Anda di halaman 1dari 71

LAPORAN KASUS

Seorang Perempuan Usia 62 Tahun dengan CHF dan Efusi Perikardium

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSU PKU Muhammadiyah Delanggu

Diajukan Kepada:
Pembimbing I : dr. Prawoto, Sp.PD
Pembimbing II : dr. Rendra Perwira
Disusun Oleh :
Billy Gustomo

H2A011012

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
RUMAH SAKIT UMUM PKU MUHAMMADIYAH DELANGGU
Periode 7 Desember 2015 Februari 2016

LEMBAR PENGESAHAN
KOORDINATOR KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

Laporan Kasus dengan Judul :


Seorang Perempuan Usia 62 Tahun dengan CHF dan Efusi Perikardium
Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSU PKU Muhammadiyah Delanggu
Disusun Oleh :
Billy Gustomo

H2A011012

Telah Disetujui Oleh Pembimbing :


Pembimbing II

Pembimbing I

dr. Rendra Perwira

dr. Prawoto, Sp.PD

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... 2
DAFTAR ISI..................................................................................................... 3
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................ 4
BAB II. LAPORAN KASUS............................................................................ 5
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................

32

A. Diabetes Melitus....................................................................................

32

B. Neuropati Diabetik................................................................................. 44
C. Ulkus Diabetik........................................................................................
D. Kardiomiopati........................................................................................ 58
E. Retinopati Diabetik......................................................................... 62
BAB IV. PEMBAHASAN................................................................................ 65
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 81

50

BAB I
PENDAHULUAN
Jantung terletak dalam ruang mediastinum rongga dada, yaitu di antara
paru. Memiliki panjang kira-kira 12 cm (5 in.), lebar 9 cm (3,5 in.), dan tebal 6 cm
(2,5 in.), dengan massa 250 g pada wanita dewasa dan 300 g pada pria dewasa.
Dua pertiga massa jantung berada di sebelah kanan dari garis tengah tubuh. Dasar
jantung adalah permukaan posteriornya yang dibentuk oleh atrium jantung,
terutama atrium kiri. Sedangkan bagian ujung jantung (apeks) dibentuk oleh ujung
ventrikel kiri. Membran pembungkus jantung disebut perikardium yang menjaga
jantung untuk tetap berada pada posisinya di mediastinum. Perikardium terdiri
dari dua bagian: perikardium fibrosa dan perikardium serosa. Perikardium fibrosa
terletak paling superfisial dan tidak dapat meregang. Sedangkan perikardium
serosa, lapisan paling dalam, lebih tipis dan terdiri dari dua lapisan. 1,2
Efusi Perikardial adalah salah satu penyakit jantung yaitu kelebihan cairan
yang terdapat diantara perikardium. Perikardium biasanya berisi cairan yang
sangat kecil jumlahnya. Bila volume cairan melebihi "penuh" di tingkat
perikardium itu, efusi perikardial mengakibatkan tekanan pada jantung dan
terjadi Cardiac Tamponade (tamponade jantung) yaitu terjadinya kompresi
jantung akibat darah atau cairan menumpuk di ruang antara miokardium (otot
jantung) dan perikardium (kantung jantung). Kompresi tersebut menyebabkan
fungsi jantung menurun. Efusi perikardium merupakan hasih perjalanan klinis
dari suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi, keganasan maupun trauma. 1,3
Kelainan perikardial akibat keganasan tidak jarang dijumpai. Dilaporkan
bahwa 0,1-21% penderita kanker yang sudah bermetastasis disertai metastasis
pada perikardium pada saat otopsi. Tamponade jantung yang merupakan kompresi
jantung yang cepat atau lambat, akibat akumulasi cairan, pus, darah, bekuan atau
gas di perikardium; menyebabkan peningkatan tekanan intraperikardial yang
sangat mengancam jiwa dan fatal jika tidak terdeteksi. Insidens tamponade
jantung di Amerika Serikat adalah 2 kasus per 10.000 populasi. Lebih sering pada
4

anak laki-laki (7:3) sedangkan pada dewasa tidak ada perbedaan bermakna (lakilaki : perempuan - 1,25:1).7 Morbiditas dan mortalitas sangat tergantung dari
kecepatan diagnosis, penatalaksanaan yang tepat dan penyebab.

BAB II

LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama

: Ny. SS

Usia

: 62 tahun

Alamat

: Krapyak pucangan, kartosuro

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Pendidikan terakhir

: SMA

Pekerjaan

: tidak bekerja

Status pernikahan

: Menikah

No. Rekam Medis

: 07121210

Mausk RS

: 29 Desember 2015

Tanggal Periksa

: 31 Desember 2015

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada hari selasa 29 Desember 2015, pasien datang ke IGD RSU PKU
Delanggu dengan sesak nafas. Sesak dirasakan kurang lebih 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan terus menerus dan semakin
bertambah berat ketika beraktifitas ringan seperti naik tangga pasar,
berjalan kaki, dan batuk. Sesak berkurang dengan beristirahat dengan
posisi setengah tidur. Sesak yang dirasakan kadang dimalam hari sampai
membuat pasien terbangun dimalam hari dan sesak yang dirasa tidak
terpengaruh oleh cuaca, alergi obat, maupun makanan.
Pasien juga mengeluh batuk kering terus menerus biasanya pada
malam hari, nyeri uluhati dan perut kanan atas, dan kedua kaki bengkak.
Batuk kering yang dirasakan belum pernah diobati serta nyeri uluhati dan
perut kanan atas dirasakan sejak kurang lebih 3 bulan lalu. Bengkak pada

kedua kaki dirasakan kurang lebih 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien juga mengeluhkan dada berdebar-debar, mudah lelah dan pusing.
Pasien tidak demam, Buang air besar dan buang air kecil lancar, kesan
normal. Nyeri sendi tidak ada, penurunan berat badan drastis dalam waktu
satu bulan tidak ada.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Penyakit serupa

: (+) pasien sering sesak nafas dan 6 kali

rawat inap dengan keluhan yang sama dan pulang dinyatakan membaik
dan harus kontrol.
Riwayat penyakit jantung

: (+) pasien pernah mondok dan riwayat

rawat jalan di RSU PKU Delanggu karena gagal jantung.


Riwayat Paru

: (+) 20 tahun lalu di RS Moewardi pasien

didiagnosis keracunan nikotin pada paru (gambaran hitam pada paru /


PPOK)
Riwayat Kejang

: (+) kurang lebih 1 tahun lalu pasien kejang

dan tidak sadar saat terjadi serangan, pasien rutin berobat ke dokter
Spesialis saraf
Riwayat darah tinggi

: disangkal

Riwayat Kencing manis

: disangkal

Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

Riwayat asam urat

: disangkal

Riwayat kolesterol

: disangkal

Riwayat asma

: disangkal

Riwayat maag

: disangkal

Riwayat penyakit kuning

: disangkal

Riwayat operasi

: disangkal

Riwayat pengobatan 6 bulan : disangkal


Riwayat Trauma dada

: disangkal

Riwayat alergi makanan dan obat-obatan : disangkal

Riwayat mondok di RS

: (+) sebelumnya sudah 6 kali mondok

dengan keluhan yang sama.


4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat kencing manis

: disangkal

Riwayat darah tinggi

: disangkal

Riwayat penyakit jantung

: disangkal

Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

Riwayat asam urat

: disangkal

Riwayat kolesterol

: disangkal

Riwayat asma

: disangkal

Riwayat penyakit kuning

: disangkal

Riwayat Kejang

: disangkal

5. Riwayat Pengobatan
Pasien mengkonsumsi obat-obatan rutin untuk jantung yang
didapatkan dari dokter spesialis penyakit dalam dan obat-obatan anti
kejang dari dokter spesialis saraf. Pasien kontrol teratur serta rutin minum
obat yang diberikan.
6. Riwayat Pribadi
Pasien dirumah tinggal dengan suami dan 1 orang anaknya, pasien
merupakan orang yang tertutup dengan keluarga, setiap ada keluhan pasien
menyembunyikannya dari keluarga. Kegiatan pasien di rumah mengurus
rumah, sejak sakit pasien lebih banyak beristirahat dan mengurangi
aktivitas. Selama pasien sakit, suaminya membantu mengurus rumah dan
merawatnya dengan baik.

7. Riwayat Kebiasaan
Kebiasaan pasien di rumah yaitu minum teh setiap pagi dan sore.
Pasien tidak mengkonsumsi alkohol, obat-obatan, maupun merokok.
Suami pasien juga tidak merokok. Pasien jarang berolahraga.
8. Riwayat Sosial Ekonomi
Suami pasien seorang pesiunan Guru. Penghasilan pasien cukup untuk
membiayai kehidupan sehari-hari. Anak pertama dan kedua pasien sudah
hidup dengan keluarga kecilnya dan anak ketiga pasien masih duduk di
bangku sekolah SMP. Biaya pengobatan pasien menggunakan ASKES.
Pasien cukup aktif mengikuti kegiatan sosial di lingkungan sekitar
rumahnya.
9. Riwayat Gizi
Dalam sehari pasien makan sebanyak 3 kali sehari dengan menu
seadanya, terkadang hanya menggunakan lauk saja tidak ada sayur. Pasien
jarang makan buah dan merasa berat badannya turun sejak sakit.
.
10. Anamnesis Sistemik
a. Sistem serebrospinal
b. Sistem kardiorespiratori

: pusing (cenat-cenut)
: sesak nafas, berdebar-debar,
terbangun malam hari karena sesak,

c. Sistem gastrointestinal

batuk
: mual, nyeri uluhati, nafsu makan

d. Sistem muskuloskeletal
e. Sistem integumen
f. Sistem urogenital

menurun
: tidak ada keluhan
: tidak ada keluhan
: tidak ada keluhan

C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
9

Keadaan umum

: Tampak lemas

Kesadaran

: Compos Mentis (GCS E4M6V5)

Vital sign

TD

: 90/50 mmHg

Nadi

: 88 x/menit, ireguler, isi dan tegangan cukup

RR

: 23 x/menit

Suhu

: 36,40C (aksiler)

Warna kulit

: sawo matang, hiperpigmentasi (-), tugor turun (-)

Kepala

: normosefal, rambut warna hitam mudah dicabut (-)


Mata

: Conjungtiva anemis -/- sklera ikterik -/Pupil isokor 3mm/3mm, bulat central reguler
Reflek pupil direk +/+ indirek +/+ Mata cowong
(-/-) edema palpebra -/- strabismus (-/-)

Hidung

: Nafas cuping (-), deformitas (-), sekret (-),


darah (-)

Telinga: Serumen +/+ sedikit, sekret -/Mulut

: Bibir sianosis (-), pucat (-), stomatitis (-)


Lidah kotor (-), tremor (-), uvula ditengah, tonsil
T1-T1 hiperemis (-), faring hipermis (-)

Leher

: Kelenjar getah bening (-), distensi vena leher dan


JVP: R+4, otot bantu pernafasan (-)

Thoraks

: bentuk normochest, simetris kanan dan kiri, warna


kulit = kulit sekitar, pola pernapasan
torakoabdominal, retraksi intercostal (-), sela
iga melebar (-), pembesaran KGB axilla (-/-).

Cor
Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

10

Palpasi

: Ictus cordis teraba di ICS V 2cm linea


axilaris anterior sinistra dan kuat angkat, pulsus
sternal dan parasternal (-), thrill (-), nyeri tekan (-),
massa (-)

Perkusi :
Batas kanan atas jantung

: ICS III linea parasternalis

dextra
Batas kanan bawah jantung

: ICS VI linea midclavicula

dextra
Batas kiri atas jantung

: ICS III linea parasternalis

sinistra
Batas pinggang jantung

: ICS VI linea midclavicula


sinistra

Batas kiri bawah jantung

ICS

VI

linea

axilaris

anterior sinistra
Batas jantung kesan : cardiomegali
Auskultasi

: Bunyi jantung I dan II ireguler menjauh, murmur


(-), gallop S3 (+), pericardial friction rub (-), bising

(+) parsistol.
Pulmo
Pulmo
Depan
Inspeksi

Dextra

1. Statis

Warna kulit sama dengan Warna

kulit

sama

warna

sekitar, dengan

warna

kulit

bentuk datar (perut lebih sekitar,

bentuk

datar

rendah

Sinistra

kulit
dari

thoraks), (perut lebih rendah dari

diameter

AP

simetris,

ICS

melebar, massa (-)

11

<

L, thoraks), diameter AP <


tidak L, simetris, ICS tidak
melebar, massa (-)

2. Dinamis

Pergerakan hemithoraks

Pergerakan hemithoraks

dextra = sinistra, retraksi

dextra=sinistra, retraksi

intercostal (-)

intercostal (-)

Palpasi

Simetris, nyeri tekan (-), Simetris, nyeri tekan (-),

1. Statis

massa

(-),

ICS

tidak massa (-), ICS tidak

melebar, krepitasi (-)


2. Dinamis

Stem fremitus dextra = Stem fremitus dextra =


sinistra,

pengembangan sinistra, pengembangan

hemithoraks sama kuat


Perkusi

melebar, krepitasi (-)

hemithoraks sama kuat

Sonor di seluruh lapang Sonor di seluruh lapang


paru, batas paru-hati ICS paru
VI

linea

midclavicula

dextra
Auskultasi
Suara dasar

Vesikuler (+)

Vesikuler (+)

Suara

Ronkhi basah halus (+)

Ronkhi basah halus (+)

tambahan

Ronkhi basah kasar (-)

Ronkhi basah kasar (-)

Wheezing (-)

Wheezing (-)

Stridor (-)

Stridor (-)

Belakang
Inspeksi

Warna kulit sama dengan Warna

kulit

sama

1. Statis

warna

warna

kulit

kulit

12

sekitar, dengan

diameter

AP

simetris,

ICS

<

L, sekitar, diameter AP <


tidak L, simetris, ICS tidak

melebar, massa (-)


2. Dinamis

melebar, massa (-)

Pergerakan hemithoraks Pergerakan hemithoraks


dextra = sinistra

dextra = sinistra

Simetris, nyeri tekan

Simetris, nyeri tekan (-),

Palpasi
1. Statis

(-), massa (-), ICS tidak massa (-), ICS tidak


melebar
2. Dinamis

melebar

Stem fremitus dextra = Stem fremitus dextra =


sinistra,

pengembangan sinistra, pengembangan

hemithoraks sama kuat


Perkusi

hemithoraks sama kuat

Sonor di seluruh lapang Sonor di seluruh lapang


paru, peranjakan paru 5 paru, peranjakan paru
cm

5 cm

Suara dasar

Vesikuler (+)

Vesikuler (+)

Suara

Ronkhi basah halus (+)

Ronkhi basah halus (+)

tambahan

Ronkhi basah kasar (-)

Ronkhi basah kasar (-)

Wheezing (-)

Wheezing (-)

Ronkhi kering (-)

Ronkhi kering (-)

Auskultasi

Tampak anterior paru

Abdomen
Inspeksi

Tampak posterior paru


Sdv +/+
RBK -/RBH +/+
Wheezing -/-

: Warna kulit sama dengan warna kulit sekitar,


permukaan cembung (perut lebih tinggi dari dada)

13

Auskultasi

: Bising usus (+) normal (10x/menit), bruit aorta


abdominal (-), bruit hepar (-), bruit a.renalis (-),
suctionsplash (-)

Perkusi

: Timpani (+) di seluruh regio abdomen, pekak sisi


(+), pekak alih (-) Normal

Palpasi

: Distended (+), nyeri tekan (+) di regio


hypochondrium dextra dan epigastrium, tidak
spesifik, defance muscular (-), tes undulasi (+),
nyeri ketok ginjal (-), turgor kulit 2 detik. Hepar
teraba 5cm tepi tumpul permukaan licin perabaan
kenyal, lien dan ginjal tidak teraba

Nyeri Tekan

Ekstermitas
Pemeriksaan
Akral dingin
Kuku sendok
Oedem
Sianosis
CPR

Superior
+/+
-/-/-/< 2

Inferior
+/+
-/+/+
-/< 2

Motorik
Reflek fisiologis
Reflek patologis
Kekuatan
Tonus
Range of motion

+/+
-/555/555
555/555
555/555

+/+
-/555/555
555/555
555/555

Perbedaan suhu +/+


Perbedaan tajam
tumpul +/+
Getaran +/+

Perbedaan suhu /+
Perbedaan tajam
tumpul /+
Getaran /+

Sensoris

14

Otonom

Vasomotor +
Sudomotor +
Miksi berlebih
Defekasi sulit
Potensi libido baik

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (2 Januari 2016)
Pemeriksaan
- Hematologi
Hemoglobin
Lekosit
Trombosit
Eritrosit
Hematokrit
- Hitung Jenis
Granulosit
Limfosit
Monosit
- MCV, MCH, MCHC
MCV
MCH
MCHC
- Fungsi Ginjal
Ureum
Creatinin
- Fungsi Hati
SGOT
SGPT
- Elektolit
kalium
Natrium (Na)
Klorida
- Glukosa Sewaktu
GDS

Hasil

2. Pemeriksaan Radiologi

15

Nilai Normal
13,2
4,8
207.0
4.54
39.5

12.0-16.0
4.0-12.0
150.0-400.0
4.00-5.00
37.0-43.0

65.4
26,6
9

50.0-80.0
20.5-51.1
2-9

87.1
26.0
33.4

78.6-102.2
25.2-34.7
31.3-35.4

33
0.70

10-50
0.50-0.90

26
13

0-40
0-40

3.40
135
96

3.50-5.10
135-145
95-115

145

<180

Deskripsi

a. Cor : Membesar berbentuk globuler (water bottle heart) dan CTR >
50% (75%)
b. Pulmo : Corakan bronkovaskuler sedikit meningkat pada paru kanan,
tak tampak kavitas, tak tampak bercak pada kedua paru.
Kesan

: Kardiomegali caudolateral (Klasifikasi NYHA III: sesak


bila melakukan aktivitas berat serperti naik tangga),
efussi perikard

3. Pemeriksaan EKG

16

Gambaran :
a. HR : 1500/11: 136 takikardi
b. Irama : Atrial Fibrilasi
c. Axis : lead I (-) dan AVF (+) : deviasi ke kanan
d. Gelombang P : Tinggi : 1x 0,04 : 0,04 (N)
Lebar : 2 x 0,04 : 0,008 (N)
e. Gelombang QRS : lebar : 2 x 0,04 : 0,08 (N)
f. Interval PR : 4 x 0,04 : 0,16 (N)
g. Interval QT : 5 x 0,04 : 0,20 (N)
h. Segmen ST : lebar : 2,5 x 0,04 : 0,1 (N)
Kesan EKG : AFRVR
4. USG Abdomen

Kesan : Kongestif Hepar e/c cardiac failure, tak tampak ascites organorgan abdomen lain dalam batas normal.
E. Daftar Abnormalitas
Anamnesis
1. Sesak nafas

17

2. Mudah lelah
3. Sesak malam hari (paroksimal nocturnal dispneu)
4. Batuk malam hari
5. Nyeri epigastrik
6. Nyeri regio hypocondrium
7. Dada berdebar-debar
8. Mudah lelah saat aktivitas ringan
9. Pusing
10. Bengkak dikedua tungkai bawah
11. Riwayat penyakit gagal jantung
12. Riwayat penyakit PPOK
13. Riwayat Kejang
14. Riwayat konsumsi obat kejang
Pemeriksaan Fisik
15. Keadaan umum lemah
16. TD 90/50 mmHg
17. Nadi 88x ireguler
18. JVP 4
19. Ictus cordis caudal lateral
20. Batas jantung kesan kardiomegali
21. BJ I-II ireguler
22. Galop s3
23. Bising parsistol
24. Ronkhi basah halus
25. Nyeri tekan epigastrik & hypocondrium dextra
26. Hepatomegali
27. Akral dingin
28. Udem inferior
29. Suara jantung menjauh
Pemeriksaan Penunjang
30. Lab darah : kalium 340
31. RO thorax : CTR > 75% (kardiomegali)
32. RO thorax : COR bentuk Globuler ( water bottle heart)
33. EKG : kesan irama AF (AFRVR)
34. EKG : HR 136 takikardi
35. USG abdomen : kongestif Hepar e/c CHF
F. Analisis dan Sintesis
1. Abnormalitas 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,15,18,19,20,21,22,23,24,25,26,27,
28, 30,31,33,34,35 AFRVR
2. Abnormalitas 1,2,8,12,13,14,15,16,18,29,32 Efusi perikardium
3. Abnormalitas 1,2,3,4,5,6,7,8,10,11,15,18,19,20,21,22,23,24,25,26,27,28,
30,31,35 CHF III dengan Hepato kongestif
G. Problem
18

1. AFRVR (Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikel Respons) dengan CHF III ec


2.

Hepato kongestif
Efusi Perikardium

H. Rencana Pemecahan masalah


1. AFRVR (Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikel Respons) dengan CHF III ec
Hepato kongestif

Assesment AFRVR (Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikel Respons) dengan


CHF III ec Hepato kongestif
a. Problem
Subjektif : Sesak nafas, mudah lelah saat aktifitas, sesak dirasakan
pada malam hari (paroksimal nocturnal dispneu), batuk pada malam
hari, nyeri uluhati dan nyeri perut kanan atas, dada berdebar-debar,
mudah lelah saat aktivitas ringan, pusing, bengkak dikedua tungkai
bawah, riwayat penyakit gagal jantung (+), Riwayat PPOK (+)
Objektif : Keadaan umum lemah, JVP 4, ictus cordis teraba di 2cm
ics V linea axilaris anterior (caudal lateral), batas jantung kessan
kardiomegali, bunyi jantung I-II Ireguler, terdapat Galop S3, Bising
jantung (+) parsistol, Ronkhi basah halus, nyeri tekan epigastrik dan
hypocondrium dextra,hepar teraba 5cm kesan hepatomegali, akral
dingin, akral dingin, edem inferior (+/+), lab darah elektrolit kalium
340, RO thorax CTR 75% (kardiomegali), EKG HR 136 (takikardi)
kesan irama AF (AFRVR), USG abdomen kongestif hepar ec CHF.
b. Initial Plan
1) IpDx
Laboratorium: Glukosa sewaktu, EKG dan lead II perpanjang,
pemeriksaan fungsi tiroid (TSH,T3-T4), Laboratorium : Darah rutin,
fungsi ginjal (ureum creatinin),fungsi hati (SGOT, SGPT), Elektrolit
darah.
2) IpTx
a) Bedrest
b) Oksigen nasal canul 2-4L/menit bed posisi 45 derajat
c) Infus RL 16 tpm
d) Inj furosemid 1 amp / 8 jam
e) Inj ranitidin 1 amp / 12 jam
19

f) KSR tab 3x1


g) CPG tab 1x1
h) Aspilet tab 1x1
i) Spironolacton tab 25mg 1x1
j) Digoxin tab 1x0,25mg
k) Pasang DC
3) IpMx
Monitoring keadaan umum, monitoring keluhan, tanda vital,
monitoring urin, efek terapi, dan EKG serial, monitoring lab ureum
creatinin
4) IpEx
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang kondisi
penyakit, pengobatan, komplikasi yang mungkin timbul baik
komplikasi, pencegahan berulangnya komplikasi, serta edukasi
pasien agar mengurangi aktivitas fisik.
2. Efusi Perikardium
Assesment Efusi perikardium
a. Problem
Subjektif : sesak nafas, mudah lelah saat aktivitas ringan, riwayat
PPOK (+), Riwayat Kejang (+), Riwayat konsumsi obat-obatan kejang
(+)
Objektif : tampak lemas, tekanan darah 90/60 mmHg,JVP 4, suara
jantung menjauh, RO thorax COR bentuk Globuler (water bottle heart)
b. Initial Plan
1) IpDx
Pemeriksaan : CT mielogram, MRI, Elektromiografi (EMG)
2) IpTx
Mecobalamin 2 x 500 mcg
3) IpMx
Monitoring keadaan umum, tanda vital, dan fungsi motorik,
sensorik, otonom, serta kognitif
4) IpEx
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit
yang diderita pasien, pengobatan, komplikasi dan perlunya
pemeriksaan rutin, khususnya pemeriksaan pada kaki karena
neuropati pada kaki sering berkembang menjadi ulkus diabetik.

20

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A.

Diabetes Mellitus10,11,12
1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA), DM merupaka suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
2. Klasifikasi
a. DM tipe 1 (destruksi sel beta, biasanya menjurus ke defisiensi insulin
absolut)
b. DM tipe 2 (biasanya berawal dari resistensi insulin yang predominan
dengan defisiensi insulin relatif menuju ke defek sekresi insulin yang
predominan dengan resistensi insulin)
c. DM tipe spesifik lainnya yang disebabkan oleh suatu etiologi
1) Defek genetik fungsi sel beta (Maturity Onset Diabetic of Young /
MODY)
2) Defek genetik kerja insulin
3) Penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, tumor pankreas)
4) Endokrinopati (akromegali, hipertiroidisme)

21

5) Obat atau zat kimia tertentu (asam nikotinat, glukokortikoid)


6) Infeksi (Rubela Kongenital, CMV)
7) Penyebab imunologi yang jarang terjadi
8) Sindrom genetik lain: sindrom Turner
d. DM Gestasional (DMG).3
3. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma
vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan
untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
klasik DM seperti di bawah ini:
a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa = 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesik dibanding dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

22

d. Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi


salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium
yang telah terstandardisasi dengan baik.

23

4. Penatalaksanaan

a. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Untuk mencapai keberhasilan perubahan
perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan
motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda
dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri,
setelah mendapat pelatihan khusus.
b. Terapi Nutrisi Medis
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
1) Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565% total asupan energi.
Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat
tinggi. Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan

24

karbohidrat dalam sehari. Jika diperlukan dapat diberikan makanan


selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori
sehari.
2) Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Bahan makanan
yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
3) Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi. Sumber protein
yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu,
dan tempe. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan
protein menjadi 0,8 g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi
dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
4) Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan
anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau
sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur. Mereka yang
hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg. Sumber natrium
antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
5) Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran
serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung
vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.
6) Pemanis alternatif

25

Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak


berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan
fruktosa yang tidak dianjurkan. Pemanis tak berkalori yang masih
dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin, acesulfame potassium,
sukralose, dan neotame.
Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori, diantaranya
adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya
2530 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada
beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI 10 % Gemuk : > BBI + 10 %
BBI menurut Indeks Massa Tubuh (IMT), IMT = BB(kg)/ TB(m2)
c. Kegiatan Jasmani
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit). Kegiatan seharihari harus tetap
dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga
akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging,
dan berenang. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalasmalasan.

26

d. Terapi Farmakologis

27

5.
Komplikasi
Komplikasi Akut
a. Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300600 mg/dL), disertai
dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat.
Osmolaritas

plasma

meningkat

(300320

mOs/mL)

dan

terjadi

peningkatan anion gap.


b. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(6001200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma
sangat meningkat (330380 mOs/mL), plasma keton (+/), anion gap
normal atau sedikit meningkat.
c. Hipoglikemia

28

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <


60 mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes
harus

selalu

dipikirkan

kemungkinan

terjadinya

hipoglikemia.

Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan


insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama,
sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja
obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk
pengawasannya (2472 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal
ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang).
Komplikasi Jangka Panjang
a. Makroangiopati, terjadi pada:
1) Pembuluh darah jantung
2) Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi. Biasanya
terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering
tanpa gejala.
3) Pembuluh darah otak
b. Mikroangiopati:
1) Retinopati diabetik: Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik
akan mengurangi risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin
tidak mencegah timbulnya retinopati.
2) Nefropati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko
nefropati. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga
akan mengurangi risiko terjadinya nefropati
c. Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati
perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya
ulkus kaki dan amputasi.
Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu
dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan
pemeriksaan neurologi sederhana, dengan

29

monolamen 10 gram

sedikitnya setiap tahun. Semua penyandang diabetes yang disertai


neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk
mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan penyulit ini
seringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain.
Hipoglikemia10,11,12
1. Definisi
Keadaan dimana kadar GDS < 60 mg/dl atau < 80 mg/dl disertai gejala
klinis. Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien DM maupun non DM.
2. Patofisiologi
Tubuh manusia memiliki mekanisme mempertahankan glukosa darah
yang adekuat untuk digunakan organ-organ tubuh terutama otak.
Menurunnya konsentrasi glukosa darah secara fisiologis akan diikuti
penurunan sekresi insulin endogen yang diikuti pelepasan hormon-hormon
cunterregulatory seperti glukagon dan epinefrin. Pada pasien non DM,
respon fisiologis berbeda-beda.
Pada pasien DM yang mengalami hipoglikemia, terjadi gangguan
pada meknisme pertahanan terhadap hipoglikemia, yaitu:
a. Konsentrasi insulin tidak menurun
b. Konsentrasi glukagon tidak meningkat
c. Terjadi penurunan ambang batas kadar glukosa darah untuk memulai
sekresi insulin
3. Diagnosis, berdasarkan trias Whipple
a. Gejala konsisten dengan hipoglikemia
1) < 27 mg/dl: Neuroglikopenia berat (penurunan kesadaran, kejang, dan
koma)
2) 43-54 mg/dl: Disfungsi neurofisiologis (evoked response)
3) 50 mg/dl: Gangguan kognitif (tidak dapat melakukan tugas yang
kompleks, misal berhitung)
4) 54 mg/dl: Perubahan luas pada EEG
5) 50-58 mg/dl: Awitan gejala (otonom, neuroglikopenik seperti mual,
keringat dingin, lapar, gemetar, dan penurunan tekanan darah)

30

6) 68 mg/dl: Penurunan hormon counterregulatory (glukagon dan


epinefrin)
7) 86 mg/dl: Inhibisi sekresi dan insulin endogen
b. Konsentrasi glukosa plasma yang rendah < 60 mg/dl atau < 80 mg/dl
disertai gejala hipoglikemia
c. Meredanya gejala ketika konsentrasi glukosa darah plasma meningkat.
4. Penatalaksanaan
a. Mencari penyebab
Penyebab hipoglikemia biasanya reversibel sesuai etiologi. Etiologi pada
pasien DM biasanya akibat ketidaksesuaian antara asupan makanan
dengan dosis obat. Penatalaksanaan sesuai dengan derajat hipoglikemia.
b. Koreksi hipoglikemia
Pada pasien sadar:
1) Berikan larutan gula murni 20-30 gram (2 sendok makan), permen,
sirup, atau bahan makanan lain yang mengandung gula murni (bukan
pemanis buatan, rendah kalori, atau gula diabetes/gula diet, dan
makanan yang mengandung karbohidrat)
2) Hentikan obat antidiabetik oral (ADO) yang dicurigai sebagai
penyebab
3) Interval pemantauan glukosa darah sewaktu tiap lamanya disesuaikan
dengan kemungkinan penyebab
4) Monitor glukosa darah dalam rentang waktu yang disesuaikan dengan
pemantauan, biasanya 1-3 kali/24 jam
5) Apabila pasien menjadi tidak sadar, segera rujuk ke RS terdekat
Pada pasien tidak sadar:
1) Injeksi Dextrosa 40% (D40%) secara bolus intravena
2) Infus Dextrosa 10% (D10%), 6 jam/kolf untuk rumatan
3) Periksa GDS secara berkala, tiap jam bila memungkinkan. Bolus
D40% diberikan bila kadar GDS masih dibawah 100 mg/dl, sesuai
rendahnya kadar GDS, contoh:
- GDS < 60 mg/dl : tambah bolus D40% 3 flacon IV

31

- GDS 60-80 mg/dl: tambah bolus D40% 2 flacon IV


- GDS 80-100 mg/dl: tambah bolus D40% 1 flacon IV
- GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, lakukan
pemantauan setiap 2-4 jam. Bila GDS > 200 mg/dl, pertimbangkan
mengganti infus dengan Dextrosa 5% (D5%) atau NaCl 0,9%
4) ADO/insulin dapat dimulai bila penyebab hipoglikemia diketahui
5) Bila hipoglikemia belum teratasi, dapat dipertimbangkan pemberian
steroid (hidrokortison/dexamethason,kortison).
5. Prognosis
Hipoglikemia biasanya reversibel, maka perlu penanganan cepat untuk
mengembalikan kadar glukosa darah normal
Anemia Penyakit Kronis
1. Definisi
Anemia terjadi pada pasien dengan infeksi, inflamasi kronis, maupun
keganasan.
2. Patogenesis
a. Pemendekan Masa hidup Eritrosit
Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom
hematologik (haematological stress syndrome), dimana terjadi produksi
sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi atau
inflamasi. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag
sehingga mengikat lebih banyak zat besi,meningkatkan destruksi eritosit
di limpa, menekan perangsangan yang inadekuat pada eritropoiesis di
sumsum

tulang.

Pada

keadaan

lebih

lanjut,

malnutrisi

dapat

menyebabkan penurunan tranformasi T4 (tetraiodothyronine) menjadi T3


(tri-iodothyronine), menyebabkan hipotiroid fungsional dimana terjadi
penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut O2 sehingga sintesis
eritropoietin-pun akhirnya berkurang.
b. Penghancuran eritosit
Beberapa penelitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit
memendek pada sekitar 20-30 % pasien. Defek ini terjadi di

32

ektrakorpuskular, karena bila eritrosit pasien ditranfusikan ke resipien


normal, maka dapat hidup normal. Aktivasi makrofag oleh sitokin
menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan
sebagai bagian dari filter limpa (compulsive screening), menjadi kurang
toleran terhadap perubahan/kerusakan minor dari eritrosit.
c. Produksi Eritrosit
-Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah meskipun
cadangan besi cukup menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat
besi pada penyakit kronis.
-Fungsi sumsum tulang. Meskipun sumsum tulang yang normal dapat
mengkompensasi pemendekan masa hidup eritrosit, diperlukan stimulus
eritropoietin oleh hipoksia akibat anemia. Pada penyakit kronis
kompensasi
berkurangnya

yang

terjadi

pengelepasan

kurang
atau

dari

yang

menurunnya

diharapkan
respon

akibat
terhadap

eritropoitein.
3. Gambaran Klinis
Gejala anemia seringkali tersamar oleh gejala penyakit dasarnya karena
anemia yang terjadi umumnya ringan atau sedang (Hb sekitar 7-11 g/dL).
Pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan konjungtiva yang pucat.
4. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan temuan profil hematologik berikut dengan
penyakit kronis yang menyertai. Morfologi eritrosit umumnya normositik
normokrom, walaupun banyak pasien yang mengalamio anemia mikrositik
hipokrom. Nilai retikulosit absolut dalam batas normal atau sedikit
meningkat.
Kadar besi serum menurun, terjadi segera setelah awitan suatu infeksi
atau inflamasi, mendahului terjadinya anemia. Kadar total-iron binding
capacity (TIBC) rendah. Kadar besi pada sumsum tulang normal atau
meningkat, kadar feritin normal atau meningkat, serta kadar tranferin
menurun.
5. Tata Laksana
Terapi utama adalah mengobati penyakit dasarnya. Pada kasus yang
disertai dengan gangguan hemodinamik dapat diberikan tranfusi, kadar Hb
sebaiknya dipertahankan 10-11 g/dL.

33

B.

Neuropati Diabetik13,14,15
1. Definisi
Neuropati diabetik merupakan suatu gangguan yang mengenai saraf,
yang disebabkan oleh diabetes mellitus. Ada yang asimptomatik, ada juga
yang merasakan nyeri, kesemutan atau baal pada tangan, kaki, telapak
tangan dan kaki.
2. Patofisiologi
a. Faktor Vaskuler
Pada pasien DM yang lama seringkali sudah terjadi mikroangiopati yang
menjadi dasar komplikasi kronik DM berupa retinopati, nefropati dan
neuropati. Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal bebas
oksidatif yang disebut Reactive Oxygen Species (ROS). Radikal bebas ini
membuat kerusakan endotel vascular dan menetralisasi NO, yang berefek
menghalangi

vasodilatasi

mikrovaskular

sehingga

menurunkan

penyediaan darah pada saraf yang terkena. Mekanisme kelainan


mikovaskular tersebut dapat melalui penebalan membran basalis yang
menyebabkan kerusakan blood nerve barrier; thrombosis pada arteriol
intraneural;

peningkatan

agregrasi

trombosit

dan

berkurangnya

deformabilitas eritrosit; berkurangnya aliran darah saraf dan peningkatan


resistensi vascular; pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat
iskemia akut. Proses iskemik ini juga menyebabkan terganggunya
transport aksonal, aktivitas Na-K-ATPase yang akhirnya menimbulkan
degenerasi akson.
b. Faktor Metabolik
1) Penumpukan sorbitol (Polyol pathway)
Hiperglikemia menyebabkan kadar glukosa intraseluler yang
meningkat, sehingga terjadi kejenuhan (saturation) dari jalur glikolitik
yang biasanya digunakan. Hiperglikemia persisten menyebabkan
aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim aldosereduktase, yang merubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian
dimetabolisasi

oleh

sorbitol

34

dehidrogenase

menjadi

fruktosa.

Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf
akibat akumulasi sorbitol dalam sel saraf menyebabkan keadaan
hipertonik intraselular sehingga mengakibatkan edem saraf. Reaksi
poliol ini juga menyebabkan turunnya persediaan NADPH saraf yang
merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif. Karena
NADPH merupakan kofaktor untuk glutathion dan nitric oxide
synthase

(NOS),

pengurangan

kofaktor

tersebut

membatasi

kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan penurunan


nitric oxide (NO). Penurunan NO mengakibatkan vasodilatasi
berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan bersama rendahnya
mioinositol dalam sel saraf, terjadilah neuropati diabetic.
2) Penurunan kadar mioinositol
Mioinositol berperan dalam transmisi impuls, transport elektrolit,
dan

sekresi

peptida.

Peningkatan

sintesis

sorbitol

berakibat

terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penurunan


mioinositol dan akumulasi sorbitol secara langsung menimbulkan
stress osmotic yang akan merusak mitokondria dan akan menstimulasi
protein kinase C (PKC). Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi Na-KATP-ase, sehingga kadar Na intraseluler menjadi berlebihan, yang
berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam saraf sehingga
terjadi gangguan transduksi sinyal pada saraf. Aktivasi Protein Kinase
C (PKC) juga berperan dalam patogenesis neuropati perifer diabetika.
Hiperglikemia di dalam sel meningkatkan sintesis atau pembentukan
diacylglyserol (DAG) dan selanjutnya peningkatan protein kinase C.
Protein kinase juga diaktifkan oleh stress oksidatif dan advanced
glycosilation

products

(AGEs).

Aktivasi

protein

kinase

menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular, gangguan sintesis


nitric oxyde (NO) dan perubahan aliran darah.
3) Glikosilasi non enzimatik
Kondisi hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan
terjadinya proses glikosilasi protein dengan hasil akhir terbentuknya

35

advanced glycosilated end products (AGEs) dimana AGEs sangat


toksik dan merusak protein tubuh, termasuk sel saraf. Glikosilasi dari
protein saraf ini akan menyebabkan terbentuknya glycosilated myelin
yang mempunyai reseptor spesifik dan akan difagositosis oleh
makrofag. Serangan sel-sel makrofag tersebut akan menyebabkan
hilangnya mielin pada saraf tepi, dengan akibat terjadinya gangguan
fungsi sel saraf tersebut.
c. Faktor Autoimun
Peran antibodi berperan dalam mekanisme patogenesis neuropati
diabetik adalah adanya antineural antibodies pada serum sebagian
penyandang DM. Autoantibodi yang beredar ini secara langsung dapat
merusak struktur saraf motorik dan sensorik yang bisa dideteksi dengan
immunofloresens indirek. Neuropati autoimun bisa terjadi karena
perubahan imunogenik dari sel endotel kapiler.
d. Peran Nerve Growth Factor (NGF)
NGF berupa protein yang memberi dukungan besar terhadap
serabut saraf dan neuron simpatis. Pada pasien dengan DM terjadi
penurunan NGF sehingga transport aksonal yang retrograde (dari organ
target menuju badan sel) terganggu. Penurunan kadar NGF pada kulit
pasien DM berkorelasi positif dengan adanya gejala awal small fibers
sensory neuropathy.
3. Manifestasi Klinik
Gejala dapat meliputi sistem saraf sensorik, motorik dan otonom. Gejala
neuropati perifer antara lain :
a. Rasa tebal atau kurang merasakan nyeri atau suhu
b. Rasa seperti kesemutan, seperti terbakar atau seperti ditusuk-tusuk
c. Nyeri yang tajam terasa di jari kaki, kaki, tungkai, tangan, lengan dan jari
tangan
d. Kehilangan keseimbangan dan koordinasi
e. Mengecilnya otot-otot kaki dan tangan

36

f.

Rasa tebal, kesemutan atau nyeri di telapak kaki, kaki, tangan, telapak
tangan dan jari-jari

g. Gangguan pencernaan seperti mual, muntah


h. Masalah miksi (inkontinensia urin)
i.

Disfungsi ereksi

j.

Disesthesia (penurunan atau hilangnya sensibilitas ke tubuh

4. Pemeriksaan
Pemeriksaan pada neuropati diabetik yaitu pemeriksaan fisik, dimana
diperiksa tekanan darah, denyut jantung, kekuatan otot, refleks, dan raba
halus. Pemeriksaan kaki yang komprehensif yaitu dengan cara memeriksa
kulit, apakah ada luka atau tidak.
a. Pemeriksaan Laboratorium
Periksa laboratorium untuk mengetahui apakah gula darah dan HbA1c
pada diabetes tidak terkontrol dengan baik atau yang belum diketahui.
b. Pemeriksaan Imaging
1) CT mielogram adalah suatu pemeriksaan alternative untuk
menyingkirkan lesi kompresi dan keadaan patologis lain di kanalis
spinalis

pada

radikulopleksopati

lumbosakral

dan

neuropati

torakoabdominal.
2) MRI digunakan untuk menyingkirkan aneurisma intracranial, lesi
kompresi dan infark pada kelumpuhan n.okulomotorius.
3) Elektromiografi (EMG)
KHS motorik dimonitor dengan amplitude dari

CMAP

(Componed Muscle Action Potensials) atau diukur kecepatan hantar


saraf motoriknya. Kelainan hantar saraf menggambarkan kehilangan
serabut saraf yang bermielin yang berdiameter besar dan biasanya
tungkai lebih sering terkena dibandingkan lengan.
EMG menunjukkan bagaimana respons otot terhadap signal
elektris yang ditransmisi oleh saraf dan ini dilakukan bersamaan
dengan pemeriksaan KHS. Pemeriksaan EMG pada otot-otot distal
pada ekstremitas bawah menunjukkan adanya denervasi dalam bentuk
PSW (positive sharp waves) dan fibrilasi (spontaneous discharges).
5. Penatalaksanaan

37

Non Medikamentosa
a. Foot Hygiene
Penderita neuropati harus memperhatikan dan merawat kakinya
dengan seksama. Hilangnya perasaan di kaki, bila ada lecet dan luka
yang tidak diketahui dapat menjadi suatu ulkus atau mengalami infeksi.
Gangguan dalam sirkulasi darah juga akan meningkatkan resiko
terjadinya ulkus pada kaki.
b. Diet agar mencapai berat badan ideal
c. Fisioterapi
1) TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation) adalah stimulasi
listrik yang digunakan untuk menghilangkan nyeri, yang digunakan
frekuensi

rendah

menghilangkan

untuk

nyeri

menyembuhkan

neuropatik,

kaku,

menurunkan

mobilisasi,
edema

dan

memperbaiki ulkus pada kaki.


2) Program exercise, dapat mencegah terjadinya kontraktur, spasme otot
dan atrofi otot. Dapat melakukan olahraga seperti berenang dan
sepeda.
Medikamentosa
Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah kontrol glikemik,
monitoring gula darah, pengaturan diet dan exercise. Terapi kausatif :
a. Aldose reduktase inhibitor: tolrestat 200 mg/hari.
b. Asam alfa lipoik (ALA): glutation, sebagai antihiperglikemik, dapat
menurunkan glukosa sampai 50% bila diberikan dalam dosis 1200 mg iv
per hari.
c. Imunoglobulin (IV Ig): IV Ig dosis besar (2g/kgBB) terbukti efektif
untuk berbagai keadaan penyakit imun.
Terapi yang dapat diberikan untuk mengurangi nyeri yaitu :
a. NSAID
Berfungsi sebagai antiinflamasi. Obat yang diberkan berupa ibuprofen
600 mg 4x/hari, sulindac 200 mg 2x/hari.
b. Antidepresan Trisiklik (TCA)
Anti-depresan memiliki efek memblok reuptake dari serotonin dan
norepinefrin di SSP. Amitriptilin tersedia dalam bentuk tablet 10 mg dan
25 mg. Dosis permulaan 75 mg sehari.
c. Serotonin-norepinefrin reuptake inhibitors (SSNRI)
SSNRI yaitu duloxetine diberikan sekali sehari dengan dosis 60 mg.

38

d. Antiepileptic drugs (AED)


AED, khususnya gabapentin dan pregabalin adalah first line pengobatan
pada neuropati. Dosis gabapentin (dewasa dan anak > 12 tahun) adalah
900-1800 mg/hari. Efek sampingnya berupa ataxia, pusing, sakit kepala,
somnolen dan tremor.
e. Metilkobalamin
Merupakan satu-satunya derivate aktif dari vitamin B12 yang
mempunyai efek merangsang proteosintesis sel-sel Schwann dan dengan
jalan transmetilasi dapat menyebabkan mielogenesis dan regenerasi
akson saraf dan memperbaiki transmisi sinaps. Dosis 3x250 ug
metilkobalamin.
C.

Ulkus Diabetik10,11,12
1. Definisi
Ulkus diabetik adalah suatu luka terbuka pada lapisan kulit sampai ke dalam
dermis, yang biasanya terjadi di telapak kaki.
2. Etiologi
Beberapa etiologi yang menyebabkan Ulkus diabetik meliputi neuropati,
penyakit arterial, tekanan dan deformitas kaki.
3. Klasifikasi Wagner-Meggit

39

4. Patofisiologi
a. Neuropati Perifer
Neuropati perifer pada DM adalah multifaktorial dan diperkirakan
merupakan akibat penyakit vaskuler yang menutupi vasa nervorum,
disfungsi endotel, defisiensi mioinositol-perubahan sintesis mielin dan
menurunnya

aktivitas

Na-K

ATPase,

hiperosmolaritas

kronis,

menyebabkan edema pada saraf tubuh serta pengaruh peningkatan


sorbitol dan fruktose.
Neuropati disebabkan karena peningkatan gula darah yang lama
sehingga menyebabkan kelainan vaskuler dan metabolik. Peningkatan
kadar sorbitol intraseluler, menyebabkan saraf membengkak dan
terganggu fungsinya. Penurunan kadar insulin sejalan dengan perubahan
kadar peptida neurotropik, perubahan metabolisme lemak, stres oksidatif,
perubahan kadar bahan vasoaktif seperti nitrit oxide mempengaruhi
fungsi dan perbaikan saraf. Kadar glukosa yang tidak teregulasi
meningkatkan kadar advanced glycosylated end product (AGE) yang
terlihat pada molekul kolagen yang mengeraskan ruangan-ruangan yang
sempit pada ekstremitas superior dan inferior (carpal, cubital, dan tarsal
tunnel). Kombinasi antara pembengkakan saraf yang disebabkan
berbagai mekanisme dan penyempitan kompartemen karena glikosilasi
kolagen

menyebabkan

double

crush

syndrome

dimana

dapat

menimbulkan kelainan fungsi saraf motorik, sensorik dan autonomik.


Perubahan neuropati yang telah diamati pada kaki diabetik
merupakan akibat langsung dari kelainan pada sistem persarafan motorik,
sensorik dan autonomik. Hilangnya fungsi sudomotor menyebabkan
anhidrosis dan hiperkeratosis. Kulit yang terbuka akan mengakibatkan
masuknya bakteri dan menimbulkan infeksi. Berkurangnya sensibilitas
kulit pada penonjolan tulang dan sela-sela jari sering menghambat

40

deteksi

dari

luka-luka

kecil

pada

kaki.

Neuropati

autonomik

mengakibatkan 2 hal yaitu anhidrosis dan pembukaan arteriovenous


(AV) shunt. Neuropati motorik paling sering mempengaruhi otot intrinsik
kaki sebagai akibat dari tekanan saraf plantaris medialis dan lateralis
pada masing-masing lubangnya (tunnel).
b. Penyakit Arterial
Secara keseluruhan, penderita DM mempunyai kemungkinan besar
menderita aterosklerosis, terjadi penebalan membran basalis kapiler,
hialinosis arteriolar, dan proliferasi endotel.
Peningkatan viskositas darah yang terjadi pada pasien diabetes
timbul berawal pada kekakuan mernbran sel darah merah sejalan dengan
peningkatan aggregasi eritrosit. Karena sel darah merah bentuknya harus
lentur ketika melewati kapiler, kekakuan pada membran sel darah merah
dapat menyebabkan hambatan aliran dan kerusakan pada endotelial.
Glikosilasi non enzimatik protein spectrin membran sel darah merah
bertanggungjawab pada kekakuan dan peningkatan aggregasi yang telah
terjadi. Akibat yang terjadi dari dua hal tersebut adalah peningkatan
viskositas darah. Mekanisme glikosilasi hampir sama seperti yang terlihat
dengan hemoglobin dan berbanding lurus dengan kadar glukosa darah.

41

Penurunan aliran darah sebagai akibat perubahan viskositas memacu


meningkatkan kompensasinya dalam tekanan perfusi sehingga akan
meningkatkan

transudasi

melalui

kapiler

dan

selanjutnya

akan

meningkatkan viskositas darah. Iskemia perifer yang terjadi lebih lanjut


disebabkan peningkatan afinitas hemoglobin terglikolasi terhadap
molekul oksigen. Efek merugikan oleh hiperglikemia terhadap aliran
darah dan perfusi jaringan sangatlah signifikan.

c. Deformitas kaki
Perubahan destruktif yang terjadi pada kaki Charcot menyebabkan
kerusakan arkus longitudinal medius, dimana akan menimbulkan gait
biomekanik. Perubahan pada calcaneal pitch menyebabkan regangan
ligamen pada metatarsal, cuneiform, navicular dan tulang kecil lainnya
dimana akan menambah panjang lengkung pada kaki yang akan merubah
cara berjalan (gait), mengakibatkan kelainan tekanan tumpuan beban,
dimana menyebabkan kolaps pada kaki.
d. Tekanan
DM dapat memberikan dampak buruk pada beberapa sistem organ
termasuk sendi dan tendon. Hal biasanya tejadi pada tendon achiles
dimana advanced glycosylated end prodruct (AGEs) berhubungan
dengan molekul kolagen pada tendon sehingga menyebabkan hilangnya
elastisitas dan bahkan pemendekan tendon. Akibat ketidakmampuan
gerakan dorsofleksi telapak kaki, dengan kata lain arkus dan kaput
metatarsal mendapatkan tekanan tinggi dan lama karena adanya
gangguan berjalan (gait).
Hilangnya sensasi pada kaki akan menyebabkan tekanan yang
berulang, injuri dan fraktur, kelainan struktur kaki, misalnya hammertoes,
callus, kelainan metatarsal, atau kaki Charcot; tekanan yang terus
menerus dan pada akhirnya terjadi kerusakan jaringan lunak. Tidak
terasanya panas dan dingin, tekanan sepatu yang salah, kerusakan akibat
benda tumpul atau tajam dapat menyebabkan pengelepuhan dan ulserasi.
42

Faktor ini ditambah aliran darah yang buruk meningkatkan resiko


kehilangan anggota gerak pada penderita DM.
5. Diagnosis
Gejala

neuropati

perifer

meliputi

hipesthesia,

hiperesthesia,

paresthesia, disesthesia, radicular pain dan anhidrosis. Sebagian besar


penderita tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). Penderita yang
menunjukkan gejala didapatkan claudicatio, nyeri iskemik saat istirahat,
luka yang tidak sembuh dan nyeri kaki yang jelas. Kram, kelemahan dan
rasa tidak nyaman pada kaki sering dirasakan oleh penderita diabetes karena
kecenderungannya menderita oklusi aterosklerosis tibioperoneal.
Pemeriksaan fisik pada penderita dengan Ulkus diabetik dibagi
menjadi 3 bagian yaitu penilaian :
a. Pemeriksaan Ekstremitas
Ulkus diabetik mempunyai kecenderungan terjadi pada daerah
yang menjadi tumpuan beban terbesar, seperti tumit, area kaput
metatarsal di telapak, ujung jari yang menonjol (pada jari pertama dan
kedua). Ulkus dapat timbul pada malleolus karena pada daerah ini sering
mendapatkan trauma. Kelainan-kelainan lain yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik:
1) Callus hipertropik
2) Kuku yang rapuh/pecah
3) Hammer toes
4) Fissure
b. Isufisiensi arteri perifer
Pemeriksaan fisik rnemperlihatkan hilangnya atau menurunnya
nadi perifer dibawah level tertentu. Penemuan lain yang berhubungan
dengan penyakit aterosklerosis meliputi adanya bunyi bising (bruit) pada
arteri iliaka dan femoralis, atrofi kulit, hilangnya rambut pada kaki,
sianosis jari kaki, ulserasi dan nekrosis iskemia, kedua kaki pucat pada
saat kaki diangkat setinggi jantung selama 1-2 menit. Pemeriksaan

43

vaskuler noninvasif meliputi pengukuran oksigen transkutan, anklebrachial pressure index (ABPI), dan tekanan sistolik jari kaki.
c. Neuropati Perifer
Tanda neuropati perifer meliputi hilangnya sensasi rasa getar dan
posisi, hilangnya reflek tendon dalam, ulserasi tropik, foot drop, atrofi
otot, dan pemembentukan calus hipertropik khususnya pada daerah
penekanan misalnya pada tumit. Status neurologis dapat diperiksa dengan
menggunakan monofilament Semmes-Weinsten. Alat pemeriksaan lain
adalah garputala 128C, dimana dapat digunakan untuk rnengetahui
sensasi getar penderita dengan memeriksanya pada pergelangan kaki dan
sendi metatarsophalangeal pertama. Pada neuropati metabolik terdapat
gradien intensitas dan paling parah pada daerah distal. Pada umumnya,
seseorang tidak dapat merasakan getaran garputala pada jari tangan lebih
dari 10 detik setelah pasien tidak dapat merasakan getaran pada ibu jari
kaki. Beberapa penderita dengan sensasi normal hanya menunjukkan
perbedaan antara sensasi pada jari kaki dengan tangan pemeriksa kurang
dari 3 detik.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah : lekositosis mungkin menandakan adanya abses atau
infeksi lainnya pada kaki. Penyembuhan luka dihambat oleh adanya
anemia.
Profil metabolik : pengukuran kadar glukosa darah, glikohemoglobin dan
kreatinin serum membantu untuk menentukan kecukupan regulasi
glukosa dan fungsi ginjal
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto polos pada kaki diabetik dapat menunjukkan
demineralisasi dan sendi Charcot serta adanya ostomielitis.
Computed Tomographic (CT) scan dan Magnetic Resonance Imanging
(MRI): dapat digunakan untuk membantu diagnosis abses apabila pada
pemeriksaan fisik tidak jelas.

44

Arteriografi konvensional: apabila direncanakan pembedahan vaskuler


atau endovaskuler, arteriografi diperlukan untuk memperlihatkan luas
dan makna penyakit aterosklerosis.
Alternatif

selain

angiografi

konvensional:

Magnetic

Resonance

Angiography (MRA): MRA merupakan alternatif yang dapat digunakan


pada penderita resiko tinggi atau penderita yang alergi bahan kontras
dan Multidetector Computed Tomographic Angiography (MDCT)
menghindari penusukan arteri.
Plain radiografi tidak digunakan untuk pemeriksaan rutin pada penyakit
arteri perifer oklusif. Hal ini disebabkan kalsifikasi arteri yang terlihat
pada plain radiografi bukan merupakan indikator spesifik penyakit
aterosklerosis.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ulkus diabetik secara holistik harus meliputi 6 kontrol,
yaitu:
a. Kontrol mekanik
Kontrol mekanik meliputi mengistirahatkan kaki, hindari tekanan di
daerah luka, gunakan bantal pada kaki saat berbaring, dan gunakan kasur
dekubitus bila perlu. Intervensi pada faktor risiko juga perlu dilakukan,
seperti penggunaan alas kaki ortotik, manajemen callus, perawatan kuku.
b. Kontrol metabolik
Kontrol metabolik bertujuan untuk mengatasi infeksi dan mendukung
penyembuhan luka, pengaturan glukosa darah pasien secara adekuat,
serta pengendalian faktor komorbiditas (hipertensi, dislipidemia,
gangguan elektrolit, anemia, infeksi penyerta, dan hipoalbuminemia).
Kontrol metabolik dapat dicapai melalui terapi gizi medis maupun terapi
farmakologi.
c. Kontrol vaskular
Kontrol vaskular meliputi mencari adanya gangguan vaskular yang
menghambat penyembuhan luka dengan evaluasi status vaskular kaki,

45

pemeriksaan ABPI, tekanan oksigen transkutan, tekanan ibu jari (toe


pressure), dan angiografi
d. Kontrol luka
Jaringan nekrotik dan pus yang ada harus dievaluasi secara adekuat
dengan nekrotomi atau debridemen. Tindakan tersebut bertujuan untuk
membuang jaringan yang nekrotik, drainase pus, mengurangi tekanan
pada luka, mengurangi bengkak, membuat lingkungan menjadi aerob,
mempermudah swab, dan membuat luka kronik menjadi luka akut. Luka
sebaiknya ditutup dengan pembalut yang basah atau lembab. Apabila
diperlukan, tindakan amputasi harus dipertimbangkan.
Terdapat beberapa tanda yang menjadi indikasi tindahan pembedahan
dan amputasi, yaitu :
1) Bukti adanya respon peradangan sistemik
2) Gangren atau nekrosis ekstensif
3) Infeksi dengan progresi cepat
4) Krepitus pada pemeriksaan atau gas pada jaringan yang ditemukan
pada pemeriksaan pencitraan (radiologi)
5) Bula, terutama hemoragik
6) Ekimosis atau petekie luas
7) Nyeri yang tidak sesuai dengan temuan klinis
8) Anestesia luka awitan baru
9) Critical limb ischemia
10) Kehilangan fungsi neurologis yang baru terjadi
11) Kehilangan jaringan lunak secara ekstensif
12) Destruksi tulang ekstensif, terutama pada kaki bagian tengah dan
belakang
13) Infeksi tidak membaik walau sudah diberikan terapi sesuai aturan
e. Kontrol infeksi
Pemberian antibiotik harus empiris sebelum didapatkan hasil kultur
resistensi. Pada luka superfisial dan tidak mencapai subkutan, dapat
diberikan antibiotik empiris yang efektif untuk kuman gram positif.

46

Apabila luka sudah mencapai subkutan, maka diperlukan antibiotik


dengan spektrum kuman gram negatif atau golongan metronidazol bila
curiga ada infeksi bakteri anaerob. Apabila luka luas, dalam, dan disertai
gejala infeksi sistemik, maka harus diraat di rumah sakit dan
mendapatkan antibiotik spektrum luas yang mencakup kuman gram
positif, gram negatif, dan anaerob.

f.

Kontrol edukasi
Edukasi menekankan pada upaya pencegahan dan deteksi dini pada kaki
yang normal atau sudah ada gangguan neuropati/neuroiskemia namun
belum ada luka. Pada kaki yang sudah ada luka, ditekankan pada upaya
pencegahan sekunder dan tersier. Terapi yang optimal untuk ulkus
diabetik dan amputasi adalah pencegahan dengan identifikasi pasien
risiko tinggi, edukasi pasien, dan usaha mencegah ulserasi. Edukasi
sebaiknya menekankan pada:
1) Pemilihan alas kaki yang cermat
2) Pemeriksaan kaki harian untuk mendeteksi tanda alas kaki yang tidak
tepat atau menyebabkan trauma minor
3) Menjaga kebersihan dan kelembaban kaki
4) Mencegah penatalaksanaan yang tidak tepat dan menghindari perilaku
berisiko tinggi
5) Berkonsultasi pada tenaga kesehatan apabila ada kelainan.

8. Prognosis
Prognosis bergantung pada faktor yang terlibat, berat ringan komplikasi, dan
penyakit penyerta lain. Angka kejadian amputasi pada ulkus diabetik
mencapai

25%,

maka

diperlukan

penatalaksanaan

menurunkan mortalitas dan morbiditas ulkus diabetik.


D.

Kardiomiopati

47

adekuat

untuk

Kardiomiopati adalah kelainan primer miokard yang menyebabkan


gangguan fungsi miokard, dengan penyebab yang tidak diketahui dan bukan
disebabkan oleh penyakit bawaan, hipertensi, kelainan katup, sklerosis koroner
atau kelainan perikard.
WHO menggolongkan kardiomiopati menjadi dua kelompok, yaitu
kardiomiopati primer yang tidak diketahui penyebabnya dan kardiomiopati
sekunder yang disebabkan oleh infeksi, kelainan metabolik, penyakit sistemik,
herediter familial, reaksi sensitivitas dan toksin. Pembagian kardiomiopati yang
banyak dianut saat ini adalah menurut Goodwin yang berdasarkan kelainan
struktur

dan

fungsi

(patofisiologi),

yaitu

kardiomiopati,

hipertropik,

kardiomiopati dilatatif dan kardiomiopati restriktif. Dibeberapa negara


dilaporkan kardiomiopati merupakan penyebab kematian sampai 30% atau
lebih dari semua kematian karena penyakit jantung.

Tabel 1. Klasifikasi Etiologi dari Kardiomiopati. D: dilatasi, R: restriktif, H: hipertrofi.


Kardiomiopati Primer
Idiopatik (D,R,H)
Familial (D,R,H)
Penyakit Eosinofilik Endomiokardial (R)
Fibrosis Endomiokardial (R)
Kardiomiopati Sekunder

48

Infeksi (D)
Miokarditis viral
Miokarditis bakterial
Miokarditis fungal
Miokarditis protozoal
Miokarditis metazoal
Spirochetal
Rickettsial
Metabolik(D)
Familial Storage Disease (D,R)
Gangguan Penyimpanan Glikogen
Muopolisakaridosis
Hemokromatosis
Penyakit Fabry
Penyakit Defisiensi (D)
Elektrolit
Nutrisional
Gangguan Jaringan Ikat (D)

Sistemik Lupus Eritematosus


Poliartertis Nodosa
Rheumatoid Arthritis
Sklerosis Sistemik Progresif
Dermatomiositis
Gangguan Infiltrasi dan Granuloma (R,D)
Amyloidosis
Sarcoidosis
Keganasan
Neuromuskular (D)
Distrofi otot
Distrofi miotonik
Friedreichs ataxia (H,D)
Reaksi Sensitivitas dan Keracunan (D)
Alkohol
Radiasi
Obat-obatan
Peripartum Heart Disease (D)

Kardiomiopati Hipertropik
Kardiomiopati hipertrofik merupakan hipertropi ventrikel tanpa penyakit
jantung atau sistemik lain yang menyebabkan hipertropi ventrikel ini.
Perubahan mikroskopik dapat ditemukan didaerah septum, interventrikularis.
Hipertrofi asimetris pada septum ini, bisa ditemukan didaerah distal katup
aorta, didaerah apeks. Hipertrofi yang simetris tidak sering ditemukan.
Kardiomiopati hipertrofik didaerah apikal biasanya disertai dengan kelainan
EKG, gelombang T negatif yang dalam.Kardiomiopati hipertrofik ada 2
macam/ bentuk, yaitu:
- Hipertrofi yang simetris dan konsentris
- Hipertrofi septal simetris: Dengan left ventricular outflow tract obstruction
atau disebut juga idiopathic hypertropic subaortic stenosis (IHSS), atau
hypertrophis obstructive cardiomyopathy (HOCM).
- Tanda left ventricular outflow tract obstruction
1. Etiologi
Etiologi kelainan ini tidak diketahui. Diduga disebabkan katekolamin,
kelainan pembuluh darah koroner kecil, kelainan yang meyebabkan iskemia
miokard, kelainan konduksi atrioventrikular dan kelainan kalogen. Penyakit
ini ditemukan pada laki-laki dan perempuan dalam frekuensi yang sama,
serta dapat menyerang semua umur. Gangguan irama yang sering terjadi dan

49

menyebabkan berdebar-debar, pusing sampai sinkop. Tekanan darah sistolik


dapat

juga

menurun,

banyak

kasus

kardiomiopati

tidak

bergejala/asimtomatis. Pada orang tua dan kardiomiopati hipertrofik sering


mengeluh sesak nafas akibat gagal jantung dan angina pektoris yang bisa
mengganggu disertai fibrilasi atrium. Pada kasus-kasus yang sudah lanjut
dapat pula terjadi pengerasan/kekakuan katup mitral, sehingga dapat
memberikan gejala-gejala stenosis atau regurgitasi mitral.
2. Gejala Klinis
Keluhan utama pada kardiomiopati hipertrofik adalah angina, sesak
bila beraktivitas, palpitasi, kelelahan, gangguan kesadaran, pusing, pingsan
atau hampir pingsan, namun sebagian besar pasien asimtomatik dan
manifestasi klinis pertama dapat berupa kematian mendadak.
3. Pemeriksaan Fisis
Pada pasien kardiomiopati hipertrofik biasanya fisisnya baik, berumur
muda. Denyut jantung teratur. Bising sistolik dihubungkan dengan aliran
turbulensi pada jalur keluar ventrikel kiri. Bising sistolik dapat berubahubah, dapat kurang atau mengurang bila pasien berubah posisi dari berdiri
lalu menjongkok atau dengan melakukan olahraga isometrik. Pada
pemeriksaan fisik akan ditemukan pembesaran jantung ringan. Pada apeks
teraba getaran jantung sistolik dan kuat angkat. Bunyi jantung ke-4 biasanya
terdengar. Terdengar bising sistolik yang mengeras pada tindakan valsava.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pada foto rontgen dada terlihat pembesaran jantung ringan sampai
sedang, terutama pembesaran atrium kiri. Pada pemeriksaan EKG
ditemukan hipertrofi ventrikel kiri, kelainan segmen ST dan gelombang T,
gelombang Q yang abnormal dan aritmia atrial dan ventrikular. Pada
pemeriksaan ekokardiografi Ten Care menemukan tiga jenis hipertrofi
ventrikel kiri yaitu:
- Hipertrofi septal saja (41%)
- Hipertrofi septal disertai hipertrofi dinding lateral (53%)
- Hipertrofi apikal distal (6%)(septum dan dinding lateral, kedua-duanya)

50

Pada pemeriksaan radionuklir akan ditemukan ventrikel kiri


mengecil atau normal.Fungsi sistolik menguat dan hipertrofi septal
asimetrik. Dengan pemeriksaan pencitraan nuclear magnetic resorance
(M.R.I) berbagai jenis hipertrofi apikal ventrikel kiri dapat dibedakan. Pada
sadapan jantung akan ditemukan compliance ventrikular outflow tract
obstruction. PengobatanPengobatan yang utama adalah menggunakan obat
penghambat beta adrenergik, yang efeknya untuk mengurangi peninggian
obstruksi jalan pengosongan ventrikel kiri, juga untuk mencegah gangguan
irama yang sering menyebabkan gangguan mendadak. Tapi akhir-akhir ini
dilaporkan adanya khasiat yang baik golongan antagonis kalsium seperti
verapamil. Obat-obat yang lain tidak dianjurkan untuk diberikan, karena
dapat memperburuk keadaan penyakit. Operasi miomektomi juga dilakukan
pada keadaan tertentu.
E.

Retinopati Diabetik
1. Definisi
Merupakan komplikasi mikrovaskular yang menyebabkan kebutaan
pada penderita DM.
2. Patofisiologi Retinopati DM
Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati
DM dan terjadi melalui beberapa jalur. Pertama, hiperglikemia memicu
terbentuknya reactive oxygen intermediates (ROIs) dan advanced glycation
endproducts (AGEs). ROIs dan AGEs merusak perisit dan endotel
pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric
oxide (NO), prostasiklin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin
yang akan memperparah kerusakan.
Kedua,

hiperglikemia

kronik

mengaktivasi

jalur

poliol

yang

meningkatkan glikosilasi dan ekspresi aldose reduktase sehingga terjadi


akumulasi

sorbitol.

Glikosilasi

dan

akumulasi

sorbitol

kemudian

mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi enzim


endotel.

51

Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler


protein kinase C (PKC). Vascular endothelial growth factor (VEGF) dan
faktor pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC. VEGF menstimulasi ekspresi
intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya
ikatan leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut menyebabkan
kerusakan sawar darah retina, serta trombosis dan oklusi kapiler retina.
Keseluruhan jalur tersebut menimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan
inflamasi pada retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik
yang berlebihan sehingga merangsang pembentukan pembuluh darah baru
yang memiliki kelemahan pada membran basalisnya, defisiensi taut kedap
antarsel endotelnya, dan kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi
kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous.
3. Gejala dan Tanda Retinopati DM
Sebagian besar penderita retinopati DM, pada tahap awal tidak
mengalami gejala penurunan tajam penglihatan. Apabila telah terjadi
kerusakan sawar darah retina, dapat ditemukan mikroaneurisma, eksudat
lipid dan protein, edema, serta perdarahan intraretina. Selanjutnya, terjadi
oklusi kapiler retina yang mengakibatkan kegagalan perfusi di lapisan
serabut saraf retina sehingga terjadi hambatan transportasi aksonal.
Hambatan transportasi tersebut menimbulkan akumulasi debris akson yang
tampak sebagai gambaran soft exudates pada pemeriksaan oftalmoskopi.
Kelainan tersebut merupakan tanda retinopati DM nonproliferatif.
Hipoksia akibat oklusi akan merangsang pembentukan pembuluh darah
baru dan ini merupakan tanda patognomonik retinopati DM proliferatif.
Kebutaan pada DM dapat terjadi akibat edema hebat pada makula,
perdarahan masif intravitreous, atau ablasio retina traksional.
4. Diagnosis Retinopati DM
Deteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan primer dilakukan
melalui pemeriksaan funduskopi direk dan indirek. Dengan fundus
photography dapat dilakukan dokumentasi kelainan retina.

52

Metode

diagnostik terkini yang disetujui oleh American Academy of Ophthalmology


(AAO) adalah fundus photography.
5. Klasifikasi Tanda pada Pemeriksaan Mata Retinopati DM
Derajat 1 Tidak terdapat retinopati DM
Derajat 2 Hanya terdapat mikroaneurisma
Derajat 3 Retinopati DM non-proliferatif derajat ringan-sedang yang
ditandai oleh mikroaneurisma dan satu atau lebih tanda:
Venous loops
Perdarahan
Hard exudates
Soft exudates
Intraretinal microvascular abnormalities (IRMA)
Venous beading
Derajat 4 Retinopati DM non-proliferatif derajat sedang-berat yang ditandai
oleh:
Perdarahan derajat sedang-berat
Mikroaneurisma
IRMA
Derajat 5 Retinopati DM proliferatif yang ditandai oleh neovaskularisasi
dan

perdarahan vitreous

6. Pemeriksaan
Pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata terdiri dari
pemeriksaan visus, tekanan bola mata, slit-lamp biomicroscopy, gonioskop,
funduskopi dan stereoscopic fundus photography dengan pemberian
midriatikum sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan
optical coherence tomography (OCT) dan ocular ultrasonography bila
perlu.
7. Tata Laksana Retinopati DM
Tata laksana dilakukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Retinopati
DM nonproliferatif derajat ringan hanya perlu dievaluasi setahun sekali.

53

Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang tanpa edema


makula yang nyata harus menjalani pemeriksaan rutin setiap 6-12 bulan.
Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang dengan edema makula
signifikan merupakan indikasi laser photocoagulation, lalu penderita perlu
dievaluasi setiap 2-4 bulan.
Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat berat dianjurkan menjalani
panretinal laser photocoagulation. Penderita harus dievaluasi setiap 3-4
bulan pascatindakan. Panretinal laser photocoagulation harus segera
dilakukan pada penderita retinopati DM proliferatif. Apabila terjadi
retinopati DM proliferatif disertai edema makula signifikan, maka
kombinasi focal dan panretinal laser photocoagulation menjadi terapi
pilihan.
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Penegakkan DM dengan Komplikasi Hipoglikemia, beserta Algoritma dan
Terapi
Keluhan Pasien
Lemas

Teori
Diagnosis

Mual

Trias Whipple
a. Gejala konsisten hipoglikemia

Nafsu makan turun

Gejala otonom:

Berkeringat

Berkeringat,

Tremor

tremor, lapar

Kesadaran menurun

Gejala neuroglikopenik:

Jantung berdebar (Nadi: 108

Bingung,

x/menit)

berbicara,

Kadar GDS pertama kali 28

gangguan visual, parestesi

mg/dl

Neuroglikopenik berat:

Meredanya gejala ketika

Kesadaran

konsentrasi glukosa darah

koma

plasma meningkat dengan

Gejala malaise:

54

jantung

berdebar,

mengantuk,

sulit

inkoordinasi,

menurun,

kejang,

pemberian injeksi D40%

Lemas, mual, sakit kepala

secara bolus intravena 3 flash

b. Kadar

glukosa

plasma

yang

dan infus D10% kadar

rendah < 60 mg/dl atau < 80

GDS : 556 mg/dl

mg/dl disertai gejala hipoglikemia


c. Meredanya

gejala

ketika

konsentrasi glukosa darah plasma


meningkat.
Pada keadaan hipoglikemia berat, gejala yang nyata berupa kesadaran
menurun, kejang, maupun koma, pada pasien terjadi hipoglikemia berat dengan
kadar glukosa sewaktu 28 mg/dl (< 60 mg/dl).

Gejala yang terdapat pada pasien membaik setelah pemberian injeksi D40%
bolus intravena 3 flash dan infus D10%. Sesuai dengan trias Whipple,
didapatkan gejala yang konsisten hipoglikemia, kadar glukosa plasma yang
rendah < 60 mg/dl atau < 80 mg/dl disertai gejala hipoglikemia, dan meredanya
gejala ketika konsentrasi glukosa darah plasma meningkat.

55

2. Penegakkan DM dan Terapi


Keluhan Pasien
Sering makan

Teori
Diagnosis

Gejala Klasik

Sering haus

Poliuri

Sering BAK

Polidipsi

Lemas

Polifagi

Mata Kabur

Gejala lain

Sering merasa kesemutan di

Lemah badan

telapak

Kesemutan

kaki

dan

telapak

tangan

gatal

Telapak kaki sakit dan panas

mata kabur

pada malam hari

Penurunan libido

Pada kaki kanan, ulkus sukar

Luka sulit sembuh

sembuh

pruritus vulvae pada wanita

Penurunan libido

Pemeriksaan Fisik

Odem ektremitas

Kardiomegali

TD : 150/80 mmHg

Hipertensi
56

Hasil rontgen : Kardiomegali

Infeksi paru

Pada

Udem

pemeriksaan

GDS

didapatkan GDS > 200 mg/dl

Kulit Kering

Pada

Hasil Laboratorium

pemeriksaan

HbA1c

didapatkan : 7,1

-Pemeriksaan

glukosa

plasma

sewaktu >200 mg/dL sudah cukup


untuk menegakkan diagnosis DM
-Pemeriksaan glukosa plasma puasa
= 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
Tes toleransi glukosa oral (TTGO)
200
-Pemeriksaan HbA1c (>6.5%)
Pada pasien didapatkan gejala klasik DM yaitu poliuri, polidipsi, dan polifagi,
gejala lain yang menyertai yaitu kesemutan, mata kabur, dan lemas. Selain itu
didapatkan pula pada pemeriksaan laboratorium pemeriksaan GDS > 200
mg/dl dan pemeriksaan HbA1c didapatkan hasil 7,1 yang menunjukkan
diagnosis pasien menderita diabetes melitus.

57

3.

Pil
iha

n Obat-Obatan DM dengan Ulkus Diabetik, Kardiomiopati, Neuropati, dan


Retinopati
Obat Anti
Contoh
hiperglikemik Oral
Golongan Insulin Sensitizing
1. Biguanid
Metformin

Indikasi

Kontraindikasi

Pada orang
dewasa,orang
gemuk dengan
dislipidemia dan
resistensi insulin

Ketoasidosis
diabetik, koma
diabetik, gangguan
fungsi ginjal,
gangguan fungsi
hati, kehamilan,
infeksi berat,
penggunaan alkohol

58

2.

Glitazone

Rosiglitazon
Pioglitazon

Golongan Sekretagok Insulin


3. Sulfonilurea
Generasi 1 :
Acetohexamide,
Tolbutamide,
Chlorpropamide
Generasi 2 :
Glibenclamide,
Glipizide,
Gliclazide
Generasi 3 :
Glimepiride,
Glikuidon
4.

Glinid

DM Tipe 2 yang
tidak berespon
terhadap diet dan
latihan fisik,
sebagai monoterapi
atau ditambahkan
pada mereka yang
tidak memberi
respon pada obat
hiperglikemik lain
(sulfonylurea,
metformin) atau
insulin
Dapat digunakan
untuk pasien
dengan gangguan
fungsi hati dan
ginjal yang lebih
berat

Repaglinid
Nateglinid

Aman untuk
penderita gagal
ginjal
Golongan Penghambat Alfa Glukosidase
5. Acarbose
Terapi kombinasi
dengan diet untuk
NIDDM

berlebihan, gagal
jantung
Kenaikan enzim hati
(ALT dan AST) > 3x
batas atas norma,
riwayat penyakit hati
sebelumnya, gagal
jantung NYHA 3 dan
4

Gagal ginjal,
gangguan fungsi
hati, pasien dengan
masukan makanan
kurang dan jika
dipakai bersama obat
sulfa, DM tipe 1, ibu
hamil dan menyusui

Gangguan fungsi
hati

Irritable bowel
syndrom, obstruksi
saluran cerna, sirosis
hati, gangguan
fungsi ginjal

Pemilihan obat berdasarkan kadar A1c pada penderita DM, pada pasien ini
diberikan terapi kombinasi oral karena pada pasien ini didapatkan kadar

59

HbA1c nya adalah 7,1 dan didapatkan adanya infeksi sehingga memerlukan
terapi tambahan insulin. Pada pasien ini diberikan kombinasi obat sulfonilurea
dan acarbose. Fungsi sulfonilurea adalah untuk meningkatkan sekresi insulin
dan fungsi dari acarbose adalah untuk menghambat glukosidase alfa. Kedua
obat ini dipilih karena dapat digunakan bagi penderita gagal jantung, neuropati
dan retinopati diabetik.
4. DM dengan Hipertensi Stage I dan Terapi
a. Indikasi pengobatan: Bila TD sistolik 140 mmHg dan/atau TD diastolik
90 mmHg.
b. Sasaran (target penurunan) tekanan darah: Tekanan darah <140/90 mmHg
c. Bila disertai proteinuria =1gram /24 jam : < 125/75 mmHg
d. Pengelolaan:
1) Non-farmakologis:
Modikasi

gaya

hidup

antara

lain:

menurunkan

berat

badan,

meningkatkan aktivitas sik, menghentikan merokok dan alkohol, serta


mengurangi konsumsi garam
2) Farmakologis:
Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan:
a) Penghambat ACE
b) Penyekat reseptor angiotensin II
c) Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah
d) Diuretik dosis rendah
e) Penghambat reseptor alfa
f) Antagonis kalsium
Catatan:
a) Penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II (ARB =
angiotensin II receptor blocker) dan antagonis kalsium golongan nondihidropiridin dapat memperbaiki mikroalbuminuria.
b) Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.

60

c) Diuretik (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti


memperburuk toleransi glukosa.
d) Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran

sudah

tercapai.
e) Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba
menurunkan dosis secara bertahap.
f) Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.

Pada kasus ini, diagnosis hipertensi berdasarkan pemeriksaan


didapatkan tekanan darah pasien 150/80 mmHg, termasuk dalam
hipertensi stage 1. Pilihan obat anti hipertensi yang digunakan yaitu
golongan beta blocker (bisoprolol), dimana aman untuk penderita
hipertensi dengan penyakit DM, Congestive Heart Failure (CHF),
post infark miokard, dan risiko penyakit koroner.

61

Indikasi dan kontraindikasi kelas-kelas utama obat anti hipertensi menurut


ESH
Kelas Obat

Diuretika (Tiazid)

Indikasi

Kontraindikasi

Gagal jantung
kongestif, usia lanjut,
isolated systoled
hypertension, ras

62

Mutlak

Tidak Mutlak

Gout

Kehamilan

Afrika
Diuretika (Loop)

Insufisiensi ginjal,
gagal jantung
kongestif

Diuretika (anti
aldosteron)

Gagal jantung
kongestif, paska
infark miokardium

Gagal ginjal,
hiperkalemi

Penyekat

Angina pectoris,
pasca infark
miokardium, gagal
jantung kongestif,
kehamilan,
takiaritmia

Asma, PPOK,
AV block
(derajat 2 atau
3)

Calsium antagonis
(dihydropiridine)

Usia lanjut, isolated


systolic hypertension,
angina pectoris,
penyakit pembuluh
darah perifer,
aterosklerosis karotis,
kehamilan

Calsium antagonist
( Verapamil,
diltiazem)

Angina Pectoris,
aterosklerosis karotis,
takikardia
supraventikuler

Penghambat ACE

Gagal jantung
kongestif, disfungsi
ventrikel kiri, pasca
infark miokardium,
non-diabetik
nefropati, nefropati
DM tipe 1,
proteinuria

Angiotensin II
receptor antagonist
(AT-blocker)

Nefropati DM tipe 2,
mikroalbuminuria
diabetik, proteinuria,

63

Penyakit
pembuluh darah
perifer,
intoleransi
glukosa, atlet
atau pasien yang
aktif secara fisik
Takiaritmia,
gagal jantung
kongestif

hipertrofi ventrikel
kiri, batuk karena
ACEI
- blocker

Hiperplasia prostat
(BPH), hiperlipidemia

Gagal jantung
kongestif

5. DM dengan Ulkus Diabetik Pedis Dextra Wagner III


Ulkus diabetik pada pasien ditandai dengan gejala demam, sering merasa
kesemutan di telapak kaki dan telapak tangan. Telapak kaki sakit dan panas
pada malam hari. Riwayat DM (+). Adanya pada kaki kanan terdapat ulkus
sukar sembuh, senut-senut dan baal. Luka bernanah, berdarah dan meradang,
batas tegas dengan sekitarnya, kedalaman luka 1 cm hingga mencapai tendon
namun belum memperlihatkan tulang, ukuran 8 x 5 cm, kehitaman (-),
sensibilitas (), krepitasi (-), teraba dingin (-). Hal ini menunjukkan klasifikasi
Wagner III.

Sebelumnya pasien mempunyai riwayat amputasi, menandakan ulkus sudah


berkembang cepat, sehingga membutuhkan penatalaksanaan yang menyeluruh
untuk menekan pertumbuhan dari ulkus pasien.

Terapi yang tepat:

64

a. Kontrol mekanik: mengistirahatkan kaki, hindari tekanan di daerah luka,


gunakan bantal pada kaki saat berbaring, dan gunakan kasur dekubitus bila
perlu.
b. Kontrol metabolik: terapi gizi medis dan terapi farmakologi harus dilakukan
secara teratur sesuai pilar penatalaksanaan DM.
c. Kontrol vaskular: mencari adanya gangguan vaskular yang menghambat
penyembuhan luka dengan pemeriksaan ABPI, tekanan oksigen transkutan,
tekanan ibu jari (toe pressure), dan angiografi
d. Kontrol luka: nekrotomi atau debridemen
e. Kontrol infeksi: dengan pemberian antibiotik spektrum luas. Lini pertama
pengobatan ulkus: Sefalosporin + Metronidazol. Ceftriaxon sebagai
antibiotik gologan Sefalosporin spektrum luas dengan harga terjangkau.
Metronidazol digunakan sebagai antibiotik untuk kuman anaerob (luka
dalam dan berbau) yang sering menjadi penyebab utama berkembangnya
ulkus diabetik.

6. DM dengan Neuropati Diabetik Perifer

65

Neuropati diabetik pada pasien ditandai dengan keluhan di sistem


gastrointestinal seperti mual, muntah dan sembelit, serta keluhan di perifer
telapak kaki seperti kesemutan, baal, dan rasa terbakar. Riwayat DM sejak 20
tahun lalu. Pemeriksaan sensoris: di dorsum dan plantar pedis, pemeriksaan
otonom: fungsi defekasi, miksi dan libido, serta ulkus pedis dextra wagner
III. Hal ini sesuai teori dimana neuropati dapat terjadi pada sistem motorik,
sensorik maupun otonom. Neuropati pada pasien memicu timbulnya ulkus.
Terapi yang diberikan adalah mecobalamin yang dapat meregenerasi akson
saraf dan memperbaiki transmisi sinaps.

7. DM dengan Kardiomiopati
Kardiomiopati pada pasien ditandai dengan keluhan sesak dan bengkak
di kaki, dari pemeriksaan didapatkan pembesaran jantung dengan EKG curiga
LVH. Gejala kardiomiopati menyerupai gagal jantung namun tanpa sebab yang
jelas.
Tabel Klasifikasi Klinis Kardiomiopati

66

Dilatasi

Pembersaran ventrikel kanan dan atau kiri, ketidaksesuaian fungsi sistolik,


congestive heart failure, aritmia, emboli

Restriktif

Parut endomiokardial atau infiltrasi miokard sebagai hasil dari hambatan


pengisian ventrikel kanan dan atau kiri

Hipertrofi

Disproporsional pembesaran ventrikel kiri, umumnya lebih melibatkan septum


dibandingkan dinding jantung, dengan atau tanpa gradasi tekanan sistolik
intraventrikular, biasanya tanpa disertai dilatasi ruang ventrikel.

Tabel Evauasi laboratorium Kardiomiopati


Dilatasi
Restriktif

Hipertrofi

Siluet permbesaran
jantung yang moderat
hingga jelas
Hipertensi vena
pulmonale
Abnormalitas segmen ST
dan gelombang T

Siluet permbesaran
jantung yang ringan

Siluet permbesaran jantung


yang ringan hingga moderat

Voltase yang rendah,


defek konduksi

Echocardiogram

Pembesaran dan
disfungsi ventrikel kiri

Peningkatan penebalan
dinding ventrikel kiri
Penurunan fungsi
sistolik yang normal
hingga ringan

Abnormalitas segmen ST
dan gelombang T
Hipertrofi ventrikel kiri
Gelombang Q abnormal
Hipertrofi septum asimetris
(ASH)
Gerakan anterior sistolik
(SAM) dari katup mitral

Radionuklir

Pembesaran dan
disfungsi ventrikel kiri
(RVG)

Penurunan fungsi sistolik


yang normal hingga
ringan

Vigorous systolic function


(RVG)
Defek perfusi

Kateterisasi jantung

Pembesaran dan
disfungsi ventrikel kiri
Peningkatan tekanan
pengisian sisi kiri dan
sering sisi kanan
Diminished cardiac
output

Penurunan fungsi
sistolik yang normal
hingga ringan
Peningkatan tekanan
pengisian sisi kiri dan
kanan

Vigorous systolic function


Obtruksi dinamis aliran
keluar ventrikel kiri
Peningkatan tekanan
pengisian sisi kiri dan kanan

Rontgen thorax

EKG

67

Terapi yang diberikan adalah bisoprolol sebagai beta blocker, berfungsi


mencegah gangguan irama dan mencegah obstruksi pada ventrikel. Untuk
mengetahui klasifikasi kardiomiopati diabetik, perlu pemeriksaan penunjang.
8. DM dengan Retinopati Diabetik
Retinopati pada pasien ditandai dengan keluhan mata kabur dan sulit
membaca, pada pemeriksaan visus pasien menurun. Klasifikasi Retinopati DM:
Derajat 1 Tidak terdapat retinopati DM
Derajat 2 Hanya terdapat mikroaneurisma
Derajat 3 Retinopati DM non-proliferatif derajat ringan-sedang, ditandai oleh
mikroaneurisma dan satu atau lebih tanda:
Venous loops
Perdarahan
Hard exudates
Soft exudates
Intraretinal microvascular abnormalities
Venous beading

68

Derajat 4 Retinopati DM non-proliferatif derajat sedang-berat, ditandai oleh:


Perdarahan derajat sedang-berat
Mikroaneurisma
IRMA
Derajat 5 Retinopati DM proliferatif, ditandai oleh neovaskularisasi dan
perdarahan vitreous.
Terapi yang digunakan sesuai dengan derajat retinopati, pada pasien perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang funduskopi sebagai lini pertama diagnosis
.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Powers AC. Chapter 344. Diabetes Mellitus. Dalam: Longo DL, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Jamenson JL, Loscalzo J, eds. Harrisons Principles of
Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2012.

2.

Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H, Global Prevalence of Diabetes:


Estimates for 2000 and Projection for 2030. Diabetes Care; 2004.

3.

American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes.


Diabetes Care; 2012.

4.

Cutis A, Lee W. Spatial Pattern of Diabetes Related Health Problems for


Vulnerable Populations in Los Angeles. Int J Health Geogr; 2010.

5.

Livingood WC, Razaila L, Reuter E, Fillipowicz R, Butterfield RC, LukensBull K, Edwards L, Palacio C, Wood DL: Using Multiple Sources of Data to
Acsess The Prevalence of Diabetes at The Subcountry Level. Duval Country,
Florida; 2007 [article online].

6.

American Diabetes Association: Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care; 2007.

7.

Fowler MJ. Microvascular and Macrovascular Complication of Diabetes. Clin


Diab; 2008.

8.

Brackenridge A, Wallbank H, Lawrenson RA, Russell Jones D. Emergency


Management of Diabetes and Hypoglicemia. Emerg Med J; 2006.

9.

McNaughton CD, Wesley H, Slovis C. Diabetes in the Emergency


Departement: Acute Care of Diabetes Patients. Clin Diab; 2011.

10. Hariani L, Perdanakusuma D. Perawatan Ulkus Diabetes. Jakarta: UI. 2010.


11. Tanto Chris, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Ed 4 Jilid 2. Jakarta: Media
Ausculapius. 2014.
12. Sudoyo AW, Setyohadi B, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi
V. Jakarta: Perhimpunan Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
13. National Diabetes Information Clearinghouse. Diabetic Neuropathies: The
Nerve

Damage

of

Diabetes.

Diunduh

http://diabetes.niddk.nih.gov/dm/pubs/neuropathies/neuropathies.pdf

70

dari

14. Priyantono T. Faktor-faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Timbulnya


Polineuropati pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Edisi 2005. Diunduh
dari http://eprints.undip.ac.id/15006/1/2005FK4175.pdf
15. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Konsensus Nasional 1
Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri Neuropatik. Surabaya : Pusat
Penerbitan dan Percetakan Unair; 2011.h.33-6
16. Wynne J, Braunwald E. Harrison's Principles of Internal Medicine:
Cardiomyopathy and myocarditis. 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2000. p.
1408-14.

71

Anda mungkin juga menyukai