Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

1.1 Latar Belakang

Opiat atau yang dikenal sebagai narkotik adalah bahan yang digunakan untuk
menidurkan atau melegakan rasa sakit, tetapi mempunyai potensi yang tinggi untuk
menyebabkan ketagihan. Sebagian dari opiat ,seperti candu,morfin,heroin dan kodein
diperoleh dari getah buah popi yang terdapat atau berasal dari negara-negara Timur
Tengah dan Asia.
Opium digunakan dengan dihirup atau dengan cara ditusukkan pada kulit yang akan

memberikan efek analgesia, selain itu juga akan menyebabkan depresi pernafasan dan

kematian sesuai dengan derajat absorbsi yang diberikan. Opium merupakan campuran

bahan kimia yang mengandung gula, protein, lemak, air, lilin nabati alami, lateks, dan

beberapa alkaloid. Adapun alkaloid yang terkandung antara lain morfin (10%-15%),

kodein (1%-3%), noskapin (4%-8%), papaverin (1%-3%), dan thebain (1%-2%). Beberapa

dari alkaloid-alkaloid tersebut banyak digunakan untuk pengobatan diantaranya: untuk

nyeri (morfin dan kodein), untuk batuk (kodein dan noskapin) dan untuk mengobati

spasme visceral (papaverin). Morfin berhasil diisolasi oleh Seturner pada tahun 1803,

kemudian dilanjutkan dengan kodein tahun 1832 lalu papaverin tahun 1848. 1,4,5,6

Istilah opioid digunakan untuk semua obat baik alami maupun sintetik yang dapat

menduduki reseptor opioid di tubuh manusia. istilah opiat digunakan untuk semua obat

yang diekstrak dari tumbuhan opium yang menempati dan bekerja pada reseptor opioid.

Opiat atau yang dikenal sebagai narkotik adalah bahan yang digunakan untuk

menidurkan atau melegakan rasa sakit, tetapi mempunyai potensi yang tinggi untuk

menyebabkan ketagihan. Sebagian dari opiat ,seperti candu, morfin, heroin dan kodein

diperoleh dari getah buah popi yang terdapat atau berasal dari negara-negara Timur

Tengah dan Asia.

Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin,
1
dan tidak semua obat golongan opioid dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan

sediaan yang sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat

dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran

terjadinya penyalahgunaan obat.

Obat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara lain adalah

morfin, petidin dan fentanil. Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki

sifat-sifat seperti opium maupun morfin. Meskipun mempelihatkan berbagai efek

farmakologik yang lain, golongan obat ini digunakan terutama untuk meredakan atau

menghilangkan rasa nyeri.1, 2, 3

Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin,

dan tidak semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan

sediaan yang sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat

dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran

terjadinya penyalahgunaan obat.4, 5

Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip

morfin. Istilah ini berasal dari kata yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik ini telah

lama ditinggalkan jauh sebelum ditemukannya ligand yang mirip opioid endogen dan

reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan

antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantungan fisik akibat morfin maka

penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi.3

1.2 Tujuan Penulisan


Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dibagian
anestesiologi RSUD M.Natsir Solok dan diharapkan agar dapat menambah pengetahuan
penulis serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca, khususnya kalangan medis,
2
tentang Gambaran obat opioid
1.3 Manfaat
1. Sebagai sumber media informasi tentang Gambaran obat opioid

2. Untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior dibagian Anastesiologi di RSUD


M,Natsir Solok.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Opioid

Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan
dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska
pembedahan.

2.2 Mekanisme kerja opiod

Opioid dapat menimbulkan efek analgesia melalui mekanisme perifer. Reseptor


opioid yang terdapat pada jaringan saraf perifer dilapisi oleh mielin tipis. Respons
inflamasi mengakibatkan penambahan jumlah reseptor opioid perifer dan densitas
bertambah dalam hitungan menit sampai jam setelah respons inflamasi dimulai. Dari
pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa mekanisme kerja opioid dapat dipakai untuk
mengatasi nyeri melalui mekanisme perifer5.
Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi
lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbik, thalamus, hipothalamus corpus
striatum, sistem aktivasi retikuler dan di corda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan
dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen
(metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan
menghasilkan efek.
Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi
dengan afinitas yang berbeda dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran.
Secara umum, efek obat-obat narkotik/ opioid antara lain ;
1. Efek sentral:
a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid
(efek analgesi)
b. Pada dosis terapik normal, tidak mempengaruhi sensasi lain.
c. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative)

4
d. Menghilangkan kecemasan (efek transqualizer)
e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien
merasakan sebaliknya (efek disforia)
f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif)
g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya
menghambat pusat emetik (efek antiemetik)
h. Menyebabkan miosis (efek miotik)
i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika)
j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian
dosis yang berkepanjangan.

2. Efek perifer:
a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus
b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi
spastik)
c. Kontraksi sfingter saluran empedu
d. Menaikkan tonus otot kandung kencing
e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik
f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan
histamin, dan memicu bronkospasmus pada pasien asma.

5
2.3 Jenis Opioid

1. Alkaloid opiod alami

Alkaloid opioid alami terbagi atas dua golongan berdasarkan gugus komponen
aktifnya yakni :2
a. golongan fenantren (morfin, kodein dan tebain) dan
b. golongan benzilisokuinolin (papaverin, noskapin).

Struktur kimia alkaloid fenantren merupakan gabungan antara lima atau enam cincin
dengan tiga cincin inti yang terdiri atas 14 atom karbon. Cincin keempat dari golongan
fenantren merupakan cincin piperidin yang memiliki atom nitrogen dari gugus amin
tersier. Amin tersier pada gugus piperidin akan terionisasi pada PH 7,4 sehingga
menyebabkan opioid dengan cincin piperidin mudah larut dalam air.
Morfin merupakan salah satu golongan fenantren yang memiliki lima cincin, terdiri
atas tiga cincin yang terbentuk dalam satu bidang datar dan dua cincin lainnya tersusun
dalam bidang tegak lurus. Membentuk huruf “T” dengan bidang cincin lainnya. Morfin
memiliki dua gugus hidroksil ( fenolik dan alkoholik) dengan satu atom karbon kuartener
pada posisi 13 dan cincin piperidin dengan gugus metil pada atom nitrogen. Kodein
( turunan morfin), tebain (precursor oksikodon) dan nalokson juga termasuk dalam
golongan fenantren. Opioid sintetik terdiri atas golongan morfinian yang memiliki empat
atau lima cincin, golongan benzomorfan yang memiliki tiga cincin, dan golongan
fenilipiperidin yang memiliki dua cincin.
Opioid endogen adalah peptide opioid yang secara alami terbentuk dalam tubuh
manusia. Opioid endogen memiliki struktur molekul separuh asam amino tiramin dengan
cincin terhidroksilasi tunggal. Beberapa jenis opioid endogen antara lain adalah endorphin,
enkefalin, dinorphin dan endomorfin.
Untuk menghasilkan efek yang diinginkan, opioid akan berikatan dengan reseptor
opioid. modifikasi struktur kimia dari opioid akan menentukan sifat agonis dan antagonis
opioid, afinitas opioid terhadap reseptor, proses metabolisme, kelarutan lemak dan sifat
farmakokinetik lainnya.
Table 1. klasifikasi opioid sintetik
Opioid alami Opioid sintetik Opioid semi sintetik
Morfin Petifin heroin
Tebain Fentanyl Dihidromofon
Papaverin Alfentanil Oksikodon
Kodein Remifentanil Buprenorfin

2. Opioid sintetik

Opioid sintetik memiliki cincin fenantren sama seperti morfin. Petidin, fentanyl,
alfentanil, remifentanil dan metadon merupakan contoh opioid sintetik. Petidin merupakan
opioid sintetik yang pertama dibuat dan merupakan propotipe dari kelompok
fenilpiperidin. Fentanil, alfentanil dan sufentanil merupakan hasil modifikasi selanjutnya
dari struktur fenilpiperidin. Kelompok fenilpiperidin tidak memiliki sifat stereoisomer.
Perbedaan struktur antar petidin, fentanil, alfentanil, remifentanil dan metadon
menyebabkan perbedaan potensi obat dan kecepatan kesetibangan konsentrasi obat di
plasma dan tempat kerja obat.

3. Opioid semisintetik

Opioid semisintetik didapatkan dari modifikasi sederhana pada molekul morfin, seperti
substitusi gugus metil terhadap gugus hidroksil pada karbon ketiga molekul morfin akan
menghasilkan metilmorfin. Hidrokodon dan oksokodon juga merupakan hasil dari
modifikasi struktur molekul morfin. Heroin atau diasetilmorfon didapatkan dari hasil
substitusi gugus asetil pada karbon ketiga dan keenam morfin.

2.4 Golongan obat Opioid

 Morfin
Morfin merupakan obat prototype opioid. Morfin memiliki efek jangka panjang dengan
efek samping yang berkaitan dengan pelepasan histamin ( bronkospasme dan hipotensi).
Efek dari morfin berupa analgesia, euphoria, sedasi, berkurangnya konsentrasi, nausea,
perasaan berat pada ekstremitas, mulut yang kering dan priritus terutama pada daerah
sekitar hidung. Morfin akan menurunkan tonus saraf simpatik sehingga menyebabkan
pooling dari darah pada vena dan hipotensi. Pada sistem gastrointestinal, morfin
menyebabkan spasme pada otot dan menurunkan motilitas intestinal sehingga
menyebabkan konstipasi. Mual dan muntah sering terjadi pada penggunaan morfin akibat
stimulasi pada chemoreceptor trigger zone di ventrikel keempat. Jenis nyeri tumpul yang
kontinyu lebih efektif dihilangkan dengan morfin daripada jenis nyeri yang tajam dan
intermiten. Efek analgesia dari morfin lebih efektif bila diberikan sebelum stimulus nyeri
terjadi. Tanpa rangsangan nyeri, morfin lebih memberikan efek disforia dari pada
euphoria. Pada pasien dengan riwayat alergi sulfa, pemberian morfin parenteral yang
mengandung sulfit dapat menyebabkan anafilaksis.
 Hidromorfon
Hidromorfon adalah opioid semisintetik dengan hidrogenisasi gugus keton morfin.
Hidromorfon memiliki efek utama pada reseptor μ dan minimal pada reseptor δ.
Hidromorfon memiliki potensi lima kali lebih besar, efek sedasi yang lebih besar, efek
euphoria yang lebih kecil serta durasi kerja yang lebih pendek jika dibandingkan dengan
morfin.
 Kodein
Kodein merupakan obat antitusif kuat yang sering digunakan pada praktek medis sehari-
hari. Sekitar 10% kodein akan dimetilasi di hepar menjadi morfin, sehingga kodein juga
efektif bila digunakan sebagai analgesik oral. Kodein akan mengalami metabolism oleh
enzim CYP2D6. Inhibitor enzim CYP2D6 seperti selekoksib, simetidine, deksametason
atau rifampisin akan mempengaruh efektivitas analgesia kodein. Jika diberikan secara
intramuscular, efek analgesia dari 120 mg kodein setara dengan 10 mg morfin. Food
penggunaan kodein pada ibu menyusui. Konsentrasi tinggi metabolit kodein pada ASI
dapat menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus
 Oksikodon
Oksikodon adalah opioid semisintetik derivate tebain yang ditemukan di jerman tahun
1916. Oksikodon bekerja pada beberapa jenis reseptor opioid. oksikodon memiliki
tambahan pada grup hidroksil pada karbon 14 dan memiliki bioavailibilitas yang tertinggi
pada pemberian oral. Oksikodon akan mengalami konjugasi di hati dan degradasi oksidatif
menjadi beberapa metabolit untuk kemudian diekskresikan bersama urin.
 Hidrokodon
Hidrokodon merupakan prodrug. Enzim CYP2D6 akan mengkonversikan hidrokodon
menjadi hidromorfon. Pada pasien yang tidak memiliki CYP2D6 atau mengkonsumsi
inhibitor CYP2D6, hidrokodon mungkin tidak akan memproduksi metabolit aktif yang
diinginkan. Disisi lain, pada pasien dengan peningkatan aktifitas enzim CYP2D6, dapat
terjadi toksisitas hidromorfon. Hidrokodon selain mempunyai kekuatan analgesic juga
mempunyai efek antitusif yang cukup kuat.
 Fentanyl
Fentanil adalah agons opioid kuat yang berinteraksi dengan reseptor μ. Potensial
analgesiknya 75-125 kali lebih besar daripada morfin dengan awitan dan durasi yang lebih
cepat. Hal ini dikarenakan kelarutan lemak fentanyl yang tinggi. Fentanyl dimetabolisme
dengan cara metilasi menjadi norfentanil, hydroksipropionil-fentanil dan
hidroksinorpropionil-fentanil. Kurang dari 10% tidak termetabolisme dan diekskresikan
melalui urin. Fentanyl akan diekresikan melalui urin dan dapat dideteksi 72 jam setelah
pemberian intravena.setelah pemberian bolus intravena, fentanyl terbesar terutama pada
organ yang kaya vaskularisasi seperti otak, paru paru dan jantung. Dosis fentanyl 2-20
μg/Kg BB seringkali diberikan sebagai adjuvant anestesi inhalasi pada saat operasi.
Pemberian intratekal dengan dosis 25 μg juga memberikan respon yang memuaskan.
Fentanyl juga diberikan transdermal dengan sediaan 12,5 – 100 μg yang ditujukan
terutama pada pasien dengan nyeri kanker. Jika dibandingkan dengan morfin, fentanyl
kurang menyebabkan pelepasan histamine namun lebih sering mencetuskan bradikardi.
Pemberian fentanyl intravena secara cepat dapat mencetuskan rigiditas otot.
 Sufentanil
Sufentanil merupakan analog fentanyl dan mempunyai kekuatan analgesia 5-10 kali lebih
besar daripada fentanyl. Sulfentanil mengalami metabolisme terutama di hepar memalui
proses N-dealkilasi dan O- demetilasi. Eksresi utama melalui urine dan feses, dengan
kurang dari 1% sulfentanil akan diekskresi tanpa dimetabolisme. Sufentanil dengan dosis
0,1 – 0,4 μg/Kg BB. Lebih tidak menimbulkan depresi pernafasan dibandingkan dengan
dosis fentanyl 1-4 μg/KgBB. Jika dibandingkan dengan opioid yang lain, sufentanil
mempunyai beberapa kelebihan yakni dapat menurunkan kebutuhan oksigen untuk
metabolisme di otak, demikian juga aliran darah otak cenderung turun atau hamper tidak
mengalami perubahan yang berarti.
 Alfentanil
Alfentanil adalah analog dari fentanyl yang mempunyai potensi 1/5 sampai 1/10 dari
fentanyl. Keunikan dari alfentanil adalah awitan dan durasi yang lebih cepat jika
dibandingkan dengan fentanyl. Alfentanil dimetabolisme melalui piperidin N- dealkilasi
menjadi noralfentanil serta melalui amida N-dealkilasi menjadi N-fenilpropionamid.
Sebagai besar metabolit ini diekskresi melalui urin dengan sebanyak kurang dari 1% akan
diekskresi tanpa dimetabolisme. Alfentanil sering dipakai pada prosedur singkat seperti
intubasi trakeal ataupun blok retrobulbar dengan dosis 10-30 μg/kg BB. Jika dibandingkan
dengan opioid yang lain, alfentanil lebih jarang menimbulkan mual dan muntah.
 Remifentanil
Remifentanil adalah agonis selektif reseptor opioid μ dengan potensi analgesia menyerupai
fentanil (15-20 kali lebih poten daripada alfentanil). Struktur kimia remifentanil tergolong
unik karena meskipun tergolong derivate fenilpiperidin, remifentanil juga mempunyai
gugus ester. Hal ini menyebabkan remifentanil dihidrolisis enzim esterase di plasma
maupun jaringan lain menjadi metabolit yang inaktif. Awitan yang cepat, waktu pulih
yang singkat dan efek yang relative nonkumulatif menjadikan remifentanil yang juga
diekskresikan terutama melalui urin. Dosis 0,25 -1 μg/kg BB memberikan efek analgesia
yang memuaskan. Pemberian remifentanil intratekal tidak disarankan oleh karena adanya
glisin pada vehikulum obat ini. Glisin mempunyai efek inhibisi neurotransmiter pada
medulla spinalis.
 Petidin
Meperidin atau petidin merupakan opioid sintetik derivate dari fenilpiperidin yang bekerja
agonis terhadap reseptor μ. Petidin memiliki struktur kimia menyerupai atropin sehingga
beberapa efek atropine juga memiliki oleh petidin seperti efek takikardi, midriasis dan
antispasmodic. Pentidin mempunyai potensi 1/10 morfin dengan durasi kerja 2-4 jam.
Petidin dapat diabsorbsi denganbaik pada sistem gastrointestinal, meskipun efektifitasnya
hanya ½ dari pemberian intramuscular. Metabolisme petidin terutama di hepar melalui
proses metilasi. Sebanyak 90% akan diubah menjadi normeperidin dan diekskresi melalui
urin. Normeperidin mempunyai waktu paruh eliminasi 15 jam dan dapat dideteksi di urin
sampai 3 hari setelah pemberian. Normeperidin mempunyai potensi ½ meperidin dan
dapat menstimulasi sistem saraf pusat. Petidin karenanya dapat mencetuskan kejang,
mioklonus, delirium dan halusinasi. Sebanyak 60% dari petidin di plasma terikat pada
protein,sehingga pada pasien tua di mana terjadi penurunan jumlah protein plasma dapat
terjadi peningkatan jumlah obat bebas pada plasma. Konsentrasi plasma 0,7 μg dianggap
mampu secara efektif menghilangkan nyeri postoperatif. Selain sebagai analgesia yang
poten, petidin juga mempunyai efek anti menggigil postoperative. Efek anti menggigil
postoperative dari petidin didapatkan akibat kerjanya pada reseptor κ2. Pemberian petidin
dengan obat obatan antidepresan dapat mencetuskan sindrom serotonin yaitu keadaan di
mana terjadi ketidakstabilan sistem saraf otonom yang ditandai hipertesi, takikardi,
diaphoresis, hipertermi, perubahan perilaku, agitasi dan perasaan bingung.
 Metadon
Metadon merupakan agonis opioid sintetik yang digunakan untuk penanganan nyeri kronik
berat dan penanganan ketergantungan opioid. pemberian metadon memiliki risiko
ketergantungan opioid. pemberiana metadon memiliki risiko ketergantungan yang rendah.
Absorbsinya pada pemberian oral cukup baik. Metadon memiliki awitan yang relatife
cepat dan durasi kerja lama sampai 24 jam pasca pemberian ora 20 mgl. Metabolismenya
terutama di hepar, metadon akan diubah menjadi metabolit inaktif yang selanjutnya
diekskresikan melalui urin dan empedu

 Tramadol
Tramadol adalah analgesic yang bekerja sentral, agonis terhadao reseptor μ serta
mempunyai afinitas yang lemah pada reseptor κ & δ. Tramadol akan meningkatkan efek
inhibisi pada jalur desendens ke medulla spinalis melalui inhibisi reuptake norepinefrin
dan serotonin. Hanya sebanyak 30% efek tramadol yang dapat diantagonis oleh nalokson.
Tramadol merupakan campuran resemik dimana enensiomer yang satu berfungsi
menghambat reuptake norepinefrin sedangkan yang satu lagi bekerja menghambat
reuptake serotonin. Tramadol dimetabolisme di hepar melalui ensim sitokrom P-450
menjadi O – dismetiltramadol. Efek samping tramadol yang sering terjadi adalah mual dan
muntah.
 Nalbufin
Nalbufin adalah agonis – antagonis opioid yang secara kimia mirip dengan oksimorfon
dan nalokson. Nalbufin tidak menyebabkan pelepasan katekolamin sehingga untuk
digunakan pada pasien dengan gangguan jantung.
 Pentazosin
Pentazosin merupakan agonis dan antagonis pada reseptor κ dan δ dengan potensi sekitar
1/5 daro nalorfin. Pentazosin diserap baik pada pemberian oral maupun perenteral. Untuk
kemudian dimetabolime di hepar melalui proses oksidasi menjadi glukoronida inaktif.
Metabolit ini akan diekskresikan melalui urin dan empedu. Pentazosin dengan dosis 10-30
mg intravena atau 50 mg oral dapat digunakan untuk mengatasi nyeri derajat sedang. Efek
samping yang sering dari pentazosin adalah sedasi, diaphoresis dan pusing. Pentazosin
menyebabkan pelepasan katekolamin pada tubuh. Pentazosin sebesar 20-30 mg
intrauskular mempunyai efek analgesia, sedasi dan depresi pernapasan yang setara dengan
10 mg morfin. Tidak seperti morfin, pentazosin tidak menimbulkan miosis.
 Butorfanol
Butorfanol adalah agonis dan antagonis opioid yang menyerupai pentazosin. Efek
agonisnya 20 kali lebih besar dan efek antagonisnya 10 hingga 30 kali lebih besar jika
dibandingkan dengan pentazosin. Pada praktiknya butorfanol 2-3 mg intramuscular
menghasilkan efek analgesia dan depresi pernapasan setara dengan morfin 10 mg.
butorfanol dimetabolisme menjadi metabolit inaktif hidroksibutorfanol yang diekskresi
terutama di empedu dan sebagian kecil di urin. Efek samping yang paling sering adalah
sedasi, mual dan diaphoresis.
 Nalokson
Nalokson adalah antagonis non selektif pada ketiga reseptor opioid. nalokson dengan dosis
1-4 mg/kg BB intravena diberikan untuk mengatasi overdosis opioid. durasi kerja
nalokson sekitar 30-45 menit, akibatnya pemberian kontinyu dengan infus sebanyak 5
mg/kg BB/jam perlu dilanjutkan untuk mendapatkan efek antagonis yang maksimal
nalokson dimetabolisme terutama di hepar melalui proses konjugasi menjadi nalokson 3-
glukoronida.
Pemberian nalokson intravena yang cepat dapat menimbulkan kejadian mual dan muntah.
Efek stimulasi kardiovaskular juga sering ditemukan pada pemberian nalokson sebagai
akibat dari meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatis dan rangsangan nyeri yang
kembali terasa. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis ini dimanifestasikan dengan
takikardi, hipertensi, edema paru serta distritmia jantung
 Naltrekson
Naltrekson bekerja hamper sama dengan nalokson dan sering diberikan secara oral,
efeknya dapat bertahan lama hingga lebih dari 24 jam.

 Heroin
Heroin atau Putau adalah adalah sejenis opioid alkaloid. Putau adalah bubuk kristal
putih yang sering diperjual-belikan dalam bungkusan kertas kecil. Di kalangan medis
dikenal sebagai heroin yang tergolong opioda yang semi sintetik dan berasal dari turunan
morfin. Heroin berasal dari bunga Papaver somniferum, sejenis bunga di iklim panas dan
kering. Papaver somniferum, yang bila dikeringkan akan menjadi seperti karet yang
kecoklat-coklatan, ditumbuk menjadi serbuk opium. Opium mengandung bermacam-
macam alkaloid di antaranya adalah morfin, kodein, dan tebain. Heroin adalah zat
depresan. Obat-obatan depresan tidak langsung membuat Anda merasa tertekan. Zat-zat
tersebut memperlambat pesan dari otak ke tubuh dan sebaliknya. Beberapa nama lain dari
zat tersebut adalah bedak, putih.
Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan
akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam glukuronik
menajdi morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat dibandingkan morfin
sendiri. Akumulasi obat terjadi pada pasien gagal ginjal.
Heroin terutama diekstresi melalui urine (ginjal). 90% diekskresikan dalam 24 jam
pertama, meskipun masih dapat ditemukan dalam urine 48 jam heroin didalam tubuh
diubah menjadi morfin dan diekskresikan sebagai morfin.

 Heroin Tidak Murni

Heroin atau putau yang beredar di pasar gelap tidaklah murni heroin. Bila dari
pabrik gelapnya bisa 80% kadarnya, namun setelah sampai ke pengedarnya (lewat 5 - 10
jalur), kadar heroinnya turun sampai 1 - 15%. Hal ini wajar karena mereka yang terlibat
memalsu atau mencampur heroin kadar tinggi dengan bahan tambahan seperti kakao, gula
merah, gula, tepung, susu, kuinin, manitol (pencahar), kafein, laktosa, bahan berbahaya
seperti bedak talek dan deterjen. Kadang-kadang beberapa obat-obatan seperti amfetamin
dan obat tidur dicampurkan juga. Zat-zat aditif ini dapat mematikan, dan karena pengguna
tidak berhati-hati apakah ia menggunakan heroin murni dengan kadar 5% atau 50% akan
mudah bagi orang itu untuk mengalami overdosis dadakan dan bahkan mati.

 Heroin dan Obat-obatan Lain

Heroin dapat menjadi berbahaya ketika dikombinasikan dengan berbagai obat-


obatan lainnya, khususnya obat-obatan depresan seperti alkohol atau obat-obat penenang
lainnya. Depresan memperlambat sirkulasi tubuh dan kombinasi obat-obatan tersebut
dapat meningkatkan efeknya. Jika sirkulasi tubuh terlalu banyak yang melambat,
resikonya bisa berupa keadaan koma atau bahkan kematian.

Efek Kecanduan Heroin

Heroin tergolong jenis opioid yang paling cepat menimbulkan efek kecanduan
(bahkan lebih cepat dari heroin) baik kecanduan secara fisik (sakaw) maupun secara
psikologis (sugesti untuk memakainya lagi). Kecanduan fisik yang ditimbulkan dari heroin
juga sangat menderita dan berbahaya (bisa menyebabkan komplikasi dan kematian).
Sedangkan kecanduan psikologisnya juga sangat kuat dan tahan lama meskipun seseorang
telah berhenti memakainya selama puluhan tahun.
Ciri-ciri sakaw antara lain:
1. Tulang-tulang dan sendi-sendi terasa sangat ngilu dan meriang
2. Sakit kepala, demam, dan kadang diare atau muntah-muntah
3. Mata dan hidung terus berair.
4. Mudah kedinginan (menggigil) dan banyak berkeringat dingin
5. Depresi dan sangat mudah marah
6. Insomnia

Oleh karena efek sakaw yang begitu menderita maka seorang pencandu yang
sedang sakaw besar kemungkinan akan berbuat kriminal untuk memenuhi kebutuhan
putaunya.
Efek pemakaian jangka pendek heroin antara lain:
1. Euforia
2. Mulut kering
3. Kulit panas serta memerah
4. Otot menjadi lemah
5. Menghilangkan rasa sakit (analgesik)
6. Mual dan muntah-muntah.
7. miosis
8. mengantuk
9. berkeringat
10. depresi pernapasan
11. hipotermia
12. tekanan darah turun
13. konstipasi
14. kejang
15. sukar buang air kecil.
16. Dalam dosis yang tinggi, akan memperlambat sistem saraf pusat hingga
menyebabkan koma dan kematian.

Pemakai yang sudah menjadi pemadat cenderung untuk menggunakan obat dengan
dosis berlebihan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya batas toleransi tubuh yang makin
meninggi. Jika sudah toleransi, semakin mudah depresi dan marah sedangkan efek euforia
semakin ringan atau singkat. Di samping itu pemakai sering menggunakan obat lain
seperti alkohol, kokain, dll. dan tidak tahu dosis pasti, sehingga sering terjadi kasus
kelebihan dosis. Heroin dengan dosis 3 mg bila diberikan secara parenteral, terutama
intravena, bisa menyebabkan gangguan kompulsif. Kekuatannya tiga kali morfin. Karena
sifatnya lebih lipofil daripada morfin, maka heroin lebih cepat menembus saraf otak
dibandingkan dengan morfin. Dengan demikian kerja heroin lebih cepat daripada morfin.
Heroin sendiri akan diubah menjadi morfin di dalam tubuh.

Efek pemakaian jangka panjang heroin antara lain:


1. Kecanduan
2. Daya tahan tubuh melemah
3. Ketergantungan
4. Pneumonia
5. Infeksi lapisan dan katup jantung
6. Pecahnya pembuluh darah
7. Fungsi hati berkurang
8. Bengkak
9. Tetanus.
10. Menstruasi yang tidak teratur dan ketidaksuburan (pada wanita).
11. Impotensi (pada pria).
12. Sembelit kronis
2.5 Opioid Endogen:
Senyawa opioid alami yang dihasilkan oleh tubuh.
Jenis Opioid endogen :
• Enkefalin  opioid endogen yang berasal dari precursor proenkefalin. Setiap
molekul proenkefalin mengandung empat rantai met-enkefalin, satu rantai leu-
enkefalin dan beberapa peptid yang menyerupai enkefalin. Golongan enkefalin
umumnya bekerja selektif pada reseptor δ. Enkefalin terutama ditemukan di
kelenjar medulla adrenal dan pada ujung saraf yang mengandung katekolamin.
• Prodinorfin  biasa disebut sebagai proenkefalin B, terdiri atas senyawa dinorfin
A dan dinorfin B. keluarga dinorfin terutama berikatan dengan reseptor κ dan
distribusi lokasinya hampir sama dengan enkefalin. Peningkatan aktivitas dinorfin
dalam jangka waktu lama dapat mencetuskan hiperalgesia. Hal ini disebabkan
karena dinorfin A juga mengaktivasi kompleks reseptor NMDA.
• Proopiomelanokortin  precursor opioid endogen yang banyak ditemukan di
hipotalamus dan hipofisis. Struktur N-terminal POMC menyerupai met-enkefalin
meskipun POMC tidak akan berubah menjadi met-enkefalin. 31 asam amino pada
rantai terakhir POMC tidak akan berubah menjadi β-endorfin, opioid endogen yang
berikatan dengan reseptor μ. POMC juga dapat berubah menjadi beberapa hormone
seperti hormone adrenokortikotropik (ACTH), melanocyte-stimulating hormone
(MSH) dan lipotropin.
• Proorfanin  proorfanin akan berubah menjadi orphanin FQ ( yang disebut juga
sebagai nosiseptin). Orfanin akan berikatan dengan NOP, menimbulkan respon
seluler yang sama dengan opioid lain. Orfonin FQ ditemukan ditempat yang tidak
biasa seperti di area hipokampus dan korteks sensoris.
• Endomorfin  golongan endomorfin merupakan opioid agonis yang mempunyai
afinitas tinggi dan selektifitas yang tinggi pada reseptor μ. Terdapat 2 macam
edomorfin dibedakan menurut struktur kimianya, endomorfin 1 dan endomorfin 2.
Pada studi in vivo diketahui bahwa endomorfin 1 bekerja melalui stimulasi reseptor
μ2 sementara endomorfin 2 titik tangkap kerjanya melalui reseptor μ dan κ.
Keduanya baik endomorfin 1 maupun endomorfin 2 bekerja menurunkan potensial
aksi pada pusat pengaturan tekanan darah yaitu pada area rostral ventrolateral
medulla spinalis

2.6 Farmakokinetik dan Farmakodinamik Opioid


Farmakokinetik
 Absorpsi
Setiap rute pemberian opioid memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-
masing. Berbagai rute pembagian opioid yang ada di Indonesia adalah :
- Oral  kebanyakan opioid berada dalam sediaan oral karena sediaan oral lebih
mudah dan nyaman digunakan pada jangka waktu panjang. Bioavailabilitas
opioid untuk pemberian oral berbeda antar individu. Pada pasien yang tidak
sadar atau tidak kooperatif, sediaan oral dapat diberikan melalui pipa
nasogastric.
- Transdermal  Fentanyl merupakan satu-satunya opioid di Indonesia yang
memiliki sediaan transdermal. Sediaan transdermal tidak ideal digunakan untuk
titrasi opioid secara cepat. Sediaan transdermal fentanyl digunakan pada pasien
dengan derajat nyeri konstan dengan episode breakthrough pain yang jarang.
Setelah pemberiaan sediaan transdermal, konsentrasi fentanyl akan mulai
dideteksi dalam darah 1-2 jam kemudian dan mencapai efek plato setelah 12-18
jam. Bila sediaan transdermal dilepaskan, konsentrasi fentanyl di darah akan
menurun perlahan dengan waktu paruh 15-21 jam.
- Subkutan  pilihan obat yang tersedia untuk rute subkutan adalah morfin,
fentanyl, dan hidromorfon. Pada pasien dengan nyeri kanker, rute subukutan
adalah pilihan yang paling disukai karena rute ini mudah dan aman digunakan.
Absorpsi opioid melalui rute subkutan memiliki kecepatan konstan dan
perlahan, sehingga efek analgesic opioid dapat terjaga
- Intravena  pemberian intravena opioid diindikasikan pada kasus di mana
dibutuhkan efek analgesia yang cepat. Pemberian opioid intravea digunakan
untuk anetesia umum dan tatalaksana nyeri. Pada terapi nyeri kronik dan
kanker jangka panjang, rute pemberian intravena tidak disarankan karena
sering dijumpai kesulitan dalam menjaga rute intravena.
- Intramuskular  rute pemberian opioid intramuscular sudah lama ditinggalkan
dan digantikan dengan metode intravena, oral, atau subkutan. Hal ini
disebabkan karena pemberian intramuscular tidak memberikan keuntungan
lebih dibandingkan subkutan dan tidak dapat memberikan analgesia yang cepat
dibandingkan intravena.
- Neuraksial  pemberian obat melalui neuraksial sering digunakan untuk
anesthesia, tatalaksana nyeri akut dan kronik. Nyeri kanker atau tatalaksana
nyeri persalinan.
 Distribusi
Opioid yang telah masuk kedalam tubuh akan mengalami proses distribusi. Pada
fase awal, obat akan didistribusikan pada jaringan dengan perfusi yang tinggi
seperti jantung, hati, dan ginjal.
 Metabolisme
Sebagian besar opioid akan diubah menjadin metabolit yang polar untuk kemudian
dikeluarkan oleh ginjal. Opioid dengan kelompok hidroksil akan mengalami proses
konjugasi dengan asam glukuronida di hati. Beberapa jenis opioid mengalami
proses metabolism oleh sitokrom P-450, CYP3A4 dan CYP2D6. Hasil metabolism
ini adalah metabolit dengan aktifitas yang lebih besar atau lebih kecil dari obat
awalnya. Contohnya adalah metabolism kodein menjadi morfin akan mengurangi
sifat antitusif kodein namun meningkatkan sifat analgesic dan metabolit morfin.
Hasil metabolit opioid yang bersifat polar memiliki kemampuan yang rendah
melewati swar darah otak. Penumpukan metabolit opioid dapat menyebabkan efek
samping yang tidak diinginkan, terutama pada pasien dengan gangguan ginjal atau
pasien yang menerima dosis besar pada jangka waktu lama. Pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal, penumpukan metabolit petidin dapat menyebabkan kejang,
 Ekskresi
Ginjal berperan penting dalam proses eksresi. Metabolite polar yang dihasilkan
akan diekskresikan melalui ginjal. Sebagian kecil dari metabolite ini tidak berubah

Farmakodinamik
Opioid bekerja sebagai agonis pada lokasi presinaptik dan postsinaptik di otak dan
medulla spinalis. Reseptor opioid juga ditemukan pada jaringan perifer pada berbagai
neuron aferen, otot polos pada sistem gastrointestinal, dan intrartikular. Agonis pada
reseptor opioid akan menurunkan transmisi nyeri, baik pada jaringan perifer atau sistem
saraf pusat akibat hiperpolarisasi membrane saraf.
2.7 Kerja Opioid Sebagai Adjuvan Pada Anestesi Regional

Anestesi regional saat ini semakin berkembang dan makin luas pemakaiannyadibidang
anestesi. Mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, di antaranya relatif murah,
pengaruh sistemik yang minimal, menghasilkan analgesia yang adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih sempurna. Anestesi regional khususnya anestesi
spinal telah digunakan secara luas lebih dari seratus tahun dan teknik ini dapat digunakan
untuk prosedur pembedahan daerah abdomen bagian bawah, daerah perineum dan
ekstremitas bawah. Anestesi spinal dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi
lokal ke dalam ruang subaraknoid untuk mendapatkan analgesia setinggi dermatom
tertentu sesuai yang diinginkan.
Anestesi spinal dengan obat anestesi lokal yang baik sangat penting untuk
mendapatkan hasil yang memuaskan dan aman.1 Obat-obat anestesi lokal yang digunakan
pada pembedahan harus mempunyai blokade motorik dan sensorik yang adekuat, mula
kerja yang cepat, tidak bersifat neurotoksik dan pemulihan blokade motorik yang cepat
paska operasi sehingga mobilisasi lebih cepat dilakukan. Untuk mengurangi resiko
toksisitas sistemik akhir-akhir ini banyak dilakukan penelitian terhadap penggunaan dosis
rendah obat anestesi lokal.3,4Salah satu obat anestesi lokal yang paling sering digunakan
untuk anestesi spinal adalah bupivakain yang mempunyai onset kerja 5- 10 menit dan
durasi 75-150 menit.2 Sementara lidokain yang mempunyai onset kerja cepat sekitar 5
menit dulu sering dipakai, namun mulai ditinggalkan karena mempunyai resiko Transient
Neurologic Symptoms (TNS) yang lebih tinggi dan lama kerja yang pendek 60-75
menit.5Pemanjangan durasi dari spinal anestesi untuk operasi dengan durasi lama atau
yang belum dapat diprediksi, kadang diperlukan dalam praktek klinik, sehingga dapat
memberikan daya analgesia yang terbaik untuk pasien selama perioperatif.
Anestesi spinal dengan obat anestesi lokal dianggap masih kurang lama dalam
pemanjangan durasi blokade. Berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan
memperpanjang durasi anestesi spinal. Salah satunya dengan menambahkan obat-obat
adjuvan pada anestesi lokal. Adjuvan intratekal seperti opioid, ketamine dan klonidin
sering ditambahkan untuk memperpanjang durasi dari anestesi spinal. Penambahan opioid
memperpanjang lama kerja anestesi spinal tanpa menunda pulih kembali, klonidin
meningkatkan kualitas analgesia dan mengurangi kebutuhan obat analgesia postoperasi.
Walaupun demikian, penggunaannya terbatas karena dijumpainya berbagai efek
sampingyang terpenting diantaranya pruritus, retensio urin, depresi pernafasan, gangguan
hemodinamik, nistagmus, nausea, dan vomitus.

Fisiologi nyeri terdiri dari :


1) Proses Transduksi
Proses dimana stimulus diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu
stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi
suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending)
atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi
mazoni).
Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya
menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan
menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan
dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan
menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.
2) Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi
melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana
impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus
spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis.
Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang
lebih dalam dan viseral serta berhubunga dengan nyeri yang lebih difus dan
melibatkan
emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron
dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan
ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi
nyeri

3) Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla
spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesic endogen yang
dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior
medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak.
Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan
impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior
sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk
analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat
subjektif pada setiap orang.
4) Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi
dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang
dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan
korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.
BAB 3
KESIMPULAN

Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor morfin yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat
pembedahan dan nyeri paska pembedahan. Opioid dapat menimbulkan efek analgesia
melalui mekanisme perifer. Jenis opioid terdiri dari opioid alami, sintetik dan
semisintetik. Opioid yang sering digunakan adalah morfin, fentanyl, tramadol dan
nalokson. Farmakokinetik opioid terdiri dari absorpsi,distribusi, metabolisme dan eksresi
sedangkan farmakodinamik bekerja sebagai agonis pada lokasi presinaptik dan
postsinaptik di otak dan medulla spinalis. Agonis pada reseptor opioid akan menurunkan
transmisi nyeri, baik pada jaringan perifer atau sistem saraf pusat akibat hiperpolarisasi
membran saraf.
DAFTAR PUSTAKA

H. Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D, farmakologi dan terapi, bagian farmakologi
FK-UI, Jakarta, 1995 ; hal ; 189-206.
Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi II,
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta, Juni, 2001, hal ; 77-83,
161.
Muhardi dan Susilo, Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah, Bagian Anestiologi dan Terapi
Intensif FK-UI, Jakarta 1989, hal ; 199.
Omorgui, s, Buku Saku Obat-obatan Anastesi, Edisi II, EGC, Jakarta, 1997, hal ; 203-207.
Samekto wibowo dan Abdul gopur, farmako terapi dalam neuorologi, penerbit salemba
medika ; hal : 138-143.
Sunatrio. S, ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva with Propofol, majalah Kedokteran
Indonesia, vol : 44, nomor : 5, mei 1994, hal ; 278-279.

Anda mungkin juga menyukai