TUMOR OTAK
1. Pengertian
Tumor Otak adalah tumbuhnya sel abnormal pada otak. Banyak jenis
tumor yang berbeda-beda. Beberapa tumor otak bukan merupakan kanker
(jinak) dan beberapa tumor otak lainnya adalah kanker (ganas). Tumor otak
dapat berasal dari otak (tumor otak primer) atau kanker yang berasal dari
bagian tubuh lain dan merambat ke otak (tumor otak sekunder / metastatik).
Tumor otak adalah terdapatnya lesi yang ditimbulkan karena ada
desakan ruang baik jinak maupun ganas yang tumbuh di otak, meningen, dan
tengkorak. (Sylvia.A, 2013. Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang
bersifat jinak (benigna) ataupun ganas (maligna) membentuk massa dalam
ruang tengkorak kepala (intrakranial) atau di sumsum tulang belakang
(medulla spinalis). Neoplasma pada jaringan otak dan selaputnya dapat
berupa tumor primer maupun metastase. Apabila sel-sel tumor berasal dari
jaringan otak itu sendiri disebut tumor otak primer dan bila berasal dari
organ-organ lain (metastase) seperti kanker paru, payudara, prostate, ginjal,
dan lain-lain disebut tumor otak sekunder. (Mayer. SA,2002).
2. Etiologi
Tidak ada faktor etiologi jelas yang telah ditemukan untuk tumor
otak primer. Walaupun tipe sel yang berkembang menjadi tumor sering
kali dapat diidentifikasi, mekanisme yang menyebabkan sel bertindak
abnormal tetap belum diketahui. Kecenderungan keluarga, imunosupresi,
dan faktor-faktor lingkungan sedang diteliti. Waktu puncak untuk kejadian
tumor otak adalah decade kelima dan ketujuh. Selain itu, pria terkena lebih
sering dari pada wanita.
Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti.
Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau, yaitu :
a. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan
kecuali pada meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat
dijumpai pada anggota-anggota sekeluarga. Dibawah 5% penderita
glioma mempunyai sejarah keluarga yang menderita brain tumor.
Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap
sebagai manifestasi pertumbuhan baru, memperlihatkan faktor
familial yang jelas. Selain jenis-jenis neoplasma tersebut tidak ada
bukti-bukti yang kuat untuk memikirkan adanya faktor-faktor
hereditas yang kuat pada neoplasma.
b. Sisa-Sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-
bangunan yang mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi
dalam tubuh. Tetapi ada kalanya sebagian dari bangunan embrional
tertinggal dalam tubuh, menjadi ganas dan merusak bangunan di
sekitarnya. Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada
kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan kordoma.
c. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat
mengalami perubahan degenerasi, namun belum ada bukti radiasi
dapat memicu terjadinya suatu glioma. Pernah dilaporkan bahwa
meningioma terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.
d. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan
besar yang dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi
virus dalam proses terjadinya neoplasma, tetapi hingga saat ini belum
ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan perkembangan tumor
pada sistem saraf pusat.
e. Substansi-substansi Karsinogenik
f. Trauma kepala
Trauma kepala yang dapat menyebabkan hematoma sehingga
mendesak massa otak akhirnya terjadi tumor otak.
3. Patofisiologi
Tumor otak menyebabkan gangguan neurologis progresif yang
disebabkan oleh dua faktor yaitu gangguan fokal oleh tumor dan kenaikan
tekanan intracranial (TIK). Gangguan fokal terjadi apabila terdapat
penekanan pada jaringan otak dan infiltrasi atau invasi langsung pada
parenkim otak dengan kerusakan jaringan neuron.
Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang
tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Akibatnya terjadi kehilangan
fungsi secara akut dan dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskular
primer.Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron
akibat kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke dalam jaringan otak.
Peningkatan TIK dapat diakibatkan oleh beberapa faktor seperti
bertambahnya massa dalam tengkorak, edema sekitar tumor, dan perubahan
sirkulasi CSS. Tumor ganas menyebabkan edema dalam jaringan otak yang
diduga disebabkan oleh perbedaan tekanan osmosis yang menyebabkan
penyerapan cairan tumor. Obstruksi vena dan edema yang disebabkan oleh
kerusakan sawar di otak, menimbulkan peningkatan volume intracranial dan
meningkatkan TIK.
Peningkatan TIK membahayakan jiwa jika terjadi dengan cepat.
Mekanisme kompensasi memerlukan waktu berhari-hari atau berbulan-bulan
untuk menjadi efektif dan oleh karena itu tidak berguna apabila tekanan
intracranial timbul cepat. Mekanisme kompensasi ini meliputi volume darah
intrakranial, volum CSS, kandungan cairan intrasel, dan mengurangi sel-sel
parenkim otak. Kenaikan tekanan yang tidak diatasi akan mengakibatkan
herniasi untuk serebellum.
Herniasi unkus timbul jika girus medialis lobus temporalis bergeser ke
inferior melalui insisura tentorial karena adanya massa dalam hemisfer otak.
Herniasi menekan mesensefalon, menyebabkan hilangnya kesadaran dan
menekan saraf otak ke-3. Pada herniasi serebellum, tonsil serebellum tergeser
ke bawah melalui foramen magnum oleh suatu massa posterior.
Kompresi medulla oblongata dan terhentinya pernapasan terjadi
dengan cepat. Perubahan fisiologis lain yang terjadi akibat peningkatan
intrakranial yang cepat adalah bradikardia progresif, hipertensi sistemik, dan
gangguan pernapasan.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis mungkin tidak spesifik yang dapat disebabkan oleh
edema dan peningkatan TIK atau spesifik yang disebabkan oleh lokasi
anatomi tertentu.
a. Perubahan Status Mental
Seperti pada gangguan neurologis atau bedah syaraf, perubahan tingkat
kesadaran atau sensoris dapat ditemukan. Perubahan status emosional dan
mental, seperti letargi dan mengantuk, kebingungan, disorientasi, serta
perubahan kepribadian dapat ditemukan.
b. Sakit kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor otak yang
kemudian berkembang menjadi 60%. Nyerinya tumpul dan intermitten.
Nyeri kepala berat juga sering diperhebat oleh perubahan posisi, batuk,
maneuver valsava dan aktivitas fisik. Muntah ditemukan bersama nyeri
kepala pada 50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral pada tumor
supratentorial sebanyak 80 % dan terutama pada bagian frontal. Tumor
pada fossa posterior memberikan nyeri alih ke oksiput dan leher.
Sakit kepala dapat terbatas atau keseluruhan. Biasanya intermiten
dengan durasi meningkat dan dapat diperparah dengan perubahan posisi
atau mengejan. Sakit kepala parah dan berulang pada klien yang
sebelumnya bebas sakit kepala atau sakit kepala berulang di pagi hari
yang frekuensi dan keparahannya meningkat dapat menandakan suatu
tumor intrakranial dan membutuhkan pengkajian lebih lanjut.
c. Mual dan Muntah
Manifestasi klinis mual dan muntah dipercaya terjadi karena tekanan
pada medula, yang terletak pusat muntah. Klien sering mengeluhkan sakit
kepala parah setelah berbaring di ranjang. Saat sakit kepala makin nyeri,
klien juga dapat mengalami mual atau muntah yang spontan. Selama
episode muntah biasanya nyeri kepala akan berkurang.
d. Papiledema
Kompresi pada nervus kranialis kedua, nervus optik, dapat
menyebabkan papiledema. Mekanisme patofisiologis yang mendasari hal
ini masih belum diapahami. Peningkatan tekanan intrakranial
mengganggu aliran balik vena dari mata dan menumpuk darah di vena
retina sentralis. Juga dikenal sebagai “Choked disc”, papiledema umum
pada klien dengan tumor intrakranial dan mungkin merupakan manifestasi
awal dari peningkatan tekanan intrakranial. Papiledema awal tidak
menyebabkan perubahan ketajaman penglihatan dan hanya dapat
dideteksi dengan pemeriksaan oftalmologis. Papiledema parah dapat
bermanifestasi sebagai penurunan tajam penglihatan.
e. Kejang
Kejang, fokal atau umum, sering ditemui pada klien dengan tumor
intrakranial, terutama tumor hemisfer serebral. Kejang dapat parsial atau
menyeluruh. Kejang parsial biasanya membantu membatasi lokasi tumor.
Manifestasi klinis lokal disebabkan oleh kerusakan, iritasi, atau kompresi
dari sebagian otak tempat tumor terletak.
Kelemahan Fokal ( misal, hemiparesis)
Gangguan sensoris, antara lain tidak dapat merasakan (anestesia), atau
sensasi abnormal (Parestesia)
Gangguan bahasa
Gangguan koordinasi (misal, jalan sempoyongan)
Gangguan penglihatan seperti diplopia (pandangan ganda) atau
gangguan lapang pandang (monopia)
5. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik
Menurut Muttaqin (2008) ada beberapa pemeriksaan diagnostik yang
digunakan dalam mengindikasi penyakit tumor otak, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Computed Tomography Scan (CT-Scan)
Computed Tomography (CT) Scan merupakan suatu teknik
diagnostik dengan menggunakan sinar sempit dari sinar-X untuk
memindai kepala dalam lapisan yang berurutan. Bayangan yang
dihasilkan memberi gambaran potongan melintang dari otak, dengan
membandingkan perbedaan jaringan padat pada tulang kepala, korteks,
struktur subkortikal, dan ventrikel. Bayangan ditunjukkan pada osiloskop
atau monitor TV dan difoto. Lesi-lesi pada otak terlihat sebagai variasi
kepadatan jaringan yang berbeda dari jaringan otak normal sekitarnya.
Jaringan abnormal sebagai indikasi kemungkinan adanya massa tumor,
infark otak dan atrofi kortikal. Oleh karena itu, CT Scan merupakan alat
diagnostik yang penting dalam evaluasi pasen yang diduga menderita
tumor otak. Sensitifitas CT Scan untuk mendeteksi tumor yang
berpenampang kurang dari 1 cm dan terletak pada basis kranil. Gambaran
CT Scan pada tumor otak, umumnya tampak sebagai lesi abnormal
berupa massa yang mendorong struktur otak disekitarnya. Biasanya
tumor otak dikelilingi jaringan udem yang terlihat jelas karena
densitasnya lebih rendah. Adanya kalsifikasi, perdarahan atau invasi
mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya karena sifatnya yang
hiperdens. Beberapa jenis tumor akan terlihat lebih nyata bila pada waktu
pemeriksaan CT Scan disertai dengan pemberian zat kontras.
Penilaian CT Scan pada tumor otak:
a. Tanda proses desak ruang:
1. Pendorongan struktur garis tengah itak
2. Penekanan dan perubahan bentuk ventrikel
b. Kelainan densitas pada lesi:
1. Hipodens
2. Hiperdens atau kombinasi
c. Klasifikasi, perdarahan
1. Edema perifokal
Gambar 5 Pemeriksaan CT scan pada Tumor Otak (Pearce, 2009)
2. Positron Emmision Tomography (PET)
Positron Emmision Tomography (PET) adalah teknik pencitraan
nuklir berdasarkan komputer yang dapat menghasilkan bayangan fungsi
organ secara aktual. Klien menghirup gas radioaktif atau diinjeksikan
dengan zat radioaktif yang memberikan partikel bermuatan positif. Bila
positron ini berkombinasi dengan elektron-elektron bermuatan negatif
(normalnya didapat dalam sel-sel tubuh), resultan sinar gamma dapat
dideteksi oleh alat pemindai. Dalam alat-alat pemindai, detektor tersusun
dalam sebuah cincin dan seri-seri yang dihasilkan berupa gambar dua
dimensi pada berbagai tingkatan otak. Informasi ini terintegrasi oleh
komputer dan memberikan sebuah komposisi bayangan kerja otak. PET
memungkinkan pengukuran aliran darah, komposisi jaringan, dan
metabolisme otak. PET mengukur aktifitas ini secara spesifik pada
daerah otak dan dapat mendeteksi perubahan penggunaan glukosa. Uji ini
digunakan untuk melihat perubahan metabolik otak, melokasikan lesi
seperti adanya tumor otak. PET digunakan untuk mendiagnosa kelainan
metabolisme pada otak dan mampu mendiagnosa penyakit Alzheimer
serta penyebab lain dari demensia. Hasil yang didapatkan seperti pada
(Gambar 2-6).
Gambar 6 Positron Emmision Tomography (PET) (Pearce, 2009)
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemindaian MRI dapat mendemonstrasikan otak dengan
menggunakan fasilitas multiplanar pada bidang aksial, koronal dan
sagital dengan gambaran yang sangat baik pada fosa posterior, karena
tidak ada artefak tulang. MRI merupakan pemeriksaan yang sangat
sensitif dalam mendeteksi tumor seperti adenoma hipofisis dan neuroma
akustik. MRI menunjukkan gejala yang progresif atau tanda-tanda
penyakit otak yang difus atau fokal, atau salah satu tanda spesifik dari
sindrom atau gejala-gejala tumor. Kadang sulit membedakan tumor dari
abses ataupun proses lainnya. Pada keadaan tumor otak ini akan nampak
warna yang kontras dengan warna organ normal dan terjadi penebalan
jaringan otak.
Gambar 7 Hasil MRI pada Tumor Otak (Pearce, 2009)
4. Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) merekam aktifitas umum eletrik di
otak, dengan meletakkan elektroda-elektroda pada daerah kulit kepala
atau dengan menempatkan mikroelektroda dalam jaringan otak.
Pemeriksaan ini memberikan kajian fisiologis aktifitas serebri. EEG
bertindak sebagai indikator kematian otak. Tumor, abses, jaringan parut,
bekuan darah, dan infeksi dapat menyebabkan aktifitas listrik berbeda
dari pola normal irama dan kecepatan. Pemeriksaan ini pada tumor otak
berfungsi untuk mengevaluasi lobus temporal pada saat kejang.
Gambar 10 Hasil Pemeriksaan Angiografi Serebral pada Tumor Otak (Pearce, 2009)
7. Pemeriksaan Lumbal Pungsi
Menunjukan peningkatan cairan serebrospinal (CSS), yang
mencerminkan TIK, peningkatan kadar protein, penurunan kadar
glukosa, dan terkadang sel-sel tumor pada CSS. Dilakukan untuk
melihat adanya sel-sel tumor dan juga marker tumor. Tetapi pemeriksaan
ini tidak rutin dilakukan terutama pada pasien dengan massa di otak yang
besar. Umumnya diagnosis histologik ditegakkan melalui pemeriksaan
patologi anatomi, sebagai cara yang tepat untuk membedakan tumor
dengan proses-proses infeksi (abses cerebri).
6. Penatalaksanaan
Faktor –faktor prognostik sebagai pertimbangan penatalaksanaan yakni
usia, General health, ukuran tumor, lokasi tumor, dan jenis tumor.Langkah
pertama pada pengobatan tumor otak ialah pemberian kortikostreoid yang
bertujuan untuk memberantas edema otak. Pengaruh kortikostreoid terutama
dapat dilihat pada keadaan-keadaan seperti nyeri kepala yang hebat, deficit
motorik, afasia dan kesadaran yang menurun. Beberapa hipotesis yang
dikemukakan: meningkatkan transportasi dan reasirbsi cairan serta
memperbaiki permeabilitas pembuluh darah. Jenis kortikostreoid yang dipilih
yaitu glukokortikoid; yang paling banyak dipakai ialah deksametason, selain
itu dapat diberikan prednisone atau prednisolon. Dosis deksametason biasa
diberikan 4-20 mg intravena setiap 6 jam untuk mengatasi edema vasogenik
(akibat tumor) yang menyebabkan tekanan tinggi intracranial (Greenberg et al.,
1999). Selain itu terapi suportif yang dapat dilakukan yaitu IVFD RL XX
tetes/menit (makro), ceftriaxon vial 1 gram/12 jam, ranitidine ampul 1 gram/12
jam, dexamethason 1 ampul/6 jam.Untuk tumor otak metode utama yang
digunakan dalam penatalaksaannya, yaitu :
1. Pembedahan
Tumor jinak sering kali dapat ditangani dengan eksisi komplet dan
pembedahan merupakan tindakan yang berpotensi kuratif, untuk tumor
primer maligna, atau sekunder biasanya sulit disembuhkan. Pembedahan
tumor biasanya harus melalui diagnosis yang histologis terlebih dahulu.
2. Terapi Medikamentosa
a) Antikonvulsan untuk epilepsi
b) Kortikosteroid (dekstrametason) untuk peningkatan tekanan
intrakranial. Steroid juga dapat memperbaiki defisit neurologis fokal
sementara dengan mengobati edema otak
c) Kemoterapi diindikasikan pada beberapa kasus glioma, sebagai ajuvan
pembedahan dan radioterapi dengan pengawasan unit spesialistik
neuro onkologi.
3. Terapi Radiasi
Radioterapi konvensional menghantarkan radiasi menggunakan
akselerator linier. Dosis standar untuk tumor otak primer kurang lebih
6.000 Gy yang diberikan lima kali seminggu selama 6 minggu. Untuk
klien dengan tumor metastasis, dosis standar radiasi kurang lebih 3.000
Gy. Dosis pasti akan bergantung pada karakteristik tumor, volume
jaringan yang harus diradiasi biasanya diberikan dalam periode yang lebih
pendek untuk melindungi jaringan normal di sekitarnya. Bentuk lain dari
terapi radiasi, walaupun tidak dianggap konvensional dan belum tersedia
luas, adalah terapi radiasi partikel berat, radioterapi neutron cepat, terapi
fotodinamik, dan terapi tangkapan neutron boron. Walaupun
penggunaannya luas, terapi radiasi bukan tanpa konsekuensi.
7. Komplikasi
Menurut beberapa sumber salah satunya menurut Ginsberg
(2008) komplikasi yang dapat terjadi pada tumor otak antara lain:
1. Peningkatan Tekanan Intrakraial
Peningkatan tekanana intrakranial terjadi saat salah satu maupun semua
faktor yang terdiri dari massa otak, aliran darah ke otak serta jumlah
cairan serebrospinal mengalami peningkatan. Peningkatan dari salah satu
faktor diatas akan memicu:
a. Edema Serebral
Peningkatan cairan otak yang berlebih terakumulasi disekitar lesi
sehingga menambah efek masa yang mendesak.
b. Hidrosefalus
Hidrosefalus terjadi akibat peningkatan produksi CSS ataupun karena
adanya gangguan sirkulasi dan absorbsi CSS. Pada tumor otak, massa
tumor akan mengobstruksi aliran dan absorbsi CSS sehingga memicu
terjadinya hidrosefalus.
c. Herniasi Otak
Peningkatan tekanan intracranial dapat mengakibatkan herniasi
sentra, unkus, dan singuli. Herniasi serebellum akan menekan
mesensefalon sehingga menyebabkan hilangnya kesadaran dan
menekan saraf otak ketiga (okulomotor) (Fransisca, 2008).
2. Epilepsi
Epilepsi diakibatkan oleh adanya perangsangan atau gangguan di dalam
selaput otak (serebral cortex) yang disebabkan oleh adanya massa tumor
(Yustinus, 2006).
3. Berkurangnya fungsi neurologis
Gejala berkurangnya fungsi neurologis karena hilangnya jaringan otak
adalah khas bagi suatu tumor ganas (Wim, 2002). Penurunan fungsi
neurologis ini tergantung pada bagian otak yang terkena tumor.
4. Ensefalopati radiasi
5. Metastase ke tempat lain
6. Kematian
WOC TUMOR OTAK SECARA UMUM
Mengenai lobus oksipitalis Pertumbuhan Sel yang Abnormal Obstruksi cairan Peregangan Epidural
serebrospinal dari ventrikel
lateral ke sub arachnoid
Gangguan visual TUMOR OTAK Nyeri Kepala
HIDROSEPALUS Papiledema
Penambahan Massa Otak dan atau Cairan Otak
Kerusakan pembuluh darah otak Kompresi jaringan otak Mengenai lobus frontalis Mengenai batang otak Bergesernya ginus
terhadap sirkulasi darah & O2 medialis lobus temporal
ke inferior melalui
Perpindahan cairan intravaskuler Kompresi daerah motorik Iritasi pusat vagal di
insisura tentorial
ke jaringan serebral Penurunan suplai O2 ke medula oblongata
jaringan otak akibat obstruksi
Hemiparesis
Herniasi medula
Volume intrakranial naik (PTIK) Mual & Muntah oblongata
Iskemik MK. Gangguan
Menggangu fungsi spesifik Mobilitas Fisik MK. Nutrisi
MK. Gangguan Perfusi Menekan pusat saraf napas
bagian otak tempat tumor Kurang dari
Jaringan Cerebral Kebutuhan Tubuh
Mengenai lobus parietalis
MK. Ketidakefektifan
MK. Nyeri Kronis
MK. Risiko Pola Napas
Kejang fokal
Tinggi Cedera
B. Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Data Demografi
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur,
agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin,
status perkawinan, dan penanggung biaya.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Biasanya klien mengeluh nyeri kepala yang hilang timbul dan
durasinya makin meningkat
b. Riwayat penyakit saat ini
c. Klien mengeluh nyeri kepala saat perubahan posisi dan dapat
meningkat dengan aktivitas, vertigo, muntah proyektil, perubahan
mental seperti disorientasi, letargi, papiledema, penurunan tingkat
kesadaran, penurunan penglihatan atau penglihatan double,
ketidakmampuan sensasi (parathesia atau anasthesia), hilangnya
ketajaman atau diplopia.
d. Riwayat penyakit dahulu
Klien pernah mengalami pembedahan kepala atau trauma kepala,
riwayat tumor/kanker sebelumnya.
e. Riwayat penyakit keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang
mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang, yaitu
riwayat keluarga dengan tumor kepala.
3. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Perubahan kepribadian dan perilaku klien, perubahan mental, kesulitan
mengambil keputusan, kecemasan dan ketakutan hospitalisasi,
diagnostic test dan prosedur pembedahan, adanya perubahan peran.
4. Perkemihan B4 (Bladder)
Gangguan kontrol sfinkter urine, kebersihan, bentuk alat kelamin
normal, uretra normal, dan produksi urin normal.
5. Pencernaan B5 (Bowel)
Mual dan muntah terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial
sehingga menekan pusat muntah pada otak. Gejala mual dan muntah
ini biasanya akan diikuti dengan penurunan nafsu makan pada
pasien. Kondisi mulut bersih dan mukosa lembab
6. Muskuloskeletal/integument B6 (Bone)
Keterbatasan pergerakan anggota gerak karena kelemahan bahkan
kelumpuhan. Kemampuan pergerakan sendi bebas, kondisi tubuh
kelelahan.
2. Diagnosis Keperawatan
Nyeri kronis berhubungan dengan perembesan tumor: peningkatan
tekanan intrakranial.
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penekanan medula
oblongata.
Resiko perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan
peningkatan tekanan intrakranial, pembedahan tumor, edema
serebri.
Resiko cedera berhubungan dengan vertigo sekunder terhadap
hipotensi ortostatik.
Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan efek kemoterapi dan radioterapi.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan sensorik
dan motorik
Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan nyeri akibat tidak
mampu menggerakan leher.
Diagnosis, Luaran (NOC) dan Intervensi (NIC) Keperawatan
Diagnosis Keperawatan NOC NIC
1. Nyeri Kronik 1. Kontrol Nyeri 1. Manajemen Nyeri
Aktivitas :
Ds : Kriteria Hasil : Dipertahankan 1 dipertahankan
5 a. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif
1. Mengeluh nyeri
dengan teknik PQRST
2. Merada depresi (tertekan) 1. Mengenali kapan nyeri terjadi
b. Gunakan strategi komunikasi terapeutik
DO : 2. Menggambarkan faktor penyebab nyeri untuk mengetahui pengalaman nyeri
c. Berikan informasi mengenai nyeri, seperti
1. Tampak meringis 3. Tindakan pengurangan nyeri (tanpa
penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
2. Gelisah analgesik)
dirasakan dan diantisipasi dari
3. Tidak mampu menentukan
4. Melaporkan nyeri terkontrol ketidaknyamanan akibat prosedur.
aktivitas
2. Tingkat Nyeri d. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
4. Bersikap protektif
e. Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan
5. Pola tidur berubah Kriteria Hasil : Dipertahankan 1 ditingkatkan 5
menangani nyerinya dengan tepat.
6. Anoreksia
1. Nyeri yang dilaporkan f. Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat
Berfokus pada diri sendiri
dan tim kesehatan lainnya untuk memilih
Ekspresi wajah nyeri
dan mengimplementasikan tindakan
penurunan nyeri sesuai kebutuhan.
2. Pemberian Analgesik
Aktivitas :
Sylvia, P., & Wilson, L. (2013). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses - Proses
Penyakit. (H. Hartanto & N. Susi, Eds.) (Edisi 6 Vo). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.