1. PENDAHULUAN
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat yang
seperti opium. Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum
mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain
dan papaverin. Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan
atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun melihatkan farmakodinamik
yang lain.
PEPTIDA OPIOID ENDOGEN
Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui kerjanya didaerah otak
yang mengandung peptida yang memliki sifat farmakologi menyerupai
opioid atau disebut peptida opioid endogen menggantikan istilah endorfin
yang digunakan sebelumnya. Telah diidentifikasi 3 jenis peptida opioid
yiatu enkefalin, endorfin dan dinorfin. Peptida opioid yang didistribusi palin
luas dan memiliki aktivitas analgesik adalah pentapeptida, metioninenkefalin (met-enkefalin) dan leusin-enkefalin (leu-enkefalin). Salah satu
atau kedua pentapeptida tersebut terdapat didalam ketiga protein
prekursor pertama, prepro-opiomelanoportin, prepoenkefalin (proenkefalin
a), dan prepodinorfin (proenkafalin b).
RESEPTOR OPIOID.
Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu (), delta ()
, dan kappa (). Ketiga jenis reseptor termasuk pada jenis reseptor yang
berpasangan dengan protein G, dan memiliki substipe : mu1, mu2, delta1,
delta2, kappa1, kappa2, dan kappa3. Reseptor mu () memperantai efek
analgetik mirip morfin, euforia, depresi nafas, miosis, berkurangnya
motilitas saluran cerna. Reseptor k, diduga memperantai analgesia seperti
yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis depresi nafas yang tidak
sekuat agonis .
2. KLASIFIKASI OBAT GOLONGAN OPIOID
Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi
menjadi :
1. Agonis penuh (kuat)
2. Agonis parsial ( agonis lemah sampai sedang)
3. Opioid dengan kerja campur,
a. Agonis-antagonis opioid , yaitu yang bekerja sebagai agonis pada
beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada
reseptor lain
b. Agonis parsial
3. MORFIN DAN ALKALOID OPIUM
A. Asal, Kimia, dan SAR
Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam 2
golongan : golongan fenantren, misalnya morfin dan codein, golongan
benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papaverin.
R1-O pada morfin berupa gugus OH, yang bersifat fenolik, sehingga
disebut sebagai OH fenolik.
Efek farmakologi masing-masing secara kualitatif sama tetapi berbeda
secara kauntitatif dengan morfin. Gugus OH fenolik bebas
1. Infark miokard
2. Neoplasma
3. Kolik renal atau kolik empedu
4. Oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonar atau koroner
5. Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontan
6. Nyeri akibat trauma luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah
TERHADAP BATUK DAN SESAK. Penghambatan refleks batuk dapat
dipertanggungjawabkan pada batuk yang tidak produktif dan hanya
iritatif. Betuk demikian mengganggu tidur dan menyebabkan penderita
tidak dapat beristirahat dan mungkin seklai disertai nyeri. Akan tetapi
dewasa ini pengguanaan opioid untuk mengatasi batuk telah banyak
ditinggalkan karena telah bnayak obat-obat sintetik lain yang tidak
mneimbulkan adiksi.
EFEK ANTIDIARE. Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare
berdasarkan efek langsung terhadap otot polos usus. Pada pengobatan
diare yang disebabkan oleh intoksikasi makanan atau intoksikasi akut
obat pemberian morfin harus didahului oleh pemberian garam katartik
untuk mengeluarkan penyebab.
4. MEFERIDIN DAN DERIVAT FENILPIPERIDIN LAIN
A. FARMAKODINAMIK
Efek farmakodinamik terutama bekerja sebagai agonis reseptor. Oabat
lain yang mirip dengan meperidin.
SUSUNAN SARAF PUSAT. Seperti morfin menimbulkan analgesia, sedasi,
euforia, depresi nafas, dan efek sentral lain.
Analgesia. Efek analgesia meperidin serupa dengan morfin. Mulai
timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2
jam.
Sedasi, euforia, dan eksitasi. Pada dosis ekuianalgetik, sedasi yang
terlihat sama dengan sedasi pada morfin. Pemberian mep[eridin pada
pasien yang menderita nyeri atau cemas, akan menimbulkan euforia.
Berbeda dengan morfin, dosis toksik meperidin kadang-kadang
menimbulkan perangsangan SSP. Efek tersebut sebagian besar
disebabkan oleh metabolitnya yaitu normeperidin.
Saluran nafas. Menimbulkan depresi nafas sama kuat dengan morfin
dan mencapai puncaknya dalam waktu 1 jam setelah suntikan IM.
Kedua obat ini menurunkan kepekaan pusat nafas terhadpa CO2 dan
mempengaruhi pusat yang mengatur irama nafas dengan pons.
Efek neural lain. Pemberian meperidin secara sistemik menimbulkan
anestesia kornea, dengan akibat menghilangnya refleks kornea.
Berbeda dengan morfin meperidin tidak mempengaruhi diameter pupil
dan refleks pupil.
SISTEM KARDIOVASKULAR. Pemberian dosis terapi pada pasien
kardiovaskular, tidak menghambat kontrasksi miokard dan tidak
mnegubah gambaran EKG. Penderita berobat jalan mungkin menderita
sinkop disertai penurunan tekanan darah, tetpai gejala ini cepat hilang
jika penderita berbaring.
OTOT POLOS. Saluran cerna. Efek spasmogenik meperidin terhadap
lambung dan usus kecil lebih mudah dari pda morfin. Kontraksi propilsif
B.
C.
D.
E.
b. Farmakokinetik
Propoksifen diabsorpsi setelah pemberian oral maupun parenteral.
Seperti kodein efektivitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan
per oral. Biotransformasi dengan cara N-demetilasi yang terjadi
dalam hati.
c. Efek Nonterapi
Pada dosis terapi tidak banyak mempengaruhi sistem
kardiovaskular. Pemberian 130 mg peroral pada orang dewasa sehat
tidak banyak mengubah reaksi terhadap CO2. Dengan dosis
ekuianalgetik insiden efek samping seperti mual, anoreksia,
sembelit, nyeri perut an kantuk kurang lebih sama dengan kodein.
Dosis toksis biasanya menimbulkan depresi SSP dan depresi nafas,
tetapi jika dosis lebih besar lagi timbul konvulsi.
d. Adiksi
Timbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih kecil kemungkinannya
daripada terhadap kodein. Penghentian tiba-tiba pada terapi dengan
propoksifen akan menimbulkan gejala putus obat ringan. Dosis obat
obat propoksifen yang besar (300-600 mg) menimbulkan efek
subyektif yang menyenangkan, tetapi tidak serupa dengan efek
morfin. Obat ini cukup iritatif pada pemberian subkutan, sehingga
tidak digunakan secara parenteral.
e. Indikasi
Hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga sedang
yang tidak cukup baik diredakn oleh asetosal. Kombinasi
propoksifen dengan asetosal berefek kuat seperti kombinasi kodein
dengan asetosal. Dosis untuk orang dewasa 4 kali 65 mg sehari
dengan atau tanpa asetosal.
6. ANTAGONIS OPIOID DAN AGONIS PARSIAL
A. Antagonis Opioid
Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya disamping
memperlihatkan efek antagonis, menimbulkan efek otonomik endokrin,
analgesik dan depresi nafas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin.
Oabat-obat ini merupakan antagonis kompetitif pada reseptor v tetapi
juga memperlihatkan efek agonis pada reseptor lain.
FARMAKODINAMIK. Efek tanpa pengaruh opioid. Pada berbagai
eksperimen diperlihatkan bahwa nalokson:
a. Menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang
nyerinya tinggi.
b. Mengantagonis efek analgetik plasebo
c. Mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat
jarum akupuntur. Semua efek ini diduga berdasarkan antagonisme
nalokson terhadap opioid.
Efek dengan pengaruh opioid. Semua efek agonis opioid pada reseptor
v diantagonis oleh nalokson dosis kecil yang diberikan IM atau IV.
FARMAKOKINETIK. Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan
efeknya segera terlihat setelah penyuntikan IV. Secara oral nalokson
juga diserap tetapi karena hampir seluruhnya mengalami metabolisme
lintas pertama maka harus diberikan parenteral.