Anda di halaman 1dari 10

HALAMAN SAMPUL

PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA LANSIA: LAPORAN KASUS


KEDOKTERAN KELUARGA

DISUSUN OLEH:
Laurencia Violetta, XC064181070
Maydhista Anggraini Poetri, XC064181647
Telly Devi Oktaviani, XC064181036

SUPERVISOR:
Dr. dr. Suryani Tawali, MPH

BAGIAN KEDOKTERAN KOMUNITAS DAN KEDOKTERAN PENCEGAHAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

NOVEMBER, 2019
PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA LANSIA: LAPORAN KASUS
KEDOKTERAN KELUARGA
Laurencia Violetta1*, Maydhista A. Poetri1*, Telly Devi Oktaviani1*, Suryani Tawali1*

1) Bagian Kedokteran Komunitas dan Kedokteran Pencegahan


*Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia

ABSTRAK

Hipertensi umum ditemukan pada pelayanan kesehatan primer dan merupakan


penyebab paling umum terjadinya kematian akibat penyakit kardiovaskular dan stroke.
Strategi penanganan yang baik pada kasus hipertensi meliputi identifikasi faktor risiko,
masalah klinis, serta penatalaksanaan dengan pendekatan pasien dan keluarga. Studi
deskriptif ini diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, kunjungan rumah,
perlengkapan data keluarga, analisa psikososial serta lingkungan, serta penilaian
berdasarkan diagnosis holistik. Kasus ini mendeskripsikan seorang pasien geriatri 62
tahun dengan hipertensi. Didapatkan faktor resiko internal yaitu gaya hidup yang buruk,
adanya stress, pola pengobatan kuratif dan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
Faktor resiko eksternal yaitu kurangnya dukungan dan pengetahuan keluarga untuk
memotivasi pasien agar selalu memeriksakan kesehatannya dan menjaga pola
makannya. Pasien diberikan pengobatan antihipertensi serta edukasi mengenai pola
makan yang baik, pola olahraga, dan pentingnya meminum obat secara rutin dan kontrol
tekanan darah. Keluaraga merupakan suppport system yang utama bagi lansia dalam
mempertahankan kesehatannya, dan dukungan keluarga diperlukan untuk membantu
pasien mengendalikan tekanan darah. Masalah klinis yang kompleks membutuhkan
waktu yang lama dan kerjasama antara dokter keluarga dan keluarga pasien. Dokter
keluarga tidak hanya menyelesaikan masalah klinis pasien, tetapi juga mencari dan
memberi solusi atas hal-hal yang mempengaruhi kesehatan pasien dan keluarga.

Kata kunci : Hipertensi, Lansia, Kedokteran keluarga

LATAR BELAKANG
Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik yang
didefinisikan sebagai meningkatnya tekanan darah sistolik ≥140mmHg dan diastolik ≥90
mmHg. Hipertensi berkelanjutan akan menyebabkan kerusakan organ dan merupakan
faktor risiko yang terlibat dalam proses terjadinya penyakit kardiovaskular. Setiap
kenaikan 20/10mmHg diatas normal dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular
dua kali lipat (JNC 7, 2004). Pada umumnya penderita hipertensi tidak mempunyai
keluhan, namun hipertensi merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia,
sehingga seringkali disebut sebagai “silent killer”. Sebanyak 45% dari total kematian
akibat penyakit kardiovaskular dan 51% dari total kematian akibat stroke disebabkan oleh
hipertensi (WHO, 2013). Terdapat 1,13miliar orang di dunia terdiagnosa hipertensi dan
9.4 juta orang meninggal akibat hipertensi dan komplikasinya (WHO, 2019).
Dua pertiga dari penderita hipertensi tinggal di negara berkembang. Data dari
Infodatin (2014), terdapat 65 juta penderita hipertensi di Indonesia dan 55.2% pasien
berusia >55 tahun. Dengan bertambahnya umur, angka kejadian hipertensi meningkat
karena efek penuaan, serta perubahan gaya hidup seperti konsumsi garam berlebihan,
merokok, konsumsi alkohol, kurangnya olahraga dan efek stres yang memanjang.
Upaya pengendendalian hipertensi mencakup deteksi dini oleh petugas kesehatan
primer di masyarakat. Konsep pengobatannya harus meliputi pengendalian tekanan
darah serta faktor resiko yang terkait (Kemenkes, 2013). Data dari Riskesdas (2013)
menunjukkan bahwa 32,3% penderita tidak rutin minum obat, dengan alasan paling sering
yaitu karena sudah merasa sehat (59,8%), kunjungan tidak teratur ke fasyankes (31,3%)
dan alasan lain seperti masalah biaya, malas ataupun bosan. Kepatuhan pengobatan
pasien hipertensi merupakan hal penting karena hipertensi merupakan penyakit yang
tidak dapat disembuhkan dan hanya dapat dikendalikan.

DESKRIPSI KASUS

Ny. N, perempuan berusia 62 tahun datang ke Puskesmas Mamajang dengan


keluhan sakit kepala sejak 2 minggu yang lalu, nyeri kepala dirasakan hilang timbul dan
dirasakan terutama pada bagian belakang kepala terkadang menjalar hingga ke leher,
sehingga tengkuk pasien terasa berat. Rasa nyeri kepala mengganggu aktifitas pasien
sehingga pasien hanya dapat berbaring dan terkadang merasakan sulit tidur. Selain itu,
pasien juga mengeluh pusing dan penglihatan yang mulai kabur.
Awalnya, sekitar 3 tahun yang lalu pasien mengalami keluhan seperti ini. Pasien
memeriksakan diri ke puskesmas, didiagnosa hipertensi dan diberikan obat antihipertensi.
Setelah obat tersebut habis dan keluhan berkurang, pasien tidak rutin kontrol dan hanya
ke puskesmas apabila keluhan nyeri kepala kambuh. Pasien mengatakan tekanan darah
tertinggi mencapai 170/110mmHg.
Dalam kesehariannya, pasien biasa makan tiga kali sehari, mengaku seringkali
mengonsumsi makanan yang asin seperti ikan asin, gorengan dan mie instan, dan jarang
makan buah dan sayur. Pasien masih mengerjakan aktivitas sehari-hari seperti menjadi
pencuci baju keliling, membersihkan rumah serta memulung barang-barang yang dapat
di loakan. Pasien jarang berolahraga dan tidak mengkonsumsi alkohol ataupun merokok.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit lain. Suami, ayah dan ibu pasien sudah meninggal
dikarenakan sakit, namun pasien tidak mengetahui apakah ayah dan ibunya juga
mengalami hipertensi. Anak kelima pasien mempunyai riwayat hipertensi.
Saat ini, Ny.N tinggal dengan kedua anaknya, menantu, serta kelima cucunya.
Pasien mengeluh gaji dari mencuci baju keliling sering tidak diberikan tepat waktu
sehingga pasien sering khawatir akan biaya hidup keluarga. Pola pengobatan pasien
bersifat kuratif, apabila mengalami keluhan, pasien baru pergi untuk berobat. Begitu juga
dengan anggota keluarga lainnya, dimana pencarian pelayanan kesehatan dilakukan jika
sakit saja. Dari pengkajian lingkungan didapatkan luas bangunan rumah pasien 6x5,
dengan bentuk rumah petak. Kebersihan dan ventilasi rumah kurang, sehingga ruangan
pengap dengan pencahayaan gelap. Sarana pembuangan limbah kurang lancar dan
bekas sampah biasanya dibuang sembarangan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaaan umum: tampak sakit ringan; suhu:
36.5°C; tekanan darah: 150/90mmHg; nadi: 87x/menit; nafas: 18 x/menit; berat badan: 45
kg; tinggi badan: 156 cm; IMT: 19(normal). Mata kabur, telinga dan hidung dalam batas
normal. Regio thoraks: cor dan pulmo dalam batas normal. Regio abdomen juga dalam
batas normal. Ekstremitas tidak didapatkan edema. Status neurologis kesan dalam batas
normal. Pemeriksaan penunjang tidak dievaluasi.
Gambar 1 merangkum interaksi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keadaan
kesehatan pasien. Sesuai konsep Mandala of Health, 1) masalah personal yang didapat
pada pasien adalah keluhan nyeri kepala yang menjalar ke leher dan tengkuk disertai
pusing dan pandangan mulai kabur, kekhawatiran keluhan memberat hingga dapat
menggangu tidur dan aktivitas. Harapan pasien yaitu penyakitnya dapat sembuh dan
keluhan tidak timbul kembali; 2) Diagnosis kerja yang didapat adalah Hipertensi grade I
(ICD10-I10); 3) Aspek risiko internal yang didapatkan pada Ny.N adalah pasien masuk
dalam golongan umur lansia, dengan perilaku pola makan yang tidak sehat, suka
mengonsumsi makanan asin, gorengan dan mie instan. Pasien juga jarang makan buah
dan sayuran, serta jarang berolahraga. Pola berobat pasien dan keluarga termasuk pola
kuratif. Pasien juga merasa stress terus menerus karena memikirkan biaya hidup
keluarga karena gaji pekerjaan sering tidak diberikan tepat waktu; 4) Aspek risiko
eksternal yang didapatkan yaitu pasien tinggal bersama 9 penghuni lainnya di dalam
rumah yang sempit, dengan tingkat kebersihan, ventilasi dan pencahayaan yang kurang.
Pasien bekerja sebagai pencuci baju keliling dan pemulung untuk menanggung biaya
hidup keluarga; dan 5) secara skala fungsional pasien digolongkan dalam derajat 1 (satu),
yaitu pasien masih mampu melakukan aktivitas seperti biasanya.
Rencana penanganan terhadap pasien ini yaitu pengendalian tekanan darah
dengan obat antihipertensi Amlodipine 10mg. Sedangkan untuk masalah psikososial,
pasien dan keluarga diberikan konseling tentang hipertensi serta komplikasinya, serta
perubahan pola hidup.

DISKUSI

Kunjungan dilakukan pada tanggal 6 November 2019 untuk pendekatan dan


perkenalan terhadap pasien serta menerangkan maksud dan tujuan kedatangan, diikuti
dengan anamnesis tentang keluarga dan perihal penyakit yang telah diderita.
Berdasarkan hasil kunjungan, didapatkan masalah kesehatan yaitu seorang pasien
geriatri yang sudah berulang kali mengalami gejala hipertensi, sudah pernah didiagnosa
dengan hipertensi dan menerima pengobatan selama 3 tahun terakhir, namun keluhan
masih sering kambuh bahkan memberat hingga menganggu tidur dan aktivitas. Diagnosa
klinis hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis yang didapatkan berupa sakit kepala
hingga tengkuk, yang dirasakan memberat terutama bila banyak pikiran, serta keluhan
pandangan mulai kabur. Keluhan-keluhan tidak spesifik seperti sakit kepala, gelisah,
penglihatan kabur, pusing, mudah lelah, jantung berdebar-debar dan sakit dada dapat
ditemukan pada penderita hipertensi. Hipertensi sering dijuluki sebagai silent killer atau
pembunuh diam-diam karena penyakit ini sering berjalan tanpa gejala, dan baru muncul
saat terjadi komplikasi pada organ-organ seperti otak, ginjal dan jantung (Yogiantoro,
2014). Tekanan darah yang didapatkan saat pemeriksaan fisik yaitu 150/90mmHg,
sehingga menurut The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), diagnosa
hipertensi grade I dapat ditegakkan.
Hasil kunjungan kami juga menunjukkan bahwa pasien memiliki pengetahuan yang
kurang tentang penyakit yang ia derita, yang terlihat oleh pola berobat pasien yang
bersifat kuratif. Terdapat fasilitas pelayanan kesehatan yang terjangkau dalam segi lokasi
dan biaya, namun pasien dan keluarga hanya berobat bila ada keluhan saja dan tidak
rutin kontrol penyakitnya. Selain itu, pasien juga kurang pengetahuannya akan
pengobatan preventif, yang terlihat dari pola makan yang belum sesuai dengan anjuran
dokter. Pasien suka konsumsi makanan berkadar garam tinggi dan makanan berlemak,
jarang makan buah dan sayuran. Perilaku olahraga juga jarang dilakukan, namun setiap
hari pasien bekerja sebagai buruh cuci dan pemulung. Dalam aspek psikososial, pasien
masih sering merasa stress karena selalu memikirkan tanggungan biaya keluarga, yang
diperberat dengan gaji pekerjaan yang sering tidak diberikan tepat waktu.
Penatalaksanaan pada pasien ini dimulai dengan pengendalian tekanan darah
yang bertujuan untuk memperlambat progesifitas terjadinya komplikasi penyakti seperti
stroke, retinopati, nefropati dan penyakit jantung. Terapi non-medikamentosa merupakan
tatalaksana lini pertama bagi penderita hipertensi lansia. Hal ini sangat penting karena
potensial interaksi obat yang dapat terjadi serta masalah ketidakpatuhan lansia terhadap
rejimen pengobatan. Sebuah randomized controlled trial oleh Whelton, et al (1998)
menunjukkan bahwa restriksi natrium dalam diet dan penurunan berat badan
menghasilkan perbaikan yang lebih baik pada penderita lansia dibanding penderita yang
lebih muda. Edukasi diberikan kepada pasien dan keluarga tentang DASH diet (Dietary
Approaches to Stop Hypertension), dengan menghindari makanan yang setiap hari
dikonsumsi pasien yaitu ikan asin, gorengan dan mie instan karena kandungan garam
dan lemak jenuh yang tinggi. Pasien disarankan untuk konsumsi diet kaya akan buah-
buahan dan sayuran, serta disarankan untuk meningkatkan aktivitas fisik dengan minimal
30 menit per harinya (Nguyen, 2012).
Sesuai guideline oleh JNC-8 (2014), terapi medikamentosa harus diberikan pada
penderita diatas 60 tahun dengan target tekanan darah dibawah 150/90mmHg. Pada
pasien ini, obat farmakologis antihipertensi yang diberikan adalah Amlodipine yang
termasuk dalam golongan calcium channel blocker (CCB), dengan dosis 10 mg yang
diberikan satu kali sehari pada malam hari. Pemilihan jenis obat hipertensi ini dilakukan
berdasarkan kondisi klinis pasien, harga yang relatif terjangkau, mudah didapatkan di
faskes terdekat dan efek samping yang bisa diatasi.
Pasien termasuk dalam golongan usia lansia, dan risiko terkena hipertensi menjadi
lebih besar semakin bertambahnya usia yang disebabkan oleh arterial stiffness akibat
proses penuaan (Lionakis, 2012). Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia mencapai
peringkat lima besar terbanyak di dunia, dan meningkatnya populasi usia lanjut
memerlukan rencana strategis untuk perawatan kesehatan individu lansia. Pemerintah
telah mencanangkan pengembangan pelayanan terintegrasi untuk usia lanjut dengan
mendirikan tempat rawat jalan terpadu dan perawatan kasus akut geriatri, serta
mengadakan program-program seperti nutrisi usia lanjut, layanan psiko-geriatri dan
dementia care, pecegahan penyakit kronis serta konseling (Setiati, 2013). Namun,
kualitas hidup lansia dipengaruhi oleh beberapa faktor, dan salah satunya yang terpenting
adalah dukungan keluarga. Suardana (2010) melaporkan bahwa masih ada sebagian
besar (>50%) lansia dengan hipertensi masih belum mendapatkan dukungan keluarga
yang cukup. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pemahaman keluarga tentang
penyakit yang diderita pasien, sehingga tidak menyadari perubahan atau gejala yang
dialami lansia, serta kurangnya pengawasan terhadap gaya hidup, pola makan lansia dan
keteraturan minum obat.
Penatalaksanaan aspek psikososial yang diberikan pada kasus diatas berupa
konseling terhadap pasien dan keluarganya. Lansia yang sudah mengalami penurunan
fungsi dan yang memiliki penyakit kronik seperti hipertensi sangat membutuhkan
dukungan dan bantuan dari orang lain. Keluarga merupakan support system utama bagi
lansia dalam mempertahankan kesehatannya (Wulandhani, 2014). Peranan keluarga
dalam perawatan lansia termasuk dukungan informasi yang meliputi mengetahui penyakit
yang dialami lansia, memberikan pengetahuan tentang penyakitnya kepada penderita
dan mengingatkan jadwal pemeriksaan tekanan darah, serta dukungan emosional
dengan mengubah pola pikir pengobatan yang bersifat kuratif, peduli untuk menyediakan
waktu luang untuk mendampingi dan mengantar lansia rutin kontrol ke pelayanan
kesehatan, mengatur makanan yang dikonsumsi dan mengingatkan lansia untuk teratur
minum obat. Selain itu, teori yang dikemukakan oleh Smeltzer dan Bare (2002)
menunjukkan bahwa pasien yang stres atau cemas tidak akan mampu untuk beristirahat
dengan cukup. Stress emosional dapat mengakibatkan vasokonstriksi, tekanan arteri
meningkat, dan denyut jantung cepat sehingga dapat meningkatkan tekanan darah dan
memperberat keluhan pasien. Oleh karena itu, sangat penting juga dilakukan konseling
kepada keluarga untuk memberikan perhatian dan berdiskusi bersama pasien mengenai
beban pikiran yang dimiliki pasien sehingga dapat mengurangi rasa stress yang dialami.

KESIMPULAN

Diagnosis hipertensi grade I pada pasien perempuan lansia dalam kasus ini
didapatkan melalu anamnesis yang berupa keluhan nyeri kepala, pusing dan penglihatan
kabur, serta pemeriksaan fisik yang menunjukkan kenaikan tekanan darah diatas
140/90mmHg. Penatalaksanaan dalam kasus hipertensi diperlukan pendekatan
berorientasi pasien dan keluarga. Pada pasien, diberikan obat antihipertensi dan edukasi
mengenai pola makan dan pola olahraga yang baik, serta pentingnya minum obat dan
kontrol rutin. Keluarga merupakan support system yang utama bagi lansia dalam
mempertahankan kesehatannya. Ketersediaan keluarga terutama penting untuk
memberikan dukungan dalam meningkatkan kemauan lansia penderita hipertensi untuk
rutin memeriksakan tekanan darah dan patuh berobat untuk menunjang pengobatan yang
maksimal.
Gambar 1. Mandala of Health
DAFTAR PUSTAKA

1. Infodatin (2014). Pusat Data dan Informasi: Hipertensi. Kementerian Kesehatan,


Jakarta.
2. JNC 7 (2003). The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA, United States.
3. JNC 8 (2014). The Eighth Report of the Joint National Committee: Evidence-Based
Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults. JAMA, United States.
4. Kemenkes RI (2013). Pedoman teknis penemuan dan tatalaksana penyakit hipertensi.
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Jakarta.
5. Lionakis N, et al (2012). Hypertension in the elderly. World J Cardiol, 4(5):135-147.
6. Nguyen QT, et al (2012). Managing Hypertension in the Elderly: A Common Chronic
Disease with Increasing Age. Am Health Drug Benefits. 5(3):146-153, United States.
7. Riskesdas (2013). Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
8. Setiati S (2013). Geriatric Medicine, Sarkopenia, Frailty dan Kualitas Hidup Pasien
Usia Lanjut. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
9. Smeltzer & Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, Jakarta.
10. Suardana WI, et al (2010). Dukungan keluarga dan kualitas hidup lansia hipertesi.
Poltekkes, Denpasar.
11. Whelton PK, et al (1998). Sodium reduction and weight loss in the treatment of
hypertension in older persons: a randomized controlled trial of nonpharmacologic
interventions in the elderly. TONE Collaborative Research Group, JAMA, US.
12. WHO, (2013). A global brief on hypertension silent killer. World Health Organization.
13. WHO (2019). Fact Sheets: Hypertension. www.who.int. World Health Organization.
14. Wulandani SA, et al (2014). Hubungan dukungan keluarga dengan motivasi lansia
hipertensi dalam memeriksakan tekanan darahnya. JOM PSIK. Vol.1 No.2. Riau.
15. Yogiantoro M, (2014). Pendekatan Klinis Hipertensi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi ke-6. Departemen Ilmu Penyakin Dalam FKUI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai