fenantren,
misalnya
morfin
dan
kodein
dan
(2)
golongan
nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal
seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual
dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi,
sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan
berkurang dan letargi, ekstremitas terasa berat, badan terasa panas, muka gatal dan
mulut terasa kering, depresi napas dan miosis. Rasa nyeri berkurang, rasa lapar
hilang dan dapat timbul muntah yang tidak selalu disertai mual. Dalam
lingkungan yang tenang orang yang diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin
akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, napas dalam lambat dan miosis.
Analgesia. Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi
sebagai akibat kerja opioid pada reseptor . Reseptor xx dan dapat juga ikut
berperan dalam menimbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal. Morfin juga
berkerja melalui reseptor xx dan, namun belum diketahui besarnya peran kerja
morfin melalui kedua resptor ini dalam menimbulkan analgesia. Pentazosin
terutama bekerja pada reseptor , tetapi juga mempunyai afinitas pada reseptor .
Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor
opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan pada
transmis dan modulasi nyeri.
Ketiga jenis reseptor utama yaitu reseptor , , dan xx banyak didapatkan
pada kornu dorsalis medula spinalis. Reseptor didapatkan baik pada saraf yang
mentransmisi nyeri di medula spinalis maupun pada aferen primer yang merelai
nyeri. Agonis opioid melalui resptor , , dan x pada ujung prasinaps aferen
primer
nosiseptif
mengurangi
penglepasan
transmiter,
dan
selanjutnya
pada kucing tanpa korteks serebri (decorticated cat), maka efek ini tidak dapat
disamakan dengan eksitasi yang terjadi pada stadium II anestetik umum.
Miosis. Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang berkerja pada reseptor
dan menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada
segmen otonom inti saraf okulomotor. Miosis ini dapat dilawan oleh atropin dan
skopolamin. Pada intoksikasi morfin, pin point pupils merupakan gejala yang
khas. Dilatasi berlebihan hanya timbul pada stadium akhir intoksikasi morfin,
yaitu jika sudah ada asfiksia. Meskipun toleransi ringan dapat terjadi akan tetapi
pasien adiksi dengan kadar opioid dalam sirkulasi tinggi akan selalu mengalami
miosis. Morfin dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan
tekanan intraokuler, baik pada orang normal maupun pada pasien glaukoma.
Depresi napas.
juga dihidromorfin lebih kecil daripada efek emetik morfin. Obat emetik lain tidak
efektif setelah pemberian morfin.
Derivat fenotiazin, yang merupakan blocker dopamin kuat dapat mengatasi
ual dan mutah akibat morfin.
Dengan dosis terapi (15 mg morfin subkutan) pad apasien yang berbaring,
jarang terjadi mual dan muntah, tetapi 40% pasien berobat jalan mengalami mual
dan 15% pasien mengalami muntah. Efek mual muntah akibat morfin diperkuat
oleh stimulasi vestibular, sebalinya analgetik opioid sintetik meningkatkan
sensitivitas vestibular. Obat-obat yang bermanfaat untuk motion sickness kadangkadang dapat menolong mual akibat opioid pada pasien berobat jalan.
Saluran cerna. Morfin berefek langsung pada saluran cerna, bukan melalui
efeknya pada SSP.
Lambung. Morfin menghambat sekresi HCL, tetapi efek ini lemah.
Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian
antrum meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus
berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat.
Perlambatan ini disebabkan juga oleh peninggian tonus duodenum. Pemotongan
saraf ekstrinsik lambung tidak mempengaruhi efek terhadap lambung ini. Pada
manusia peninggian tonus otot polos lambung oleh morfin sedikit diperkecil oleh
atropin.
Usus Halus. Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankras, dan
memperlrambat pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia, morfin
mengurangi kontraksi propulsif, meningkatkan tonus dan spasme periodik usus
halus. Efek morfin ini lebih jelas terlihat pada duodenum. Penerusan isi usus yang
lambat disertai sempurnanya absorbsi air menyebabkan isi usus menjadi lebih
padat. Tonus valvula ileosaekalis juga meninggi. Atropin dosis besar tidak lengkap
melawan efek morfin ini.
Usus Besar. Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus
besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar; akibatnya
penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras. Daya persepsi
korteks telah dipengaruhi morfin sehingga pasien tidak merasakan kebutuhan
untuk defekasi. Walaupun tidak lengkap, efek morfin pada kolon dapat
diantagonis oleh atropin. Efek konstipasi kodein lemah dari pada morfin.
Pencandu opioid terus menerus menderita periode konstipasi dan idare secara
bergantian, karena tidak terjadi toleransi terhadap konstipasi opioid.
Duktus Koledokus. Dosis terapi morfin, kodein, dihidromorfinon dan
metilhidromorfinon menimbulkan peninggian tekanana dalam duktus koledous;
dan efek ini dapat menetap selama 2 jam atau lebih. Keadaa ini sering disertai
perasaan tidak enak di epigastrium sampai gejala kolik berat. Menghilangkan
nyeri setelah pemberian morfin pada pasien kolok empedu disebabkan oleh efek
sentral morfin, namun pada beberapa pasien justru mengalami eksaserbasi nyeri.
Pada pemeriksaan radiografis terlihat konstriksi sfingter oddi. Atropin
menghilngkan sebagian spasme ini. Pemberian nalorfin, aminiltrit, dan aminofilin
IV akan meniadakan spasme saluran empedu oleh morfin.
Sistem
Kardiovaskular.
Pemberian
morfin
dosis
terapi
tidak
harus digunakan dengan sangat hati-hati pada pasien korpulmonal, sebab dapat
menyebabkan kematian.
Otot Polos Lain. Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudi serta
kontraksi ureter dan kandung kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan
pemberian 0,6 mg atropin subkutan. Hilangnya rasa nyeri pada kolik ginjal
disebabkan oleh efek analgetik morfin. Peninggian tonus otot detrusor
menimbulkan rasa ingin miksi, tetapi karena sfingter juga berkontraksi maka
miksi sukar. Morfin dapat menimbulkan bronkokonstriksi, tetapi pada dosis terapi
efek ini jarang timbul. Morfin memperlambat berlangsungnya partus. Pada uterus
aterm morfin menyebabkan interval antar-kontraksi lebih besar dan netralisasi
efek oksitosin. Morfin merendahkan tonus uterus pada masa haid dan
menyebabkan uterus lebih tahan terhadap regangan. Mungkin atas dasar ini
morfin mengurangi nyeri dismenore.
Kulit. Dalam dosis terapi, morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah
kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area (muka,
leher, dan dada bagian atas). Keadaan tersebut mungkin sebagian disebabkan oleh
pelepasan histamin oleh morfin dan seringkali disertai dengan kulit yang
berkeringat. Pruritus kadang-kadang dapat terjadi mungkin akibat penglepasan
histamin atau pengaruh langsung morfin pada saraf.
Metabolisme. Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot
menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP.
Kecepatan metabolisme dikurangi oleh morfin. Hiperglikemia timbul tidak tetap
akibat penglepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Setelah
pemberian morfin volume urin berkurang, disebabkan merendahnya laju filtrasi
glomerulus, alir darah ginjal, dan penglepasan ADH. Hipotiroidisme dan
insufisiensi adrenokortikal meningkatkan kepekaan orang terhadap morfin.
Lain-lain. Opioid memodulasi sistem imun dengan mempengaruhi
proliferasi limfosit, pembentukan antibodi, dan kemotaksis.
2.2.3. Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorbsi melalui
kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian
ini absorbsi morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorbsi usus, tetapi efek
analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik yanng
timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja alkaloid
opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan,
absorbsi berbagai alkaloid opioid berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal,
sebagian morfin mengalami konygasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian
dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Morfin dapat
melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin. Eksresi morfin terutama melalui
ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan dalam keringat.
Morfin yang terkonyugasi ditemukan dalam empedu. Sebagian yang sangat kecil
dikeluarkan bersama cairan lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO 2. CO2 ini dikeluarkan
oleh paru-paru. Sebagai kodein mengalami N-demetilasi. Urin mengandung
bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari kodein, narkodein, dan morfin.
2.2.4. Indikasi
Terhadap nyeri. Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk
meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan
analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan.
Untunglah pada nyeri hebat depresi napas oleh morfin jarang terjadi, sebab nyaeri
menrupakan antidotum fisiologik bagi efek depresi napas morfin.
Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai: 1) infark miokard; 2)
neoplasma; 3) kolik renal atau kolik empedu; 4) oklusio akut pembuluh darah
perifer, pulmonal atau koroner; 5) perikarditis akutt, pleuritis dan pneumotoraks
spontan; dan 6) nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri
pascabedah. Sebagai medikasi praanestetik, morfin sebaiknya hanya diberikan
pada pasien yang sedang menderita nyeri. Bila tidak ada nyeri dan obat
praanastetik hanya dimaksudkan untuk menimbulkan ketenangan dan tidur, lebih
baik digunakan pentobarbital atau diazepam.
Terhadap
Kantuk.
Penghambat
refleks
batuk
dapat
mungkin sekali disertai nyeri. Akan tetapi dewasa ini penggunaan analgsik opioid
untuk mengatasi batuk telah banyaj ditinggalkan karena telah banyak obat-obat
sintetik lain yang efektif dan tidak menimbulkan adiksi.
Edema
paru
akut.
Morfin
intravena
dapat
dengan
jelas
CO2 plasma telah berkurang. Pembebanan lebih lanhut dalam bentuk depresi oleh
morfin dapat membahayakan.
Intoksikasi Akut. Intoksikasi akut morfin atau opioid biasanya terjadi
akibat percobaan bunuh diri atau pada takar lajak. Pasien akan tidur, sopor atau
koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi napas lambat, 2-4 kali/menit, dan
perna[asan mungkin berupa cheyne stokes. Pasien sianotik, kulit muka merah
tidak merata dan agak kebiruan. Tekanan darah yang mula-mula baik akan
menurun sampai terjadi syok bila napas memburuk, dan ini dapat diperbaiki
dengan pemberian oksigen. Pupil sangan kecil (pin point puppils), kemudian
midriasis jika telah tejadi anoksia. Pembentukan urin sangat berkurang karena
terjadi penglepasan ADH dan turunya tekanan darah. Suhu badan rendah,
mandbula dalam keadaan relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada
bayi mungkin timbul konvulsi. Kematian biasanya disebabkna oleh depresi napas
2.2.6. Toleransi, Adiksi dan Abuse
Terjadinya toleransi dam ketergantungan fisik setelah penggunaan berulang
merupakan gambaran spesifik obat-obat opioid. Kemungkinan untuk terjadinya
ketergantungan fisik tersebut merupakan salah satu alasan utama untuk membatasi
penggunaannya.
Pada dasarnya adiksi morfin menyangkut fenomena berikut: (1) habituasi,
yaitu perubahan psikik dan emosional sehingga pasien ketagihan akan morfin; (2)
ketergantungan fisik, yaitu kebutuhanakan morfin karena faal dan biokimia tubuh
tidak berfungsi lagi tanpa morfin; dan (3) adanya toleransi.
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak terhadap efek
eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara morfin,
dihidromorfinon, metopon, kodein dan heroin. Toleransi timbul setelah 2-3
minggu. Kemungkinan timbulnya lebih besar bila digunakan dosis besar secara
teratur.
Jika pecandu menghentikan penggunaan morfin secara tiba-tiba timbullah
gejala putus obat atau gejala abstinensi. Menjelang saat dibutuhkannya morfin,
pecandu tersebut merasa sakit, gelisah dan iritabe; kemudian tertidur nyenyak.
Sewaktu bangun ia mengeluh seperti akan mati dan lebih gelisah lagi. Pada fase
analgetik dan euforia morfin dan dapat mengurangi efek sedasinya. Selain itu
didapatkan sinergisme analgetik antara opioid dan obat-obat sejenis aspirin.
2.2.8. Seidaan dan Posologi
Sediaan yang mengandung campuran alkaloid dalam bentuk besar beraneka
ragam dan masih dipakai. Misalnya pulvus opil mengandung 10% morfin dan
kurang dari 0,5% kodein. Pulvus doveri mengandung 10% pulvus opii, maka 150
mg pulvus doveri mengandung 1,5 mg morfin.
Sediaan yang mengandung alkaloid murni dapat digunakan untuk
pemberian oral maupun parenteral. Yang biasa digunakan ialah garam HCL,
garam sulfat atau fosfat alkaloid morfin, dengan kadar 10mg/ml. Pemberian
10mg/70 kbBB morfin subkutan dapat menimbulkan anagesia pada pasien dengan
nyeri yang bersifat sedang hingga berat, misalnya nyeri pascabedah. Efektivitas
morfin peroral hanya 1/6-1/5 kali efektivitas morfin subkutan. Pemberian 60 mg
morfin per oral memberi efek analgetik sedikit lebih lemah dan masa kerja lebih
panjang daripada pemberian 6 mg morfin IM.
Kodein tersedia dalam bentuk basa bebas atau dalam bentuk garam HCL
atau fosfat. Satu tablet mengandung 10,15 atau 30 mg kodein. Efek analgetik yang
ditimbulkan oleh kodein oral kira-kira 1/3 dari efek analgetik yang ditimbulkan
setelah pemberian parenteral. Dosis tunggal 32 mg kodein peroral memberikan
efek sama besar dengan 600 mg asetosal. Pemberian kedua obat ini bersamaan
akan menyebabkan potensiasi. Dosis kodein sebagai antitusif ialah 10 mg untuk
orang dewasa. Dosis ini setara dengan dosis morfin 2-4 mg.
Untuk menimbulkan emesis figunaka 5-20 mg apomorfin subkutan.