PENDAHULUAN
Ketiga reseptor ini merupakan reseptor spesifik yang terdapat pada otak dan
medula spinalis yang berfungsi untuk trasnsmisi dan modulasi nyeri. Opioid
berinteraksi secara spesifik dengan reseptor protein di membran sel dalam SSP
(Sistem Saraf Pusat), pada bagian nervus terminal di perifer dan pada sel-sel traktus
gastrointestinal serta daerah lainnya. Ketiga jenis reseptor ini merupakan reseptor
utama yang memediasi efek utama dari opioid dan merupakan bagian dari reseptor
protein Guanine yang berpasangan (G protein coupled receptor) dan menginhibisi
adenilsiklase menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas
neurotransmitter terhambat.2 Selain itu juga meningkatkan effluks K+ pada
postsinaptik (hiperpolarisasi) dan mereduksi Ca2+ influks pada presinaptik yang juga
turut berperan dalam menghambat pelepasan neurotransmitter. Di dalam otak terdapat
tiga jenis endogenous peptide yang aktivitasnya seperti opiat yaitu:2-6
- Enkephalin yang berikatan dengan reseptor δ (delta)
- β – Endorfin yang berikatan dengan reseptor µ (mu)
- Dandynorpin yang berikatan dengan reseptor κ (kappa)
Gambar 1. Mekanisme kerja opioid3
B. Propoksifen
a. Farmakodinamik
Propoksifen berefek analgesik karena kerja sentralnya. Propoksifen
terutama terikat pada reseptor µ meskipun kurang selektif dibandingkan morfin.
Propoksifen 65-100 mg secara oral memberikan efek yang sama kuat dengan 65 mg
kodein, sedangkan 130 mg propoksifen parenteral menimbulkan analgesia yang
sama kuat dengan 50 mg meperidin parenteral. Tetapi propoksifen menimbulkan
perasaan panas dan iritasi di tempat suntikan. Kombinasi propoksifen dengan asetosal
berefek analgesik yang jauh lebih baik daripada jika masing-masing obat diberikan
tersendiri. Obat ini tidak berefek antitusif.
b. Farmakokinetik
Propoksifen diabsorpsi setelah pemberian oral maupun parenteral.
Efektivitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan PO. Biotransformasi
propoksifen dengan cara N-demetilasi yang terjadi dalam hati. Dimetabolisme
separuh pada lintasan pertama. Waktu paruh 15 jam.
c. Indikasi
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga
sedang, yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi propoksifen
bersama asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi kodein bersama asetosal. Dosis
propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4 kali 65 mg sehari, dengan atau tanpa
asetosal.
d. Efek Samping
Pada dosis terapi propoksifen tidak banyak mempengaruhi sistem
kardiovaskular. Pemberian 130 mg propoksifen PO pada orang dewasa sehat
tidak banyak mengubah reaksi terhadap CO2. Dengan dosis ekuianalgetik
insiden efek samping propoksifen seperti mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut
dan kantuk kurang lebih sama dengan kodein. Dosis toksik biasanya
menimbulkan depresi SSP dan depresi napas, tetapi jika dosis lebih besar lagi
timbul konvulsi.
e. Adiksi
Timbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih kecil kemungkinannya
daripada terhadap kodein. Penghentian tiba-tiba pada terapi dengan propoksifen
akan menimbulkan gejala putus obat ringan. Dosis oral propoksifen yang besar
(300-600 mg) menimbulkan efek subyektif yang menyenangkan, tetapi tidak
serupa dengan efek morfin. Obat ini cukup iritatif pada pemberian SC,
sehingga tidak digunakan secara parenteral.
2. Agonis Parsial
A. Pentazosin
a. Farmakodinamik
Efeknya terhadap SSP mirip dengan efek opioid yaitu menyebabkan
analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia yang timbul agaknya karena
efeknya pada reseptor κ, karena sifatnya berbeda dengan analgesia akibat
morfin. Analgesia timbul lebih dini dan hilang lebih cepat daripada morfin. Pada
dosis 60-90 mg obat ini menyebabkan disforia dan efek psikotomimetik mirip
nalorfin yang hanya dapat di antagonis oleh nalokson. Diduga timbulnya disforia dan
efek psikotomimetik karena kerjanya pada reseptor δ.
Efeknya pada saluran cerna mirip efek opioid, sedangkan pada uterus efeknya
mirip efek meperidin. Respons kardiovaskular terhadap pentazosin berbeda dengan
respons terhadap opioid morfin, yaitu dalam dosis tinggi menyebabkan peningkatan
tekanan darah dan frekuensi denyut jantung.
Gejala putus obat yang terjadi diantaranya mirip gejala putus obat morfin.
Penyuntikan berulang pada tempat yang sama dapat menyebabkan abses steril,
ulserasi dan jaringan perut.
b. Farmakokinetik
Pentazosin diserap baik melalui cara pemberian apa saja, tetapi karena
mengalami metabolisme lintas pertama, bioavailabilitas PO cukup bervariasi. Obat
ini dimetabolisme secara intensif di hati untuk kemudian diekskresi sebagai metabolit
melalui urin. Pada pasien sirosis hepatis klirensnya sangat berkurang.
c. Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang, tetapi kurang efektif
dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat ini juga digunakan untuk medikasi
praanestesik. Bila digunakan untuk analgesia obstetrik, pentazosin dapat
mengakibatkan depresi napas yang sebanding meperidin.
d. Toleransi
Toleransi dapat timbul terhadap efek analgetik dan efek subyektif pada
pemberian berulang. Ketergantungan fisik dan psikis dapat pula terjadi, tetapi
kemungkinannya jauh lebih kecil.
B. Butorfanol
a. Farmakodinamik
Pada pasien pascabedah, suntikan 2-3 mg butorfanol menimbulkan analgesia
dan depresi napas menyerupai efek suntikan 10 mg morfin atau 80 mg meperidin.
Dosis analgetik butorfanol juga meningkatkan tekanan arteri pulmonal dan kerja
jantung.
b. Farmakokinetik
Butorfanol mirip dengan morfin dalam hal mula kerja, waktu tercapainya
kadar puncak dan masa kerja, sedangkan waktu paruhnya kira-kira 3 jam.
c. Indikasi
Butorfanol efektif untuk mengatasi nyeri akut pascabedah sebanding
dengan morfin, meperidin atau pentazosin. Butorfanol efektif untuk medikasi
praanestetik. Obat ini tidak dianjurkan digunakan untuk nyeri yang menyertai
infark miokard akut. Dosis butorfanol yang dianjurkan untuk dewasa adalah
dosis 1-4 mg IM atau 0,5-2 mg IV dan dapat diulang 3-4 jam.
d. Efek Samping
Efek samping utama butorfanol adalah kantuk, rasa lemah, berkeringat, rasa
mengambang dan mual. Sedangkan efek psikotomimetik lebih kecil dibanding
pentazosin pada dosis ekuianalgetik. Kadang-kadang terjadi gangguan
kardiovaskular yaitu palpitasi dan gangguan kulit rash.
C. Buprenorfin
a. Farmakodinamik
Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain pada SSP seperti
morfin. Buprenorfin dapat mengantagonis depresi pernapasan yang ditimbulkan
oleh dosis anestesik fentanil sama baiknya dengan nalokson.
Depresi pernapasan dan efek lain yang ditimbulkan buprenorfin dapat
dicegah oleh penggunaan nalokson sebelumnya, akan tetapi nalokson dosis
tinggipun sulit untuk mengatasi efek yang sudah ditimbulkan oleh buprenorfin.
Buprenorfin dapat menimbulkan ketergantungan fisik dengan gejala dan
tanda-tanda putus obat seperti morfin, tetapi tidak terlalu berat.
b. Farmakokinetik
Buprenorfin diabsorpsi relatif baik. Buprenorfin 0,4-0,8 mg sublingual
menimbulkan analgesia yang baik pada pasien pascabedah. Kadar puncak alam
darah dicapai dalam 5 menit setelah suntikan IM dan dalam 1-2 jam setelah
penggunaan secara oral atau sublingual. Masa paruh dalam plasma sekitar 3
jam.
c. Indikasi
Selain sebagai analgesik, buprenorfin juga bermanfaat untuk terapi
penunjang pasien ketergantungan opioid, dan pengobatan adiksi heroin.
D. Tramadol
a. Farmakodinamik
Tramadol efektif untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri
berat atau kronik lebih lemah. Untuk nyeri persalinan, tramadol sama efektif
dengan meperidin dan kurang menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus.
b. Farmakokinetik
Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral 68% dan 100%
bila digunakan secara IM. Tramadol mengalami metabolisme di hati dan
diekskresi oleh ginjal, dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan
7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam setelah
penggunaan secara oral, dan mencapai puncak dalam 2-3 jam. Lama analgesia
sekitar 6 jam. DM per hari yang dianjurkan 400 mg.
c. Efek Samping
Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut kering, sedasi,
dan sakit kepala. Depresi pernapasan nampaknya kurang dibandingkan dengan
dosis ekuianalgetik morfin, dan derajat konstipasinya kurang daripada dosis
ekuivalen kodein.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. “Chapter I : Analgesik Opioid”. 2015. Di akses pada tanggal 1
Agustus 2016. Diunduh dari: http://repository.usu.ac.id/
bitstream/handle/123456789/24542/Chapter
%20I.pdf;jsessionid=E5698E23E67B058D8503E90EF759795?sequence=5.
2. Dewoto, Hedi. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapi FK UI. 2011.
3. Soenarjo, Jatmiko. Anestesiologi. Semarang: FK UNDIP. 2013.
4. Latief S, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktik Anestesiologi. Edisi
Kedua. Jakarta: FK UI. 2002.
5. Neal, Michael. At a Glance : Farmakologi Medis. Jakarta : Erlangga. 2005.
6. Pharmacy Board Victoria. Guidelines for Good Pharmaceutical Practice. 2010.
7. Tetrault JM, Fiellin DA. Current and potential pharmacological treatment
options for maintenance therapy in opioid-dependent individuals. Drugs. 2012
jan 22; 72(2): 217-28
8. Robinson GM, Robinson S, McCarthy P, Cameron C. Misuse of over-the-
counter codeine-containing analgesics: dependence and other adverse effects.
Journal of the New Zealand Medical Association. 2010. 123; 1317
9. Simmons A. Codeine crackdown comes into effect. 2010.
10. Joyce L, Evelyne H. Farmakologi. Jakarta: EGC. 1996. h.67-78