STEP 7
1. Mengapa pasein mengeluh muntah, keringat dingin, nyeri ulu hati dan sesak nafas?
Morfin memiliki efek pada beberapa organ saluran cerna. Di lambung, morfin dapat
menginhibisi sekresi HCl, sehingga menyebabkan pergerakan lambung menurun, tonus
bagian antrum meningkat serta motilitasnya berkurang disamping itu sfringter pylorus
berkontraksi, berakibat pada pergerakan pada isi lambung menuju duodenum melambat --
> lama kelamaan lambung penuh mual
Charles, E., I. 2002. Clinical Pharmacology of Opioid for Pain. The Clinical Journal of
Pain. Vol 18 No. 4
Mual dan muntah yang terjadi sebagai efek samping morfin, disebabkan oleh akibat
morfin menstimulasi pada pusat muntah di bagian otak medulla oblongata. Ketika pusat
muntah menerima rangsangan impuls afferen dari CTZ dimana melalui stimulasi
langsung maupun tidak pada saluran pencernaan. Pada area pusat muntah itu, terdapat
banyak reseptorreseptor yang memiliki peran dalam proses terjadinya mual dan muntah,
sedangkan antiemetik umumnya bekerja dengan menghambat neurotransmiter pada
reseptor tersebut. Impuls efferen akan melalui saraf kranialis V, VII, IX, X dan XII lalu
ke saluran gastrointestinal sehingga dapat menimbulkan efek mual dan muntah
Acalovschi I. 2002. Postoperative nausea and vomiting. Curr Anaesth Critical Care. Vol
13: 37 43
Morgan, et al. 2012. Effects of Morphine on Thermal Sensitivity in Adult and Aged Rats.
Penggunaan morfin berlebihan Jumlah Asetilkolin meningkat Gangguan sy.syaraf
aktivitas kolinergik terus-menerus Berikatan dgn reseptor simpatis& parasimpatis
ada gangguan nikotinik dan muskarinik, nikotinik (otot pernafasan meningkat
bronkosfasme sesak nafas) kalau dari muskarinik (impuls Aferen n.Vagus di
gastrointestinal bawa ke pusat muntah Pusat muntah teraktivasi MUNTAH
Output > Input DEHIDRASI Kompensasi tubuh otot pernafasan meningkat
bronkosfasme sesak nafas )
Morgan, et al. 2012. Effects of Morphine on Thermal Sensitivity in Adult and Aged Rats.
2. Apa hubungan pasien menyuntikkan morfin dengan keluhan yang dirasakan somnolen
dan keadaannya lemah?
3. Apa interpretasi pf pada pasien?
RR = 29 x/menit
Suhu = 39,5
Pupil miosis : apabila kedua positif disebut pin point pupil (ukuran kurang lebih
1mm, sedangkan ukuran normalnya >3mm)
Terdapat 3 reseptor opioid:
o miu : analgesi, euphoria, depresi respirasi , miosis
Bekerja di spinal cord, mienterikus aorba, otak dan pleksus submucosa
o delta : perubahan mood
Bekerja di plexus mesentericus dan otak
o kappa : analgesi , miosis , depresi pernafasarn , sedasi
Bekerja di pleksus mesentereicus, otak dan spinal cord.
Dari ketiga reseptor juga bekerja di nucleus edinger Westphal n. III jika
terangsang terus menerus pupil akan miosis terus menerus karena akan
mengontraksikan sfingter pupil
Suhu 39,5 : morfin jika berlebihan perangsangan saraf parasimpatis vasodilatasi
pembuluh darah suhu tubuh akan meningkat
Analgesik opioid sama dengan kerja endorphin dalam tubuh yaitu peptide opioid
menstimulasi 3 receptor miu kappa dan delta
Charles, E., I. 2002. Clinical Pharmacology of Opioid for Pain. The Clinical Journal of
Pain. Vol 18
4. Bagaimana farmakodinamik obat morfin? Efek pada Saraf otonom dan pusat?
Jenis Obat
Morfin ialah agonis reseptor opioid, dengan efek utamanya yaitu berikatan serta
mengaktivasi reseptor μ-opioid pada system saraf pusat. Aktivasi dari reseptor ini akan
menghasilkan efek analgesia, sedasi, physical dependence, euforia dan respiratory
depression. Pengikatan morfin pada MOR menyebabkan aktivasi protein G dan
penghambatan adenylyl siklase. Pelepasan adenosine monofosfat siklik (cAMP) berkurang,
menyebabkan penghambatan saluran Ca2+ dan Na+ sehingga menghasilkan efek analgesia.
Efek yang ditimbulkan morfin pada system saraf pusat ada dua, yaitu depresi dan
stimulasi.
Manfaat
Morfin dapat meringankan rasa sakit yang disebabkan oleh serangan jantung atau
infark miokard. Nyeri ini biasanya berupa nyeri dada yang parah dan menyiksa yang sering
menjalan ke sisi dalam lengan kiri, leher, punggung, dan kepala. Bidang ini adalah salah satu
penggunaan morfin yang penting dalam praktik klinis saat ini.
Selain itu, morfin juga dapat menghilangkaan nyeri tulang dan sendi yang parah,
menghilangkan rasa sakit sebelum, selama dan setelah operasi terutama operasi besar yang
melibatkan tulang dan organ besar . Morfin juga dapat digunakan sebagai anestesi umum
untuk menenangkan pasien, juga anestesi regional seperti anestesi spinal atau epidural
MORFI PENGGUNAAN KLINIS DAN ASPEK-ASPEKNYA. Aulia Annisa Putri Heri,
Anas Subarnas. 2020
Obat sejenis
Farmakodinamik
Morfin adalah agonis opioid yang memiliki afinitas terbesar pada reseptor μ. Reseptor
ini merupakan reseptor opioid analgesik mayor. Reseptor μ dapat ditemukan di otak
(amigdala posterior, hipotalamus, talamus, dan nukleus kaudatus), saraf tulang
belakang, dan jaringan lain di luar SSP (vaskular, jantung, paru-paru, sistem imun, dan
saluran pencernaan).
Ikatan morfin dan reseptor opioid menyebabkan beberapa efek pada SSP yaitu, inhibisi
transmisi sinyal nyeri, mengubah respons terhadap nyeri, menimbulkan efek analgesik,
depresi napas, sedasi, supresi batuk, dan miosis.[4,5,9-11]
Mekanisme kerja morfin secara molekuler masih belum sepenuhnya dipahami. Aktivasi
reseptor opioid diperkirakan mencetuskan coupling/penggabungan protein G. Hal ini akan
menyebabkan inhibisi aktivitas adenylyl cyclase, penutupan kanal ion Ca2+, pembukaan kanal
ion K+, serta aktivasi phosphokinase C (PKC) dan phospholipase C-β (PLCβ). Menutupnya
kanal ion Ca2+ akan menghambat pelepasan neurotransmiter oleh neuron presinaps.
Sedangkan pembukaan kanal ion K+ akan memicu hiperpolarisasi yang menghambat
neuron postsinaps. Mekanisme inilah yang diperkirakan menyebabkan efek morfin,
termasuk efek analgesik.[9-11]
Selain pada SSP, morfin juga bekerja pada sistem gastrointestinal. Efek yang
ditimbulkan berupa spasme sfingter Oddi dan penurunan gerakan peristaltik. Pada otot
polos sistem kemih dapat terjadi spasme. Morfin juga menyebabkan vasodilatasi yang
memicu hipotensi, flushing, mata merah, dan berkeringat. Pada sistem endokrin, morfin
mampu menghambat sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH), kortisol, dan
luteinizing hormone (LH). Sementara itu, produksi hormon lainnya justru meningkat,
misalnya prolaktin, growth hormone (GH), insulin, dan glukagon.
Farmakokinetik
Absorpsi
Bioavailabilitas morfin berkisar antara 20–40%. Onset secara intravena 5 - 10 menit, dengan
peroparl sekitar 8 jam (tablet lepas lambat. Durasi peroral adalah 8 - 24 jam (tablet lepas
lambat).[4,5,12]
Distribusi
Metabolisme
Bentuk metabolit:
Morphine-6-glucuronide (memiliki efek analgesik, tetapi tidak dapat menembus sawar darah
otak)
Morphine-3-glucuronide
Morphine-3,6-glucuronide[4,5,12]
Eliminasi
Food and Drug Administration. Morphine Sulfate Injection USP. Tersedia di:
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2011/202515s000lbl.pdf
Pada ginjal gagal ginjal akut gfr menurun aliran darah ginjal menurun
Putus obat hilangnya penggunaan opioid yg berlangsung bbrp minggu atau lebih, ada
3 atau lebih dari kriteria muaal mutah, demam, insom, dilatasi pupil, nyeri otot, dan
perasaan yg tdk senang. Shg meyebabkan stress aau gangguan pada fungsi social dan
pekerjaan . dan tanpa dx medis
Intoksikasi :
Sedangkan definisi keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah kondisi yang
mengikuti masuknya suatu zat psikoaktif yang menyebabkan gangguan kesadaran,
kognisi, persepsi, afek, perlaku, fungsi, dan repon psikofisiologis. Sumber lain
menyebutkan bahwa keracunan dapat diartikan sebagai masuknya suatu zat kedalam
tubuh yang dapat menyebabkan ketidak normalan mekanisme dalam tubuh bahkan
sampai dapat menyebabkan kematian
http://eprints.undip.ac.id/43894/3/Galih_Aryyagunawan_G2A009106_Bab2KTI.pdf
Intoksikasi opiat/ opioid akut adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh
penggunaan opiat dan/atau opioid dalam dosis cukup tinggi sehingga terjadi gangguan
kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek/mood, perilaku atau fungsi dan respon
psikofisiologis lainnya. Intoksikasi opioid akut adalah suatu keadaan emergensi yang
harus segera ditangani agar tidak menimbulkan kematian. Intoksikasi opioid akut harus
dipantau dengan ketat oleh perawat dan dokter yang merawatnya
Tatalaksana Putus Zat dan Intoksikasi Opioid Shelly Iskandar Bagian Psikiatri FK
Universitas Padjadjaran/ RS Hasan Sadikin Bandung
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/03/Makalah-Tatalaksana-Putus-
dan-Intoksikasi-Opioid-1.pdf
Putus obat
Ketika dilakukan penghentian penggunaan obat atau tiba-tiba berhenti setelah
menggunakan obat beberapa minggu atau lebih dengan jumlah yang banyak, maka akan
muncul gejala yang semakin nyata. Inilah yang disebut withdrawal.
TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA INTOKSIKASI OPIOID.
Putu Angga Dharmayuda dr. I Gede Budiarta,SpAn.KMN. 2017
Putus zat adalah suatu sindroma yang terjadi ketika konsentrasi NAPZA di darah
atau jaringan menurun pada individu yang telah mempertahankan penggunaan jangka
panjang dari NAPZA tersebut. Setelah mendapatkan gejala putus zat, seseorang akan
menggunakan NAPZA untuk mengurangi gejala yang dialaminya. Putus zat opioid dapat
menyebabkan timbulnya gangguan fisik dan atau psikologis. Putus zat opioid dapat
merupakan suatu keadaan emergensi yang harus segera ditangani agar tidak
menimbulkan kematian atau penderitaan bagi pasien
Tatalaksana Putus Zat dan Intoksikasi Opioid Shelly Iskandar Bagian Psikiatri FK
Universitas Padjadjaran/ RS Hasan Sadikin Bandung
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/03/Makalah-Tatalaksana-Putus-
dan-Intoksikasi-Opioid-1.pdf
12. Macam zat opioid?
Berdasarkan struktur kimia, opioid dibedakan menjadi 3 kelompok yakni alami, semisintesis, dan
sintesis (Joewana, 2004).
a. Golongan alami (natural) Salah satu jenis opioid alami adalah candu atau opium. Dari
candu ini dihasilkan morfin dan kodein. Opium atau candu adalah getah Papaver
Somniferum L yang telah dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam
dua golongan, yaitu golongan fenantren yang terdiri dari morfin, kokain dan kodein serta
golongan benzilisokuinolin yang terdiri dari noskapin dan paperavin. Dari alkaloid
golongan fenantren yang alamiah telah dibuat berbagai derivat semisintetis. Kodein
digunakan sebagai bagian dari terapi utuk klien yang sedang dalam masa withdrawal
(gejala putus obat) yang sedang menjalani perawatan intoksifikasi (BNN, 2009).
b. Golongan semisintetis Opioid golongan semisintesis adalah opioid yang di sintesis dari
opioid alami (opium). Yang termasuk opioid semisintesis adalah heroin
(diacethylmorphine), hidromorfon, etorfin, dan diprenorfin. Heroin adalah sintesa dari
morfin. Heroin kira-kira dua kali lebih kuat dari morfin dan opioid yang paling sering
digunakan pada orang dengan gangguan yang berhubungan dengan opioid. Heroin yang
secara farmakologis mirip dengan morfin, menyebabkan analgesia, mengantuk. Heroin
lebih dikenal dengan nama putaw (Depkes, 2006). Heroin merupakan opioid yang paling
sering disalahgunakan pada orang dengan penyalahgunaan opioid dan lebih kuat serta
lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin. Karena sifat tersebut heroin
melewati sawar darah otak lebih cepat dan mempunyai onset yang lebih cepat
dibandingkan morfin. Ratarata dosis penyalahgunaan heroin 3 mg yang setara dengan
kekuatan 10 mg morfin (Joewana, 2004). Heroin juga termasuk jenis napza yang paling
berat menimbulkan ketergantungan baik fisik maupun mental serta menimbulkan reaksi
putus zat (withdrawal) yang lebih berat dibandingkan zat lainnya (Shives, 2005). Heroin
dapat digunakan dengan cara dihisap atau disuntik (Depkes, 2002). Namun paling banyak
ditemukan penggunan heroin dengan cara disuntik akan mempercepat reaksi, dan lebih
ekonomis. Pola penggunaan dengan cara disuntik pada pengguna opioid jenis heroin
berdampak pada resiko yang disebabkan karena tindakan penyuntikan, bahan pelarut
bahkan juga perilaku saling tukar menukar jarum suntik antar sesama pengguna (Depkes,
2006).
c. Golongan sintetis Opioid sintesis adalah golongan opioid yang kerjanya menyerupai opiat
tetapi tidak didapatkan dari opium alias sintesis buatan. Narkotika sintetis pertama 12
yang dihasilkan mula-mula adalah meperidin. Meperidin secara kimia tidak sama dengan
morfin, tetapi menyerupai dalam kekuatan analgesik. Meperidin mungkin merupakan
yang digunakan secara luas untuk meringankan rasa sakit yang sedang dan sangat parah.
Diberikan melalui mulut atau injeksi. Toleransi dan ketagihan tumbuh dengan
penggunaan kronis, dan dosis besar dapat mengakibatkan kejang. Metadon secara
kimiawi termasuk keluarga opioid seperti heroin dan morfin, tetapi sejatinya metadon
bukanlah opioid karena metadon dihasilkan secara sintesis buatan bukan alami yang
berasal dari opium. Ia bekerja menekan fungsi susunan saraf pusat, mempunyai efek
analgesik kuat. Metadon yang diberikan secara intravena mempunyai potensi sama
dengan morfin. Pencapaian kadar puncak dalam cairan tubuh adalah 2-4 jam setelah
masuk dalam tubuh. Waktu paruh dosis berulang adalah 22 jam, tetapi sangat bervariasi
dari orang ke orang (Henry R.K & Domenic A.C, 2005).