Anda di halaman 1dari 18

2.

Analgetik opioid
Analgetik opoid merupakan golongan obat yang memiliki sifat seperti opium/morfin. Sifat
dari analgesik opiad yaitu menimbulkan adiksi: habituasi dan ketergantungan fisik. Oleh
karena itu, diperlukan usaha untuk mendapatkan analgesik ideal:
1. Potensi analgesik yg sama kuat dengan morfin
2. Tanpa bahaya adiksi

- Obat yang berasal dari opium-morfin


- Senyawa semisintetik morfin
- Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin

Analgetik opioid mempunyai daya penghalang nyeri yang sangat kuat dengan titik kerja
yang terletak di susunan syaraf pusat (SSP). Umumnya dapat mengurangi kesadaran dan
menimbulkan perasaan nyaman (euforia).. Analgetik opioid ini merupakan pereda nyeri
yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.

Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh sendiri (endogen), terutama
dalam batang otak dan sumsum tulang belakang yang mempersulit penerusan impuls nyeri.
Dengan sistem ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan, misalnya luka
pada kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru disadari beberapa saat
kemudian. Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut opioid
endogen. Beberapa senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri endogen antara lain:
enkefalin, endorfin, dan dinorfin.

Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh seperti fluktuasi
hormonal, produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan, dan
pengembangan toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid endogen mengatur
homeostatis, mengaplifikasi sinyal dari permukaan tubuk ke otak, dan bertindak juga
sebagai neuromodulator dari respon tubuh terhadap rangsang eksternal.

Baik opioid endogen dan analgesik opioid bekerja pada reseptor opioid, berbeda dengan
analgesik nonopioid yang target aksinya pada enzim. Ada beberapa jenis Reseptor opioid
yang telah diketahui dan diteliti, yaitu reseptor opioid μ, κ, σ, δ, ε. (dan yang terbaru
ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially called the opioid-receptor-like 1 (ORL-1)
receptor or “orphan” opioid receptor dan e-receptor, namun belum jelas fungsinya).
Reseptor μ memediasi efek analgesik dan euforia dari opioid, dan ketergantungan fisik dari
opioid. Sedangkan reseptor μ 2 memediasi efek depresan pernafasan.
Reseptor δ yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi efek analgesik
dan berhubungan dengan toleransi terhadap μ opioid. reseptor κ telah diketahui dan
berperan dalam efek analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor opioid ini tersebar
dalam otak dan sumsum tulang belakang. Reseptor δ dan reseptor κ menunjukan
selektifitas untuk ekekfalin dan dinorfin, sedangkan reseptor μ selektif untuk opioid
analgesic.

Mekanisme umumnya :
Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam
sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+
ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya
pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar nyeri, seperti
contohnya substansi P, dan mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.
Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid diantaranya:
• Analgesik
• medullary effect
• Miosis
• immune function and Histamine
• Antitussive effect
• Hypothalamic effect
• GI effect
Efek samping yang dapat terjadi:
• Toleransi dan ketergantungan
• Depresi pernafasan
• Hipotensi
• dll
Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid, analgetik opioid dibagi menjadi:
1. Agonis opioid menyerupai morfin (pada reseptor μ, κ). Contoh: Morfin, fentanil
2. Antagonis opioid. Contoh: Nalokson
3. Menurunkan ambang nyeri pd pasien yg ambang nyerinya tinggi
4. Opioid dengan kerja campur. Contoh: Nalorfin, pentazosin, buprenorfin, malbufin,
butorfanol
Obat-obat Opioid Analgesics ( Generic name )
Alfentanil, Benzonatate, Buprenorphine, Butorphanol, Codeine, Dextromethorphan
Dezocine, Difenoxin, Dihydrocodeine, Diphenoxylate, Fentanyl, Heroin Hydrocodone,
Hydromorphone, LAAM, Levopropoxyphene, Levorphanol Loperamide, Meperidine,
Methadone, Morphine, Nalbuphine, Nalmefene, Naloxone, Naltrexone, Noscapine
Oxycodone, Oxymorphone, Pentazocine, Propoxyphene , Sufentanil.

Deskripsi Obat Analgesik opioid


1. Agonis Kuat
a. Fenantren
Morfin, Hidromorfin, dan oksimorfon merupakan agonis kuat yang bermanfaat dalam
pengobatan nyeri hebat. Heroin adalah agonis yang kuat dan bekerja cepat.
b. Fenilheptilamin
Metadon mempunyai profil sama dengan morfin tetapi masa kerjanya sedikit lebih panjang.
Dalam keadaan nyeri akut, potensi analgesik dan efikasinya paling tidak sebanding dengan
morfin. Levometadil asetat merupakan turunan Metadon yang mempunyai waktu paruh
lebih panjang daripada metadon
c. Fenilpiperidin
Meperidin dan Fentanil adalah yang paling luas digunakan diantara opioid sintetik yang ada
,mempunyai efek antimuskarinik. Subgrup fentanil yang sekarang terdiri dari sufentanil dan
alventanil.
d. Morfinan
Levorfanol adalah preparat analgesik opioid sintetik yang kerjanya mirip dengan morfin
namun manfaatnya tidak menguntungkan dari morfin.

2. Agonis Ringan sampai sedang


a. Fenantren
Kodein, Oksikodoa, dihidrokodein, dan hidrokodon, semuanya mempunyai efikasi yang
kurang dibanding morfin, atau efek sampingnya membatasi dosis maksimum yang dapat
diberikan untuk memperoleh efek analgesik yang sebanding dengan morfin, penggunaan
dengan kombinasi dalam formulasi-formulasi yang mengandung aspirin atau asetaminofen
dan obat-obat lain.
b. Fenilheptilamin
Propoksifen aktivitas analgesiknya rendah, misalnya 120 mg propoksifen= 60 mg kodein
c. Fenilpiperidin
Difenoksilat dan metabolitnya, difenoksin digunakan sebagai obat diare dan tidak untuk
analgesik, digunakan sebagai kombinasi dengan atropin.
Loperamid adalah turunan fenilpiperidin yang digunakan untuk mengontrol diare.Potensi
disalahgunakan rendah karena kemampuannya rendah untuk masuk ke dalam otak.
3. Mixed Opioid Agonist–Antagonists or Partial Agonists
a. Fenantren
Nalbufin adalah agonis kuat reseptor kapa dan antagonis reseptor mu. Pada dosis tinggi
terjadi depresi pernafasan.
Buprenorfin adalah turunan fenantren yang kuat dan bekerja lama dan merupakan suatu
agonis parsial reseptor mu. Penggunaan klinik lebih banyak menyerupai nalbufin,
mendetoksifikasi dan mempertahankan penderita penyalahgunaan heroin.
b. Morfinan
Butorfanol efek analgesik ekivalen dengan nalbufin dan buprenorfin, tetapi menghasilkan
efek sedasi pada dosis ekivalen, merupakan suatu agonis reseptor kapa.
c. Benzomorfan
Pentazosin adalah agonis reseptor kapa dengan sifat-sifat antagonis reseptor mu yang
lemah. Obat ini merupakan preparat campuran agonis-antagonis yang tertua.
Dezosin adalah senyawa yang struktur kimianya berhubungan dengan pentazosin,
mempunyai aktivitas yang kuat terhadap reseptor mu dan kurang bereaksi dengan reseptor
kappa, mempunyai efikasi yang ekivalen dengan morfin.
4. Antagonis Opioid
Nalokson dan Naltrekson merupakan turunan morfin dengan gugusan pengganti pada
posisi N, mempunyai afinitas tinggi untuk berikatan dengan reseptor mu, dan afinitasnya
kurang berikatan dengan reseptor lain. Penggunan utama nalokson adalah untuk
pengobatan keracunan akut opioid, masa kerja nalokson relatif singkat, sedangkan
naltrekson masa kerjanya panjang, untuk program pengobatan penderita pecandu. Individu
yang mengalami depresi akut akibat kelebihan dosis suatu opioid, antagonis akan efektif
menormalkan pernapasan, tingkat kesadaran, ukuran pupil aktivitas usus, dan lain-lain.
5. Drugs Used Predominantly as Antitussives
Analgesic opioid adalah obat yang paling efektif dari semua analgesic yang ada untuk
menekan batuk. Efek ini dicapai pada dosis dibawah dari dosis yang diperlukan untuk
menghasilkan efek analgesik. Contoh obatnya adalah Dekstrometrofan, Kodein,
Levopropoksifen.

Kata opium berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata juice (sari); sari dari tanaman opium
merupakan sumber dari 20 jenis alkaloid opium. Opiate adalah istilah yang digunakan untuk
obat yang berasal dari opim. Morfin ditemukan pada tahun 1803, diikuti dengan ditemukannya
kodein pada tahun 1832 dan papaverin pada tahun 1848. Morfin dapat dibuat sendiri, tetapi
lebih mudah jika dibuat dari opium. Istilah narkotik berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata
stupor dan dahulu digunakan untuk analgesia kuat yang mirip morfin yang potensial untuk
menghasilkan ketergantungan fisik. Perkembangan obat sintetik dengan zat-zat yang mirip
mofin telah mengarahkan pada penggunaan istilah opiod yang mewakili semua zat-zat
eksogen, alami, dan sintetik, yang berikatan khusus pada sejumlah jenis reseptor opioid dan
menghasilkan sekurang-kurangnya beberapa efek agonis yang mirip morfin. Opioid secara unik
menghasilkan efek analgesia tanpa kehilangan rasa sentuh, proprioseptif, atau kesadaran.
Suatu klassifikasi yang sesuai dari opioid antara lain opioid agonis, opioid agonis-antagonis,
dan opioid antagonis (Tabel 3-1).

STRUKTUR HUBUNGAN AKTIVITAS


Alkaloid dari opium dapat dibagi kedalam dua kelas kimia yang berbeda : phenanthhrene dan
benzylisoquimoline. Prinsisp alkaloid phenanthhrene yang terdapat pada opim adalah morfin,
kodein dan thebaine (Gambar 3-1). Prinsip alkaloid benzylisoquimoline yang tedapat pada
opium, dengan kerja opiod yang kerang, adalah papaverin, dan noskapin (Gambar 3-2).
Tiga cincin dari nucleus phenanthhrene terdari dari 14 atom karbon (lihat gambar 3-1). Cincin
keempat dari piperidine temasuk suatu nitrogen amin tersier dan terdapat pada sebagian besar
opioid agonis. Pada pH 7,4, nitrogen amin tersier sangat terionisasi, membuat molekul yang
larut dalam air. Suatu hubungan yang erat terjadi antara struktur stereokimia dan kekuatan
opiod, dengan isomer levorotasi yang kebanyakan bekerja.

Opioid Semisintetik
Opioid semisintetik dibuat dari modifikasi yang relatif sederhana pada molekul morfin (lihat
gambar 3-1). Sebagai contoh, substitusi pada suatu kelompok metil untuk kelompok hidroksil
pada karbon 3 yang ditemukan pada metilmorfin (kodein). Substitusi kelompok asetil pada
karbon 3 dan 5 yang ditemukan pada diasetilmorfin (heroin). Thebaine memiliki aktivitas
analgesik yang tidak signifikan tetapi bekerja sebagai precursor pada etorfin (kekuatan
analgesic > 1.000 kali dari morfin).

Opioid sintetik
Opiod sintetik mengandung nucleus phenanthhrene dari morfin tetapi dibuat secara sintesis
dibandingkan modifikasi kimiawi dari morfin. Derivate morfin (levorphanol), derivate methadone,
derivate bezomorphan (pentazocine), dan derivate phenylpiperidine (meperidine, fentanil)
merupakan contoh dari kelompok opioid sintetik. Terdapat kesamaan pada berat molekul (236
sampai 326) dan pKs pada derivate phenylpiperidine dan obat anestesi lokal amide.
Fentanil, sufentanil, alfentanil dan ramifentanil adalah opiod semisintetik yang digunakan secara
luas untuk cadangan anestesi umum atau sebagai obat anestesi utama pada dosis yang sangat
tinggi selama pembedahan jantung. Terdapat perbedaan farmakokonetik dan farmakodinamik
yang penting antara opioid ini (Burkle dkk,1996; Egan dkk,1993; Shafer dan Varvel,1991).
Perbedaan farmakodinamik utama antara obat ini adalah dari segi kekuatan dan kecepatan
proses penyeimbangan antara plasma dan tempat efek obat (biofase).
Tabel 3–1
Klasifikasi opioid agonist dan antagonist
Opioids Opoid agonist-antagonist Opioid antagonist
Morphine
Morphine-6-glucoronide
Meperidine
Sufentanil
Fentanyl
Alfentanil
Remifentanil
Codeine
Hydromorphone
Oxymorphone
Oxycodone
Hydrocodone
Propoxyphene
Methadone
Tramadol
Heroin Pentazocine
Butorphanol
Nalbuphine
Buprenorphine
Nalorphine
Bremazocine
Dezocine
Meptazinol Naloxone
Naltrexone
Nalmefene

MEKANISME KERJA
Opioid bekerja sebagai agonis pada reseptor opioid sterespesifik pada tempat presinaps dan
postsinaps pada system saraf pusat (SSP) (utamanya di batang otak dan korda spinalis) dan
dilluar SSP pada jaringan perifer (Pleuvry,1993; Stein,1993; Stein,1995). Keadaan hiperalgesik
inflamasi tampak dapat diterima secara khusus pada kerja antinisiseptif opioid perifer.
Mekanisme yang paling mungkin pada kerja perifer ini tampaknya menjadi aktivasi pada
reseptor opioid yang berlokasi pada saraf aferen primer. Reseptor opioid yang sama secara
normal diaktivasi oleh tiga ligand reseptor opioid peptide endogen yang dikenal dengan
enkephalin, endorphin dan dynorphin. Opioid menyerupai kerja dari ligan endogen ini melalui
ikatan pada resptor opioid, yang terjadi dalam aktivasi sistem modulasi nyeri (antinosesptif).
Keberadaan opioid ini dalam keadaan terionisasi tampaknya penting untuk ikatan yang kuat
pada tempat reseptor opioid anionik. Hanya bentuk levorotasi pada opioid menunjukkan
aktivitas agonis. Tentu saja, secara alami terjadi dari morfin adalah isomer lavorotasi. Afinitas
pada kebanyakan opioid agonis untuk reseptor berhubungan baik dengan kekuatan
analgesiknya.
Efek utama pada aktivasi reseptor opioid adalah suatu penurunan pada neurotransmisi
(Atecheson dan Lambert,1994; de Leon-Casasola dan Lema,1996). Penurunan pada
neorotansmisi terjadi secara luas melaui inhibisi presinaps pada pelepasan neurotransmitter
(asetilkolin, dopamis, norepinefrin, substansi P), meskipun inhibisi postsinaps pada
pembangkitan aktivitas mungkin juga terjadi. Keadaan biokimia intraseluler diawali dengan
okupasi pada reseptor opioid dengan suatu opioid agonis yang ditandai dengan peningkatan
daya hantaran kalium (mengarah pada hiperpolarisasi), inaktivasi kalsium channel, atau
keduanya, yang menimbulkan suatu penurunan awal pada pelepasan neurotransmitter. Inhibisi
yang dimediasi oleh reseptor opioid pada adenilat siklase tidak bertanggung jawab untuk suatu
efek awal tetapi mungkin memiliki suatu efek yang tertunda, kemungkinan melalui suatu reduksi
pada gen neuropeptida responsive cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan reduksi pada
konsentrasi neuropeptida messenger RNA. Reseptor opioid terdaat pada ujung perifer pada
saraf feren primer dan aktivasinya baik pada penurunan neurotansitter secara langsung
maupun penghambatan pelepasan neurotransmitter yang mengeksitasi, seperti substansi P.
Berkenaan dengan hal ini, morfin intraartikuler (3 mg) menimbulkan analgesia yang memanjang
setelah pembedahan lutut arthroskopik (Heine skk,1994). Penekanan pada transmisi kolinergik
pada SSP sebagai suatu hasil dari inhibisi pelepasan asetilkolin yang diinduksi oleh opioid dari
ujung saraf mungkin memainkan suatu peranan penting pada analgesik dan efek samping lain
pada opioid agonis. Opioid tidak mengubah reseptor respon pada ujung saraf aferen pasa
stimulasi nyeri, tidak pula mengganggu konduksi pada impuls saraf sepanjang saraf perifer.
Terdapat perkiraan bahwa peningkatan kedudukan reseptor opioid sesuai dengan efek opioid.
Table 3–2
Klasifikasi reseptor opioid
Mu1# Mu2# Kappa Delta
Efek Analgesia (supraspinal,spinal)
Euphoria
Low abuse potential
Miosis
Bradikardi
Hypothermi
Retensi urin Analgesia (spinal)
Tekanan ventilasi
Ketergantungan fisik
Konstipasi (jelas)
Analgesia (supraspinal,spinal)
Dysphoria, sedasi
Low abuse potential
Miosis Analgesia (supraspinal,spinal)
Tekanan ventilasi
Ketergantungan fisik
Konstipasi (minimal)

Agonist Endorphins*
Morphine
Opioid sintetic Endorphins*
Morphine
Opioid sintetic Dynorphins Enkephalins
Antagonist Naloxone
Naltrexone
Nalmefene Naloxone
Naltrexone
Nalmefene Naloxone
Naltrexone
Nalmefene Naloxone
Naltrexone
Nalmefene

• Keberadaan reseptor spesifik mu1 dan mu2 tidak mendukung dasar pada penelitian cloning
pada reseptor mu.
• Reseptor mu tampaknya menjadi suatu tempat kerja universal untuk semua reseptor opioid
endogen.
• Sumber : dikutip dari Atcheson R, Lambert DG. Update on opioid receptor. Br J Anaesth
1994;73:132-134.

RESEPTOR OPIOD
Reseptor opioid diklassifikasikan sebagai reseptor mu, delta, dan kappa (MOR, DOR, dan KOR
secara berturut-turut) (Atchson dan Lambert,1994; Lambert 1998) (Tabel 3-2). Reseptor opioid
menjadi suatu keluarga besar dari reseptor protein guanine (G) yang berpasangan yang
menyusun 80 % dari semua resptor yang dikenal dan termasuk muskarinik, adrenergik, asam
gamma-aminobutirat, dan reseptor somatostatin. Reseptor opioid telah dikloning dan
rangakaian asam aminonya yang ditemukan (Chen dkk,1993). Suatu gen reseptor mu tunggal
telah diidentifikasi dan 6 reseptor mu yang nyata telah diidentifikasi. Terdapat kemungkinan
bahwa reseptor morfin-6-glukoronide yang nyata tampak sebagai jenis pada gen reseptor mu.
Cloning reseptor opioid mengenalkan terdapat kemungkinan untuk perkembangan yang sangat
selektif dan subtype reseptor agonis khusus. Suatu opioid agonis yang ideal akan memiliki
suatu kekhususan yang sangat tinggi pada reseptor, meghasilkan respon yang diinginkan
(analgesia) dan sedikit atau tidak ada kekhususan untuk reseptor yang berkaitan dengan efek
samping (hipoventilasi, mula, ketergantungan fisik).
Ketiga kelas reseptor opioid berasangan dengan protein G kemudian menghambat
adenilsiklase, menurunkan hantaran pada voltage-gated kalsium channel, atau membuka aliran
kedalam kalium channel. Beberapa efek ini akhirnya terjadi pada penurunan aktivitas saraf.
Reseptor opioid juga memodulasi kaskade signaling phosphoinositide dan phospholipase C.
Pencegahan perpindahan ion kalsium berakibat pada penekanan pelepasan neurotransmitter
(substansi P) di banyak system saraf. Hiperpolarisasi terjadi dari kerja pada kalium channel
yang kemudian mencegah eksitasi atau perambatan pada aksi potensial. Reseptor opioid
mungkin mengatur fungsi pada channel ion lain termasuk arus eksitasi postsinaps yang
dibangkitkan oleh reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA).
Reseptor mu atau reseptor morfin yang lebih dipilih berperan penting pada analgesia
supraspinal dan analgesia spinal. Akivasi pada subpopulasi reseptor mu (mu1) dipertimbangkan
untuk menimbulkan analgesia, sedangkan reseptor mu2 bertanggunga jawab pada
hipoventilasi, bradikardia, dan ketergantungan fisik. Nemun, cloning reseptor mu tidak
mendukung terjadinya pemisahan subtype reseptor mu1 dan mu2 (Lambert,1998). Terdapat
kemungkinan bahwa subtype ini berasal dari modifikasi postranslasi pada suatu protein biasa.
Apakah beta-endorfin atau reseptor mu bersifat spekulatif (Kostelitz, 1987). Endorphin
merupakan peptide dengan afinitas yang tinggi dan selektivitas untuk reseptor mu yang
terdapat di otak. Reseptor agonis eksogen mu termasuk morfin, meperidine, fentanil, sufentanil,
alfentanil, dan remifentanil. Naloxone adalah suatu reseptor antagonis mu spesifik, juga
terpasang tetapi tidak mengaktivasi reseptor.
Agonis, termasuk ligand dynorphin endogen, bekerja pada reseptor kappa, mengakibatkan
inhibisi pelepasan neurotransmitter melalui kalsium channel tipe N. tanda depresi pernapasan
pada aktivasi reseptor mu kurang dibandingkan pada aktivasi reseptor kappa meskupin disforia
dan dieresis mungkin terjadi setelah aktivasi reseptor yang berikatan dengan kalsium channel
ini. Selain itu, stimulasi nyeri dengan intensitas tinggi mungkin menjadi resisten terhadap efek
analgesik pada reseptor kappa. Reseptor delta berespon pada ligand endogen yang dikenal
dengan enkephalins, dan reseptor opioid ini mungkin bekerja untuk memodulasi aktivitas
reseptor mu.
Sistem Penekanan Nyeri Endogen
Peranan yang nyata pada reseptor opioid dan endorphin adalah agar berfungsi sebagai suatu
system penekanan nyeri endogen (lihat Chapter 43). Reseptor opioid berlokasi di daerah di otak
(periaquaduktus gray matter pada batang otak, amigdala, korpus striatum, dan hipotalamus)
dan korda spinalis (substansi gelatinosa) yang terlibat dengan persepsi nyeri, integrasi pada
impuls nyeri, dan berespon terhadap nyeri. Terdapat spekulasi bahwa endorphin menghambat
pelepasan neurotransmitter eksitasi dari ujung saraf yang membawa impuls nososeptif. Sebagai
suatu akibat, saraf yang hiperpolarisasi, yang menekan penghambatan spontan dan
membangkitkan respon. Analgesia diinduksi oleh stimulasi mekanik pada tempat khusus di otak
atau stimulasi mekanik di daerah perifer (akupunktur) tampaknya paling menggambarkan
pelepasan endorphin (Pomeranz dan Chiu,1976). Jika respon analgesia pada suatu placebo
mungkin juga melibatkan pelepasan endorphin. Setelah sekitar umur 60 tahun, pasien
mengalami suatu penurunan sensitivitas terhadap nyeri dan suatu penambahan respon
analgesik terhadap opioid (Bellville dkk,1971).

OPIOID NEURAXIAL
Pemberian opioid pada ruang epidural atau subrakhnoid untuk menangani nyeri akut atau
kronik didasarkan pada pengetahuan bahwa reseptor opioid (khususnya reseptor mu) yang
berada di subtansia gelatinosa di korda spinalis (Cousins, dan Mather,1984). Analgesia yang
dihasilkan oleh opioid neuraxial, berlawanan dengan pemberian opioid secara intravena (IV)
atau anesthesia regional dengan anestesi lokal, yang tidak berhubungan dengan denervasi
sistem saraf simpatis, kelemahan otot skelet, atau hilangnya proprioseptif. Analgesia yang
berkaitan dengan dosis (dosis epidural adalah 5 sampai 10 kali dosis subarakhnoid) dan khusus
untuk nyeri visceral bukan pada nyeri somatic. Morfin neuraxial dapat menurunkan minimum
alveolar consentration (MAC) pada obat anestesi yang mudah menguap, meskipun tidak semua
ahli menemukan efek ini (Drasner dkk, 1988;Licina dkk,1991; Schwieger dkk,1992).
Analgesia yang terjadi setelah pemberian opioid secara epidural menunjukkan difusi obat ini
melintasi duramater untuk mendapatkan akses pada reseptor opioid mu pada korda spinalis
seperti halnya pada absorpsi sistemik untuk menghasilkan efek yang sama pada yang akan
diikuti dengan pemberian opioid secara intravena (IV). sebagai contoh, mekanisme analgesia
postoperative dihasilkan melalui pemberian opioid yang sangat lipofilik secara epidural
(fentanyl, sufentanil) yang utamanya menggambarkan absorpsi sistemik (de Leon-Casasola dan
Lema,1996). Pada kenyataannya, hal ini diusulkan bahwa pemberian opioid lipofilik secara
epidural mungkin tidak memberikan keuntungan klinik pada pemberian secara intravena (de
Leon-Casasola dan Lema,1996). Opioid yang kurang larut dalam lemak sperti morfin
mengakibatkan onset analgesia yang lebih lambat tetapi dengan durasi kerja yang lebih lama
dibandingkan dengan opioid yang larut dalam lemak jika diberikan melalui jalur neuraxial.
Farmakokinetik
Opioid ditempatkan di ruang epidural dapat menjalani pengambilan kedalam lemak epidural,
diabsorpsi secara sistemik, atau berdifusi melintasi duramater kedalam cairan serebrospinal
(CSS) (Chaney,1995). Pemberian opioid secara epidural menimbulkan pertimbangan
konsentrasi CSS pada obat. Penetrasi ke duramater dipertimbangkan akan dipengaruhi oleh
kelarutan terhadap lemak, tetapi berat molekul juga mungkin merupakan pertimbangan penting.
Fentanyl dan sufentanil secara berturut-turut , adalah sekitar 800 dan 1.600 kali kelarutan lemak
morfin. Setelah pemberian secara epidural, konsentrasi CSS pada puncak kerja fentanyl adalah
sekitar 20 menit dan sufentanil sekitar 6 menit. Berbeda halnya dengan konsentrasi CSS pada
morfin, setelah pemberian secara epidural, berada di puncak dalam 1 sampai 4 jam. Oleh
karena itu, hanya sekitar 3 % dari dosis morfin yang diberikan secara epidural yang melintasi
duramater dan masuk ke CSS (Ionescu dkk,1989).
Ruang epidural yang mengandung suatu pleksus vena yang luas dan absorpsi opioid pada
pembuluh darah dari ruang epidural adalah luas. Setelah pemberian epidural, konsentrasi
fentanyl di darah berada di puncak dalam 5 sampai 10 menit, sedangkan konsentrasi sufentanil
yang lebih larut dalam lemak didalam darah mengalami puncak lebih cepat (Ionescu dkk,1991).
Berbeda halnya, konsentrasi morfin dalam darah setelah pemberian morfin, fentanyl, dan
sufentanil secara epidural menghasilkan konsentrasi opioid dalam darah yang sama dengan
yang dihasilkan dengan cara injeksi intramuskuler (IM) dengan dosis yang sama
(Chaney,1995). Tambahan epinefrin kedalam larutan yang dimasukkan kedalam ruang epidural
menurunkan absorpsi opioid secara sistemik tetapi tidak mempengaruhi difusi morfin melintasi
duramater kedalam CSS. Tambahan pada epinefrin kedalan arutan morfin intratekal menambah
analgesia postoperative dibandingkan dengan morfin intratekal sendiri (Goyagi da
Nishikawa,1995). Absorpsi pembuluh darah setelah pemberian opioid secara intratekal secara
klinik masih tidak signifikan.
Pergerakan cephalad pada opioid di CSS utamanya tergantung pada kelarutan dalam lemak.
Sebagai contoh, opioid yang larut dalam lemak seperti fentanyl dan sufentanil yang terbatas
pada pergerakan cephaladnya oleh uptake kedalam korda spinalis sedangkan morfin yang
kurang larut dalam lemak yang tertinggal di dalam CSS untuk dipindahkan ke lokasi yang lebih
cephalad. Setelah pemberian morfin intratekal di lumbal, konsentrasi CSS cervical yang
lumayan besar terjadi 1 sampai 5 jam setelah injeksi, sedangkan konsentrasi CSS servikal pada
opioid yang sangat larut dalam lemak adalah kurang setelah pemberian obat tersebut secara
epidural. Penyebab kenaikan morfin yang mendasari adalah aliran terbesar pada CSS. CSS
naik dalam suatu arah cephalad dari region lumbal, mencapai sisterna magna dalam 1 sampai
2 jam dan ventrikel ketiga dan keempat dalam 3 sampai 6 jam (Chaney,1995). Batuk atau
straining, tetapi bukan pada posisi tubuh, dapat mempengaruhi perpindahan CSS. Waktu
elominasi paruh waktu pada morfin dalam CSS sama yang ada pada plasma (Sjostrom
dkk,1987).

Efek Samping
Efek samping pada opioid neuraxial disebabkan oleh adanya obat baik di CSS maupun di
sirkulasi sistemik (Tabel 3-3) (Chaney,1995). Secara umum, efek samping yang paling banyak
adalah ketergantungan dosis. Beberapa efek samping dimediasi oleh interakasi dengan
reseptor opioid spesifik, sedangkan yang lain bukan karena interaksi ini. Efek samping yang
jarang muncul pada pasien yang lama menggunakan opioid. Empat efek samping klasik pada
opioid neuraxila adalah pruritus/gatal, mual dan muntah, retensi urin, dan depresi pernapasan.
Table 3–3
Efek samping NEURAXIAL (epidural dan spinal) opioids
Efek samping
Pruritus
Rasa mual/mabuk dan muntah
Penurunan ventilasi
Sedasi
Merangsang system saraf pusat
Pengaktifan kembali viral
Kelainan neonatal
Disfungsi sexual
Disfungsi ocular
Disfungsi gastrointestinal
Disfungsi termoregulatory
Retensi air/urin

Pruritus/gatal
Pruritus adalah efek samping yang paling sering terjadi pada penggunaan opioid neuraxial. Hal
ini mungkin mengenai seluruh tubuh tetapi tampaknya lebih terlokalisasi di wajah, leher, atau
dada bagian atas. Insidens pruritus bervariasi secara luas dan sering timbul hanya setelah
wawancara. Pruritus yang berat jarang terjadi, hanya sekitar 1 % dari pasien. Pruritus
tampaknya sering terjadi pada pasien obstetric, mungkin karena interaksi antara estrogen
dengan reseptor opioid. Insiden mungkin atau juga tidak berhubungan dengan dosis. Pruritus
biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah injeksi dan mungkin terjadi sebelum onset
analgesia.
Meskipun opioid mungkin membebaskan pelepasan histamine dari mast sel, hal ini tidak
muncul menjadi mekanisme terjadinya pruritus. Selain itu, pruritus dinduksi oleh opioid
neuraksial kemungkinan karena migrasi cephalad pada reseptor opioid di nucleus trigeminal.
Suatu opioid antagonis seperti naloxone efektif dalam mengurangi pruritus yang diinduksi oleh
opioid. Secara berlawanan, anti histamine mungkin menjadi pengobatan efektif untuk prurtus,
yang kemungkinan bersifat sekunder pada efek sedatifnya.

Retensi urin
Insidens retensi urin sangat bervariasi dan paling sering yerjadi pada laki-laki muda. Retensi
urin pada opioid neuraxial lebih sering terjadi setelah pemberian opioid secara IV atau IM
dengan dosis yang sama. Insidens efek samping ini tidak tergantung dosis atau berkaitan
dengan absorpsi sistemik pada opioid. Retensi urin tampaknya paling sering terjadi pada
interaksi opioid dengan reseptor opioid yang berlokasi di korda spinalis sacrum. Interaksi ini
memungkinkan inhibisi pada aliran system saraf parasimpatis sacrum, yang menyebabkan
relaksasi otot detrusor dan suatu peningkatan pada kapasitas kandung kemih maksimal, yang
menyebabkan terjadinya retensi urin. Pada manusia, morfin epidural menyebabkan terjadinya
relaksasi otot detrusor dalam 15 menit setelah injeksi yang bertahan sampai 16 jam; yang siap
dipulihkan dengan naloxone (Rawal dkk,1986).

Depresi pernapasan
Efek samping yang paling serius pada opioid neuraxial adalah depresi pernapasan, yang
mungkin terjadi dalam beberapa menit setelah pemberian atau mungkin tertunda selama
beberapa jam. Insidens depresi pernapasan membutuhkan intervensi setelah dosis
konvensional pada opioid neuraxial sekitar 1 % yang sama setelah dosis konvensional opioid
yang diberikan secara IV atau IM (Chaney,1995).
Depresi pernapasan awalnya terjadi dalam 2 jam setelah injeksi neuraxial opioid. Paling banyak
laporan pada depresi pernapasan secara klinik yang penting melibatkan pemberian fentanyl
atau sufentanil secara epidural. Depresi pernapasan ini tampaknya paling sering terjadi akibat
absorpsi sistemik pada opioid yang larut dalam lemak, meskipun migrasi cephalad pada opioid
dalam CSS juga mungkin bertanggung jawab. Secara klinik depresi pernapasan awal yang
signifikan setelah injeksi morfin intratekal tampaknya tidak mungkin.
Depresi pernapsan yang tertunda terjadi lebih dari 2 jam setelah pemberian opioid neraxial dan
menggambarkan migrasi cephalad pada opioid di CSS dan kemudian berinterkasi dengan
resptor opioid yang berlokasi di ventral medulla. Semua laporan klinik pada depresi pernapasan
yang tertunda secara signifikan melibatkan morfin (Chaney,1995). Depresi pernapasan yang
tertunda khususnya terjadi dalam 6 sampai 12 jam setelah pemberian morfin secara intratekal
maupun secara epidural. Depresi pernapasan yang penting secara klinik tidak digambarkan
terjadi lebih dari 24 jam setelah injeksi morfin secara epidural maupun intratekal.
Faktor yang meningkatkan resiko depresi pernapsan yang tertunda, khusunya penggunaan
beberapa opioid IV atau sedatif yang bersamaan, harus dipertimbangkan dalam pembatasan
dosis opioid neraxial (Tabel 3-4) (Chaney,1995). Batuk mungkin mempengaruhi perpindahan
CSS dan meningkatkan resiko terjadinya depresi pernapsan. Pasien obstetrik tampaknya
memiliki sedikit resiko menderita depresi pernapasan, mungkin karena peningkatan stimulasi
pada ventilasi yang terjadi karena adanya progesterone.
Deteksi terjadinya depresi pernapasan yang diinduksi oleh opioid neuraxial mungkin sulit.
Hipoksemia arterial dan hiperkarbia mungkin berkembang meskipun dengan kecepatan
pernapsan yang normal (Gambar 3-3 dan 3-4) (Bailey dkk, 1993). Pulse oximetri dapat
dipercaya dapat mendeteksi hipoksemia arteri yang diinduksi oleh opioid dan cadangan oksigen
(2 liter/menit) adalah suatu pengobatan yang efektif (Bailey dkk,1993). Tanda klinik ang paling
dapat dipercaya pada terjadinya depresi pernapasan tampak pada suatu penurunan tingkat
kesadaran, kemungkinan disebabkan oleh hiperkarbia (Chaney,1995). Infuse profilaksis dengan
naloxone merupakan cara yang efektif dalam usaha pencegahan terjadinya depresi pernapsan
(Morgan,1989; Rawal dkk,1986). Naloxone (0,25 µg/kg/jam IV) efektif dalam mengurangi efek
samping (mual dan muntah, pruritus) yang berkaitan dengan analgesia yang diinduksi oleh
morfin yang dibawa oleh suatu system pemindahan pasien yang dikontrol secara IV (Gan
dkk,1997).

Gambar 3-3
Rata-rata kecepatan pernapasan / Respiratory Rate (RR) versus waktu sebelum (waktu 0) dan
setelah tiga dosis yang berbeda pada morfin intratekal. (Dari Bailey PL,Rhoundeau S, Schafer
PG,dkk. Dose-response pharmacology of intrathecal morphine in human volunteers.
Anaesthesiology 1993; 79: 49-59, dengan seizinnya).

Sedasi
Sedasi setelah pemberian opioid neuraxial tampaknya berkaitan dengan dosis dan terjadi pada
semua opioid tetapi palin sering berkaitan dengan penggunaan sufentanil. Ketika sedasi terjadi
pada opioid neuraxial, depresi pernapasan harus dipertimbangkan. Perubahan status mental
yang lain selain sedasi juga mungkin terjadi pada opioid neuraxial. Psikosis paranoid reversibel,
katatonia dan halusinasi akibat naloxone telah dilaporkan kejadiannya (Chaney,1995).

Eksitasi Sistem Saraf Pusat


Rigiditas tonus otot skelet yang mirip dengan bangkitan kejang adalah efek samping yang
diketahui dengan baik pada dosis opioid IV yang besar, tetapi respon ini jarang ditemukan
setelah pemberian secara neraxial. Aktivitas mioklonik telah ditemukan setelah opioid neraxial,
dan pada suatu laporan, berkembang menjadi kejang grand mal (Rozan dkk,1995). Meskipun
dosis besar opioid dipercaya menimbulkan kejang pada binatang, secara klinik sesuai dengan
dosis opioid IV atau neuraxial tidak mungkin berkaitan dengan bangkitan kejang kortikal yang
menyeluruh pada manusia (Chaney,1995). Migrasi cephalad pada opioid ke dalam CSS dan
selanjutnya berinteraksi dengan reseptor non opioid di batang otak atau ganglia basalis adalah
penjelasan yang paling mungkin untuk eksitasi SSP yang diinduksi oleh opioid. Dalam hal ini,
opioid mungkin memblok glisin atau inhibisi asam gamma-aminobutirat.

Reaktivasi Virus
Suatu link yang terjadi antara penggunaan morfin epidural pada pasien obstetrik dan reaktivasi
pada virus herpes simpleks labialis. Reaktivasi pada virus herpes terjadi 2 sampai 5 hari setelah
pemberian virus epidural (Crone dkk,1990). Manifestasi pada gejala pada herpes labialis (luka
dingin) yang terjadi pada inervasi sensoris yang sama sebagai infeksi primer, yang biasanya
daerah fasial yang diinervasi oleh nervus trigeminal. Mekanisme yang mendasari menyebabkan
reaktivasi virus herpes mungkin yang melibatkan migrasi cephalad pada opioid di CSS dan
selanjutnya berinteraksi dengan nucleus trigeminal.

Morbiditas Neonates
Absorpsi sistemik setelah pemberian opioid epidural yang terjadi pada tingkat obat di darah
yang diperkirakan pada neonatus segera setelah lahir. Depresi pernapasan secara klinik
penting yang telah diamati pada neonatus yang ibunya mendapatkan opioid epidural
(Chaney,1995). Perkembangan persalinan kelahiran yang dihambat dan ditambah oleh morfin
intratekal. Setelah pemberian pada fentanyl atau sufentanil epidural pada parturients,
konsentrasi opioid pada air susu ibu dapat diabaikan.

Gambar 3-4
Rata-rata tekanan parsial karbon dioksida arteri versus waktu sebelum (waktu 0) dan setelah
tiga dosis yang berbeda pada morfin intratekal. (Dari Bailey PL,Rhoundeau S, Schafer PG,dkk.
Dose-response pharmacology of intrathecal morphine in human volunteers. Anaesthesiology
1993; 79: 49-59, dengan seizinnya).

Efek Samping Lain


Morfin epidural yang berkaitan dengan ereksi yang bertahan dan inabilitas untuk ejakulasi pada
laki-laki. Miosis, nistagmus, dan vertigo yang reversibel yang dikaitkan dengan naloxone
mungkin terjadi setelah opioid neuraxial, yang paling banyak terjadi pada morfin. Opioid
neuraxial mungkin tertunda pengosongan lambung, yang tampaknya paling menggambarkan
pada interkasi pada opioid dengan suatu reseptor opioid korda spinal (Kelly dkk, 1997). Opioid
neuraxial, oleh inhibisi pada menggigil, yang menyebabkan penurunan temperatur tubuh.
Oligouria dan retensi air yang menyebabkan pada edema perifer yang dilaporkan setelah
pemberian opioid neuraxial. Retensi air tampaknya disebabkan oleh pelepasan pada
vasopressin, yang distimulasi oleh migrasi cephalad pada opioid di CSS. Opioid neuraxial telah
melibatkan kemungkinan penyebab pada kerusakan korda spinalis, khususnya setelah
penggunaan opioid yang mengandung bahan pengawet yang bersifat toksik (Chaney,1995).
Manifestasi klinik pada pasien ini adalah disfungsi neurologis sensoris dan motoris, spasme
mioklonik, paresis, dan paralisis. Di sisi lain, opioid neuraxial yang diberikan dalam waktu lama
tanpa gejala sisa yang merugikan.

Obat Golongan Analgetik Opioid


Definisi
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
morfin. Opioid disebut juga sebagai anlgetika narkotikayang sering dalam anesthesia untuk
mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Malahan kadang-kadang
digunakan untuk anesthesia narkotik total pada pembedahan jantung. 2

2.2 Jenis Analgetik Opioid


Berdasarkan struktur kimia, analgetik opioid di bedakan menjadi 3 kelompok : 1
1. Alkaloid opium (natural) : morfin dan kodein
2. Derivate semisintetik : diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oksimorfon, hidrokodon, dan
oksikodon.
3. Derifat sintetik
 Fenilpiperidine : petidin, fentanil, dan alfentanil.
 Benzmorfans : pentazosin, fenazosin dan siklasozin.
 Morfinans : lavorvanol
 Propionanilides : metadon
 Tramadol

2. 3 Reseptor – Reseptor Opioid1,2


Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada reseptor – reseptor opioid yang
diketahui ada 4 reseptor, yaitu :
1. Reseptor Mu
Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini. Stimilasi pada reseptor ini akan menimbulkan
analgesia, rasa segar, euphoria dan depresi respirasi.

2. Reseptor Kappa
Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi dan anesthesia. Morfin bekerja pada
reseptor ini.

3. Reseptor Sigma
Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi, pupil medriasis, dan stimulasi
respirasi.

4. Reseptor Delta
Pada manusia peran reseptor ini belum diketahui dengan jelas. Diduga memperkuat reseptor Mu.

2.4 Efek Farmakologi


Golongan opioid yang sering digunakan sebagai obat premedikasi pada anestesi adalah :
petidin dan morfin. Sedangkan fentanil digunakan sebagai suplemen anesthesia.1
2.4.1 Terhadap susunan saraf pusat
Sebagai analgetik, obat ini bekerja pada thalamus dan substansia gelatinosa medulla
spinalis, di samping itu, narkotik juga mempunyai efek sedasi.1,2

2.4.2 Terhadap respirasi


Menimbu;lkan depresi pusat nafas terutama pada bayi dan orang tua. Efek ini semakin
manifest pada keadaan umum pasien yang buruk sehingga perlu pertimbangan seksama dalam
penggunaanya. Namun demikian efek ini dapat dipulihkan dengan nalorpin atau nalokson.1,2,3
Terhadap bronkus, petidin menyebabkan dilatasi bronkus, sedangakan morfin
menyebabkan konstriksi akibat pengaruh pelepasan histamine.4

2.4.3 Terhadap sirkulasi1


Tidak menimbulkan depresi system sirkulasi, sehingga cukup aman diberikan pada
semua pasien kecuali bayi dan orang tua.
Pada kehamilan, opiod dapat melewati bairer plasenta sehingga bisa menimbulkan
depresi nafas pada bayi baru lahir.
2.4.4 Terhadap system lain1
Merangsang pusat muntah, menimbulkan spasme spinter kandung empedu sehingga
menimbulkan kolik abdomen. Morfin merangsang pelepasa histamine sehingga bisa
menimbulkan rasa gatal seluruh tubuh atu minimal pada daerah hidung, sedangkan petidin,
pelepasan histaminnya bersifat local ditempat suntikan.

A. MORFIN
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan
menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut
dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long
acting).1,2
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu
mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan
pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis
terapi.2,3

Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang
rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi
yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari
thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri
meningkat.2

Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos.
Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.
Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi
termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan
sekresi hormone anti diuretika (ADH).2

Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin
juga dapat mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah
pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian
parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin.
Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan
keringat.2

Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan
nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin
besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark
miokard ; (2) Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh darah
perifer, pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6)
Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.3

Efek samping
Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan,
nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada
traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.

Dosis dan sediaan


Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan
diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri
sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat
diulang sesuai yamg diperlukan.2

B. PETIDIN
Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan
morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia
petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.2

Farmakodinamik
Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti
halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas
dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah
dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5
jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. 2
Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan
asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi
dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin
bentuk asli ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardia.
4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada
hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.

Farmakokinetik2
Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi
kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma
biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah
pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama,
kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma
terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami
hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin
dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin
ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.
Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan
intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk
kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.
Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan
klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik,
untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena
menyebabkan depresi nafas pada janin.2,3,4

Dosis dan sediaan


Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50
mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan
dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.2

Efek samping
Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing,
berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan,
palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.1,2,3,4

C. FENTANIL
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil
merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih
mudah menembus sawar jaringan.2,3

Farmakodinamik
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik,
fentanil 75-125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi
yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan
morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi.
Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi
menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil
dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia.2

Farmakokinetik
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama
dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya.
Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa
metabolismenya dikeluarkan lewat urin.2

Indikasi
Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 /kg BB
analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia
pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk
induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi
dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.1,2,3,4

Efek samping
Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah
dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin
plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol.
Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh esterase
plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang singkat, tidak seperti
narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung dengan durasi infusinya.

D. ANTAGONIS
Nalokson
Nalokson adalah antagonis murni opioid dan bekerja pada reseptor Mu, delta, Kappa, dan
Sigma. Pemberian nalokson pada pasien setelah amendapat morfin akan terlihat laju nafas
meningkat, kantuk menghilang, pupil mata dilatasi, tekanan darah kalau sebelumnya rendah akan
meningkat.1,2,3,4
Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi nafas pada akhir pembedahan
dengan dosis dicicil 1-2 mikrogram/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit, sampai
ventilasi dianggap baik. Dosis lebih dari 0,2 mg jarang digunakan. Dosis intramuscular 2x dosis
intravena. Pada keracunan opioid naloksondapat diberikan per-infus dosis 3-10µg/kgBB.2
Untuk depresi napas neonates yang ibunya mendapat opioid berikan nalokson 10
µg/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit. Biasanya 1 ampul nalokson 0,4 mg diencerkan
sampai 10ml, sehingga tiap ml mengandung 0,04 mg.2

Naltrekson
Naltrekson merupakan antagonis opiod kerja panjang yang biasanya diberikan peroral,
pada pasien dengan ketergantungan opioid. Waktu paro plasma 8-12 jam. Pemberian per oral
dapat bertahan sampai 24 jam. Naltrekson per oral 5 atau 10 mg dapat mengurangi pruritus, mual
muntah pada analgesia epidural saat persalinan, tampa menghilangkan efek analgesianya.2

KEMASAN1
1. Petidin dalam bentuk ampul 2 ml yang mengandung 50 mg/ml tidak berwarna.
2. Fentanyl dikemas steril dalam bentuk ampul 2 ml dan 10 ml yang tiap ml-nya mengandung 50
mikrogram.
3. Morfin dalam bentuk ampul 1 ml yang mengandung 10 atau 20 mg, tidak berwarna dan bisa
dicampur dengan obat lain.
Diposkan oleh Seroja Seruni di 01.24

Anda mungkin juga menyukai