Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

HIV-AIDS

A. Landasan teori
1. Anatomi dan Fisiologi
Sistem imun adalah sistem yang membentuk kemampuan tubuh untuk
melawan bibit penyakit dengan menolak berbagai benda asing yang masuk
ke tubuh agar terhindar dari penyakit (Irianto, 2012). Menurut Fox (2008),
sistem imun mencakupi semua struktur dan proses yang menyediakan
pertahanan tubuh untuk melawan bibit penyakit dan dapat di kelompokkan
menjadi dua kategori yaitu; sistem imun bawaan (innate) yang bersifat
non-spesifik dan sistem imun adaptif yang bersifat spesifik.
Daya tahan tubuh non-spesifik yaitu daya tahan terhadap berbagai bibit
penyakit yang tidak selektif, artinya tubuh seseorang harus mengenal
dahulu jenis bibit penyakitnya dan tidak harus memilihnya satu bibit
penyakit tertentu saja untuk dihancurkannya. Adapun daya tahan tubuh
spesifik yaitu daya tahan tubuh yang khusus untuk jenis bibit penyakit
tertentu saja. Hal ini mencakup pengenalan dahulu terhadap bibit penyakit,
kemudian memproduksi antibodi atau T-limfosit khusus yang hanya akan
bereaksi terhadap bibit penyakit tersebut (Irianto, 2012). Daya tahan tubuh
non-spesifik mencakup rintangan mekanis (kulit), rintangan kimiawi
(lisozim dan asam lambung), sistem komplemen (opsinon, histamin,
kemotoksin, dan kinin), interferon, fagositosis, demam, dan radang.
Daya tahan tubuh spesifik atau imunitas dibagi menjadi imunitas
humoral yang menyangkut reaksi antigen dan antibodi yang komplementer
di dalam tubuh dan imunitas seluler yang menyangkut reaksi sejenis sel
(T-limfosit) dengan antigen di dalam tubuh (Irianto, 2012).
Menurut Irianto (2012), secara umum sistem imun memiliki fungsi
sebagai berikut:
a. pembentuk kekebalan tubuh.
b. Penolak dan penghancur segala bentuk benda asing yang masuk ke
dalam tubuh.
c. Pendeteksi adanya sel abnormal, infeksi dan patogen yang
membahayakan.
d. Penjaga keseimbangan komponen dan fungsi tubuh.
Fox (2008) mengatakan bahwa sel-sel fagosit dalam innate immunity
terdiri atas tiga kelompok besar, yaitu; neutrofil, sel-sel mononuclear
fagosit sistem yang terdiri atas monosit di dalam darah dan makrofag di
jaringan ikat, serta organ fagosit yang spesifik seperti hati, spleen, limpa,
paru-paru, dan otak (mikroglia). Neurofil dan monosit merupakan jenis sel
leukosit yang berperan dalam aktivitas pertahanan tubuh terhadap benda
asing yang masuk ke tubuh secara fagositosis. Menurut Irianto (2012), sel
leukosit memiliki warna yang bening dan terdapat di dalam darah manusia,
bentuknya lebih besar bila dibandingkan dengan sel darah merah
(eritrosit), tetapi jumlahnya lebih sedikit.

2. Defenisi HIV-Aids
HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia
yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu
yang relatif lama dapat menyebabkan AIDS. HIV menyerang salah satu
jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi terutama sel
limfosit yang memiliki CD4 (penanda yang berada di permukaan limfosit).
Normalnya pada orang dengan kekebalan tubuh yang baik CD4 berkisar
1400-1500. Penurunan nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang yang
mengalami gangguan kekebalan tubuh salah satunya penderita HIV, nilai
CD4 akan menurun dan cenderung mendekati nol (KPA, 2007).
HIV termasuk keluarga lentivirus atau retroviridae yakni tipe virus
yang memasukan materi genetiknya ke dalam sel tuan rumah ketika
melakukan cara infeksi dengan cara yang berbeda (retro), yaitu dari RNA
menjadi DNA, yang kemudian menyatu dalam DNA sel tuan rumah,
membentuk pro virus dan kemudian melakukan replikasi. Virus HIV
ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan
vagina dan air susu ibu. Virus tersebut merusak kekebalan tubuh manusia
dan mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga
mudah terjangkit penyakit infeksi.
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan
gejala penyakit karena menurunnya sistem kekebalan tubuh yang
disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus
yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap
HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa
pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai
infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi
ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik (Zein, 2006).

3. Etiologi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus
penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili
lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya
nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini
mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag,
pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang
penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu
protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat
dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada
HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein
Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu
keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef
menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi
sel yang lain (Brooks, 2005).
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah
limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul
permukaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer
informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim
yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya
fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif
(Borucki, 1997).
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi
mukosa dan viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu.
Selama masa ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ
limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon
imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi,
viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun
tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini
bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi
virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV
dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam
plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari.
Limfosit TCD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena
cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase
HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV
mungkin bermutasi dalam basis harian (Brooks, 2005).
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan
penyakit klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma.
Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap
infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama
tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan
pada awal infeksi (Brooks, 2005).

4. Manifestasi Klinis
Penyakit yang berkaitan dengan infeksi HIV dan penyakit AIDS
terjadi akibat infeksi dan efek langsung HIV pada jaringan tubuh. Adanya
HIV dalam tubuh seseorang tidak dapat dilihat dari penampilan luar. Orang
yang terinfeksi tidak akan menunjukan gejala apapun dalam jangka waktu
yang relatif lama (±7-10 tahun) setelah tertular HIV. Masa ini disebut masa
laten. Orang tersebut masih tetap sehat dan bisa bekerja sebagaimana
biasanya walaupun darahnya mengandung HIV.Dari masa laten kemudian
masuk ke keadaan AIDS dengan gejala sebagai berikut:
 Gejala Mayor :
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
 Gejala Minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster
berulang
c. Kandidias orofaringeal
d. Limfadenopati generalisata
e. Ruam
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS
dapat dibagikan mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar
3-6 minggu selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul
adalah demam, faringitis, limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia,
letargi, malaise, anorexia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare,
meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy, mucocutaneous
ulceration, dan erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini
muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam
kulit, faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi
melalui jarum suntik narkoba daripada kontak seksual. Selepas
beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat respon sistem
imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan
mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini
virus HIV akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat
pengembangan penyakit secara langsung berkorelasi dengan tingkat
RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang tinggi
lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien dengan
tingkat RNA virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau
lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi
tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

5. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik


a. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi. Kelebihan teknik ELISA
yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100% . Biasanya
memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah
menggunakan antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap
envelope dan core.
b. Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari
suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul
lain. Biasanya protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah
jenis antigen yang mempunyai makna klinik, seperti gp120 dan
gp41.Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%.
Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24
jam (Hanum, 2009).
c. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi
maternal masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara
serologis maupun status infeksi individu yang seronegatif pada
kelompok risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab
sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2. Pemeriksaan CD4 dilakukan
dengan melakukan imunophenotyping yaitu dengan flow cytometry dan
cell sorter. Prinsip flowcytometry dan cell sorting (fluorescence
activated cell sorter, FAST) adalah menggabungkan kemampuan alat
untuk mengidentifasi karakteristik permukaan setiap sel dengan
kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi
menurut karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu
celah, yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati
berkas sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh
instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik
molekul pada permukaan sel manapun yang terdapat di dalam sel dapat
diidentifikasi dengan menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai.
Dengan demikian, alat itu dapat mengidentifikasi setiap jenis dan
aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-masing dalam suatu
populasi campuran.

6. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan


a. Penatalaksanaan Medis
1) Pengendalian Infeksi Oportunistik
i. Pemberian profiklaktik untuk PCP dimulai bila cCD4, 250
mm/mm3. Dengan kotrimokzasol dua kali/minggu. Dosis 2 tablet,
atau dengan aerosol pentamidine 300mg, dan dapsone atau
fansidar.
ii. Prokfilaksis untuk TBC dimulai bila PDD>=5mm, dan pasien
anergik. Dipakai INH 300mg po qd dengan vit.b6, atau rifampisin
600mg po qd bila intolerans INH.
iii. Profilaksis untuk MAI (mycobacterium avium intracelulare), bila
CD4 , 200/mm3, dengan frukanazol poq minggu, bila pernah
menderita oral kandidiasis, sebelumnya.
iv. Belum direkomendasikan untuk profilaksis kandidiasis, karena
cepat timbul resistensi obat disamping biaya juga mahal.
2) Obat Retrovirus
i. Zidovudine (AZT)
Berfungsi sebagai terapi pertama anti retrovirus.
Pemakaian obat ini dapat menguntungkan diantaranya yaitu
Dapat memperpanjang masa hidup (1-2 tahun), mengurangi
frekuensi dan berat infeksi oportunistik, menunda progresivitas
penyakit, memperbaiki kualitas hidup pasien, mengurangi resiko
penularan perinatal, mengurangi kadar Ag p24 dalam serum dan
cairan spinal. Efek samping zidovudine adalah: sakit kepala,
nausea, anemia, neutropenia, malaise, fatique, agitasi, insomnia,
muntah dan rasa tidak enak diperut. Setelah pemakaian jangka
panjang dapat timbul miopati. Dosis yang se006Barang dipakai
200mg po tid, dan dosis diturunkan menjadi 100mg po tid bila
ada tanda-tanda toksik.
ii. Didanosine ( ddl ), Videx
Merupakan terapi kedua untuk yang terapi intoleransi
terhadap AZT, atau bisa sebagai kombinasi dengan AZT bila
ternyata ada kemungkinan respon terhadap AZT menurun.
Untuk menunda infeksi oportunistik respon terhadap AZT
menurun. Untuk menunda infeksi oportunistik pada ARC dan
asimtomatik hasilnya lebih baik daripada AZT. Efek samping:
neuropati perifer, pankreatitis (7%), nausea, diare. Dosis: 200mg
po bid ( untuk BB >60kg), 125mg po bid (untuk BB < 60kg)
Mulanya hanya dipakai untuk kombinasi denganAZT. Secara
invitro merupakan obat yang paling kuat, tapi efek samping
terjadinya neuropati ( 17-31%) dan pankreatitis. Dosis : 0,75mg
po tid.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Fisik
Aspek fisik pada PHIV ( pasien terinfeksi HIV ) adalah
pemenuhan kebutuhan fisik sebagai akibat dari tanda dan gejala
yang terjadi. Aspek perawatan fisik meliputi :
a) Universal Precautions
Universal precautions adalah tindakan pengendalian
infeksi sederhana yang digunakan oleh seluruh petugas
kesehatan, untuk semua pasien setiap saat, pada semua tempat
pelayanan dalam rangka mengurangi risiko penyebaran infeksi.
Selama sakit, penerapan universal precautions oleh
perawat, keluraga, dan pasien sendiri sangat penting. Hal ini di
tunjukkan untuk mencegah terjadinya penularan virus HIV.
Prinsip-prinsip universal precautions meliputi:
1). Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh. Bila
mengenai cairan tubuh pasien menggunakan alat
pelindung, seperti sarung tangan, masker, kacamata
pelindung, penutup kepala, apron dan sepatu boot.
Penggunaan alat pelindung disesuakan dengan jenis
tindakan yang akan dilakukan.
2). Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan,
termasuk setelah melepas sarung tangan.
3). Dekontaminasi cairan tubuh pasien.
4). Memakai alat kedokteran sekali pakai atau mensterilisasi
semua alat kedokteran yang dipakai (tercemar).
5). Memelihara kebersihan tempat pelayanan kesehatan.
6). Membuang limbah yang tercemar berbagai cairan tubuh
secara benar dan aman.
b) Peran perawat dan pemberian ARV
1). Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah:
(a) Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya resistensi.
(b) Meningkatkan efektivitas dan lebih menekan
aktivitas virus. Bila timbul efek samping, bisa
diganti dengan obat lainnya, dan bila virus mulai
rasisten terhadap obat yang sedang digunakan bisa
memakai kombinasi lain.
2). Efektivitas obat ARV kombinasi:
(a) AVR kombinasi lebih efektif karena memiliki
khasiat AVR yang lebih tinggi dan menurunkan
viral load lebih tinggi dibandingkan dengan
penggunaan satu jenis obat saja.
(b) Kemungkinan terjadi resistensi virus kecil, akan
tetapi bila pasien lupa minum dapat menimbulkan
terjadinya resistensi.
(c) Kombinasi menyebabkan dosis masing-masing obat
lebih kecil, sehingga kemungkinan efek samping
lebih kecil.
c) Pemberian nutrisi
Pasien dengan HIV/ AIDS sangat membutuhkan vitamin dan
mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari yang biasanya
diperoleh dalam makanan sehari- hari. Sebagian besar ODHA
akan mengalami defisiensi vitamin sehingga memerlukan
makanan tambahan
HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan
penyerapan nutrient. Hal ini berhubungan dengan menurunnya
atau habisnya cadangan vitamin dan mineral dalam tubuh.
Defisiensi vitamin dan mineral pada ODHA dimulai sejak
masih dalam stadium dini. Walaupun jumlah makanan ODHA
sudah cukup dan berimbang seperti orang sehat, tetapi akan
tetap terjadi defisiensi vitamin dan mineral.
d) Aktivitas dan istirahat
(a) Manfaat olah raga terhadap imunitas tubuh
Hamper semua organ merespons stress olahraga. Pada
keadaan akut , olah raga akan berefek buruk pada
kesehatan, olahraga yang dilakukan secara teratur
menimbulkan adaptasi organ tubuh yang berefek
menyehatkan
(b) Pengaruh latihan fisik terhadap tubuh
(1) Perubahan system tubuh
Olahraga meningkatkan cardiac output dari 5
i/menit menjadi 20 1/menit pada orang dewasa sehat.
Hal ini menyebabkan peningkatan darah ke otot skelet
dan jantung.
(2) Sistem pulmoner
Olahraga meningkatkan frekuensi nafas,
meningkatkan pertukaran gas serta pengangkutan
oksigen, dan penggunaan oksigen oleh otot.
(3) Metabolisme
Untuk melakukan olah raga, otot memerlukan energi.
Pada olah raga intensitas rendah sampai sedang,
terjadi pemecahan trigliserida dan jaringa adiposa
menjadi glikogen dan FFA (free fatty acid). Pada
olahraga intensitas tinggi kebutuhan energy
meningkat, otot makin tergantung glikogen sehingga
metabolisme berubah dari metabolisme aerob menjadi
anaerob
2. Psikologis (strategi koping)
Mekanisme koping terbentuk melalui proses dan mengingat.
Belajar yang dimaksud adalah kemampuan menyesuaikan diri
(adaptasi) pada pengaruh internal dan eksterna
3. Sosial
Dukungan sosial sangat diperlukan PHIV yang kondisinya sudah
sangat parah. Individu yang termasuk dalamdan memberikan
dukungan social meliputi pasangan (suami/istri), orang tua, anak,
sanak keluarga, teman, tim kesehatan, atasan, dan konselor.

7. Komplikasi
a. Oral lesi
1) Kandidiasis oral
Kandidiasis oral adalah suatu infeksi jamur, hampir terdapat
secara universal pada semua penderita AIDS serta keadaan yang
berhubungan dengan AIDS. Infeksi ini umumnya mendahului infeksi
serius lainnya. Kandidiasi oral ditandai oleh bercak-bercak putih
seperti krim dalam rongga mulut. Tanda –tanda dan gejala yang
menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit serta nyeri dan rasa
sakit di balik sternum (nyeri retrosternal). Sebagian pasien juga
menderita lesi oral yang mengalami ulserasi dan menjadi rentan
terutama terhadap penyebaran kandidiasis ke sistem tubuh yang lain.
2) Sarcoma Kaposi
Sarcoma Kaposi (dilafalkan KA- posheez), yaitu kelainaan
malignitas yang berkaitan dengan HIV yang sering ditemukan ,
merupakan penyakit yang melibatkan lapisan endotil pembuluh darah
dan limfe.
b. Neurologik
1) Kompleks dimensi AIDS karena serangan langsung HIV pada sel
saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan, kemampuan
motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial. Sebagian basar
penderita mula-mula mengeluh lambat berpikir atau sulit
berkonsentrasi dan memusatkan perhatian. Penyakit ini dapat
menuju dimensia sepenuhnya dengan kelumpuhan pada stadium
akhir. Tidak semua penderita mencapai stadium akhir ini.
2) Enselophaty akut karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ ensefalitis. Dengan efek
sakit kepala, malaise, demam, paralise total/ parsial. Ensefalopati
HIV. Disebut pula sebagai kompleks demensia AIDS (ADC; AIDS
dementia complex), ensefalopati HIV terjadi sedikitnya pada dua
pertiga pasien –pasien AIDS. Keadaan ini berupa sindrom klinis
yang ditandai oleh penurunan progresif pada fungsi kognitif,
perilaku dan motorik. Tanda –tanda dan gejalanya dapat samar-
samar serta sulit dibedakan dengan kelelahan, depresi atau efek
terapi yang merugikan terhadap infeksi dan malignansi
3) Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik,
dan menarik endokarditis.
4) Neuropati karena inflamasi demielinasi oleh serangan HIV dengan
disertai rasa nyeri serta patirasa pada akstremitas, kelemahan,
penurunan refleks tendon yang dalam, hipotensi orthostatik dan
impotensi.
c. Gastrointestinal
1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma dan sarkoma Kaposi. Dengan efek penurunan berat badan,
anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma kaposi, obat
illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen,
ikterik, demam atritik.
3) Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit,
nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.
d. Respirasi
Infeksi karena pneumocystic carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloidiasis dengan efek nafas pendek, batuk,
nyeri, hipoksia, keletihan gagal nafas.
e. Dermatologi
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis ,
reaksi otot, lesi scabies, dan dekopitus dengan efek nyeri, gatal, rasa
terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.
f. Sensorik
1. Pandangan: Sarkoma kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan.
2. Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri.
8. WOC
B. Landasan Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a) Identitas klien
HIV/AIDS bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan diseluruh
dunia. Namun ada beberapa perbedaan penting, hasil dari beberapa
penelitian menunjukkan bahwa dengan jumlah CD4 yang sama,
perempuan dengan HIV positif mempunyai jumlah virus yang lebih
rendah daripada laki-laki dengan HIV positif, jumlah virus bisa
menghilang dengan berlalunya waktu. Hasil penelitian juga menyatakan
bahwa perempuan dengan HIV positif bisa meninggal lebih cepat
daripada laki-laki .
b) Riwayat kesehatan
 Keluhan utama
Keluhan yang paling sering terjadi seperti demam dan penurunan
berat >10% tanpa sebab disertai dengan diare
 Riwayat kesehatan sekarang
Klien merasakan sariawan yang tak kunjung sembuh, diare kronik
selama 1 bulan terus-menerus, demam berkepanjangan. Umumnya
infeksi HIV/AIDS ditularkan kepada bayi ketika dalam kandungan
atau masa menyusui.
 Riwayat kesehatan dulu
Pada pasien HIV/AIDS sering dijumpai riwayat yang bergonta-
ganti pasangan maupun menggunakan jarum suntik, transfusi darah
yang mengandung HIV.

c) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Umumnya pasien dengan infeksi HIV/AIDS akan menunjukkan
keadaan yang kurang baik karena mengalami penurunan BB (>10%)
tanpa sebab, diare kronik tanpa sebab sampai >1 bulan, demam
menetap.
b. Tanda-tanda vital
 Tekanan darah normal atau sedikit menurun.
 Denyut perifer kuat dan cepat.
c. Body sistem
 Sistem neurologi
 Sistem penglihatan
Inspeksi : mata anemia, gangguan refleks pupil, vertigo
 Sistem pendengaran
Inspeksi : kehilangan pendengaran dengan efek nyeri yang
berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus
dan reaksi-reaksi otot
 Sistem pengecapan
Inspeksi : lesi pada rongga mulut, adanya selaput
putih/perubahan warna mucosa mulut
 Sistem integumen
Inspeksi : munculnya bercak-bercak gatal diseluruh tubuh yang
mengarahkan kepada penularan HIV/AIDS menuju jarum
suntik , turgor kulit jelek.
 Sistem endokrin
Inspeksi : terdapat pembengkakan pada kelenjar getah bening
Palpasi : teraba pembesaran kelenjar getah bening.
 Sistem pulmoner
Inspeksi : batuk menetap lebih dari 1 bulan, bentuk dada barrel
chest.
 Sistem kardiovaskuler
Inspeksi : sianosis, hipotensi, edema perifer
Palpasi : Takikardi
 Sistem gastrointestinal
Inspeksi : diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan, berat
badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
 Sistem urologi
Pada kondisi berat didapatkan penurunan urine output respons
dari penurunan curah jantung
 Sistem muskulokeletal
Respon sistemik akan menyebabkan malaise, kelemahan fisik,
dan di dapatkan nyeri otot ekstremitas.
 Sistem imunitas
Inspeksi : pasien dengan HIV/AIDS cenderung mengalami
penurunan imun akibat rusaknya CD4.
 Sistem perkemihan
Inspeksi : tidak mengalami perubahan pada produsi urine
Palapasi : nyeri tekan abdominal
 Sistem reproduksi
Inspeksi :  pada ibu penderita HIV positif kepada bayinya ketika
dalam kandungan atau saat melahirkan atau melalui air susu ibu
(ASI)
d. Fungsional Gordon :
 Pola persepsi :
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan
mempengaruhi pengetahuan dan kemampuan dalam merawat
diri.
 Pola nutrisi metabolik :
Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit,
Keluarga mengatakan saat masuk RS pasien hanya mampu
menghabiskan ⅓ porsi makanan, Saat pengkajian keluarga
mengatakan pasien sedikit minum, sehingga diperlukan terapi
cairan intravena.
 Pola eliminasi
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma dan sarkoma Kaposi. Dengan efek penurunan berat
badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi Pola
aktivitas dan latihan.
 Pola aktifitas dan latihan
Pasien merasa terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan
fisik, tetapi pasien mampu untuk duduk, berpindah, berdiri dan
berjalan.
 Pola tidur dan istirahat
Istirahat tidak efektif, pasien tidak bias tidur nyenyak, pikiran
kacau dan terus gelisah.
 Kognitif persepsi
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan
interpersonal dan peran serta mengalami tambahan dalam
menjalankan perannya selama sakit
 Persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri.
 Peran hubungan
 Seksualitas
Virus HIV bias berpindah melaui perilaku seksual menyipang
seperti lesbian, biseksual, gay, transgender. Bergonta ganti
pasangan dan seks bebas juga merupakan salah satu cara
penularan HIV
 Koping toleransi
Stres timbul akibat pasien tidak efektif dalam mengatasi
masalah penyakitnya
 Nilai keprercayaan
Timbulnya distres dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan
menjadi cemas dan takut, serta kebiasaan ibadahnya akan
terganggu.
2) Diagnosis Keperawatan
1. Gangguan Nutrisi Kurang dari
Kebutuhan Tubuh
2. Resiko Kekurangan Volume Cairan
3. Resiko Kerusakan Integritas Kulit
4. Nyeri Akut
5. Resiko Tinggi Cedera
6. Intoleransi Aktivitas
7. Gangguan Pola Napas
3) Luaran (NOC) dan Intervensi (NIC) Keperawatan
Diagnosis Keperawatan NOC NIC
Kekurangan nutrisi dari kebutuhan tubuh Status Nutrisi ; 1.
Asupan makanan dan cairan, yang
b.d Ketidakmampuan menelan makanan, Aktivitas :
dibuktikan oleh indikator sebagai berikut
mencerna makanan, mengabsorbsi nutrisi ( sebutkan 1-5 : tidak adekuat, sedikit  Tentukan stats gizi pasien dan
adekuat, cukup adekuat, adekuat, sangat
DO : kemampuan untuk memenuhi
adekuat) :
a) Bising usus hiperaktif  makanan oral. kebutuhan gizi
b) Otot pengunyah lemah  Pemberian makanan lewat selang,
 Identifikasi adanya alergi/
atau nutrisi parental total.
c) Otot menelan melemah  Asupan cairan oral atau IV intoleransi makanan
d) Membran mukosa pucat  Instruksikan pasien mengenai
e) Sariawan kebutuhan nutrisi
f) Serum albumin turun  Tentukan jumlah kalori dan nutrisi
g) Rambut rontok berlebih yang dibutuhkan untuk memenuhi
DS: persyaratan gizi
• Pasien mengatakan  Kolaborasi pengaturan diet yang
Kram/nyeri abdomen diperlukan
Pasien mengatakan Nafsu makan  Anjurkan pasien terkait dengan
menurun kebutuhan diet untuk kondisi sakit
 Monitor kalori dan asupan
makanan
 Monitor kecenderungan terjadinya
penurunan dan kenaikan berat
badan
2.
Aktivitas :
 Pantau kadar elektrolit yang
abnormal
 Monitor perubahan status paru
atau jantung yang menunjukkan
kelebihan cairan/dehidrasi
 Dapatkan spesimen laboratorium
untuk pemantauan perubahan
cairan/ elektrolit
 Berikan cairan, yang sesuai
 Pastikan bahwa larutan IV yang
mengandung elektrolit diberikan
dengan aliran yang konstan
Jaga pencatatan intake dan output
yang akurat
Kekurangan Volume Cairan 1. 1) Manajemen Cairan
berhubungan dengan Kehilangan Aktivitas :
Indikator :
Volume Cairan Secara Aktif  Mempertahankan keakuratan
Definisi : penurunan cairan  Tekanan darah dalam batas catatan intake dan output
Intravaskuler, Interstisial, dan atau  Memonitor status hidrasi
normal
Intrasel. Diagnosis ini mengacu pada (kelembaban membran mukosa,
dehidrasi yang merupakan kehilangan  Keseimbangan intake dan nadi, tekanan darah ortostatik ),
cairan saja tanpa perubahan dalam jika diperlukan
natrium. output selama 24 jam
 Memonitor vital sign
Batasan Karakteristik :  Turgor kulit baik  Memonitor hasil labor yang sesuai
 Perubahan status mental dengan retensi cairan (BUN, Ht,
 Penurunan tekanan darah  Membran mukosa lembab
osmolalitas urin)
 Penurunan volume/ tekanan nadi  Hematokrit dalam batas normal  Memonitor masukan makanan/
 Penurunan turgor kulit/ lidah cairan dan hitung intake kalori
 Pengisian vena menurun harian
 Membran mukosa/ kulit kering 2 Hidrasi  Berkolaborasi untuk pemberian
 Peningkatan hematokrit meninggi cairan IV
Indikator :
 Peningkatan denyut nadi 2) Monitor Cairan
 Konsentrasi urine meningkat  Turgor kulit baik Aktivitas :
 Kehilangan berat badan seketika  Menentukan faktor resiko dari
 Membran mukosa lembab
 Kehausan ketidakseimbangan cairan
 Kelemahan  Intake cairan dalam batas normal (polyuria, muntah, hipertermi)
 Memonitor intake dan output
 Pengeluaran Urin dalam batas
 Memonitor serum dan jumlah
normal elektrolit dalam urin
 Memonitor serum albumin dan
jumlah protein total
 Memonitor serum dan osmolaritas
urin
 Mempertahankan keakuratan
catatan intake dan output
 Memonitor warna, jumlah dan
berat jenis urin.
3) Terapi Intravena
Aktivitas :
 Periksa tipe, jumlah, expire date,
karakter dari cairan dan kerusakan
botol
 Tentukan dan persiapkan pompa
infuse IV
 Hubungkan botol dengan selang
yang tepat
 Atur cairan IV sesuai suhu
ruangan
 Kenali apakah pasien sedang
penjalani pengobatan lain yang
bertentangan dengan pengobatan
ini
 Atur pemberian IV, sesuai resep,
dan pantau hasilnya
 Pantau jumlah tetes IV dan tempat
infus intravena
 Pantau terjadinya kelebihan cairan
dan reaksi yang timbul
 Pantau kepatenan IV sebelum
pemberian medikasi intravena
 Ganti kanula IV, apparatus, dan
infusate setiap 48 jam, tergantung
pada protocol
 Perhatikan adanya kemacetan
aliran
 Periksa IV secara teratur
 Pantau tanda-tanda vital
 Batas kalium intravena adalah 20
meq per jam atau 200 meq per 24
jam
 Catat intake dan output
 Pantau tanda dan gejala yang
berhubungan dengan infusion
phlebitis dan infeksi lokal
Ketidakefektifan bersihan jalan napas  Status pernapasan : status Monitor pernapasan :
berdasarkan pneumonia carinii (PCVP) ventilasi dan pernapasan yang a) Pantau kecepatan, irama,
peningkatan sekresi bronkus dan tidak terganggu ; kepatenan jalan kedalaman dan upaya pernapasan
penurunan kemampuan untuk batuk napas ; dan tidak ada b) Perhatikan pergerakan
menyertai kelemahan serta keadaan penyimpangan tanda vital dari dada, amati kesimentrisan,
mudah letih d.d rentang normal penggunaan otot-otot bantu, serta
 Status pernapasan : ventilasi tidak retraksi otot supraklavikular dan
terganggu, yang dibuktikan oleh interkosta
c) Pantau pola pernapasan :
DO: indikator gangguan sebagai bradipnea; takipnea; hiperventilasi;
berikut ( sebutkan 1-5 : gangguan pernapasan kussmaul; pernapasan
 Batuk tidak efektif ekstrem, berat, sedang, ringan, cheyne-stokes; dan pernapasan
tidak ada gangguan apneastik, pernapasan biot dan pola
 Tidak mampu batuk
ataksik
 Sputum berlebih d) Perhatikan lokasi trakea
 Mengi, wheezing dan ronkhi e) Auskultasi suara napas,
kering perhatikan area penurunan/ tidak
 Mekonium di jalan napas (pada adanya ventilasi dan adanaya suara
neonatus) napas tambahan
f) Pantau peningkatan
DS: kegelisahan, ansietas, dan lapar udara
g) Catat perubahan pada
 Pasien mengatakan sesak nafas SaO2, CO2 akhir-tidal, dan nilai gas
darah arteri (GDA), jika perlu.
(dispnea)
 Pasien mengatakan Sulit bicara
 Ortopnea
DAFTAR PUSTAKA

Bararah, T., & Jauhar, M. (2013). Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap


Menjadi Perawat profesional. Jakarta: Media Pustaka.
Brook. (2005). HIV-Aids. Singapore : Elsevier
Desmon. (2015). Epidemiologi HIV/AIDS. Bogor: IN MEDIA- Anggota IKAPI.
Gallant, J. (2010). HIV dan AIDS. Jakarta: PT indeks.
Katiandagho, D. (2015). Epidemiologi HIV/AIDS. BOGOR: IN MEDIA-Anggota
IKAPI.
Irianto. (2012). Asuhan Keperawatan Penyakit
tropis. Jakarta: CV.TRANS MEDIA.
Muttaqin. (2011). Gangguan Gastrointestinal:Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan
Keperwatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan Nanda NIC-
NOC Jilid 1. jogjakarta: Mediafiction Jogja.
PPNI, T. p. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan:
Dewan Pengurus Pusat.
Wilkinson, & Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi-
9. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai