I. subjektif
Anamnesis :
Anamnesis terpimpin :
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 5 jam SMRS. Sesak nafas
timbul saat nonton TV. Sesak nafas saat istrahat maupun beraktivitas. Pasien merasa lebih
sesak jika berjalan dan berkurang saat duduk. Pasien juga mengeluh nyeri dada kiri yang
menjalar ke lengan kiri sejak 5 jam SMRS. Nyeri seperti diremas. Pasien juga merasa
mudah lelah, berdebar-debar dan merasa pusing dan berkeringat dingin. Demam (-),
batuk (-), pilek (-). Mual (+). Muntah (-). BAB biasa, BAK lancar.
Riwayat sesak dan nyeri dada sejak 1 bulan terakhir, sesak nafas memberat
terutama saat beraktivitas. Riwayat hipertensi (+). Riwayat pengobatan untuk hipertensi
(+) namun tidak rutin serta pasien dan keluarga tidak mengingat nama obatnya. Riwayat
penyakit jantung sebelumnya (-). Riwayat stroke sisi kiri (+) pada tahun 2011. Riwayat
asma (-). Riwayat penyakit sama dalam keluarga (-).
II. Objektif
Status present
Tanda vital
Mulut : Bibir :kering (+), pucat(+), pecah-pecah (+) Tonsil : hiperemis (-)
Dada :
Lain-lain : (-)
2
Paru :
Jantung:
Perkusi : pekak (+) kanan : LPD, kiri : Linea Axillaris Anterior, kesan membesar
Perut :
Punggung:
Laboratorium :
HB H 13,5 12-16
Ureum N 38 15-40
HDL cholesterol N 69 35
Trigliserida N 98 <200
4
SGOT N 18 <31
SGPT N 20 <31
Resume:
Pasien perempuan usia 55 tahun masuk di UGD RSUB dengan keluhan dyspneu
sejak 5 jam SMRS. Dyspneu saat istrahat maupun beraktivitas. Pasien juga merasa
nyeri dada sinistra yang menjalar ke lengan sinistra sejak 5 jam SMRS. Nyeri seperti
diremas. Pasien merasa mudah malaise, palpitasi, dan vertigo dan berkeringat dingin.
Nausea (+). Riwayat dyspneu dan nyeri dada sejak 1 bulan terakhir, dyspneu memberat
terutama saat beraktivitas. Riwayat hipertensi (+), riwayat konsumsi obat penurun darah
tinggi (+), riwayat stroke lateralisasi sinistra (+) tahun 2011.
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 5 jam SMRS. Sesak nafas saat
istrahat maupun beraktivitas. Pasien juga mengeluh nyeri dada kiri yang menjalar ke
tangan kiri sejak 5 jam SMRS. Pasien juga merasa mudah lelah, berdebar-debar dan
merasa pusing. Demam (-), batuk (-), pilek (-). BAB biasa, BAK lancar.
Riwayat sesak dan nyeri dada sejak 1 bulan terakhir, sesak nafas memberat
terutama saat beraktivitas. Riwayat hipertensi (+). Riwayat pengobatan untuk hipertensi
(+) namun tidak rutin serta pasien dan keluarga tidak mengingat nama obatnya. Riwayat
stroke sisi kiri (+) pada tahun 2011. Riwayat asma (-). Riwayat penyakit sama dalam
keluarga (-).
Pemeriksaan fisik didapatkan TD: 190/130 mmHg, HR :102x/menit,
Pernapasan:32x/menit, Suhu : 36.2 0C, konjungtiva anemis, bibir pucat(+), kering(+),
pecah-pecah (+), JVP 5+2. Pemeriksaan penunjang diperoleh EKG kesan sinus takikardi,
akut NSTEMI, , foto thoraks di peroleh kesan kardiomegali sesuai HHD.
6
III. Assessment
IV. Planning
Pengobatan :
Rencana pemeriksaan :
V. Prognosis
Ad functionam : ad dubia
Ad sanationam : ad dubia
Ad vitam : ad dubia
LAMPIRAN:
8
I. DEFINISI
Istilah SKA mulai dipakai sejak tahun 1994,terminologi ini dipakai untuk
menunjukkan pasien dengan nyeri dada iskemik. Sakit dada merupakan keluhan yang
tersering ,yaitu terjadi pada 70-80 % pasien SKA.
Sindroma koroner akut,merupakan sindroma klinis akibat adanya penyumbatan
pembuluh darah koroner baik bersifat intermiten maupun menetap akibat rupturnya
plak atherosklerosis. Yang termasuk dalam kelompok tersebut adalah Angina Pektoris
Tidak Stabil (APTS),Infak Miokard baik dengan gelombang Q maupun tanpa
gelombang Q (non Q infark ) .
Penggabungan ke 3 hal tersebut dalam satu istilah SKA,hal ini didasarkan kesamaan
dalam pathofisiologi,proses terjadinya arterosklerosis serta rupturnya plak
atherosklerosis yang menyebabkan trombosis intravaskular dan gangguan suplay
darah miokard.
Sindroma Koroner Akut (SKA) terdiri dari infark miokard akut (IMA) disertai
elevasi segmen ST (IMA STE), IMA tanpa elevasi segmen ST (IMA non STE) dan
angina pektoris tak stabil (APTS) (Braunwald,1989; Christopher PC,2005). Walaupun
presentasi klinisnya berbeda tetapi memiliki kesamaan patofisiologi (Libby,1995).
Jika troponin T atau I positif tetapi tanpa gambaran ST elevasi disebut IMA non STE
dan jika troponin negatif disebut APTS seperti yang ditunjukkan pada gambar 1.
(Hamm dkk,2004; PERKI,2012).
II. Epidemiologi
Setiap tahun di Amerika Serikat 1.300.000 pasien dirawat di RS dengan APTS /
Infark Miokard non Q, dibandingkan 350.000 pasien Infark miokard dengan
gelombang Q(ST elevasi).
III. Patofisiologi
Lapisan endotel pembuluh darah yang normal akan mengalami kerusakan oleh
adanya faktor risiko antara lain, faktor hemodinamik seperti hipertensi, zat-zat
vasokonstriktor, mediator (sitokin) dari sel darah, asap rokok, peningkatan gula
darah dan oksidasi oleh Low Density Lipoprotein-C (LDL-C) (Libby,1995;
Hamm dkk,2004). Kerusakan ini akan menyebabkan sel endotel menghasilkan
cell molecule adhesion seperti sitokin (interleukin-1), tumor nekrosis faktor
(TNF-), kemokin (monocyte chemoatractant factor-I), dan platelet derived
growth factor. Sel inflamasi seperti monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan
endotel dan bermigrasi dari endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian
berproliferasi menjadi makrofag dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat
lebih aterogenik. Makrofag ini terus membentuk sel busa (Braunwald, 1989;
Libby,1995). LDL yang teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan
menghasilkan respon inflamasi. Sebagai tambahan terjadi respon dari angiotensin
II yang menyebabkan gangguan vasodilatasi dan mengaktifkan efek protrombin
dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan endotel terjadi
respon protektif yang dipicu oleh inflamasi dan terbentuk lesi fibrofatty dan
fibrous. Plak yang stabil bisa menjadi tidak stabil (vulnerable) dan mengalami
rupture (Libby, 1995).
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis seperti kolagen, adenosin
diphosphate (ADP), epinefrin dan serotonin memicu aktivasi trombosit, yang
selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan-A2 (vasokonstriktor
lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu reseptor glikoprotein
II/IIIa yang mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein
adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen.
Dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat platelet yang
berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi
(Deckelbaum,1990; Foo dkk,2000). Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan
tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi,
mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin yang kemudian
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombus dan fibrin
(Findlay dkk, 2005; Braunwald, 1989).
IMA STE umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya.
Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak
memicu IMA STE karena timbulnya banyak kolateral sepanjang waktu. Pada
sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur,
ruptur atau ulserasi dan jika kondisi ruptur lokal akan menyebabkan oklusi arteri
10
1.Ruptur plak
Atherosklerosis merupakan suatu proses yang tersembunyi yang telah dimulai 20-30
tahun sebelum timbunya keluhan klinis. Hiperkolesterolemia,hipertensi dan faktor
risiko lainnya menyebabkan kerusakan pada sel endotel pembuluh darah,dimana proses
atherosklerosis dimulai. Adanya kerusakan sel endotel membuat macropag lebih mudah
menempel dan melakukan penetrasi kedalam sel endotel. Molekul Low density
lipoprotein (LDL) kolesterol dapat melakukan penetrasi ke dalam dinding p.darah. LDL
yang masuk kedalam dinding p.darah akan difagosit (dimakan)oleh Macrofag dan
kemudian menjadi Sel busa (foam sel) sel inilah yang kemudian akan menjadi plak
atherosklerotik.
Lesi plak dengan stenosis kurang dari 50% lebih cenderung mengalami ruptur.
Berbagai faktor yang berperanan tehadap ruptur plak antara lain disfungsi sel endotel,
komponen lipid yang ada pada plak,derajat inflamasi lokal,tonus arteri pada daerah
dengan plak yang ireguler,lokal tekanan shear stress ,fungsi trombosit dan status sistem
koagulasi.
Sedangkan faktor yang dapat mempresipitasi ruptur plak adalah variasi sirkadian
tekanan darah, denyut jantung,stres emosional,latihan fisik.
2.Inflamasi
Akhir-akhir ini ramai dibicarakan peranan inflamasi terhadap AKS. Bukti klinis adanya
peranan inflamasi terhadap terjadinya atherosklerosis dan AKS telah dilaporkan. Infeksi
agen seperti Clamydia pneumoniae terlihat sebagai salah satu penyebab infalamasi
yang difus pada atheroseklerosis.Studi histologis dan Pilot treatment trial membuktikan
Clamydia pneumoniae penting dan potensial untuk diterapi sebagai penyebab AKS
3.Trombosis
Peranan sentral trombnosis arteri koroner dalam patogenesis AKS ditunjang oleh bukti-
bukti:
a.Pada autopsi didapat adanya trombus pada daerah ruptur plak
b.Spesimen yang diambil pada aterektomi koroner pada pasien akut infark atau APTS
menunjukkan tingginya insiden lesi trombosis akut.
c.Pada pengamatan dengan angioskopi koroner sering terlihat adanya trombus.
d.Pada angiograpi koroner adanya ulserasi atau ireguleritas menunjukkan adanya ruptur
plak dan atau trombus .
Nyeri dada khas angina berupa nyeri dada rasa berat/ ditindih/dihimpit didaerah
retrosternal menjalar kelengan kiri, leher rasa tercekik atau rasa ngilu rahang bawah yang
timbul saat aktivitas dan bekurang saat istirahat. Untuk nyeri dada angina lamanya <20
menit. Untuk nyeri dada infark nyeri >20 menit dan tidak berkurang walau dengan
pemberian nitrat.
2.Biasanya disertai gejala sistemik berupa mual,muntah dan keringat dingin dan kadang-
kadang bisa sampai pingsan.
3.Nyeri epigastrium
Nyeri dada yang tidak disertai penjalaran, atau kadang-kadang hanya keringat dingin dan
lemas saat aktivitas biasanya terjadi pada orang tua atau pada penderita diabetes melitus.
EKG
Pemeriksaan EKG memegang peranan penting dalam mendiagnosa AKS.Pemeriksaan
tyang sederhana,murah tapi mempunyai nilai klinis yang tinggi.
Pada APTS/ Non Q infark,perubahan berupa adanya ST segmen depresi atau T inversi
,Hal ini harus dibedakan dengan tanda hipertropi ventrikel kiri.
Pada akut infark dengan gelombang Q, didapat adanya ST segemen Elevasi,yang pada
jam awal masih berupa hiperakut T (gelombang T tinggi ) yang kemudian berubah
menjadi ST elevasi. Adanya new RBBB/LBBB juga merupakan tanda perubahan ECG
pada infark gelombang Q.
Pada penderita dengan nyeri dada sementara ECGnya normal menunjukkan besar
kemungkinan nonkardiac pain.Sementara progonosis dengan perubahan ecg hanya T
inverted lebih baik dari ST segmen depresi yang masuk dalam risiko tinggi.
Enzim Jantung
Marker yang biasa dipakai sebagai petunjuk adanya kerusakan miokard ialah enzym CK
(Creatinin kinase ) dan CK-MB(isoenzym CK) merupakan gold standar. Enzym ini baru
meningkat setelah 4 jam serangan.Tak heran pada jam-jam awal nilainya masih dalam
batas normal.
Selain marker tersebut akhir-akhir ini sudah bekembang dengan pemeriksaan lain yang
dapat dideteksi lebih awal adanya kerusakan otot jantung,yaitu pemeriksaan Myoglobin
(meningkat dalam 2-3 jam pertama), Troponin T dan I yang meningkat 3-12 jam setelah
infark.
Penderita dengan perubahan ECG dan troponin T +, merupakan risiko tinggi
dibandingkan dengan Troponin T negative. Troponin T +,menunjukkan risiko terhadap
komplikasi jangka pendek dan jangka panjang yang tinggi.
12
Diagnosis AKS
Diagnosis AKS didasarkan kepada 3 hal :
1.Presentasi Klinis adanya angina
2.Perubahan EKG
3.Peningkatan enzim jantung
Untuk Diagnosis APTS (Angina Pectoris Tidak Stabil) , adanya satu atau dua kriteria
yang pertama yaitu:
1.Adanya keluhan nyeri dada khas angina ,biasanya lama < 20 menit,berkurang dengan
pemberian obat nitrat.
2.Terdapat perubahan EKG berupa ST segmen elevasl/ T inversi
Yang termasuk dalam APTS yaitu Angina saat istirahat,Progresif angina, Angina First
Onset,Angina pasca infark,Printzmetas angina.
Untuk Diagnosis Akut Myokardial infark, harus memenuhi minimal 2 dari ke 3 kriteria
diatas.
Biasanya pada jam awal-awal serangan kita hanya mendapatkan 2 gejala pertama ,yaitu
nyeri dada khas infark yang sering diikuti gejala sistemik (mual.muntah atau keringat
dingin), dan perubahan EKG . Untuk Infark Non Q, hanya berupa ST segmen depresi /T
inverted sama dengan APTS. Yang membedakan antara APTS denagan Acute Non Q
Infark ,pada APTS tidak terdapat kenaikan enzim (CK-CKMB) .
Sedang yang membedakan antara Akut Non Q dengan Q infark, pada Akut Q infark ECG
menunjukkan adanya ST elevasi minimal 2 mv pada ektremitas lead,atau 1 mv pada
precordial lead.
V. TATALAKSANA
Tujuan terapi pada penderita AKS, Yaitu men-stabilkan angina (pada APTS) dan
mencegah kerusakan lebih lanjut pada infark.Masa-masa kritis pada penderita infark
adalah 2 jam pertama setelah serangan,dimana komplikasi gangguan listrik jantung yang
fatal VT-VF merupakan hal yang paling sering sebagai penyebab suddent death.
UMUM
1.ABCs
2.Segera pasang IV line
3.Oksigen
4.Nitral (cedocard) sublingual
5.Nitrogliserin oral atau infus (drip)
6.Aspirin 160 mg dikunyah
7.Pain killer (Morphine/Petidine)
8.Penderita dirawat di CVCU/ICCU,memerlukan monitor ketat
KHUSUS
1.B Bloker,mengurangi konsumsi oksigen.Pilihan pada B Bloker non ISA.
KI pada AV blok,Asma Bronkial,Severe LHF. Pemberian B bloker dapat menurunkan
progresif AKS sekitar 13 %
2.ACE Inhibitor hari pertama serangan, mampu menurunkan mortalitas fasca infark.
GISSI-3,ISIS-4 dan Chinese Study.
3.Lipid Lowering Terapi (atorvastatin ), MIRACLE study
13
4.Tombolitik Terapi
Streptokinase
RTPA
Pemberian Trombolitik terapi hanya pada Infrak dengan Gelombang Q (ST
elevasi),sedang pada infark non Q dan APTS tidak ada manfaat pemberian trombolitk.
5.Heparin
UFH (unfraksional heparin), risiko perdarahan memerlukan monitor APTTT,dosis bolus
5000 IU,diikuti dengan infus 1000 IU/jam (2-2,5 x nilai APTT baseline)
Low Molucle Weight Heparin (LMWH) lebih aman,risiko perdarahan kecil dan tidak
memerlukan pemantauan APTT. Dosis sesuai dengan berat badan,1 mg/kgBB.
6.Platelet Gliko Protein (GP) Iib/IIIa reseptor Bloker.diogunakan untuk pencegahan
pembekuan darah lebih lanjut,fibrinolisis endogen dan mengurangi derajat stenosis.
7.Primary dan Rescue PTCA,
Di senter-senter yang fasilitas cath-lab dan tenaga ahli yang lengkap ,jarang memberikan
trobolitik biasanya penderita langsung didorong ke kamar cateterisasi untuk dilakukan
PTCA, dan pada mereka yang gagal dalam pemberian trombolitk dilaukan rescue PTCA.
8.CABG
VI. Komplikasi
1.Sjok cardiogenik (bila lebih 30 % LV yang nekrosis)
suddent death,pada jam-jam pertama.2.Aritmia malignant (VT-VT)
3.Mechanical ruptur, MR akut, VSD
4.Heart Failure
5.Gangguan hantaran
adaptasi fungsional dan struktural dari peningkatan tekanan darah. Pembesaran ventrikel
14
kiri, kekakuan vaskular & ventrikel, dan disfungsi diastolik adalah manifestasi yang akan
menyebabkan penyakit jantung iskemik dan dapat berkembang menjadi gagal jantung
II. Epidemiologi
Prevalensi hipertensi pada tahun 2005 adalah 35.3 juta pada laki-laki dan 38.3
juta pada wanita. Sedangkan prevalensi pada LVH tidak diketahui. Jumlah LVH yang
ditemukan berdasar EKG adalah 2,9% pada laki-laki dan 1,5% pada wanita. Pasien-
pasien tanpa LVH, 33% telah memiliki distolik disfungsi yang asimtomatik.
gaggal jantung. Pada populasi dewasa hipertensi berkonstribusi 68% terhadap terjadinya
gagal jantung. Pasien dengan hipertensi mempunyai resiko dua kali lipat pada laki-laki
Peningkatan tekanan darah lebih tinggi pada laki-laki dibanding wanita, sampai wanita
mengalami menopause, dimana tekanan darah akan meningkat tajam dan mencapai level
yang lebih tinggi daripada pria. Prevalensi hipertensi lebih tinggi pada pria daripada
wanita pada usia di bawah 55 tahun, namun sebaliknya pada usia di atas 55 tahun.
sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14,3%
dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab penyakit jantung
sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian hipertensi
tahun 1986 menunjukkan bahwa penyakit jantung menduduki urutan ke-3 sebagai
penyebab kematian, dengan catatan pada golongan umur 45 tahun keatas penyakit
SKRT tahun 1972 penyakit jantung masih menduduki urutan ke-11. Kekerapan penyakit
jantung juga meningkat dari 5,2% sampai 6,3%. Penyakit jantung dan pembuluh darah
yang banyak di Indonesia adalah penyakit jantung koroner, penyakit jantung reumatik dan
penyakit hipertensi. Penyakit hipertensi merupakan salah satu faktor resiko terjadinya
penyakit jantung koroner dan dapat menyebabkan komplikasi pada organ lain, seperti
mata, ginjal, dan otak. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
pada golongan usia 45-54 tahun adalah 19.5%, kemudian meningkat menjadi 30.6% di
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah interaksi yang kompleks dari
faktor hemodinamik, struktural, neuroendokrin, selular, dan molekular. Di satu sisi faktor-
faktor ini berperan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, sementara di sisi
tekanan darah akan menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jantung dengan 2 jalur:
secara langsung melalui peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui interaksi
darah tinggi ditambah dengan faktor neurohormonal yang ditandai oleh penebalan
konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu
akibat dari gangguan relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri
16
(hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu mekanisme
Frank-Starling melalui peningkatan volume diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan
Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris, infark jantung, dll) dapat terjadi
miokard akibat dari hipertrofi ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri, iskemia miokard,
dan gangguan fungsi endotel merupakan faktor utama kerusakan miosit pada hipertensi
(PAPDI, 2006).
Resiko pembesaran ventrikel kiri akan meningkat dua kali lipat dengan adanya obesitas.
terlalu sensitif, bervariasi. Penelitian menunjukkan hubungan langsung antara tingkat dan
kiri, disebabkan oleh respon miosit pada berbagai macam stimulus yang menyertai
menimbulkan aktivasi pertumbuhan miokard, ekspresi gen (yang terdapat pada miokard
fetal), dan hipertrofi ventrikel kiri. Sistem renin-angiotensin juga turu mempengaruhi
ventrikel kiri terjadi akibat hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara miosit dan
konsentris, hipertrofi ventrikel kiri konsentris, dan hipertrofi ventrikel kiri eksentris.
Hipertrofi ventrikel kiri konsentris adalah peningkatan ketebalan dan massa ventrikel kiri
dengan peningkatan tekanan dan volume diastolik, umumnya ditemukan pada pasien
dengan hipertensi dan merupakan petanda yang buruk bagi pasien ini. Dibandingkan
dengan hipertrofi ventrikel kiri eksentris, dimana peningkatan ketebalan ventrikel kiri
terjadi tidak secara merata, hanya di tempat tertentu, misalnya pada septum. Walaupun,
hipertrofi ventrikel kiri berperan sebagai respon protektif terhadap peningkatan tekanan
dinding jantung untuk mempertahankan curah jantung yang adekuat, namun hal ini dapat
Perubahan struktural dan fungsi atrium kiri sangat sering terjadi pada pasien
dengan hipertensi. Peningkatan afterload akan berdampak pada atrium kiri oleh
peningkatan tekanan diastolik akhir ventrikel kiri dan sekunder oleh karena peningkatan
tekanan darah yang mengakibatkan kerusakan atrium kiri, penurunan fungsi atrium kiri,
dan penebalan/pelebaran atrium kiri. Pelebaran atrium kiri yang menyertai hipertensi
tanpa adanya penyakit katup jantung atau disfungsi sistolik biasanya merupakan implikasi
dari hipertensi kronis atau mungkin berhubungan dengan tingkat keparahan disfungsi
diastolik ventrikel kiri. Dengan adanya perubahan struktur tersebut, pasien memiliki
resiko tinggi untuk mengalami fibrilasi atrium dan dapat mengakibatkan gagal jantung
(Riaz K, 2009).
Penyakit Katup
18
hipertensi, hipertensi yang parah dan kronis dapat menyebabkan dilatasi aorta yang
menimbulkan insufisiensi aorta. Insufisiensi aorta juga dapat ditemukan pada pasien-
pasien hipertensi yang tidak terkontrol. Peningkatan tekanan darah yang akut dapat
memperparah keadaan insufusiensi aorta, dimana akan membaik jika tekanan darah
hipertension juga dapat mempercepat proses sklerosis aorta dan regurgitasi mitral (Riaz
K, 2009).
Gagal Jantung
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada peningkatan
tekanan darah yang terjadi secara kronis. Hipertensi sebagai penyebab dari gagal jantung
kongestif seringkali tidak terdeteksi, karena saat proses gagal jantung terjadi, disfungsi
ventrikel kiri tidak menyebabkan peningkatan tekanan darah. Prevalensi dari disfungsi
diastolik asimtomatis pada pasien dengan hipertensi namun tanpa pembesaran ventrikel
Disfungsi diastolik sering terjadi pada pasien dengan hipertensi, dan sering
jantung koroner, usia, disfungsi sistolik, dan kelainan struktural, misalnya fibrosis dan
hipertrofi ventrikel kiri. Biasanya disfungsi diastolik juga diikuti oleh disfungsi sistolik
peningkatan curah jantung karena peningkatan tekanan darah, sehingga ventrikel kiri
mengalami dilatasi untuk mempertahankan curah jantung. Ketika memasuki tahap akhir,
fungsi sistolik ventrikel kiri semakin menurun. Hal ini meningkatkan aktivasi
19
dan cairan, serta peningkatan vasokonstriksi perifer, menambah kerusakan lebih lanjut
Apoptosis, atau kematian sel yang terprogram, yang distimulasi oleh hipertrofi
miokard dan ketidakseimbangan antara stimulan dan inhibitor, memiliki peran yang
penting dalam transisi tahap kompensasi ke tahap dekompensasi. Pasien dapat menjadi
simtomatik dalam tahap disfungsi sistolik atau diastolik asimtomatis, tergantung dari
Peningkatan tekanan draah yang terjadi secara tiba-tiba dapat mengakibatkan edema paru
akut tanpa perlu terjadi perubahan fraksi ejeksi ventrikel kiri. Umumnya, perkembangan
disfungsi atau dilatasi ventrikel kiri, baik yang asimtomatis maupun simtomatis, dianggap
sebagai penyebab penurunan status klinis yang cepat dan meningkatkan angka kematian.
Penebalan ventrikel kanan dan disfungsi diastolik juga berperan menyebabkan penebalan
Iskemik Miokard
melipatgandakan resiko untuk penyakit jantung koroner. Iskemia pada pasien dengan
Yang penting, pada pasien dengan hipertensi, angina dapat muncul tanpa penyakit
jantung koroner. Hal ini terjadi karena peningkatan afterload sekunder karena hipertensi
mikrovaskularisasi yaitu arteri koroner epikardial, mengalami disfungsi dan tidak dapat
kelainan sistesis dan pengeluaran agen vasodilator nitrit oxide. Penurunan kadar nitrit
oxide menyebabkan dan mempercepat proses arteriosklerosis dan penumpukan plak (Riaz
K, 2009).
Aritmia
Aritmia yang sering terjadi pada pasien dengan hipertensi diantaranya adalah
atrial fibrilasi, PVC (premature ventricular contractions) dan ventrikular takikardi. Resiko
dari kematian mendadak juga meningkat. Terdapat berbagai mekanisme yang berperan
inhomogenitas miokard, perfusi yang buruk, fibrosis miokard, dan fluktuasi afterload.
Semua faktor ini dapat meningkatkan resiko terjadinya ventrikular takiaritmia (Riaz K,
2009).
didapatkan pada pasien dengan hipertensi. Faktanya, peningkatan tekanan darah adalah
penyebab tersering dari atrial fibrilasi di daerah barat. Penelitian menunjukkan bahwa
hampir 50% pasien dengan atrial fibrilasi memiliki riwayat hipertensi. Meskipun
koroner, dan hipertrofi ventrikel kiri dianggap sebagai faktor yang berperan. Atrial
menyebabkan penurunan curah atrium juga resiko komplikasi trimboemboli yang dapat
mendadak sering didapatkan pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri. Etologi dari
aritmia ini diantaranya penyakit jantung koroner dan fibrosis miokard (Riaz K, 2009).
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya, kebanyakn pasien tidak ada
dada (iskemia miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau perut.
keluhan episode sakit kepala, palpitasi, banyak keringat, dan rasa melayang
V. Pemeriksaan Fisik
proporsionalnya tubuh atas dibanding bawah yang sering ditemukan pada koartasio aorta.
Pengukuran tekanan darah di tangan kiri dan kanan saat tidur dan berdiri. Funduskopi
Palpasi dan auskultasi arteri karotis untuk menilai stenosis atau oklusi (PAPDI, 2006).
22
hipertrofi ventrikel kiri dan tanda-tanda gagal jantung. Impuls apeks yang prominen.
Bunyi jantung S2 yang meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta. Kadang
ditemukan murmur diastolik akibat regurgitasi aorta. Bunyi S4 (gallop atrial atau sistolik)
dapat ditemukan akibat dari peninggian tekanan atrium kiri. Sedangkan bunyi S3 (gallop
ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
meningkat akibat dilatasi ventrikel kiri. Bila S3 dan S4 ditemukan bersama disebut
summation gallop. Paru perlu diperhatikan apakah ada suara napas tambahan seperti
ronkhi basah atau ronkhi kering. Pemeriksaan perut ditujukan untuk mencari aneurisma,
pembesaran hati, lien, ginjal, dan ascites. Auskultasi bising di sekitar kiri kanan umbilicus
(renal artey stenosis). Areteri radialis, arteri femoralis, dan arteri dorsalis pedis harus
diraba. Tekanan darah di betis harus diukur minimal sekali pada hipertensi usia muda
dini dan lebih spesifik. Indikassi ekokardiografi pada pasien hipertensi adalah:
- Konfirmasi gangguan jantung atau murmur
- Hipertensi dengan kelainan katup
- Hipertensi pada anak atau remaja
- Hipertensi saat aktivitas, tetapi normal saat istirahat
23
- Hipertensi disertai sesak napas yang belum jelas sebabnya (gangguan fungsi
fungsi relaksasi ventrikel kiri, pseudo-normal, atau tipe restriktif) (PAPDI, 2006).
VII. Penatalaksanaan
terapi antihipertensi berdasarkan bukti klinis dan kondisi natural history. Awalnya, HHD
belum sepenuhnya diintegrasikan ke dalam ACC / pedoman AHA, tetapi jelas bahwa
HHD cocok sempurna dalam keseluruhan konteks seperti diuraikan. (Joseph, 2004)
Dibawah ini terapi berdasarkan stadium gagal jantung. sebelumngya di bawah ini
struktural dan gejala ditandai kegiatan fisik apapun tanpa rasa tidak
gagal jantung saat istirahat meskipun terapi nyaman.
medis maksimal. Gejala saat istirahat. Jika aktivitas fisik
dilakukan,
ketidaknyamanan meningkat
ACC =American College of Cardiology; The Criteria Committee of the New York
AHA American Heart Association. Hunt Heart Association. Nomenclature and
Criteria for Diagnosis of Diseases of the
SA et al. Circulation 2005;112:18251852.
Heart and Great Vessels. 9th ed. Little
Brown & Co;
1994. pp 253256.
Tujuan terapi pada tahap A (mereka yang beresiko untuk HF) adalah penekanan
faktor risiko, dengan mengontrol tekanan darah adalah hal yang paling penting. Individu
tahap A harus didorong untuk melakukan perubahan gaya hidup, khususnya mengkontrol
berat badan dan latihan aerobik untuk mengontrol tekanan darahdan faktor risiko lain
seperti
Fungsi jantung dan mengurangi tekanan daah dan afterload jantung dengan cara berbagai
yang biasanya membutuhkan kombinasi dari agen anti hipertensi. Terapi antihipertensi
antagonis dan -blocker tampaknya kurang efektif dalam mencegah HF. (Joseph, 2004)
25
darah, sehingga mencegah atau menunda terjadinya HF. Kontrol tekanan darah
tetap menjadi dasar dari terapi dalam tahap B, bersama dengan manajemen faktor risiko
bahwa regresi LVH merupakan target terapeutik penting. Data studi menunjukkan bahwa
kejadian CVD Dalam analisis-meta dari empat penelitian terapi antihipertensi, pasien
dengan mereka yang tidak regresi atau dengan perkembangan selanjutnya dari LVH.
LVH, hampir semua rejimen terapi yang mengurangi tekanan darah sistolik mendorong
regresi LVH. Vasodilator adalah pengecualian karena obat-obatan seperti hydralazine dan
darah.
antagonis dan diuretik, yang cenderung untuk merangsang angiotensin II, hanya
sedikit lebih buruk (sekitar 10%) dari ACE inhibitor atau ARB dalam mengatasi
kurangnya studi klinis langsung di daerah ini. Pada keseimbangan, ACE inhibitor
b-blocker, dan ARB masuk pilihan dalam setiap tahap pasien B dengan disfungsi sistolik
26
atau LVH. Kombinasi penghambat ACE dan ARB pada pasien B tahap tidak mencapai
manfaat tambahan. Peran diuretik thiazide dalam tahap B HF agak kurang jelas.
hipertensi dan HF sebagai indikasi. adalah suatu kondisi yang berisiko tinggi
berhubungan dengan hipertensi yang ada uji klinis bukti manfaat hasil tertentu untuk
kelas tertentu obat anti hipertensi. ujuan perawatan untuk pasien dengan HF adalah untuk
mengurangi
gejala, mencegah masuk rumah sakit, mencegah remodelling lambat atau remodelling
perawatan lanjutan yang layak. Penurunan tekanan darah yang agresif adalah sangat
demikian, sering kali diperlukan untuk mengurangi tekanan darah sistolik sebanyak
mungkin, bahkan sampai nilai di bawah 120 mm Hg jika pasien tidak bergejala (ortostatik
manajemen. Obat yang memenuhi persyaratan sebagai JNC 7 indikasi kuat untuk
aldosteron sistem). Termasuk dalam kategori ini adalah inhibitor ACE, ARB, b-blocker,
volume
overload dan dalam kontrol agresif tekanan darah di beberapa individu. Digitalis dapat
Saat ini, tidak ada yang direkomendasikan pengobatan untuk disfungsi diastolik
karena kekurangan bukti klinis. Namun demikian, di dalam disfungsi diastolik, terapi
berbasis ARB dikaitkan dengan 11% kecenderungan menuju perbaikan hasil penyakit
kardiovaskuler, terutama HF rawat inap. Terapi lain yang belum diuji dalam disfungsi
diastolik khusus, namun diyakini oleh beberapa ahli bahwa tingkat perlambatan dengan
umumnya tidak dianjurkan karena kontraktilitas jantung tidak terganggu. (Joseph, 2004)
bawah ini:
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah
tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi.
Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya
hidup. Perubahan yang sudah terlihat menurunkan tekanan darah dapat terlihat pada tabel
sesuai dengan rekomendasi dari JNC VII. Disamping menurunkan tekanan darah pada
Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan darah
adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola
makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan
28
kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada
sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat
antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari
Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk menurunkan berat
badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan obes disertai pembatasan
pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan
dorongan moril. Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien
a) Hipertensi 2 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding orang dengan
dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat berlanjut ke DM tipe 2.
natrium.
JNC VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya dengan buah, sayur,
dan produk susu redah lemak dengan kadar total lemak dan lemak jenuh berkurang.
Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara teratur
paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk kebanyakan pasien. Studi
29
menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan
menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini dapat terjadi
walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi dengan dokter
untuk mengetahui jenis olah-raga mana yang terbaik terutama untuk pasien dengan
Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling berhubungan dengan resiko lain yang
2. Penatalaksanaa Farmakologis
kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat-obat ini baik sendiri atau
karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini
(misalnya diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan yang
bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek
samping. Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat adrenergik, dan vasodilator
digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama.
yang ada dalam mengambil keputusan saat memilih obat secara sadar, jelas, dan bijak
penurunan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular atau kerusakan target organ akibat
tolerabilitas, dan biaya saja tidak dapat dipakai dalam seleksi obat hipertensi. Dengan
30
(ARB), penyekat beta, dan antagonis kalsium (CCB).Berikut ini digambarkan panduan
pengobatan antihpertensi yang didasarkan pada nilai tekanan darah awal dan jumlah total
resiko kardiovaskular:
Oleh:
KENDARI
2015