Disusun oleh :
Natalia (406148134)
Pembimbing:
dr. Noor Hadi Sp.An
dr. Iris Sarwastuti Sp.An
dr. Listiana Sp.An
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan bimbingan-Nya sehingga referat yang berjudul OPIOID
DAN SEJARAHNYA ini dapat selesai tepat pada waktunya. Referat ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum
Daerah Kudus serta agar dapat menambah kemampuan dan ilmu pengetahuan bagi
para pembaca.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan
serta bimbingan dari dr. Noor Hadi Sp.An, dr. Iris Sp.An dan dr. Listiana Sp.An
selama menjalani kepaniteraan anestesi periode 18 Juli 20 Agustus 2016 ini.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar referat ini dapat
disempurnakan di masa yang akan datang. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima
kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang sering dipergunakan pada
penanganan pasien dengan nyeri yang berat. Opioid sudah diberikan ratusan tahun
untuk menghilangkan kecemasan dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan
pembedahan.. Opium yang bersal dari getah Papaverin Somniferum mengandung
sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik
opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri,
meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Istilah
analgesik narkotik dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi
karena golongan obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau
menurunnya kesadaran maka istilah analgesic narkotik menjadi kurang tepat.
Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivate semisintetik
alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Obat
yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid, sedangkan reseptor tempat
terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid. Tetapi semua analgesik opioid
menimbulkan adiksi, ketergantungan opioid mengenai hampir 5 juta orang di amerika
serikat dan menyebabkan sekitar 17000 kematian tiap tahunnya. Maka usaha untuk
mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan
mendapatkan analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi.
Opioid dapat dibagi menjadi 3 kelas :
Opioid alami: termasuk disini 6 jenis opium alkaloid alami yaitu morphine,
narcotine, codeine, thebaine, papaverine dan narceine. Opium merupakan
ekstrak dari tanaman papaver somniferum dan morphine adalah komponen
primer aktif dari opium. Polipeptida neural endogen seperti endorphins dan
enkephalins juga merupakan opioid alami.
Opioid semi sintetis: semi sintetis adalah jenis dari sintesis kimia yang
menggunakan isolasi senyawa dari sumber alami (contohnya tumbuhan) sebagai
material awal. Opioid semi sintesis termasuk disini adalah heroin, oxycodone,
oxymorphine dan hydrocodone.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENGERTIAN
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.
Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis
alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan paparevin. Analgesik opioid
terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun
juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Peptida yang
berasal dari setiap molekul precursor opioid mempunyai distribusi anatomis
tertentu pad sistem saraf pusat dan mempunyai bermacam-macam afinitas untuk
tipe reseptor opioid yang berbeda.
SEJARAH
Sejak ribuan tahun yang lalu opioid telah digunakan untuk mengatasi nyeri. Zat
opium didapatkan dari bibit pohon Papaver somniverum, dan kata opium sendiri
berasal dari kata opos, yang dalam bahasa Jerman artinya juice. Opium terdiri lebih
dari 20 alkaloid. Pada tahun 1806, Sertuener, sorang ahli farmasi telah mengisolasi
suatu zat yang disebut sopofiric principle yang terkandung di dalam opium,
kemudian pada tahun 1817, zat itu diberi nama morfin, berasal dari nama dewa
Morpheus. Penelitian-penelitian untuk mengisolasi alkaloid opium lainnya terus
dilakukan, sehingga sejak pertengahan tahun 1800, penggunaan alkaloid opium lebih
banyak digunakan di dalam bidang medis, dibandingkan dengan penggunaan opium
langsung. Pada tahun 1828, Bally mempublikasikan penggunaan morfin pada hampir
800 pasien. Observasi yang dilakukan menjelaskan tentang indikasi terapi morfin oral,
efek samping, dosis, toleransi terhadap morfin, serta potential abuse. Morfin telah
digunakan secara luas untuk menangani tentara yang terluka saat perang masyarakat
Amerika. Pada tahun 1869, Claude Bernard menggunakan morfin sebagai obat
premedikasi. Akan tetapi penggunaan opioid jika tanpa obat pelumpuh otot, dan
kontrol terhadap ventilasi, dapat menyebabkan resiko depresi pernapasan parah dan
kematian, karena itu penggunaannya untuk anestesi masih sangat terbatas.
Seiring dengan perkembangan bedah jantung pada tahun 1950, berkembang
pula opioid asnesthesia. Satu dekade kemudian, Lowenstein melaporkan
penggunaan morfin dalam dosis besar yang progresif tanpa menyebabkan efek
samping terhadap sirkulasi, tapi dua tahun kemudian dijelaskan tentang keterbatasan
teknik tersebut, termasuk penekanan terhadap respon stress yang tidak lengkap,
hipotensi, dan bangun kembali saat dalam anestesi. Menurut Stanley, morfin dalam
dosis tinggi dihubungkan dengan adanya kejadian peningkatan kebutuhan cairan dan
darah.
Phenoperidine adalah derivat dari normeperidine, pada tahun 1957 telah dibuat
bentuk sintetisnya, sedangkan derivat fentanyl, yaitu 4-anilinoperidine baru dibuat
sintetiknya pada tahun 1960. Opiod sintetik ini memiliki efek yang lebih poten dan
memiliki savety margin yang lebih baik dibandingkan meperidine. Kemajuan teknik
bedah menimbulkan meningkatnya kebi\utuhan opioid yang memiliki efek lebih
poten, dengan onset cepat, lama masa kerja yang dapat diramalkan, serta memiliki
savety margin yang maksimal. Antara tahun 1974 dan 1976, sefentanyl, alfentanyl,
dan derivat fentanyl lainnya banyak digunakan. Bentuk opioid poten yang terbaru,
remifentanyl memiliki durasi ultrashort, dan dimetabolisme dengan cepat. Hal itu
menyebabkan keamanan fleksibilitas yang lebih.
Penelitian tentang analgesik opioid yang tidak berpotensi menyebabkan
ketergantungan mulai muncul sejak adanya kekhawatiran tentang adiksi opioid. Pada
pertengahan tahun 1960, nalorphine, obat yang telah diketahui memiliki efek yang
berlawanan dengan morfin, ternyata juga memiliki efek analgesik. Dua zat lain yang
memilki efek berlawanan dengan morfin adalah pentazocine, cyclazocine. Keduanya
memiliki efek psikotrofik yang tidak dimiliki oleh morfin, disamping itu pentazocine
juga memilki efek analgesik. Martin mencetuskan tentan adanya teori dualisme
reseptor, yang memiliki dua konsep kunci, yaitu : 1)Adanya reseptor opioid multipel,
2) Adanya farmakologik redundancy. Oleh sebab itu, sebuah obat dapat memilki efek
agonis kuat, agonis parsial, atau antagonis kompetitif tergantung pada tipe
reseptornya. Berdasarkan penelitian, didapatkan adanya 3 macam famili peptida
opioid, dan ada banyak reseptor opioid. Penelitian selanjutnya meneliti tentang zat
yang memiliki efek analgesia poten, dengan efek samping yang lebih sedikit.
TERMINOLOGI
Kata opiat digunakan untuk obat-obatan yang berasal dari opium, termasuk
morfin, derivat semisintetiknya, serta kodein. Secara umum opiat adalah semua jenis
obat, baik alami maupun sintetik, yang memilki sifat morfin, termasuk pula peptida
endogen. Kata narkotik berasal dar bahasa Jerman, narkotikos, digunakan untuk
morfin dan analgesik yang memiliki sifat seperti morfin. Akan tetapi karena kata
narkotik banyak digunakan dalam konteks legal, karena dapat menyebabkan
ketergantungan, maka kata narkotik tidak digunakan dalam konteks farmakologi dan
klinik.
Opiod dapat memilki efek agonis, agonis parsial, agonis-antagonis, maupun
antagonis kompetitif, tergantung ikatan terhadap reseptor. Menurut teori tentang
reseptor, ada dua karakteristik pada reseptor : afinitas, kemampuan untuk berikatan
dengan reseptor dan membentuk kompleks yang stabil ; aktivitas intrinsik atau efikasi,
yang digambarkan dengan kurva efek berdasarkan dosis, sebagai hasil kombinasi obat
dengan reseptor. Efikasi dapat berkisar mulai dari tidak ada efek, hingga efek
maksimal, dalam kurva efek dosis akan tampak gambaran plateue. Pemberian agonis
dalam dosis yang cukup tinggi akan menghasilkan efek maksimal akibat berikatan
dengan reseptor, sedangkan antagonis tidak akan menimbulkan efek langsung apabila
berikatan dengan reseptor. Efek agonis parsial lebih rendah dibanding efek maksimal
yang dapat dihasilkan oleh agonis penuh, sehingga kurva efek dosis tampak lebih
curam dibandingkan dengan kurva efek dosis agonis penuh. Campuran agonisantagonis, memilki efek agonis pada satu reseptor, dan memilki efek antagonis pada
reseptor lainnya. Efikasi berhubungan dengan kisaran efek yang dihasilkan oleh
kombinasi ikatan dengan reseptor, relatif terhadap efek maksimal yang mungkin
terjadi. Sedangkan Potensi adalah mengenai dosis relatif yang diperlukan untuk
menghasilkan efek, berhubungan dengan afinitas reseptor.
STRUKTUR DAN AKTIVITAS
Struktur dari alkaloid opium kelas Phenanthrene sangatlah kompleks, terdiri
dari gabungan 5 atau 6 cincin yang bentuknya seperti huruf T, dengan cincin
Phenylpiperidine sebagai pembatasnya, da cincin arometik hidoksilasi pada aksis
vertical. Jenis Phenanthrane yang lain adalah kodein yang merupakan derivate morfin,
dan thebain sebagai precursor oxycodone dan naloxone.Morphinan memiliki 4 cincin,
benzomorphan memiliki 3 cincin, phenylpiperidine memiliki 2 cincin, sedangan
Tyramine yang merupakan peptide opioid endogen hanya memiliki 1 buah cincin.
Semua zat-zat tersebut mempunyai aktivitas seperti morfin.Thorpe telah menemukan
adanya bentuk reseptor yang terdiri dari struktur dasar 2 ikatan aromatic dan satu
anion yang akan berikatan dengan nitrogen. Perbedaan ikatan pada struktur aromatic
atau anion, akan menghasilkan aktivitas yang berbeda, dapat menyebabkan kativitas
agonis ataupun antagonis. Perbedaan struktur memiliki pengaruh yang besar terhadap
afinitas terhadap reseptor, resisitasi terhadap pemecahan metabolic, kelarutan dalam
lemak, dan farmakokinetik.
PATOMEKANISME
Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip
morfin. Istilah ini berasal dari kata narkosis bahasa Yunani yang berarti stupor. Istilah
narkotik telah lama ditinggalkan jauh sebelum ditemukannya ligand yang mirip opioid
endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat yang bersifat
campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantungan fisik
akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian
farmakologik tidak sesuai lagi.9
Peptida opioid endogen, Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui
kerjanya didaerah otak yang mengandung peptida yang memiliki sifat farmakologik
menyerupai opioid. Terdapat 3 jenis peptide opioid yakni enkefalin, endorfin, dan
dinorfin. Peptida opioid endogen tersebut diperkirakan berperan pada transmisi saraf,
meskipun mekanisme kerja sebagai analgesik belum jelas diketahui. Tiap jenis berasal
dari prekursor polipeptida yang berbeda secara genetik dan memperlihatkan distribusi
anatomis yang khas. Prekursor ini disebut proenkefalin A, pro-opiomelanokortin
(POMC) dan prodinorfin (proenkefalin B). Masing-masing prekursor mengandung
sejumlah peptida yang aktif secara biologik, baik sebagai opioid maupun nonopioid
yang telah dideteksi dalam darah dan berbagai jaringan.9,10
Reseptor opioid majemuk (multiple). Ada 3 jenis uatama reseptor opioid yaitu
mu ( ), delta ( ), kappa ( ). Ketiga jenis reseptor tersebut pada jenis reseptor
yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki sub tipe: mu 1, mu2, mu3, delta1,
delta2, delta3, kappa1, kappa2, kappa3. Karena suatu opioid dapat berfungsi dengan
potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih
dari satu jenis reseptor atau subtype reseptor maka senyawa yang tergolong opioid
dapat memiliki efek farmakologi yang beragam.1,10
Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi :
1.
2.
3.
4.
Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan agonis
parsial
dapat
menimbulkan
efek
agonis,
atau
sebagai
antagonis
dengan
menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan mengurangi
efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid
yang memiliki efek agonis pada satu subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu
parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya.
Reseptor memperantarai efek analgetik mirip morfin, euphoria, depresi
nafas miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor diduga meperantarai
analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi nafas
yang tidak adekuat agonis . Selain itu disusunan saraf pusat juga didapatkan reseptor
yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor (epsilon) yang sangat selektif
terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap enkefalin. Terdapat
bukti-bukti yang menunjukkan bahwa reseptor memegang peranan dalam
menimbulkan depresi penafasan yang ditimbulkan oleh opioid. Dari penelitian pada
tikus reseptor dihubungkan dengan berkurangnya frekuensi nafas, sedangkan
reseptor dihubungkan dengan berkurangnya tidal volume. Reseptor ada 2 jenis
yaitu reseptor 1, yang hanya didapatkan pada SSP dan dihubungkan dengan analgesia
supraspinal, penglepasan prolaktin, hipotermia dan katalepsi sedangkan reseptor 2
dihubungkan dengan penurunan tidal volume dan bradikardi. Analgesik yang berperan
pada tingkat spinal berinteraksi dengan reseptor dan .1
dan 1 acid glycoprotein (AAG). Perubahan pada konsentrasi AAG, terjadi pada
beberapa kondisi tertentu, dan penyakit tertentu, dan akan menimbulkan perubahan
pada kebutuhan opoid.
Dua mekanisme ayng bertanggung jawab terhadap elemimasi obat adalah
biotransformasi dan ekskresi. Opioid mengalami biotransformasi di hati melalui du
buah fase. Fase I meliputi proses oksidasi dan reduksi yang dikatalisasi oleh P450
dan reaksi hidrolasi. Fase II melibatkan konjugasi
Farmakodinamik
Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis.
Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan
reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medula
spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri.
Kodein tidak menyebabkan depresi progresif bila dosisnya
dinaikkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi. Morfin dan
kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor dan
menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan
pada segmen otonom inti saraf okulomotor. Miosis ini dapat
dilawan
oleh
atropin .
Pada
dosis
kecil
morfin
sudah
kesadaran.
Dosis
toksik
dapat
menyebabkan
pergerakan
lambung
berkontraksi, akibatnya
pada pemberian
polos, morfin
pada masa
proses
metabolisme,
morfin menyebabkan
suhu
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus
kulit
utuh, tetapi
dapat
konjugasi dengan
asam
glukoronat
di
hepar,
Indikasi
Morfin dan opioid
lain
terutama
diindikasikan
untuk
analgesik
opioid
dewasa
ini telah
banyak
Alkaloid
morfin
berguna
untuk
menghentikan
diare
Farmakodinamik
Pada SSP, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, depresi
napas dan efek sentral lain. Efek analgetik meperidin mulai
timbul 15 menit setelah PO dan mencapai puncak dalam 2
jam. Di saluran napas, meperidin dapat menimbulkan depresi
napas sama kuat dengan morfin. Pemberian meperidin secara
sistemik
menimbulkan
anestesia
kornea,
dengan
akibat
saluran
merangsang
uterus
pemberian
apapun
Farmakokinetik
Absorpsi
meperidin
setelah
cara
meperidin
mengalami
hidrolisis
menjadi
asam
Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia.
Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas
dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin.
Misalnya untuk tindakan diagnostik.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia
obstetrik dan sebagai obat praanestetik. Untuk menimbulkan
analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin
kurang menyebabkan depresi napas pada janin.
Efek Samping
Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang
ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual,
muntah,
perasaan
lemah,
gangguan
penglihatan,
palpitasi,
Kontraindikasi
Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat harus
dikurangi karena terjadinya perubahan pada disposisi obat.
Selain itu dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan
bersama
antipsikosis,
hipnotik
sedatif
dan
obat-obat
lain
Farmakodinamik
Fentanil adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan
sebagai tambahan untuk general anastesi maupun sebagai awalan
Farmakokinetik
Sebagai dosis tunggal, fentanil memiliki onset kerja yang cepat
dan durasi yang lebih singkat dibanding morfin.Semakin tinggi
potensi dan onset yang lebih cepat mengakibatkan solubilitas lipid
meningkat lebih baik daripada morfin, yang memudahkan
perjalanan obat menuju sawar darah otak.
Dikarenakan durasi dan kerja dosis tunggal fentanil yang cepat,
mengakibatkan distribusi ke jaringan yang tidak aktif menjadi lebih
cepat pula, seperti jaringan lemak dan otot skelet, dan ini menjadi
dasar penurunan konsentrasi obat dalam plasma.
Metabolisme
Dimetabolisme oleh N-demethylation, yang memproduksi
Norfentanil yang secara struktur mirip Normeperidine, ekskresi
fentanil pada ginjal dan terdeteksi pada urine dalam 72 jam setelah
dosis tunggal IV dilakukan. Cepat di metabolisme di hati, dan
kurang lebih 75% dosis yang diberikan di eksresikan dalam 24 jam
dan hanya 10% tereliminasi sebagai obat yang tidak berubah.
Indikasi
Diberikan untuk analgesik nakotik , sebagai tambahan pada
general atau regional anestesi, atau untuk pemberian dengan
neuroleptik
(droperidol)
sebagai
premedikasi,untuk
induksi,
tiba tiba.
3.3 Metadon
Farmakodinamik
Di SSP, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat
dengan efek 10 mg morfin. Dapat menimbulkan depresi napas
yang sama kuat seperti morfin dan dapat bertahan lebih dari
24 jam setelah dosis tunggal. Metadon juga berefek antitusif,
menimbulkan hiperglikemia, hipotemia, dan pelepasan ADH.
Di otot polos, metadon menimbulkan relaksasi usus dan
menghambat
efek
spasmogenik
asetilkolin
atau
histamin.
sistem
kardiovaskular,
metadon
menyebabkan
kadang-kadang
timbul
sinus
bradikardia.
Obat
ini
Farmakokinetik
Metadon diabsorbsi baik oleh usus dan dapat ditemukan
dalam plasma darah setelah 30 menit PO; kadar puncak
dalam
paru,
hati,
ginjal,
dan
limpa;
hanya
otak
dicapai
dalam
1-2
jam
setelah
pemberian
parenteral.
Biotransformasi metadon terutama berlangsung di hati.
Salah satu reaksi penting ialah dengan cara N-demetilasi.
Sebagian besar metadon yang diberikan akan ditemukan dalam
urin dan tinja sebagai hasil biotransformasi yaitu pirolidin dan
pirolin.
Kurang
dari
10%
mengalami
ekskresi
bersama
empedu.
Indikasi
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan
jenis nyeri yang dapat dipengaruhi morfin, tetapi ada yang
berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat daripada morfin.
Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit setelah pemberian
parenteral
atau
menyebabkan
30-60
depresi
menit
napas
setelah
pada
janin
PO.
Obat
sehingga
ini
tidak
kemungkinan
Efek Samping
Metadon
menyebabkan
efek
samping
berupa
perasaan
sering timbul pada pasien berobat jalan. Efek samping yang jarang
timbul ialah delirium, halusinasi selintas dan urtikaria hemoragik.
Bahaya utama pada takar lajak metadon ialah berkurangnya
levalorfan,
siklazosin dan
sejenisnya di samping
Farmakodinamik
Pada
Nalokson
Farmakokinetik
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera
Indikasi
Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas
akiat takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang
mendapat opioid sewaktu persalinan; atau akibat tentamen suicide
dengan suatu opioid; dalam hal ini nalokson merupakan obat terpilih.
Obat ini juga digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati
ketergantungan fisik terhadap opioid.
5. Agonis Parsial
5.1 Pentazosin
Farmakodinamik
Efeknya terhadap SSP mirip dengan efek opioid yaitu
menyebabkan analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia
yang timbul agaknya karena efeknya pada reseptor , karena
sifatnya berbeda dengan analgesia akibat morfin. Analgesia
timbul lebih dini dan hilang lebih cepat daripada morfin. Pada
dosis 60-90 mg obat
uterus
efeknya
mirip
efek
meperidin.
Respons
Farmakokinetik
Pentazosin diserap baik melalui cara pemberian apa saja,
tetapi
karena
mengalami
metabolisme
lintas
pertama,
Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang,
tetapi kurang efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat
5.2 Butorfanol
Farmakodinamik
Pada
pasien
pascabedah,
suntikan 2-3 mg
butorfanol
Farmakokinetik
Butorfanol mirip dengan morfin dalam hal mula kerja,
waktu tercapainya kadar puncak dan masa kerja, sedangkan
waktu paruhnya kira-kira 3 jam.
Indikasi
Butorfanol
pascabedah
efektif
sebanding
untuk
dengan
mengatasi
morfin,
nyeri
akut
meperidin
atau
infark
miokard
akut.
Dosis
butorfanol
yang
Efek Samping
Efek samping utama butorfanol adalah kantuk, rasa lemah,
berkeringat, rasa mengambang dan mual. Sedangkan efek
psikotomimetik
5.3 Buprenorfin
Farmakodinamik
Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain pada
SSP seperti morfin. Buprenorfin dapat mengantagonis depresi
pernapasan yang ditimbulkan oleh dosis anestesik fentanil
sama baiknya dengan nalokson.
Depresi pernapasan dan efek lain yang ditimbulkan
buprenorfin
dapat
dicegah
oleh
penggunaan
nalokson
dapat
menimbulkan
ketergantungan
fisik
Farmakokinetik
Buprenorfin diabsorpsi relatif baik. Buprenorfin 0,4-0,8
mg sublingual menimbulkan analgesia yang baik pada pasien
pascabedah. Kadar puncak alam darah dicapai dalam 5 menit
setelah suntikan IM dan dalam 1-2 jam setelah penggunaan
secara oral atau sublingual. Masa paruh dalam plasma sekitar
3 jam.
Indikasi
Selain sebagai analgesik, buprenorfin juga bermanfaat
untuk terapi penunjang pasien ketergantungan opioid, dan
pengobatan adiksi heroin.
5.4 Tramadol
Farmakodinamik
Tramadol efektif untuk nyeri ringan sampai sedang,
tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Untuk nyeri
persalinan, tramadol sama efektif dengan meperidin dan kurang
menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus.
Farmakokinetik
Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara
oral 68% dan 100% bila digunakan secara IM. Tramadol
mengalami metabolisme di hati dan diekskresi oleh ginjal,
dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan 7,5
jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam
setelah penggunaan secara oral, dan mencapai puncak dalam
2-3 jam. Lama analgesia sekitar 6 jam. Dosis maksimal per
hari yang dianjurkan 400 mg.
Efek Samping
Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut
kering, sedasi, dan sakit kepala.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. Chapter I : Analgesik Opioid. 2015. Di akses pada tanggal 1
Agustus
2016.
Diunduh
dari:
http://repository.usu.ac.id/
bitstream/handle/123456789/24542/Chapter
%20I.pdf;jsessionid=E5698E23E67B058D8503E90EF759795?sequence=5.
2. Dewoto, Hedi. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapi FK UI. 2011.
3. Soenarjo, Jatmiko. Anestesiologi. Semarang: FK UNDIP. 2013.
4. Latief S, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktik Anestesiologi. Edisi
Kedua. Jakarta: FK UI. 2002.
5. Neal, Michael. At a Glance : Farmakologi Medis. Jakarta : Erlangga. 2005.
6. Pharmacy Board Victoria. Guidelines for Good Pharmaceutical Practice. 2010.
7. Tetrault JM, Fiellin DA. Current and potential pharmacological treatment
options for maintenance therapy in opioid-dependent individuals. Drugs. 2012
jan 22; 72(2): 217-28
8. Robinson GM, Robinson S, McCarthy P, Cameron C. Misuse of over-thecounter codeine-containing analgesics: dependence and other adverse effects.
Journal of the New Zealand Medical Association. 2010. 123; 1317
9. Simmons A. Codeine crackdown comes into effect. 2010.
10. Joyce L, Evelyne H. Farmakologi. Jakarta: EGC. 1996. h.67-78