Anda di halaman 1dari 27

REFERAT ANESTESI

OPIOID DAN SEJARAHNYA

Disusun oleh :
Natalia (406148134)

Pembimbing:
dr. Noor Hadi Sp.An
dr. Iris Sarwastuti Sp.An
dr. Listiana Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RSUD DR.LOEKMONOHADI KUDUS
PERIODE 18 JULI 20 AGUSTUS 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan bimbingan-Nya sehingga referat yang berjudul OPIOID
DAN SEJARAHNYA ini dapat selesai tepat pada waktunya. Referat ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum
Daerah Kudus serta agar dapat menambah kemampuan dan ilmu pengetahuan bagi
para pembaca.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan
serta bimbingan dari dr. Noor Hadi Sp.An, dr. Iris Sp.An dan dr. Listiana Sp.An
selama menjalani kepaniteraan anestesi periode 18 Juli 20 Agustus 2016 ini.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar referat ini dapat
disempurnakan di masa yang akan datang. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima
kasih.

Jakarta, 2 Agustus 2016

Penulis

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang sering dipergunakan pada
penanganan pasien dengan nyeri yang berat. Opioid sudah diberikan ratusan tahun
untuk menghilangkan kecemasan dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan
pembedahan.. Opium yang bersal dari getah Papaverin Somniferum mengandung
sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik
opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri,
meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Istilah
analgesik narkotik dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi
karena golongan obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau
menurunnya kesadaran maka istilah analgesic narkotik menjadi kurang tepat.
Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivate semisintetik
alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Obat
yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid, sedangkan reseptor tempat
terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid. Tetapi semua analgesik opioid
menimbulkan adiksi, ketergantungan opioid mengenai hampir 5 juta orang di amerika
serikat dan menyebabkan sekitar 17000 kematian tiap tahunnya. Maka usaha untuk
mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan
mendapatkan analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi.
Opioid dapat dibagi menjadi 3 kelas :

Opioid alami: termasuk disini 6 jenis opium alkaloid alami yaitu morphine,
narcotine, codeine, thebaine, papaverine dan narceine. Opium merupakan
ekstrak dari tanaman papaver somniferum dan morphine adalah komponen
primer aktif dari opium. Polipeptida neural endogen seperti endorphins dan
enkephalins juga merupakan opioid alami.

Opioid semi sintetis: semi sintetis adalah jenis dari sintesis kimia yang
menggunakan isolasi senyawa dari sumber alami (contohnya tumbuhan) sebagai
material awal. Opioid semi sintesis termasuk disini adalah heroin, oxycodone,
oxymorphine dan hydrocodone.

Opioid sintetis: Opioid sintetis dibuat dengan sintesis seluruhnya yaitu


molekul besar yang dibuat dari kombinasi bertahap dari bahan kimia kecil dan

murah. Termasuk disini adalah buprenorphine, methadone, fentanyl, alfentanil,


levorphanol, meperidine, dan propoxyphene (telah dicabut peredarannya di
amerika serikat).
Kodein, atau O-methylmorphine, adalah alkaloid ditemukan dalam Oppium
poppy, Papaver somniferum var. album. Opium poppy telah dibudidayakan dan
dimanfaatkan sepanjang sejarah manusia untuk berbagai obat analgesik, anti-tussive
dan anti-diare) dan properti hipnosis (terkait dengan keragaman dari komponen aktif,
termasuk morfin, kodein dan papaverin.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENGERTIAN
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.
Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis
alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan paparevin. Analgesik opioid
terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun
juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Peptida yang
berasal dari setiap molekul precursor opioid mempunyai distribusi anatomis
tertentu pad sistem saraf pusat dan mempunyai bermacam-macam afinitas untuk
tipe reseptor opioid yang berbeda.
SEJARAH
Sejak ribuan tahun yang lalu opioid telah digunakan untuk mengatasi nyeri. Zat
opium didapatkan dari bibit pohon Papaver somniverum, dan kata opium sendiri
berasal dari kata opos, yang dalam bahasa Jerman artinya juice. Opium terdiri lebih
dari 20 alkaloid. Pada tahun 1806, Sertuener, sorang ahli farmasi telah mengisolasi
suatu zat yang disebut sopofiric principle yang terkandung di dalam opium,
kemudian pada tahun 1817, zat itu diberi nama morfin, berasal dari nama dewa
Morpheus. Penelitian-penelitian untuk mengisolasi alkaloid opium lainnya terus
dilakukan, sehingga sejak pertengahan tahun 1800, penggunaan alkaloid opium lebih
banyak digunakan di dalam bidang medis, dibandingkan dengan penggunaan opium
langsung. Pada tahun 1828, Bally mempublikasikan penggunaan morfin pada hampir
800 pasien. Observasi yang dilakukan menjelaskan tentang indikasi terapi morfin oral,
efek samping, dosis, toleransi terhadap morfin, serta potential abuse. Morfin telah
digunakan secara luas untuk menangani tentara yang terluka saat perang masyarakat
Amerika. Pada tahun 1869, Claude Bernard menggunakan morfin sebagai obat
premedikasi. Akan tetapi penggunaan opioid jika tanpa obat pelumpuh otot, dan
kontrol terhadap ventilasi, dapat menyebabkan resiko depresi pernapasan parah dan
kematian, karena itu penggunaannya untuk anestesi masih sangat terbatas.
Seiring dengan perkembangan bedah jantung pada tahun 1950, berkembang
pula opioid asnesthesia. Satu dekade kemudian, Lowenstein melaporkan
penggunaan morfin dalam dosis besar yang progresif tanpa menyebabkan efek

samping terhadap sirkulasi, tapi dua tahun kemudian dijelaskan tentang keterbatasan
teknik tersebut, termasuk penekanan terhadap respon stress yang tidak lengkap,
hipotensi, dan bangun kembali saat dalam anestesi. Menurut Stanley, morfin dalam
dosis tinggi dihubungkan dengan adanya kejadian peningkatan kebutuhan cairan dan
darah.
Phenoperidine adalah derivat dari normeperidine, pada tahun 1957 telah dibuat
bentuk sintetisnya, sedangkan derivat fentanyl, yaitu 4-anilinoperidine baru dibuat
sintetiknya pada tahun 1960. Opiod sintetik ini memiliki efek yang lebih poten dan
memiliki savety margin yang lebih baik dibandingkan meperidine. Kemajuan teknik
bedah menimbulkan meningkatnya kebi\utuhan opioid yang memiliki efek lebih
poten, dengan onset cepat, lama masa kerja yang dapat diramalkan, serta memiliki
savety margin yang maksimal. Antara tahun 1974 dan 1976, sefentanyl, alfentanyl,
dan derivat fentanyl lainnya banyak digunakan. Bentuk opioid poten yang terbaru,
remifentanyl memiliki durasi ultrashort, dan dimetabolisme dengan cepat. Hal itu
menyebabkan keamanan fleksibilitas yang lebih.
Penelitian tentang analgesik opioid yang tidak berpotensi menyebabkan
ketergantungan mulai muncul sejak adanya kekhawatiran tentang adiksi opioid. Pada
pertengahan tahun 1960, nalorphine, obat yang telah diketahui memiliki efek yang
berlawanan dengan morfin, ternyata juga memiliki efek analgesik. Dua zat lain yang
memilki efek berlawanan dengan morfin adalah pentazocine, cyclazocine. Keduanya
memiliki efek psikotrofik yang tidak dimiliki oleh morfin, disamping itu pentazocine
juga memilki efek analgesik. Martin mencetuskan tentan adanya teori dualisme
reseptor, yang memiliki dua konsep kunci, yaitu : 1)Adanya reseptor opioid multipel,
2) Adanya farmakologik redundancy. Oleh sebab itu, sebuah obat dapat memilki efek
agonis kuat, agonis parsial, atau antagonis kompetitif tergantung pada tipe
reseptornya. Berdasarkan penelitian, didapatkan adanya 3 macam famili peptida
opioid, dan ada banyak reseptor opioid. Penelitian selanjutnya meneliti tentang zat
yang memiliki efek analgesia poten, dengan efek samping yang lebih sedikit.
TERMINOLOGI
Kata opiat digunakan untuk obat-obatan yang berasal dari opium, termasuk
morfin, derivat semisintetiknya, serta kodein. Secara umum opiat adalah semua jenis
obat, baik alami maupun sintetik, yang memilki sifat morfin, termasuk pula peptida
endogen. Kata narkotik berasal dar bahasa Jerman, narkotikos, digunakan untuk

morfin dan analgesik yang memiliki sifat seperti morfin. Akan tetapi karena kata
narkotik banyak digunakan dalam konteks legal, karena dapat menyebabkan
ketergantungan, maka kata narkotik tidak digunakan dalam konteks farmakologi dan
klinik.
Opiod dapat memilki efek agonis, agonis parsial, agonis-antagonis, maupun
antagonis kompetitif, tergantung ikatan terhadap reseptor. Menurut teori tentang
reseptor, ada dua karakteristik pada reseptor : afinitas, kemampuan untuk berikatan
dengan reseptor dan membentuk kompleks yang stabil ; aktivitas intrinsik atau efikasi,
yang digambarkan dengan kurva efek berdasarkan dosis, sebagai hasil kombinasi obat
dengan reseptor. Efikasi dapat berkisar mulai dari tidak ada efek, hingga efek
maksimal, dalam kurva efek dosis akan tampak gambaran plateue. Pemberian agonis
dalam dosis yang cukup tinggi akan menghasilkan efek maksimal akibat berikatan
dengan reseptor, sedangkan antagonis tidak akan menimbulkan efek langsung apabila
berikatan dengan reseptor. Efek agonis parsial lebih rendah dibanding efek maksimal
yang dapat dihasilkan oleh agonis penuh, sehingga kurva efek dosis tampak lebih
curam dibandingkan dengan kurva efek dosis agonis penuh. Campuran agonisantagonis, memilki efek agonis pada satu reseptor, dan memilki efek antagonis pada
reseptor lainnya. Efikasi berhubungan dengan kisaran efek yang dihasilkan oleh
kombinasi ikatan dengan reseptor, relatif terhadap efek maksimal yang mungkin
terjadi. Sedangkan Potensi adalah mengenai dosis relatif yang diperlukan untuk
menghasilkan efek, berhubungan dengan afinitas reseptor.
STRUKTUR DAN AKTIVITAS
Struktur dari alkaloid opium kelas Phenanthrene sangatlah kompleks, terdiri
dari gabungan 5 atau 6 cincin yang bentuknya seperti huruf T, dengan cincin
Phenylpiperidine sebagai pembatasnya, da cincin arometik hidoksilasi pada aksis
vertical. Jenis Phenanthrane yang lain adalah kodein yang merupakan derivate morfin,
dan thebain sebagai precursor oxycodone dan naloxone.Morphinan memiliki 4 cincin,
benzomorphan memiliki 3 cincin, phenylpiperidine memiliki 2 cincin, sedangan
Tyramine yang merupakan peptide opioid endogen hanya memiliki 1 buah cincin.
Semua zat-zat tersebut mempunyai aktivitas seperti morfin.Thorpe telah menemukan
adanya bentuk reseptor yang terdiri dari struktur dasar 2 ikatan aromatic dan satu
anion yang akan berikatan dengan nitrogen. Perbedaan ikatan pada struktur aromatic
atau anion, akan menghasilkan aktivitas yang berbeda, dapat menyebabkan kativitas

agonis ataupun antagonis. Perbedaan struktur memiliki pengaruh yang besar terhadap
afinitas terhadap reseptor, resisitasi terhadap pemecahan metabolic, kelarutan dalam
lemak, dan farmakokinetik.
PATOMEKANISME
Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip
morfin. Istilah ini berasal dari kata narkosis bahasa Yunani yang berarti stupor. Istilah
narkotik telah lama ditinggalkan jauh sebelum ditemukannya ligand yang mirip opioid
endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat yang bersifat
campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantungan fisik
akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian
farmakologik tidak sesuai lagi.9
Peptida opioid endogen, Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui
kerjanya didaerah otak yang mengandung peptida yang memiliki sifat farmakologik
menyerupai opioid. Terdapat 3 jenis peptide opioid yakni enkefalin, endorfin, dan
dinorfin. Peptida opioid endogen tersebut diperkirakan berperan pada transmisi saraf,
meskipun mekanisme kerja sebagai analgesik belum jelas diketahui. Tiap jenis berasal
dari prekursor polipeptida yang berbeda secara genetik dan memperlihatkan distribusi
anatomis yang khas. Prekursor ini disebut proenkefalin A, pro-opiomelanokortin
(POMC) dan prodinorfin (proenkefalin B). Masing-masing prekursor mengandung
sejumlah peptida yang aktif secara biologik, baik sebagai opioid maupun nonopioid
yang telah dideteksi dalam darah dan berbagai jaringan.9,10
Reseptor opioid majemuk (multiple). Ada 3 jenis uatama reseptor opioid yaitu
mu ( ), delta ( ), kappa ( ). Ketiga jenis reseptor tersebut pada jenis reseptor
yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki sub tipe: mu 1, mu2, mu3, delta1,
delta2, delta3, kappa1, kappa2, kappa3. Karena suatu opioid dapat berfungsi dengan
potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih
dari satu jenis reseptor atau subtype reseptor maka senyawa yang tergolong opioid
dapat memiliki efek farmakologi yang beragam.1,10
Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi :
1.
2.
3.
4.

Agonis penuh (kuat)


Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang)
Campuran agonis dan antagonis
Antagonis

Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan agonis
parsial

dapat

menimbulkan

efek

agonis,

atau

sebagai

antagonis

dengan

menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan mengurangi
efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid
yang memiliki efek agonis pada satu subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu
parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya.
Reseptor memperantarai efek analgetik mirip morfin, euphoria, depresi
nafas miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor diduga meperantarai
analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi nafas
yang tidak adekuat agonis . Selain itu disusunan saraf pusat juga didapatkan reseptor
yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor (epsilon) yang sangat selektif
terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap enkefalin. Terdapat
bukti-bukti yang menunjukkan bahwa reseptor memegang peranan dalam
menimbulkan depresi penafasan yang ditimbulkan oleh opioid. Dari penelitian pada
tikus reseptor dihubungkan dengan berkurangnya frekuensi nafas, sedangkan
reseptor dihubungkan dengan berkurangnya tidal volume. Reseptor ada 2 jenis
yaitu reseptor 1, yang hanya didapatkan pada SSP dan dihubungkan dengan analgesia
supraspinal, penglepasan prolaktin, hipotermia dan katalepsi sedangkan reseptor 2
dihubungkan dengan penurunan tidal volume dan bradikardi. Analgesik yang berperan
pada tingkat spinal berinteraksi dengan reseptor dan .1

FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK


Pertimbangan Dasar
Efek opioid ditimbulkan dari kombinasi opioid dengan satu atau beberapa reseptor
pada jaringan yang spesifik. Hubungan antara dosis dan efek bergantung pada
variabel farmakokinetik dan farmakodinamik. Farmakokinetik adalah hubungan
antara dosis dan konsentrasi obat terhadap tubuh. Farmakodinamik berhubungan
dengan konsentrasi obat pada target (otak dan jaringan lain), dan intensitas efeknya.
Perubahan konsentrasi obat dalam darah seiring dengan waktu, bergantung pada
proses psikokimia, termasuk absorpsi, redistribui, biotransformasi, dan eleminasi.
Pada prakteknya, opioid biasanya diberikan secara intravena. Setelah
pemberian secara bolus ataupun infus, konsentrasi obat di plasma akan segera
meningkat dan mencapai puncaknya dalam hitungan menit.. Konsentrasi dalam
plasma akan segera menurun dengan cepat, saat didistribusikan ke daerah
ekstravaskular. Kenaikan konsentrasi obat di dalam plasma hingga mencapainya
masuk ke dalam fase distribusi, sedangkan saat konsentrasi obat mulai semakin
menurun, disebut sebagai fase eleminasi.
Penting untuk diketahui bahwa farmakokinetik banyak dipengaruhi oleh
parameter-perameter tertentu, seperti usia, ataupun penyakitnya, saat pengambilan
sampel pemeriksaan, durasi, pembedahan, efek akibat pemberian oabt lain.
Untuk dapat bekerja pada susunan saraf pusat, opioid harus terlebih dahulu
menembus membran biologis, dar darah ke reseptor pada membran sel saraf.
Kemepuan opioid untuk menembus sawar darah otak tergantung pada ukuran
molekulnya, ionisasi, kelarutan dalam lemak, ikatan dengan protein. Dari kesemuanya
itu, kelarutan dalam lemak dan ionisasi adalah yang memegang peranan paling
penting dalam penetrasi obat ke SSP. Di laborarium, kelarutan dalm lemak diukur
dengan menggunakan oktanol, air atau iktanol:buffer partition koefisien. Ionisasi obat
juga berpengaruh terhadap kelarutan dalam lemak,. Obat yang dalam bentuk tidak
terionisasi memiliki kelarutan 1000-10000 kali diabandingkan bentu terionisasi.
Tingkat ionisasi bergantung kepada pKa dari opioid serta pH lingkungan.Opioid
dengan pKa kurang dari 7,4 memliki fraksi noionisasi yang lebih besar d dalam
pl;asma.Korelasi antara kelarutan dalam lemak dengan permeabilitas membran tidak
selalu dalm bentuk linear. Ikatan protein dalam plasma juga mempengaruhi
redistribusinya, karena hanya fraksi yang tidak berikatan yang dapat menembus
membran sel. Protein plasma yang akan berikatanm dengan opioid adalah albumin

dan 1 acid glycoprotein (AAG). Perubahan pada konsentrasi AAG, terjadi pada
beberapa kondisi tertentu, dan penyakit tertentu, dan akan menimbulkan perubahan
pada kebutuhan opoid.
Dua mekanisme ayng bertanggung jawab terhadap elemimasi obat adalah
biotransformasi dan ekskresi. Opioid mengalami biotransformasi di hati melalui du
buah fase. Fase I meliputi proses oksidasi dan reduksi yang dikatalisasi oleh P450
dan reaksi hidrolasi. Fase II melibatkan konjugasi

dari obat dan metabolitnya

terhadap substrat endogen seperti D-glucoronic acid. Phenilpiperidine, remifentanil,


dimetabolisme melalui hidrolisis ester.Secara umu metabolit opioid berada dalam
bentuk tidak aktif, kecuali untuk N-dellylated yang merupakan metabolit
meperidine,6 atau mungkin 3-glucoronide. Metabolit diekskresi terutama melalui
ginjal, bisa juga melalui sistem empedu, usus, dan rute lainnya.
Obat-obat Golongan Analgesik Opioid
3.1 Morfin dan Alkaloid Opium
Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua
golongan: golongan fenantren (mis: Morfin dan Kodein) dan golongan
benizilisonkinolin (mis: Noskapin dan Papaverin).

Farmakodinamik
Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis.
Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan
reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medula
spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri.
Kodein tidak menyebabkan depresi progresif bila dosisnya
dinaikkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi. Morfin dan
kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor dan
menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan
pada segmen otonom inti saraf okulomotor. Miosis ini dapat
dilawan

oleh

atropin .

Pada

dosis

kecil

morfin

sudah

menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau


kehilangan

kesadaran.

Dosis

toksik

dapat

menyebabkan

frekuensi napas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan


morfin hampir selalu disebabkan oleh depresi napas.

Pada sistem gastrointestinal, khususnya di lambung, morfin


menghambat sekresi HCl, menyebabkan

pergerakan

lambung

berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya


berkurang sedangkan sfingter pilorus

berkontraksi, akibatnya

pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat. Di usus


halus, morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan
memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Di usus
besar, morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi
usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus
besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja
menjadi lebih keras.
Pada sistem kardiovaskular, pemberian morfin dosis terapi
tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama
denyut jantung. Perubahan baru akan terjadi

pada pemberian

toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir


intoksikasi morfin.
Pada otot

polos, morfin

menimbulkan peningkatan tonus,

amplitudo serta kontraksi ureter dan kandung kemih. Morfin


menurunkan tonus uterus

pada masa

haid dan menyebabkan

uterus lebih tahan terhadap regangan. Mungkin atas dasar ini


morfin mengurangi nyeri dismenore.
Pada kulit, dosis terapi morfin menyebabkan vasodilatasi
kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas.
Dalam

proses

metabolisme,

morfin menyebabkan

suhu

badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi


perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan
metabolisme dikurangi, hiperglikemia timbul tidak tetap akibat
pelepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Morfin
membuat volume urin berkurang akibat merendahnya laju filtrasi
glomerulus, alir darah ginjal, dan pelepasan ADH.

Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus

kulit

utuh, tetapi

dapat

diabsorpsi melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus


mukosa, dan juga dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah dibanding secara
parenteral. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin
mengalami

konjugasi dengan

asam

glukoronat

di

hepar,

sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak


diketahui.
Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil
morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang
terkonyugasi ditemukan dalam empedu, sebagian yang sangat
kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO 2,
yang kemudian dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein
mengalami N-demetilasi. Urin mengandung bentuk bebas dan
bentuk konjugasi dari kodein dan morfin.

Indikasi
Morfin dan opioid

lain

terutama

diindikasikan

untuk

meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat


diobati dengan analgesik non-opioid. Morfin sering diperlukan
untuk nyeri yang menyertai infark miokard, kolik renal,
oklusio akut vaskular perifer, pulmonal, perikarditis akut, dan
nyeri akibat trauma misalnya luka bakar dan pascabedah.
Penggunaan

analgesik

opioid

dewasa

ini telah

banyak

digunakan untuk menghambat refleks batuk yang tidak produktif


dan hanya iritatif sehingga menyebabkan pasien tidak dapat
beristirahat dan mungkin sekali disertai dengan nyeri. Terhadap
edema paru akut, morfin IV dapat dengan jelas mengurangi
atau menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal yang
menyertai gagal jantung kiri.

Alkaloid

morfin

berguna

untuk

menghentikan

diare

berdasarkan efek langsung terhadap otot polos usus. Pada


pengobatan diare yang disebabkan oleh intoksikasi makanan
atau intoksikasi akut obat, pemberian morfin harus didahului
oleh pemberian garam katartik untuk mengeluarkan penyebab.
3.2 Meperidine, Fentanyl dan derivat Fenilpiperidine lain

Farmakodinamik
Pada SSP, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, depresi
napas dan efek sentral lain. Efek analgetik meperidin mulai
timbul 15 menit setelah PO dan mencapai puncak dalam 2
jam. Di saluran napas, meperidin dapat menimbulkan depresi
napas sama kuat dengan morfin. Pemberian meperidin secara
sistemik

menimbulkan

anestesia

kornea,

dengan

akibat

menghilangnya refleks kornea.


Pemberian dosis terapi meperidin pada pasien yang berbaring
tidak mempengaruhi sistem kardiovaskular, tidak menghambat
kontraksi miokard dan tidak mengubah gambaran EKG.
Efek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus
kecil lebih lemah daripada morfin. Meperidin menimbulkan
spasme

saluran

empedu. Meperidin dapat menghilangkan

bronkospasme oleh histamin dan metakolin, dapat menyebabkan


peristaltik ureter

berkurang, dan sedikit

merangsang

uterus

pemberian

apapun

dewasa yang tidak hamil.

Farmakokinetik
Absorpsi

meperidin

setelah

cara

berlangsung aik, akan tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak


teratur setelah suntikan IM. Setelah PO, sekitar 50% obat
mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar maksimal
dalam plasma tercapai dalam 1-2 jam.
Metabolisme meperidin terutama berlangsung di hati. Pada
manusia,

meperidin

mengalami

hidrolisis

menjadi

asam

meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konjugasi.


Meperidin bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin.
Seanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin
dalam bentuk derivat N-demetilasi.

Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia.
Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas
dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin.
Misalnya untuk tindakan diagnostik.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia
obstetrik dan sebagai obat praanestetik. Untuk menimbulkan
analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin
kurang menyebabkan depresi napas pada janin.

Efek Samping
Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang
ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual,
muntah,

perasaan

lemah,

gangguan

penglihatan,

palpitasi,

sinkop dan sedasi.

Kontraindikasi
Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat harus
dikurangi karena terjadinya perubahan pada disposisi obat.
Selain itu dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan
bersama

antipsikosis,

hipnotik

sedatif

dan

obat-obat

lain

penekan SSP. Pada pasien yang sedang mendapat MAO


inhibitor pemberian meperidin dapat menimbulkan kegelisahan,
gejala eksitasi dan demam.
3.2.1 Fentanyl

Farmakodinamik
Fentanil adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan
sebagai tambahan untuk general anastesi maupun sebagai awalan

anastetik. Fentanil menyediakan stabilitas jantung dan stress yang


berhubungan dengan hormonal, yang berubah pada dosis tinggi.
Dosis 100 mg (w.o ml) setara dengan aktifits analgesik 10mg
morfin. Fentanil memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang
lebih 30 menit setelah dosis tunggal IV 100mg. Fentanil
bergantung dari dosis dan kecepatan pemberian bisa menyebabkan
rigiditas otot, euforia, miosis dan bradikardi. Seluruh efek dari
kerja fentanil secara cepat dan secara penuh teratasi dan hilang
dengan menggunaka narkotik antagonis seperti Naloxone.

Farmakokinetik
Sebagai dosis tunggal, fentanil memiliki onset kerja yang cepat
dan durasi yang lebih singkat dibanding morfin.Semakin tinggi
potensi dan onset yang lebih cepat mengakibatkan solubilitas lipid
meningkat lebih baik daripada morfin, yang memudahkan
perjalanan obat menuju sawar darah otak.
Dikarenakan durasi dan kerja dosis tunggal fentanil yang cepat,
mengakibatkan distribusi ke jaringan yang tidak aktif menjadi lebih
cepat pula, seperti jaringan lemak dan otot skelet, dan ini menjadi
dasar penurunan konsentrasi obat dalam plasma.

Metabolisme
Dimetabolisme oleh N-demethylation, yang memproduksi
Norfentanil yang secara struktur mirip Normeperidine, ekskresi
fentanil pada ginjal dan terdeteksi pada urine dalam 72 jam setelah
dosis tunggal IV dilakukan. Cepat di metabolisme di hati, dan
kurang lebih 75% dosis yang diberikan di eksresikan dalam 24 jam
dan hanya 10% tereliminasi sebagai obat yang tidak berubah.

Indikasi
Diberikan untuk analgesik nakotik , sebagai tambahan pada
general atau regional anestesi, atau untuk pemberian dengan
neuroleptik

(droperidol)

sebagai

premedikasi,untuk

induksi,

sebagai tambahan pemeliharaan general anestesi maupun regional


anestesi.
Digunakan secara luas, contohnya dosis injeksi 1 2 mg / kg
IV memberikan analgesia. Fentanyl 2-20 mg/kg IV, biasanya
digunakan untuk tambahan pada inhalasi anastetik untuk
membantu menurunkan respon sirkulasi, digunakan dengan
laryngoskopi untuk intubasi trakea atau

stimulasi operasi yang

tiba tiba.
3.3 Metadon

Farmakodinamik
Di SSP, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat
dengan efek 10 mg morfin. Dapat menimbulkan depresi napas
yang sama kuat seperti morfin dan dapat bertahan lebih dari
24 jam setelah dosis tunggal. Metadon juga berefek antitusif,
menimbulkan hiperglikemia, hipotemia, dan pelepasan ADH.
Di otot polos, metadon menimbulkan relaksasi usus dan
menghambat

efek

spasmogenik

asetilkolin

atau

histamin.

Metadon juga menimbulkan spasme saluran empedu . Ureter


mengalami relaksasi, mungkin karena telah terjadi antidiuresis.
Pecandu metadon timbul toleransi efek miosis yang cukup
kuat.
Pada

sistem

kardiovaskular,

metadon

menyebabkan

vasodilatasi perifer sehingga dapat menimbulkan hipotensi


ortostatik. Pemberian metadon tidak mengubah gambaran EKG
tetapi

kadang-kadang

timbul

sinus

bradikardia.

Obat

ini

menurunkan kepekaan tubuh terhadap CO 2 sehingga timbul


retensi CO2 yang dapat menimbulkan vasodilatasi serebral dan
kenaikan tekanan cairan serebrospinal.

Farmakokinetik
Metadon diabsorbsi baik oleh usus dan dapat ditemukan
dalam plasma darah setelah 30 menit PO; kadar puncak

dicapai setelah 4 jam. Metadon cepat keluar dari darah dan


menumpuk

dalam

paru,

hati,

ginjal,

dan

limpa;

hanya

sebagian kecil yang masuk otak. Kadar maksimal metadon


dalam

otak

dicapai

dalam

1-2

jam

setelah

pemberian

parenteral.
Biotransformasi metadon terutama berlangsung di hati.
Salah satu reaksi penting ialah dengan cara N-demetilasi.
Sebagian besar metadon yang diberikan akan ditemukan dalam
urin dan tinja sebagai hasil biotransformasi yaitu pirolidin dan
pirolin.

Kurang

dari

10%

mengalami

ekskresi

bersama

empedu.

Indikasi
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan
jenis nyeri yang dapat dipengaruhi morfin, tetapi ada yang
berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat daripada morfin.
Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit setelah pemberian
parenteral

atau

menyebabkan

30-60

depresi

menit
napas

setelah

pada

janin

PO.

Obat

sehingga

ini
tidak

dianjurkan sebagai analgesik pada persalinan.


Metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif 1,5-2
mg/oral sesuai dengan 15-20 mg kodein, tetapi

kemungkinan

timbulkan adiksi pada metadon jauh lebih besar daripada


kodein.

Efek Samping
Metadon

menyebabkan

efek

samping

berupa

perasaan

ringan, pusing, kantuk, fungsi mental terganggu, berkeringat,


pruritus, mual, dan muntah. Efek samping ini lebih sering timbul
pada pemberian oral

daripada pemberian parenteral dan lebih

sering timbul pada pasien berobat jalan. Efek samping yang jarang
timbul ialah delirium, halusinasi selintas dan urtikaria hemoragik.
Bahaya utama pada takar lajak metadon ialah berkurangnya

ventilasi pulmonal. Terapi intoksikasi akut metadon sama dengan


terapi intoksikasi akut morfin.
4. Antagonis Opioid
4.1 Antagonis Opioid
Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak
menimbulkan banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek
agonis opioid atau bila opioid endogen sedang aktif misalnya pada
keadaan stress atau syok. Nalokson merupakan prototype antagonis opioid
yang relatif murni, demikian pula naltrekson yang dapat diberikan PO dan
memperlihatkan masa kerja yang lebih lama daripada nalokson. Dalam
dosis besar keduanya memperlihatkan beberapa efek agonis, tetapi efek ini
tidak berarti secara klinis.
Nalorfin,

levalorfan,

siklazosin dan

sejenisnya di samping

memperlihatkan efek antagonis, menimbulkan efek otomik, endokrin,


analgetik dan depresi napas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin.
Obat-obat

ini merupakan antagonis kompetitif reseptor , tetapi juga

memperlihatkan efek agonis pada reseptor-reseptor lain.

Farmakodinamik
Pada

berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa

Nalokson

menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang


nyerinya tinggi. Namun, masih perlu pembuktian lebih lanjut efek
nalokson ini sebab banyak faktor fisiologi yang berperan dalam
analgesia. Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg morfin
menimbulkan analgesia sama kuat pada pasien dengan nyeri
pascabedah. Pada beberapa pasien timbul reaksi yang tidak
menyenangkan, misalnya rasa cemas, perasaan yang aneh, sampai
timbulnya day dreams yang mengganggu, atau lebih berat lagi timbul
halusinasi, paling sering halusinasi visual.
Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi napas yang
diduga karena kerjanya pada reseptor . Berbeda dengan morfin,
depresi napas tidak bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat

ini, terutama levalorfan memperberat depresi napas oleh morfin dosis


kecil, tetapi mengantagonis depresi napas akibat morfin dosis besar.
Frekuensi napas meningkat dalam 1-2 menit setelah pemberian
nalokson pada pasien dengan depresi napas akibat agonis opioid; efek
sedatif dan efek terhadap tekanan darah juga segera dihilangkan. Pada
dosis besar, nalokson juga menyebabkan kebalikan efek dari efek
psikotomimetik dan disforia akibat agonis-antagonis.
Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik
terhadap morfin, dosis kecil nalokson SC akan menyebabkan gejala
putus obat yang dapat berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat
penghentian tiba-tiba pemberian morfin, hanya timbulnya beberapa
menit setelah penyuntikan terakhir setelah 2 jam. Berat dan lama
berlangsungnya sindrom ini tergantung dari dosis antagonis dan
beratnya ketergantungan. Hal yang sama terjadi pada orang dengan
ketergantungan fisik terhadap agonis parsial, tetapi diperlukan dosis
lebih besar.

Farmakokinetik
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera

terlihat setelah penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap,


tetapi karena hampir seluruhnya mengalami metabolisme lintas
pertama maka harus diberikan parenteral.
Obat ini dimetabolisme di hati, terutama dengan glukoronidasi.
Waktu paruhnya kira-kira 1 jam dengan masa kerja 1-4 jam. Naltrekson
efektif setelah pemberian PO, kadar puncaknya dalam plasma dicapai
dalam waktu 1-2 jam, waktu paruhnya sekitar 3 jam dan masa kerjanya
mendekati 24 jam. Metabolitnya, 6-naltreksol, merupakan antagonis
opioid yang lemah dan masa kerjanya panjang.

Indikasi
Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas

akiat takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang
mendapat opioid sewaktu persalinan; atau akibat tentamen suicide

dengan suatu opioid; dalam hal ini nalokson merupakan obat terpilih.
Obat ini juga digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati
ketergantungan fisik terhadap opioid.
5. Agonis Parsial
5.1 Pentazosin
Farmakodinamik
Efeknya terhadap SSP mirip dengan efek opioid yaitu
menyebabkan analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia
yang timbul agaknya karena efeknya pada reseptor , karena
sifatnya berbeda dengan analgesia akibat morfin. Analgesia
timbul lebih dini dan hilang lebih cepat daripada morfin. Pada
dosis 60-90 mg obat

ini menyebabkan disforia dan efek

psikotomimetik mirip nalorfin yang hanya dapat di antagonis oleh


nalokson. Diduga timbulnya disforia dan efek psikotomimetik
karena kerjanya pada reseptor .
Efeknya pada saluran cerna mirip efek opioid, sedangkan
pada

uterus

efeknya

mirip

efek

meperidin.

Respons

kardiovaskular terhadap pentazosin berbeda dengan respons


terhadap opioid morfin, yaitu dalam dosis tinggi menyebabkan
peningkatan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung.

Farmakokinetik
Pentazosin diserap baik melalui cara pemberian apa saja,
tetapi

karena

mengalami

metabolisme

bioavailabilitas PO cukup bervariasi.

lintas

pertama,

Obat ini dimetabolisme

secara intensif di hati untuk kemudian diekskresi sebagai metabolit


melalui urin. Pada pasien sirosis hepatis klirensnya sangat
berkurang.

Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang,
tetapi kurang efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat

ini juga digunakan untuk medikasi pra-anestesi. Bila digunakan


untuk analgesia obstetrik, pentazosin dapat mengakibatkan depresi
napas yang sebanding meperidin.

5.2 Butorfanol
Farmakodinamik
Pada

pasien

pascabedah,

suntikan 2-3 mg

butorfanol

menimbulkan analgesia dan depresi napas menyerupai efek


suntikan 10 mg morfin atau 80 mg meperidin. Dosis analgetik
butorfanol juga meningkatkan tekanan arteri pulmonal dan kerja
jantung.

Farmakokinetik
Butorfanol mirip dengan morfin dalam hal mula kerja,
waktu tercapainya kadar puncak dan masa kerja, sedangkan
waktu paruhnya kira-kira 3 jam.

Indikasi
Butorfanol
pascabedah

efektif

sebanding

untuk
dengan

mengatasi
morfin,

nyeri

akut

meperidin

atau

pentazosin. Butorfanol efektif untuk medikasi praanestetik.


Obat ini tidak dianjurkan digunakan untuk nyeri yang
menyertai

infark

miokard

akut.

Dosis

butorfanol

yang

dianjurkan untuk dewasa adalah dosis 1-4 mg IM atau 0,5-2 mg


IV dan dapat diulang 3-4 jam.

Efek Samping
Efek samping utama butorfanol adalah kantuk, rasa lemah,
berkeringat, rasa mengambang dan mual. Sedangkan efek
psikotomimetik

lebih kecil dibanding pentazosin pada dosis

ekuianalgetik. Kadang-kadang terjadi gangguan kardiovaskular


yaitu palpitasi dan gangguan kulit rash.

5.3 Buprenorfin
Farmakodinamik
Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain pada
SSP seperti morfin. Buprenorfin dapat mengantagonis depresi
pernapasan yang ditimbulkan oleh dosis anestesik fentanil
sama baiknya dengan nalokson.
Depresi pernapasan dan efek lain yang ditimbulkan
buprenorfin

dapat

dicegah

oleh

penggunaan

nalokson

sebelumnya, akan tetapi nalokson dosis tinggipun sulit untuk


mengatasi efek yang sudah ditimbulkan oleh buprenorfin.
Buprenorfin

dapat

menimbulkan

ketergantungan

fisik

dengan gejala dan tanda-tanda putus obat seperti morfin, tetapi


tidak terlalu berat.

Farmakokinetik
Buprenorfin diabsorpsi relatif baik. Buprenorfin 0,4-0,8
mg sublingual menimbulkan analgesia yang baik pada pasien
pascabedah. Kadar puncak alam darah dicapai dalam 5 menit
setelah suntikan IM dan dalam 1-2 jam setelah penggunaan
secara oral atau sublingual. Masa paruh dalam plasma sekitar
3 jam.

Indikasi
Selain sebagai analgesik, buprenorfin juga bermanfaat
untuk terapi penunjang pasien ketergantungan opioid, dan
pengobatan adiksi heroin.

5.4 Tramadol
Farmakodinamik
Tramadol efektif untuk nyeri ringan sampai sedang,
tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Untuk nyeri
persalinan, tramadol sama efektif dengan meperidin dan kurang
menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus.

Farmakokinetik
Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara
oral 68% dan 100% bila digunakan secara IM. Tramadol
mengalami metabolisme di hati dan diekskresi oleh ginjal,
dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan 7,5
jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam
setelah penggunaan secara oral, dan mencapai puncak dalam
2-3 jam. Lama analgesia sekitar 6 jam. Dosis maksimal per
hari yang dianjurkan 400 mg.

Efek Samping
Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut
kering, sedasi, dan sakit kepala.

BAB III
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. Chapter I : Analgesik Opioid. 2015. Di akses pada tanggal 1
Agustus

2016.

Diunduh

dari:

http://repository.usu.ac.id/

bitstream/handle/123456789/24542/Chapter
%20I.pdf;jsessionid=E5698E23E67B058D8503E90EF759795?sequence=5.
2. Dewoto, Hedi. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapi FK UI. 2011.
3. Soenarjo, Jatmiko. Anestesiologi. Semarang: FK UNDIP. 2013.
4. Latief S, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktik Anestesiologi. Edisi
Kedua. Jakarta: FK UI. 2002.
5. Neal, Michael. At a Glance : Farmakologi Medis. Jakarta : Erlangga. 2005.
6. Pharmacy Board Victoria. Guidelines for Good Pharmaceutical Practice. 2010.
7. Tetrault JM, Fiellin DA. Current and potential pharmacological treatment
options for maintenance therapy in opioid-dependent individuals. Drugs. 2012
jan 22; 72(2): 217-28
8. Robinson GM, Robinson S, McCarthy P, Cameron C. Misuse of over-thecounter codeine-containing analgesics: dependence and other adverse effects.
Journal of the New Zealand Medical Association. 2010. 123; 1317
9. Simmons A. Codeine crackdown comes into effect. 2010.
10. Joyce L, Evelyne H. Farmakologi. Jakarta: EGC. 1996. h.67-78

Anda mungkin juga menyukai