Anda di halaman 1dari 34

LBM 6 MODUL KGD SGD 7

STEP 7
1. Mengapa pasein mengeluh muntah, keringat dingin, nyeri ulu hati dan sesak nafas?
Morfin memiliki efek pada beberapa organ saluran cerna. Di lambung, morfin dapat
menginhibisi sekresi HCl, sehingga menyebabkan pergerakan lambung menurun, tonus
bagian antrum meningkat serta motilitasnya berkurang disamping itu sfringter pylorus
berkontraksi, berakibat pada pergerakan pada isi lambung menuju duodenum melambat --
> lama kelamaan lambung penuh  mual
Charles, E., I. 2002. Clinical Pharmacology of Opioid for Pain. The Clinical Journal of
Pain. Vol 18 No. 4
Mual dan muntah yang terjadi sebagai efek samping morfin, disebabkan oleh akibat
morfin menstimulasi pada pusat muntah di bagian otak medulla oblongata. Ketika pusat
muntah menerima rangsangan impuls afferen dari CTZ dimana melalui stimulasi
langsung maupun tidak pada saluran pencernaan. Pada area pusat muntah itu, terdapat
banyak reseptorreseptor yang memiliki peran dalam proses terjadinya mual dan muntah,
sedangkan antiemetik umumnya bekerja dengan menghambat neurotransmiter pada
reseptor tersebut. Impuls efferen akan melalui saraf kranialis V, VII, IX, X dan XII lalu
ke saluran gastrointestinal sehingga dapat menimbulkan efek mual dan muntah
Acalovschi I. 2002. Postoperative nausea and vomiting. Curr Anaesth Critical Care. Vol
13: 37 43

Morgan, et al. 2012. Effects of Morphine on Thermal Sensitivity in Adult and Aged Rats.
Penggunaan morfin berlebihan Jumlah Asetilkolin meningkat  Gangguan sy.syaraf
aktivitas kolinergik terus-menerus  Berikatan dgn reseptor simpatis& parasimpatis
 ada gangguan nikotinik dan muskarinik, nikotinik (otot pernafasan meningkat 
bronkosfasme  sesak nafas) kalau dari muskarinik (impuls Aferen n.Vagus di
gastrointestinal bawa ke pusat muntah  Pusat muntah teraktivasi  MUNTAH 
Output > Input  DEHIDRASI  Kompensasi tubuh  otot pernafasan meningkat
 bronkosfasme  sesak nafas )
Morgan, et al. 2012. Effects of Morphine on Thermal Sensitivity in Adult and Aged Rats.
2. Apa hubungan pasien menyuntikkan morfin dengan keluhan yang dirasakan somnolen
dan keadaannya lemah?
3. Apa interpretasi pf pada pasien?

 TTV = 95/63 mmHg


 Nadi = 55x/menit
Efek samping jantung dari opioid tidak terlalu umum. Morfin telah dikaitkan
dengan pelepasan histamine dan akibat vasodilatasi dan hipotensi. Efek samping
ini sebagian diblokir oleh H1 antagonis tetapi sepenuhnya dibalik oleh nalokson.
Stimulasi dari parasimpatis juga berkontribusi terhadap terjadinya bradikardia
Benyamin R, Trescot M. A., Datta S., Buenaventura R., Adlaka R., Sehgal N.,
Glaser E.S., Vallejo R. 2008. Opioid Complications and Side Effects. Pain
Physician: Opioid Special Issue: 11: S105-S120

 RR = 29 x/menit
 Suhu = 39,5
 Pupil miosis : apabila kedua positif disebut pin point pupil (ukuran kurang lebih
1mm, sedangkan ukuran normalnya >3mm)
Terdapat 3 reseptor opioid:
o miu : analgesi, euphoria, depresi respirasi , miosis
Bekerja di spinal cord, mienterikus aorba, otak dan pleksus submucosa
o delta : perubahan mood
Bekerja di plexus mesentericus dan otak
o kappa : analgesi , miosis , depresi pernafasarn , sedasi
Bekerja di pleksus mesentereicus, otak dan spinal cord.
Dari ketiga reseptor juga bekerja di nucleus edinger Westphal  n. III  jika
terangsang terus menerus pupil akan miosis terus menerus karena akan
mengontraksikan sfingter pupil
 Suhu 39,5 : morfin jika berlebihan perangsangan saraf parasimpatis vasodilatasi
pembuluh darah suhu tubuh akan meningkat
Analgesik opioid sama dengan kerja endorphin dalam tubuh yaitu peptide opioid
menstimulasi 3 receptor miu kappa dan delta
Charles, E., I. 2002. Clinical Pharmacology of Opioid for Pain. The Clinical Journal of
Pain. Vol 18

4. Bagaimana farmakodinamik obat morfin? Efek pada Saraf otonom dan pusat?
Jenis Obat
Morfin ialah agonis reseptor opioid, dengan efek utamanya yaitu berikatan serta
mengaktivasi reseptor μ-opioid pada system saraf pusat. Aktivasi dari reseptor ini akan
menghasilkan efek analgesia, sedasi, physical dependence, euforia dan respiratory
depression. Pengikatan morfin pada MOR menyebabkan aktivasi protein G dan
penghambatan adenylyl siklase. Pelepasan adenosine monofosfat siklik (cAMP) berkurang,
menyebabkan penghambatan saluran Ca2+ dan Na+ sehingga menghasilkan efek analgesia.
Efek yang ditimbulkan morfin pada system saraf pusat ada dua, yaitu depresi dan
stimulasi.

Manfaat
Morfin dapat meringankan rasa sakit yang disebabkan oleh serangan jantung atau
infark miokard. Nyeri ini biasanya berupa nyeri dada yang parah dan menyiksa yang sering
menjalan ke sisi dalam lengan kiri, leher, punggung, dan kepala. Bidang ini adalah salah satu
penggunaan morfin yang penting dalam praktik klinis saat ini.
Selain itu, morfin juga dapat menghilangkaan nyeri tulang dan sendi yang parah,
menghilangkan rasa sakit sebelum, selama dan setelah operasi terutama operasi besar yang
melibatkan tulang dan organ besar . Morfin juga dapat digunakan sebagai anestesi umum
untuk menenangkan pasien, juga anestesi regional seperti anestesi spinal atau epidural
MORFI PENGGUNAAN KLINIS DAN ASPEK-ASPEKNYA. Aulia Annisa Putri Heri,
Anas Subarnas. 2020

Obat sejenis

Farmakodinamik

Morfin adalah agonis opioid yang memiliki afinitas terbesar pada reseptor μ. Reseptor
ini merupakan reseptor opioid analgesik mayor. Reseptor μ dapat ditemukan di otak
(amigdala posterior, hipotalamus, talamus, dan nukleus kaudatus), saraf tulang
belakang, dan jaringan lain di luar SSP (vaskular, jantung, paru-paru, sistem imun, dan
saluran pencernaan).
Ikatan morfin dan reseptor opioid menyebabkan beberapa efek pada SSP yaitu, inhibisi
transmisi sinyal nyeri, mengubah respons terhadap nyeri, menimbulkan efek analgesik,
depresi napas, sedasi, supresi batuk, dan miosis.[4,5,9-11]

Mekanisme kerja morfin secara molekuler masih belum sepenuhnya dipahami. Aktivasi
reseptor opioid diperkirakan mencetuskan coupling/penggabungan protein G. Hal ini akan
menyebabkan inhibisi aktivitas adenylyl cyclase, penutupan kanal ion Ca2+, pembukaan kanal
ion K+, serta aktivasi phosphokinase C (PKC) dan phospholipase C-β (PLCβ). Menutupnya
kanal ion Ca2+ akan menghambat pelepasan neurotransmiter oleh neuron presinaps.
Sedangkan pembukaan kanal ion K+ akan memicu hiperpolarisasi yang menghambat
neuron postsinaps. Mekanisme inilah yang diperkirakan menyebabkan efek morfin,
termasuk efek analgesik.[9-11]

Selain pada SSP, morfin juga bekerja pada sistem gastrointestinal. Efek yang
ditimbulkan berupa spasme sfingter Oddi dan penurunan gerakan peristaltik. Pada otot
polos sistem kemih dapat terjadi spasme. Morfin juga menyebabkan vasodilatasi yang
memicu hipotensi, flushing, mata merah, dan berkeringat. Pada sistem endokrin, morfin
mampu menghambat sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH), kortisol, dan
luteinizing hormone (LH). Sementara itu, produksi hormon lainnya justru meningkat,
misalnya prolaktin, growth hormone (GH), insulin, dan glukagon.

Farmakokinetik

Absorpsi

Bioavailabilitas morfin berkisar antara  20–40%. Onset secara intravena 5 - 10  menit, dengan
peroparl sekitar 8 jam (tablet lepas lambat. Durasi peroral adalah 8 - 24 jam (tablet lepas
lambat).[4,5,12]

Distribusi

Morfin berikatan dengan protein sebanyak 30 - 40%. Distribusi volume (volume


distribution/Vd): 3–4 L/kgBB (lepas lambat), 1–4,7 L/kgBB (IV).[4,5,12]

Metabolisme

Sebagian besar morfin dimetabolisme di hati (90%).[4,5,12]

Bentuk metabolit:

 Morphine-6-glucuronide (memiliki efek analgesik, tetapi tidak dapat menembus sawar darah
otak)
 Morphine-3-glucuronide
 Morphine-3,6-glucuronide[4,5,12]
Eliminasi

 Plasma clearance: 20–30 ml/menit/kgBB


 Waktu paruh: 2–4 jam; 2 jam (IV)
 Ekskresi: urine (90%), feses (10%)[4,5,12]

EFEK SISTEM ORGAN


1. CNS
Bergabungnya µ reseptor ke sistem saraf pusat menimbulkan manifestasi analgesia,
euforia, sedasi, dan depresi nafas. Penggunaan berulangan akan meningkatkan derajat
toleransi dan menimbulkan manifest tersebut.
a. Analagesik -> Nyeri terdiri dari sensori dan komponen afektif (emosi). Opioid
memiliki kemampuan yang unik karena mampu mengurangi perasaan nyeri pada
kedua aspek tersebut terutama pada aspek afektif. Tidak seperti NSAID.
b. Euforia -> Memberikan sensasi melayang dengan menurunkan kecemasan dan
kesedihan. Terkadang dapat juga menyebabkan disforia atau perasaan tidak
menyenangkan yang disebabkan oleh kurangnya istirahat dan rasa lemas.
c. Sedasi -> Rasa mengantuk dan berkabut merupakan efek opioid yang umum,
terkadang ada sedikit atau tidak ada amnesia. Efek tidur lebih bermanifes pada
orang tua dibandingkan pada anak muda dan orang sehat. Saat mendapatkan efek
tertidur, akan mudah dibangunkan.
d. Depresi nafas -> disebabkan dengan cara menghambat mekanisme respirasi di
batang otak. Pco2 Alveoli mungkin menigkat, tetapi terjadinya penekanan pada
respon pada carbon dioxide challenge merupakan indikator yang jelas pada
depresi nafas yang terjadi.
e. Penekanan Batuk -> penekanan reflek batuk merupakan efek opioid yang cukup
terlihat. Tetapi, penekanan batuk dapat menyebabkan penumpukan sekresi dan
mampu menyebabkan obstruksi jalan nafas dan atelektasis.
f. Miosis -> dapat dilihat secara visual. Merupakan reaksi farmakologi dimana
terjadi sedikit atau tidak sama sekali keterlibatan toleransi. Ini sangat berguna
untuk mendiagnosis overdosis opioid.
g. Truncal rigidity -> peningkatan tonus pada area tengkuk disebabkan oleh
mekanisme kerja obat pada regio supraspinal. Peningkatan tonus area tengkuk
menyebabkan penurunan compliance dinding dada dan menyebabkan gangguan
ventilasi. Hal ini muncul apabila dilakukan pemberian opioid larut lemak dengan
dosis sangat tinggi. Untuk mencegah rigiditas tengkuk, dapat digunakan obat
blokade neuro muskuler.
h. Mual dan muntah -> analgesia opioid dapat mengaktifasi kemoreseptor trigger
zone di batang otak untuk menyebabkan mual dan muntah.
i. Suhu -> regulasi homeostatis dari temperatur tubuh dimediasi oleh peptida
endogen opioid di otak.
2. PERIFER
a. System kardiovaskuler -> kebanyakan opioid tidak memiliki efek pada jantung,
selain bradikardi. Tekanan darah biasanya terkontrol dengan baik. Analgesik
opioid hanya memiliki dampak minimal pada sistem kardiovaskuler kecuali, ada
depresi nafas yang menyebabkan peningkatan Pco2.
b. Saluran gastrointestinal -> konstipasi merupakan efek dari opioid, efek terebut
tidak akan berkurang meskipun penggunaannya berlanjut. Reseptor opioid
banyak terdapat pada saluran gastrointestinal, dan konstipasi terjadi karena opioid
dimediasi melalui sistem saraf enterik. Terjadi penurunan motilitas dan
peningkatan tonus.
c. Saluran bilier -> opioid berinteraksi dengan otot polos bilier menyebabkan kolik
bilier. Terjadi konstriksi spingter oddi menyebabkan refluk bilier dan sekresi
pankreas dan peningkatan amilase dan lipase.
d. Ginjal -> opioid menekan fungsi ginjal, menyebabkan menurunnya aliran plasma
pada ginjal. Mekanisme yang mungkin terlibat pada CNS dan saraf tepi.
e. Uterus -> memperpanjang kehamilan, mekanisme masih belum jelas
kemungkinan karena opioid mengurangi tonus uterus.
f. Neuroendokrin -> opioid menstimulasi pelepasan ADH, prolaktin, dan
somatotropin tapi menghambat pelepasan hormon lutenizing.
g. Gatal -> dosis terapi opioid dapat menimbulkan kemerahan dan rasa hangat pada
kulit yang diikuti dengan berkeringat dan sensasi gatal. Efek tersebut diakibatkan
pelepasan histamin pada CNS dan perifer. Pemberian secara parenteral lebih
sering menimbulkan pruritus dan terkadang juga timbul urtikaria.

M.A. Schumacher, A.I. Basbaum. R. K. Naidu in Basic & Clinical Pharmacology, ed

Food and Drug Administration. Morphine Sulfate Injection USP. Tersedia di:
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2011/202515s000lbl.pdf

5. Apa saja pemeriksaan penunjang dari scenario?


A. Leukosit
B. Gas Darah Arteri untuk mengetahui kadar PH , kadar oksigen, kadar karbon dioksida
didalam darah
C. Elektrolit
Natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat harus diukur.
D. Uji Fungsi Ginjal
Kadar nitrogen urea darah (blood urea nitrogen, BUN) dan kreatinin harus diukur,
dan urinalisis harus dilakukan.
E. Elektrokardiogram
Pelebaran durasi kompieks QRS yarrg lebih besar dari 100 milisekon merupakan ciri
khas overdosis anticlepresan trisiklik dan kuinidin. Interval QT dapat memanjang
lebih dari 440 milisekon pada banyak kasus keracunan, termasuk kuinidin,
antidepresan trisiklik, beberapa antidepresan dan antipsikotik terbaru, litium, dan
arsenik. Berbagai macam blokade atrioventrikular (AV) serta aritmia ventrikular dan
atrial sering dijumpai pada keracunan digoksin dan glikosida jantung lainya.
Hipoksemia akibat keracunan karbon rnonoksida dapat menyebabkan perubahan
iskemik pada elektrokardiogram.
F. Hasil Pencitraan
Foto polos abdonen mungkin bermanfaat karena beberapa tablet, khususnya besi dan
kalium, bersifat radioopak. Radiograf dada mungkin menunjukkan adanya pneumonia
aspirasi, pneumonia hidrokarbon, atau edema paru. Jika clicurigai terjadi traurna
kepala, dianjurkan melakukan pemindaian computed tomography (CT).
(Sumber : Bertram G. Katzung. Farmakologi Dasar & Klinik Edisi 10, EGC)

6. Mengapa dokter memberi oksigenasi, infus dan kateter urin?


7. Apa antidotum dari morfin?
• bila pasien apnea, berikan bantuan farmakologis atau mekanik untuk menstimulasi
pernafasan
• bila laju pernafasan ≤ 12 per menit, lakukan chin-lift, jaw-thrust kemudian pasang
ventilasi dengan bag-valve mask.
• Berikan antidote
- Naloxone  opioid antagonis, berikatan dengan reseptor opioid membalikkan
dan memblok efek dari opioid dengan onset kerja 1-2 menit. Half-life 20-60
menit dengan durasi 2-3 jam.
Ada tiga cara penggunaan naloxone :
1) Injeksi
 Sediaan yang tersedia dalam 1 vial : 0,4 mg/ml; 1 mg/ml; 0,4 mg/10 ml
 Untuk injeksi IM biasanya 1 mg/ml sedangkan untuk IV biasanya 0,4
mg/ml
 Gunakan jarum 1 – 1 ½ inch
 Injeksi pada otot paha, bokong bagian luar, bahu (paling baik di bahu)
 Bila tidak tersedia IM needle, gunakan jarum yang lebih kecil kemudian
injeksikan IV atau subkutis
 Bila melalu akses IV, bolus secara perlahan kurang lebih selama 30
detik dengan dosis yang sudah ditentukan (0,4 – 2 mg)
2) Autoinjeksi
 Alat ini di setujuti tahun 2014
 Mudah dipakai, ada pengaturan suara untuk mengikuti instruksi
penggunaan
 0,4 mg/0,4 ml
 Siap pakai dengan single dose 2 mg dan dengan jarum yang bisa
dimasukkan kemabali
 Injeks secara IM dan tahan selama 5 detik
3) Nasal
 Tarik penutup kuning pada syringe
 Buka tutup merah pada tabung naloxone
 Pasang ujung penyemprot (berwarna biru) ke syringe
 Secara gentle masukkan sambil memutar tabung naloxone dari belakang
 masukkan alat yang sudah terpasang ke lobang hidung dan semprotkan
1 cc di kanan dan 1 cc di kiri

Dosis penggunaan naloxone :


• Neonatus  0,1 mg/kg dengan depresi nafas dan dengan ibu yang
menggunakan opioid selama 4 jam melahirkan
• Anak
- <5 tahun atau <20KG  0,1 mg/kg (IV/IM)
- >5 tahun atau > 20 Kg  2 mg
 Dewasa
- 0,4 – 2 mg
- Dapat diulang setiap 2 – 3 menit sampai tercapai target atau
maksimal 10 mg
 Observasi minimal 2 jam setelah pemberian dosis terakhir
- Reaksi imun -> reaksi alergi (biasanya pada daerah suntikan)
- Sistem saraf -> pupil kembali miosis
- Jantung -> bradikardi
- Paru-paru dan pernafasan -> nafas mulai spontan
- Gastrointestinal -> bising usus kembali
- kulit -> kemrahan, pruritus ▪ Efek samping yang mungkin
ditimbulkan yaitu :
- Nyeri, rasa terbakar, kemerahan pada tempat injeksi
- Berkeringat
- Denyut jantung yang ireguler
- Halusinasi
- Kehilangan kesadaran
- Kejang
- Tanda opioid withdrawal
- Menangis dengan kuantitas lebih dan peningkatan reflek pada bayi
- Edema paru
- Naltrexone  opioid antagonis yang lebih baru, half-life lebih lama dari naloxone yaitu
4-8jam atau 8-12 jam
o Tidak direkomendasikan untuk pasien yang tidak sadar
o Bisa digunakan untuk opioid withdrawal
- Methadone  golongan narkotika kerja panjang yang sering digunakan untuk
melemahkan gejala withdrawal dan biasanya digunakan untuk opioid dependence
atau opioid addiction.
o Untuk detoksifikasi -> 20-30 mg PO, bisa di titrasi menjadi 40 mg per hari yang
dibagi menjadi beberapa dosis dan diberikan selama 2-3 hari.
o Digunakan setelah detoksifikasi dimana pasien bebas opioid untuk 7-10 hari
- Per-oral : 25 mg untuk dosis awal -> observasi 1 jam; 50 mg dimulai dari hari
kedua.
- Intra Muskular : 380 mg di injeksi pada otot gluteal setiap 4 minggu.
KENAPA NALOXON?? Beri Nalokson 0,4 mg iv tiap 5 menit atau Nalorpin 0,1 mg/Kg
BB. Obat terpilih Nalokson (dosis maximal 10 mg), karena tidak mendepresi pernafasan,
memperbaiki kesadaran, hanya punya efek samping emetik. Karenanya pada penderita
koma tindakan preventif untuk aspirasi harus disiapkan.
Stephens, E. 2016. Opioid Toxicity Treatment & Management. US. Medscape
Efek dengan pengaruh opioid
Semua efek agonis opioid pada reseptor mu diantagonis oleh nalokson dosis kecil (0,4-
0,8mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi napas meningkat dalam 1-2 menit setelah
pemberian nalokson pada pasien dengan depresi napas akibat agonis opioid, efek sedatif
dan efek pada tekanan darah juga segera dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson juga
menyebabkan kebalikan efek dari efek psikomimetik dan disforia akibat agonis
antagonis. Antagonisme nalokson ini berlangsung selama 1-4 jam tergantung dari
dosisnya. Antagonisme nalokson terhadap efek agonis opioid sering disertai dengan
terjadinya fenomena o vershoot misalnya berupa peningkatan frekuensi napas melebihi
frekuensi sebelum dihambat oleh opioid. Fenomena ini diduga berhubungan dengan
terungkapnya ketergantungan fisik akut yang timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.
Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik terhadap morfin, dosis
kecil nalokson SK akan menyebabkan gejala putus obat yang dapat berat. Gejala ini mirip
dengan gejala akibat penghentian tiba-tiba pemberian morfin, hanya timbulnya beberapa
menit setelah penyuntikan dan berakhir setelah 2 jam. Berat dan lama berlangsungnya
sindrom ini tergantung dari dosis antagonis dan beratnya ketergantungan. Hal yang sama
terjadi pada orang dengan ketergantungan fisik terhada agonis parsial tetapi diperlukan
dosis lebih besar.
Farmakokinetik
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat setelah
penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap tetapi karena hampir seluruhnya
mengalami metabolisme lintas pertama maja harus diberikan parenteral. Obat ini
dimetabolisme di hati terutama dengan glukoronidasi. Waktu paruhnya sekitar 3 jam dan
masa kerjanya mendekati 24 jam. Metabolitnya naltrekson merupakan antagonis opioid
yang lemah dan masa kerjanya panjang. Naltrekson lebih poten dari nalokson pada pasien
adiksi opioid pemberian 100mg secara oral dapat menghambat efek euforia yan
ditimbulkan oleh 25 mg heroin IV selama 48 jam.
Foxcroft, L. 2007. The Making of Addiction: The ‘Use and Abuse’ of Opium in
Nineteeth-Century Britain. Burlington: Ashgate Publishing Company

8. Bagaimana tatalaksana dari scenario?


9. Apa komplikasi yang ditimbulkan dari scenario? Komplikasi pada ssp dan saraf otonom?
 Jika terjadi gangguan ke organ lain di saluran pancreas dapat menyebabkan
kontriksi spincter dan menyebabkan enzim yg di sekresi dapat mengalir dengan
sendirinya sehingga menyebabkan pencernaan pada diri sendiri dan menyebabkan
nekrosis

 Pada ginjal  gagal ginjal akut  gfr menurun  aliran darah ginjal menurun

 Toksisitas dan menyebabkan kerusakan pada otak yg permanen . TD menutrun


adanya hipoperfusi otak yg menyebabkan kerusakan otak permanen yg dapat
menyebabkan kematian.

 Mual mutah  pengeluaran cairan  dehdrasi

 Pengeluaran morfin 90% melalui ginjal, karena overdosis  kerja ginjal


meningkat  kerusakan

 Mempengaruhi asam basa tubuh karena ginjal kemampuannya menurun 


mempengaruhi asam basa tubuh  asidosis metabolik
10. Kriteria merujuk dan memulangkan pasien kgd?
11. Perbedaan intoksikasi dan withdrawal?
Intikoksikasi  baru menggunakan opioid dan adanya perubahan psikis dan perilaku
seperti ueforia, disforia dan agitasi psikomotorik. Adanya kontriksi pupil, adanya tanda
dan gejala yang tidak di sebabkan kondisi medis. Mengantuk, gelisah

Putus obat  hilangnya penggunaan opioid yg berlangsung bbrp minggu atau lebih, ada
3 atau lebih dari kriteria muaal mutah, demam, insom, dilatasi pupil, nyeri otot, dan
perasaan yg tdk senang. Shg meyebabkan stress aau gangguan pada fungsi social dan
pekerjaan . dan tanpa dx medis

Intoksikasi :
Sedangkan definisi keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah kondisi yang
mengikuti masuknya suatu zat psikoaktif yang menyebabkan gangguan kesadaran,
kognisi, persepsi, afek, perlaku, fungsi, dan repon psikofisiologis. Sumber lain
menyebutkan bahwa keracunan dapat diartikan sebagai masuknya suatu zat kedalam
tubuh yang dapat menyebabkan ketidak normalan mekanisme dalam tubuh bahkan
sampai dapat menyebabkan kematian
http://eprints.undip.ac.id/43894/3/Galih_Aryyagunawan_G2A009106_Bab2KTI.pdf

Intoksikasi opiat/ opioid akut adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh
penggunaan opiat dan/atau opioid dalam dosis cukup tinggi sehingga terjadi gangguan
kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek/mood, perilaku atau fungsi dan respon
psikofisiologis lainnya. Intoksikasi opioid akut adalah suatu keadaan emergensi yang
harus segera ditangani agar tidak menimbulkan kematian. Intoksikasi opioid akut harus
dipantau dengan ketat oleh perawat dan dokter yang merawatnya
Tatalaksana Putus Zat dan Intoksikasi Opioid Shelly Iskandar Bagian Psikiatri FK
Universitas Padjadjaran/ RS Hasan Sadikin Bandung
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/03/Makalah-Tatalaksana-Putus-
dan-Intoksikasi-Opioid-1.pdf

Putus obat
Ketika dilakukan penghentian penggunaan obat atau tiba-tiba berhenti setelah
menggunakan obat beberapa minggu atau lebih dengan jumlah yang banyak, maka akan
muncul gejala yang semakin nyata. Inilah yang disebut withdrawal.
TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA INTOKSIKASI OPIOID.
Putu Angga Dharmayuda dr. I Gede Budiarta,SpAn.KMN. 2017

Putus zat adalah suatu sindroma yang terjadi ketika konsentrasi NAPZA di darah
atau jaringan menurun pada individu yang telah mempertahankan penggunaan jangka
panjang dari NAPZA tersebut. Setelah mendapatkan gejala putus zat, seseorang akan
menggunakan NAPZA untuk mengurangi gejala yang dialaminya. Putus zat opioid dapat
menyebabkan timbulnya gangguan fisik dan atau psikologis. Putus zat opioid dapat
merupakan suatu keadaan emergensi yang harus segera ditangani agar tidak
menimbulkan kematian atau penderitaan bagi pasien
Tatalaksana Putus Zat dan Intoksikasi Opioid Shelly Iskandar Bagian Psikiatri FK
Universitas Padjadjaran/ RS Hasan Sadikin Bandung
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/03/Makalah-Tatalaksana-Putus-
dan-Intoksikasi-Opioid-1.pdf
12. Macam zat opioid?
Berdasarkan struktur kimia, opioid dibedakan menjadi 3 kelompok yakni alami, semisintesis, dan
sintesis (Joewana, 2004).
a. Golongan alami (natural) Salah satu jenis opioid alami adalah candu atau opium. Dari
candu ini dihasilkan morfin dan kodein. Opium atau candu adalah getah Papaver
Somniferum L yang telah dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam
dua golongan, yaitu golongan fenantren yang terdiri dari morfin, kokain dan kodein serta
golongan benzilisokuinolin yang terdiri dari noskapin dan paperavin. Dari alkaloid
golongan fenantren yang alamiah telah dibuat berbagai derivat semisintetis. Kodein
digunakan sebagai bagian dari terapi utuk klien yang sedang dalam masa withdrawal
(gejala putus obat) yang sedang menjalani perawatan intoksifikasi (BNN, 2009).
b. Golongan semisintetis Opioid golongan semisintesis adalah opioid yang di sintesis dari
opioid alami (opium). Yang termasuk opioid semisintesis adalah heroin
(diacethylmorphine), hidromorfon, etorfin, dan diprenorfin. Heroin adalah sintesa dari
morfin. Heroin kira-kira dua kali lebih kuat dari morfin dan opioid yang paling sering
digunakan pada orang dengan gangguan yang berhubungan dengan opioid. Heroin yang
secara farmakologis mirip dengan morfin, menyebabkan analgesia, mengantuk. Heroin
lebih dikenal dengan nama putaw (Depkes, 2006). Heroin merupakan opioid yang paling
sering disalahgunakan pada orang dengan penyalahgunaan opioid dan lebih kuat serta
lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin. Karena sifat tersebut heroin
melewati sawar darah otak lebih cepat dan mempunyai onset yang lebih cepat
dibandingkan morfin. Ratarata dosis penyalahgunaan heroin 3 mg yang setara dengan
kekuatan 10 mg morfin (Joewana, 2004). Heroin juga termasuk jenis napza yang paling
berat menimbulkan ketergantungan baik fisik maupun mental serta menimbulkan reaksi
putus zat (withdrawal) yang lebih berat dibandingkan zat lainnya (Shives, 2005). Heroin
dapat digunakan dengan cara dihisap atau disuntik (Depkes, 2002). Namun paling banyak
ditemukan penggunan heroin dengan cara disuntik akan mempercepat reaksi, dan lebih
ekonomis. Pola penggunaan dengan cara disuntik pada pengguna opioid jenis heroin
berdampak pada resiko yang disebabkan karena tindakan penyuntikan, bahan pelarut
bahkan juga perilaku saling tukar menukar jarum suntik antar sesama pengguna (Depkes,
2006).
c. Golongan sintetis Opioid sintesis adalah golongan opioid yang kerjanya menyerupai opiat
tetapi tidak didapatkan dari opium alias sintesis buatan. Narkotika sintetis pertama 12
yang dihasilkan mula-mula adalah meperidin. Meperidin secara kimia tidak sama dengan
morfin, tetapi menyerupai dalam kekuatan analgesik. Meperidin mungkin merupakan
yang digunakan secara luas untuk meringankan rasa sakit yang sedang dan sangat parah.
Diberikan melalui mulut atau injeksi. Toleransi dan ketagihan tumbuh dengan
penggunaan kronis, dan dosis besar dapat mengakibatkan kejang. Metadon secara
kimiawi termasuk keluarga opioid seperti heroin dan morfin, tetapi sejatinya metadon
bukanlah opioid karena metadon dihasilkan secara sintesis buatan bukan alami yang
berasal dari opium. Ia bekerja menekan fungsi susunan saraf pusat, mempunyai efek
analgesik kuat. Metadon yang diberikan secara intravena mempunyai potensi sama
dengan morfin. Pencapaian kadar puncak dalam cairan tubuh adalah 2-4 jam setelah
masuk dalam tubuh. Waktu paruh dosis berulang adalah 22 jam, tetapi sangat bervariasi
dari orang ke orang (Henry R.K & Domenic A.C, 2005).

Anda mungkin juga menyukai