Anda di halaman 1dari 32

ULKUS GENITAL

A. Pendahuluan

Ulkus genital adalah lesi ulseratif atau tukak pada alat kelamin dengan

atau tanpa pembesaran kelenjar limfe regional yang dapat disebabkan oleh

infeksi menular seksual dan non-infeksi menular seksual.[1]

World Health Organization (WHO) memperkirakan dalam dekade

terakhir, terdapat 340 juta kasus baru penyakit menular seksual dengan

prevalensi paling banyak berada pada negara berkembang.[2] Penyakit

menular seksual sering kali menimbulkan gejala berupa luka pada alat

kelamin (genital ulcer) dalam perjalanan penyakitnya.[3] Penyakit infeksi

menular seksual dengan karakteristik luka pada alat kelamin adalah Herpes

Simpleks (HSV), Syphilis (Treponema pallidum), Chancroid (Haemophilus

ducreyi), Granuloma Inguinal (Donovanosis; Calymmatobacterium

granulomatis), dan Lymphogranuloma Venereum (Chlamydia

trachomatis).[4]

Penyebab ulkus genital non-infeksi menular seksual adalah trauma,

sindrom Bechet, dan erupsi obat. Di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa

ulkus genital oleh infeksi menular seksual lebih sering dijumpai daripada

ulkus genital non-infeksi menular seksual[4]

1
B. Epidemiologi

Kejadian ulkus genital diperkirakan mencapai lebih dari 20 juta kasus

pertahun, dengan penyebab paling banyak yaitu Herpes Simpleks yang

diperkirakan berjumlah 2,36 juta kasus dengan prevalensi wanita lebih

banyak dari pada pria yang kejadiannya makin meningkat sesuai usia.

Penyebab berikutnya adalah Lymhogranuloma Venerum dengan jumlah

kasus 1,4 juta yang lebih banyak mengenai usia dengan kisaran 15-24 tahun.

Kejadian Syphilis dilaporkan berjumlah 19.999 kasus, lebih banyak dijumpai

pada pria dengan kisaran umur 20-24 tahun. Sementara kejadian Chancroid

dilaporkan mengalami penurunan, dan hanya didapatkan 6 kasus di USA.[5,6]

C. Etiologi

1. Infeksi Menular Seksual

a. Herpes Simpleks Genital

Herpes Simpleks disebabkan oleh virus Herpes Simpleks tipe 1

dan 2 yang merupakan virus DNA. Pembagian tipe 1 dan 2

berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur dan lokasi

klinis [7]

b. Siphilis

Penyebab sifilis pertama kali ditemukan oleh Schaudinn dan

Hofman pada tahun 1905 yaitu Treponema Pallidum yang termasuk

ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae dan genus Treponema.

Bentuknya sebagai spiral teratur, panjang antara 16-15 µm, lebar 0,15

µm, terdiri dari delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya

2
berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti pembuka botol.

Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi

setiap tiga puluh jam. Pembiakan pada umumya tidak dapat dilakukan

diluar badan. Diluar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan

dalam darah dapat hidup tujuh puluh dua jam[7]

c. Limfogranuloma Venerium

Penyebabnya adalah Chlamydia trachomatis. Penyakit yang

segolongan adalah psitakosis, trakoma, dan inclusion conjungtivitis.[7]

d. Canchroid

Canchroid atau Ulkus Mole disebabkan oleh Haemophilus

ducrey. Basil Haemophilus ducrey berbentuk batang pendek, ramping

denga ujung membulat, tidak bergerak, dan tidak membentuk spora,

gram negative anaerob fakultatif yang membutuhkan hemin untuk

pertumbuhan, mereduksi nitrat menjadi nitrit, dan mempunyai DNA

berisi guanosin plus-cytosine fraksi 0,38 mole. Basil seringkali

berkelompok, berderet membentuk rantai[7]

e. Granuloma Inguinal

Disebabkan oleh bakteri Calymatobacterium granulomatis

yang berbentuk batang pendek, tebal, tidak membentuk spora, gram

negatif, dan pada pewarnaan didapatkan bentuk polar seperti peniti,

meskipun biasa disebut pleomorfi. Kuman tersebut termauk famili

Brucellaceae dan mempunyai hubungan serologik dengan beberapa

golongan Enterobactericeae. [7]

3
2. Non-infeksi Menular Seksual

a. Trauma

Lesi traumatik seringkali muncul sebagai hasil dari hubungan

seksual yang dipaksa atau hubungan seksual yang berlebihan,

misalnya oral seks. [13]

b. Behcet Syndrom

Hingga kini etiopatogenesis Bechet Syndrom belum diketahui

dengan pasti. Namun agen infeksius, proses autuimun, dan faktor

genetik (B51) dianggap berperan penting [8]

c. Erupsi obat

Erupsi obat merupakan reaksi simpang dari obat yang tidak

dapat diduga, yang hanya terjadi pada beberapa orang yang rentan dan

tidak berhubungan dengan efek farmakologis obat, termasuk

diantaranya reaksi alergi obat. Banyak obat yang dilaporkan paling

sering menyebabkan FDE yaitu phenolphthalein, barbiturate,

sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik pyrazolone, dan obat anti

inflamasi non steroid.[14]

D. Patofisiologi

1. Infeksi Menular Seksual

4
a. Herpes Simpleks Genital

Selama infeksi primer, replikasi virus dimulai pada sel-sel

berinti di dermis dan epidermis. Setiap sel yang terinfeksi pasti

dibunuh. Jumlah sel yang terlibat menentukan apakah secara klinis

lesi akan berkembang atau hanya akan menjadi subklinis. Dalam

keadaan tersebut, ujung saraf sensoris akan terinfeksi kemudian virus

akan berpindah melalui akson ke ganglia sacralis dimana fase laten

akan terjadi. Kemudian virus akan mempertahankan dirinya pada fase

laten dalam ganglion dimana kekebalan tubuh sangat terbatas. Virus

kemudian akan keluar dari neuron sensoris ke daerah genital sehingga

periode subklinis akan berkembang menjadi lesi herpes genitalis [9]

Gambar 1. Proses Infeksi Virus Herpes Simpleks

b. Sifilis

5
T. pallidum masuk kedalam kulit melalui mikrolesi atau selaput

lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut membiak,

jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel

limfosit dan sel-sel plasma terutama di perivaskuler. Pembuluh-

pembuluh darah kecil berploriferasi dikelilingi oleh T.pallidum dan

sel-sel radang. Treponema tersebut terletak di antara endothelium

kapiler dan jaringan perivaskular di sekitarnya. Kehilangan

perdarahan akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis akan

tampak sebagai S I.

Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah

bening regional secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi

pula penjalaran hematogen dan menyebar ke semua jaringan di badan

tetapi manifestasinya akan tampak kemudian. Multiplikasi ini diikuti

oleh reaksi jaringan sebagai S II yang terjadi enam sampai delapan

minggu sesudah S I. S I akan sembuh perlahan-lahan dan menjadi

sikatriks. S II juga mengalami regresi perlahan kemudian menghilang.

Kemudian terjadilah fase laten, dimana tidak terdapat gejala

namun infeksi aktif masih terdapat. Stadium ini dapat terjadi

bertahun-tahun. Pada saat keseimbangan antara treponema dan

jaringan terganggu, saat itulah muncul S III berbentuk guma.

Meskipun pada guma tidak terdapat treponema, namun reaksinya

bersifat destruktif dan guma dapat timbul ditempat-tempat lain[7]

c. Limfogranuloma Venerium

6
Infeksi terjadi setelah kontak langsung dari kulit atau membran

mukosa partner yang telah terinfeksi. Bakteri tersebut tidak

menembus kulit yang utuh, organisme tersebut berjalan melalui

saluran limfa ke limfanodus regional, ketika ia bereplikasi dengan

makrophag maka terjadilah gejala sistemik[10]

d. Canchroid

Ada 3 faktor yang penting terhadap pathogenesis dari infeksi

H.ducreyi: perlekatan terhadap permukaan sel epitel, jumlah produksi

dari eksotoksin, dan mekanisme pertahanan tubuh. Patogenesis secara

detail belum bisa dijelaskan saat ini, dikarenakan kurangnya

penelitian, serta faktor secara khusus belum sepenuhnya dimengerti[11]

E. Diagnosis

1. Anamnesis[12]

a. Keluhan utama

b. Keluhan tambahan

c. Riwayat perjalanan penyakit

d. Siapa yang menjadi pasangan seksual (wanita/pria penjaja seks, teman,

pacar, suami/isteri)

e. Kapan kontak seksual tersangka dilakukan

f. Jenis kelamin pasangan seksual

g. Cara melakukan hubungan seksual (genito-genital, orogenital,

anogenital)

h. Penggunaaan kondom

7
i. Riwayat pemberian obat sebelumnya

j. Hubungan keluhan dengan keadaan lain: menjelang/sesudah haid,

kelelahan psikis/fisik, penggunaan obat antibiotik, kortikosteroid, dan

kontrasepsi, pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim, rangasangan

seksual, kehamilan, kontak seksual.

k. Riwayat IMS sebelumnya dan pengobatannya

l. Hari terakhir haid

m. Nyeri perut bagian bawah

n. Cara menggunakan kontrasepsi dan mulai kapan

2. Gejala Klinis

a. Herpes Simpleks Genital

Genital herpes adalah presentasi klinik paling banyak

dikarenakan oleh infeksi HSV-2. Infeksi ini berhubungan dengan

perjalanan lesi yang berbeda pada setiap tahapan, mencakup vesikel,

pustul, dan luka yang eritema yang dapat membutuhkan waktu sekitar

2-3 minggu untuk pecah. Pada laki-laki, lesi biasa berada pada gland

penis atau pada batang penis; pada perempuan, lesi biasa berada pada

vulva, perineum, bokong, vagina atau cervix. Keluhan ini biasa disertai

nyeri, gatal, dysuria, duh vagina dan uretra, serta lymphadenopati

inguinal yang lunak. Gejala sistemik dapat berupa demam, sakit

kepala, dan myalgia [11]

8
Gambar 2. Genital Herpes Simpleks

b. Sifilis[7]

1) Sifilis dini

a) Sifilis primer (S I)

Masa tunas biasanya dua sampai empat minggu,

T.pallidum masuk kedalam selaput lendir atau kulit yang telah

mengalami lesi/mikrolesi secara langsung, biasanya melalui

senggama. Trepnema tersebut akan berkembang biak,

kemudian terjadi penyebaran secara limfogen dan hematogen.

Kelaian kulit dimulai sebagai papul lentikuler yang

permukaannya segera menjadi erosi, umumnya kemudian

ulkus. Ulkus tersebut biasanya bulat, soliter, dan dasarnya

adalah jaringan granulasi berwarna merah dan bersih,

diatasnya hanya tampak serum. Dindingnya tak bergaung, kulit

9
disekitarnya tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut.

Yang khas adalah ulkus tersebut indolen dan teraba indurasi

karena itu disebut ulkus durum.

Kelainan tersebut dinamakan afek primer dan umumnya

berlokasi pada genitalia eksterna. Pada pria, tempat yang

sering dikena adalah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita

adalah labia mayor dan minor. Selain itu juga dapat di

ekstragenital, misalnya lidah, tonsil, dan anus.

Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai

sepuluh minggu. Seminggu setelah afek primer biasanya

terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional di

inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks primer.

Kelenjar tersebut indolen, soliter, tidak lunak, besarnya

biasanya lentikular, tidak supuratif dan tidak terdapat

periadenitis. Kulit biasanya tidak menunjukkan radang akut.

b) Sifilis Sekunder (S II)

Biasanya timbul setelah enam sampai delapan minggu

sejak S I dan sejumlah sepertiga kasus masih dijumpai S I.

Lama S II bisa sampai sembilan bulan. Berbeda dengan S I

yang tanpa gejala konstitusi, pada S II dapat disertai gejala

tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejala

umumnya tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan,

malaise, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan artalgia.

10
Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit

sehingga disebut great imitator. Selain member kelainan pada

kulit, S II juga dapat memberi kelaianan pada saraf, mukosa,

kelenjar getah bening, mata, hepar, dan tulang.

Kelainan kulit yang membasah (eksudatif) pada S II

sangat menular, kelainan yang kering kurang menular.

Kondiloma lata dan plaque muqueuses ialah bentuk yang

sangat menular.

Gejala yang penting untuk membedakannya dengan

berbagai kelainan kulit adalah kelaian kulit pada S II tidak

gatal, sering disertai limfadeintis generalisata, pada S II dini

kelainan kulit juga terdapat pada telapak tangan dan kaki.

Antara S II dini dan S II lanjut terdapat perbedaan. Pada S II

dini, kelainan kulit generalisata, simetrik, dan cepat hilang

(beberapa hari atau beberapa minggu). Pada S II lanjut tidak

generlisata lagi, melainkan stempat-setempat, tidak simetrik,

dan lebih lama berthan (minggu sampai bulan). Lesi dapat

berbentuk roseola, papul, pustul atau bentuk lain.

c) Sifilis laten dini

Sifilis laten dini artinya tidak bergejala namun infeksi

masih aktif. Tes serologik darah positif, sedangkan tes likuor

serebrospinal negatif.

11
d) Stadium rekuren

Relaps dapat terjadi baik secara klinis maupun serologic

yang telah negatif menjadi positif. Hal ini terjadi terutama

pada sifilis yang tidak diobati atau pengobatan yang tidak

cukup. Relaps dapat memberi kelainan pada mata, tulang,

organ dalam, dan susunan saraf. Juga dapat terlahir bayi

dengan sifilis kongenital.

2) Sifilis lanjut

a) Sifilis laten lanjut

Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan

berdasarkan tes serologik. Lama masa laten biasanya bertahun-

tahun bahkan seumur hidup. Perlu diperiksa apakah ada nekas

sikatrik bekas S I pada alat kelamin atau leukoderma pada

leher yang menunjukkan bekas S II (collar of venus). Kadang-

kadang juga banyak terdapat kulit hipotrofi lntikular pada

badan bekas papul-papul S II.

b) Sifilis tersier (S III)

Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai

sepuluh tahun setelah S I. kelainan yang khas adalah guma,

yakni infiltrate sirkumpskrip, kronis, biasanya lunak, dan

destruktif.

Besar guma bervariasi dari lentikuler sampai sebesar

telur ayam. Kulit diatasnya mula-mula tidak menunjukkan

12
tanda-tanda radang akut dan dapat digerakkan. Setelah

beberapa bulan, mulai melunak, biasanay dari tengah, tanda-

tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa.

Kemudian terjadilah perforasi dan keluarlah cairan

seropurulen, kadang sangoinolen, pada beberapa kasus disertai

jaringan nekrotik.

Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus,

bentuknya lonjong/bulat, dindingnya curam, seolah-olah kulit

tersebut terdorong keluar. Beberapa ulkus berkonfluensi

sehingga membentuk pinggir yang polikistik. Jika telah

menjadi ulkus, maka infiltrate yang terdapat dibawahnya

semula benjolan menjadi datar.

Selain guma, kelainan yang lain pada S III adalah

nodus. Mua-mula dikutan kemudian menuju epidermis.

Pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu atau bulan

dan umumnya meninggalkan sikatrik yang hipotrofi. Nodus

dapat mengalami nekrosis dan membentuk ulkus. Dapat pula

tanpa nekrosis menjadi sklerosis. Perbedaannya dengan guma,

nodus lebih superfsial dan lebih kecil (miliar hingga

lentikular), lebih cenderung bergerombol, warnanya merah

kecoklatan.

13
Gambar 3. Sifilis

c. Limfogranuloma Venerum

Masa tunas penyakit ini adalah 1-4 minggu. Gejala konstitusi

timbul sebelum penyakitnya mulai dan biasanya menetap selama

sindrom inguinal. Gejala tersebut berupa malaise, nyeri kepala,

artalgia, anoreksia, nausea, dan demam.

1) Bentuk dini

a) Afek primer

Afek primer berbentuk khas dan tidak nyeri, dapat

berupa erosi, papul miliar, vesikel, pustule, dan ulkus.

Umumnya soliter dan cepat hilang karena itu penderita

biasanya tidak datang berobat saat afek primer. Pada pria,

umumnya afek primer berlokasi di sulkus koronarius, dapat

pula di uretra maupun jarang. Pada wanita, biasanya afek

primer tidak terdapat pada genitalia eksterna, tetapi pada

vagina bagian dalam dan serviks.

14
b) Sindrom inguinal

Pada sindrom ini, kelenjar yang terlibat adalah kelenjar

getah bening inguinal medial. Kelenjar yang terkena,

permukaannya berbenjol-benjol, kemudian akan berkonfluensi.

Tanda radang muncul. Terjadi perlunakan yang tidak serentak

sehingga konsistensinya bermacam-macam, yakni keras,

kenyal, lunak. Perlunakan biasanya ditengah, dapat terjadi

abses, fistel yang multiple.

2) Bentuk lanjut

a) Sindrom genital

Terjadi jika sindrom inguinal tidak terobati, maka

terjadi fibrosis pada kelnjear inguinal medial sehingga aliran

kelenjar getah bening terbendung sehingga muncul edema

dan elephantiasis. Elephantiasis bersifat vegetatif dan

berbentuk fistel atau ulkus.

b) Sindrom anorektal

Pembesaran kelenjar perirektal (gerota) antara uterus

dan rectum. Pembesaran hanya dapat diketahui bila dilakukan

pemeriksaan bimanual. Proses sama dengan sindrom genital,

dimana terjadi limfadenitis dan periadenitis sehingga terjadi

abses. Abeses pecah sehingga dapat keluar darah dan pus saat

defekasi, kemudian terbentuk fistel. Fistel meluas

membentuk ulkus yang kemudian menyembuh dan menjadi

15
sikatriks sehingga terektriksi yang menimbulkan striktura

rekti. Keluhannya ialah obstipasi,, tinja kecil-kecil disertai

perdarahan saat defekasi.

c) Sindrom uretral

Sindom tersebut terjadi jika terbentuk infiltrate di

posterior uretra yang kemudian menjaadi abses lalu pecah

menjadi fistel. Akibatnya ialah terjadi striktur hingga

orifisium uretra eksternum berubah bentuk seperti mulut ikan

dan disebut fish mouth urethra dan penis melengkung seperti

pedang Turki.

Gambar 4. Limfogranuloma Venerum

16
d. Chancroid

Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 7 hari. Jarang


[11]
didapatkan lebih dari 10 hari . Lesi kebanyakan multiple, jarang

soliter. Mula-mula kelainan kulit berupa papul, kemudian menjadi

vesiko pustule, dan cepat pecah menjadi ulkus.

Ulkus kecil lunak, pada perabaan tidak didapatkan indurasi,

berbentuk cawan, pinggir tidak rata, sering bergaung berbentuk halo

yang eritematosa. Ulkus sering tertutup jaringan nekrotik, dasar ulkus

berupa jaringan granulasi yang mudah berdarah dan pada perabaan

terasa nyeri. Tempat predileksi pada laki-laki ialah permukaan mukosa

preputium, sulkus koronarius, frenulum penis, dan batang penis. Dapat

juga timbul pada uretra, skrotum, perineum, dan anus. Pada wanita

ialah labia, klitoris, fourchette, vestibulianus, dan serviks. Gejala

sistemik jarang timbul, hanya berupa demam sedikit atau malaise

ringan.

Gambar 5. Chancroid

17
e. Granuloma Inguinal

Masa inkubasi bervariasi berkisar antara 1-2 minggu. Lesi

mulai dapat didapat pada daerah genitalia eksterna, paha, lipat paha,

atau perineum. Pada permulaan lesi berbentuk papul atau vesikel yang

tidak nyeri kemudia perlahan-lahan menjadi ulkus granulomatosa

berbentuk bulat, menimbul, seperti beludru dan mudah berdarah. Ulkus

tersebut hampir tidak mempunyai tendensi sembuh spontan. Infeksi

kontak dapat terjadi antara kulit skrotum dan paha. Lesi dapat meluas

ke abdomen dan bokong. Pembekakan didaerah inguinal dapat timbul

menyertai lesi genital sebagai massa induratif atau abses yang

akhirnnya pecah menimbulkan ulkus yang khas. Kelainan ini disebut

pseudobubo karena pada kenyataannya merupakan sebuah granuloma

subkutan dan bukan kelenjar getah bening yang membsear.

Ulkus dapat terasa tidak nyeri, tetapi biasanya hanya terdapat

gangguan konstitusi yang ringan. Cairan lesi biasanya bersifat

serosanguinosa. Pada penderita dapat terjadi infeksi, terutama pada

organism Vincent yang timbulnya ulkus fagedenikum dengan

kerusakan jaringan yang berat, berbau busuk, dan disertai dengan

gejala konstitusi. Akhirnya timbul jaringan parut luas disertai dengan

distorsi, mungkin dapat pula terjadi elephantiasis genital.

Proses ulserasi kadang-kadang meluas ke genital wanita,

mengenai serviks uteri. Tempat predileksi pada wanita: labia minora,

monsveneris dan fourchatte. Lesi menyebar dengan cara ekstensi

18
langsung atau autoinokulasi, sedangkan pada pria: penis dan skrotum

yang terkena. Lesi ekstragenital dapat ditemukan di daerah muka,

leher, mulut, dan tenggorokan.

Gambar 6. Granuloma Inguinal


f. Sindrom Bechet

Sindrom Bechet merupakan suatu peradangan multisistem

kronis yang ditandai oleh ulserasi yang hilang timbul pada rongga

mulut, alat kelamin, mata, dan umunya melibatkan sendi, kulit, system

saraf pusat dan saluran pencernaan. Diagnosis penyakit ini ditegakkan

berdasarkan kriteria klinis yang ditetapkan oleh International Study

Group for Bechet Disease (ISGBD) tahun 1990:

1) Ulserasi rongga mulut rekuren:

- Aftosa minor

- Ulserasi aftosa mayor atau hipertiformis sesuai dengan temuan

klinis oleh dokter ahli atau berdasarkan laporan pasien

- Rekurensi terjadi minimal 3 kali dalam 12 bulan

19
Ditambah dua kriteria:

2) Ulserasi alat kelamin rekuren: ulserasi aftosa genital rekuren atau

adanya jaringan siktrik terutama pada pria sesuai dengan temuan

klinis oleh dokter ahli atau berdasarkan laporan pasien

3) Lesi pada mata: uveitis anterior, uveitis posterior, adanya sel dalam

vitreus humor pada pemeriksaan slit lamp. Atau vaskulitis retina

yang ditentukan oleh dokter ahli penyakit mata.

4) Lesi pada kulit: erytema nodusum like lesion, pseudofolikulitis,

lesi papulopustular. Atau Acneiform nodulus yang konsisten telah

ditentukan oleh dokter ahli dan pada pasien yang telah melewati

masa dewasa yang sedang tidak menjalani terapi kortikosteroid

5) Tes Patergi positif: Papul eritematous >2mm pada lokasi yang

timbu 48 jam setelah aplikasi jarum steril, yang berpenetrasi ke

bagian kulit tanpa vasskulaisasi sedalam-dalamnya 5 mm, dibaca

oleh dokter ahli setelah 48 jam.

20
Gambar 7. Sindrom Bechet

g. Trauma

Luka pada kelamin akibat trauma, paling banyak diakibatkan

oleh hubungan seksual yang dipaksakan dan hubungan yang terlalu

berlebihan, misalnya oral seks. Luka yang timbul biasanya adalah

sebatas abrasi, tidak seperti benar-benar luka [13]

h. Erupsi Obat

Erupsi obat dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam

setelah ingesti obat secara oral. Lesi berupa makula oval atau bulat,

berwarna merah atau keunguan, berbatas tegas, seiring dengan waktu

21
dapat menjadi bulla, mengalami deskuamasi atau menjadi krusta.

Ukuran lesi bervariasi, mulai dari lentikuler sampai plakat. Lesi awal

biasanya soliter.

Lesi dapat dijumpai dikulit dan membrane mukosa yaitu bibir,

badan, tungkai, tangan, dan genital. Lesi pada penis sering disangka

sebagai penyakit kelamin. Gejala lokal dapat meliputi gatal dan rasa

terbakar, jarang dijumpai gejala sistemik. Tidak dijumpai pembesaran

kelenjar getah bening regional. [14]

Gambar 8. Erupsi Obat

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah: [7]

a. Herpes Simpleks

22
Virus herpes ini dapat ditemukan pada vesikel dan dibiak. Pada

keadaan tidak ada lesi, dapat diperiksa antibody VHS. Pada percobaan

tzank dengan pewarnaan giemsa, dapat ditemukan sel datia berinti

banyak dan badan inklusi intra nuklear.

b. Sifilis

1) Pemeriksaan T.pallidum

Cara pemeriksaan adalah dengan mengambil serum dari

lesi kulit dan dilihat bentuk dan pergerakannya dengan mikroskop

lapangan gelap. Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut, jika

hasil pada hari I dan II negatif. Treponema tampak berwarna putih

dengan latar belakang gelap. Pergerakannya memutar terhadap

sumbu, bergerak perlahan-lahan melintasi lapangan pandang.

Gambar 8. Treponema pallidum

2) Tes serologik sifilis

S I pada mulanya memberi hasil T.S.S negative kemudian

menjadi positif dengan titer rendah, jadi positif lemah. Pada S II

23
yang masih dini reaksi menjadi positif kuat, yang akan menjadi

postif kuat pada fase lanjut. Pada S III positif akan menurun lagi

menjadi positif lemah atau negatif.

3) Pemeriksaan yang lain

Sinar rontgen dipakai untukmelihat kelainan khas pada

tulang yang dapat terjadi pada S II, S III, dan sifilis congenital.

Juga pada sifilis kardiovaskuler, misalnya untuk melihat aneurisma

aorta.

c. Limfogranuloma Venerium

Pada pemeriksaan darah tepi biasanya leukosit normal,

sedangkan LED meninggi. Peninggian ini menunjukkan keaktivan

penyakit. Untuk menilai penyembuhan, LED akan menurun.

Dapat dilakukan Tes Frei. Tes dilakukan dengan mengambil

dari pus penderita yang mengalami abses dan belum pecah, kemudian

dilarutkan dalam garam faal dan dilakukan pasteurisasi. Cara

melakukannya sama dengan tes tuberculin, yakni 0,1 cc disuntikan

intrakutan pada bagian anterior lengan bawah dan dibaca setelah 48

jam. Jika terdapat infiltrat berdiameter 0,5 cm atau lebih berarti positif,

namun tes ini memberikan hasil setelah 5-8 minggu dan jika positif,

berarti sedang atau pernah menderita LGV.

d. Chancroid

24
1) Pemeriksaan sediaan hapus menggunakan pewarnaan gram atau

giemsa. Hanya 30-50% kasus ditemukan basil berkelompok atau

berderet seperti rantai.

2) Biakan kuman pada medium gonococcal medium base

3) Imunofloresensi untuk menemukan antibody

4) Biopsi

Dapat dilakukan untuk membantu menegakan diagnosis

dan akan memberikan gambaran histopatologik. Daerah superfisial

pada dasar ulkus: neurotrofil, fibrin, eritrosit, dan jaringan nekrotik.

Daerah tengah: pembuluh-pembuluh darah kapiler baru dengan

proliferasi sel-sel endotel sehingga lumen tersumbat dan

menimbulkan thrombosis. Terjadi perubahan degeneratif pada

dinding pembuluh-pembuluh darah. Daerah sebelah dalam:

infiltrate padat terdiri atas sel-sel plasma dan sel-sel limfoid.

e. Granuloma inguinal

1) Hapusan jaringan

Digunakan untuk mencari D.granulomatosis dalam sel-sel

mononuclear besar. Bahan terdiri atas jaringan granulasi yang tipis,

diambil dengan biopsi plong atau skapel dari lesi bagian dalam.

Setelah kering bahan diwarnai dengan giemsa, Wright Leisman,

atau gram. Dapat juga dipakai bahan dari biospi paraffin yang

diwarnai dengan HE atau pewarna perak.

2) Biakan

25
3) Biopsi

Gambaran histologik terdiri atas: epidermis ditengah lesi

hilang, sedangkan pada tepi lesi terdapat akantosis yang kemudian

menunjukkan gambaran hiperplasi pseudokarsinomatosa. Dalam

dermis terlihat infiltrat padat terutama histiosit dan sel plasma.

Diantara infiltrate tersebar abses kecil terdiri atas neutrofil dan

sedikit sel limfoid. Badan Donovan terdapat dalam histiosit.

4) Tes Serum

Pada tes serum dapat ditemukan antibodi ikatan

komplemen terhadap D.granulomatosis tetpi sensitifitas dan

spesifisitas terbatas.

F. Penatalaksanaan

1. Herpes Simpleks

Pada Herpes simpleks episode pertama dapat diberikan Asiclovir 5

x 200 mg per hari per oral selama 7 hari atau Asiclovir 3 x 400 mg per hari

per oral selama 7 hari atau Valasiklovir 2 x 500 mg per hari per oral

selama 7 hari. Pada herpes simpleks recurrent, dapat diberikan Asiclovir 5

x 200 mg per hari per oral selama 5 hari atau Asiclovir 3 x 400 mg per hari

per oral selama 5 hari atau Valasiklovir 2 x 500 mg per hari per oral

selama 5 hari [12]

2. Sifilis

Obat yang merupakan pilihan adalah penisilin. Obat tersebut dapat

menembus plasenta sehingga mencegah infeksi pada janin dan dapat

26
[7]
menyembuhkan janin yang terinfeksi juga efektif untuk neurosifilis.

Pada orang dengan alergi penisilin dan sedang tidak hamil, dapat diberikan

doksisiklin 2 x 100 mg/hari/oral selama 30 hari atau eritromisin 4 x 500

mg/hari/oral selama 30 hari [12]

Tabel 1. Iktisar Penatalaksanaan Sifilis[7]


Pemantauan
Sifilis Pengobatan
Serologik
1. Penisilin G benzatin dosis 4,8 juta unit
secara IM dan diberikan satu kali
Pada bulan
seminggu
I,II,III, VI, dan
2. Penisilin G prokain dalam akua dosis total
XII dan setiap
Primer 6 juta unit diberi 0,6 juta unit/hari selama
enam bulan
10 hari
pada tahun
3. PAM (penisilin prokain + 2% aluminium
kedua.
monosretat. Dosis total 4,8 juta unit
diberikan 1,2 juta unit/kali 2 kali seminggu
Sifilis sekunder sama dengan sifilis primer
1.Penisilin G benzatin dosis total 7,2 juta unit
2. Penisilin G prokain dalam akua dosis total
Laten 12 juta unit diberi 0,6 juta unit/hari
3.PAM Dosis total 7,2 juta unit diberikan 1,2
juta unit/kali 2 kali seminggu
1.Penisilin G benzatin dosis 9,6 juta unit
2. Penisilin G prokain dalam akua dosis total
S III 18 juta unit diberi 0,6 juta unit/hari
3. PAM Dosis total 9,6 juta unit diberikan
1,2 juta unit/kali 2 kali seminggu

3. Limfogranuloma Venerium [12]

Penderita dapat diberikan terapi berupa Doksisiklin 2 X 100

mg/hari/oral selama 14 hari atau Eritromisin 4 X 500 mg/hari/oral selama

14 hari.

4. Chancroid [12]

Penderita dapat diberikan terapi Siprofloksasin 2 x 500

mg/hari/oral selama 3 hari, atau Eritromisin 4 X 500 mg/hari/oral selama 7

27
hari atau Azitromisin 1 g/oral dosis tunggal. Pilihan obat lain adalah

Seftriakson 250 mg/IM dosis tunggal.

5. Granuloma Inguinal[3]

Pemberian pengobatan tetap dilanjutkan samapi lesi menghilang.

Pengobatan yang diberikan adalah Doksisiklin 2 x 100 mg/oral/hari

selama 21 hari atau Azitromisin 1 g/oral/minggu selama 21 hari atau

Siprofloksasin 2 x 750 mg/oral/ hari selama 21 hari. Eritromisin base 4 x

500 mg/oral/ hari selama 21 hari.

6. Sindrom Bechet [8]

Perawatan meliputi perawatan lokal, sistemik, atau tindakan bedah.

Obat yang diberikan diantaranya kortikosteroid, tetrasiklin, Anti Inflamasi

non-steroid Drugs, kolkisin, Siklosporin, Interferon alfa-2a, antibiotik,

thalidomide, dapson, levamisol, dan pentoxifilin.

7. Erupsi Obat

a. Hentikan penggunaan obat

b. Jika keluhan gatal yang mengganggu dapat diberikan antihistamin

generasi lama

c. Pengobatan topical tergantung kelainan kulit, apakah kering atau

basah. Jika basah dapat diberi kompres secara terbuka, jika lesi kering

dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1%.

28
G. Pencegahan[12]

Pada ulkus akibat infeksi menular seksual, ada beberapa program

pencegahan dan pengendalian yang telah ditetapkan untuk pemerintah yang

bertujuan untuk:

1. Mengurangi morbiditas dan mortalitas

2. Mencegah infeksi HIV

3. Mencegah komplikasi serius pada kaum perempuan

4. Mencegah efek kehamilan yang buruk

H. Prognosis

1. Herpes Simpleks

Selama pencegahan rekuren masih merupakan problem, hal

tersebut secara psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan

secara dini dan tepat memberi prognosis yang lebih baik, yakni masa

penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens lebih jarang. Pada orang

dengan gangguan imunitas dapat menyebabkan infeksi ini menyebar kea

lat-alat dalam dan dapat fatal. Prognosis akan lebih baik seiring dengan

meningkatnya usia seperti pada orang dewasa. [7]

2. Sifilis

Jika sifilis tidak diobati, maka hampir seperempatnya mengalami

kekambuhan, 5% akan mendapat S III, 10% mengalami sifilis

kardiovaskular, neurosifilis pada 9% pria dan pada wanita 5%, 23% akan

meninggal. Pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai

29
95%. Kelainan kulit akan sembuh dalam 7-14 hari. Pembesaran kelenjar

getah bening akan menetap berminggu-minggu. [7]

3. Limfogranuloma Venerium

Pada sindrom inguinal prognosisnya baik, sedangkan pada bentuk

lanjut prognosisnya buruk. [7]

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Canadian Guidelines on Sexually Transmitted Infections. 2008. Public


Health Agency of Canada.
2. World Health Organization. Global Incidence and Prevalence of Selected
Curable Sexually Transmitted Infections 2008. Geneva. 2008.
3. Noda, A.A., et.al. Etiology of Genital Ulcer Disease in Male Patients
Atending a Sexually Transmitted Disease Clinic: First Assesment in Cuba.
American Sexually Transmitted Disease Association. 2016; 43 (8): 494-
497.
4. Roett, A.M., et.al. Diagnosis and Management of Genital Ulcer. American
Family Physician. 2012: 85 (3): 254-262.
5. World Health Organization. Global Strategy for The Prevention and
Control of Sexually Transmitted Infections 2008. Geneva. 2008.
6. Center For Disease Control and Prevention. Sexually Transmitted Disease
Surveillance. Atlanta. 2014.
7. Djuanda, A.,et.al. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed.6. Jakarta:
Badan Penerbit FK UI.
8. Sari, LM dan Titiek,S. Manifestasi Bechet Disease yang Parah dan
Komlikasi Perawatannya dalam Rongga Mulut. Indonesian Journal of
Dentistry. 2008; 15 (2):111-120.
9. Schiffer, JT and Corey,L. New Concept in Understanding Genital Herpes.
Current Medicine Group. 2009.
10. Arsove, P., et.al. Lymphogranuloma Venereum. Medscape. 2015.
11. Fitzpatricks TB, et.al. Fitzpatrick Dermatology in General Medicine 7th
edition. New York: Mc.Graw Hill Companies: 2008.
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Nasional
Penangan Infeksi Menular Seksual 2011. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.

31
13. Sonnex, Chris. Sorting Out Genital Ulceration. Trends in Urology
Gynaecology and Sexul Health: 2007.
14. Partogi, Donna. Fixed Drug Eruption. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara: 2008.

32

Anda mungkin juga menyukai