Anda di halaman 1dari 12

2.2.

Morfin dan Alkaloid Opium


2.2.1. Asal, Kimia, dan SAR
Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah
dikeringkan. Alkaloid opium secara kimia dibagi dalam dua golongan: (1)
golongan

fenantren,

misalnya

morfin

dan

kodein

dan

(2)

golongan

benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papaverin. Dari alkaloid derivat


fenantren yang alamiah telah dibuat berbagai derivat semisitetik (Tabel 1).
Hubungan kimia dan efek farmakodinamik masing-masing derivat akan
dibicarakan di bawah ini.
R1-O pada morfin berupa gugus OH, yang bersifat fenolik, sehingga disebut
sebagai OH fenolik; sedangkan OH pada R 2-O bersifat alkoholik sehingga disebut
sebagai OH alkoholik. Atom hidrogen pada kedua gugus itu dapat diganti oleh
berbagai gugus membentuk berbagai alkaloid opium.
Efek farmakologik masing-masing derivat secara kualitatif sama tetapi
berbeda secara kuantitatif dengan morfin. Gugus OH fenolik bebas berhubungan
dengan efek analgetik, hipnotik, depresi napas dan obstipasi. Gugus OH alkoholik
bebas merupakan lawan efek gugus OH fenolik. Adanya kedua gugusan OH bebas
disertai efek konvulsif dan efek emetik yang tidak begitu kuat. Substitusi R 1
mengakibatkan berkurangnya efek analgetik, efek depresi napas dan efek
spasmodik terhadap usu; sebaliknya terjadi penambahan efek stimulasi SSP.
Substitusi pada R2 mengakibatkan bertambahnya efek opioid dan efek depresi
napas. Substitusi pada R1 dan R2 bersamaan, mengakibatkan bertambahnya efek
konvulsif dan berkurangnya efek emetik (Gambar 1).
2.2.2. Farmakodinamik
Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena
morfin berkerja sebagai agonis pada reseptor . Selain itu morfin juga mempunyai
afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor xx dan .
Susunan Saraf Pusat. Narkosis. Efek morfin terhadap SSP berupa
analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul
sebelum pasien tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Morfin
dosis kecil (5-10mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang menderita

nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal
seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual
dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi,
sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan
berkurang dan letargi, ekstremitas terasa berat, badan terasa panas, muka gatal dan
mulut terasa kering, depresi napas dan miosis. Rasa nyeri berkurang, rasa lapar
hilang dan dapat timbul muntah yang tidak selalu disertai mual. Dalam
lingkungan yang tenang orang yang diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin
akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, napas dalam lambat dan miosis.
Analgesia. Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi
sebagai akibat kerja opioid pada reseptor . Reseptor xx dan dapat juga ikut
berperan dalam menimbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal. Morfin juga
berkerja melalui reseptor xx dan, namun belum diketahui besarnya peran kerja
morfin melalui kedua resptor ini dalam menimbulkan analgesia. Pentazosin
terutama bekerja pada reseptor , tetapi juga mempunyai afinitas pada reseptor .
Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor
opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan pada
transmis dan modulasi nyeri.
Ketiga jenis reseptor utama yaitu reseptor , , dan xx banyak didapatkan
pada kornu dorsalis medula spinalis. Reseptor didapatkan baik pada saraf yang
mentransmisi nyeri di medula spinalis maupun pada aferen primer yang merelai
nyeri. Agonis opioid melalui resptor , , dan x pada ujung prasinaps aferen
primer

nosiseptif

mengurangi

penglepasan

transmiter,

dan

selanjutnya

menghambat saraf yang mentransmis nyeri di kornu dorsalis medula spinalis.


Dengan demikian opioid memiliki efek analgetik yang kuat melalui pengaruh
pada medula spinalis. Selain itu agunis juga menimbukan efek inhibisi
pascasinaps melalui reseptor di otak.
Pemberian agonis opioid ke medula spinalis akan menimbulkan analgesia
setempat, sedangkan efek samping sistemik karena pengaruh supraspinal minimal.
Opioid yang diberikan secara sistemik umumnya berkerja baik pada tingkat spinal
maupun supraspinal sehingga meningkatkan khasiat analgesiknya.

Penglepasan opioid endogen ikut berperan dalam menimbulkan anagesia


oleh pemberian opioid: Meskipun agonis opioid terutama berkerja pada reseptor
, akan tetapi selanjutnya hal ini menyebabkan terjadinya penglepasan opioid
endogen yang bekerja pada reseptor dan xx.
Efek analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai oleh
hilangnya fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan
pendengaran; bahkan persepsi stimulasi nyeri pun tidak selalu hilang setelah
pemberian morfin dosis terapi. Yang terjadi adalah suatu perubahan reaksi
terhadap stimulus nyeri itu; pasien sering mengatakan bahwa nyeri masih ada
tetapi ia tidak menderita lagi.
Pengaruh morfin terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam (dull pain) dan
berkesinambungan lebih nyata dibandingkan pengaruh morfin terhadap nyeri
tajam dan intermiten. Dengan dosis terapi, morfin dapat meredakan nyeri kolik
renal atau kolik empedu. Nyeri mendadak yang menyertai tabes dorsalis (tabetic
crise), tidak dapat dihilangkan dengan sempurna oleh morfin. Berbeda dengan
salisilat, morfin dapat mengatasi nyeri yang berasal dari alat dalam maupun yang
berasal dari integumen, otot dan sendi.
Eksitasi. Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah,
sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat
mengubah eksitasi morfin ialah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflek (reflex
excitatory level) SSP. Beberapa individu, terutama wanita dapat mengalami
eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang mendahului deprsi, tetapi
delirium dan konvulsi jarang timbul. Kemungkinan timbulnya eksitasi ini lebih
besar pada beberapa derivat morfin dan alkaloid alam lain. Kodein tidak
menyebabkan depresi progresif bila dosisnya dibesarkan, tetapi justru
menyebabkna eksitasi; sedangkan heroin menimbulkan eksitasi sentral. Morfin
dan obat konvulsan sentral mengadakan sinergisme, maka morfin tidak cocok
untuk terapi konvulsi.
Pada beberapa spesies efek morfin jauh lebih jelas. Misalnya pada kucing,
morfin menimbulkan mania, midriasis, hipersalivasi, dan hipertermia, konvulsi
tonik dan klonik yang dapat berakhir dengan kematian. Fenomena ini juga timbul

pada kucing tanpa korteks serebri (decorticated cat), maka efek ini tidak dapat
disamakan dengan eksitasi yang terjadi pada stadium II anestetik umum.
Miosis. Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang berkerja pada reseptor
dan menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada
segmen otonom inti saraf okulomotor. Miosis ini dapat dilawan oleh atropin dan
skopolamin. Pada intoksikasi morfin, pin point pupils merupakan gejala yang
khas. Dilatasi berlebihan hanya timbul pada stadium akhir intoksikasi morfin,
yaitu jika sudah ada asfiksia. Meskipun toleransi ringan dapat terjadi akan tetapi
pasien adiksi dengan kadar opioid dalam sirkulasi tinggi akan selalu mengalami
miosis. Morfin dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan
tekanan intraokuler, baik pada orang normal maupun pada pasien glaukoma.
Depresi napas.

Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan

bersinambung berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas di batang otak.


Pada dosis kecil morfin sudah menimbukan depresi napas tanpa menyebabkan
tidur atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi napas
3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan morfin hampir selalu disebabkan
oleh depresi napas. Pada depresi napas, terjadi penurunan frekuensi napas, volume
semenit dan tidal exchange , akibat PCO2 dalam darah dan udara alveolar
meningkat dan kadar O2 dalam darah menurun. Kepekaan pusat napas terhadap
CO2 berkurang. Kadar CO2 5% tidak lagi menimbulkan peninggian ventilasi
pulmonal.
Morfin dan analesik opioid lain berguna untuk menghambat refleks batuk.
Deprsi refleks batuk ini ternyata tidak berjalan sejajar dengan depresi napas. Efek
depresi napas lebih besar pada morfin dan efek depresi batuknya lebih lemah;
sedangkan efek depresi batuk kodein kuat dan efek depresi napasnya tidak begitu
kuat. Efek dionin terhadap napas mirip efek kodein. Obat yang menekan refleks
batuk tanpa disertai depresi napas misalnya noskapin.
Mual dan muntah. Efek emetik morfin terjadi berdasarkan stimulasi
lamgsung pada emetic chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postrema medula
oblongata, bukan oleh stimulasi pusat emetik sendiri. Apomorfin menstimulasi
CTZ paling kuat. Efek emetik kodein, heroin, metildihidromorfinon dan mungkin

juga dihidromorfin lebih kecil daripada efek emetik morfin. Obat emetik lain tidak
efektif setelah pemberian morfin.
Derivat fenotiazin, yang merupakan blocker dopamin kuat dapat mengatasi
ual dan mutah akibat morfin.
Dengan dosis terapi (15 mg morfin subkutan) pad apasien yang berbaring,
jarang terjadi mual dan muntah, tetapi 40% pasien berobat jalan mengalami mual
dan 15% pasien mengalami muntah. Efek mual muntah akibat morfin diperkuat
oleh stimulasi vestibular, sebalinya analgetik opioid sintetik meningkatkan
sensitivitas vestibular. Obat-obat yang bermanfaat untuk motion sickness kadangkadang dapat menolong mual akibat opioid pada pasien berobat jalan.
Saluran cerna. Morfin berefek langsung pada saluran cerna, bukan melalui
efeknya pada SSP.
Lambung. Morfin menghambat sekresi HCL, tetapi efek ini lemah.
Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian
antrum meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus
berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat.
Perlambatan ini disebabkan juga oleh peninggian tonus duodenum. Pemotongan
saraf ekstrinsik lambung tidak mempengaruhi efek terhadap lambung ini. Pada
manusia peninggian tonus otot polos lambung oleh morfin sedikit diperkecil oleh
atropin.
Usus Halus. Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankras, dan
memperlrambat pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia, morfin
mengurangi kontraksi propulsif, meningkatkan tonus dan spasme periodik usus
halus. Efek morfin ini lebih jelas terlihat pada duodenum. Penerusan isi usus yang
lambat disertai sempurnanya absorbsi air menyebabkan isi usus menjadi lebih
padat. Tonus valvula ileosaekalis juga meninggi. Atropin dosis besar tidak lengkap
melawan efek morfin ini.
Usus Besar. Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus
besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar; akibatnya
penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras. Daya persepsi
korteks telah dipengaruhi morfin sehingga pasien tidak merasakan kebutuhan
untuk defekasi. Walaupun tidak lengkap, efek morfin pada kolon dapat

diantagonis oleh atropin. Efek konstipasi kodein lemah dari pada morfin.
Pencandu opioid terus menerus menderita periode konstipasi dan idare secara
bergantian, karena tidak terjadi toleransi terhadap konstipasi opioid.
Duktus Koledokus. Dosis terapi morfin, kodein, dihidromorfinon dan
metilhidromorfinon menimbulkan peninggian tekanana dalam duktus koledous;
dan efek ini dapat menetap selama 2 jam atau lebih. Keadaa ini sering disertai
perasaan tidak enak di epigastrium sampai gejala kolik berat. Menghilangkan
nyeri setelah pemberian morfin pada pasien kolok empedu disebabkan oleh efek
sentral morfin, namun pada beberapa pasien justru mengalami eksaserbasi nyeri.
Pada pemeriksaan radiografis terlihat konstriksi sfingter oddi. Atropin
menghilngkan sebagian spasme ini. Pemberian nalorfin, aminiltrit, dan aminofilin
IV akan meniadakan spasme saluran empedu oleh morfin.
Sistem

Kardiovaskular.

Pemberian

morfin

dosis

terapi

tidak

mempengaruhi tekanan darah. Frekuensi maupun irama denyut jantung.


Perubahan yang terjadi adalah akibat efek depresi pada pusat vagus dan pusat
vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah turun akibat
hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Hal ini terbukti dengan
dilakukannya napas buatan dengan memberikan oksigen; tekanan darah naik
meskipun depresi medula oblongata masih berlangsung.
Morfin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem kardiovaskuler
untuk bereaksi terhadap perubahan sikap. Pasien mungkin mengalami hipotensi
ortostatik dan dapat jatuh pingsan, terutama akibat vasodilatasi perifer yang
terjadi berdasarkan efek langsung terhadap pembuluh darah kecil. Morfin dan
opioid lain melepaskan histamin yang merupakan faktor penting dalam timbulnya
hipotensi.
Efek morfin terhadap miokard manusia tidak berarti; frekuensi jantung tidak
dipengaruhi atau hanya menurun sedikit, sedangkan efek terhadap curah jantung
tidak konstan. Gambaran elektrokardiogram tidak berubah.
Morfin dan opioid lain harus digunakan dengan hati-hati pada keadaan
hipovolemia karena mudah timbul hipotensi. Penggunaan opioid bersama derivat
fenotiazin menyebabkan depresi napas dan hipotensi yang lebih besar. Morfin

harus digunakan dengan sangat hati-hati pada pasien korpulmonal, sebab dapat
menyebabkan kematian.
Otot Polos Lain. Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudi serta
kontraksi ureter dan kandung kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan
pemberian 0,6 mg atropin subkutan. Hilangnya rasa nyeri pada kolik ginjal
disebabkan oleh efek analgetik morfin. Peninggian tonus otot detrusor
menimbulkan rasa ingin miksi, tetapi karena sfingter juga berkontraksi maka
miksi sukar. Morfin dapat menimbulkan bronkokonstriksi, tetapi pada dosis terapi
efek ini jarang timbul. Morfin memperlambat berlangsungnya partus. Pada uterus
aterm morfin menyebabkan interval antar-kontraksi lebih besar dan netralisasi
efek oksitosin. Morfin merendahkan tonus uterus pada masa haid dan
menyebabkan uterus lebih tahan terhadap regangan. Mungkin atas dasar ini
morfin mengurangi nyeri dismenore.
Kulit. Dalam dosis terapi, morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah
kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area (muka,
leher, dan dada bagian atas). Keadaan tersebut mungkin sebagian disebabkan oleh
pelepasan histamin oleh morfin dan seringkali disertai dengan kulit yang
berkeringat. Pruritus kadang-kadang dapat terjadi mungkin akibat penglepasan
histamin atau pengaruh langsung morfin pada saraf.
Metabolisme. Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot
menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP.
Kecepatan metabolisme dikurangi oleh morfin. Hiperglikemia timbul tidak tetap
akibat penglepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Setelah
pemberian morfin volume urin berkurang, disebabkan merendahnya laju filtrasi
glomerulus, alir darah ginjal, dan penglepasan ADH. Hipotiroidisme dan
insufisiensi adrenokortikal meningkatkan kepekaan orang terhadap morfin.
Lain-lain. Opioid memodulasi sistem imun dengan mempengaruhi
proliferasi limfosit, pembentukan antibodi, dan kemotaksis.
2.2.3. Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorbsi melalui
kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian

ini absorbsi morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorbsi usus, tetapi efek
analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik yanng
timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja alkaloid
opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan,
absorbsi berbagai alkaloid opioid berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal,
sebagian morfin mengalami konygasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian
dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Morfin dapat
melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin. Eksresi morfin terutama melalui
ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan dalam keringat.
Morfin yang terkonyugasi ditemukan dalam empedu. Sebagian yang sangat kecil
dikeluarkan bersama cairan lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO 2. CO2 ini dikeluarkan
oleh paru-paru. Sebagai kodein mengalami N-demetilasi. Urin mengandung
bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari kodein, narkodein, dan morfin.
2.2.4. Indikasi
Terhadap nyeri. Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk
meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan
analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan.
Untunglah pada nyeri hebat depresi napas oleh morfin jarang terjadi, sebab nyaeri
menrupakan antidotum fisiologik bagi efek depresi napas morfin.
Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai: 1) infark miokard; 2)
neoplasma; 3) kolik renal atau kolik empedu; 4) oklusio akut pembuluh darah
perifer, pulmonal atau koroner; 5) perikarditis akutt, pleuritis dan pneumotoraks
spontan; dan 6) nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri
pascabedah. Sebagai medikasi praanestetik, morfin sebaiknya hanya diberikan
pada pasien yang sedang menderita nyeri. Bila tidak ada nyeri dan obat
praanastetik hanya dimaksudkan untuk menimbulkan ketenangan dan tidur, lebih
baik digunakan pentobarbital atau diazepam.
Terhadap

Kantuk.

Penghambat

refleks

batuk

dapat

dipertanggungjawabkan pada batuk tidak produktif hanya iritatif. Batuk demikian


mengganggu tidur dan dapat menyebabkan pasien tidak dapat beristirahat dan

mungkin sekali disertai nyeri. Akan tetapi dewasa ini penggunaan analgsik opioid
untuk mengatasi batuk telah banyaj ditinggalkan karena telah banyak obat-obat
sintetik lain yang efektif dan tidak menimbulkan adiksi.
Edema

paru

akut.

Morfin

intravena

dapat

dengan

jelas

mengurang/menghilngkan sesak napas akibat edema pulmonal yang menyertai


gagal jantung kiri. Mekanismenya tidak jelas, mungkin dengan mengurangi
persepsi pendeknya napas dan mengurangi kecemasan pasien, serta mengurangi
beban hulu dan beban hilir jantung.
Efek Antidiare. Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare
berdasrakan efek langsung terhadap tonus otot polos usus. Pada pengobatan diare
yang disebabkan oleh intoksikasi makanan atau intoksikasi akut obat, pemakaian
morfin harus didahului oleh pemberian garam katartik untuk mengeluarkan
penyebab. Dosis alkaloid morfin yang menyebabkan sembelit dan menghambat
refleks batuk kira-kira sama. Akan tetapi dewasa ini telah tersedia senyawasenyawa sintetik yang berkerja lebih selektif pada saluran cerna misalnya
difenosilat dan loperamid.
2.2.5. Efek Samping
Idiosinkrasi dan Alergi. Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah
terutama pada wanita berdasarkan idiosikrisi. Bentuk idiosinkrisi lain ialah
timbulnya eksitasi dengan tremor, dan jarang-jarang delirium; lebih jarang lagi
konvusi dan insomnia. Berdasarkan reaksi alergi dapat timbul gejala seperti
urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin
Bayi dan anak kecil tidak lebih peka terhadap alkaloid opium, asal saja dosis
diperhitungkan berdasarkan berat badan. Tetapi orang lanjut usia dan pasien
penyakit berat agaknya lebih peka terhadap efek morfin. Morfin dan opioid lain
juga harus digunakan dengan hati-hati bila daya cadangan napas (respiratory
reserve) telah berkurang, misalnya pada emfisem, kifoskoliosis, korpulmonale
koronik dan obesitas yang ekstrim. Meskipun pasien dengan keadaan seperti ini
tampaknya bernapas normal, sebenarnya mereka telah menggunakan mekanisme
kompensasi, misalnya berupa frekuensi napas yang lebih tinggi. Pada pasien
tersebut kadar CO2 plasma tinggi secara kronik dan kepekaan pusat naas terhadap

CO2 plasma telah berkurang. Pembebanan lebih lanhut dalam bentuk depresi oleh
morfin dapat membahayakan.
Intoksikasi Akut. Intoksikasi akut morfin atau opioid biasanya terjadi
akibat percobaan bunuh diri atau pada takar lajak. Pasien akan tidur, sopor atau
koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi napas lambat, 2-4 kali/menit, dan
perna[asan mungkin berupa cheyne stokes. Pasien sianotik, kulit muka merah
tidak merata dan agak kebiruan. Tekanan darah yang mula-mula baik akan
menurun sampai terjadi syok bila napas memburuk, dan ini dapat diperbaiki
dengan pemberian oksigen. Pupil sangan kecil (pin point puppils), kemudian
midriasis jika telah tejadi anoksia. Pembentukan urin sangat berkurang karena
terjadi penglepasan ADH dan turunya tekanan darah. Suhu badan rendah,
mandbula dalam keadaan relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada
bayi mungkin timbul konvulsi. Kematian biasanya disebabkna oleh depresi napas
2.2.6. Toleransi, Adiksi dan Abuse
Terjadinya toleransi dam ketergantungan fisik setelah penggunaan berulang
merupakan gambaran spesifik obat-obat opioid. Kemungkinan untuk terjadinya
ketergantungan fisik tersebut merupakan salah satu alasan utama untuk membatasi
penggunaannya.
Pada dasarnya adiksi morfin menyangkut fenomena berikut: (1) habituasi,
yaitu perubahan psikik dan emosional sehingga pasien ketagihan akan morfin; (2)
ketergantungan fisik, yaitu kebutuhanakan morfin karena faal dan biokimia tubuh
tidak berfungsi lagi tanpa morfin; dan (3) adanya toleransi.
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak terhadap efek
eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara morfin,
dihidromorfinon, metopon, kodein dan heroin. Toleransi timbul setelah 2-3
minggu. Kemungkinan timbulnya lebih besar bila digunakan dosis besar secara
teratur.
Jika pecandu menghentikan penggunaan morfin secara tiba-tiba timbullah
gejala putus obat atau gejala abstinensi. Menjelang saat dibutuhkannya morfin,
pecandu tersebut merasa sakit, gelisah dan iritabe; kemudian tertidur nyenyak.
Sewaktu bangun ia mengeluh seperti akan mati dan lebih gelisah lagi. Pada fase

ini timbul gejala tremor, iritabilitas, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin,


mual, midriasi, demam dan napas ceoat. Gejala ini makin hebat disertai timbulnya
muntah, kolik dan diare. Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah meningkat.
Pasien merasa panas dingin disertai hiperhidrosis. Akibat timbul dehidrasi,
ketosis, asidosis dan berat badan pasien menurun. Kadang-kadang timbul kolaps
kardiovaskular yang bisa berakhir dengan kematian.
Addiction liability atau daya untuk menimbulkan adiksi berbeda-beda untuk
masing-masing obat. Bahay terbesar didapat pada heroin sebab heroin
menimbulkan euforia yang kuat yang tidak disertai mual dan konstipasi. Kodein
paling jarang menimbulkan adiksi karena kodein sedikit sekali menimbulkan
euforia. Untuk menimbulkan adiksi terhadap kodein diperlukan dosis besar.
Dengan dosis besar ini gejala yang tidak menyenangkan sudah terjadi sebelum
timbul adiksi.
Telah terbukti bahwa kemungkinan untuk penyalahgunaan opioid yang
tergolong opioid agonis-antagonis lebih kecil daripada opioid agonis . Demikian
pula dengan opioid yang berkerja selektif sebagai agonis pada reseptor karena
kecil kemungkinannya untuk menimbulkan euforia. Perbedaan potensi untuk
penyalahgunaan perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat untuk terapi.
2.2.7. Interaksi Obat
Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh
fenotiazin, penghambat monoamin oksidase dan antidepresi trisiklik. Mekanisme
supraaditif inti tidak diketahui dengan tepat, mungkin menyangkut perubahan
dalam kecepatan biotransformasi opioid atau perubahan pada neurotransmiter
yang berperan dalam kerja opioid. Beberapa fenotiazin mengurangi jumlah opioid
yang diperlukan untuk menimbulkan tingkat analgesia tertentu. Tetapi efek sedasi
dan depresi napas akibat morfin akan diperberat oleh fenotiazin tertentu, dan
selain itu ada efek hipotensi fenotiazin.
Beberapa derivat fenotiazin meningkatkan efek sedasi, tetapi dalam saat
yang sama bersifat antianalgetik dan meningkatkan jumlah opioid yang
diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Dosis kecil amfetamin meningkatkan efek

analgetik dan euforia morfin dan dapat mengurangi efek sedasinya. Selain itu
didapatkan sinergisme analgetik antara opioid dan obat-obat sejenis aspirin.
2.2.8. Seidaan dan Posologi
Sediaan yang mengandung campuran alkaloid dalam bentuk besar beraneka
ragam dan masih dipakai. Misalnya pulvus opil mengandung 10% morfin dan
kurang dari 0,5% kodein. Pulvus doveri mengandung 10% pulvus opii, maka 150
mg pulvus doveri mengandung 1,5 mg morfin.
Sediaan yang mengandung alkaloid murni dapat digunakan untuk
pemberian oral maupun parenteral. Yang biasa digunakan ialah garam HCL,
garam sulfat atau fosfat alkaloid morfin, dengan kadar 10mg/ml. Pemberian
10mg/70 kbBB morfin subkutan dapat menimbulkan anagesia pada pasien dengan
nyeri yang bersifat sedang hingga berat, misalnya nyeri pascabedah. Efektivitas
morfin peroral hanya 1/6-1/5 kali efektivitas morfin subkutan. Pemberian 60 mg
morfin per oral memberi efek analgetik sedikit lebih lemah dan masa kerja lebih
panjang daripada pemberian 6 mg morfin IM.
Kodein tersedia dalam bentuk basa bebas atau dalam bentuk garam HCL
atau fosfat. Satu tablet mengandung 10,15 atau 30 mg kodein. Efek analgetik yang
ditimbulkan oleh kodein oral kira-kira 1/3 dari efek analgetik yang ditimbulkan
setelah pemberian parenteral. Dosis tunggal 32 mg kodein peroral memberikan
efek sama besar dengan 600 mg asetosal. Pemberian kedua obat ini bersamaan
akan menyebabkan potensiasi. Dosis kodein sebagai antitusif ialah 10 mg untuk
orang dewasa. Dosis ini setara dengan dosis morfin 2-4 mg.
Untuk menimbulkan emesis figunaka 5-20 mg apomorfin subkutan.

Anda mungkin juga menyukai