Anda di halaman 1dari 60

RESUME PBL

SKENARIO 3
“LEMAH ANGGOTA GERAK”

NAMA : Denaya Nindita


KELOMPOK : 7B
NPM : 119170034
BLOK : 3.3
TUTOR : dr. Efendi Agnilinia

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2020
SKENARIO 3
Lemah Anggota Gerak

Seorang perempuan usia 39 tahun diantar ke UGD RS dengan keluhan


lemah pada semua anggota gerak sejak 1 hari yang lalu. Keluhan memberat
dengan dirasakannya sulit menelan dan bernafas. Menurut keluarga pasien,
awalnya pasien mengeluhkan lemah dan kesemutan pada anggota gerak bawah
lalu keluhan menjalar ke anggota gerak atas. Pemeriksaan fisik tanda vital dalam
batas normal. Status neurologis didapatkan kelemahan pada keempat anggota
gerak. Kemudian dokter menyarankan pasien dirawat diruangan intensif dan
melakukan penatalaksanaan awal untuk mencegah kondisi semakin parah.

STEP 1

1. Kesemutan : kejadian abnormal dan mengacu pada sensasi terbakar atau


tertusuk yang biasanya terjadi di tungkai atas atau bawah.
2. Status neurologis : suatu pemeriksaan neurologis yang berguna untuk
mendeteksi kelainan atau patologis pada kondisi tubuh seseorang.
- Biasa dilakukan oleh pemeriksa kepada pasien mulai dari gcs, tingkat
kesadaran, rangsang meningeal, saraf kranial dan refleks patologis.
3. Ruang intensif : ruangan khusus yang disediakan rumah sakit untuk
merawat pasien yang membutuhkan perawatan ketat.

STEP 2

1. Apa sajakah macam-macam kondisi yang menyebabkan kelemahan pada


keempat anggota gerak?
2. Mengapa pasien mengeluhkan lemah dan kesemutan pada anggota gerak?
3. Mengapa keluhan tersebut memberat dengan sulit menelan dan bernafas?
4. Bagaimana pendekatan klinis serta penegakan diagnosis pada pasien?
5. Bagaimana penatalaksanaan dari pasien dan mengapa dokter menyarankan
di ICU?

STEP 3

1. Apa sajakah macam-macam kondisi yang menyebabkan kelemahan


pada keempat anggota gerak?
Dapat disebabkan oleh sejumlah kondisi medis sifat kelemahan dapat
bersifat kekuatan hingga kelumpuhan total kondisi tersebut dapat berupa
gangguan pada saraf perifer maupun system saraf pusat pada saat
melibatkan ssp umumnya muncul dalam kelemahan akut dengan onset
tiba-tiba pada ekstremitas, berjalannya dapat muncul secara vocal atau dari
satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya. Gradasinya dapat berupa
gangguan ringan hingga berat yang membutuhan perawatan intensif.

2. Mengapa pasien mengeluhkan lemah dan kesemutan pada anggota


gerak?
Kelemahan sama paralisis yang terjadi pada gbs disebabkan arena
hilangnya myelin, bisa disebut juga demiemilisasi yang mana
menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf menjadi lambat.
Disebabkan adanya infeksi dari bakteri maupun virus pada system saraf
perifer, sel-sel imun di tubuh dapat mengenali bahwa sel-sel nya adalah
sel-sel asing.
Gbs merupakan penyakit autoimun yang menyerang system saraf perifer,
bisa menyebabkan kelemahan dan kelumpuhan pada orang yang terkena,
ketika seseorang sudah terkena gbs biasa gejala nya bisa sampai beberapa
minggu dan puncaknya 2-4 minggu setelahnya.
Gbs berpengaruh di beberapa saraf lain, subtype:
- Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
- Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
- Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN)
- Miller Fisher syndrome (MFS)
- Acute autonomic neuropathy
3. Mengapa keluhan tersebut memberat dengan sulit menelan dan
bernafas?
Tergantung struktur apa yang terjadi pada autoimunnya.
Bisa terjadi karena infeksi system pencernaan dan sstem respirasi,
bakterinya dapat menyerang nervus kranialis, yang dapat menyerang
nervus , sehingga terjadi gangguan menelan yang mengakibatkan tersedak
dan sesak napas.
Kerusakan pada nervus phrenicus di paralysis diaphragma lalu terjadinya
sesak napas.

4. Bagaimana pendekatan klinis serta penegakan diagnosis pada pasien?


Penegakan klinis, gejala klinis, terdapat kelemahan yang simetris pada
anggota gerak atas sampai bawah, terdapat juga nyeri baal dan kesemutan,
dan menggunakan sarung tangan dan stoking yang terlalu ketat, sesak
napas, infeksi saluran pernapasan,
Kelemahan simetris anggota gerak dari inferior ke superior (ascending
paralysis)
- Baal/kesemutan seperti menggunakan stocking dan sarung tangan (stock
and gloves)
- Sesak napas
- Sulit menelan
- Riwayat diare/infeksi saluran napas
• Anamnesis: keluhan klasik gangguan sensorimotor dari distal ke
proksimal (gloves and strocking) dan riwayat diare yang mendahului
• Anamnesis seringkali sulit mengarahkan bila kerusakan telah
melibatkan struktur persarafan yang lebih luas

PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOI


Dilakukan untuk mengevaluasi dan mengkonfirmasi adanya defisit
neurologis di kedua sisi
- Kelemahan motorik flaksid (layu)
- Penurunan refleks fisiologis
- Refleks patologis (-)
- Gangguan gerak bola mata
- Gerak nafas tertinggal
- Tekanan darah menurun
- Takikardi

5. Bagaimana penatalaksanaan dari pasien dan mengapa dokter


menyarankan di ICU?
Gejala klinis dari GBS yang bervariasi dan menyebabkan beberapa
gangguan di organ vital seperti pernapasan, fluktuasi tekanan darah,
takikardi, dan aritmia. Sehingga membutuhkan monitoring khusus
menggunakan alat khusus yang ada di ICU yakni respiration rate, tekanan
darah, dan irama jantung. Dan jika sudah ditemukan adanya proses
pemeriksaan kelemahan yang berkelanjutan, adanya kesulitan dalam
menelan, gangguan pada sistem respirasi, dan pemeriksaan EGRIS
didapatkan >4 maka pasien harus segera dibawa ke ICU.
Gangguan penyakit bisa ringan hingga berat yang mengancam nyawa,
Sehingga membutuhkan perawatan intensif, serta obat²tan biasanya
diberikan intravena immunoglobulin.
Terapi suportif, imuno terapi
Pemberian kortikosteroid, kurang begitu ngaruh sama kesembuhan
penderita gbs sehingga lambat laun terapi ini ditinggalkan dan diganti igiv,
dan juga cuci plasma yang bertujuan mengluarkan antibody nonspesifik
yang menyerang, diganti dengan plasma baru
Sebelum pasien dirawat di icu biasanya awalnya dinilai terlebih dahulu.

STEP 4

1. Apa sajakah macam-macam kondisi yang menyebabkan kelemahan


pada keempat anggota gerak?
Tergantung dari letak lesi dan letak strukturalnya di sentral atau perifer,
central stroke, perifer guidline, lebih ke perifer karena dari distal menuju
ke proksimal kalo dari sentral biasanya mendadak
GBS: guillain barré syndrome adalah kelompok sindroma klinis yang
bermanifestasi sebagai poliradikuloneuropati inflamasi yang
mengakibatkan kelemahan serta hilangnya refleks
• Penyebab yang mendasari terjadinya GBS adalah proses autoimun:
suatu kondisi dimana sistem kekebalan tubuh memberi respons imun
kepada autoantigen (antigen diri sendiri)
• Proses autoimun pada GBS menyerang struktur akson (neuropati
perifer) hilangnya transmisi impuls dari sel neuron ke organ efektor, dan
dari reseptor ke SSP
• Deskripsi klasik perjalanan penyait: neuropati demyelinasi yang
dikarakterisasi oleh kelemahan otot ascending
• Gambaran klasik quadriplegia yang disertai disfungsi otot
pernafasan, dan otot yang dipersarafi o/ saraf kranial.
UMN (upper motor neuron) : sel saraf dimulai dari korteks motoric ke
medulla spinalis/sumsum tulang belakang.
Penyakitnya:
- Otak : stroke, trauma
- Medulla spinalis : anterior horn cell disorder, segmen spinal cord injuri
• High segmen spinal chord injury: cidera medula spinalis segmen
tinggi
- • Penyebab terutama trauma mekanik yang menyebabkan:
- 1. Destruksi langsung,
- 2. Kompresi oleh fragmen tulang, hematoma dan materi diskus IV,
- 3. Iskemia akibat ruptur arteri
- • Medula spinalis merupakan bagian SSP yang berperan
menghubungkan Otak dengan bagian tubuh, serta sebagai pusat
integrasi refleks spinal
- • Pada cidera yang melibatkan segmen di atas T6, dapat disertai
gejala syok neurogenik: trias dari hipotensi, bradikardia dan
vasodilatasi periferal
- • Manifestasi tergantung ketinggian segmen dan tipe lesi
LMN (lower motor neuron) : sel saraf berasal dari sumsum tulang
belakang menuju ke otot.
Penyakitnya :
- GBS, MG.

2. Mengapa pasien mengeluhkan lemah dan kesemutan pada anggota


gerak?
Kelemahan sama paralisis yang terjadi pada gbs disebabkan arena
hilangnya myelin, bisa disebut juga demiemilisasi yang mana
menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf menjadi lambat.
Disebabkan adanya infeksi dari bakteri maupun virus pada system saraf
perifer, sel-sel imun di tubuh dapat mengenali bahwa sel-sel nya adalah
sel-sel asing.
Gbs merupakan penyakit autoimun yang menyerang system saraf perifer,
bisa menyebabkan kelemahan dan kelumpuhan pada orang yang terkena,
ketika seseorang sudah terkena gbs biasa gejala nya bisa sampai beberapa
minggu dan puncaknya 2-4 minggu setelahnya.
Gbs berpengaruh di beberapa saraf lain, subtype:
- Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
- Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
- Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN)
- Miller Fisher syndrome (MFS)
- Acute autonomic neuropathy

Terjadinya infeksi pada system pencernaan maupun system respirasi, jika


system pencernaan,
Antibody yang menyerang ganglioside
Adanya kesemutan karena adanya diemilienisasi
Kesemutan disebabkan dari adanya masalah pada saraf, biasanya ada saraf
yang terluka, atau adanya ketidakseimbangan

3. Mengapa keluhan tersebut memberat dengan sulit menelan dan


bernafas?
Saat terjadinya infeksi akan terbentuk antibody, sehingga otomatis, jika
ada sel neuron maka antibody nya akan jadi autoimun, kalu selubung
mielinnya hancur maka akan terjadi ,
Kalu missal antibody menyerng sel neuron maka otomatis nodus ranvier
nya hancur
Nervus III mempengaruhi pergerakan mata
Nervus X, XI
Penyakit yang termasuk kegawatdaruratan neurologi:
- GBS
- Meningitis enchepali
- Epilapsus
- Stroke
- Sinchof
- Trauma pada bagian kepala
- Cedera medulla spinalis
- MG

4. Bagaimana pendekatan klinis serta penegakan diagnosis pada pasien?


Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang laboratorium
Pf : neurologis, reflek patologis.
kriteria diagnosis yang sering dipakai adalah kriteria menurut gilroy dan
meyer , yaitu jika memenuhi lima dari 6 kriteria berikut:
1. Kelumpuhan flaccid yang timbal secara akut, bersifat difus dan simetris
yang dapat disertai Oleh paralysis facials bilateral
2. Gangguan sensabilitas subyektif dan obyektif biasanya lebih ringan dari
kelumpuhanan motoris
3. Pada sebagian besar kasus penyembuhan yang sempurna terjadi dalam
maktu 6 bulan
4. Peningkatan kadar protein dalam cairn oak progresif dimulai pada
minggu keda paralisis, dan tana atau dengang pleositosis ringan
5. Demam subfebril atau sedikit peningkatan suhu selama berlangsungnya
kelumpuhan
6. Jumlah Leukosit normal atau limfositosis ringan, tanpa disertai dengan
kenaikan laju endap darah.

5. Bagaimana penatalaksanaan dari pasien dan mengapa dokter


menyarankan di ICU?
Gejala klinis dari GBS yang bervariasi dan menyebabkan beberapa
gangguan di organ vital seperti pernapasan, fluktuasi tekanan darah,
takikardi, dan aritmia. Sehingga membutuhkan monitoring khusus
menggunakan alat khusus yang ada di ICU yakni respiration rate, tekanan
darah, dan irama jantung. Dan jika sudah ditemukan adanya proses
pemeriksaan kelemahan yang berkelanjutan, adanya kesulitan dalam
menelan, gangguan pada sistem respirasi, dan pemeriksaan EGRIS
didapatkan >4 maka pasien harus segera dibawa ke ICU.
Gangguan penyakit bisa ringan hingga berat yang mengancam nyawa,
Sehingga membutuhkan perawatan intensif, serta obat²tan biasanya
diberikan intravena immunoglobulin.
Terapi suportif, imuno terapi
Pemberian kortikosteroid, kurang begitu ngaruh sama kesembuhan
penderita gbs sehingga lambat laun terapi ini ditinggalkan dan diganti igiv,
dan juga cuci plasma yang bertujuan mengluarkan antibody nonspesifik
yang menyerang, diganti dengan plasma baru.
Nilai abc di aeroid ada, breathing, circulation dicek nadinya teraba apa
tidak, ttd nya menurun atau tidak, jika nadi tidk teraba lakukan resustasi,
rawat inap bangsal neurologi. Plasma exchange 200-250mg selama 5 kali
sehari.
MIND MAP

Kegawat
Daruratan
Neurologi
(GBS)

Etiologi Penata Diagnosis Penegakan


Patofisiologi Komplikasi
dan laksanaan Banding Diagnosis
Faktor
Risiko

SASARAN BELAJAR

1. Kegawatdaruratan neurologi (etiologi, faktor risiko, patofisiologi,


penegakkan diagnosis, tatalaksana awal, komplikasi).
a. GBS
b. Penurunan kesadaran
c. Miastenia gravis
d. Status epileptikus
e. Trauma kepala
f. Stroke

REFLEKSI DIRI

PBL pada hari Senin, 01 Februari 2020 berjalan dengan baik. Pada
permasalahan ini saya dapat mengetahui mengenai kelemahan anggota gerak yang
berasal dari UMN maupun LMN. Namun masih harus diperlukan pembahasan
secara spesifik dalam pembahasan mengenai klasifikasi dan penyakit pada
kelemahan anggota gerak di UMN dan LMN ini. Semoga ilmu yang didapatkan
bisa bermanfaat bagi saya dan orang lain.

STEP 7
1. Kegawatdaruratan neurologi (etiologi, faktor risiko, patofisiologi,
penegakkan diagnosis, tatalaksana awal, komplikasi).

Guillain Barre Syndrome

Etiologi

GBS dikenal sebagai penyakit autoimun yang dipicu oleh infeksi


bakteri atau infeksi virus antesenden, yang paling sering yaitu infeksi
saluran pernapasan atas atau infeksi saluran pencernaan. Campylobacter
jejuni sebagai bakteri yang paling berasosiasi dengan GBS, ditemukan
pada 25 – 50% pasien dewasa dengan frekuensi tinggi di negara-negara
Asia.1

Faktor Risiko

GBS terjadi karena adanya rangsang pada sistem imun, meskipun


patogenesis yang pasti masih belum diketahui. Faktor risiko yang diduga
berkaitan dengan penyakit ini yaitu adanya riwayat infeksi bakteri atau
virus. Infeksi bakteri Campylobacter jejuni dilaporkan paling sering
berasosiasi dengan GBS. Infeksi yang disebabkan virus antara lain oleh
Cytomegalovirus, virus Epstein-Barr, atau virus influenza. Selain faktor
risiko infeksi, pemberian vaksin juga dilaporkan menjadi salah satu faktor.
1

Patofisiologi

Gangliosid adalah target dari antibodi. Ikatan antibodi akan


mengaktivasi kerusakan mielin. Mielin diserang karena diduga memiliki
lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid. Pada infeksi
bakteri Campylobacter jejuni, bakteri ini mengandung protein membran
yang merupakan duplikat dari GM1 (prototipe gangliosid). Kerusakan
akan terjadi pada membran aksonal. Perubahan pada akson menyebabkan
reaksi silang antibodi ke bentuk GM1 sehingga akan muncul sinyal
infeksi. Sistem imun humoral terinisiasi, sel T merespon dengan infiltrasi
sel limfosit ke spinal dan sistem saraf perifer. Makrofag akan terbentuk di
daerah yang rusak dan menyebabkan demielinisasi serta hambatan dalam
sistem konduksi impuls saraf. 1

Penegakkan Diagnosis

Kriteria diagnosis GBS yang sering dipakai adalah kriteria menurut


Gilroy dan Meyer, yaitu jika memenuhi lima dari enam kriteria berikut: 1

1. Kelumpuhan flaksid yang timbul secara akut, bersifat difus dan


simetris yang dapat disertai oleh paralysis facialis bilateral.
2. Gangguan sensibilitas subyektif dan obyektif biasanya lebih ringan
dari kelumpuhan motoris.
3. Pada sebagian besar kasus penyembuhan yang sempurna terjadi
dalam waktu 6 bulan.
4. Peningkatan kadar protein dalam cairan otak secara progresif
dimulai pada minggu kedua dari paralisis, dan tanpa atau dengan
pleositosis ringan (disosiasi sito albuminemik)
5. Demam subfebril atau sedikit peningkatan suhu selama
berlangsungnya kelumpuhan.
6. Jumlah leukosit normal atau limfositosis ringan, tanpa disertai
dengan kenaikan laju endap darah. 20 Derajat berat ringannya
penyakit ditentukan menurut skala ordinal dari Hughes dkk. seperti
tercantum dalam tabel berikut:

Atau bisa dengan pemeriksaan penunjang, yaitu : 1

1. Laboratorium (untuk menyingkirkan diagnosis banding lain):


Pemeriksaan darah lengkap, ureum/kreatinin, SGOT/SGPT,
elektrolit, Creatinin kinase, Serologi CMV/EBV/Micoplasma,
Antibodi glycolipid, Antibodi GMI
2. Pencitraan: MRI minimal potongan sagital untuk menyingkirkan
diagnosis banding lain
3. Lumbal Pungsi

Tatalaksana Awal 1

1. Pemberian IVIG 0,4 gram/ kg BB/ hari selama 5 hari atau plasma
exchange diguanakan sebagai lini pertama pengobatan (Level A)
2. Pemberian IVIG memiliki efek samping yang lebih sedikit,
sehingga lebih banyak dipilih (Level B)
3. Kombinasi methylprednisolone dosis tinggi dan IVIG memiliki
manfaat singkat (Level C)
4. Pada anak-anak pemberian IVIG lebih direkomendasikan (Level C)
5. Pemberian IVIG pada kasus yang relaps tetap harus
dipertimbangkan (GPP/ Good Practice Point)
6. Tindakan rehabilitasi disesuaikan dengan derajat kelemahan dan
disabilitas pasien

Komplikasi

Kebanyakan pasien dengan sindrom Guillain-Barré kembali ke


fungsi normal. Setelah perkembangan penyakit berhenti, gejala biasanya
menetap selama 2-4 minggu, diikuti dengan pemulihan bertahap. Sekitar
20-25% pasien memerlukan ventilasi mekanis, dan 5% meninggal,
biasanya karena komplikasi gagal napas atau disfungsi otonom.
Kelemahan motorik sisa ditemukan pada 25% pasien setelah 1 tahun. Usia
yang lebih tua (60 tahun atau lebih), dukungan ventilasi, perkembangan
cepat (<7 hari), dan amplitudo motorik rendah (menunjukkan cedera
aksonal) pada studi konduksi saraf awal buruk faktor prognostik
berhubungan dengan kemungkinan kurang dari 20% untuk berjalan
sendiri-sendiri pada 6 bulan. 1

Penurunan kesadaran

Etiologi

Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik


yang bersifat intrakranial maupun ekstrakranial / sistemik. Penjelasan
singkat tentang faktor etiologi gangguan kesadaran adalah sebagai
berikut:2

a. Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum, atau


batang otak) 2
- Perdarahan, trombosis maupun emboli
- Mengingat insidensi stroke cukup tinggi maka kecurigaan
terhadap stroke pada setiap kejadian gangguan kesadaran perlu
digarisbawahi.
b. Infeksi: ensefalomeningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis/abses
otak) 2
- Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit
yang sering dijumpai di Indonesia maka pada setiap gangguan
kesadaran yang disertai suhu tubuh meninggi perlu dicurigai
adanya ensefalomeningitis.
c. Gangguan metabolisme 2
- Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan diabetes
melitus sering dijumpai.
d. Neoplasma 2
- Neoplasma otak, baik primer maupun metastatik, sering di
jumpai di Indonesia.
- Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan usia dewasa
dan lanjut.
- Kesadaran menurun umumnya timbul berangsur-angsur namun
progresif/ tidak akut.
e. Trauma kepala 2
- Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu-
lintas.
f. Epilepsi 2
- Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsi umum dan
status epileptikus
g. Intoksikasi 2
- Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan
bunuh diri), makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.
h. Gangguan elektrolit dan endokrin 2
- Gangguan ini sering kali tidak menunjukkan “identitas”nya
secara jelas; dengan demikian memerlukan perhatian yang
khusus agar tidak terlupakan dalam setiap pencarian penyebab
gangguan kesadaran.
Patofisiologi

Perilaku normal membutuhkan Pengetahuan dan Afek yang sesuai,


sehingga seseorang mampu mengenali hubungan antara diri sendiri dan
lingkungan. Komponen perilaku ini di kontrol oleh hemisfer otak. Pada
umumnya,tubuhmengikuti ritmekesadaran yang normal. Dari kondisi
kesadaran penuh (wakefulness) menjadi mengantuk, dan pada akhirnya
tertidur. Pada satu titik selama tertidur (atau bahkan pada mengantuk),
stimulus dari luar diproses melalui input sensoris untuk meningkatkan
kondisi sadar dan menyebabkan seseorang menjadi sadar (bangun). Siklus
ini dipicu secara predominan oleh ARAS, yang disebut sebagai pusat tidur.
2

Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni


gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan
gangguan isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang
dapat mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakah lesi
supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan
menurunnya kesadaran. 2

Pendekatan lain untuk menjelaskan level kesadaran adalah analogi


“tombol onoff lampu”. Perilaku (yang dikontrol oleh hemisfer otak)
sebagai Bohlam Lampu dan Komponen kesadaran (dikontrol olehARAS)
adalah tombol untuk menyalakan lampu.
Untukmenyalakanlampu(kondisiseseorang menjadi Sadar), Lampu harus
berfungsi dan menyala. Ada tiga kemungkinan Lampu tersebut tidak
menyala (dalam hal ini Kesadaran Terganggu), yaitu adanya defek pada
lampu itu sendiri (Disfungsi menyeluruh pada hemisfer otak), defek pada
tombol lampu (abnormalistas dari ARAS), atau terdapat defek pada kedua
lampu dan tombol lampu (Disfungsi CNS secara umum). 2

Model ini juga membantu membedakan penyebab dari penurunan


kesadaran. ARAS di beberapa refleks batang otak, termasuk refleks cahaya
pada pupil (nervus kranial II dan III) dan refleks pergerakan mata (nervus
kranial III, VI, VIII, dan fasciculus longitudinal medial). Pemeriksaan
pada refleks ini mengindikasikan fungsi dari ARAS. Adanya trauma pada
area ARAS dapat menyebabkan hilangnya refleks batang otak
dangangguankesadaran,meskipunhemisfer otak tetap dalam kondisi
normal. Disfungsi otak difus biasanya akibat riwayat penyakit medis
seperti keracunan, gangguan metabolik dan infeksi menyebabkan
penekanan (kompresi) pada ARAS yang merupakan akibat gangguan
struktural. 2

Periode hilangnya kesadaran sesaat berarti hilangnya kesadaran


intermiten dan muncul secara mendadak dari pasien yang sebelumnya
telah sadar penuh. hal ini terdapat pasien dengan penyakit kardiovaskular
dengan penurunan aliran darah ke otak secara akut (syncope) ataupun
gangguan aktivitas elektrik pada otak (kejang). Lesi fokal otak yang terjadi
di bawah tentorium (Gambar 2.A) akan mengganggu RAS sehingga dapat
menyebabkan koma sedangkan lesi fokal terjadi di atas tentorium dalam
satu hemisfer otak menyebabkan koma hanya jika sisi kontralateral otak
secara bersamaan terlibat atau terkompresi (Gambar 2.B) Lesi menyebar
(difus) otak, yang mempengaruhi fungsi otak secara keseluruhan termasuk
RAS dapat menyebabkan koma (Gambar 2.C). 2

Penegakkan Diagnosis > Penilaian Tingkat Kesadaran

Penilaian kesadaran secara kuantitatif dapat menggunakan Tabel penilaian


Glasgow Coma Scale (GCS) (Tabel 3) atau Four Score (Tabel 4) (Huff,2012 dan
Laureys, 2011). Tingkat kesadaran secara kualitatif dapat dibagi menjadi kompos
mentis, apatis, somnolen, stupor,dan koma. 2

- Kompos mentis berarti keadaan seseorang sadar penuh dan dapat


menjawab pertanyaan tentang dirinya dan lingkungannya.
- Apatis berarti keadaan seseorang tidak peduli, acuh tak acuh dan segan
berhubungan dengan orang lain dan lingkungannya.
- Somnolen berarti seseorang dalam keadaan mengantuk dan cenderung
tertidur, masih dapat dibangunkan dengan rangsangan dan mampu
memberikan jawaban secara verbal, namun mudah tertidurkembali.
- Sopor/stupor berarti kesadaran hilang, hanya berbaring dengan mata
tertutup. Pasiendalamkeadaantiduryangdalam atau tidak memberikan
respon dengan pergerakan spontan yang sedikit atau tidak ada dan hanya
bisa dibangunkan dengan rangsangan kuat yang berulang (rangsang nyeri).
- Koma berarti kesadaran hilang, tidak memberikan reaksi walaupun dengan
semua rangsangan (verbal, taktil, dan nyeri) dari luar. Pasien dalam
keadaan tidaksadaryangdalam,yangtidakdapat dibangunkan akibat
disfungsi ARAS di batang otak atau kedua hemisfer serebri. Karakteristik
koma adalah tidak adanya arousal dan awareness terhadap diri sendiri
danlingkungannya.

Selain di atas terdapat juga tingkat kesadaran dalam bentuk lain, yaitu : 2

- Kesadaran berkabut (clouding of consciousness) adalah penurunan


keadaanbangunatauketanggapanyang minimal, dimana masalah utamanya
ialah perhatian atau kewaspadaan.
- Confusion adalah gangguan dalam berpikir dengan jelas. Biasanya
mempunyai gambaran gangguan kemampuan kognitif dan pengambilan
keputusan.
- Obstundasi yaitu penurunan kesadaran ringan-sedang dengan penurunan
perhatian terhadap lingkungan dan reaksi terhadap rangsang yang lambat.
- Keadaan vegetatif diartikan sebagai kondisi tidak tanggap terhadap diri
sendiri dan lingkungan yang disertai siklus tidur-bangun (sleep-
wakecycles) dengan fungsi autonomik hipotalamus dan batang otak yang
lengkap atau parsial.
- Keadaan sadar minimal (minimally conscious state) adalah keadaan
dimana kesadaran sangat terganggu, tetapi penderita dapat menunjukkan
ketanggapan terhadap diri sendiri ataupun lingkungan secara intermitten.
Tatalaksana Awal 2
Miastenia Gravis

Etiologi

Miastenia gravis (MG) adalah gangguan transmisi neuromuskular


dapatan yang paling banyak. Penyakit ini terjadi akibat produksi
autoantibodi patogenik yang berikatan dengan neuromuscular junction
(NMJ), terutama reseptor asetilkolinesterase (AChR).1 Kerusakan yang
mendasarinya adalah berkurangnya jumlah reseptor asetilkolin (AchRs)
yang tersedia pada NMJ secara menyeluruh dan merusak membran
postsinaptik. 3

Patofisiologi

Patofisiologi MG terbagi menjadi 4 jalur mekanisme, yaitu:

1. Defek transmisi neuromuskular


Kelemahan otot rangka timbul akibat menurunnya faktor
keselamatan pada proses transmisi neuromuskular. Faktor
keselamatan adalah perbedaan potensial pada motor endplate dan
potential threshold yang dibutuhkan untuk menimbulkan potensial
aksi dan akhirnya merangsang kontraksi serabut otot. Menurunnya
potensial pada motor endplate timbul akibat menurunnya reseptor
asetilkolin. 3
2. Autoantibodi
Autoantibodi yang paling sering ditemukan pada MG adalah
antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) nikotinik pada otot
rangka. Antibodi AChR akan mengaktifkan rangkaian komplemen
yang menyebabkan trauma pada post-sinaps permukaan otot.
Selanjutnya antibody AChR akan bereaksi silang dengan AChR
sehingga meningkatkan endositosis dan degradasi. Lalu antibody
AChR akan menghambat aktivasi AChR dengan cara memblokade
binding site-nya AChR atau menghambat pembukaan kanal ion. 3
3. Patologi Timus
Abnormalitas timus sering ditemukan pada pasien MG. Sekitar
10% pasien MG terkait dengan timoma. Sebagian besar timoma
memiliki kemampuan untuk memilih sel T yang mengenali AChR
dan antigen otot lainnya. Selain timoma, ditemukan juga
hyperplasia timus folikular pada pasien MG tipe awitan dini dan
atropi timus pada pasien MG dengan awitan lambat. 3
4. Defek pada sistem imun
MG adalah gangguan autoimun terkait sel T dan diperantarai selB.
Produksi autoantibodi pada AChR MG membutuhkan bantuan dari
sel T CD4+ (Sel T helper). Mereka akan menyekresikan sitokin
inflamasi yang menginduksi reaksi autoimun terhadap self-antigen
dan akhirnya mengaktifkan sel B. 3

Penegakkan Diagnosis

MG secara klinis memiliki ciri kelelahan dan kelemahan pada otot.


Keluhan kelemahan meningkat sepanjang hari, diperburuk dengan
aktivitas dan mengalami perbaikan dengan istirahat. Ciri-cirinya meliputi
ptosis, diplopia, disartria, disfagia, serta kelemahan otot pernapasan dan
anggota gerak. Sekitar setengah pasien memiliki keluhan okular. Yang lain
dapat mengeluhkan gejala pernapasan, disarthria, disfagia, atau kelelahan
dan kelemahan otot anggota gerak. Kelemahan otot okular biasanya
bilateral dan asimetris serta menimbulkan diplopia, ptosis atau keduanya.
Kelemahan alat anggota gerak dan batang tubuh biasanya distribusinya
lebih banyak di proksimal dibandingkan di distal. Otot quadriseps, triseps,
dan ekstensor leher tampak lebih dulu terkena. Gejala yang paling serius
adalah gangguan pernapasan karena kelemahan otot diafragma dan
interkostal. Gejala pernapasan ini, bersama dengan gejala bulbar berat,
dapat memuncak dan disebut krisis miastenik dan membutuhkan ventilasi
mekanik. 3

Kehamilan dapat menyebabkan eksaserbasi MG, dengan risiko


terbesar selama trimester pertama. Pada beberapa pasien, gejala dan tanda
membaik selama trimester kedua dan ketiga, bersamaan dengan
imunosupresif relatif yang terjadi selama fase kehamilan ini. Risiko tinggi
kemudian kembali lagi selama periode postpartum. Sekitar sepertiga bayi
dengan ibu menderita MG autoimun mengalami miastenia
neonatalperalihan, yang kelemahannya tampak dalam 4 hari pertama
kehidupan dan biasanya berakhir selama 3 minggu. Kelemahan merupakan
hasil dari transfer antibodi maternal melalui plasenta ke dalam sirkulasi
darah bayi, tetapi tidak ada kaitan yang jelas antara kelemahan neonatal
dan status klinis maternal atau kadar antibodi. Bayi yang menderita juga
malas makan dan tangisannya lemah. 3

Klasifikasi

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), MG


dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 3
Tes serologis juga penting untuk Pyridostigmine (golongan
asetilkolinesterase inhibitor) bekerja menghambat hidrolisis asetilkolin di
menegakkan diagnosis MG. Sekitar 74- 88% pasien MG generalisata akan
menunjukkan antibodi terhadap acetylcholine receptor (AChR) yang
positif. Antibodi terhadap muscle specific kinase (MuSK) juga ditemukan
pada 38-50% pada pasien dengan antibodi AChR negatif. 3

Tatalaksana Awal

a. Pengobatan gejala
Pyridostigmine (golongan asetilkolinesterase inhibitor)
bekerja menghambat hidrolisis asetilkolin di celah sinaptik. Obat
ini akan meningkatkan interaksi antara asetilkolin dan reseptornya
di NMJ. Dosis awal dimulai dengan 60 mg setiap 6 jam di siang
hari (while awake). Dosis dapat ditingkatkan menjadi 60-120 mg
setiap 3 jam. Efek klinis akan muncul sekitar 15-30 menit sejak
dikonsumsi dan bertahan hingga 3-4 jam. Efek samping yang
paling sering muncul adalah gangguan saluran pencernaan seperti
kram perut, BAB cair, dan kembung. Obat ini merupakan
kontraindikasi relatif pada krisis miastenia karena dapat
meningkatkan sekresi cairan di saluran pernapasan. 3
b. Imunosupresan
- Kortikosteroid
Mekanisme kerja kortikosteroid terhadap MG
belum diketahui, namun kortikosteroid dianggap
imunosupresan paling efektif untuk MG. Ada 2 cara
pemberian kortikosteroid pada MG yaitu regimen induksi
cepat dengan dosis tinggi dan regimen titrasi lambat dengan
dosis rendah. Regimen titrasi lambat dengan dosis rendah
digunakan pada pasien MG ringan hinggasedang. Dosis
Prednison yang diberikan adalah 10 mg/hari dan
ditingkatkan 10 mg setiap 5-7 hari hingga dicapai dosis
maksimal 1,0-1,5 mg/kgBB/hari. Regimen induksi cepat
diberikan Prednison dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg BB/hari
selama 2-4 minggu. Setelahnya dilakukan penggantian cara
pemberian menjadi selang sehari atau tetap meneruskan
dosis tinggi setiap hari. 3
- Azathioprine
Azathioprine adalah antimetabolit sitotoksik yang
menghambat sintesis purin sehingga menghambat sintesis
DNA dan RNA, replikasi sel, dan fungsi limfosit. Respons
MG terhadap terapi Azathioprine berkisar antara 70-91%.
Obat ini diberikan pada pasien MG yang masih
menunjukkan gejala meskipun telah diterapi dengan
kortikosteroid, pasien dengan kontraindikasi relatif
terhadap kortikosteroid, serta pasien yang mengalami efek
samping berat dengan terapi kortikosteroid. Dosis awal
adalah 50 mg/hari. Dosis dapat dinaikkan dengan
penambahan 50 mg setiap 2-4 minggu hingga tercapai dosis
2-3 mg/kg BB/hari. 3
- Cyclosporine
Mekanisme kerja cyclosporine adalah
mempengaruhi penghantaran sinyal calcineurin, menekan
sekresi sitokin dan mempengaruhi aktivasi sel T helper.
Dosis awal sebesar 3 mg/kg BB/hari. 3
- Methotrexate (MTX)
MTX adalah antimetabolit folat yang menghambat
enzim dihidrofolat reduktase. Sebagai obat pilihan di lini
ketiga, MTX diberikan dengan dosis awal 10 mg/minggu
dan dititrasi menjadi 20 mg/minggu selama 2 bulan. 3
- Cyclopgosphamide (CP)
CP adalah agen alkilasi yang memodifikasi basa
guanin pada DNA, menyebabkan efek sitotoksik. Efek
sitotoksik ini kemudian menekan replikasi sel T dan sel B
di sumsum tulang. Pemberian CP intravena sebesar 500
mg/m2 setiap bulan dapat memperbaiki MG pada bulan
ke12. 3
- Rituximab
Rituximab adalah antibodi monoclonal yang
melawan CD20, sebuah protein transmembrane di
permukaan sel limfosit B. Obat ini mengurangi sel B
CD20+ yang bersirkulasi sehingga menekan produksi
antibody dan imunitas humoral. Dosis optimal untuk MG
belum ada yang baku. 3
c. Imunoterapi kerja cepat
- Plasma Exchange (PLEX)
Indikasi PLEX adalah krisis miastenia, ancaman
krisis pada pasien dengan MG berat, serta pasien MG
ringan-sedang dengan perburukan gejala klinis atau tidak
berespon terhadapobat imunosupresan. Mekanisme kerja
PLEX pada MG adalah dengan menghilangkan
autoantibodi patogenik dan sitokin yang bersifat larut
dalam plasma. Regimen standar adalah 5 kali prosedur
PLEX dimana 1 volume plasma diganti setiapkali prosedur
dilakukan. PLEX dilakukan selang sehari. Cairan pengganti
plasma yang digunakan adalah albumin 5% yang ditambah
dengan kalsium glukonat untuk mencegak hipokalsemia
akibat efek sitrat. 3
- Imunoglobulin Intravena (IVIG)
Indikasi IVIG sama dengan indikasi PLEX untuk
pasien MG. Dosis induksi sebesar 2 g/kg BB dibagi
menjadi 2-5 hari. Komplikasi IVIG adalah sakit kepala,
anafilaksis, stroke, infark miokard, deep venous
thrombosis, dan emboli pulmo. 3
d. Timektomi
Pada MG dengan timoma, harus dilakukan pembuangan
tumor dan seluruh jaringan timus. Timektomi pada MG tanpa
timoma telah menjadi standar terapi, meskipun belum ada bukti
ilmiah mengenai efektivitasnya. 3

Komplikasi

Pada MG okular, dalambeberapa tahun >50% kasus berkembang


menjadi MG generalisata dan akan sekitar <10% akan terjadi remisi
spontan. Sekitar 15-17% akan tetap mengalami gejala okular yang di
follow-up dalam periode 17 tahun. Sebuah studi dari 37 pasien dengan
MG menunjukkan adanya timoma memberikan outcome yang lebih buruk.
3

Status Epileptikus
Etiologi

SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem


saraf pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan
kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah. Etiologi tidak jelas pada
sekitar 20% kasus. Gangguan serebrovaskuler merupakan penyebab SE
tersering di negara maju, sedangkan di negara berkembang penyebab
tersering karena infeksi susunan saraf pusat. Etiologi SE sangat penting
sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas. 4

Patofisiologi

Kejang dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron secara


berlebihan, spontan, dan sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi fungsi
motorik (kejang), sensorik, otonom atau fungsi kompleks (kognitif,
emosional) secara lokal atau umum. Mekanisme terjadinya kejang ada
beberapa teori: 4

a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-


K, misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia.
Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan
terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya
hipokalsemia dan hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi
dibandingkan dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan
depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara
GABA atau glutamat akan menimbulkan kejang.

Penegakkan Diagnosis

Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu


dintanyakan kepada pasien maupun saksi: 4

- Family history
- Past history
- Systemic history
- Alcoholic history
- Drug hostory
- Focal neurological symptoms and signs

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan


kejang dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan
auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular.
pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali
serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip
dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop
kardiovaskular. 4

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi,


saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya
defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan
pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau
lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau
ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti
karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada
waktu serangan kejang terjadi ”Dysmorphism“ dan gangguan belajar
mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti
demensia, mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya
kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan
adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya
distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus
temporalis. 4

Pemeriksaan penunjang yaitu melakukan pemeriksaan EEG


umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe epilepsi seseorang.
Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan EEG rutin. Namun
kejang tetap dapat memberikan konfirmasi tentang kehadiran aktifitas
listrik yang abnormal, informasi tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi
spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun,
hanya terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi yang akan terdeteksi
dengan hasil yang abnormal. 4

EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa


epilepsi secara langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan
diagnosa dan membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang
fokal. Tetapi yang harus diingat : 4

- 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal


yang ringan dan non spesifik seperti gelombang lambat di
salah satu atau kedua lobus temporal-menurut sumber lain
terdapat 2% populasi yang tidak pernah mengeluh kejang
memberikan gambaran abnormal pada EEG;
- 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG
yang normal pada masa interval kejang-berkurang menjadi
20% jika EEG dimasukkan pada periode tidur.

Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif
palsu maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam
menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien
dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam
penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan yang
sering, karena memperlihatkan gambaran selama serangan kejang terjadi.
Namun dengan metode ini pun masih terdapat kemungkinan negatif palsu,
dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam sebuah lipatan korteks
serebri dan yang gagal memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan
EEG. 4

Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan,


adalah bagian yang penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di
beberapa kasus epilepsi tipe yang tidak menentu. Mungkin tidak begitu
penting pada pasien kejang umum yang telah dikonfirmasi dengan EEG.
Pemeriksaan lainnya seperti glukosa, kalsium, dan ECG jarang
memberikan informasi yang dibutuhkan. 4
Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan
pemeriksaan di atas, memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala
klinis secara seksama untuk menegakkan diagnosa dengan tetap
memperhatikan hasil dari pemeriksaan EEG. 4

Tatalaksana Awal

Sampai saat ini belum ada konsensus baku penatalaksanaan SE


berkaitan dengan pemilihan obat dan dosis. Tidak ada obat yang ideal
untuk tatalaksana SE. Banyak penulis setuju bahwa lorazepam (0,1
mg/kgBB) atau diazepam (0,15 mg/kgBB) dapat diberikan pada tahap
awal, disusul fenitoin (15-20 mg/ kgBB) atau fosfenitoin (18-20
mg/kgBB). Jika benzodiazepin dan fenitoin gagal, fenobarbital dapat
diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB, namun harus mendapatkan perhatian
khusus karena dapat menyebabkan depresi pernapasan. Jika kejang tetap
berlanjut, pertimbangkan pemberian anestesi umum, dapat digunakan agen
seperti midazolam, propofol, atau pentobarbital. 4

1. Benzodiazepin
- Diazepam
Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence
A pada banyak penelitian). Obat memasuki otak secara cepat,
setelah 15-20 menit akan terdistribusi ke tubuh. Walaupun
terdistribusi cepat, eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam.
Sangat berpotensi sedatif jika terakumulasi dalam tubuh pada
pemberian berulang. 4
Diazepam dengan dosis 5-10 mg intravena dapat
menghentikan kejang pada sekitar 75% kasus. Diazepam
dapat diberikan secara intramuskuler atau rektal. Efek
samping termasuk depresi pernapasan, hipotensi, sedasi,
iritasi jaringan lokal. Sangat berpotensi hipotensi dan depresi
napas jika diberikan bersamaan obat antiepilepsi lain,
khususnya barbiturat. Walaupun demikian, diazepam masih
merupakan obat penting dalam manajeman SE karena
efeknya yang cepat dan berspektrum luas. 4
- Lorazepam
Lorazepam merupakan pilihan golongan benzodiazepin
untuk menajemen SE. Lorazepam berbeda dengan diazepam
dalam beberapa hal. Obat ini kurang larut dalam lemak
dibandingkan diazepam dengan waktu paruh dua hingga tiga
jam dibandingkan diazepam yang 15 menit, sehingga
mempunyai durasi lebih lama. Lorazepam juga mengikat
reseptor GABAergic lebih kuat daripada diazepam, sehingga
durasi aksinya lebih lama. Efek antikonvulsan lorazepam
berlangsung 6-12 jam pada rentang dosis 4-8 mg. Agen ini
berspektrum luas dan berhasil menghentikan kejang pada 75-
80% kasus. Efek sampingnya sangat identik dengan
diazepam. Oleh karena itu, lorazepam juga merupakan
pilihan untuk manjemen SE. 4
- Midazolam
Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang
bereaksi cepat, penetrasi cepat melewati sawar darah otak,
dan durasi yang singkat. Midazolam dapat digunakan sebagai
agen alternatif untuk SE refrakter. Walau pun midazolam
jarang merupakan pilihan per tama untuk kejang akut di
Amerika Serikat, obat ini sangat umum digunakan di Eropa. 4
2. Agen Antikonvulsan
- Fenitoin
Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif mengobati
kejang akut dan SE. Disamping itu, obat ini sangat efektif
pada manajemen epilepsi kronik, khususnya pada kejang
umum sekunder dan kejang parsial. Keuntungan utama
fenitoin adalah efek sedasinya yang minim. Namun, sejumlah
efek samping serius dapat muncul seperti aritmia dan
hipotensi, khususnya pada pasien di atas usia 40 tahun. Efek
tersebut sangat dihubungkan dengan pemberian obat yang
terlalu cepat. Di samping itu, iritasi lokal, fl ebitis, dan pusing
dapat muncul pada pemberian intravena. Fenitoin sebaiknya
tidak dicampur dengan dekstrosa 5%, melainkan salin normal
untuk menghindari pembentukan kristal. 4
- Fosfenitoin
Fosfenitoin adalah pro-drug dari fenitoin yang larut dalam
air yang akan dikonversi menjadi fenitoin setelah diberikan
secara intravena. Seperti fenitoin, fosfenitoin digunakan
dalam tatalaksana kejang akut tonik-klonik umum atau
parsial. Fosfenitoin dikonversi menjadi fenitoin dalam waktu
8 sampai 15 menit. Dimetabolisme oleh hati dan mempunyai
waktu paruh 14 jam. Karena 1,5 mg fosfenitoin ekuivalen
dengan 1 mg fenitoin, maka dosis, konsentrasi, dan kecepatan
infus intravena digambarkan sebagai phenytoin equivalent
(PE). Dosis awal 15 sampai 20 mg PE per kgBB, dan
diberikan dengan kecepatan 150 mg PE per menit, kecepatan
pemberian infus tiga kali lebih cepat dari fenitoin intravena. 4
Fosfenitoin lebih disukai, karena bekerja lebih cepat dan
iritasi vena yang lebih minimal (menghindari risiko purple-
glove syndrome yang terjadi pada fenitoin). Efek samping
dari fosfenitoin termasuk parestesia dan pruritus, namun
muncul jika diberikan dalam pemberian yang terlalu cepat.
Pemberian intravena dihubungkan dengan hipotensi,
sehingga monitoring jantung dan tekanan darah yang ketat
dilakukan. Walaupun fosfenitoin lebih baik daripada fenitoin,
namun kelemahannya adalah harga yang mahal dan tidak
terdapat di semua rumah sakit. 4
3. Barbiturat
- Fenobarbital
Fenobarbital digunakan setelah benzodiazepin atau fenitoin
gagal mengontrol SE. Loading dose 15 sampai 20 mg per
kgBB. Karena fenobarbital dosis tinggi bersifat sedatif,
proteksi jalan napas sangat penting, dan risiko aspirasi
merupakan perhatian khusus. Fenobarbital intravena juga
dihubungkan dengan hipotensi sistemik. Jika dilakukan
pemberian intramuskuler, maka dilakukan pada otot besar,
seperti gluteus maximus. Defi sit neurolgis permanen dapat
timbul jika diinjeksikan berdekatan dengan saraf tepi. Saat
ini, untuk penanganan SE refrakter lebih sering digunakan
agen lain (midazolam, propofol, pentobarbital) daripada
fenobarbital. 4
- Pentobarbital
Merupakan barbiturat kerja singkat yang bersifat sedatif,
hipnotif, dan besifat antikonvulsan. Digunakan hanya untuk
SE refrakter, jika agen lain gagal untuk menghentikan kejang.
Pasien membutuhkan intubasi dan dukungan ventilasi.
Dibandingkan fenobarbital, pentobarbital mempunyai
penetrasi yang lebih cepat dan waktu paruh yang lebih
singkat, sehingga dapat sadar lebih cepat dari koma ketika
penyapihan (weaning). 4
Efektivitas pentobarbital lebih tinggi daripada propofol
dalam mengakhiri SE refrakter. Suatu studi mendapatkan
tingkat keberhasilan pentobarbital yang tinggi (92% dengan
perbandingan 80% untuk midazolam dan 73% untuk
propofol). Namun demikian, sangat dihubungkan dengan
tingginya ke jadian hipotensi dibandingkan midazolam dan
propofol (77% vs 42% dan 30%). 4
4. Anestesi Umum
- Propofol
Propofol merupakan suatu senyawa fenolik yang tidak
berhubungan dengan obat antikonvulsan lain. Propofol sangat
larut dalam lemak, sehingga dapat bereaksi dengan cepat,
mempunyai sifat anestesi jika diberikan secara intravena
dengan dosis 1-2 mg/kgBB, sangat efektif dan nontoksik.
Beberapa publikasi melaporkan penggunaan infus jangka
panjang propofol dapat di terapkan pada SE. 4
Propofol dapat menyebabkan depresi napas dan depresi
serebral, sehingga membutuhkan intubasi dan ventilasi.
Hipotensi mungkin membutuhkan penatalaksanaan segera.
Penggunaan jangka panjang (atau dosis tinggi >5 mg/kg/jam
dalam 48 jam) dapat menyebabkan asidosis, aritmia jantung,
dan rabdomiolisis (propofol infusion syndrome) yang fatal,
khususnya pada anak usia muda, sehingga propofol
sebaiknya tidak digunakan digunakan pada kelompok ini. 4
- Tapering Off
Pada pasien yang ditatalaksana dengan infus kontinu obat
antiepilepsi harus diteruskan 12 sampai 24 jam setelah kejang
berhenti. Jika selama periode tapering off terdapat kejang,
maka pengobatan dengan infus kontinu harus diperpanjang
dengan memperhatikan adanya kejang baik secara klinis
maupun EEG. Jika tidak ada kejang, maka tapering off dapat
diteruskan. 4

Trauma Kepala

Etiologi

Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)
yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan
struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain
Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik. 5
Patofisiologi

Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014)


cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya
cedera, dan morfologi. 5

a. Mekanisme Cedera Kepala

Percobaan biomekanika cedera kepala telah banyak dipelajari pada


hewan coba, kadaver manusia, dan model eksperimental tulang kepala dan
otak. Pada tahun 1943, Holbourn menunjukkan efek kekuatan rotasional
dengan gel pada tengkorak manusia, dan 3 tahun kemudian, (Pudenz and
Shelden, 1947) merekam fenomena ini pada tengkorak monyet yang
digantikan dengan plastik transparan. Perkembangan teknologi
memungkinkan dengan Computed Tomography (CT Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) mempelajari efek linier dan angular akselerasi
pada otak pasien percobaan. 5

Dengan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat


memperkirakan dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama
diantaranya kekuatan cedera (kontak atau gaya), jenis cedera (rotasional,
translational, atau angular), dan besar serta lamanya dampak tersebut
berlangsung. Kekuatan kontak terjadi ketika kepala bergerak setelah suatu
gaya, sedangkan gaya inersia terjadi pada percepatan atau perlambatan
kepala, sehingga gerak diferensial otak relatif terhadap tengkorak.
Meskipun satu proses mungkin mendominasi, sebagian besar pasien
dengan cedera kepala mengalami kombinasi dari mekanisme ini. 5

Mekanisme fisiologis yang menyebabkan cedera kepala


(Goldsmith, 1966); benturan kepala dengan benda padat pada kecepatan
yang cukup, beban impulsif memproduksi gerak tiba-tiba kepala tanpa
kontak fisik yang signifikan, dan statis beban kompresi statis atau kuasi
kepala dengan kekuatan bertahap. 5
Kekuatan kontak biasanya mengakibatkan cedera fokal seperti
memar dan patah tulang tengkorak. kekuatan inersia terutama translasi
mengakibatkan cedera fokal, seperti kontusio dan Subdural Hematoma
(SDH), sedangkan cedera rotasi akselerasi dan deselerasi lebih cenderung
mengakibatkan cedera difus mulai dari gegar otak hingga Diffuse Axonal
Injury (DAI). Cedera rotasi secara khusus menyebabkan cedera pada
permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam. 5

Percepatan sudut merupakan kombinasi dari percepatan translasi


dan rotasi, merupakan bentuk yang paling umum dari cedera inersia.
Karena sifat biomekanis kepala dan leher, cedera kepala sering
mengakibatkan defleksi kepala dan leher bagian tengah atau tulang
belakang leher bagian bawah (sebagai pusat pergerakan). 5

Gambar Diffuse Injury – Akselerasi dan Deselerasi.

Cedera lainnya merupakan trauma penetrasi atau luka tembak yang


mengakibatkan perlukaan langsung organ intrakranial, yang pasti
membutuhkan intervensi pembedahan. 5

b. Beratnya Cedera Kepala


Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien
diklasifikasikan secara klinis sesuai dengan tingkat kesadaran dan
distribusi anatomi luka. Kondisi klinis dan tingkat kesadaran
setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS), merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera
kepala dan faktor patologis yang menyebabkan penurunan
kesadaran. 5
Glasgow Coma Scale (GCS) dikembangkan oleh Teasdale
and Jennett pada 1974 dan saat ini digunakan secara umum dalam
deskripsi beratnya penderita cedera otak (Teasdale, 1974).
Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan,
mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total
sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot
ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak
bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai
GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau
cedera otak berat. 5

Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan


nilai GCS 9- 13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan
penderita dengan nilai GCS 14- 15 dikategorikan sebagai cedera
otak ringan. Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005),
klasifikasi keparahan dari cedera kepala yaitu: 5

c. Morfologi Cedera Kepala


Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi atau
area terjadinya trauma. Cedera yang tampak pada kepala bagian
luar terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala
tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-
fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah
luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan
trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat
pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak
menekan tengkorak. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka
tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater. 5

Penegakkan Diagnosis

Pada pemeriksaan status generalis, pemeriksaan kepala harus


dilakukan dengan detail, serta bagian tubuh lain yang dapat menunjukkan
beratnya trauma. Berikut ini merupakan tanda diagnostik yang dapat
dijadikan tanda awal untuk mendiagnosis: 5

Tanda diagnostik klinik perdarahan epidural : 5


- Terdapat interval lusid
- Kesadaran semakin lama semakin menurun
- Hemiparesis kontralateral lesi yang terjadi belakangan
- Pupil anisokor
- Adanya refleks babinski di kontralateral lesi
- Fraktur di daerah temporal

Tanda diagnostik perdarahan epidural di fossa posterior : 5

- Interval lusid tidak jelas


- Fraktur kranii oksipital
- Hilang kesadaran dengan cepat
- Gangguan serebelum, otak, dan pernapasan
- Pupil isokor
- Pada ct scan otak didapatkan gambaran hiperdens
(perdarahan) di tulang tengkorak dan dura, umumnya di
daerah temporal, dan tampak bikonveks

Tanda diagnostik perdarahan subdural : 5

- Nyeri kepala
- Kesadaran bisa menurun atau normal
- Pada ct scan otak didapatkan gambaran hiperdens
(perdarahan) di antara dura mater dan arakhnoid yang
tampak seperti bulan sabit.

Tanda diagnostik fraktur basis kranii : 5

- Anterior
a. Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rinorea
b. Perdarahan bilateral periorbital ekimosis/raccoon eye
c. Anosmia
- Media
a. Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorea
b. Gangguan N.VII dan N.VIII
- Posterior
a. Bilateral mastoid ekismosis/tanda battle

Tatalaksana Awal

Apabila terdapat kondisi di bawah ini, maka harus diberikan


tatalaksana sesuai dengan kondisi masing-masing secara lebih spesifik
pada pusat layanan kesehatan yang sesuai: 5

- Ada trauma multipel.


- Dicurigai atau diketahui adanya trauma servikal.
- Adanya gangguan neurologis sebelumnya.
- Adanya diatesis hemoragik.
- Trauma kepala yang disengaja.
- Adanya kendala bahasa antara pasien/orang tua dengan dokter
- Penyalahgunaan obat atau alkohol.

Apabila tidak ada kondisi di atas, nilai apakah penderita: 5

- Terdapat kelainan pada tulang tengkorak.


- Terdapat kelainan pada pemeriksaan mata.
- Terdapat kelainan pada pemeriksaan neurologis

Apabila ditemukan harus segera dilakukan konsultasi dengan


spesialis yang sesuai, pemeriksaan CT scan kepala segera dan rujuk ke
pusat kesehatan dengan fasilitas bedah syaraf. Selanjutnya pertimbangan
melakukan CT scan atau observasi terlebih dahulu dapat dilihat dari
algoritma di atas. 5

Medikamentosa 5

- Dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri


- Tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial dan kejang (jika ada
kejang)
- Bila terdapat peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan obat
penurun tekanan intrakranial seperti Manitol 20% 0,5 – 1 gram/kg tiap
8 jam atau NaCl 3% dengan dosis inisial 2-6 ml/kgBB dilanjutkan
dengan infus kontinyu 0.1-1 ml.kgBB/jam dengan monitoring tekanan
intrakranial. NaCl 3% dapat juga diberikan dengan dosis inisial 5 ml/
kgBB dilanjutkan dengan dosis 2 ml/kgBB tiap 6 jam. Pemantauan
kadar elektrolit dan diuresis diperlukan jika pasien diberikan cairan
hipertonis. Hindari / seminimal mungkin tindakan invasif dan hal-hal
yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
- Lakukan pemantauan klinis yang ketat selama 12-48 jam.
- Tatalaksana demam.

Stroke

Etiologi

Beban akibat stroke mencapai 40 miliar dollar setahun, selain untuk


pengobatan dan perawatan, juga akibat hilangnya pekerjaan serta turunnya
kualitas hidup (Currie et al., 1997). Kerugian ini akan berkurang jika
pengendalian faktor risiko dilaksanakan dengan ketat. 6

Patofisiologi

Focal Cerebral Ischemia

Gambaran klinis ditentukan oleh lokasi dan ukuran kerusakan otak


(baik dari infark atau perdarahan). Praktik yang biasa dilakukan adalah
menganggap suplai darah otak dibagi menjadi dua kategori utama: sistem
karotis dan sistem vertebrobasilar. 6
a. Arteri karotis interna
Oklusi arteri karotis interna di leher tidak menghasilkan
gambaran klinis yang khas. Dengan adanya sirkulasi kolateral
intrakranial yang adekuat, oklusi arteri karotis interna mungkin
tidak menimbulkan gejala atau tanda. Ini dapat mengakibatkan apa
saja mulai dari TLA hingga infark pada sebagian besar belahan
ipsilateral. Mekanismenya mungkin hemodinamik jika aliran darah
kolateral tidak adekuat. Oklusi karotis atau stenosis juga dapat
menyebabkan infark serebral oleh emboli arteri-ke-arteri atau
dengan penyebaran bekuan yang tersumbat ke distal batang tengah
arteri serebral. 6
Gambaran neurologis dapat berkisar dari monoparesis
hingga hemiparesis dengan atau tanpa defek homonim pada
penglihatan, gangguan bicara atau bahasa, berbagai jenis agnosia,
dan rentang dari gangguan hemisensori parsial hingga penuh.
Meskipun kebutaan monokuler transien umumnya terkait dengan
stenosis atau oklusi arteri karotis interna, kebutaan monokuler
permanen jarang terjadi dengan oklusi karotis. 6
Ketika infark di wilayah arteri serebral tengah didahului
oleh TIA dalam distribusi vaskular yang sama atau ketika ada bruit
bernada tinggi di atas asal arteri karotis interna, stroke
kemungkinan besar disebabkan oleh penyakit oklusi arteri karotis
internal di dekat asalnya. 6
b. Arteri serebral tengah
Arteri serebral tengah dimulai dari percabangan arteri
karotis interna. Oklusi bagian pertama dari arteri serebral tengah
(segmen Ml) hampir selalu menghasilkan defisit neurologis.
Sebagian besar oklusi di sini disebabkan oleh emboli. Karena
oklusi berada di distal lingkaran Willis, kesempatan untuk sirkulasi
kolateral dibatasi pada aliran darah anastomosis dari arteri serebral
anterior dan posterior di permukaan otak. Jika gagal, oklusi
segmen MI menyebabkan defisit yang parah termasuk hemiplegia,
defisit hemisensori, hemianopsia homonim, kelumpuhan
pandangan kontralateral, dan, jika infark berada di belahan
dominan, afasia. Namun, oklusi batang arteri serebral tengah dapat
menyebabkan defisit motorik karena apa yang disebut lacune
raksasa yang terjadi ketika ada sirkulasi kolateral yang memadai di
permukaan otak. Jika gumpalan yang tersumbat pecah dan
bergerak ke arah distal, cabang dapat tersumbat, yang
mengakibatkan sindrom parsial tergantung pada bagian belahan
bumi terlibat. 6
Stenosis parah pada arteri serebral tengah juga dapat
dikaitkan dengan infark pada bagian belahan yang disuplai oleh
arteri ini atau cabang utamanya. 6

c. Arteri serebral anterior


Sindrom tersering yang terkait dengan oklusi arteri serebral
anterior adalah kelemahan pada tungkai yang berlawanan,
seringkali paling menonjol di bagian distal dan kadang
berhubungan dengan kelemahan otot proksimal ekstremitas atas.
Keterlibatan sensorik di area yang sama mungkin menyertai
kelemahan. Apraxia, terutama gaya berjalan, dan gangguan
kognitif dapat terjadi. 6
d. Sistem vertebrobasilar
Sistem vertebrobasilar mensuplai darah ke medula, pons,
otak kecil, mesencephalon, thalamus, lobus oksipital, dan bahkan
bagian dari persimpangan temporooccipital dan parietooccipital. 6
1) Arteri vertebralis
Stenosis parah atau oklusi arteri subklavia kiri atau
arteri brakiosefalika (inominata) dapat menyebabkan
pembalikan aliran darah di arteri vertebralis di sisi tersebut.
Ini biasanya tidak menimbulkan gejala. Ketika salah satu
arteri vertebralis atretik atau berakhir di arteri cerebellar
posterior inferior dan arteri vertebralis lainnya tersumbat,
mungkin terdapat infark pada batang otak. Oklusi arteri
vertebralis atau arteri serebelum inferior posterior dapat
menyebabkan infark meduler lateral. Sindrom ini ditandai
dengan timbulnya vertigo yang parah secara tiba-tiba, mual,
muntah, disfagia, ipsilateral ataksia serebelar, sindrom
Homer ipsilateral, dan penurunan nyeri dan diskriminasi
suhu pada sisi wajah ipsilateral dan ekstremitas dan batang
kontralateral. 6

2) Arteri basilar
Oklusi arteri basilar dapat menyebabkan infark
batang otak atau kadang-kadang TIA atau, jarang, tidak ada
gejala. Biasanya oklusi atau stenosis parah dari arteri
basUar menghasilkan tanda-tanda yang menunjukkan
kerusakan batang otak bilateral, sedangkan sindrom akibat
stenosis atau oklusi cabang arteri melibatkan struktur hanya
pada satu sisi batang otak. Selain cabang yang lebih besar
(melingkar) ke otak kecil, arteri basilar juga memiliki
banyak cabang pendek, cabang yang memasok batang otak.
6

Sindrom yang melibatkan cabang-cabang ini dapat


dilokalisasi dengan pengetahuan tentang anatomi rinci
batang otak dan otak kecil. Cacat arteri cabang mungkin
"menyilang", yaitu, melibatkan defisit sensorik atau
motorik pada satu sisi wajah dan sisi tubuh yang
berlawanan. Pusing dan vertigo mungkin merupakan gejala
yang menonjol, dan nistagmus sering ditemukan.
Keterlibatan saraf kranial tertentu, seperti saraf okulomotor,
juga membantu melokalisasi lesi di batang otak. Oklusi
bagian terminal dari arteri basilar dapat menyebabkan
oklusi dari arteri yang menembus, mengakibatkan infark
talamik bilateral dan otak tengah atas. Seperti semua infark,
stroke yang melibatkan distribusi arteri basilar dapat
berkembang selama beberapa hari. 6

3) Arteri serebral posterior


Arteri basilar berakhir di dua arteri serebral
posterior. Oklusi sering disebabkan oleh embolus dan
paling sering menyebabkan defek lapang pandang
homonim, biasanya hemianoptik atau kuadrantanoptik.
Masalah tambahan, seperti disleksia dan diskalkulia, terjadi
karena keterlibatan hemisfer yang dominan. Keterlibatan
belahan nondominan dapat menyebabkan sindrom lobus
parietal. Defisit hemisensori dapat terjadi dengan infark
talamik dan kadang-kadang menyebabkan sindrom
"talamik" berupa nyeri hemibodi yang tak kunjung hilang.
Ketika kedua arteri serebral posterior tersumbat, kebutaan
kortikal terjadi dan perubahan perilaku sering terlihat. 6
Intracerebral Hemorraghe

Gangguan lengkap aliran darah otak diikuti oleh reperfusi, seperti


yang terjadi pada serangan jantung dengan resusitasi, menghasilkan
kerusakan yang secara selektif mempengaruhi neuron yang rentan secara
metabolik dari korteks serebral, ganglia basal, dan otak kecil. Dengan
hipotensi yang kurang mendalam untuk waktu yang lama, kerusakan
terkonsentrasi di zona perbatasan yang rentan secara anatomis (daerah
aliran sungai) antara wilayah yang disuplai oleh arteri utama korteks
serebral, otak kecil, ganglia basal, dan sumsum tulang belakang. Ini paling
parah di daerah antara wilayah yang disuplai oleh arteri serebral anterior,
tengah, dan posterior. 6
Penegakkan Diagnosis

Skor Siriraj dan Algoritma Gadjah Mada


Focal Cerebral Ischemia
 History
a. Onset & Kursus
Sejarah harus menunjukkan apakah gambaran klinisnya
adalah TIA, stroke dalam evolusi, atau stroke total. Dalam
beberapa kasus, mungkin juga untuk menilai kemungkinan
stroke itu trombotik atau emboli berasal dari riwayat klinis. 6
1) Gambaran yang menunjukkan stroke trombotik —
Pasien dengan oklusi vaskular trombotik sering muncul
dengan defisit neurologis bertahap bertahap; oklusi
mungkin didahului oleh serangkaian TIA dengan gejala
yang sama. TIA mendahului infark pada 25% sampai
50% pasien dengan penyakit aterosklerotik oklusif dari
arteri karotis interna ekstrakranial. Sekitar sepertiga
dari pasien tersebut, bagaimanapun, onset infark tiba-
tiba, menunjukkan bahwa embolisasi dari arteri
ekstrakranial distal ke arteri intrakranial mungkin
menjadi penyebab stroke. 6
2) Gambaran yang menunjukkan stroke emboli —
Emboli serebral biasanya menyebabkan defisit
neurologis yang terjadi tiba-tiba tanpa peringatan dan
onsetnya maksimal. Di bagi banyak pasien, emboli
yang berasal dari jantung disarankan oleh infark
serebral multifokal, penyakit katup jantung,
kardiomegali, aritmia, atau endokarditis. 6

b. Gejala Terkait
1) Kejang kecil menyertai timbulnya stroke jumlah kasus;
dalam kasus lain, mereka mengikuti stroke beberapa
minggu sampai tahun. Kehadiran kejang tidak tidak
secara pasti membedakan emboli dari trombotik stroke,
tetapi kejang pada awal stroke mungkin lebih umum
dengan embolus. Kecuali pasien dengan stroke
vertebrobasilar atau penyebab kejang lainnya, kejadian
epilepsi setelah stroke kira-kira 10%. Risiko epilepsi
meningkat hingga sekitar 25% atau leukositosis) atau
infeksi bersamaan yang dapat mempersulit perjalanan
klinis. Untuk alasan yang tidak jelas, peningkatan
jumlah sel darah putih saat masuk juga dapat menjadi
prediktor independen untuk hasil yang lebih buruk dari
stroke. 6

c. Penanda Peradangan
Peningkatan laju sedimentasi eritrosit (LED) terlihat
pada arteritis sel raksasa dan vaskulitida lainnya. Peningkatan
protein C-reaktif (CRP) adalah penanda peradangan sistemik
yang terkait dengan peningkatan risiko stroke. 6
d. Uji Serologis untuk Sifilis
Tes treponemal, seperti FTA-ABS darah atau MHA-
TP (atau CSF VDRL), menunjukkan apakah pasien pernah
menderita sifilis. Tes negatif, oleh karena itu, menyingkirkan
arteritis sifilis sebagai penyebab stroke. 6

e. Glukosa Serum
Menentukan kadar glukosa darah sangat penting
karena hipoglikemia atau hiperglikemia dapat muncul dengan
tanda neurologis fokal dan menyamar sebagai stroke.
Hipoglikemia yang berhubungan dengan tanda fokal, kejang,
atau koma menuntut pemberian glukosa segera untuk
menghindari cedera otak permanen (Bab 3) dan
hiperglikemia (hiperglikemia nonketotik hiperosmolar atau
ketoasidosis diabetik) juga memerlukan pengobatan spesifik
yang tepat (Bab 4). Hiperglikemia pada presentasi juga secara
independen menandakan hasil yang lebih buruk dari stroke
manfaat pengobatan untuk menurunkan glukosa darah dalam
pengaturan ini tidak pasti. 6

f. Lipid Serum
Pengukuran kolesterol total dan HDL dapat
membantu menilai faktor risiko stroke. 6

 Electrocardiogram (ECG)
EKG harus diperoleh secara rutin untuk mendeteksi infark
miokard yang tidak dikenali atau aritmia jantung, seperti fibrilasi
atrium, yang merupakan predisposisi stroke emboli. 6
 Lumbar Puncture
Pungsi lumbal harus dilakukan pada kasus tertentu untuk
menyingkirkan perdarahan subaraknoid (dimanifestasikan oleh
xanthochromia dan sel darah merah) atau untuk
mendokumentasikan sifilis meningovaskular (VDRL reaktif)
sebagai penyebab stroke. 6

 CT Scan atau MRI


CT scan atau MRI (Gambar 13-14) harus dilakukan secara
rutin untuk membedakan antara infark dan perdarahan sebagai
penyebab stroke, untuk menyingkirkan lesi lain (misalnya tumor,
abses) yang dapat menyerupai stroke, dan untuk melokalisasi lesi.
CT non-kontras biasanya lebih disukai untuk diagnosis awal karena
tersedia secara luas dan cepat serta dapat dengan mudah
membedakan antara iskemia dan perdarahan. Namun,
sensitivitasnya dalam 6 jam pertama adalah terbatas. MRI mungkin
lebih baik daripada CT scan untuk menunjukkan infark iskemik
dini, menunjukkan stroke iskemik di batang otak atau otak kecil,
dan mendeteksi oklusi trombotik pada sinus vena. 6

 Electroencephalogram (EEG)
EEG jarang berguna dalam mengevaluasi stroke. Namun,
ini dapat membantu membedakan antara gangguan kejang dan TIA
atau antara infark lakunar dan kortikal pada pasien yang kadang-
kadang tidak dapat dibedakan. 6

Intracerebral Hemorraghe
 Brief Ischemia
Ensefalopati reversibel sering terjadi setelah episode
singkat henti sirkulasi sistemik. Dalam kasus seperti itu, koma
berlangsung kurang dari 12 jam. Kebingungan atau amnesia
sementara dapat terjadi saat bangun, tetapi pemulihannya cepat dan
lengkap. Beberapa pasien menunjukkan anterograde yang parah
dan amnesia retrograde variabel dan efek hambar, tidak peduli
dengan atau tanpa confabulation. Pemulihan sering terjadi dalam 7
sampai 10 hari tetapi mungkin tertunda selama 1 bulan atau lebih.
Sindrom ini mungkin mencerminkan kerusakan bilateral yang
dapat diperbaiki pada talamus atau hipokampus. 6

 Prolonged Ischemia
a) Koma
Pasien biasanya koma setidaknya selama 12 jam
setelah serangan jantung dan mungkin mengalami defisit
motorik fokal atau multifokal, sensorik, dan kognitif jika
mereka bangun. Pemulihan penuh mungkin tidak terjadi
atau mungkin memerlukan berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan. Beberapa pasien pada akhirnya mampu
menjalani hidup mandiri, sedangkan mereka yang cacat
lebih parah mungkin memerlukan perawatan institusional. 6

b) Focal Cerebral Disfungsi


Tanda-tanda neurologis fokal setelah serangan
jantung termasuk kebutaan sebagian atau seluruh kortikal,
kelemahan kedua lengan (paresis bibrachial), dan
quadriparesis. Kebutaan kortikal biasanya bersifat
sementara tetapi bisa permanen. Ini mungkin hasil dari
iskemia yang tidak proporsional dari kutub oksipital karena
lokasinya di zona perbatasan antara arteri serebral tengah
dan posterior. Bibrachial paresis (sindrom man-in-a-barrel)
terjadi akibat infark bilateral korteks motorik di zona
perbatasan antara arteri serebral anterior dan tengah. 6

c) Keadaan Vegetatif yang Persisten


Beberapa pasien yang awalnya koma setelah
jantung penangkapan bertahan dan terbangun tetapi tetap
berfungsi decorticate dan tidak menyadari lingkungan
mereka. Mereka biasanya mendapatkan kembali
pembukaan mata spontan, siklus tidur-bangun, gerakan
mata keliling dan refleks batang otak dan sumsum tulang
belakang. Keadaan vegetatif yang persisten dengan
demikian berbeda dari koma dan tampaknya terkait dengan
kerusakan neokorteks. Keadaan vegetatif persisten yang
terkait dengan EEG isoelektrik (datar) disebut kematian
neokortikal. Keadaan vegetatif yang persisten harus
dibedakan dari kematian otak, di mana fungsi serebral dan
batang otak tidak ada. 6

d) Sindrom Tulang Belakang


Sumsum tulang belakang tampaknya lebih resisten
terhadap iskemia transien dibandingkan otak, sehingga
kerusakan medula spinalis akibat hipoperfusi biasanya
disertai dengan keterlibatan otak yang dalam. Hipoperfusi
kadang-kadang menyebabkan infark medula spinalis
terisolasi. Dalam kasus seperti itu, struktur anterior dan
sentral sumsum tulang belakang lebih terlibat karena
lokasinya di zona perbatasan kritis antara wilayah yang
disuplai oleh anterior dan arteri tulang belakang posterior.
DAS ini, terutama di bagian atas dan bawah toraks kabel,
rentan terhadap penurunan tekanan perfusi yang dalam.
Pada periode akut, stroke tulang belakang akibat hipotensi
menghasilkan paraplegia lembek dan retensi urin. Tingkat
sensorik di daerah toraks ditandai dengan gangguan nyeri
dan sensasi suhu yang lebih jelas daripada sentuhan ringan.
Seiring waktu, paralisis flaksid digantikan oleh paraplegia
spastik dengan refleks tendon cepat di kaki dan respons
ekstensor plantar. 6

Tatalaksana Awal

Stadium Hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di instalasi Rawat Darurat
dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar
kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi
oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan
dekstrosa atau salin dalam H2O. 6
Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto
toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR,
APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia,
dilakukan analisis gas darah. 6
Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan
dukungan mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada
keluarganya agar tetap tenang. 6

Stadium Akut
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktorfaktor etiologik
maupun penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan
psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien.
Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut dampak
stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang
dapat dilakukan keluarga. 6
a) Stroke Iskemik
Terapi Umum :
Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada
pada satu bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi
dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil. 6
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2
liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu,
dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan
antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih
penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten). 6
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau
koloid 1500-2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari
cairan mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi
per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan
gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui
slang nasogastrik. 6
Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas
gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena
kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah
< 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan
dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari
penyebabnya. 6
Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan
pemberian obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu
segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220 mmHg,
diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥
130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30
menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung
kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal
adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium
nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau
antagonis kalsium. 6
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg,
diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam,
dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau
sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu
tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-
20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg. 6
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelanpelan selama
3 menit, maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian
antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang
muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka
panjang. 6
Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi
manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan
jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk,
dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5
hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol);
sebagai alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCL 3%)
atau furosemid. 6

Terapi khusus :

Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet


seperti aspirin dan anti koagulan, atau yang dianjurkan dengan
trombolitik rt-PA (recombinant tissue Plasminogen Activator).
Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam
(jika didapatkan afasia). 6

b) Stroke Hemoragik
Terapi umum :
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume
hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan
hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk. 6
Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah
premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik
>120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume hematoma
bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera
diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit)
sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg;
enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg
per oral. 6
Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat,
posisi kepala dinaikkan 300, posisi kepala dan dada di satu bidang,
pemberian manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan
hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg). 6
Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik,
tukak lambung diatasi dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat,
atau inhibitor pompa proton; komplikasi saluran napas dicegah
dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas. 6

Terapi khusus :
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat
vasodilator. Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak
perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian memburuk
dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus
akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan
VP-shunting, dan perdarahan lobar >60 mL dengan tanda
peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi. 6
Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis
Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi,
ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah
aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous
malformation, AVM). 6

Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku,
menelan, terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik).
Mengingat perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan
khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan tujuan kemandirian
pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan program preventif primer
dan sekunder. 6
Terapi fase subakut: 6
- Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,
- Penatalaksanaan komplikasi,
- Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu
fisioterapi, terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi,
- Prevensi sekunder
- Edukasi keluarga dan Discharge Planning

DAFTAR PUSTAKA

1. Wahyu FF. Guillain-Barré Syndrome: Penyakit Langka Beronset Akut yang


Mengancam Nyawa. Jurnal Medula. 2018 Apr 21;8(1):112-6.
2. Tahir AM. Patofisiologi Kesadaran Menurun. UMI Medical Journal. 2018
Jun 26;3(1):80-8.
3. Kamarudin S, Chairani L. Tinjauan Pustaka: Miastenia Gravis.
Syifa'MEDIKA: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 2019 Sep 22;10(1):62-
70.
4. Sunaryo U. Diagnosis Epilepsi. Wijaya Kusuma, I. 2007:49-56.
5. Setiawan H, Dirdjo MM. Analisis Praktik Klinik Keperawatan pada Pasien
Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan Penggunaan Bantal pada Leher untuk
Menurunkan Tingkat Skala Nyeri Akut di Ruang Instalasi Gawat Darurat
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2015.
6. Greenberg, David A., Michael J. Aminoff, Roger P.Simon. Clinical
Neurology. Edisi 8. San Francisco: The McGraw-Hill Companies. 2012.

Anda mungkin juga menyukai