Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Analgetik merupakan suatu golongan obat yang dipergunakan untuk


mengurangi rasa sakit atau nyeri. Nyeri timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada
tubuh misalnya rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan
kerusakan pada jaringan yang memicu pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin
dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan
diteruskan ke otak. Secara umum analgetik dibagi dalam dua golongan, yaitu
analgetik non narkotik dan analgetik narkotik (opioid).1
Opioid adalah kelompok obat yang sering dipergunakan pada penanganan
pasien dengan nyeri yang berat. Istilah opioid secara luas digunakan untuk semua
senyawa yang dapat berikatan dengan reseptor opioid, baik yang bersifat alami
maupun sintetis. Istilah opium berasal dari getah bunga opium (Papaver somniferum),
yang diekstrak dan digunakan pertama kalinya secara luas pada peradaban kuno
Persia, Mesir dan Mesopotamia. Telah dicatat bahwa penggunaan opium yang
pertama kali adalah pada salah satu teks kuno bangsa Sumeria pada tahun 4000 SM.
Istilah opiat digunakan untuk semua jenis alkaloid yang diekstrak dari tumbuhan
opium yang menempati dan bekerja pada reseptor opioid.1,2,3,4
Opiat awalnya digunakan dengan cara dihirup atau ditusukkan pada kulit yang
akan memberikan efek analgesia, namun hal tersebut juga akan menyebabkan depresi
pernafasan dan kematian sesuai dengan derajat absorbsi yang diberikan. Adapun
alkaloid yang terkandung dalam opium antara lain morfin (10-15%), kodein (1-3%),
noskapin (4-8%), papaverin (1-3%) dan tebain (1-2%). Beberapa dari alkaloid-
alkaloid tersebut banyak digunakan untuk pengobatan diantaranya: untuk nyeri
(morfin dan kodein), untuk batuk (kodein dan noskapin) dan untuk mengobati spasme
visceral (papaverin). Morfin berhasil diisolasi oleh Seturner pada tahun 1803,
kemudian dilanjutkan dengan kodein tahun 1832 lalu papaverin tahun 1848. 1,4,5,6
Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan
morfin, dan tidak semua obat golongan opioid dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi
dengan sediaan yang sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat
opioid dapat dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada
kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.
Obat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara lain adalah
morfin, petidin dan fentanil. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakologik
yang lain, golongan obat ini digunakan terutama untuk meredakan atau
menghilangkan rasa nyeri.1,2,3
Tidak semua obat golongan opioid dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan
sediaan yang sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid
dapat dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada
kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.4,5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Opioid


Sejak ribuan tahun yang lalu opioid telah digunakan untuk mengatasi nyeri. Zat
opium didapatkan dari bibit pohon Papaver somniverum, dan kata opium sendiri
berasal dari kata ‘opos’, yang dalam bahasa Jerman artinya juice. Opium terdiri lebih
dari 20 alkaloid. Pada tahun 1806, Sertuener, sorang ahli farmasi telah mengisolasi
suatu zat yang disebut ‘sopofiric principle’ yang terkandung di dalam opium,
kemudian pada tahun 1817, zat itu diberi nama morfin, berasal dari nama dewa
Morpheus. Penelitian-penelitian untuk mengisolasi alkaloid opium lainnya terus
dilakukan, sehingga sejak pertengahan tahun 1800, penggunaan alkaloid opium lebih
banyak digunakan di dalam bidang medis, dibandingkan dengan penggunaan opium
langsung. Pada tahun 1828, Bally mempublikasikan penggunaan morfin pada hampir
800 pasien. Observasi yang dilakukan menjelaskan tentang indikasi terapi morfin
oral, efek samping, dosis, toleransi terhadap morfin, serta potential abuse. Morfin
telah digunakan secara luas untuk menangani tentara yang terluka saat perang
masyarakat Amerika. Pada tahun 1869, Claude Bernard menggunakan morfin sebagai
obat premedikasi. Akan tetapi penggunaan opioid jika tanpa obat pelumpuh otot, dan
kontrol terhadap ventilasi, dapat menyebabkan resiko depresi pernapasan parah dan
kematian, karena itu penggunaannya untuk anestesi masih sangat terbatas.6,7
Seiring dengan perkembangan bedah jantung pada tahun 1950, berkembang
pula ‘opioid asnesthesia’. Satu dekade kemudian, Lowenstein melaporkan
penggunaan morfin dalam dosis besar yang progresif tanpa menyebabkan efek
samping terhadap sirkulasi, tapi dua tahun kemudian dijelaskan tentang keterbatasan
teknik tersebut, termasuk penekanan terhadap respon stress yang tidak lengkap,
hipotensi, dan bangun kembali saat dalam anestesi. Menurut Stanley, morfin dalam
dosis tinggi dihubungkan dengan adanya kejadian peningkatan kebutuhan cairan dan
darah.1,6,7
Phenoperidine adalah derivat dari normeperidine, pada tahun 1957 telah dibuat
bentuk sintetisnya, sedangkan derivat fentanyl, yaitu 4-anilinoperidine baru dibuat
sintetiknya pada tahun 1960. Opiod sintetik ini memiliki efek yang lebih poten dan
memiliki savety margin yang lebih baik dibandingkan meperidine. Kemajuan teknik
bedah menimbulkan meningkatnya kebi\utuhan opioid yang memiliki efek lebih
poten, dengan onset cepat, lama masa kerja yang dapat diramalkan, serta memiliki
savety margin yang maksimal. Antara tahun 1974 dan 1976, sefentanyl, alfentanyl,
dan derivat fentanyl lainnya banyak digunakan. Bentuk opioid poten yang terbaru,
remifentanyl memiliki durasi ultrashort, dan dimetabolisme dengan cepat. Hal itu
menyebabkan keamanan fleksibilitas yang lebih.6,7
Penelitian tentang analgesik opioid yang tidak berpotensi menyebabkan
ketergantungan mulai muncul sejak adanya kekhawatiran tentang adiksi opioid. Pada
pertengahan tahun 1960, nalorphine, obat yang telah diketahui memiliki efek yang
berlawanan dengan morfin, ternyata juga memiliki efek analgesik. Dua zat lain yang
memilki efek berlawanan dengan morfin adalah pentazocine, cyclazocine. Keduanya
memiliki efek psikotrofik yang tidak dimiliki oleh morfin, disamping itu pentazocine
juga memilki efek analgesik. Martin mencetuskan tentang adanya teori dualisme
reseptor, yang memiliki dua konsep kunci, yaitu : 1)Adanya reseptor opioid multipel,
2) Adanya farmakologik redundancy. Oleh sebab itu, sebuah obat dapat memilki efek
agonis kuat, agonis parsial, atau antagonis kompetitif tergantung pada tipe
reseptornya. Berdasarkan penelitian, didapatkan adanya tiga macam famili peptida
opioid, dan ada banyak reseptor opioid. Penelitian selanjutnya meneliti tentang zat
yang memiliki efek analgesia poten, dengan efek samping yang lebih sedikit.3,6
2.2. Mekanisme Kerja Opioid
Terdapat tiga famili peptida opioid, yang berasal dari molekul prekusor
besar dan dikode oleh gen yang terpisah. Pro-opiomelanokortin (POMC)
menyebabkan peningkatan peptida opioid endorfin β dan sejumlah peptida
nonopioid lainnya, termasuk hormon adrenokortikotropik (ACTH). Proenkefalin
menyebabkan peningkatan leu-enkefalin dan met-enkefalin. Prodinorfin
menyebabkan peningkatan sejumlah peptida opioid, yang mengandung leu-
enkefalin pada terminal aminonya. Peptida yang berasal dari setiap tiga
molekul prekursor ini mempunyai distribusi anatomis tertentu pada sistem saraf
pusat dan mempunyai bermacam-macam afinitas untuk tipe reseptor opioid
yang berbeda.5,6,7
Peptida opioid endogen, Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui
kerjanya didaerah otak yang mengandung peptida yang memiliki sifat farmakologik
menyerupai opioid. Terdapat tiga jenis peptide opioid yakni enkefalin, endorfin, dan
dinorfin. Peptida opioid endogen tersebut diperkirakan berperan pada transmisi saraf,
meskipun mekanisme kerja sebagai analgesik belum jelas diketahui. Tiap jenis
berasal dari prekursor polipeptida yang berbeda secara genetik dan memperlihatkan
distribusi anatomis yang khas. Prekursor ini disebut proenkefalin A, pro-
opiomelanokortin (POMC) dan prodinorfin (proenkefalin B). Masing-masing
prekursor mengandung sejumlah peptida yang aktif secara biologik, baik sebagai
opioid maupun nonopioid yang telah dideteksi dalam darah dan berbagai jaringan.2,3
Tabel 1. Reseptor opioid beserta fungsi ikatan dengan opioid2
Reseptor Fungsi Afinitas peptide opioid
endogen
µ (mu) Analgetik pada supraspinal dan spinal; sedasi; inhibisi Endorphins >
pernafasan; memperlambat kerja GIT; modulasi enkephalins >
pelepasan hormone dan neurontransmitter dynorphins
δ (delta) Analgetik supraspinal dan spinal; modulasi pelepasan Enkephalins >
hormone dan neurontransmitter endorphins and
dynorphins
k (kappa) Analgetik supraspinal dan spinal; efek Dynorphins > >
psikotomimetik; memperlambat kerja GIT endorphins and
enkephalins

Ketiga reseptor ini merupakan reseptor spesifik yang terdapat pada otak dan
medula spinalis yang berfungsi untuk trasnsmisi dan modulasi nyeri. Opioid
berinteraksi secara spesifik dengan reseptor protein di membran sel dalam SSP
(Sistem Saraf Pusat), pada bagian nervus terminal di perifer dan pada sel-sel traktus
gastrointestinal serta daerah lainnya. Ketiga jenis reseptor ini merupakan reseptor
utama yang memediasi efek utama dari opioid dan merupakan bagian dari reseptor
protein Guanine yang berpasangan (G protein coupled receptor) dan menginhibisi
adenilsiklase menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas
neurotransmitter terhambat.2 Selain itu juga meningkatkan effluks K+ pada
postsinaptik (hiperpolarisasi) dan mereduksi Ca2+ influks pada presinaptik yang juga
turut berperan dalam menghambat pelepasan neurotransmitter. Di dalam otak terdapat
tiga jenis endogenous peptide yang aktivitasnya seperti opiat yaitu:2-6
- Enkephalin yang berikatan dengan reseptor δ (delta)
- β – Endorfin yang berikatan dengan reseptor µ (mu)
- Dandynorpin yang berikatan dengan reseptor κ (kappa)
Gambar 1. Mekanisme kerja opioid3

Hiperpolarisasi potensial membrane melalui aktivasi arus K+ dan pembatasan


masuknya Ca2+ melalui penghambatan arus Ca2+ merupakan mekanisme yang dapat
dipertahankan tetapi tidak terbukti untuk menjelaskan blockade oleh opioid dalam
pelepasan neurotransmitter dan transmisi nyeri dalam jalur neuronal yang beragam.
Studi menggunakan reseptor yang diklon menunjukkan bahwa reseptor opioid dapat
berpasangan dengan suatu rangkaian system pembawa pesan kedua lain, termasuk
aktivasi MAP kinase dan rangkaian yang diperantarai fosfolipase C (PLC), yang
menghasilkan pembentukan inositol trifosfat dan diasilgliserol. Pajanan terhadap
opioid yang berlangsung lama menyebabkan adaptasi pada berbagai tingkatan dalam
rangkaian pensinyalan ini.2,6,7
Penelitian mengenai fungsi biologis reseptor biologis opioid in vivo dibantu
oleh sintesis antagonis dan agonis selektif. Diantara antagonis yang paling umum
digunakan adalah analog siklik somatostatin seperti CTOP sebagai antagonis
reseptor, suatu turunan nalokson yang disebut naltrindol sebagai antagonis reseptor δ,
dan suatu turunan bivalen naltrekson yang disebut binaltorfimin sebagai antagonis
reseptor ԟ. Kebanyakan opioid yang digunakan secara klinis relatif selektif untuk
reseptor µ, mencerminkan kemiripannya dengan morfin. Namun, perlu diingat bahwa
obat yang relatif selektif pada dosis standar akan berinteraksi dengan reseptor lain
dan apabila diberikan dalam dosis yang cukup besar, kemungkinan terjadi perubahan
profil farmakologisnya. Hal ini berlaku jika dosis ditingkatkan untuk mengatasi
toleransi. Beberapa obat, terutama yang bersifat agonis-antagonis, berinteraksi
dengan lebih dari satu reseptor pada dosis klinis yang biasa. Kerja obat ini sangat
menarik, karena dapat bekerja agonis pada satu reseptor dan antagonis pada reseptor
lainnya.2,3

2.3. Farmakakinetik dan Farmakodinamik


Efek opioid ditimbulkan dari kombinasi opioid dengan satu atau beberapa
reseptor pada jaringan yang spesifik. Hubungan antara dosis dan efek bergantung
pada variabel farmakokinetik dan farmakodinamik. Farmakokinetik adalah hubungan
antara dosis dan konsentrasi obat terhadap tubuh. Farmakodinamik berhubungan
dengan konsentrasi obat pada target (otak dan jaringan lain), dan intensitas efeknya.
Perubahan konsentrasi obat dalam darah seiring dengan waktu, bergantung pada
proses psikokimia, termasuk absorbsi, redistribusi, biotransformasi, dan eleminasi.6,7,8
Pada prakteknya, opioid biasanya diberikan secara intravena. Setelah pemberian
secara bolus ataupun infus, konsentrasi obat di plasma akan segera meningkat dan
mencapai puncaknya dalam hitungan menit. Konsentrasi dalam plasma akan segera
menurun dengan cepat, saat didistribusikan ke daerah ekstravaskular. Kenaikan
konsentrasi obat di dalam plasma hingga mencapainya masuk ke dalam fase
distribusi, sedangkan saat konsentrasi obat mulai semakin menurun, disebut sebagai
fase eliminasi.6,9
Penting untuk diketahui bahwa farmakokinetik banyak dipengaruhi oleh
parameter-perameter tertentu, seperti usia, ataupun penyakitnya, saat pengambilan
sampel pemeriksaan, durasi, pembedahan, efek akibat pemberian obat lain.9
Untuk dapat bekerja pada susunan saraf pusat, opioid harus terlebih dahulu
menembus membran biologis, sawar darah otak ke reseptor pada membran sel saraf.
Kemampuan opioid untuk menembus sawar darah otak tergantung pada ukuran
molekulnya, ionisasi, kelarutan dalam lemak, ikatan dengan protein. Dari
kesemuanya itu, kelarutan dalam lemak dan ionisasi adalah yang memegang peranan
paling penting dalam penetrasi obat ke SSP. Di laborarium, kelarutan dalam lemak
diukur dengan menggunakan oktanol, air atau iktanol: koefisien buffer partition.
Ionisasi obat juga berpengaruh terhadap kelarutan dalam lemak. Obat yang dalam
bentuk tidak terionisasi memiliki kelarutan 1000-10000 kali dibandingkan bentuk
terionisasi. Tingkat ionisasi bergantung kepada pKa dari opioid serta pH lingkungan.
Opioid dengan pKa kurang dari 7,4 memliki fraksi nonionisasi yang lebih besar di
dalam plasma. Korelasi antara kelarutan dalam lemak dengan permeabilitas membran
tidak selalu dalam bentuk linear. Ikatan protein dalam plasma juga mempengaruhi
redistribusinya, karena hanya fraksi yang tidak berikatan yang dapat menembus
membran sel. Protein plasma yang akan berikatan dengan opioid adalah albumin dan
α1 acid glycoprotein (AAG). Perubahan pada konsentrasi AAG, terjadi pada
beberapa kondisi tertentu, dan penyakit tertentu, dan akan menimbulkan perubahan
pada kebutuhan opioid.8,9
Dua mekanisme yang bertanggung jawab terhadap eliminasi obat adalah
biotransformasi dan ekskresi. Opioid mengalami biotransformasi di hati melalui dua
fase. Fase I meliputi proses oksidasi dan reduksi yang dikatalisasi oleh P450 dan
reaksi hidrolasi. Fase II melibatkan konjugasi dari obat dan metabolitnya terhadap
substrat endogen seperti D-glucoronic acid. Phenilpiperidine, remifentanil,
dimetabolisme melalui hidrolisis ester. Secara umum metabolit opioid berada dalam
bentuk tidak aktif, kecuali untuk N-dellylated yang merupakan metabolit meperidine,
6 atau mungkin 3-glucoronide. Metabolit diekskresi terutama melalui ginjal, bisa juga
melalui sistem empedu, usus, dan rute lainnya.2,8

2.4. Golongan Opioid


Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi:5
- Agonis penuh (kuat)
- Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang)
- Campuran agonis dan antagonis
- Antagonis
Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan
agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis dengan
menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan mengurangi
efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid
yang memiliki efek agonis pada satu subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu
parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya.5
Berdasarkan rumus kimia obat golongan opioid dibagi menjadi derivat
fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan.5,6
Tabel 2. Golongan obat opioid5

STRUKTUR Agonis Agonis Campuran agonis-


Antagonis
DASAR Kuat Lemah-sedang antagonis
Fenantren Morfin Kodein Nalbufin Nalorfin
Hidromorfon Oksikodon Buprenorfin Nalokson
Oksimorfon Hidrokodon Naltrekson

Fenilheptilamin Metadon Propoksifen


Fenilpiperidin Meperidin Difenoksilat
Fentanil

Morfinan Levorfanol Butorfanol


Benzomorfan Pentazosin

Berikut klasifikasi obat opioid berdasarkan struktur kimia:5


1. Morfin dan Alkaloid Opium
Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan:
Golongan fenantren (mis: Morfin dan Kodein) dan Golongan benzilisokuinolin
(mis: Noskapin dan Papaverin).
a. Farmakodinamik
Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Morfin dosis
kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang menderita nyeri,
sedih dan gelisah dan pada orang normal seringkali menimbulkan disforia
berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Opioid menimbulkan
analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang terutama
didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan pada transmisi dan
modulasi nyeri. Beberapa individu, terutama wanita dapat mengalami eksitasi
oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang mendahului depresi, tetapi
delirium dan konvulsi jarang timbul. Kodein tidak menyebabkan depresi
progresif bila dosisnya dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi. Morfin
dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor µ dan κ
menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen
otonom inti saraf okulmotor. Miosis ini dapat dilawan oleh atropin dan
skopolamin. Pada dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa
menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik dapat menyebabkan
frekuensi napas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan morfin hampir
selalu disebabkan oleh depresi napas.
Morfin juga berefek di beberapa organ saluran cerna. Di lambung, morfin
menghambat sekresi HCl, menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus
bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus
berkontraksi, akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat. Di
usus halus, morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan
memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Di usus besar, morfin
mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus
dan menyebabkan spasme usus besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat
dan tinja menjadi lebih keras.
Pada sistem kardiovaskular, pemberian morfin dosis terapi tidak
mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung. Perubahan
baru akan terjadi pada pemberian toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia
pada stadium akhir intoksikasi morfin. Morfin dan opioid lain menurunkan
kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi terhadap perubahan sikap.
Pada otot polos, morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta
kontraksi ureter dan kandung kemih. Morfin merendahkan tonus uterus pada masa
haid dan menyebabkan uterus lebih tahan terhadap regangan. Mungkin atas dasar
ini morfin mengurangi nyeri dismenore. Pada kulit, dosis terapi morfin
menyebabkan vasodilatasi kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas.
Dalam proses metabolisme, morfin menyebabkan suhu badan turun akibat
aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme
neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi, hiperglikemia timbul tidak
tetap akibat pelepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Morfin
membuat volume urin berkurang akibat merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir
darah ginjal, dan pelepasan ADH.
b. Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui
kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa, dan juga dapat diabsorpsi
usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah dibanding
secara parenteral.
Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami konyugasi
dengan asam glukoronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas
dan 10% tidak diketahui nasibnya.
Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas
ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonjugasi ditemukan dalam
empedu, sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO 2, yang kemudian
dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-demetilasi. Urin
mengandung bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari kodein, norkodein dan
morfin.
c. Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-
opioid. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai infark miokard,
neoplasma, kolik renal, oklusio akut vaskular perifer, pulmonal, perikarditis
akut, dan nyeri akibat trauma misalnya luka bakar dan pascabedah.
Penggunaan analgesik opioid dewasa ini telah banyak digunakan untuk
menghambat refleks batuk yang tidak produktif dan hanya iritatif sehingga
menyebabkan pasien tidak dapat beristirahat dan mungkin sekali disertai dengan
nyeri.
Terhadap edema paru akut, morfin IV dapat dengan jelas mengurangi
atau menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal yang menyertai gagal
jantung kiri.
Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare berdasarkan efek
langsung terhadap otot polos usus. Pada pengobatan diare yang disebabkan
oleh intoksikasi makanan atau intoksikasi akut obat, pemberian morfin harus
didahului oleh pemberian garam katartik untuk mengeluarkan penyebab.
d. Efek Samping
Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita
berdasarkan idiosinkrasi. Berdasarkan reaksi alergik dapat timbul gejala seperti
urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.
Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akibat percobaan
bunuh diri atau pada takar lajak. Pasien akan tidur, sopor atau koma jika
intoksikasi cukup berat.
e. Toleransi
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap
efek eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara
morfin, dihidromorfinon, metopon, kodein dan heroin. Toleransi timbul setelah 2-3
minggu.
Timbul toleransi terhadap efek analgesik, tetapi tidak terhadap efek
konstipasi. Potensi penyalahgunaan tinggi. Penghentian menyebabkan insomnia,
nyeri, peningkatan aktivitas saluran cerna, kegelisahan.
f. Interaksi Obat
Interaksi morfin dapat meningkatkan kerja depresan SSP lain. Selain itu,
meningkatkan depresi pernapasan yang diinduksi oleh loker neuromuskular. Dan
morfin bersifat aditif dengan obat yang menyebabkan hipotensi.
2. Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin lain
a. Farmakodinamik
Pada SSP, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia, depresi napas
dan efek sentral lain. Efek analgetik meperidin mulai timbul 15 menit setelah
PO dan mencapai puncak dalam 2 jam. Pemberian meperidin kepada pasien
yang menderita nyeri atau cemas, akan menimbulkan euforia. Di saluran napas,
meperidin dalam dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi napas sama kuat
dengan morfin. Pemberian meperidin secara sistemik menimbulkan anestesia
kornea, dengan akibat menghilangnya refleks kornea.
Pemberian dosis terapi meperidin pada pasien yang berbaring tidak
mempengaruhi sistem kardiovaskular, tidak menghambat kontraksi miokard dan
tidak mengubah gambaran EKG.
Efek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus kecil lebih
lemah daripada morfin. Meperidin menimbulkan spasme saluran empedu.
Meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh histamin dan metakolin,
dapat menyebabkan peristaltik ureter berkurang, dan sedikit merangsang uterus
dewasa yang tidak hamil.
b. Farmakokinetik
Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung aik, akan
tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Setelah
PO, sekitar 50% obat mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar maks
dalam plasma tercapai dalam 1-2 jam.
Metabolisme meperidin terutama berlangsung di hati. Pada manusia,
meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian
sebagian mengalami konyugasi.
Meperidin bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Seanyak 1/3
dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-
demetilasi.
c. Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih
pendek daripada morfin. Misalnya untuk tindakan diagnostik.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan
sebagai obat praanestetik. Untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan
dengan morfin, meperidin kurang menyebabkan depresi napas pada janin.
d. Efek Samping
Efek Samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa
pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual, muntah, perasaan lemah,
gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.
e. Kontraindikasi
Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat harus dikurangi
karena terjadinya perubahan pada disposisi obat. Selain itu dosis meperidin
perlu dikurangi bila diberikan bersama antipsikosis, hipnotik sedatif dan obat-
obat lain penekan SSP. Pada pasien yang sedang mendapat MAO inhibitor
pemberian meperidin dapat menimbulkan kegelisahan, gejala eksitasi dan
demam.
f. Toleransi
Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih lambat dibanding
dengan morfin. Timbulnya toleransi lambat bila interval pemberian lebih dari
3-4 jam. Toleransi tidak terjadi terhadap efek stimulasi dan efek mirip atropin.
g. Interaksi Obat
Pada pasien yang sedang mendapat MAO inhibitor, pemberian meperidin
dapat menyebabkan eksitasi SSP berat (delirium, hiperpireksia, kejang), depresi
pernapasan, atau hipotensi.

3. Metadon dan Opioid Lainnya


A. Metadon
a. Farmakodinamik
Di SSP, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan efek 10
mg morfin. Setelah pemerian metadon beulang kali timbul efek sedasi yang
jelas, mungkin karena adanya akumulasi. Dosis ekuianalgetik menimbulkan
depresi napas yang sama kuat seperti morfin dan dapat bertahan lebih dari 24
jam setelah dosis tunggal. Metadon juga berefek antitusif, menimbulkan
hiperglikemia, hipotemia, dan pelepasan ADH.
Di otot polos, metadon menimbulkan relaksasi sediaan usus dan
menghambat efek spasmogenik asetilkolin atau histamin. Metadon juga
menimbulkan spasme saluran empedu pada manusia dan hewan coba. Ureter
mengalami relaksasi, mungkin karena telah terjadi antidiuresis. Pecandu metadon
timbul toleransi efek miosis yang cukup kuat.
Pada sistem kardiovaskular, metadon menyebabkan vasodilatasi perifer
sehingga dapat menimbulkan hipotensi ortostatik. Pemberian metadon tidak
mengubah gambaran EKG tetapi kadang-kadang timbul sinus bradikardia. Obat
ini merendahkan kepekaan tubuh terhadap CO2 sehingga timbul retensi CO2
yang dapat menimbulkan vasodilatasi serebral dan kenaikan tekanan cairan
serebrospinal.
b. Farmakokinetik
Setelah suntikan metadon SC ditemukan kadar dalam plasma yang tinggi
selama 10 menit pertama. Sekitar 90% metadon terikat protein plasma. Metadon
diabsorbsi baik oleh usus dan dapat ditemukan dalam plasma darah setelah 30
menit PO; kadar puncak dicapai setelah 4 jam.
Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk dalam paru, hati, ginjal,
dan limpa; hanya sebagian kecil yang masuk otak. Kadar maksimal metadon
dalam otak dicapai dalam 1-2 jam setelah pemberian parenteral.
Biotransformasi metadon terutama berlangsung di hati. Salah satu reaksi
penting ialah dengan cara N-demetilasi. Sebagian besar metadon yang diberikan
akan ditemukan dalam urin dan tinja sebagai hasil biotransformasi yaitu
pirolidin dan pirolin. Kurang dari 10% mengalami ekskresi bersama empedu.
c. Indikasi
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri
yang dapat dipengaruhi morfin, tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon
sedikit lebih kuat daripada morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit
setelah pemberian parenteral atau 30-60 menit setelah PO. Obat ini
menyebabkan depresi napas pada janin sehingga tidak dianjurkan sebagai
analgesik pada persalinan.
Metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif 1,5-2 mg/oral sesuai
dengan 15-20 mg kodein, tetapi kemungkinan timbulkan adiksi pada metadon
jauh lebih besar daripada kodein.
d. Efek Samping
Metadon menyebabkan efek samping erupa perasaan ringan, pusing, kantuk,
fingsi mental terganggu, berkeringat, pruritus, mual, dan muntah. Efek samping ini
lebih sering timbulpada pemberian oral daripada pemberian parenteral dan lebih
sering timbul pada pasien berobat jalan. Efek samping yang jarang timbul ialah
delirium, halusinasi selintas dan urtikaria hemoragik. Bahaya utama pada takar lajak
metadon ialah berkurangnya ventilasi pulmonal. Terapi intoksikasi akut metadon
sama dengan terapi intoksikasi akut morfin.
e. Toleransi
Toleransi metadon dapat timbul terhadap efek analgetik, mual, anoreksia,
miotik, sedasi, depresi napas dan efek kardiovaskular, tetapi tidak timbul terhadap
konstipasi. Toleransi ini lebih lambat daripada toleransi terhadap morfin.
Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian metadon secara kronik dapat
dibuktikan dengan cara menghentikan obat atau dengan memberikan nalorfin.
Kemungkinan timbulnya adiksi ini lebih kecil daripada bahaya adiksi morfin.

B. Propoksifen
a. Farmakodinamik
Propoksifen berefek analgesik karena kerja sentralnya. Propoksifen
terutama terikat pada reseptor µ meskipun kurang selektif dibandingkan morfin.
Propoksifen 65-100 mg secara oral memberikan efek yang sama kuat dengan 65 mg
kodein, sedangkan 130 mg propoksifen parenteral menimbulkan analgesia yang
sama kuat dengan 50 mg meperidin parenteral. Tetapi propoksifen menimbulkan
perasaan panas dan iritasi di tempat suntikan. Kombinasi propoksifen dengan asetosal
berefek analgesik yang jauh lebih baik daripada jika masing-masing obat diberikan
tersendiri. Obat ini tidak berefek antitusif.
b. Farmakokinetik
Propoksifen diabsorpsi setelah pemberian oral maupun parenteral.
Efektivitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan PO. Biotransformasi
propoksifen dengan cara N-demetilasi yang terjadi dalam hati. Dimetabolisme
separuh pada lintasan pertama. Waktu paruh 15 jam.
c. Indikasi
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga
sedang, yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi propoksifen
bersama asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi kodein bersama asetosal. Dosis
propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4 kali 65 mg sehari, dengan atau tanpa
asetosal.
d. Efek Samping
Pada dosis terapi propoksifen tidak banyak mempengaruhi sistem
kardiovaskular. Pemberian 130 mg propoksifen PO pada orang dewasa sehat
tidak banyak mengubah reaksi terhadap CO2. Dengan dosis ekuianalgetik
insiden efek samping propoksifen seperti mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut
dan kantuk kurang lebih sama dengan kodein. Dosis toksik biasanya
menimbulkan depresi SSP dan depresi napas, tetapi jika dosis lebih besar lagi
timbul konvulsi.
e. Adiksi
Timbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih kecil kemungkinannya
daripada terhadap kodein. Penghentian tiba-tiba pada terapi dengan propoksifen
akan menimbulkan gejala putus obat ringan. Dosis oral propoksifen yang besar
(300-600 mg) menimbulkan efek subyektif yang menyenangkan, tetapi tidak
serupa dengan efek morfin. Obat ini cukup iritatif pada pemberian SC,
sehingga tidak digunakan secara parenteral.

2.5. Agonis dan Antagonis Opioid5,7


1. Antagonis Opioid
Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan
banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila
opioid endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stress atau syok. Nalokson
merupakan prototip antagonis opioid yang relatif murni, demikian pula naltrekson
yang dapat diberikan PO dan memperlihatkan masa kerja yang lebih lama daripada
nalokson. Dalam dosis besar keduanya memperlihatkan beberapa efek agonis, tetapi
efek ini tidak berarti secara klinis.
Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya di samping memperlihatkan efek
antagonis, menimbulkan efek otomik, endokrin, analgetik dan depresi napas mirip
efek yang ditimbulkan oleh morfin. Obat-obat ini merupakan antagonis kompetitif
reseptor µ, tetapi juga memperlihatkan efek agonis pada reseptor-reseptor lain.
a. Farmakodinamik
Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa Nalokson menurunkan ambang
nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya tinggi; mengantagonis efek
analgetik plasebo; mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat
jarum akupuntur. Namun, masih perlu pembuktian lebih lanjut efek nalokson ini
sebab banyak faktor fisiologi yang berperan dalam analgesia di atas. Dugaan yang
sama juga timul tentang efek nalokson terhadap hipotensi pada hewan dalam keadaan
syok, dan efeknya dalam mencegah overating dan obesitas pada tikus-tikus yang
diberi stres berat.
Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg morfin menimbulkan analgesia sama
kuat pada pasien dengan nyeri pascabedah. Pada beberapa pasien timbul reaksi yang
tidak menyenangkan, misalnya rasa cemas, perasaan yang aneh, sampai timbulnya
day dreams yang mengganggu, atau lebih berat lagi timbul halusinasi, paling sering
halusinasi visual.
Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi napas yang diduga karena
kerjanya pada reseptor κ. Berbeda dengan morfin, depresi napas tidak bertambah
dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini, terutama levalorfan memperberat
depresi napas oleh morfin dosis kecil, tetapi mengantagonis depresi napas akibat
morfin dosis besar.
Frekuensi napas meningkat dalam 1-2 menit setelah pemberian nalokso pada
pasien dengan depresi napas akibat agonis opioid; efek sedatif dan efek terhadap
tekanan darah juga segera dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson juga menyebabkan
kebalikan efek dari efek psikotomimetik dan disforia akibat agonis-antagonis.
Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik terhadap morfin,
dosis kecil nalokson SC akan menyebabkan gejala putus obat yang dapat berat.
Gejala ini mirip dengan gejala akibat penghentian tiba-tiba pemberian morfin, hanya
timbulnya beberapa menit setelah penyuntikan terakhir setelah 2 jam. Berat dan lama
berlangsungnya sindrom ini tergantung dari dosis antagonis dan beratnya
ketergantungan. Hal yang sama terjadi pada orang dengan ketergantungan fisik
terhadap agonis parsial, tetapi diperlukan dosis lebih besar.
b. Farmakokinetik
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat setelah
penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap, tetapi karena hampir seluruhnya
mengalami metabolisme lintas pertama maka harus diberikan parenteral.
Obat ini dimetabolisme di hati, terutama dengan glukoronidasi. Waktu
paruhnya kira-kira 1 jam dengan masa kerja 1-4 jam. Naltrekson efektif setelah
pemberian PO, kadar puncaknya dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam, waktu
paruhnya sekitar 3 jam dan masa kerjanya mendekati 24 jam. Metabolitnya, 6-
naltreksol, merupakan antagonis opioid yang lemah dan masa kerjanya panjang.
c. Indikasi
Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akiat takar lajak
opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat opioid sewaktu
persalinan; atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid; dalam hal ini nalokson
merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati
ketergantungan fisik terhadap opioid.
d. Toleransi
Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat agonis, jadi
hanya timbul pada efek subyektif, sedatif dan psikotomimetik dari nalorfin.
Penghentian tiba-tiba pemberian nalorfin kronis dosis tinggi menyebabkan gejala
putus obat yang khas tetapi lebih ringan daripada gejala putus obat morfin.
Nalokson, nalorfin, dan levalorfan kecil kemungkinannya untuk disalahgunakan
sebab tidak menyebabkan ketergantungan fisik; tidak menyokong ketergantungan
fisik morfin; dan dari segi subyektif dianggap sebagai obat yang kurang
menyenangkan bagi para pecandu.

2. Agonis Parsial
A. Pentazosin
a. Farmakodinamik
Efeknya terhadap SSP mirip dengan efek opioid yaitu menyebabkan
analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia yang timbul agaknya karena
efeknya pada reseptor κ, karena sifatnya berbeda dengan analgesia akibat
morfin. Analgesia timbul lebih dini dan hilang lebih cepat daripada morfin. Pada
dosis 60-90 mg obat ini menyebabkan disforia dan efek psikotomimetik mirip
nalorfin yang hanya dapat di antagonis oleh nalokson. Diduga timbulnya disforia dan
efek psikotomimetik karena kerjanya pada reseptor δ.
Efeknya pada saluran cerna mirip efek opioid, sedangkan pada uterus efeknya
mirip efek meperidin. Respons kardiovaskular terhadap pentazosin berbeda dengan
respons terhadap opioid morfin, yaitu dalam dosis tinggi menyebabkan peningkatan
tekanan darah dan frekuensi denyut jantung.
Gejala putus obat yang terjadi diantaranya mirip gejala putus obat morfin.
Penyuntikan berulang pada tempat yang sama dapat menyebabkan abses steril,
ulserasi dan jaringan perut.
b. Farmakokinetik
Pentazosin diserap baik melalui cara pemberian apa saja, tetapi karena
mengalami metabolisme lintas pertama, bioavailabilitas PO cukup bervariasi. Obat
ini dimetabolisme secara intensif di hati untuk kemudian diekskresi sebagai metabolit
melalui urin. Pada pasien sirosis hepatis klirensnya sangat berkurang.
c. Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang, tetapi kurang efektif
dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat ini juga digunakan untuk medikasi
praanestesik. Bila digunakan untuk analgesia obstetrik, pentazosin dapat
mengakibatkan depresi napas yang sebanding meperidin.
d. Toleransi
Toleransi dapat timbul terhadap efek analgetik dan efek subyektif pada
pemberian berulang. Ketergantungan fisik dan psikis dapat pula terjadi, tetapi
kemungkinannya jauh lebih kecil.

B. Butorfanol
a. Farmakodinamik
Pada pasien pascabedah, suntikan 2-3 mg butorfanol menimbulkan analgesia
dan depresi napas menyerupai efek suntikan 10 mg morfin atau 80 mg meperidin.
Dosis analgetik butorfanol juga meningkatkan tekanan arteri pulmonal dan kerja
jantung.
b. Farmakokinetik
Butorfanol mirip dengan morfin dalam hal mula kerja, waktu tercapainya
kadar puncak dan masa kerja, sedangkan waktu paruhnya kira-kira 3 jam.
c. Indikasi
Butorfanol efektif untuk mengatasi nyeri akut pascabedah sebanding
dengan morfin, meperidin atau pentazosin. Butorfanol efektif untuk medikasi
praanestetik. Obat ini tidak dianjurkan digunakan untuk nyeri yang menyertai
infark miokard akut. Dosis butorfanol yang dianjurkan untuk dewasa adalah
dosis 1-4 mg IM atau 0,5-2 mg IV dan dapat diulang 3-4 jam.
d. Efek Samping
Efek samping utama butorfanol adalah kantuk, rasa lemah, berkeringat, rasa
mengambang dan mual. Sedangkan efek psikotomimetik lebih kecil dibanding
pentazosin pada dosis ekuianalgetik. Kadang-kadang terjadi gangguan
kardiovaskular yaitu palpitasi dan gangguan kulit rash.

C. Buprenorfin
a. Farmakodinamik
Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain pada SSP seperti
morfin. Buprenorfin dapat mengantagonis depresi pernapasan yang ditimbulkan
oleh dosis anestesik fentanil sama baiknya dengan nalokson.
Depresi pernapasan dan efek lain yang ditimbulkan buprenorfin dapat
dicegah oleh penggunaan nalokson sebelumnya, akan tetapi nalokson dosis
tinggipun sulit untuk mengatasi efek yang sudah ditimbulkan oleh buprenorfin.
Buprenorfin dapat menimbulkan ketergantungan fisik dengan gejala dan
tanda-tanda putus obat seperti morfin, tetapi tidak terlalu berat.
b. Farmakokinetik
Buprenorfin diabsorpsi relatif baik. Buprenorfin 0,4-0,8 mg sublingual
menimbulkan analgesia yang baik pada pasien pascabedah. Kadar puncak alam
darah dicapai dalam 5 menit setelah suntikan IM dan dalam 1-2 jam setelah
penggunaan secara oral atau sublingual. Masa paruh dalam plasma sekitar 3
jam.
c. Indikasi
Selain sebagai analgesik, buprenorfin juga bermanfaat untuk terapi
penunjang pasien ketergantungan opioid, dan pengobatan adiksi heroin.

D. Tramadol
a. Farmakodinamik
Tramadol efektif untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri
berat atau kronik lebih lemah. Untuk nyeri persalinan, tramadol sama efektif
dengan meperidin dan kurang menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus.
b. Farmakokinetik
Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral 68% dan 100%
bila digunakan secara IM. Tramadol mengalami metabolisme di hati dan
diekskresi oleh ginjal, dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan
7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam setelah
penggunaan secara oral, dan mencapai puncak dalam 2-3 jam. Lama analgesia
sekitar 6 jam. DM per hari yang dianjurkan 400 mg.
c. Efek Samping
Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut kering, sedasi,
dan sakit kepala. Depresi pernapasan nampaknya kurang dibandingkan dengan
dosis ekuianalgetik morfin, dan derajat konstipasinya kurang daripada dosis
ekuivalen kodein.

2.6. Intoksikasi Opioid


Intoksikasi opioid dapat disebabkan oleh overdosis klinis, overdosis yang tidak
disengaja pada pecandu maupun upaya bunuh diri. Terkadang, intoksikasi opioid
dapat tertunda apabila injeksi opioid dilakukan pada daerah kulit yang dingin atau
pada pasien dengan tekanan darah rendah dan syok. Obat tersebut tidak seluruhnya
tereabsorbsi, dan karenanya, dosis berikut kemungkinan diberikan. Setelah sirkulasi
darah normal, jumlah obat yang berlebihan tereabsorbsi secara tiba-tiba. Sulit
ditentukan jumlah toksik opioid atau yang mematikan bagi manusia. Beberapa
penelitian baru-baru ini dengan metadon, menunjukkan bahwa intoksikasi parah
dapat terjadi setelah pemberian 40-60 mg per oral pada individu nontoleran.6,10
A. Gejala dan diagnosis
Pasien yang mengalami overdosis opioid biasanya terjadi kehilangan kesadaran
atau bila dosis sangat berlebih dapat terjadi koma. Laju pernapasan akan sangat
lambat, atau pasien dapat mengalami apnea, dan sianosis dapat terjadi. Begitu
pertukaran gas saat respirasi menurun, tekanan darah yang pada awalnya normal,
akan menurun secara progresif. Jika oksigenasi yang memadai pulih lebih awal,
tekanan darah akan kembali membaik. Sebaliknya, jika hipoksia tetap tidak
tertangani, akan mudah terjadi kerusakan kapiler, dan mungkin akan diperlukan
tindakan untuk mengatasi syok. Pupil akan menjadi simetris dan ukurannya sangat
kecil, namun apabila terjadi hipoksia yang parah, pupil dapat berdilatasi.6
Pada intoksikasi opioid, pembentukan urin juga ditekan, suhu tubuh menurun
dan kulit menjadi dingin dan lembab. Selain itu, otot polos akan menjadi lemah
sehingga lidah dapat terbalik ke belakang sehingga mengganggu jalan nafas.6,10
Meskipun pernapasan pulih, kematian masih mungkin terjadi karena komplikasi
yang berkembang selama periode koma, seperti pneumonia atau syok. Edema
pulmonal nonkardiogenik umumnya terlihat pada intoksikasi opioid. Hal ini
kemungkinan bukan karena reaksi anafilaktoid dikarenakan hal tersebut teramati
setelah pemberian dosis toksik opioid.6
Tiga gejala signifikan yang menunjukkan intoksikasi opioid meliputi: koma,
pupil mengecil, dan depresi pernapasan. Penemuan bekas jarum pertanda adiksi
menguatkan diagnosis. Pemeriksaan obat pada urin dan isi lambung juga dapat
membantu diagnosis, namun hasil pemeriksaan terlalu lambat untuk dapat dilakukan
penanganan.6
B. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan awal yang dilakukan adalah menormalkan saluran
pernapasan dan memelihara ventilasi pasien. Antagonis opioid dapat memulihkan
depresi pernapasan parah, dimana nalokson yang bekerja sebagai antagonis opioid
yang menjadi obat pilihan dalam kasus seperti ini. Namun penanganan harus
dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari terpicunya reaksi obat pada pasien
yang ketergantungan yang mungkin sangat peka terhadap antagonis. Pendekatan yang
paling aman adalah dengan mengencerkan dosis nalokson standar (0,4 mg) dan
diberikan secara perlahan melalui intravena, dan memonitor fungsi pernapasan. Bila
dilakukan dengan hati-hati, biasanya depresi pernapasan dapat dipulihkan tanpa
memicu sindrom reaksi putus obat. Apabila tidak berespon dengan dosis pertama,
dosis tambahan dapat diberikan. Pada pasien harus diamati terjadinya peningkatan
aktivitas saraf simpatik, yang dapat mengakibatkan terjadinya aritmia jantung dan
edema pulmonal. Untuk memulihkan intoksikasi opioid pada anak-anak, perlu
diberikan dosis awal nalokson 0,01 mg/kg. Jika tidak tampak perubahan setelah
pemberian dosis maksimal 10 mg, maka ketepatan diagnosis perlu dipertanyakan.
Edema pulmonal akibat intoksikasi opioid dapat ditangani dengan respirasi tekanan
positif.10
Adanya depresan umum SSP tidak menghalangi manfaat efek nalokson, dimana
keadaannya akan membaik dikarenakan kerja antagonis opioid pada system
pernapasan. Beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa nalokson maupun
naltrekson juga dapat mengantogonis beberapa kerja depresan sedatif-hipnotik,
sehingga upaya untuk mengembalikan secara penuh kesadaran pasien tidak perlu
dilakukan. Durasi kerja antagonis yang tersedia lebih pendek daripada banyak opioid,
sehingga penting diamati dengan hati-hati, untuk menghindari kembali lagi ke
kondisi koma. Efek antidepresan obat ini dapat bertahan selama 24-72 jam, dan
banyak kasus fatal yang telah dilaporkan apabila menghentikan pemberian nalokson
terlalu dini.2,10

BAB III
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan sebelumnya, maka diperoleh


kesimpulan sebagai berikut :
1. Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium yang digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri,
meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain.
2. Contoh obat-obatan yang termasuk dalam golongan analgesik opioid
adalah morfin, kodein, meperidin, metadon, dan propoksifen.
3. Obat-obatan golongan analgesik opioid memiliki efek farmakodinamik
pada susunan saraf pusat, saluran cerna, sistem kardiovaskular, dan otot
polos.
4. Obat-obatan analgesik opioid diindikasikan terutama untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesi non-
opioid.
5. Efek samping yang ditimbulkan obat-obatan analgesik opioid diantaranya
mual, muntah, depresi pernapasan, euforia, disforia, sedasi, tergantung jenis
obat dan dosis yang diberikan pada pasien.
6. Antagonis opioid (nalokson) digunakan sebagai obat pilihan untuk mengatasi
intoksikasi opioid.

DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. “Chapter I : Analgesik Opioid”. 2015. Di akses pada tanggal 1
Agustus 2016. Diunduh dari: http://repository.usu.ac.id/
bitstream/handle/123456789/24542/Chapter
%20I.pdf;jsessionid=E5698E23E67B058D8503E90EF759795?sequence=5.
2. Dewoto, Hedi. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapi FK UI. 2011.
3. Soenarjo, Jatmiko. Anestesiologi. Semarang: FK UNDIP. 2013.
4. Latief S, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktik Anestesiologi. Edisi
Kedua. Jakarta: FK UI. 2002.
5. Neal, Michael. At a Glance : Farmakologi Medis. Jakarta : Erlangga. 2005.
6. Pharmacy Board Victoria. Guidelines for Good Pharmaceutical Practice. 2010.
7. Tetrault JM, Fiellin DA. Current and potential pharmacological treatment
options for maintenance therapy in opioid-dependent individuals. Drugs. 2012
jan 22; 72(2): 217-28
8. Robinson GM, Robinson S, McCarthy P, Cameron C. Misuse of over-the-
counter codeine-containing analgesics: dependence and other adverse effects.
Journal of the New Zealand Medical Association. 2010. 123; 1317
9. Simmons A. Codeine crackdown comes into effect. 2010.
10. Joyce L, Evelyne H. Farmakologi. Jakarta: EGC. 1996. h.67-78

Anda mungkin juga menyukai