SKENARIO 3
“LEMAH ANGGOTA GERAK”
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2020
SKENARIO 3
Lemah Anggota Gerak
STEP 1
STEP 2
STEP 3
STEP 4
Kegawat
Daruratan
Neurologi
(GBS)
SASARAN BELAJAR
REFLEKSI DIRI
PBL pada hari Senin, 01 Februari 2020 berjalan dengan baik. Pada
permasalahan ini saya dapat mengetahui mengenai kelemahan anggota gerak yang
berasal dari UMN maupun LMN. Namun masih harus diperlukan pembahasan
secara spesifik dalam pembahasan mengenai klasifikasi dan penyakit pada
kelemahan anggota gerak di UMN dan LMN ini. Semoga ilmu yang didapatkan
bisa bermanfaat bagi saya dan orang lain.
STEP 7
1. Kegawatdaruratan neurologi (etiologi, faktor risiko, patofisiologi,
penegakkan diagnosis, tatalaksana awal, komplikasi).
Etiologi
Faktor Risiko
Patofisiologi
Penegakkan Diagnosis
Tatalaksana Awal 1
1. Pemberian IVIG 0,4 gram/ kg BB/ hari selama 5 hari atau plasma
exchange diguanakan sebagai lini pertama pengobatan (Level A)
2. Pemberian IVIG memiliki efek samping yang lebih sedikit,
sehingga lebih banyak dipilih (Level B)
3. Kombinasi methylprednisolone dosis tinggi dan IVIG memiliki
manfaat singkat (Level C)
4. Pada anak-anak pemberian IVIG lebih direkomendasikan (Level C)
5. Pemberian IVIG pada kasus yang relaps tetap harus
dipertimbangkan (GPP/ Good Practice Point)
6. Tindakan rehabilitasi disesuaikan dengan derajat kelemahan dan
disabilitas pasien
Komplikasi
Penurunan kesadaran
Etiologi
Selain di atas terdapat juga tingkat kesadaran dalam bentuk lain, yaitu : 2
Etiologi
Patofisiologi
Penegakkan Diagnosis
Klasifikasi
Tatalaksana Awal
a. Pengobatan gejala
Pyridostigmine (golongan asetilkolinesterase inhibitor)
bekerja menghambat hidrolisis asetilkolin di celah sinaptik. Obat
ini akan meningkatkan interaksi antara asetilkolin dan reseptornya
di NMJ. Dosis awal dimulai dengan 60 mg setiap 6 jam di siang
hari (while awake). Dosis dapat ditingkatkan menjadi 60-120 mg
setiap 3 jam. Efek klinis akan muncul sekitar 15-30 menit sejak
dikonsumsi dan bertahan hingga 3-4 jam. Efek samping yang
paling sering muncul adalah gangguan saluran pencernaan seperti
kram perut, BAB cair, dan kembung. Obat ini merupakan
kontraindikasi relatif pada krisis miastenia karena dapat
meningkatkan sekresi cairan di saluran pernapasan. 3
b. Imunosupresan
- Kortikosteroid
Mekanisme kerja kortikosteroid terhadap MG
belum diketahui, namun kortikosteroid dianggap
imunosupresan paling efektif untuk MG. Ada 2 cara
pemberian kortikosteroid pada MG yaitu regimen induksi
cepat dengan dosis tinggi dan regimen titrasi lambat dengan
dosis rendah. Regimen titrasi lambat dengan dosis rendah
digunakan pada pasien MG ringan hinggasedang. Dosis
Prednison yang diberikan adalah 10 mg/hari dan
ditingkatkan 10 mg setiap 5-7 hari hingga dicapai dosis
maksimal 1,0-1,5 mg/kgBB/hari. Regimen induksi cepat
diberikan Prednison dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg BB/hari
selama 2-4 minggu. Setelahnya dilakukan penggantian cara
pemberian menjadi selang sehari atau tetap meneruskan
dosis tinggi setiap hari. 3
- Azathioprine
Azathioprine adalah antimetabolit sitotoksik yang
menghambat sintesis purin sehingga menghambat sintesis
DNA dan RNA, replikasi sel, dan fungsi limfosit. Respons
MG terhadap terapi Azathioprine berkisar antara 70-91%.
Obat ini diberikan pada pasien MG yang masih
menunjukkan gejala meskipun telah diterapi dengan
kortikosteroid, pasien dengan kontraindikasi relatif
terhadap kortikosteroid, serta pasien yang mengalami efek
samping berat dengan terapi kortikosteroid. Dosis awal
adalah 50 mg/hari. Dosis dapat dinaikkan dengan
penambahan 50 mg setiap 2-4 minggu hingga tercapai dosis
2-3 mg/kg BB/hari. 3
- Cyclosporine
Mekanisme kerja cyclosporine adalah
mempengaruhi penghantaran sinyal calcineurin, menekan
sekresi sitokin dan mempengaruhi aktivasi sel T helper.
Dosis awal sebesar 3 mg/kg BB/hari. 3
- Methotrexate (MTX)
MTX adalah antimetabolit folat yang menghambat
enzim dihidrofolat reduktase. Sebagai obat pilihan di lini
ketiga, MTX diberikan dengan dosis awal 10 mg/minggu
dan dititrasi menjadi 20 mg/minggu selama 2 bulan. 3
- Cyclopgosphamide (CP)
CP adalah agen alkilasi yang memodifikasi basa
guanin pada DNA, menyebabkan efek sitotoksik. Efek
sitotoksik ini kemudian menekan replikasi sel T dan sel B
di sumsum tulang. Pemberian CP intravena sebesar 500
mg/m2 setiap bulan dapat memperbaiki MG pada bulan
ke12. 3
- Rituximab
Rituximab adalah antibodi monoclonal yang
melawan CD20, sebuah protein transmembrane di
permukaan sel limfosit B. Obat ini mengurangi sel B
CD20+ yang bersirkulasi sehingga menekan produksi
antibody dan imunitas humoral. Dosis optimal untuk MG
belum ada yang baku. 3
c. Imunoterapi kerja cepat
- Plasma Exchange (PLEX)
Indikasi PLEX adalah krisis miastenia, ancaman
krisis pada pasien dengan MG berat, serta pasien MG
ringan-sedang dengan perburukan gejala klinis atau tidak
berespon terhadapobat imunosupresan. Mekanisme kerja
PLEX pada MG adalah dengan menghilangkan
autoantibodi patogenik dan sitokin yang bersifat larut
dalam plasma. Regimen standar adalah 5 kali prosedur
PLEX dimana 1 volume plasma diganti setiapkali prosedur
dilakukan. PLEX dilakukan selang sehari. Cairan pengganti
plasma yang digunakan adalah albumin 5% yang ditambah
dengan kalsium glukonat untuk mencegak hipokalsemia
akibat efek sitrat. 3
- Imunoglobulin Intravena (IVIG)
Indikasi IVIG sama dengan indikasi PLEX untuk
pasien MG. Dosis induksi sebesar 2 g/kg BB dibagi
menjadi 2-5 hari. Komplikasi IVIG adalah sakit kepala,
anafilaksis, stroke, infark miokard, deep venous
thrombosis, dan emboli pulmo. 3
d. Timektomi
Pada MG dengan timoma, harus dilakukan pembuangan
tumor dan seluruh jaringan timus. Timektomi pada MG tanpa
timoma telah menjadi standar terapi, meskipun belum ada bukti
ilmiah mengenai efektivitasnya. 3
Komplikasi
Status Epileptikus
Etiologi
Patofisiologi
Penegakkan Diagnosis
- Family history
- Past history
- Systemic history
- Alcoholic history
- Drug hostory
- Focal neurological symptoms and signs
Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif
palsu maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam
menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien
dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam
penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan yang
sering, karena memperlihatkan gambaran selama serangan kejang terjadi.
Namun dengan metode ini pun masih terdapat kemungkinan negatif palsu,
dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam sebuah lipatan korteks
serebri dan yang gagal memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan
EEG. 4
Tatalaksana Awal
1. Benzodiazepin
- Diazepam
Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence
A pada banyak penelitian). Obat memasuki otak secara cepat,
setelah 15-20 menit akan terdistribusi ke tubuh. Walaupun
terdistribusi cepat, eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam.
Sangat berpotensi sedatif jika terakumulasi dalam tubuh pada
pemberian berulang. 4
Diazepam dengan dosis 5-10 mg intravena dapat
menghentikan kejang pada sekitar 75% kasus. Diazepam
dapat diberikan secara intramuskuler atau rektal. Efek
samping termasuk depresi pernapasan, hipotensi, sedasi,
iritasi jaringan lokal. Sangat berpotensi hipotensi dan depresi
napas jika diberikan bersamaan obat antiepilepsi lain,
khususnya barbiturat. Walaupun demikian, diazepam masih
merupakan obat penting dalam manajeman SE karena
efeknya yang cepat dan berspektrum luas. 4
- Lorazepam
Lorazepam merupakan pilihan golongan benzodiazepin
untuk menajemen SE. Lorazepam berbeda dengan diazepam
dalam beberapa hal. Obat ini kurang larut dalam lemak
dibandingkan diazepam dengan waktu paruh dua hingga tiga
jam dibandingkan diazepam yang 15 menit, sehingga
mempunyai durasi lebih lama. Lorazepam juga mengikat
reseptor GABAergic lebih kuat daripada diazepam, sehingga
durasi aksinya lebih lama. Efek antikonvulsan lorazepam
berlangsung 6-12 jam pada rentang dosis 4-8 mg. Agen ini
berspektrum luas dan berhasil menghentikan kejang pada 75-
80% kasus. Efek sampingnya sangat identik dengan
diazepam. Oleh karena itu, lorazepam juga merupakan
pilihan untuk manjemen SE. 4
- Midazolam
Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang
bereaksi cepat, penetrasi cepat melewati sawar darah otak,
dan durasi yang singkat. Midazolam dapat digunakan sebagai
agen alternatif untuk SE refrakter. Walau pun midazolam
jarang merupakan pilihan per tama untuk kejang akut di
Amerika Serikat, obat ini sangat umum digunakan di Eropa. 4
2. Agen Antikonvulsan
- Fenitoin
Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif mengobati
kejang akut dan SE. Disamping itu, obat ini sangat efektif
pada manajemen epilepsi kronik, khususnya pada kejang
umum sekunder dan kejang parsial. Keuntungan utama
fenitoin adalah efek sedasinya yang minim. Namun, sejumlah
efek samping serius dapat muncul seperti aritmia dan
hipotensi, khususnya pada pasien di atas usia 40 tahun. Efek
tersebut sangat dihubungkan dengan pemberian obat yang
terlalu cepat. Di samping itu, iritasi lokal, fl ebitis, dan pusing
dapat muncul pada pemberian intravena. Fenitoin sebaiknya
tidak dicampur dengan dekstrosa 5%, melainkan salin normal
untuk menghindari pembentukan kristal. 4
- Fosfenitoin
Fosfenitoin adalah pro-drug dari fenitoin yang larut dalam
air yang akan dikonversi menjadi fenitoin setelah diberikan
secara intravena. Seperti fenitoin, fosfenitoin digunakan
dalam tatalaksana kejang akut tonik-klonik umum atau
parsial. Fosfenitoin dikonversi menjadi fenitoin dalam waktu
8 sampai 15 menit. Dimetabolisme oleh hati dan mempunyai
waktu paruh 14 jam. Karena 1,5 mg fosfenitoin ekuivalen
dengan 1 mg fenitoin, maka dosis, konsentrasi, dan kecepatan
infus intravena digambarkan sebagai phenytoin equivalent
(PE). Dosis awal 15 sampai 20 mg PE per kgBB, dan
diberikan dengan kecepatan 150 mg PE per menit, kecepatan
pemberian infus tiga kali lebih cepat dari fenitoin intravena. 4
Fosfenitoin lebih disukai, karena bekerja lebih cepat dan
iritasi vena yang lebih minimal (menghindari risiko purple-
glove syndrome yang terjadi pada fenitoin). Efek samping
dari fosfenitoin termasuk parestesia dan pruritus, namun
muncul jika diberikan dalam pemberian yang terlalu cepat.
Pemberian intravena dihubungkan dengan hipotensi,
sehingga monitoring jantung dan tekanan darah yang ketat
dilakukan. Walaupun fosfenitoin lebih baik daripada fenitoin,
namun kelemahannya adalah harga yang mahal dan tidak
terdapat di semua rumah sakit. 4
3. Barbiturat
- Fenobarbital
Fenobarbital digunakan setelah benzodiazepin atau fenitoin
gagal mengontrol SE. Loading dose 15 sampai 20 mg per
kgBB. Karena fenobarbital dosis tinggi bersifat sedatif,
proteksi jalan napas sangat penting, dan risiko aspirasi
merupakan perhatian khusus. Fenobarbital intravena juga
dihubungkan dengan hipotensi sistemik. Jika dilakukan
pemberian intramuskuler, maka dilakukan pada otot besar,
seperti gluteus maximus. Defi sit neurolgis permanen dapat
timbul jika diinjeksikan berdekatan dengan saraf tepi. Saat
ini, untuk penanganan SE refrakter lebih sering digunakan
agen lain (midazolam, propofol, pentobarbital) daripada
fenobarbital. 4
- Pentobarbital
Merupakan barbiturat kerja singkat yang bersifat sedatif,
hipnotif, dan besifat antikonvulsan. Digunakan hanya untuk
SE refrakter, jika agen lain gagal untuk menghentikan kejang.
Pasien membutuhkan intubasi dan dukungan ventilasi.
Dibandingkan fenobarbital, pentobarbital mempunyai
penetrasi yang lebih cepat dan waktu paruh yang lebih
singkat, sehingga dapat sadar lebih cepat dari koma ketika
penyapihan (weaning). 4
Efektivitas pentobarbital lebih tinggi daripada propofol
dalam mengakhiri SE refrakter. Suatu studi mendapatkan
tingkat keberhasilan pentobarbital yang tinggi (92% dengan
perbandingan 80% untuk midazolam dan 73% untuk
propofol). Namun demikian, sangat dihubungkan dengan
tingginya ke jadian hipotensi dibandingkan midazolam dan
propofol (77% vs 42% dan 30%). 4
4. Anestesi Umum
- Propofol
Propofol merupakan suatu senyawa fenolik yang tidak
berhubungan dengan obat antikonvulsan lain. Propofol sangat
larut dalam lemak, sehingga dapat bereaksi dengan cepat,
mempunyai sifat anestesi jika diberikan secara intravena
dengan dosis 1-2 mg/kgBB, sangat efektif dan nontoksik.
Beberapa publikasi melaporkan penggunaan infus jangka
panjang propofol dapat di terapkan pada SE. 4
Propofol dapat menyebabkan depresi napas dan depresi
serebral, sehingga membutuhkan intubasi dan ventilasi.
Hipotensi mungkin membutuhkan penatalaksanaan segera.
Penggunaan jangka panjang (atau dosis tinggi >5 mg/kg/jam
dalam 48 jam) dapat menyebabkan asidosis, aritmia jantung,
dan rabdomiolisis (propofol infusion syndrome) yang fatal,
khususnya pada anak usia muda, sehingga propofol
sebaiknya tidak digunakan digunakan pada kelompok ini. 4
- Tapering Off
Pada pasien yang ditatalaksana dengan infus kontinu obat
antiepilepsi harus diteruskan 12 sampai 24 jam setelah kejang
berhenti. Jika selama periode tapering off terdapat kejang,
maka pengobatan dengan infus kontinu harus diperpanjang
dengan memperhatikan adanya kejang baik secara klinis
maupun EEG. Jika tidak ada kejang, maka tapering off dapat
diteruskan. 4
Trauma Kepala
Etiologi
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)
yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan
struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain
Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik. 5
Patofisiologi
Penegakkan Diagnosis
- Nyeri kepala
- Kesadaran bisa menurun atau normal
- Pada ct scan otak didapatkan gambaran hiperdens
(perdarahan) di antara dura mater dan arakhnoid yang
tampak seperti bulan sabit.
- Anterior
a. Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rinorea
b. Perdarahan bilateral periorbital ekimosis/raccoon eye
c. Anosmia
- Media
a. Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorea
b. Gangguan N.VII dan N.VIII
- Posterior
a. Bilateral mastoid ekismosis/tanda battle
Tatalaksana Awal
Medikamentosa 5
Stroke
Etiologi
Patofisiologi
2) Arteri basilar
Oklusi arteri basilar dapat menyebabkan infark
batang otak atau kadang-kadang TIA atau, jarang, tidak ada
gejala. Biasanya oklusi atau stenosis parah dari arteri
basUar menghasilkan tanda-tanda yang menunjukkan
kerusakan batang otak bilateral, sedangkan sindrom akibat
stenosis atau oklusi cabang arteri melibatkan struktur hanya
pada satu sisi batang otak. Selain cabang yang lebih besar
(melingkar) ke otak kecil, arteri basilar juga memiliki
banyak cabang pendek, cabang yang memasok batang otak.
6
b. Gejala Terkait
1) Kejang kecil menyertai timbulnya stroke jumlah kasus;
dalam kasus lain, mereka mengikuti stroke beberapa
minggu sampai tahun. Kehadiran kejang tidak tidak
secara pasti membedakan emboli dari trombotik stroke,
tetapi kejang pada awal stroke mungkin lebih umum
dengan embolus. Kecuali pasien dengan stroke
vertebrobasilar atau penyebab kejang lainnya, kejadian
epilepsi setelah stroke kira-kira 10%. Risiko epilepsi
meningkat hingga sekitar 25% atau leukositosis) atau
infeksi bersamaan yang dapat mempersulit perjalanan
klinis. Untuk alasan yang tidak jelas, peningkatan
jumlah sel darah putih saat masuk juga dapat menjadi
prediktor independen untuk hasil yang lebih buruk dari
stroke. 6
c. Penanda Peradangan
Peningkatan laju sedimentasi eritrosit (LED) terlihat
pada arteritis sel raksasa dan vaskulitida lainnya. Peningkatan
protein C-reaktif (CRP) adalah penanda peradangan sistemik
yang terkait dengan peningkatan risiko stroke. 6
d. Uji Serologis untuk Sifilis
Tes treponemal, seperti FTA-ABS darah atau MHA-
TP (atau CSF VDRL), menunjukkan apakah pasien pernah
menderita sifilis. Tes negatif, oleh karena itu, menyingkirkan
arteritis sifilis sebagai penyebab stroke. 6
e. Glukosa Serum
Menentukan kadar glukosa darah sangat penting
karena hipoglikemia atau hiperglikemia dapat muncul dengan
tanda neurologis fokal dan menyamar sebagai stroke.
Hipoglikemia yang berhubungan dengan tanda fokal, kejang,
atau koma menuntut pemberian glukosa segera untuk
menghindari cedera otak permanen (Bab 3) dan
hiperglikemia (hiperglikemia nonketotik hiperosmolar atau
ketoasidosis diabetik) juga memerlukan pengobatan spesifik
yang tepat (Bab 4). Hiperglikemia pada presentasi juga secara
independen menandakan hasil yang lebih buruk dari stroke
manfaat pengobatan untuk menurunkan glukosa darah dalam
pengaturan ini tidak pasti. 6
f. Lipid Serum
Pengukuran kolesterol total dan HDL dapat
membantu menilai faktor risiko stroke. 6
Electrocardiogram (ECG)
EKG harus diperoleh secara rutin untuk mendeteksi infark
miokard yang tidak dikenali atau aritmia jantung, seperti fibrilasi
atrium, yang merupakan predisposisi stroke emboli. 6
Lumbar Puncture
Pungsi lumbal harus dilakukan pada kasus tertentu untuk
menyingkirkan perdarahan subaraknoid (dimanifestasikan oleh
xanthochromia dan sel darah merah) atau untuk
mendokumentasikan sifilis meningovaskular (VDRL reaktif)
sebagai penyebab stroke. 6
Electroencephalogram (EEG)
EEG jarang berguna dalam mengevaluasi stroke. Namun,
ini dapat membantu membedakan antara gangguan kejang dan TIA
atau antara infark lakunar dan kortikal pada pasien yang kadang-
kadang tidak dapat dibedakan. 6
Intracerebral Hemorraghe
Brief Ischemia
Ensefalopati reversibel sering terjadi setelah episode
singkat henti sirkulasi sistemik. Dalam kasus seperti itu, koma
berlangsung kurang dari 12 jam. Kebingungan atau amnesia
sementara dapat terjadi saat bangun, tetapi pemulihannya cepat dan
lengkap. Beberapa pasien menunjukkan anterograde yang parah
dan amnesia retrograde variabel dan efek hambar, tidak peduli
dengan atau tanpa confabulation. Pemulihan sering terjadi dalam 7
sampai 10 hari tetapi mungkin tertunda selama 1 bulan atau lebih.
Sindrom ini mungkin mencerminkan kerusakan bilateral yang
dapat diperbaiki pada talamus atau hipokampus. 6
Prolonged Ischemia
a) Koma
Pasien biasanya koma setidaknya selama 12 jam
setelah serangan jantung dan mungkin mengalami defisit
motorik fokal atau multifokal, sensorik, dan kognitif jika
mereka bangun. Pemulihan penuh mungkin tidak terjadi
atau mungkin memerlukan berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan. Beberapa pasien pada akhirnya mampu
menjalani hidup mandiri, sedangkan mereka yang cacat
lebih parah mungkin memerlukan perawatan institusional. 6
Tatalaksana Awal
Stadium Hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di instalasi Rawat Darurat
dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar
kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi
oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan
dekstrosa atau salin dalam H2O. 6
Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto
toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR,
APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia,
dilakukan analisis gas darah. 6
Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan
dukungan mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada
keluarganya agar tetap tenang. 6
Stadium Akut
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktorfaktor etiologik
maupun penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan
psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien.
Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut dampak
stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang
dapat dilakukan keluarga. 6
a) Stroke Iskemik
Terapi Umum :
Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada
pada satu bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi
dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil. 6
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2
liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu,
dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan
antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih
penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten). 6
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau
koloid 1500-2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari
cairan mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi
per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan
gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui
slang nasogastrik. 6
Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas
gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena
kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah
< 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan
dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari
penyebabnya. 6
Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan
pemberian obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu
segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220 mmHg,
diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥
130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30
menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung
kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal
adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium
nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau
antagonis kalsium. 6
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg,
diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam,
dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau
sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu
tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-
20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg. 6
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelanpelan selama
3 menit, maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian
antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang
muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka
panjang. 6
Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi
manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan
jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk,
dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5
hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol);
sebagai alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCL 3%)
atau furosemid. 6
Terapi khusus :
b) Stroke Hemoragik
Terapi umum :
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume
hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan
hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk. 6
Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah
premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik
>120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume hematoma
bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera
diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit)
sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg;
enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg
per oral. 6
Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat,
posisi kepala dinaikkan 300, posisi kepala dan dada di satu bidang,
pemberian manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan
hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg). 6
Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik,
tukak lambung diatasi dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat,
atau inhibitor pompa proton; komplikasi saluran napas dicegah
dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas. 6
Terapi khusus :
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat
vasodilator. Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak
perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian memburuk
dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus
akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan
VP-shunting, dan perdarahan lobar >60 mL dengan tanda
peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi. 6
Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis
Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi,
ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah
aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous
malformation, AVM). 6
Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku,
menelan, terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik).
Mengingat perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan
khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan tujuan kemandirian
pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan program preventif primer
dan sekunder. 6
Terapi fase subakut: 6
- Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,
- Penatalaksanaan komplikasi,
- Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu
fisioterapi, terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi,
- Prevensi sekunder
- Edukasi keluarga dan Discharge Planning
DAFTAR PUSTAKA