Anda di halaman 1dari 32

CATATAN RIWAYAT PENYAKIT

Nama penderita : Tn. Failu No. Rek. Medik : 46 13 16

Tgl pemeriksaan: 06 September 2016 Umur : 63 tahun

DPJP : dr. Bimo Bintoro, Sp.JP Alamat : Jl. Malik Raya

Dokter muda : Waode Hanum Parianum Hani, S. Ked

I. subjektif

Anamnesis :

Keluhan utama : Sesak nafas

Anamnesis terpimpin :

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 5 jam SMRS. Sesak nafas
timbul saat nonton TV. Sesak nafas saat istrahat maupun beraktivitas. Pasien merasa lebih
sesak jika berjalan dan berkurang saat duduk. Pasien juga mengeluh nyeri dada kiri yang
menjalar ke lengan kiri sejak 5 jam SMRS. Nyeri seperti diremas. Pasien juga merasa
mudah lelah, berdebar-debar dan merasa pusing dan berkeringat dingin. Demam (-),
batuk (-), pilek (-). Mual (+). Muntah (-). BAB biasa, BAK lancar.
Riwayat sesak dan nyeri dada sejak 1 bulan terakhir, sesak nafas memberat
terutama saat beraktivitas. Riwayat hipertensi (+). Riwayat pengobatan untuk hipertensi
(+) namun tidak rutin serta pasien dan keluarga tidak mengingat nama obatnya. Riwayat
penyakit jantung sebelumnya (-). Riwayat stroke sisi kiri (+) pada tahun 2011. Riwayat
asma (-). Riwayat penyakit sama dalam keluarga (-).

II. Objektif

Status present

Sakit : ringan / sedang / berat

Gizi : kurang / baik / lebih BB: 55 kg TB: 158 cm ,BMI :


22,03 kg/m2

Kesadaran : Compos mentis / apatis / somnolen

Tanda vital

Tekanan darah : 190/130 mmHg Nadi : 102x/menit, equal


1

Pernapasan : 32x/menit Suhu : 36.2 0C

Kepala : Simetris : kiri=kanan Deformitas : tidak ada

Simetris muka : kiri=kanan Rambut : Warna hitam


kekuningan beruban,
ikal, tidak mudah rontok

Mata : Gerakan : dalam batas normal

TIO : dalam batas normal

Kelopak mata : dalam batas normal

Konjungtiva : Anemis : +/+ Kornea : -/-

Sklera : Ikterus : -/- Pupil : isokor

Telinga : Tophi : -/- pendengaran: dalam batas normal

Nyeri tekan di Proc. Mastoideus -/-

Hidung : Perdarahan (-) Sekret (-)

Mulut : Bibir :kering (+), pucat(+), pecah-pecah (+) Tonsil : hiperemis (-)

Gigi geligi : tidak ada kelainan Farings : Sulit dinilai

Gusi : perdarahan (-) Lidah : stomatitis (-), tremor (-)

Leher : KGB : (-) Kel. Tiroid : dalam batas


normal

JVP :5+2 Pemb. Darah : dalam batas normal

Kaku kuduk : (-) Tumor : (-)

Dada :

Inspeksi : Bentuk : dalam batas normal

Pemb.Darah :dalam batas normal

Iktus kordis : tidak tampak

Sela iga : tidak Nampak

Lain-lain : (-)
2

Paru :

Palpasi : Vokal fremitus : simetris kiri=kanan

Nyeri tekan : (-)

Perkusi : Paru kanan : sonor Paru kiri : sonor

Batas paru hepar : ICS VI kanan

Auskultasi : Bunyi pernapasan : Vesikuler (+) normal,

Bunyi tambahan : rhonki +/- pada daerah basal paru sinistra,


wheezing -/-

Jantung:

Inspeksi : ictus kordis tidak tampak

Palpasi : ictus kordis tidak teraba

Perkusi : pekak (+) kanan : LPD, kiri : Linea Axillaris Anterior, kesan membesar

Auskultasi : BJ S1, S2 murni reguler

Bunyi tambahan : murmur (-), gallop (-)

Perut :

Inspeksi : datar, ikut gerak napas

Auskultasi : peristaltik (+), 6x/menit

Palpasi : nyeri tekan (-) Hati : tidak teraba

Ginjal : tidak teraba

Limpa : tidak teraba

Perkusi : tympani (+), pekak hepar (+)

Alat kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan

Anus dan rektum : tidak dilakukan pemeriksaan

Punggung:

Palpasi : nyeri tekan (-)

Nyeri ketuk : (-)


3

Auskultasi : dalam batas normal

Gerakan : dalam batas normal

Ekstremitas : edema (-), kekuatan (+) ka 5-5 , ki 5-5

Laboratorium :

Hasil lab Tgl 22/6/2015

Pemeriksaan Interpretasi Hasil Nilai rujukan

WBC H 13,89+ 4,00-10,0

RBC N 4,70 4,00-6,00

HB H 13,5 12-16

Hematokrit N 39,9 37-48

MCV N 84,9 80-97

MCH N 28,7 26,5-33,5

MCHC N 33,8 31,5-35,0

PLT N 307 150-400

GDS N 101 70-180

Ureum N 38 15-40

Creatinin N 0,8 0,5-1,0

As.Urat H 8,0 2,6-6,0

Cholesterol total H 227 <200

HDL cholesterol N 69 35

LDL cholesterol H 138 130

Trigliserida N 98 <200
4

SGOT N 18 <31

SGPT N 20 <31

CKMB N 3,4 <10

Pemeriksaan penunjang lainnya:

o EKG (21 Juni 2015)


Ket. :
- Irama: sinus
- Laju: Takikardi
- Regularitas : regular
- Interval PR: Normal
- Axis : normal
- Morfologi:
o Gelombang P: Normal
o Kompleks QRS: Q patologis pada lead III,
o Segmen ST: ST depresi 1,5 mm pada V5, V6, ST elevasi
pada lead III dan aVF.
o Gelombang T: Terbalik pada lead I, II, III, aVL, aVF, V3,
V4, V5, V6

o Chest x-ray PA (22 juni 2015)


- Corakan bronkovaskular DBN
- COR: CTI membesar, aorta dilatasi-elongasi
- Sinus dan diphragma DBN
- Tulang-tulang intak
Kesan: Cardiomegali sesuai HHD
5

Resume:

Pasien perempuan usia 55 tahun masuk di UGD RSUB dengan keluhan dyspneu
sejak 5 jam SMRS. Dyspneu saat istrahat maupun beraktivitas. Pasien juga merasa
nyeri dada sinistra yang menjalar ke lengan sinistra sejak 5 jam SMRS. Nyeri seperti
diremas. Pasien merasa mudah malaise, palpitasi, dan vertigo dan berkeringat dingin.
Nausea (+). Riwayat dyspneu dan nyeri dada sejak 1 bulan terakhir, dyspneu memberat
terutama saat beraktivitas. Riwayat hipertensi (+), riwayat konsumsi obat penurun darah
tinggi (+), riwayat stroke lateralisasi sinistra (+) tahun 2011.
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 5 jam SMRS. Sesak nafas saat
istrahat maupun beraktivitas. Pasien juga mengeluh nyeri dada kiri yang menjalar ke
tangan kiri sejak 5 jam SMRS. Pasien juga merasa mudah lelah, berdebar-debar dan
merasa pusing. Demam (-), batuk (-), pilek (-). BAB biasa, BAK lancar.
Riwayat sesak dan nyeri dada sejak 1 bulan terakhir, sesak nafas memberat
terutama saat beraktivitas. Riwayat hipertensi (+). Riwayat pengobatan untuk hipertensi
(+) namun tidak rutin serta pasien dan keluarga tidak mengingat nama obatnya. Riwayat
stroke sisi kiri (+) pada tahun 2011. Riwayat asma (-). Riwayat penyakit sama dalam
keluarga (-).
Pemeriksaan fisik didapatkan TD: 190/130 mmHg, HR :102x/menit,
Pernapasan:32x/menit, Suhu : 36.2 0C, konjungtiva anemis, bibir pucat(+), kering(+),
pecah-pecah (+), JVP 5+2. Pemeriksaan penunjang diperoleh EKG kesan sinus takikardi,
akut NSTEMI, , foto thoraks di peroleh kesan kardiomegali sesuai HHD.
6

III. Assessment

- NSTEMI (Non ST elevasi infark miokard akut)

- akut heart failure ec acut coronary syndrome

- hipertensi heart disease.

IV. Planning

Pengobatan :

Non farmakologi : Farmakologi :

- Tirah baring di ICCU - IVFD RL 12 tpm


- Life style modification - 02 3 lpm
- Furosemid 1 Amp/8 jam
- Diet rendah garam - Nitrat (ISDN)
sublingual 5mg - Arixtra 1 x 2,5 mg
- Aspilet 2x80 mg
(dikunyah)
- Clopidogrel 1x 75 mg
- Candesartan 2 x 8 mg
- Simvastatin 1 x 20 mg
- Amlodipin 1 x 1 mg
- Nitracaf 2 x 1
- Alprazolam 1 x 0,5mg
- Bisoprolol 1 x tab

Rencana pemeriksaan :

o Enzim Jantung (TROPONIN T)

V. Prognosis

Ad functionam : ad dubia

Ad sanationam : ad dubia

Ad vitam : ad dubia

RSUB PROVINSI SULAWESI TENGGARA FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO


7

BAGIAN-SMF PENYAKIT DALAM

Perjalanan Nama : Ny. Natir Umur: 55


Penyakit/Inst Ruangan : ICCU thn
ruksi Dokter No. RM :
445736
Tgl/Jam Perjalanan Penyakit Instruksi Dokter Tanda
tangan
(nama
jelas)
22 Juni 2015 - Nyeri dada mulai berkurang, Ass. NSTEMI, akut HF ec
sesak berkurang. ACS, HHD.
K.U : pasien tampak lemas - Furosemid 1 Amp/8 jam
TD: 120/70 - Nitrat (ISDN)
Nadi : 101x/menit - Arixtra 1 x 2,5 mg
- Aspilet 2x80 mg
(dikunyah)
- Clopidogrel 1x 75 mg
- Candesartan 2 x 8 mg
- Simvastatin 1 x 20 mg
- Amlodipin 1 x 1 mg
- Nitracaf 2 x 1
- Alprazolam 1 x 0,5mg
23 Juni 2015 -Nyeri dada (-),sesak (-) -Terapi lanjut
K.U: baik - + Bisoprolol 1 x tab
TD: 130/80
Nadi : 94x/menit
24 Juni 2015 - Nyeri dada (-). -Terapi lanjut
K.U: baik - pindah ke Anggrek
TD: 110/70
Nadi : 80x/menit
25 Juni 2015 - Nyeri dada (-). Terapi lanjut
K.U: baik -RAWAT JALAN
TD: 110/70
Nadi : 74x/menit

LAMPIRAN:
8

SINDROM KORONER AKUT

I. DEFINISI

Istilah SKA mulai dipakai sejak tahun 1994,terminologi ini dipakai untuk
menunjukkan pasien dengan nyeri dada iskemik. Sakit dada merupakan keluhan yang
tersering ,yaitu terjadi pada 70-80 % pasien SKA.
Sindroma koroner akut,merupakan sindroma klinis akibat adanya penyumbatan
pembuluh darah koroner baik bersifat intermiten maupun menetap akibat rupturnya
plak atherosklerosis. Yang termasuk dalam kelompok tersebut adalah Angina Pektoris
Tidak Stabil (APTS),Infak Miokard baik dengan gelombang Q maupun tanpa
gelombang Q (non Q infark ) .
Penggabungan ke 3 hal tersebut dalam satu istilah SKA,hal ini didasarkan kesamaan
dalam pathofisiologi,proses terjadinya arterosklerosis serta rupturnya plak
atherosklerosis yang menyebabkan trombosis intravaskular dan gangguan suplay
darah miokard.

Sindroma Koroner Akut (SKA) terdiri dari infark miokard akut (IMA) disertai
elevasi segmen ST (IMA STE), IMA tanpa elevasi segmen ST (IMA non STE) dan
angina pektoris tak stabil (APTS) (Braunwald,1989; Christopher PC,2005). Walaupun
presentasi klinisnya berbeda tetapi memiliki kesamaan patofisiologi (Libby,1995).
Jika troponin T atau I positif tetapi tanpa gambaran ST elevasi disebut IMA non STE
dan jika troponin negatif disebut APTS seperti yang ditunjukkan pada gambar 1.
(Hamm dkk,2004; PERKI,2012).

American College of Cardiology (ACC) menyatakan bahwa adanya peningkatan


enzim jantung yaitu troponin ataupun creatine kinase MB (otot,otak) (Luciano,2005)
walaupun hanya sedikit merupakan penanda adanya nekrosis miokard dan pasien
harus dikategorikan sebagai IMA (Newby dkk,2003). Secara umum, IMA-STE
menggambarkan oklusi koroner total akut (Foo & De Bono,2000). Tujuan terapi
adalah tindakan reperfusi segera, komplit dan menetap dengan angioplasti primer
(Levine dkk,2011) atau terapi fibrinolitik (Antman dkk,2008). Sedangkan pada pasien
dengan IMA non STE/APTS, strategi awal pada pasien ini adalah meredakan iskemia
dan gejala, memantau pasien dengan EKG serial dan mengulangi pengukuran
penanda nekrosis miokard (Wright RS dkk,2011).
9

II. Epidemiologi
Setiap tahun di Amerika Serikat 1.300.000 pasien dirawat di RS dengan APTS /
Infark Miokard non Q, dibandingkan 350.000 pasien Infark miokard dengan
gelombang Q(ST elevasi).

III. Patofisiologi
Lapisan endotel pembuluh darah yang normal akan mengalami kerusakan oleh
adanya faktor risiko antara lain, faktor hemodinamik seperti hipertensi, zat-zat
vasokonstriktor, mediator (sitokin) dari sel darah, asap rokok, peningkatan gula
darah dan oksidasi oleh Low Density Lipoprotein-C (LDL-C) (Libby,1995;
Hamm dkk,2004). Kerusakan ini akan menyebabkan sel endotel menghasilkan
cell molecule adhesion seperti sitokin (interleukin-1), tumor nekrosis faktor
(TNF-), kemokin (monocyte chemoatractant factor-I), dan platelet derived
growth factor. Sel inflamasi seperti monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan
endotel dan bermigrasi dari endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian
berproliferasi menjadi makrofag dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat
lebih aterogenik. Makrofag ini terus membentuk sel busa (Braunwald, 1989;
Libby,1995). LDL yang teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan
menghasilkan respon inflamasi. Sebagai tambahan terjadi respon dari angiotensin
II yang menyebabkan gangguan vasodilatasi dan mengaktifkan efek protrombin
dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan endotel terjadi
respon protektif yang dipicu oleh inflamasi dan terbentuk lesi fibrofatty dan
fibrous. Plak yang stabil bisa menjadi tidak stabil (vulnerable) dan mengalami
rupture (Libby, 1995).
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis seperti kolagen, adenosin
diphosphate (ADP), epinefrin dan serotonin memicu aktivasi trombosit, yang
selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan-A2 (vasokonstriktor
lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu reseptor glikoprotein
II/IIIa yang mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein
adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen.
Dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat platelet yang
berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi
(Deckelbaum,1990; Foo dkk,2000). Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan
tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi,
mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin yang kemudian
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombus dan fibrin
(Findlay dkk, 2005; Braunwald, 1989).
IMA STE umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya.
Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak
memicu IMA STE karena timbulnya banyak kolateral sepanjang waktu. Pada
sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur,
ruptur atau ulserasi dan jika kondisi ruptur lokal akan menyebabkan oklusi arteri
10

koroner. Penelitian histologi menunjukkan plak koroner cenderung mengalami


ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid. Pada IMA STE
gambaran klasik terdiri dari fibrin rich red thrombus yang dipercaya menjadi
dasar sehingga IMA STE memberikan respon terhadap terapi trombolitik (Hamm
dkk,2004)

1.Ruptur plak

Atherosklerosis merupakan suatu proses yang tersembunyi yang telah dimulai 20-30
tahun sebelum timbunya keluhan klinis. Hiperkolesterolemia,hipertensi dan faktor
risiko lainnya menyebabkan kerusakan pada sel endotel pembuluh darah,dimana proses
atherosklerosis dimulai. Adanya kerusakan sel endotel membuat macropag lebih mudah
menempel dan melakukan penetrasi kedalam sel endotel. Molekul Low density
lipoprotein (LDL) kolesterol dapat melakukan penetrasi ke dalam dinding p.darah. LDL
yang masuk kedalam dinding p.darah akan difagosit (dimakan)oleh Macrofag dan
kemudian menjadi Sel busa (foam sel) sel inilah yang kemudian akan menjadi plak
atherosklerotik.
Lesi plak dengan stenosis kurang dari 50% lebih cenderung mengalami ruptur.
Berbagai faktor yang berperanan tehadap ruptur plak antara lain disfungsi sel endotel,
komponen lipid yang ada pada plak,derajat inflamasi lokal,tonus arteri pada daerah
dengan plak yang ireguler,lokal tekanan shear stress ,fungsi trombosit dan status sistem
koagulasi.
Sedangkan faktor yang dapat mempresipitasi ruptur plak adalah variasi sirkadian
tekanan darah, denyut jantung,stres emosional,latihan fisik.

2.Inflamasi

Akhir-akhir ini ramai dibicarakan peranan inflamasi terhadap AKS. Bukti klinis adanya
peranan inflamasi terhadap terjadinya atherosklerosis dan AKS telah dilaporkan. Infeksi
agen seperti Clamydia pneumoniae terlihat sebagai salah satu penyebab infalamasi
yang difus pada atheroseklerosis.Studi histologis dan Pilot treatment trial membuktikan
Clamydia pneumoniae penting dan potensial untuk diterapi sebagai penyebab AKS

3.Trombosis

Peranan sentral trombnosis arteri koroner dalam patogenesis AKS ditunjang oleh bukti-
bukti:
a.Pada autopsi didapat adanya trombus pada daerah ruptur plak
b.Spesimen yang diambil pada aterektomi koroner pada pasien akut infark atau APTS
menunjukkan tingginya insiden lesi trombosis akut.
c.Pada pengamatan dengan angioskopi koroner sering terlihat adanya trombus.
d.Pada angiograpi koroner adanya ulserasi atau ireguleritas menunjukkan adanya ruptur
plak dan atau trombus .

IV. Presentasi Klinis,Diagnosis dan Penilaian Risiko


Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik

1.Nyeri dada khas angina


11

Nyeri dada khas angina berupa nyeri dada rasa berat/ ditindih/dihimpit didaerah
retrosternal menjalar kelengan kiri, leher rasa tercekik atau rasa ngilu rahang bawah yang
timbul saat aktivitas dan bekurang saat istirahat. Untuk nyeri dada angina lamanya <20
menit. Untuk nyeri dada infark nyeri >20 menit dan tidak berkurang walau dengan
pemberian nitrat.
2.Biasanya disertai gejala sistemik berupa mual,muntah dan keringat dingin dan kadang-
kadang bisa sampai pingsan.

3.Nyeri epigastrium

4.Nyeri dada tidak khas

Nyeri dada yang tidak disertai penjalaran, atau kadang-kadang hanya keringat dingin dan
lemas saat aktivitas biasanya terjadi pada orang tua atau pada penderita diabetes melitus.

5.Nyeri dada angina equivalen


presentasi klinis tidak berupa nyeri dada tetapi sesak napas.

6.Pingsan, terutama pada orang tua.

EKG
Pemeriksaan EKG memegang peranan penting dalam mendiagnosa AKS.Pemeriksaan
tyang sederhana,murah tapi mempunyai nilai klinis yang tinggi.
Pada APTS/ Non Q infark,perubahan berupa adanya ST segmen depresi atau T inversi
,Hal ini harus dibedakan dengan tanda hipertropi ventrikel kiri.

Pada akut infark dengan gelombang Q, didapat adanya ST segemen Elevasi,yang pada
jam awal masih berupa hiperakut T (gelombang T tinggi ) yang kemudian berubah
menjadi ST elevasi. Adanya new RBBB/LBBB juga merupakan tanda perubahan ECG
pada infark gelombang Q.

Pada penderita dengan nyeri dada sementara ECGnya normal menunjukkan besar
kemungkinan nonkardiac pain.Sementara progonosis dengan perubahan ecg hanya T
inverted lebih baik dari ST segmen depresi yang masuk dalam risiko tinggi.

Enzim Jantung

Marker yang biasa dipakai sebagai petunjuk adanya kerusakan miokard ialah enzym CK
(Creatinin kinase ) dan CK-MB(isoenzym CK) merupakan gold standar. Enzym ini baru
meningkat setelah 4 jam serangan.Tak heran pada jam-jam awal nilainya masih dalam
batas normal.
Selain marker tersebut akhir-akhir ini sudah bekembang dengan pemeriksaan lain yang
dapat dideteksi lebih awal adanya kerusakan otot jantung,yaitu pemeriksaan Myoglobin
(meningkat dalam 2-3 jam pertama), Troponin T dan I yang meningkat 3-12 jam setelah
infark.
Penderita dengan perubahan ECG dan troponin T +, merupakan risiko tinggi
dibandingkan dengan Troponin T negative. Troponin T +,menunjukkan risiko terhadap
komplikasi jangka pendek dan jangka panjang yang tinggi.
12

Diagnosis AKS
Diagnosis AKS didasarkan kepada 3 hal :
1.Presentasi Klinis adanya angina
2.Perubahan EKG
3.Peningkatan enzim jantung

Untuk Diagnosis APTS (Angina Pectoris Tidak Stabil) , adanya satu atau dua kriteria
yang pertama yaitu:
1.Adanya keluhan nyeri dada khas angina ,biasanya lama < 20 menit,berkurang dengan
pemberian obat nitrat.
2.Terdapat perubahan EKG berupa ST segmen elevasl/ T inversi

Yang termasuk dalam APTS yaitu Angina saat istirahat,Progresif angina, Angina First
Onset,Angina pasca infark,Printzmetas angina.
Untuk Diagnosis Akut Myokardial infark, harus memenuhi minimal 2 dari ke 3 kriteria
diatas.

Biasanya pada jam awal-awal serangan kita hanya mendapatkan 2 gejala pertama ,yaitu
nyeri dada khas infark yang sering diikuti gejala sistemik (mual.muntah atau keringat
dingin), dan perubahan EKG . Untuk Infark Non Q, hanya berupa ST segmen depresi /T
inverted sama dengan APTS. Yang membedakan antara APTS denagan Acute Non Q
Infark ,pada APTS tidak terdapat kenaikan enzim (CK-CKMB) .
Sedang yang membedakan antara Akut Non Q dengan Q infark, pada Akut Q infark ECG
menunjukkan adanya ST elevasi minimal 2 mv pada ektremitas lead,atau 1 mv pada
precordial lead.

V. TATALAKSANA
Tujuan terapi pada penderita AKS, Yaitu men-stabilkan angina (pada APTS) dan
mencegah kerusakan lebih lanjut pada infark.Masa-masa kritis pada penderita infark
adalah 2 jam pertama setelah serangan,dimana komplikasi gangguan listrik jantung yang
fatal VT-VF merupakan hal yang paling sering sebagai penyebab suddent death.

UMUM
1.ABCs
2.Segera pasang IV line
3.Oksigen
4.Nitral (cedocard) sublingual
5.Nitrogliserin oral atau infus (drip)
6.Aspirin 160 mg dikunyah
7.Pain killer (Morphine/Petidine)
8.Penderita dirawat di CVCU/ICCU,memerlukan monitor ketat

KHUSUS
1.B Bloker,mengurangi konsumsi oksigen.Pilihan pada B Bloker non ISA.
KI pada AV blok,Asma Bronkial,Severe LHF. Pemberian B bloker dapat menurunkan
progresif AKS sekitar 13 %
2.ACE Inhibitor hari pertama serangan, mampu menurunkan mortalitas fasca infark.
GISSI-3,ISIS-4 dan Chinese Study.
3.Lipid Lowering Terapi (atorvastatin ), MIRACLE study
13

4.Tombolitik Terapi
Streptokinase
RTPA
Pemberian Trombolitik terapi hanya pada Infrak dengan Gelombang Q (ST
elevasi),sedang pada infark non Q dan APTS tidak ada manfaat pemberian trombolitk.
5.Heparin
UFH (unfraksional heparin), risiko perdarahan memerlukan monitor APTTT,dosis bolus
5000 IU,diikuti dengan infus 1000 IU/jam (2-2,5 x nilai APTT baseline)
Low Molucle Weight Heparin (LMWH) lebih aman,risiko perdarahan kecil dan tidak
memerlukan pemantauan APTT. Dosis sesuai dengan berat badan,1 mg/kgBB.
6.Platelet Gliko Protein (GP) Iib/IIIa reseptor Bloker.diogunakan untuk pencegahan
pembekuan darah lebih lanjut,fibrinolisis endogen dan mengurangi derajat stenosis.
7.Primary dan Rescue PTCA,
Di senter-senter yang fasilitas cath-lab dan tenaga ahli yang lengkap ,jarang memberikan
trobolitik biasanya penderita langsung didorong ke kamar cateterisasi untuk dilakukan
PTCA, dan pada mereka yang gagal dalam pemberian trombolitk dilaukan rescue PTCA.
8.CABG

VI. Komplikasi
1.Sjok cardiogenik (bila lebih 30 % LV yang nekrosis)
suddent death,pada jam-jam pertama.2.Aritmia malignant (VT-VT)
3.Mechanical ruptur, MR akut, VSD
4.Heart Failure
5.Gangguan hantaran

HIPERTENSI HEART DISEASE


I. Definisi

Penyakit jantung hipertensi adalah kelainan yang menunjukkan akumulasi dari

adaptasi fungsional dan struktural dari peningkatan tekanan darah. Pembesaran ventrikel
14

kiri, kekakuan vaskular & ventrikel, dan disfungsi diastolik adalah manifestasi yang akan

menyebabkan penyakit jantung iskemik dan dapat berkembang menjadi gagal jantung

bila tidak ditangani dengan baik (Izzo&Gradman, 2004).

II. Epidemiologi

Prevalensi hipertensi pada tahun 2005 adalah 35.3 juta pada laki-laki dan 38.3

juta pada wanita. Sedangkan prevalensi pada LVH tidak diketahui. Jumlah LVH yang

ditemukan berdasar EKG adalah 2,9% pada laki-laki dan 1,5% pada wanita. Pasien-

pasien tanpa LVH, 33% telah memiliki distolik disfungsi yang asimtomatik.

Menurut penelitian Framingham, hipertensi merupakan penyebab seperempat

gaggal jantung. Pada populasi dewasa hipertensi berkonstribusi 68% terhadap terjadinya

gagal jantung. Pasien dengan hipertensi mempunyai resiko dua kali lipat pada laki-laki

dan tiga kali lipat pada wanita. (Riaz, 2009)

Peningkatan tekanan darah sistolik seiring dengan pertambahan umur.

Peningkatan tekanan darah lebih tinggi pada laki-laki dibanding wanita, sampai wanita

mengalami menopause, dimana tekanan darah akan meningkat tajam dan mencapai level

yang lebih tinggi daripada pria. Prevalensi hipertensi lebih tinggi pada pria daripada

wanita pada usia di bawah 55 tahun, namun sebaliknya pada usia di atas 55 tahun.

Prevalensi gagal jantung hipertensi mengikuti pola prevalensi hipertensi.

Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%,

sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14,3%

dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab penyakit jantung

di Indonesia. Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut

sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian hipertensi

yang dapat ditemukan penyebabnya (hipertensi sekunder). (Panggabean, 2006).


15

Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) yang dilakukan Departemen Kesehatan

tahun 1986 menunjukkan bahwa penyakit jantung menduduki urutan ke-3 sebagai

penyebab kematian, dengan catatan pada golongan umur 45 tahun keatas penyakit

kardiovaskuler menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian, sedangkan pada

SKRT tahun 1972 penyakit jantung masih menduduki urutan ke-11. Kekerapan penyakit

jantung juga meningkat dari 5,2% sampai 6,3%. Penyakit jantung dan pembuluh darah

yang banyak di Indonesia adalah penyakit jantung koroner, penyakit jantung reumatik dan

penyakit hipertensi. Penyakit hipertensi merupakan salah satu faktor resiko terjadinya

penyakit jantung koroner dan dapat menyebabkan komplikasi pada organ lain, seperti

mata, ginjal, dan otak. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen

Kesehatan RI melaporkan bahwa didapatkan angka kekerapan penyakit hipertensi ini

pada golongan usia 45-54 tahun adalah 19.5%, kemudian meningkat menjadi 30.6% di

atas usia 55 tahun (Rilantono et al, 2004)

III. Patofisiologi dan Patogenesis

Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah interaksi yang kompleks dari

faktor hemodinamik, struktural, neuroendokrin, selular, dan molekular. Di satu sisi faktor-

faktor ini berperan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, sementara di sisi

lain peningkatan tekanan darah juga mempengaruhi faktor-faktor tersebut. Peningkatan

tekanan darah akan menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jantung dengan 2 jalur:

secara langsung melalui peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui interaksi

neurohormonal dan vaskular (Riaz K, 2003).

Hipertrofi ventrikel kiri merupakan kompensasi jantung menghadapi tekanan

darah tinggi ditambah dengan faktor neurohormonal yang ditandai oleh penebalan

konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu

akibat dari gangguan relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri
16

(hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu mekanisme

Frank-Starling melalui peningkatan volume diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan

pada akhirnya akan terjadi gangguan kontraksi miokard (penurunan/gangguan fungsi

diastolik) (PAPDI, 2006).

Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris, infark jantung, dll) dapat terjadi

karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis dengan peningkatan kebutuhan oksigen

miokard akibat dari hipertrofi ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri, iskemia miokard,

dan gangguan fungsi endotel merupakan faktor utama kerusakan miosit pada hipertensi

(PAPDI, 2006).

Hipertrofi Ventrikel Kiri

15-20% pasien dengan hipertensi akan mengalami pembesaran ventrikel kiri.

Resiko pembesaran ventrikel kiri akan meningkat dua kali lipat dengan adanya obesitas.

Prevalensi pembesaran ventrikel kiri berdasarkan bacaan elektrokardiografi, yang tidak

terlalu sensitif, bervariasi. Penelitian menunjukkan hubungan langsung antara tingkat dan

durasi hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri (Riaz K, 2009).

Hipertrofi ventrikel kiri, yang didefinisikan sebagai peningkatan massa ventrikel

kiri, disebabkan oleh respon miosit pada berbagai macam stimulus yang menyertai

peningkatan tekanan darah. Hipertrofi miokard timbul sebagai kompensasi dari

peningkatan afterload. Stimulus mekanik dan neurohormonal serta hipertensi

menimbulkan aktivasi pertumbuhan miokard, ekspresi gen (yang terdapat pada miokard

fetal), dan hipertrofi ventrikel kiri. Sistem renin-angiotensin juga turu mempengaruhi

pertumbuhan interstisium dan komponen matriks seluler. Kesimpulannya, hipertrofi

ventrikel kiri terjadi akibat hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara miosit dan

struktur interstisium miokard (Riaz K, 2009).


17

Terdapat beberapa macam hipertrofi ventrikel kiri, meliputi remodelling

konsentris, hipertrofi ventrikel kiri konsentris, dan hipertrofi ventrikel kiri eksentris.

Hipertrofi ventrikel kiri konsentris adalah peningkatan ketebalan dan massa ventrikel kiri

dengan peningkatan tekanan dan volume diastolik, umumnya ditemukan pada pasien

dengan hipertensi dan merupakan petanda yang buruk bagi pasien ini. Dibandingkan

dengan hipertrofi ventrikel kiri eksentris, dimana peningkatan ketebalan ventrikel kiri

terjadi tidak secara merata, hanya di tempat tertentu, misalnya pada septum. Walaupun,

hipertrofi ventrikel kiri berperan sebagai respon protektif terhadap peningkatan tekanan

dinding jantung untuk mempertahankan curah jantung yang adekuat, namun hal ini dapat

menyebabkan disfungsi sistolik dan diastolik (Riaz K, 2009).

Kelainan Atrium Kiri

Perubahan struktural dan fungsi atrium kiri sangat sering terjadi pada pasien

dengan hipertensi. Peningkatan afterload akan berdampak pada atrium kiri oleh

peningkatan tekanan diastolik akhir ventrikel kiri dan sekunder oleh karena peningkatan

tekanan darah yang mengakibatkan kerusakan atrium kiri, penurunan fungsi atrium kiri,

dan penebalan/pelebaran atrium kiri. Pelebaran atrium kiri yang menyertai hipertensi

tanpa adanya penyakit katup jantung atau disfungsi sistolik biasanya merupakan implikasi

dari hipertensi kronis atau mungkin berhubungan dengan tingkat keparahan disfungsi

diastolik ventrikel kiri. Dengan adanya perubahan struktur tersebut, pasien memiliki

resiko tinggi untuk mengalami fibrilasi atrium dan dapat mengakibatkan gagal jantung

(Riaz K, 2009).

Penyakit Katup
18

Meskipun penyakit katup jantung tidak menyebabkan penyakit jantung

hipertensi, hipertensi yang parah dan kronis dapat menyebabkan dilatasi aorta yang

menimbulkan insufisiensi aorta. Insufisiensi aorta juga dapat ditemukan pada pasien-

pasien hipertensi yang tidak terkontrol. Peningkatan tekanan darah yang akut dapat

memperparah keadaan insufusiensi aorta, dimana akan membaik jika tekanan darah

terkontrol dengan baik. Disamping dapat juga menyebabkan regurgitasi aorta,

hipertension juga dapat mempercepat proses sklerosis aorta dan regurgitasi mitral (Riaz

K, 2009).

Gagal Jantung

Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada peningkatan

tekanan darah yang terjadi secara kronis. Hipertensi sebagai penyebab dari gagal jantung

kongestif seringkali tidak terdeteksi, karena saat proses gagal jantung terjadi, disfungsi

ventrikel kiri tidak menyebabkan peningkatan tekanan darah. Prevalensi dari disfungsi

diastolik asimtomatis pada pasien dengan hipertensi namun tanpa pembesaran ventrikel

kiri sekitar 33% (Riaz K, 2009).

Disfungsi diastolik sering terjadi pada pasien dengan hipertensi, dan sering

disertai dengan pembesaran ventrikel kiri. Faktor-faktor yang menyebabkan disfungsi

diastolik disamping adanya peningkatan afterload, adalah interaksi antara penyakit

jantung koroner, usia, disfungsi sistolik, dan kelainan struktural, misalnya fibrosis dan

hipertrofi ventrikel kiri. Biasanya disfungsi diastolik juga diikuti oleh disfungsi sistolik

asimtomatis. Selanjutnya, hipertrofi ventrikel kiri gagal untuk mengkompensasi

peningkatan curah jantung karena peningkatan tekanan darah, sehingga ventrikel kiri

mengalami dilatasi untuk mempertahankan curah jantung. Ketika memasuki tahap akhir,

fungsi sistolik ventrikel kiri semakin menurun. Hal ini meningkatkan aktivasi
19

neurohormonal dan sistem renin-angiotensin, mengakibatkan peningkatan retetensi garam

dan cairan, serta peningkatan vasokonstriksi perifer, menambah kerusakan lebih lanjut

pada ventrikel kiri menjadi disfungsi sistolik yang simtomatik(Riaz K, 2009).

Apoptosis, atau kematian sel yang terprogram, yang distimulasi oleh hipertrofi

miokard dan ketidakseimbangan antara stimulan dan inhibitor, memiliki peran yang

penting dalam transisi tahap kompensasi ke tahap dekompensasi. Pasien dapat menjadi

simtomatik dalam tahap disfungsi sistolik atau diastolik asimtomatis, tergantung dari

kondisi afterload atau adanya keterlibatan miokard (misalnya iskemia, infark).

Peningkatan tekanan draah yang terjadi secara tiba-tiba dapat mengakibatkan edema paru

akut tanpa perlu terjadi perubahan fraksi ejeksi ventrikel kiri. Umumnya, perkembangan

disfungsi atau dilatasi ventrikel kiri, baik yang asimtomatis maupun simtomatis, dianggap

sebagai penyebab penurunan status klinis yang cepat dan meningkatkan angka kematian.

Penebalan ventrikel kanan dan disfungsi diastolik juga berperan menyebabkan penebalan

septum dan disfungsi ventrikel kiri (Riaz K, 2009).

Iskemik Miokard

Pasien dengan angina memiliki prevalensi hipertensi yang tinggi. Hipertensi

melipatgandakan resiko untuk penyakit jantung koroner. Iskemia pada pasien dengan

hipertensi terjadi karena multifaktor (Riaz K, 2009).

Yang penting, pada pasien dengan hipertensi, angina dapat muncul tanpa penyakit

jantung koroner. Hal ini terjadi karena peningkatan afterload sekunder karena hipertensi

mengakibatkan peningkatan tekanan ventrikel kiri dan transmural, menghambat aliran

darah koroner saat diastol. Selanjutnya, pada pasien dengan hipertensi,

mikrovaskularisasi yaitu arteri koroner epikardial, mengalami disfungsi dan tidak dapat

mengkompensasi peningkatan metabolisme dan kebutuhan oksigen (Riaz K, 2009).


20

Perkembangan dan progresifitas arteriosklerosis, dasar dari penyakit jantung

koroner, adalah kerusakan arteri terus-menerus karena peningkatan tekanan darah.

Tekanan yang terus-menerus mengakibatkan disfungsi endotel, dan menyebabkan

kelainan sistesis dan pengeluaran agen vasodilator nitrit oxide. Penurunan kadar nitrit

oxide menyebabkan dan mempercepat proses arteriosklerosis dan penumpukan plak (Riaz

K, 2009).

Aritmia

Aritmia yang sering terjadi pada pasien dengan hipertensi diantaranya adalah

atrial fibrilasi, PVC (premature ventricular contractions) dan ventrikular takikardi. Resiko

dari kematian mendadak juga meningkat. Terdapat berbagai mekanisme yang berperan

dalam patogenesis aritmia diantaranya penurunan struktur dan metabolisme seluler,

inhomogenitas miokard, perfusi yang buruk, fibrosis miokard, dan fluktuasi afterload.

Semua faktor ini dapat meningkatkan resiko terjadinya ventrikular takiaritmia (Riaz K,

2009).

Atrial fibrilasi (paroksismal, kronik rekuren, atau kronik persisten) seringkali

didapatkan pada pasien dengan hipertensi. Faktanya, peningkatan tekanan darah adalah

penyebab tersering dari atrial fibrilasi di daerah barat. Penelitian menunjukkan bahwa

hampir 50% pasien dengan atrial fibrilasi memiliki riwayat hipertensi. Meskipun

etiologinya belum diketahui, abnormalitas struktural atrium kiri, penyakit jantung

koroner, dan hipertrofi ventrikel kiri dianggap sebagai faktor yang berperan. Atrial

fibrilasi dapat menyebabkan dekompensasi sistolik, bahkan disfungsi diastol,

menyebabkan penurunan curah atrium juga resiko komplikasi trimboemboli yang dapat

mengakibatkan stroke (Riaz K, 2009).


21

PVC (premature ventricular contraction), ventrikular aritmia, dan kematian

mendadak sering didapatkan pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri. Etologi dari

aritmia ini diantaranya penyakit jantung koroner dan fibrosis miokard (Riaz K, 2009).

IV. Gejala Klinis

Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya, kebanyakn pasien tidak ada

keluhan. Bila simtomatik maka biasanya disebabkan oleh:

1. Peningkatan tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar-debar, rasa melayang

(dizzy), dan impoten


2. Penyakit jantung/vaskular hipertensi seperti cepat capek, sesak napas, sakit

dada (iskemia miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau perut.

Gangguan vaskular lainnya adalah epistaksis, hematuria, pandangan kabur

karena perdarahan retina, transient cerebral ischemic.


3. Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsi, poliuria,dan

kelemahan otot pada aldosteronism primer; peningkatan BB dengan emosi

yang labi pada sindrom Cushing. Phaeocromositoma dapat muncul dengan

keluhan episode sakit kepala, palpitasi, banyak keringat, dan rasa melayang

saat berdiri (PAPDI, 2006).

V. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai keadaan umum dan memperhatikan

keadaan khusus, seperti: Cushing, Phaeocromositoma, perkembangan tidak

proporsionalnya tubuh atas dibanding bawah yang sering ditemukan pada koartasio aorta.

Pengukuran tekanan darah di tangan kiri dan kanan saat tidur dan berdiri. Funduskopi

dengan klasifikasi Keith-Wagener-Barker sangat berguna untuk menilai prognosis.

Palpasi dan auskultasi arteri karotis untuk menilai stenosis atau oklusi (PAPDI, 2006).
22

Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran jantung ditujukan untuk menilai

hipertrofi ventrikel kiri dan tanda-tanda gagal jantung. Impuls apeks yang prominen.

Bunyi jantung S2 yang meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta. Kadang

ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi aorta. Bunyi S4 (gallop atrial atau sistolik)

dapat ditemukan akibat dari peninggian tekanan atrium kiri. Sedangkan bunyi S3 (gallop

ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan akhir diastolik ventrikel kiri

meningkat akibat dilatasi ventrikel kiri. Bila S3 dan S4 ditemukan bersama disebut

summation gallop. Paru perlu diperhatikan apakah ada suara napas tambahan seperti

ronkhi basah atau ronkhi kering. Pemeriksaan perut ditujukan untuk mencari aneurisma,

pembesaran hati, lien, ginjal, dan ascites. Auskultasi bising di sekitar kiri kanan umbilicus

(renal artey stenosis). Areteri radialis, arteri femoralis, dan arteri dorsalis pedis harus

diraba. Tekanan darah di betis harus diukur minimal sekali pada hipertensi usia muda

(kurang dari 30 tahun) (PAPDI, 2006).

VI. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium awal meliputi:

1. Urinalisis: protein, leukosit, eritrosit, silinder


2. Darah lengkap: leukosit, hemoglobin, hematokrit, trombosit
3. Elektrolit darah: kalium, kalsiuj, fosfor
4. Ureum/kreatinin
5. Gula darah puasa
6. Total kolesterol, trigliserida, HDl, LDL
7. Elektrokardiografi
8. TSH
9. Foto thorax
10. Ekokardiografi
Ekokardiografi dilakukan karena dapat menemukan hipertrofi ventrikel kiri lebih

dini dan lebih spesifik. Indikassi ekokardiografi pada pasien hipertensi adalah:
- Konfirmasi gangguan jantung atau murmur
- Hipertensi dengan kelainan katup
- Hipertensi pada anak atau remaja
- Hipertensi saat aktivitas, tetapi normal saat istirahat
23

- Hipertensi disertai sesak napas yang belum jelas sebabnya (gangguan fungsi

sistolik atau diastolik)

Ekokardiografi doopler dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolik (gangguan

fungsi relaksasi ventrikel kiri, pseudo-normal, atau tipe restriktif) (PAPDI, 2006).

VII. Penatalaksanaan

Terapi untuk HHD terbaik ada dalam konteks dari JNC 7

dan ACC tahun 2001 / pedoman HF AHA yang menekankan pentingnya

terapi antihipertensi berdasarkan bukti klinis dan kondisi natural history. Awalnya, HHD

belum sepenuhnya diintegrasikan ke dalam ACC / pedoman AHA, tetapi jelas bahwa

HHD cocok sempurna dalam keseluruhan konteks seperti diuraikan. (Joseph, 2004)

Dibawah ini terapi berdasarkan stadium gagal jantung. sebelumngya di bawah ini

akan dijelaskan stadium gagal jantung.

ACC / AHA staging gagal jantung NYHA Klasifikasi fungsional


Tahapan gagal jantung berdasarkan pada Severity berdasarkan gejala
struktur dan kerusakan otot jantung dan aktivitas fisik
Tahap A Pada risiko tinggi untuk Kelas I tidak ada keterbatasan aktivitas
mengembangkan gagal jantung. Tidak fisik. Biasa aktivitas fisik tidak
teridentifikasi abnormalitas struktural atau menyebabkan kelelahan yang tidak
fungsional, tidak ada tanda-tanda atau semestinya, debar jantung, atau dispnea.
gejala.
Tahap B Dikembangkan penyakit jantung Kelas II sedikit keterbatasan aktivitas
struktural yang sangat terkait dengan fisik. Nyaman saat istirahat, tapi kegiatan
perkembangan gagal jantung, tapi fisik dalam kelelahan, debar jantung, atau
tanpa tanda-tanda atau gejala. dispnea.
Tahap C simtomatik gagal jantung yang Kelas III Ditandai keterbatasan aktivitas
berhubungan dengan dasar fisik. Nyaman saat istirahat, tapi
penyakit jantung struktural kurang dari hasil kegiatan biasa dalam
kelelahan, debar jantung, atau
dispnea.
Tahap D Advanced penyakit jantung Kelas IV Tidak untuk melakukan
24

struktural dan gejala ditandai kegiatan fisik apapun tanpa rasa tidak
gagal jantung saat istirahat meskipun terapi nyaman.
medis maksimal. Gejala saat istirahat. Jika aktivitas fisik
dilakukan,
ketidaknyamanan meningkat
ACC =American College of Cardiology; The Criteria Committee of the New York
AHA American Heart Association. Hunt Heart Association. Nomenclature and
Criteria for Diagnosis of Diseases of the
SA et al. Circulation 2005;112:18251852.
Heart and Great Vessels. 9th ed. Little
Brown & Co;
1994. pp 253256.

Pencegahan (individu tahap A)

Tujuan terapi pada tahap A (mereka yang beresiko untuk HF) adalah penekanan

faktor risiko, dengan mengontrol tekanan darah adalah hal yang paling penting. Individu

tahap A harus didorong untuk melakukan perubahan gaya hidup, khususnya mengkontrol

berat badan dan latihan aerobik untuk mengontrol tekanan darahdan faktor risiko lain

seperti

dislipidemia dan dysglycemia. Aktifitas fisik memperbaiki

Fungsi jantung dan mengurangi tekanan daah dan afterload jantung dengan cara berbagai

mekanisme, termasuk kekakuan arteri berkurang. Obat

hipertensi dianjurkan untuk individu dengan BP 140/90 mm Hg pada

populasi umum atau 130/80 mm Hg pada diabetes atau

penyakit ginjal kronis. Penekanan ditempatkan pada mencapai tujuan pengobatan,

yang biasanya membutuhkan kombinasi dari agen anti hipertensi. Terapi antihipertensi

diuretik memungkinkan pengurangan sekitar 50% terjadinya HF. Angiotensin-converting

enzyme (ACE) inhibitor dan b-bloker juga, sedangkan kalsium

antagonis dan -blocker tampaknya kurang efektif dalam mencegah HF. (Joseph, 2004)
25

Gabungan pencegahan / pengobatan (tahap B dan hipertrofi ventrikel kiri)

Tujuan perawatan khusus untuk pasien dengan tahap B tanpa gejala''

HF''adalah untuk mengurangi, menghambat, maladaptive jantung dan pembuluh

darah, sehingga mencegah atau menunda terjadinya HF. Kontrol tekanan darah

tetap menjadi dasar dari terapi dalam tahap B, bersama dengan manajemen faktor risiko

lainnya. Tahap B harus mencakup LVH karena banyak ahli percaya

bahwa regresi LVH merupakan target terapeutik penting. Data studi menunjukkan bahwa

penurunan tegangan EKG berhubungan dengan pengurangan yang signifikan dalam

kejadian CVD Dalam analisis-meta dari empat penelitian terapi antihipertensi, pasien

denganecho-regresi LVH mengalami 59% pengurangan risiko CVD dibandingkan

dengan mereka yang tidak regresi atau dengan perkembangan selanjutnya dari LVH.

Karena afterload jantung meningkat adalah stimulus utama untuk konsentris

LVH, hampir semua rejimen terapi yang mengurangi tekanan darah sistolik mendorong

regresi LVH. Vasodilator adalah pengecualian karena obat-obatan seperti hydralazine dan

minoxidil sebaliknya tidak mengurangi LVH meskipun Efektif menurunkan tekanan

darah.

Beberapa peneliti telah mengusulkan bahwa efek prohypertrophic

angiotensin II menjadi dasar untuk status pilihan inhibitor ACE dan

angiotensin reseptor bloker (ARB) dalam regresi LVH; Namun, kalsium

antagonis dan diuretik, yang cenderung untuk merangsang angiotensin II, hanya

sedikit lebih buruk (sekitar 10%) dari ACE inhibitor atau ARB dalam mengatasi

regresi LVH. (Joseph, 2004)

Terapi Optimal HF tahap B masih belum jelas karena relatif

kurangnya studi klinis langsung di daerah ini. Pada keseimbangan, ACE inhibitor

b-blocker, dan ARB masuk pilihan dalam setiap tahap pasien B dengan disfungsi sistolik
26

atau LVH. Kombinasi penghambat ACE dan ARB pada pasien B tahap tidak mencapai

manfaat tambahan. Peran diuretik thiazide dalam tahap B HF agak kurang jelas.

Gagal jantung (tahap C-D)

agen tertentu yang direkomendasikan oleh JNC 7 untuk pengobatan

hipertensi dan HF sebagai indikasi. adalah suatu kondisi yang berisiko tinggi

berhubungan dengan hipertensi yang ada uji klinis bukti manfaat hasil tertentu untuk

kelas tertentu obat anti hipertensi. ujuan perawatan untuk pasien dengan HF adalah untuk

mengurangi

gejala, mencegah masuk rumah sakit, mencegah remodelling lambat atau remodelling

progresif, dan menurunkan angka kematian. Tekanan darah pada HF memnutuhkan

perawatan lanjutan yang layak. Penurunan tekanan darah yang agresif adalah sangat

pentingkarena sensitivitas dari afterload ventrikel gagal jantung meningkat. Dengan

demikian, sering kali diperlukan untuk mengurangi tekanan darah sistolik sebanyak

mungkin, bahkan sampai nilai di bawah 120 mm Hg jika pasien tidak bergejala (ortostatik

biasanya hipotensi berat atau kelelahan).

Untuk sistolik disfungsi, terapi obat merupakan hal terpenting dalam

manajemen. Obat yang memenuhi persyaratan sebagai JNC 7 indikasi kuat untuk

pengobatan hipertensi dan HF dapat diklasifikasikan secara luas sebagai menghambat

neurohormonal (Yaitu, obat-obatan yang mengganjal simpatik dan renin-angiotensin-

aldosteron sistem). Termasuk dalam kategori ini adalah inhibitor ACE, ARB, b-blocker,

dan antagonis aldosteron.

Loop diuretik sangat diperlukan dalam mengelola gejala berkaitan dengan

volume

overload dan dalam kontrol agresif tekanan darah di beberapa individu. Digitalis dapat

memperbaiki gejala, tetapi tidak mempengaruhi prognosa. Tambahan modalitas seperti


27

defibrillator implant, counterpulsation perangkat, dan transplantasi organ kadang-kadang

digunakan dalam kasus-kasus yang kompleks.

Saat ini, tidak ada yang direkomendasikan pengobatan untuk disfungsi diastolik

karena kekurangan bukti klinis. Namun demikian, di dalam disfungsi diastolik, terapi

berbasis ARB dikaitkan dengan 11% kecenderungan menuju perbaikan hasil penyakit

kardiovaskuler, terutama HF rawat inap. Terapi lain yang belum diuji dalam disfungsi

diastolik khusus, namun diyakini oleh beberapa ahli bahwa tingkat perlambatan dengan

bloker atau antagonis kalsium nondihydropyridine berguna karena

meningkatkan pengisian ventrikel. Digitalis glikosida dan agen inotropic lainnya

umumnya tidak dianjurkan karena kontraktilitas jantung tidak terganggu. (Joseph, 2004)

Rangkuman penatalaksanaan pada penyakit jantung hipertensi ada pada tabel di

bawah ini:

1. Penatalaksanaan non farmakologis

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah

tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi.

Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya

hidup. Perubahan yang sudah terlihat menurunkan tekanan darah dapat terlihat pada tabel

sesuai dengan rekomendasi dari JNC VII. Disamping menurunkan tekanan darah pada

pasien-pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi

berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah

prehipertensi. (He, 2000)

Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan darah

adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola

makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan
28

kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada

sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat

antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari

menggunakan obat. (Hyman, 2001)

Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk menurunkan berat

badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan obes disertai pembatasan

pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan

dorongan moril. Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien

mengerti rasionalitas intervensi diet: (Dosh, 2001)

a) Hipertensi 2 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding orang dengan

berat badan ideal


b) Lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk (overweight)
c) Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg) dapat menurunkan

tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk


d) Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga prekursor

dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat berlanjut ke DM tipe 2.

dislipidemia, dan selanjutnya ke penyakitkardiovaskular.


e) Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat menurunkan

tekanan darah pada individu dengan hipertensi.


f) Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam, kebanyakan

pasien mengalami penurunaan tekanan darah sistolik dengan pembatasan

natrium.

JNC VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya dengan buah, sayur,

dan produk susu redah lemak dengan kadar total lemak dan lemak jenuh berkurang.

Natrium yang direkomendasikan < 2.4 g (100 mEq)/hari.

Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara teratur

paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk kebanyakan pasien. Studi
29

menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan

menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini dapat terjadi

walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi dengan dokter

untuk mengetahui jenis olah-raga mana yang terbaik terutama untuk pasien dengan

kerusakan organ target.

Merokok merupakan faktor resiko utama independen untuk penyakit kardiovaskular.

Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling berhubungan dengan resiko lain yang

dapat diakibatkan oleh merokok.

2. Penatalaksanaa Farmakologis

Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta, penghambat enzim

konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis

kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat-obat ini baik sendiri atau

dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi

karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini

(misalnya diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan yang

bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek

samping. Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat adrenergik, dan vasodilator

digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama.

Evidence-based medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas bukti terbaik

yang ada dalam mengambil keputusan saat memilih obat secara sadar, jelas, dan bijak

terhadap masing-masing pasien dan/atau penyakit. Praktek evidence-based untuk

hipertensi termasuk memilih obat tertentu berdasarkan data yang menunjukkan

penurunan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular atau kerusakan target organ akibat

hipertensi. Bukti ilmiah menunjukkan kalau sekadar menurunkan tekanan darah,

tolerabilitas, dan biaya saja tidak dapat dipakai dalam seleksi obat hipertensi. Dengan
30

mempertimbangkan faktor-faktor ini, obat-obat yang paling berguna adalah diuretik,

penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin

(ARB), penyekat beta, dan antagonis kalsium (CCB).Berikut ini digambarkan panduan

pengobatan hipertensi menurut paduan ESC-ESH. (ESH, 2003):

Diagram di bawah ini (A, B, dan C) menunjukkan bagaimana memulai

pengobatan antihpertensi yang didasarkan pada nilai tekanan darah awal dan jumlah total

resiko kardiovaskular:

Kepaniteraan Klinik Laporan Kasus

Bagian/SMF Penyakit Dalam Juni 2015

Gagal Jantung Akut ec Acut Coronary Syndrom


Hipertensi Heart Disease

Oleh:

Dwi Nur Akta Fiani Syaing, S. Ked


K1 A2 10 026

Pembimbing : dr. Bimo Bintoro, Sp.JP


31

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO

RSU BAHTERAMAS PROVINSI SULAWESI TENGGARA

KENDARI

2015

Anda mungkin juga menyukai