Anda di halaman 1dari 59

Suryamin - 2006515424

Rahmania Kannesia D- 2006515393


OPIOID Shalista Feniza H - 2006515411

ANALGESIK Alvita Ratnasari- 2006515374


Ramadia Yunita- 2006515405
Hartono - 2006515380
Zulaika Rosalin - 2006515430
 Opioid sudah dipakai sejak ribuan tahun.
 Berasal dari kata ‘Opos’  jus
 Beberapa fungsi yang menonjol:
 Menghambat rangsang nyeri
 Peran modulasi dalam system gastrointestinal,
endokrin, saraf otonom
PENDAHULU  Emosi
AN  Memiliki efek mirip dengan zat alami 
endorfin Peptida opioid endogen.
 Derivat turunan opium disebut opiate.
 Alami: Morfin, kodein, tebain
 Semisintetis:
 Sintetis
 3 jenis famili peptida opioid: enkefalin, endorphin, dinosin.

 Masing-masing berasal dari protein precursor berbeda 


POMC (preproopiomelanocortin), preproenkefalin,
preprodinorfin.
PEPTIDA  POMC  ß-endorphin (opioid peptida) dan ACTH, alfa

OPIOID MSH, beta LPH (non opioid peptide)


 Proenkefalin  multi-copy dari met-enkefalin dan single
ENDOGEN copy dari leu-enkefalin
 Preprodinorfin  3 peptide  dynorfin A, dynorfin B,
Neoendorfin.
 Prekusor opioid endogen terdapat di otak (modulasi nyeri),
medulla adrenal, pleksus saraf di usus
 Reseptor klasik : µ (mu), δ (delta),dan ƙ (kappa)

 Reseptor yg lbh baru : N / OFQ, awalnya disebut reseptor


opioid-like-1 (ORL-1) atau reseptor opioid orphan
 Setiap reseptor opioid utama memiliki distribusi anatomi
yang unik di otak, sumsum tulang belakang, dan susunan
saraf tepi.

RESEPTOR  Studi tentang fungsi biologis dari reseptor opioid, secara in


vivo dibantu oleh sintesis antagonis dan agonis selektif.
OPIOID  Antagonis yang paling umum digunakan adalah :

1. Analog siklik somatostatin seperti CTOP sebagai antagonis


reseptor-μ,

2. Turunan dari Naloxon yang disebut Naltrindole sebagai


antagonis reseptor-&,
3. Turunan dari Naltrexone yang disebut Binaltorphimine
…RESEPTOR OPIOID

 Sebagian besar opioid yang digunakan secara klinis relatif selektif untuk reseptor µ.

 Reseptor µ  efek analgetik yang mirip dengan morfin, euphoria, depresi nafas, dan
berkurangnya motilitas saluran cerna.
 Reseptor µ1: di SSP; analegsi supraspinal; menghasilkan prolactin; hipotermi
 Reseptor µ2: penurunan tidal volume dan bradikardi

 Reseptor δ  terdapat di SSP dan selektif terhadap enkefalin dan reseptor epsilon yang
sangat selektif terhadap beta endorfin,.
SUBTIPE RESEPTOR OPIOID
 Opium atau Candu adalah getah papaver somniferum L

MORFIN yang telah dikeringkan

DAN  Alkaloid asal opium dibagi menjadi 2:

ALKALOID
 Golongan fenantren : Morfin dan Kodein
 Golongan Benzilisokinolin : Noskapain dan papaferin

OPIUM
 SSP dan Usus : Agonis pada reseptor µ, Afinitas yang lebih lemah pada

reseptor δ dan к

1. SSP

 Efek Morfin  narkosis dan analgesia; timbul sebelum tidur (seringkali

tanpa disertai tidur).


FARMAKODIN  Dosis kecil 5-10 mg  Euforia, pada pasien yang sedang menderita
AMIK nyeri, sedih dan gelisah

 Disforia pada orang normal  khawatir, takut yang disertai mual dan

muntah.

 Efek lain: Ngantuk, tidak dapat konsentrasi, sukar berfikir, apatis,

aktifitas fisik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang dan letargi,


dll.

 Dosis terapi 10-20 mg  tidur cepat disertai mimpi, nafas lambat dan

miosis
ANALGESIA

 Reseptor opoid di SSP dan Medula Spinalis  tramsmisi dan modulasi nyeri.
 Reseptor di kornudorsalis medula spinalis, Aferen primer yang merelai nyeri.
 Agonis opioid pada ujung prasinaps aferen primer nosiseptif mengurangi pelepasan transmitter 
menghambat saraf yang menstransmisi nyeri di kornu dorsalis medulla spinalis.
 Pemberian agonis opioid ke medulla spinalis  analgesia setempat, efek samping sistemik karena
pengaruh supra spinal minimal.
 Pengaruh terhadap nyeri tidak tajam dan berkesinambungan lebih nyata
 Meredakan nyeri kolik renal atau kolik empedu
EKSITASI

 Sering menimbulkan mual dan muntah


 Jarang menimbulkan delirium dan konvulsi
 Faktor yang dapat mengubah eksitasi Idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflex SSP.
 Bbrp individu terutama Wanita dapat mengalami eksitasi (mual dan muntah yang mendahului depresi)
 Kodein tidak menyebabkan depresi progresif, namun jika dosisnya dibesarkan menimbulkan eksitasi
 Heroin menimbulkan eksitasi sentral
 Morfin dan obat konvulsan sentral mengdakan sinergisme  tidak cocok untuk terapi konvulsif
 Pada bbrp hewan efek eksitasi jauh lebih jelas missal pada kucing.
 Miosis

 Ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen otonom intisaraf oculomotor.

 Miosis bisa dilawan  Atropin dan Skopolamin

 Intoksifikasi Pin Point

 Stadium akhir intoksifikasi (jika sdh asfiksia)  Dilatasi berlebihan

 Dosis terapi↑daya akomodasi,↓tek. Intra okuler.


 Depresi nafas

 Pada dosis kecil sdh dapat menimbulkan depresi nafas tanpa menyebabkan tidur

 Dosis toksis ↑ 3-4x/mnt frek nafas hingga menyebabkan kematia

 Depresi nasfas ↓ frek nafas, vol semenit dan tidal exchange ↑ PCO2 dan alveolar  ↓ 02

dalam darah

 Morfin dan alkaloid lain berguna menghambat reflex batuk.


 Mual dan muntah

 Efek muntah  stimulasi lgsg pada emetic chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postrema

medulla oblongata.

 Apomorfin menstimulasi CTZ paling kuat

 Efek emetik kodein, heroin, metilhidromorfinon dan dihidromorfin lebih rendah.

 Derivat fenotiazin blocker dopamine kuat  mengatasi mual, muntah e.c morfin

 Obat-obatan utk motion sickness kadang dapat menolong mengatasi mual akibat opioid pd pasien

rajal
2. Saluran Cerna

 Lambung

 Menghambat sekresi HCl

 Pergerakan lambung berkurang

 Tonus bagian antrum meninggi dan motilitas berkurang, sfingter pylorus berkontraksi 

pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat

 Peninggian tonus dapat diperkecil oleh atropin


 Usus Halus

 ↓sekresi empedu dan pancreas

 Memperlambat perncernaan makanan

 Efek terlihat jelas pada duodenum

 Usus Besar

 ↓ hingga menghilangkan gerakan propulsi

 ↑ tonus dan menyebabkan spasme  penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih

keras.

 Mempengaruhi daya persepsi  Keb. Utk defekasi (-)


 Duktus Koledokus

 Dosis terapi morfin, kodein, dihidromorfinon dan metilhidromorfinon menimbulkan peninggian

tekanan dalam ductus koledokus, dapat menetap hingga 2 jam

 Perasaan tdk nyaman  kolik berat  morfin  kolik (-), efek sentral morfin. Namun bbrp pasien

justru ekssaserbasi nyeri.

 Atropin menghilangkan spasme

 Nalorfin, amilnitrit inhalasi, nitrogliserin sl, aminofilin IV  Menghilangkan spasme saluran

empedu
3. Sistem Kardiovaskular
 Dosis terapi tidak mempengaruhi TD, fr, denyut jantung

 Perubahan muncul  dosis toksik

 Hipotensi ortostatik akibat dari vasodolatasi perifer, efek lgsg terhadap pembuluh darah kapiler

 Melepaskan histamine  hipotensi

 Penggunaan bersamaan derivat fenotiazin menyebabkan depresi nafas dan hipotensi lebih besar.

 Hati-hati pada kondisi hipovolemi

 Hati-hati pada pasien korpulmonal  kematian


4. Otot Polos lain
 ↑ peninggian tonus, kontraksi ureter dan kandung kemih  efek dpt dihilangkan  atropine 0,6

mg SK

 ↓ tonus uterus pd masa haid Dapat digunakan utk dismenore

5. Kulit

 Vasodolatasi pembuluh darah kulit  flush area (muka, leher, dada bagian atas)

 Pelepasan histamine  berkeringat

 Pruritus
6. Metabolisme
 ↓ suhu badan akibat aktivitas otot menurun

 Hiperglikemia bisa terjadi

 ↓ LFG, aliran darah ginjal, pelepasan ADH  Volume urin berkurang

 Hipotiroidisme dan insufisiensi adrenokortikal  ↑ kepekaan thd morfin

7. Lain- lain

Memodulasi system imun dengan mempengaruhi proliferasi limfosit, pembentukan antibody


dan kemotaksis.
 Morfin tdk dapat menembus kulit utuh, namun dpt

diabsorbsi pd kulit luka

 Menembus mukosa

 Dapat diabsorbsi usus  efek analgetik jauh

berkurang, jika diberikan dengan dosis yg sama pd


Farmakokine pemberian parenteral

tik  Pemberian alkapoid opioid IV efek kerja sama cepat,

sedangkan SK berbeda-beda

 Dosis tunggal  konyugasi dgn as. Glukoronat di

hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas, 10%


tidak diketahui.

 Dapat melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin


…FARMAKOKINETIK
 Ekskresi utama melalui ginjal, sebagian kecil ditemukan di tinja dan keringat, morfin
terkonyugasi ditemukan di dalam empedu, sebagian sangat kecil dikeluarkan bersama cairan
lambung
 Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2  dikeluarkan melalui paru.
 Sebagian kodein mengalami N-demetilasi.
 Urin mengandung bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari kodein, narkodein dan morfin
INDIKASI
 Nyeri

 Infark Miokard, Neoplasma, Kolik renal atau kolik empedu, Oklusi pembuluh darah perifer, pulmonal atau coroner, pericarditis

akut, p;euritis dan pneumotoraks spontan, akibat trauma (luka bakar, fraktur, nyeri pasca bedah)
 Batuk

 Batuk tdk produktif

 Edem Paru Akut

 Pemberian melalui IV dapat menghilangkan sesak

 Anti diare

 Efek langsung pada otot polos usus

 Pada pengobatan yg disebabkan oleh intoksikasi makanan atau intoksikasi akut obat harus diberikan garam katartik utk

mengeluarkan penyebab.
 Senyawa-senyawa sintetik yg bekerja selektif difenoksilat dan loperamid
EFEK SAMPING
Idiosinkrasi dan Alergi
Idiosinkrasi
 Wanita lebih sering ditemukan mengalami mual dan muntah
 Tremor
 Delirium (jarang)
 Konvulsi dan insomnia (lebih jarang)

Alergi
 Urtika, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin
TOLERANSI, ADIKSI, ABUSE
 Fenomena: Habituasi  ketergantungan fisik  toleransi

 Toleransi timbul terhadap efek depresi tdk pada eksitasi, miosis dan efek pada usus

 Timbul setelah 2-3 minggu

 Gejala putus obat dan abstinensi jika penghentian tiba-tiba, gejala yg muncul: rasa sakit, gelisah dan iritabel

kemudian tidur nyenyak.

 Daya untuk menimbulkan adiksi berbeda setiap orang

 Bahaya terbesar pada heroin  Euforia yg kuat

 Kodein tdk menimbulkan adiksi


TOLERANSI, ADIKSI, ABUSE
 Efek depresi SSP bbrp opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh fenotiazin, penghambat

monoamine oksidase dan antidepresi trisiklik


 Bbrp fenotiazin mengurangi jumlah opioid yang diperlukan untuk menimbulkan tingkat analgesia

tertentu, namun efek sedasi dan depresi nafas akibat morfin akan diperberat oleh fenotiazin
 Dosis kecil amfetamin meningkatkan efek analgetik dan euphoria morfin dan dan dapt

mengurangi efek sedasinya


 Sinergis Opioid dgn obat-obat sejenis aspirin
AGONIS
RESEPTOR Μ  Opium atau Candu adalah getah papaver somniferum L
yang telah dikeringkan

 Alkaloid asal opium dibagi menjadi 2:


MEPERIDINE  Golongan fenantren : Morfin dan Kodein

& DERIVAT
 Golongan Benzilisokinolin : Noskapain dan papaferin

FENILPERIDI
NE
 Meperidin (Agonis reseptor μ ) disebut juga

MEPERIDIN sebagai petidin dan secara kimia adalah etil-1-


metal-4-fenilpiperidin-4karboksilat.
 Susunan Saraf pusat  Analgesia,

Farmakodina sedasi, euphoria, depresi napas dan efek


mik sentral lain

 Meperidin tidak lagi direkomendasikan

untuk pengobatan sakit kronis, karena


dikuatirkan memiliki toksisitas metabolit
ANALGESIA
 Efek dari analgetik meperidine mulai timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai
puncak dalam 2 jam
 Efek analgesik lebih cepat setelah pemberian subkutan atau intramuscular yaitu dalam 10
menit, mencapai puncak dalam waktu 1 jam dan masa kerja nya 3-5 jam.
 Efektivitas meperidine 75-100mg parenteral kurang lebih sama dengan morfin 10mg
 Karena bioavailabilitas oral 40-60% maka efektivitas sebagai analgesic bila diberikan per oral
setengahnya daripada bila diberikan parenteral
Sedasi, Euforia, Eksitasi
 Pemberian meperidine untuk pasien yang mengalami nyeri atau cemas, akan menimbulkan
euphoria.
 Dosis toksik meperidine terkadang meinmbulkan perangsangan system saraf pusat, misalnya
tremor, kedutan otot dan konvulsi.
 Efek tersebut sebagian besar disebabkan oleh metabolitnya yaitu normeperidin
SALURAN NAPAS
 Meperidin dalam dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi napas sama kuat dengan morfin

dan mencapai puncaknya dalam 1 jam setelah suntikan intramuscular.

 Meperidin menurunkan kepekaan pusat napas terhadap CO2

 Meperidin mempengaruhi pusat yang mengatur irama napas dalam pons, terutama

menurunkan tidal volume, sedangkan frekuensi napas kurang dipengaruhi

 Depresi napas karena meperidine dapat dilawan oleh nalokson dan antagonis opioid lainnya.
EFEK NEURAL LAIN

 Pemberian meperidine secara sistemik meinimbulkan anestesia kornea, sehingga dapat

menghilangnya reflex kornea.

 Meperidin meningkatkan kepekaan alat keseimbangan yang merupakan dasar timbulnya mual,

muntah dan pusing pada pasien berobat jalan

 Meperidin menyebabkan pelepadsan ADH, merangsang CTZ  menimbulkan efek mual dan

muntah.
SISTEM KARDIOVASKULAR
 Pada pasien rawat jalan dapat menimbulkan sinkop disertai penurunan tekanan darah, tetapi

gejala ini dapat cepat hilang jika pasien berbaring.

 Sinkop timbul pada penyuntikan meperidine intravena, karena terjadi vasodilatasi perifer dan

penglepasan histamin.

 Meperidin dapat menaikan kadar CO2 darah akibat depresi napas  dilatasi pembuluh darah

otak  Kenaikan tekanan cairan serebrospinal


OTOT POLOS DAN SALURAN
CERNA
 Kontraksi propulsive dan nonpropulsif saluran cerna berkurang, tetapi dapat timbul spasme

dengan tiba-tiba serta peningkatan tonus usus.

 Meperidin menimbulkan spasme saluran empedu


OTOT BRONKUS
 Meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh histamin dan metakolin, namun

pemberian dosis terapi meperidine tidak banyak mempengaruhi otot bronkus normal

 Dalam dosis besar obat ini justru dapat menimbulkan bronkokonstriksi.


URETER
 Setelah pemberian meperidine dosis terapi  peristaltic ureter berkurang. Hal ini disebabkan

karena berkurangnya produksi urin akibat dilepaskanya ADH dan berkurangnya laju filtrasi
glomerulus.
UTERUS
 Pada uterus yang hiperaktif akibat oksitoksin  Meperidin meningkatkan tonus, menambah

frekuensi dan intensitas kontraksi uterus.

 Meperidin tidak mengganggu kontraksi atau involusi uterus pascapersalin dan tidak

menambah frekuensi perdarahan pasca persalinan


 Absorbsi meperidine dengan cara pemberian

apapun berlangsung baik, akan tetapi


kecepatan absorbs mungkin tidak teratur
setelah suntikan intramuscular.

 Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai


FARMAKOKIN
dalam 45 menit dan kadar yang dicapai sangat
ETIK bervariasi antar individu

 Pemberian Meperidin secara oral, sekitar 50%

obat mengalami metabolism lintas pertama dan


kadar maksimal dalam plasma tercapai dalam
1-2jam
…FARMAKOKINETIK
 Pemberian meperidine secara intravena, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2jam

pertama, kemudian penurunan berlangsung dengan lambat.

 Kurang lebih 60% meperidine dalam plasma terikat protein

 Metabolisme meperidine terutama berlangsung di hati.

 Pada manusia, meperidine mengalami hidrolisis  asam meperidinat yang kemudian Sebagian mengalami

konjugasi

 N demetilasi normeperidine di hidrolis menjadi  asam normeperidat dan seterusnya asam ini

dikonjugasi pula.
…FARMAKOKINETIK
 Masa paruh meperidine 3jam

 Pada pasien sirosis, bioavabilitas meningkat samai 80% dan masa paruh meperidine dan

normeperidine memanjang

 Meperidin bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin

 Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidine ditemukan dalam urin dalam bentuk N-demetilasi.
INDIKASI
ANALGESIA

 Pada beberapa keadaan klinis, meperidine diindikasikan karena masa kerjanya yang lebih

pendek daripada morfin.

 Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetric dan sebagai obat pra

anastetik. Tetapi sebagai medikasi pra anastetik masih dipertanyakan perlunya suatu analgesic
opioid pada pasien yang tidak menderita nyeri.
EFEK SAMPING
 Pusing
 Berkeringat
 Euforia
 Mulut kering
 Mual, muntah
 Perasaan lemah
 Gangguan penglihatan
 Palpitasi
 Disforia
 Sinkop
 Sedasi
SEDIAAN DAN POSOLOGI
 Tersedia dalam bentuk tablet 50mg dan tablet 100mg
 Tersedia dalam ampul 50mg/ml
 Efektivitas meperidine oral memerlukan dosis yang relative lebis besar dibandingkan dosis
parenteral.
…SEDIAAN DAN POSOLOGI
 Alfaprodin tersedia dalam bentuk ampul 1ml dan vial 10ml dengan kadar 60mg/ml.

 Difenoksilat  Merupakan derivate meperidine yang mempunyai efek samping konstipasi.

Dikenal sebagai anti diare

 Lopereamid  Memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan

longitudinal usus. Berkaitan erat dengan reseptor opioid sehingga diduga efek konstipasinya
diakibatkan oleh ikatan loperamide dengan reseptor tersebut
FENTANYL DAN DERIVATNYA
 Fentanil dan derivat nya: sulfentanil. Alfentanil dan reminfentanil merupakan opioid sinretik dari kelompok

fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor μ

 Banyak digunakan untuk anestetik, karena waktu untuk mencapai puncak analgesia lebih singkat dibandingkan morfin

dan meperidine ( sekitar 5 menit )

 Fentanil sering digunakan intravena

 Efek samping : Mual, muntah dan gatal

 Efek samping kekauan otot dapat dikurangi dengan mmenghindari pemberian secara bolus.

 Fentanil dosis tinggi juga dapat merangsang saraf dan kadang-kadang menimbulkan serangan konvulsi.
METADON
DAN  Merupakan long acting reseptor μ agonis yang secara

ANTAGONI kualitatif serupa dengan morfin

S OPIOID  Sediaan dalam bentuk tablet 5-10 mg, vial 10mg/ml


 SSP Efek analgetik 7,5-10mg metadon sama kuat

dengan efek 10 mg morfin. Dalam dosis tunggal


tidak menimbulkan hypnosis, namun dalam
pemberian berulang dapat dirasakan.

 Efek ekuinalgetik menimbulkan depresi nafas


FARMAKODI
NAMIK  Efek antitusif, hiperglikemia, hipotermia,

penglepasan ADH

 Otot polos: relaksasi usus, spasme saluran empedu

 Relaksasi ureter (antidiuresis), miosis

 Sistem kardiovaskular: hipotensi ortostatik


(vasodilatasi perifer), dilatasi pembuluh darah
serebral, kenaikan tekanan cairan otak
 Kadar dalam plasma tinggi setelah 10 menit
pertama setelah subkutan, dan 30 menit
FARMAKOKI pertama setelah per oral.
NETIK  Kadar puncak dalam 4 jam
 Masa paruh 1- 1.5 hari
EFEK SAMPING
 Efek samping : perasaan ringan, pusing, kantuk, fungsi mental terganggu, berkeringat, pruritus, mual dan

muntah

 Efek samping lebih banyak timbul pada pemberian per oral

 Toleransi dapat timbul terhadap efek analgesik, mual, anoreksia, miotik, sedasi, depresi nafas dan efek

kardio vaskuler

 Timbulnya ketergantungan karena pemberian kronik dapat dibuktikan dengan menghentikan obat atau

memberikan nalorfin.
INDIKASI
Indikasi utama pemberian metadon: nyeri kronik, sindroma putus opioid, dan untuk pengguna heroin.

 Analgesia. Efek analgesia timbul 10-20 menit per parenteral dan 30-60 menit per oral Dosis oral

2,5-10mg tergantung pada beratnya penyakit

 Metadon digunakan sebagai pengganti morfin atau opioid lain untuk mencegah atau mengatasi

gejala putus obat karena obat tersebut.

 Antitusif: efek antitusif sesuai dengan kodein namun kemungkinan timbulnya adiksi mungkin lebih

besar (tidak diajurkan)


ANTAGONIS OPIOID
 Obat antagonis opioid memiliki sedikit efek, kecuali opioid agonis telah pernah diberikan
sebelumnya.
 Namun, ketika opioid endogen tubuh telah aktif seperti dalam keadaan shock atau stress,
pemberian antagonist opioid tersendiri terdapat hasil yang nyata.
 Dapat digunakan untuk efek terepeutik pada keaadaan overdosis opioid
…ANTAGONIS OPIOID
 Terdapat perubahan secara struktur kimia, sehingga agonis opioid dapat berubah menjadi
antagonis reseptor.
 Perubahan ini mengubah morphine menjadi nalorphine, levorphanol levallorphan
 Oxymorphone  naloxone atau naltrexone
 Nalmefene secara relatif merupakan μ receptor antagonis yang lebih poten dari naloxone.
…ANTAGONIS OPIOID
Farmakologik
 Aksi opioid antagonis bergantung pada apakah opioid agonis pernah diadmisi kan sebelumnya

Efek dari tidak adanya opioid sebelumya


 12 mg subcutan Naloxone hampir tidak memberikan efek pada manusia,
 24 mg membuat efek mengantuk
 Naltrexone memiliki efikasi yang lebih tinggi dan durasi aksi yang lebih panjang
…ANTAGONIS OPIOID
 Naloxone dapat menyebabkan perubahan efek endokrin
 Naloxone dapat menghambat efek analgetik dari placebo dan akupunktur
 Naloxone bekerja antagonis dari opioid endogen yang digerakkan oleh nyeri dan stress dan
yang termasuk pada regulasi tekanan darah oleh sistem saraf pusat
…ANTAGONIS OPIOID
 Pemberian Naloxone atau naltrexone meningkatkan sekresi dari Gonadotropin Releasing Hormon dan

Corticotropine releasing hormone, sehingga meningkatkan LH, FSH, dan ACTH pada plasma, dan
hormone steroid pada target organ

 Naloxone juga menstimulasi hormone Prolactin pada wanita

 Opioid antagonis juga menambah konsentrasi cortisol dan cathecolamine plasma yang biasanya muncul

saat stress atau berolahraga.

 Pada percobaan pada tikus, opioid antagonis juga mencegah stress induced overeating dan obesitas pada

tikus.
AKSI ANTAGONIS
 Dosis kecil (0.4-0.8 mg) naloxone secara IM.IV mencegah efek μ reseptor agonist. Pada

pasien dengan depresi nafas, meningkatnya pernafasan terlihat pada 1-2 menit

 Walaupun setelah pemakaian dosis tinggi, diskontinyu naloxone tidak menyebabkan sindroma

withdrawal.

 Naloxone dan Naltrexone memiliki potensi kecil menyebabkan ketergantungan


PEMAKAIAN TERAPEUTIC
 Opioid antagonis berfungsi menjadi terapi toksisitas yang dikarenakan opioid, terutama
depresi pernafasan
 Dapat digunakan untuk terapi shock, stroke, trauma spinal cord dan otak, dan penyakit lain
yang memobilisasi opioid endogen.
 Naltrexone dapat digunakan untuk terapi alkoholisme
 Naloxone juga digunakan untuk pengobatan overdosis opioid, namun penggunaan secara hati-
hati karena dapat menyebabkan efek withdrawal dan efek kardiovaskular.
 Batuk  Mekanisme tubuh untuk mengeluarkan benda
asing/ sekresi berlebih
 Ada tipe batuk yang tidak jelas dan hanya mengganggu
tidur dan menyebabkan fatigue  butuh obat untuk
AGEN mengurangi frekuensi dan intensitas batuk (cough
ANTITUSSIV suppression)
E  Sebagian besar agen non opioid digunakan menjadi
antitusif yang efektif menekan batuk.
 Derivat opioid yang paling banyak digunakan 
Dextromethorphan, kodein, levopropoxyphene dan
noscapine.
DEXTROMETORPHAN
 Dextromethorphan(D-3-methoxyN-methylmorphinan) D isomer dari analog metorphan
kodein.
 Berbeda dengan L isomer kodein, tidak ada efek analgesic dan efek adiktif
 Zat ini meningkatkan ambang batas rangsang batuk secara sentral  efek hampir sama
dengan kodein.
 Tidak menimbulkan kantuk dan gangguan saluran cerna.
 Efek antitusif bertahan hingga 5-6 jam
 Dekstrometorfan juga telah ditemukan untuk meningkatkan aksi analgesik morfin dan
mungkin agonis reseptor μ lainnya.

Anda mungkin juga menyukai