retina.
Perubahan ini terutama terjadi di daerah ekuator, yaitu tempat terjadinya 90%
robekan retina. Terjadinya degenerasi retina pada mata miopia 10 sampai 15 tahun

11
lebih awal daripada mata emetropia. Ablasi retina delapan kali lebih sering terjadi
pada mata miopia daripada mata emetropia atau hiperopia. Ablasi retina terjadi
sampai 4% dari semua mata afakia, yang berarti 100 kali lebih sering daripada mata
fakia.12 Terjadinya sineresis dan pencairan badan kaca pada mata miopia satu
dasawarsa lebih awal daripada mata normal.
Depolimerisasi menyebabkan penurunan daya ikat air dari asam hialuron
sehingga kerangka badan kaca mengalami disintegrasi. Akan terjadi pencairan
sebagian dan ablasi badan kaca posterior. Oleh karenanya badan kaca kehilangan
konsistensi dan struktur yang mirip agar-agar, sehingga badan kaca tidak menekan
retina pada epitel pigmen lagi. Dengan gerakan mata yang cepat, badan kaca menarik
perlekatan vireoretina. Perlekatan badan kaca yang kuat biasanya terdapat di daerah
sekeliling radang atau daerah sklerosis degeneratif. Sesudah ekstraksi katarak
intrakapsular, gerakan badan kaca pada gerakan mata bahkan akan lebih kuat lagi.
Sekali terjadi robekan retina, cairan akan menyusup di bawah retina sehingga
neuroepitel akan terlepas dari epitel pigmen dan koroid

2.3.5 Klasifikasi1,2

Berdasakan penyebabnya ablasio retina dibagi menjadi:


1. Ablasio Retina Primer (Ablasio Retina Regmatogenosa)
Ablasio regmatogenosa berasal dara kata Yunani rhegma, yang berarti
diskontuinitas atau istirahat . Pada ablasio retina regmatogenosa dimana ablasi
terjadi adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel
pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair
(fluid vitreus) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga
subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen
koroid. Ablasio regmantogenosa spontan biasanya didahului atau disertai oleh
pelepasan korpus vitreum posterior.1,2,8

Faktor predisposisi terjadinya ablasio retina regmatogenosa antara lain: 2,3

12
a. Usia. Kondisi ini paling sering terjadi pada umur 40 – 60 tahun. Namun usia
tidak menjamin secara pasti karena masih banyak faktor yang mempengaruhi.
b. Jenis kelamin. Keadaan ini paling sering terjadi pada laki – laki dengan
perbandingan laki : perempuan adalah 3 : 2
c. Miopi. Sekitar 40 persen kasus ablasio retina regmatogenosa terjadi karena
seseorang mengalami miop.
d. Afakia. Keadaan ini lebih sering terjadi pada orang yang afakia daripada
seseorang yang fakia. Pasien bedah katarak diduga akibat vitreus ke anterior
selama atau setelah pembedahan. Lebih sering terjadi setelah ruptur kapsul,
kehilangan vitreus dan vitrektomi anterior. Ruptur kapsul saat bedah katarak
dapat mengakibatkan pergeseran materi lensa atau sesekali, seluruh lensa ke
dalam vitreus.
e. Trauma. Mungkin juga bertindak sebagai faktor predisposisi
f. Fenile Posterior Vitreous Detachment (PVD). Hal ini terkait dengan ablasio
retina dalam kasus banyak.
g. Pasca sindrom nekrosis akut retina dan sitomegalovirus (CMV) retinitis pada
pasien AIDS berupa nekrosis retina dengan formasi istirahat retina terjadi,
kemudian, cairan dari rongga vitreous dapat mengalir melalui istirahat dan
melepas retina tanpa ada hadir traksi vitreoretinal terbuka.
h. Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer seperti Lattice
degeneration, Snail track degeneration, White-with-pressure and white-
without or occult pressure, acquired retinoschisis

Ablasio retina akan memberikan gejala prodromal terdapatnya gangguan


penglihatan yang kadang – kadang terlihat sebagai tabir yang menutupi (floaters)
akibat dari vitreous cepat degenerasi dan terdapat riwayat adanya pijaran api
(fotopsia) pada lapangan penglihatan akibat sensasi berkedip cahaya karena
iritasi retina oleh gerakan vitreous.1,3

13
Ablasi retina yang berlokalisasi di daerah superotemporal sangat berbahaya
karena dapat mengangkat macula. Penglihatan akan turun secara akut bila
lepasnya retina mengenai macula lutea. Pada pemeriksaan funduskopi akan
terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah diatasnya
dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan
terlihat retina yang lepas (ablasi) bergoyang. Kadang – kadang terdapat pigmen
didalam badan kaca. Pada pupil terdapat adanya defek aferen pupil akibat
penglihatan menurun. Tekanan bola mata rendah dan dapat meninggi bila telah

terjadi neovaskuler glaucoma pada ablasi yang telah lama.1


Gambar 6.
Ablasio retina tipe regmatogenosa, arah panah menunjukkan horseshoe tear .

2. Ablasio Retina Sekunder (Non regmatogenosa)


i. Ablasio Retina Eksudatif
Ablasio retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan eksudat
di bawah retina (subretina) dan mengangkat retina. Penimbunan cairan
subretina terjadi akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh retina dan koroid.
Penyebab Ablasio retina eksudatif dibagi menjadi dua yaitu penyakit sistemik
yang meliputi Toksemia gravidarum, hipertensi renalis, poliartritis nodosa.
Sedangkan penyakit mata meliputi akibat inflamasi (skleritis posterior,
selulitis orbita), akibat penyakit vascular (central serous retinophaty, and
axudative retinophaty of coats, akibat neoplasma (malignant neoplasma

14
koroid dan retinoblastoma), akibat perforasi bola mata pada operasi
intraokuler.1,2,3
Gejala klinis ablasio retina eksudatif antara lain:3

a. Tidak adanya photopsia, lubang / air mata, lipatan dan


undulations.
b. Ablasio retina eksudatif halus dan cembung. Pada puncak tumor
itu biasanya bulat dan tetap dan bisa menunjukkan gangguan
pigmen.
c. Kadang-kadang, pola pembuluh retina mungkin terganggu akibat
adanya neovaskularisasi di puncak tumor.
d. Pergeseran cairan ditandai dengan mengubah posisi daerah
terpisah dengan gravitasi adalah ciri khas yang dari detasemen
retina eksudatif.
e. Pada tes transillumination satu ablasio sederhana muncul
transparan sedangkan ablasio padat.

Gambar 7.
Ablasio retina tipe eksudatif akibat dari hasil metastase karsinoma payu dara .

15
ii. Ablasio retina traksi
Pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan
parut pada korpus vitreus (badan kaca). Pada badan kaca terdapat jaringan fibrosis
yang dapat disebabkan diabetes melitus proliferative, trauma, dan perdarahan
badan kaca akibat bedah atau infeksi. Tipe ini juga dapat terjadi sebagai
komplikasi dari ablasio retina regmatogensa.1,2,3
Ablasio retina tipe regmatogenosa yang berlangsung lama akan membuat
retina semakin halis dan tipis sehingga dapat menyebabkan terbentuknya
proliferatif vitreotinopathy (PVR) yang sering ditenukan pada tipe
Regmetogenosa yang lama. PVR juga dapat terjadi kegagalan dalam
penatalaksanaan ablasio retina regmatogenosa. Pada PVR, epitel pigmen retina, sel
glia, dan sel lainya yang berada di dalam maupun di luar retina pada badan vitreus
akan membentuk membrane. Kontraksi dari membrane tersebut akan
menyebabkan retina tertarik ataupun menyusut, sehingga dapat mengakibatkan
terdapatnya robekan baru atau brkembang menjadi ablasio retina traksi.1,2,3,6

Gambar 8.
Ablasio retina traksi

16
2.3.6. Diagnosis

Tabel 1. Gambaran Diagnosis Dari Tiga Tipe Ablasio Retina

Regmatogenus Traksi Eksudatif

Riwayat penyakit Afakia, myopia, Diabetes, Factor-faktor


trauma tumpul, premature,trauma sistemik seperti
photopsia, floaters, tembus, penyakit sel hipertensi maligna,
gangguan lapangan sabit, oklusi vena. eklampsia, gagal
pandang yang ginjal.
progresif, dengan
keadaan umum
baik.

Kerusakan retina Terjadi pada 90-95 Kerusakan primer Tidak ada


% kasus tidak ada

Perluasan ablasi Meluas dari oral ke Tidak meluas Tergantung volume


discus, batas dan menuju ora, dapat dan gravitasi,
permukaan sentral atau perifer perluasan menuju
cembung oral bervariasi,
tergantung dapat sentral atau
gravitasi perifer

Pergerakan retina Bergelombang atau Retina tegang, batas Smoothly elevated


terlipat dan permukaan bullae, biasanya
cekung, Meningkat tanpa lipatan
pada titik tarikan

Bukti kronis Terdapat garis Garis pembatas Tidak ada


pembatas, makrosis

17
intra retinal,
atropik retina

Pigmen pada Terlihat pada 70 % Terlihat pada kasus Tidak ada


vitreous kasus trauma

Perubahan vitreous Sineretik, PVD, Penarikan Tidak ada, kecuali


tarikan pada vitreoretinal pada uveitis
lapisan yang robek

Cairan sub retinal Jernih Jernih atau tidak ada Dapat keruh dan
perpindahan berpindah secara
cepat tergantung
pada perubahan
posisi kepala.

Massa koroid Tidak ada Tidak ada Bisa ada

Tekanan Rendah Normal Bervariasi


intraocular

Transluminasi Normal Normal Transluminasi


terblok apabila
ditemukan lesi
pigmen koroid

Keaadan yang Robeknya retina Retinopati Uveitis, metastasis


menyebabkan diabetikum tumor, melanoma
ablasio proliferative, post maligna,
traumatis vitreous retinoblastoma,
traction hemangioma
koroid, makulopati

18
eksudatif senilis,
ablasi eksudatif
post cryotherapi
atau dyathermi.

Pemeriksaan:

1. Pemeriksaan tajam penglihatan

2. Pemeriksaan lapangan pandang

3. Memeriksa apakah ada tanda-tanda trauma

4. Periksa reaksi pupil. Dilatasi pupil yang menetap mengindikasikan adanya


trauma.

5. Pemeriksaan slit lamp; anterior segmen biasanya normal, pemeriksaan


vitreous untuk mencari tanda pigmen atau “tobacco dust”, ini merupakan
patognomonis dari ablasio retina pada 75 % kasus.

6. Periksa tekanan bola mata.

7. Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop (pupil harus dalam keadaan


berdilatasi)

Pemeriksaan Penunjang :

1) Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit


penyerta seperti diabetes melitus.
2) Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan bila retina tidak dapat tervisualisasi
oleh karena perubahan kornea, katarak, atau perdarahan.

19
3) Teknik pencitraan seperti foto orbita, CT scan, atau MRI tidak diindikasikan
untuk membantu diagnosis ablasio retina tetapi dapat dibutuhkan untuk
mendeteksi benda asing intraokuli dan tumor.

2.3.7. Penatalaksanaan

Tujuan utama bedah ablasi adalah untuk menemukan dan


memeperbaiki semua robekan retina, digunakan krioterapi atau laser untuk
menimbulkan adhesi antara epitel pigmen dan retina sensorik sehingga
mencegah influks cairan lebih lanjut kedalam ruang subretina, mengalirkan
cairan subretina ke dalam ke luar, dan meredakan traksi vitreoretina.2,3
Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan. Prinsip
bedah pada ablasio retina yaitu :6
1. Menemukan semua bagian yang terlepas
2. Membuat iritasi korioretinal pada sepanjang masing-masing daerah retina
yang terlepas.
3. Menguhubungkan koroid dan retina dalam waktu yang cukup untuk
menghasilkan adhesi dinding korioretinal yang permanen pada daerah
subretinal.

Pada pembedahan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara :

1. Scleral buckling :

Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina rematogenosa


terutama tanpa disertai komplikasi lainnya. Prosedur meliputi lokalisasi posisi
robekan retina, menangani robekan dengan cryoprobe, dan selanjutnya dengan
scleral buckle (sabuk). Sabuk ini biasanya terbuat dari spons silikon atau silikon

20
padat. Ukuran dan bentuk sabuk yang digunakan tergantung posisi lokasi dan
jumlah robekan retina. Pertama – tama dilakukan cryoprobe atau laser untuk
memperkuat perlengketan antara retina sekitar dan epitel pigmen retina. Sabuk
dijahit mengelilingi sklera sehingga terjadi tekanan pada robekan retina sehingga
terjadi penutupan pada robekan tersebut. Penutupan retina ini akan menyebabkan
cairan subretinal menghilang secara spontan dalam waktu 1-2 hari. 2,3,

Keuntungan dari tehnik ini adalah menggunakan peralatan dasar, waktu


rehabilitasi pendek,resiko iatrogenic yang menyebabkan kekeruhan lensa
rendah, mencegah komplikasi intraocular seperti perdarahan dan inflamasi.

Gambar 9.
Spons silikon dijahit pada bola mata untuk menekan sklera di atas robekan retina
setelah drainase cairan sub retina dan dilakukan crioterapi .

21
Gambar 10.
Penekanan yang didapatkan dari spons silikon, retina sekarang melekat kembali dan
traksi pada robekan retina oleh vitreus dihilangkan .

2. Retinopeksi pneumatic :

Retinopeksi pneumatik merupakan metode yang juga sering digunakan


pada ablasio retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada
bagian superior retina. Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan
menyuntikkan gelembung gas ke dalam rongga vitreus. Gelembung gas ini akan
menutupi robekan retina dan mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui robekan.
Jika robekan dapat ditutupi oleh gelembung gas, cairan subretinal biasanya akan
hilang dalam 1-2 hari. Robekan retina dapat juga dilekatkan dengan kriopeksi atau
laser sebelum gelembung disuntikkan. Pasien harus mempertahankan posisi kepala
tertentu selama beberapa hari untuk meyakinkan gelembung terus menutupi
robekan retina.3,6

22
Gambar 11.
Setelah pengangkatan gel vitreus pada drainase cairan sub retina, gas fluorokarbon
inert disuntikan ke dalam rongga vitreus .

3.Pars Plana Vitrektomy :

Merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio akibat diabetes,
dan juga pada ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus atau perdarahan
vitreus. Cara pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil pada dinding bola
mata kemudian memasukkan instruyen ingá cavum vitreous melalui pars plana.
Setelah itu dilakukan vitrektomi dengan vitreus cutre untuk menghilangkan berkas
badan kaca (viteuos stands), membran, dan perleketan – perleketan. Teknik dan
instruyen yang digunakan tergantung tipe dan penyebab ablasio. Lebih dari 90%
lepasnya retina dapat direkatkan kembali dengan teknik-teknik bedah mata modern,
meskipun kadang- kadang diperlukan lebih dari satu kali operasi.3,6

Keuntungan PPV:

1. Dapat menentukan lokasi defek secara tepat


2. Dapat mengeliminasi media yang mengalami kekeruhan karena teknik ini
dapat dikombinasikan dengan ekstraksi katarak.
3. Dapat langsung menghilangkan penarikan dari vitreous.

Kerugian PPV:

23
1. Membutuhkan tim yang berpengalaman dan peralatan yang mahal.
2. Dapat menyebabkan katarak.
3. Kemungkinan diperlukan operasi kedua untuk mengeluarkan silicon oil
4. Perlu follow up segera (terjadinya reaksi fibrin pada kamera okuli anterior
yang dapat meningkatkan tekanan intraokuler.

Gambar 12. Vitrektomi

2.3.8. Prognosis

Prognosis dari penyakit ini berdasarkan pada keadaan makula sebelum dan
sesudah operasi serta ketajaman visualnya. Jika, keadaannya sudah melibatkan
makula maka akan sulit menghasilkan hasil operasi yang baik, tetapi dari data yang
ada sekitar 87 % dari operasi yang melibatkan makula dapat mengembalikan fungsi
visual sekitar 20/50 lebih kasus diman makula yang terlibat hanya sepertiga atau
setengah dari makula tersebut.6
Pasien dengan ablasio retina yang melibatkan makula dan perlangsungannya
kurang dari 1 minggu, memiliki kemungkinan sembuh post operasi sekitar 75 %
sedangkan yang perlangsungannya 1-8 minggu memiliki kemungkinan 50 %.3
Dalam 10-15 % kasus yang dilakukan pembedahan dengan ablasio retina yang
melibatkan makula, kemampuan visualnya tidak akan kembali sampai level
sebelumnya dilakukannya operasi. Hal ini disebabkan adanya beberpa faktor seperti
irreguler astigmat akibat pergeseran pada saat operasi, katarak progresif, dan edema

24
makula. Komplikasi dari pembedahan misalnya adanya perdarahan dapat
menyebabkan kemampuan visual lebih menurun.6

25
BAB III

KESIMPULAN

Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel


kerucut dan sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Ablasio retina lebih
banyak terjadi pada usia 40-70 tahun. Faktor penyebab ablasio retina terbanyak
adalah miopia, operasi katarak (afakia, pseudofakia), dan trauma okuler.
Gejala dari ablasio retina adalah adanya floater, fotopsia, dan penurunan
tajam penglihatan. Pada pemeriksaan funduskopi diperoleh retina yang mengalami
ablasio tampak sebagai membran abu-abu merah muda yang menutupi gambaran
vaskuler koroid dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah.
Prinsip penatalaksanaan pada ablasio retina adalah untuk melekatkan kembali
lapisan neurosensorik ke lapisan epitel pigmen retina, yaitu dengan pembedahan.
Namun, pada ablasio retina eksudatif juga diberikan terapi medikamentosa sesuai
dengan etiologinya.
Prognosis tergantung luasnya robekan retina, jarak waktu terjadinya ablasio,
diagnosisnya dan tindakan bedah yang dilakukan. Pada miopia tinggi, karena ada
degenerasi retina, maka prognosis buruk.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2010. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta. p.1-10, 183-6
2. DR.Dr.Widya Artini, SpM, Pemeriksaan Dasar Mata, Edisi pertama, Jakarta:
Badan Penerbit FKUI, 2011.
3. Bruce James, Chris Chew,Anthony Bron, Lecture Notes On Oftalmology ,
edisi kesembilan ,Blackwell Science Ltd :Penerbit Erlangga
4. Ilyas, Sidarta. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata ,edisi keempat. 2009..
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. p.107-10.
5. Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. 2000. Oftalmologi umum (General
ophthalmology) edisi 17. EGC: Jakarta. p. 12-199
6. Khurana. Diseases of retina in comprehensive ophthalmology 4th edition. New
Age International Limited Publisher: India. p. 249- 279.
7. Junqueira LC, Jose C. Histologi Dasar Teks & Atlas. Edisi 10. Jakarta: EGC;
2007. Hal. 470-464
8. Reynolds,J. Olitsky,S. Anatomy and Physiology of Retina In : Pediatric

retina. 2011. Springer-verlag : Berlin Heidelberg. Page 39-50.

9. American Academy Ophtalmology. Retina and Vitreous: Section 12 2007-


2008. Singapore: LEO; 2008. p. 9-299
10. Lang, GK. Ophtalmology, A Pocket Textbook Atlas. 2nd Edition.
2006.Thieme. Germany. p. 305-344.
11. Sundaram venki. Training in Ophthalmology. 2009. Oxford university press:
New York. P.118-119
12. Larkin, L. Gregory. Retinal Detachment.[serial online] 8th septembe 2010
[cited 19th June 2012]. Available from :
http//emedicine.medscape.com/article/1226426

27

Anda mungkin juga menyukai

  • BF Persentasi
    BF Persentasi
    Dokumen20 halaman
    BF Persentasi
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Metode Farmakologi
    Metode Farmakologi
    Dokumen13 halaman
    Metode Farmakologi
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Keluarga Binaan
    Keluarga Binaan
    Dokumen11 halaman
    Keluarga Binaan
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Enterobiasis
    Enterobiasis
    Dokumen23 halaman
    Enterobiasis
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Sediaan Intranasal Dan Pulmonal
    Sediaan Intranasal Dan Pulmonal
    Dokumen5 halaman
    Sediaan Intranasal Dan Pulmonal
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Stroke Hemoragik
    Laporan Kasus Stroke Hemoragik
    Dokumen33 halaman
    Laporan Kasus Stroke Hemoragik
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Bronko Pneumonia
    Bronko Pneumonia
    Dokumen25 halaman
    Bronko Pneumonia
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • CRS Edh
    CRS Edh
    Dokumen53 halaman
    CRS Edh
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Dermatitis Atopi
    Dermatitis Atopi
    Dokumen19 halaman
    Dermatitis Atopi
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Hipertensi
    Lapsus Hipertensi
    Dokumen46 halaman
    Lapsus Hipertensi
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • CRS Brvo
    CRS Brvo
    Dokumen40 halaman
    CRS Brvo
    yoga zunandy pratama
    Belum ada peringkat
  • Sinusitis
    Sinusitis
    Dokumen20 halaman
    Sinusitis
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Translete Jurnal (Amanda, Zuhriya, Olifia)
    Translete Jurnal (Amanda, Zuhriya, Olifia)
    Dokumen16 halaman
    Translete Jurnal (Amanda, Zuhriya, Olifia)
    amandajae
    Belum ada peringkat
  • Asma
    Asma
    Dokumen25 halaman
    Asma
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Isi Referat Hipermetropi Dan Presbiopi
    Isi Referat Hipermetropi Dan Presbiopi
    Dokumen12 halaman
    Isi Referat Hipermetropi Dan Presbiopi
    Benny Antama Syant
    Belum ada peringkat
  • Presbiopi
    Presbiopi
    Dokumen26 halaman
    Presbiopi
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Anemia
    Laporan Kasus Anemia
    Dokumen21 halaman
    Laporan Kasus Anemia
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • An. Ibu Hamil
    An. Ibu Hamil
    Dokumen17 halaman
    An. Ibu Hamil
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Keluarga Binaan
    Keluarga Binaan
    Dokumen11 halaman
    Keluarga Binaan
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Asma
    Lapsus Asma
    Dokumen32 halaman
    Lapsus Asma
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Tumor Orbita
    Tumor Orbita
    Dokumen3 halaman
    Tumor Orbita
    BiManda Rizki Nurhidayat
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Sinusitis
    Laporan Kasus Sinusitis
    Dokumen48 halaman
    Laporan Kasus Sinusitis
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Katara K
    Katara K
    Dokumen21 halaman
    Katara K
    anggia_dian
    Belum ada peringkat
  • UEU Undergraduate 880 BAB II
    UEU Undergraduate 880 BAB II
    Dokumen60 halaman
    UEU Undergraduate 880 BAB II
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Trigeminal Neuralgia
    Trigeminal Neuralgia
    Dokumen19 halaman
    Trigeminal Neuralgia
    amandajae
    Belum ada peringkat
  • Neurodermatititis Ola
    Neurodermatititis Ola
    Dokumen27 halaman
    Neurodermatititis Ola
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • CSS Hipertensi Revisi FIX
    CSS Hipertensi Revisi FIX
    Dokumen36 halaman
    CSS Hipertensi Revisi FIX
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • Trigeminal Neuralgia
    Trigeminal Neuralgia
    Dokumen27 halaman
    Trigeminal Neuralgia
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    Belum ada peringkat
  • CRS OLIF Liken Simpleks Kronis
    CRS OLIF Liken Simpleks Kronis
    Dokumen45 halaman
    CRS OLIF Liken Simpleks Kronis
    Olliph Virnoliph Leiqueno Herjunetand
    100% (1)