Anda di halaman 1dari 40

BAGIAN ILMU ANESTESI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

INTOKSIKASI OPIOID

Disusun oleh:
Revoldy Moenandar
NIM. 2016-84-032

Pembimbing
dr. Ony. W. Angkejaya, Sp. An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Analgetik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk


mengurangi rasa sakit atau nyeri. Nyeri timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada
tubuh misalnya rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan
kerusakan pada jaringan yang memicu pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin
dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan
diteruskan ke otak. Secara umum analgetik dibagi dalam dua golongan, yaitu
analgetik non narkotik dan analgetik narkotik (opioid).1
Analgetik narkotik (opioid) merupakan kelompok obat yang memiliki sifat
seperti opium. Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain,
golongan obat ini digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa
nyeri. Opioum yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20
jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, papaverin. Analgetik opioid
terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri meskipun juga
memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain.1
Opiat atau yang dikenal sebagai narkotik adalah bahan yang digunakan untuk
menidurkan atau melegakan rasa sakit,tetapi mempunyai potensi yang tinggi untuk
menyebabkan ketagihan. Sebagian dari opiat,seperti candu,morfin,heroin dan kodein
diperoleh dari getah buah popi yang terdapat atau berasal dari negara-negara Timur
Tengah dan Asia.1
Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan
morfin, dan tidak semua obat golongan opioid dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi
dengan sediaan yang sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat
opioid dapat dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada
kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium
atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau
menghilangkan rasa nyeri. Semua analgesik opioid menimbulkan
adiksi/ketergantungan. Dengan kata lain, opioid adalah semua zat baik sintetik
atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga
sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk
mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Opium
adalah getah candu, sedangkan opiate merupakan obat yang dibuat dari
opium.1,2.3

B. SEJARAH OPIOID
Elixir berbasis opium telah dinisbahkan kepada alchemists of zaman
Bizantium, tapi rumus tertentu seharusnya menghilang selama penaklukan
Ottoman Konstantinopel. Sekitar tahun 1522 Paracelsus referensinya berbasis
opium elixir yang ia sebut, '' laudanum'' dari kata bahasa Latin ''laudare'' berarti
"pujian." ia menggambarkannya sebagai pembunuh rasa sakit yang kuat, tetapi
dianjurkan bahwa itu digunakan secukupnya. Pada akhir abad ke-18, setelah
penaklukan Inggris Benggala tahun 1757 memberikan East India Company
kepentingan langsung dalam perdagangan opium, resep candu lain yang disebut
'laudanum' menjadi sangat populer di kalangan dokter dan pasien.1
Morfin ditemukan sebagai alkaloid aktif pertama yang diambil dari tanaman
opium poppy pada Desember 1804 Paderborn oleh Friedrich Sertürner. Obat
pertama dipasarkan untuk masyarakat umum oleh Sertürner and Company pada
tahun 1817 sebagai analgesik, dan juga sebagai pengobatan untuk kecanduan
opium dan alkohol. Kemudian ditemukan bahwa morfin lebih kecanduan

3
daripada alkohol atau opium, dan penggunaannya yang luas selama Perang
Saudara Amerika diduga mengakibatkan lebih dari 400.000 penderita dari
"penyakit soldier's" morfin kecanduan. Ide ini telah menjadi subjek kontroversi,
seperti yang sudah ada usulan bahwa penyakit tersebut ternyata fabrikasi;
didokumentasikan pertama penggunaan frase "soldier's penyakit" pada 1915.1
Diacetylmorphine (lebih dikenal sebagai heroin) disintesis dari morfin pada
1874 dan dibawa ke pasar oleh Bayer pada tahun 1898. Heroin adalah sekitar
1.5–2 kali lebih kuat daripada morfin secara milligram untuk milligram.
Menggunakan berbagai langkah-langkah subjektif dan objektif, satu studi
memperkirakan potensi relatif heroin untuk morfin dikelola intravena untuk
post-addicts harus 1.80–2.66 mg morfin sulfat untuk 1 mg diamorphine
hidroklorida (heroin).1
Morfin menjadi zat controlled di AS di bawah UU pajak narkotika Harrison
1914, dan kepemilikan tanpa resep di Amerika Serikat adalah pelanggaran
pidana.1
Morfin adalah analgesik narkotika yang paling sering digunakan di dunia
sampai heroin berhasil disintesis dan digunakan. Sampai sintesis
dihydromorphine (ca. 1900), kelas dihydromorphinone opioid (1920-an), dan
oxycodone (1916) dan obat-obatan yang serupa, biasanya ada tidak ada obat lain
dalam kisaran kemanjuran yang sama sebagai opium, morfin, dan heroin, dengan
sintetis masih beberapa tahun lagi (pethidine diciptakan di Jerman pada tahun
1937) dan opioid agonists di antara semi-synthetics analogues dan turunan
kodein seperti dihydrocodeine (Paracodin), ethylmorphine (Dionine), dan
benzylmorphine (Peronine). Bahkan saat ini, morfin adalah yang paling dicari
setelah resep narkotika oleh pecandu heroin ketika heroin langka, semua hal-hal
lain yang sama; kondisi setempat dan preferensi pengguna dapat menyebabkan
hydromorphone, oxymorphone, oxycodone dosis tinggi, atau metadon serta
dextromoramide dalam contoh-contoh spesifik seperti Australia tahun 1970-an,
ke atas daftar tertentu. Obat-obatan stop-gap yang digunakan oleh terbesar

4
jumlah absolut pecandu heroin mungkin adalah kodein, dengan signifikan juga
penggunaan dihydrocodeine, poppy jerami derivatif seperti poppy pod dan teh
biji poppy, propoxyphene, dan tramadol.1

C. KLASIFIKASI OBAT GOLONGAN OPIOID


Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi:1,3
1. Agonis penuh (kuat)
2. Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang)
3. Campuran agonis-antagonis
4. Antagonis

Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan


agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis dengan
menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan mengurangi
efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid
yang memiliki efek agonis pada satu subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu
parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya.1,3

Tabel 2.2. Klasifikasi obat golongan opioid1


Campuran
Struktur
Agonis kuat Agonis parsial agonis- Antagonis
dasar
antagonis
Fenantren Morfin, Kodein, Nalbufin, Nalorfin,
hidromorfon, oksikodon, buprenorfin nalokson,
oksimorfon hidrokodon naltrekson
Fenilheptilamin Metadon Propoksifen
Fenilpiperidin Meperidin, Difenoksilat
fentanil
Morfinan Levorfanol Butorfanol
Benzomorfan Pentazosin

5
D. OBAT GOLONGAN OPIOD YANG BIASA DIGUNAKAN1-4
a. Fenantren
Golongan fenantren merupakan bagian dari alkaloid asal opium,
misalnya morfin dan kodein. Dari alkaloid derivat fenantren yang alamiah telah
dibuat berbagai derivat semisintetik, seperti hidromorfon, oksimorfon, dan
heroin. Efek farmakologik masing-masing derivat secara kualitatif sama,
namun berbeda secara kuantitatif dengan morfin. Efek morfin pada SSP dan
usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor
mu, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Morfin memiliki waktu onset yang lambat. pKa morfin membuatnya
hampir terionisasi sempurna pada pH fisiologis. Hal ini dan kelarutan
lemaknya yang rendah menyebabkan latensi morfin lebih lambat untuk
mencapai efek puncak; Morfin menembus SSP secara perlahan. Fitur ini
memiliki kelebihan dan kekurangan yang terkait dengannya. Latensi yang
berkepanjangan untuk efek puncak berarti bahwa morfin mungkin kurang
mungkin menyebabkan depresi pernafasan akut setelah injeksi bolus dosis
analgesik khas dibandingkan dengan opioid yang bekerja lebih cepat. Di sisi
lain, waktu onset lambat menyebabkan klinisi secara tidak tepat akan
meningkatkan dan "menumpuk" dosis morfin yang lebih banyak pada pasien
dengan nyeri berat, sehingga berpotensi menjadi toksik.
Metabolit aktif morfin, M6G, memiliki implikasi klinis yang penting.
Meskipun konversi ke akun M6G hanya 10% metabolisme morfin, M6G dapat
berkontribusi terhadap efek analgesik morfin bahkan pada pasien dengan
fungsi ginjal normal, terutama dengan penggunaan jangka panjang. Karena
rasio ekstraksi hepatik morfin yang tinggi, bioavailabilitas morfin yang
diberikan secara oral secara signifikan lebih rendah daripada setelah injeksi
parenteral. Efek first pass hati ppada morfin yang diberikan secara oral
menghasilkan tingkat M6G yang tinggi. Bahkan, M6G mungkin senyawa aktif
utama ketika morfin diberikan secara oral.

6
Codeine, dihydrocodeine, dan hydrocodone semuanya memiliki efikasi
yang lebih rendah dibandingkan morfin dan sering memiliki efek samping yang
membatasi dosis maksimum yang dapat ditoleransi ketika seseorang mencoba
untuk mencapai analgesia yang sebanding dengan morfin. Oxycodone lebih
poten dan diresepkan sendiri dalam dosis yang lebih tinggi sebagai bentuk
immediate-release atau controlled-release untuk pengobatan nyeri sedang
sampai berat. Kombinasi hidrokodon atau oksikodon dengan acetaminophen
adalah formulasi utama analgesik yang diberikan secara oral untuk pengobatan
nyeri ringan sampai sedang. Namun, telah terjadi peningkatan besar dalam
penggunaan oxycodone controlled-release pada rentang dosis tertinggi.
Nalbuphine adalah agonis kuat reseptor mu dan antagonis reseptor μ;
obat ini diberikan secara parenteral. Pada dosis yang lebih tinggi tampaknya
memiliki efek depresan pernapasan. Sayangnya, ketika depresi pernafasan
terjadi, zat ini mengalami resistensi terhadap nalokson.
Buprenorfin adalah derivat fenantren poten dan long-acting yang
merupakan agonis reseptor mu parsial dan antagonis κ-reseptor. Administrasi
dengan rute sublingual lebih disukai untuk menghindari efek first-pass yang
signifikan. Durasi kerjanya yang panjang adalah karena disosiasi yang lambat
dari reseptor μ. Properti ini membuat efeknya resisten terhadap pembalikan
nalokson. Aplikasi klinisnya mirip dengan nalbuphine. Selain itu, penelitian
terus menunjukkan bahwa buprenorfin seefektif metadon dalam detoksifikasi
dan pemeliharaan penyalahgunaan heroin. Berbeda dengan metadon,
pemberian buprenorfin dosis tinggi dalam aksi antagonis μ-opioid, membatasi
sifat analgesia dan depresi pernafasan. Selain itu, buprenorfin juga tersedia
dikombinasikan dengan antagonis μ-opioid murni (Suboxone) untuk membantu
mencegah penyimpangan untuk penyalahgunaan intravena terlarang. Sediaan
patch transdermal slow release yang melepaskan obat selama periode 1 minggu
juga tersedia.

7
b. Fenilheptilamin
Metadon dikenal sebagai analgesik yang kuat dan bermanfaat secara
klinis. Dapat diberikan melalui rute oral, intravena, subkutan, spinal, dan
rektal. Ia terserap dengan baik dari saluran pencernaan dan bioavailabilitasnya
jauh melebihi dari morfin oral.
Metadon bukan hanya agonis reseptor μ yang poten tetapi campuran
rasemik dari isomer D- dan L-metadon juga dapat memblokir reseptor NMDA
dan transporter reuptake monoaminergik. Kerja pada reseptor nonopioid ini
dapat membantu menjelaskan kemampuannya untuk meredakan nyeri yang
sulit diobati (neuropatik, nyeri kanker), terutama ketika pengobatan dengan
morfin sebelumnya gagal. Dalam hal ini, ketika toleransi analgesik atau efek
samping telah dikembangkan dengan penggunaan peningkatan dosis morfin
atau hidromorfon, peralihan ke metadon telah memberikan efek analgesia yang
superior sebesar 10-20% dari dosis harian setara morfin. Berbeda dengan
penggunaannya dalam menekan gejala putus obat opioid, penggunaan metadon
sebagai analgesik biasanya membutuhkan pemberian pada interval tidak lebih
dari 8 jam. Namun, mengingat farmakokinetik metadon yang sangat bervariasi
dan waktu paruh yang panjang (25-52 jam), administrasi awal harus dimonitor
secara ketat untuk menghindari efek merugikan yang berpotensi
membahayakan, terutama depresi pernafasan. Karena metadon dimetabolisme
oleh CYP3A4 dan CYP2B6 isoform di hati, penghambatan jalur metabolik atau
disfungsi hati juga telah dikaitkan dengan efek overdosis, termasuk depresi
pernafasan atau, lebih jarang, aritmia jantung dengan gambaran QT
berkepanjangan.
Metadon banyak digunakan dalam pengobatan penyalahgunaan opioid.
Toleransi dan ketergantungan fisik berkembang lebih lambat dengan metadon
dibandingkan dengan morfin. Tanda-tanda putus obat dan gejala yang terjadi
setelah penghentian tiba-tiba metadon lebih ringan, meskipun lebih
berkepanjangan, dibandingkan dengan morfin. Sifat-sifat ini membuat metadon

8
menjadi obat yang berguna untuk detoksifikasi dan untuk pemeliharaan
pecandu heroin kronis yang kambuh.
Untuk detoksifikasi pecandu ketergantungan heroin, dosis rendah
metadon (5-10 mg per oral) diberikan dua atau tiga kali sehari selama 2 atau 3
hari. Setelah menghentikan metadon, pecandu mengalami sindrom penarikan
yang ringan namun dapat bertahan lama.
Pemberian metadon bersamaan pada pecandu heroin yang dikenal
sebagai residivis dipertanyakan karena peningkatan risiko kematian akibat
overdosis yang terjadi akibat depresi pernapasan. Tidak hanya jumlah pasien
yang diresepkan metadon untuk nyeri persisten meningkat, tetapi kejadian
overdosis dan komplikasi yang terkait dengan depresi pernafasan juga
meningkat. Buprenorfin, agonis μ-reseptor parsial dengan sifat longacting,
telah ditemukan efektif dalam program detoksifikasi dan pemeliharaan opioid
dan diduga terkait dengan risiko lebih rendah dari kematian overdosis.
Propoxyphene secara kimiawi berhubungan dengan metadon tetapi
memiliki aktivitas analgesik yang sangat rendah. Kemanjurannya yang rendah
membuatnya tidak cocok untuk nyeri berat, bahkan dalam kombinasi dengan
aspirin. Meningkatnya insiden kematian yang terkait dengan penggunaannya
dan penyalahgunaan menyebabkan obat ini ditarik dari peredaran.

c. Fenilpiperidin
Fentanyl adalah salah satu agen yang paling banyak digunakan dalam
golongan opioid sintetis. Subkelompok fentanyl diantaranya sufentanil,
alfentanil, dan remifentanil.
Opioid ini berbeda terutama dalam potensi dan biodisposisinya.
Sufentanil lima sampai tujuh kali lebih kuat daripada fentanyl. Alfentanil jauh
kurang manjur daripada fentanyl, tetapi bertindak lebih cepat dan memiliki
durasi aksi yang sangat pendek. Remifentanil dimetabolisme sangat cepat oleh
darah dan esterase jaringan nonspesifik, membuat efek farmakokinetik dan

9
farmakodinamiknya sangat singkat. Sifat-sifat tersebut berguna ketika senyawa
ini digunakan dalam praktek anestesi. Meskipun fentanil sekarang merupakan
analgesik utama pada kelas fenilpiperidin, meperidin terus digunakan. Opioid
tua ini memiliki efek antimuskarinik yang signifikan, yang dapat menjadi
kontraindikasi jika takikardia akan menjadi masalah. Meperidine juga
dilaporkan memiliki tindakan inotropik negatif pada jantung. Selain itu, ia
memiliki potensi untuk menghasilkan kejang sekunder untuk akumulasi
metabolitnya, normeperidine, pada pasien yang menerima dosis tinggi atau
dengan gagal ginjal bersamaan. Mengingat profil yang tidak diinginkan ini,
penggunaan meperidine sebagai analgesik lini pertama menjadi semakin
langka.
Diphenoxylate dan metabolitnya, difenoxin, tidak digunakan untuk
analgesia tetapi untuk pengobatan diare. Kelarutan yang buruk dari senyawa
membatasi penggunaannya untuk injeksi parenteral. Sebagai obat antidiare,
mereka digunakan dalam kombinasi dengan atropin. Atropin ditambahkan
dalam konsentrasi terlalu rendah untuk memiliki efek antidiare yang signifikan
tetapi diduga untuk mengurangi kemungkinan penyalahgunaan.Loperamide
adalah turunan fenilpiperidin yang digunakan untuk mengontrol diare. Namun,
karena kerja pada reseptor μ-opioid perifer dan kurangnya efek pada reseptor
CNS, ada temuan baru dalam potensinya untuk pengobatan nyeri neuropatik.
Potensi penyalahgunaannya dianggap sangat rendah karena aksesnya yang
terbatas ke otak. Oleh karena itu tersedia tanpa resep dokter. Dosis umum
dengan semua agen antidiare ini adalah dua tablet untuk memulai dan
kemudian satu tablet setelah setiap buang air besar.

d. Morfinan
Levorphanol adalah analgesik opioid sintetis yang kerjanya sangat
menyerupai morfin.Butorphanol menimbulkan efek analgesia yang setara
dengan nalbuphine dan buprenorphine tetapi tampaknya menghasilkan sedasi

10
lebih banyak pada dosis equianalgesic. Butorfanol dianggap sebagai agonis κ.
Namun, ia juga dapat bertindak sebagai agonis parsial atau antagonis pada
reseptor μ.

e. Benzomorfan
Pentazosin adalah agonis κ dengan sifat agonis μ-antagonis atau parsial
yang lemah. Ini adalah agen campuran tertua yang tersedia. Ini dapat
digunakan secara oral atau parenteral. Namun, karena sifat iritannya, injeksi
pentazosin secara subkutan tidak dianjurkan.

f. Tramadol
Tramadol adalah analgesik kerja sentral yang mekanisme kerjanya
sebagian besar didasarkan pada blokade serotonin reuptake. Tramadol juga
telah ditemukan untuk menghambat fungsi transporter norepinefrin. Karena
hanya sebagian di antagonis oleh nalokson, diyakini hanya sebagai agonis
reseptor μ lemah. Dosis yang dianjurkan adalah 50-100 mg per oral empat kali
sehari. Toksisitas berhubungan dengan kejang; obat ini relatif kontraindikasi
pada pasien dengan riwayat epilepsi dan untuk digunakan dengan obat lain
yang menurunkan ambang kejang. Risiko serius lainnya adalah pengembangan
sindrom serotonin, terutama jika inhibitor serotonin reuptake inhibitor selektif
(SSRI) sedang diberikan. Efek samping lain termasuk mual dan pusing, tetapi
gejala-gejala ini biasanya mereda setelah beberapa hari terapi. Hal ini
mengejutkan bahwa tidak ada efek yang signifikan secara klinis pada respirasi
atau sistem kardiovaskular sejauh ini telah dilaporkan. Mengingat fakta bahwa
aksi analgesik tramadol sebagian besar tidak bergantung pada aksi reseptor-μ,
tramadol dapat berfungsi sebagai tambahan dengan agonis opioid murni dalam
pengobatan nyeri neuropatik kronis.

11
g. Antagonis Opioid
Obat antagonis opioid murni nalokson, naltrexone, dan nalmefene adalah
turunan morfin yang memiliki afinitas yang relatif tinggi untuk reseptor μ-
opioid. Mereka memiliki afinitas yang lebih rendah untuk reseptor lainnya
namun dapat pula membalikkan efek agonis pada reseptor δ dan κ.
Tabel 2.4. Dosis dan Sediaan Obat-obatan Opioid6
No Nama Obat Sediaan Dosis
1 Morfin - Cairan injeksi 10 mg/ml Nyeri sedang hingga berat;
- Tablet 5 mg, 10 mg, 100 mg - Intraspinal: inisiasi 5 mg, dapat
ditambahkan satu jam kemudian
1-2 mg (maks. 10 mg/hari)
- Intratekal: 0,2-1mg 1x1 (Pada
pasien yang mengalami toleransi
dapat diberikan 1-10 mg (maks.
20 mg/hari)
- Peroral: 5-20 mg/12 jam (lepas
lambat)
- Parenteral: 5-20 mg (IM/SK) yang
diberikan lambat selama 4-5
menit. 1-2 mg/jam (Infus IV)
(maks. 100 mg/hari atau 4 g/hari
untuk kasus kanker
IMA:
- 5-10 mg (IV) dengan kecepatan 1-
2 mg/menit. Dapat ditambah 5-10
mg jika diperlukan
- Lansia: setengah dosis dewasa
Edema paru akut:
- 5–10 mg (IV) dengan kecepatan 2
mg/menit
Premedikasi preoperasi:
- 10 mg (IM/SK) diberikan 60–90
menit sebelum operasi
Anak:
- Neonatus: 0,01–0,02
mg/kgBB/jam (IV infus)
- Bayi dan anak-anak: 0,025–2,6
mg/kgBB/jam (IV), rata-rata 0,06
mg/kgBB/jam
- Pascaoperasi pada anak-anak:
0,01–0,04 mg/kgBB/jam (IV)
2 Kodein Tablet 10,15, 20 mg Nyeri ringan – sedang:
- 30-60 mg/4 jam (maks. 240

12
mg/hari)
- Anak 1-12 tahun: 3 mg/kgBB/hari
Diare akut:
- 15-60 mg/4 jam
Antitusif
- Dewasa: 10-20 mg/4 jam (maks.
120 mg/hari)
- Anak: 6-12 tahun 5-10 mg atau
0,5-1,5 mg/kg bb tiap 4-6 jam
maksimal 60 mg/hari; 2-6 tahun
0,5-1 mg/kg bb/hari dalam dosis
terbagi tiap 4-6 jam maksimal 30
mg/hari
3 Hidromorfon Tablet lepas lambat 4,8,32,64 4 mg tiap 24 jam, dapat dinaikkan
mg sesuai kebutuhan (dinaikkan tiap 3-
4 hari)
4 Oksikodon Tablet lepas lambat 5, 10, 20, awal, 5 mg setiap 4-6 jam,
40, 80 mg ditingkatkan jika perlu menurut
tingkat keparahan nyeri; maksimal
400 mg sehari
5 Petidin Tablet 50, 100 mg Nyeri akut
Sirup 50 mg/5 ml - oral 50-150 mg tiap 4 jam; anak:
Ampul 50 mg/ml 0,5-2 mg/kg bb
- 25-100 mg (diulang setelah 4 jam)
(IM/SK)
- 25-50 mg (diulang setelah 4 jam)
(IV)

6 Fentanyl Transdermal patch 12mcg/h, Premedikasi


25 mcg/h, 50 mcg/h, 75 - 50-100 mcg/kali (IM/bolus IV
mcg/h, 100 mcg/h pelan 30-60 menit sebelum
operasi)
Ampul 0,05 mg/ml Anestesi Umum
- Minor: 0,5-2 mcg/kg/dosis/IV
- Mayor: 2-20 mcg/kg/dosis/IV
Analgesia:
- 1-2 mcg/kg atau 25-100 mcg/kali
bila nyeri
- 1-2 mcg/kg/jam dengan infus
kontinyu (25-200 mcg/jam)
7 Tramadol Tablet 50 mg oral, 50-100 mg tidak boleh lebih
Ampul 50 mg/ml sering dari 4 jam; maks 400 mg per
hari
parenteral, 50-100 mg tiap 4-6 jam
(IM atau IV bolus lebih dari 2-3
menit atau infus IV)

13
8 Nalokson Ampul 0,4 mg/ml Dosis awal 0,4 – 2 mg dapat
dinaikka 2-3 menit

E. RESEPTOR OPIOD
Ada tiga jenis utama reseptor opioid yaitu mu (µ), delta (δ), dan kappa (κ).
Ketiga jenis reseptor termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan
protein G, dan memiliki subtipe: mu1, mu2, delta1,delta2, kappa1, kappa2, dan
kappa3. Karena suatu opioid dapat berfungsi dengan potensi yang berbeda
sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari satu jenis
reseptor atau subtipe reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat
memiliki efek farmakologik yang beragam.1-4
Reseptor µ memperantai efek analgetik mirip morfin, euforia, depresi napas,
miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor κ diduga memperantai
analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi
napas yang tidak sekuat agonis µ. Selain itu di susunan saraf pusat juga
didapatkan reseptor δ yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor ε (epsilon)
yang sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas
terhadap enkefalin. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa reseptor
delta memegang peranan dalam menimbulkan depresi pernapasan yang
ditimbulkan opioid.1-4

F. FARMAKOKINETIK
a. Absorpsi
Sebagian besar analgesik opioid diabsorpsi dengan baik ketika diberikan
secara subkutan, intramuskular, dan oral. Namun, karena efek first-pass, dosis
oral opioid (misalnya, morfin) mungkin perlu jauh lebih tinggi daripada dosis
parenteral untuk mendapatkan efek terapeutik. Keragaman antar pasien yang
cukup besar pada metabolisme first pass opioid menyebabkan sulitnya prediksi
dosis oral yang efektif. Pemberian analgesik tertentu seperti kodein dan

14
oksikodon secara oral efektif karena metabolisme first-pass telah dikurangi.
Pemberian opioid tertentu melalui jalur intranasal dapat mencapai dosis
terapeutik dalam darah yang cepat dengan menghindari metabolisme first pass.
Rute lain dari administrasi opioid termasuk mukosa mulut melalui lozenges,
dan transdermal melalui transdermal patches. Transdermal patches dapat
memberikan efek analgesik yang poten selama berhari-hari. Baru-baru ini
sistem transdermal iontophoretic telah diperkenalkan, memungkinkan
pengiriman fentanil bebas jarum untuk analgesia yang dapat dikontrol oleh
pasien.1-4
b. Distribusi
Penyerapan opioid oleh berbagai organ dan jaringan adalah fungsi dari
faktor fisiologis dan kimia. Meskipun semua opioid berikatan dengan protein
plasma dengan afinitas yang bervariasi, obat-obatan dengan cepat
meninggalkan kompartemen darah dan terlokalisir dalam konsentrasi tertinggi
dalam jaringan dengan perfusi tinggi seperti otak, paru-paru, hati, ginjal, dan
limpa. Konsentrasi obat di otot skeletal mungkin jauh lebih rendah, tetapi
jaringan ini berfungsi sebagai reservoir utama karena berukuran lebih besar.
Meskipun aliran darah ke jaringan lemak jauh lebih rendah daripada jaringan
dengan perfusi tinggi, akumulasi dalam jaringan ini dapat menjadi sangat
penting, terutama setelah pemberian dosis tinggi atau infus berkelanjutan
opioid lipofilik yang lambat dimetabolisme, misalnya, fentanil.1-4
c. Metabolisme
Sebagian besar opioid dikonversi menjadi metabolit polar (terutama
glukuronida), yang kemudian siap diekskresikan oleh ginjal. Sebagai contoh,
morfin, yang mengandung gugus hidroksil bebas, terutama terkonjugasi ke
morfin-3-glukuronida (M3G), suatu senyawa dengan sifat-sifat neuroeksitatori.
Efek neuroeksitatori dari M3G tampaknya tidak dimediasi oleh reseptor μ
tetapi oleh sistem GABA/glycinergic. Sebaliknya, sekitar 10% morfin
dimetabolisme menjadi morfin-6-glukuronida (M6G), metabolit aktif dengan

15
potensi analgesik empat hingga enam kali lipat dari senyawa induknya.
Namun, metabolit relatif polar ini memiliki kemampuan terbatas untuk
menyeberangi sawar darah otak dan mungkin tidak menimbulkan efek pada
SSP yang signifikan sebagaimana efek yang ditimbulkan morfin biasanya
secara akut. Namun demikian, akumulasi metabolit ini dapat menghasilkan
efek merugikan yang tidak diharapkan pada pasien dengan gagal ginjal atau
ketika dosis morfin yang sangat besar diberikan dalam jangka panjang. Hal ini
dapat menyebabkan eksitasi SSP yang disebabkan oleh M3G (kejang) atau
kerja opioid yang diperpanjang dan diperkuat oleh karena M6G. Penyerapan
M3G pada SSP dan, pada tingkat lebih rendah, M6G dapat ditingkatkan dengan
pemberian bersama dengan probenesid atau dengan obat yang menghambat
pengangkut obat P-glikoprotein. Seperti morfin, hidromorfon dimetabolisme
oleh konjugasi, menghasilkan hidromorfon-3-glukuronida (H3G), yang
memiliki sifat rangsang SSP. Namun, hidromorfon belum terbukti membentuk
sejumlah besar metabolit 6-glukuronida.1-4
Efek dari metabolit aktif ini harus dipertimbangkan pada pasien dengan
gangguan ginjal sebelum pemberian morfin atau hidromorfon, terutama ketika
diberikan pada dosis tinggi.Ester (misalnya heroin, remifentanil) dengan cepat
terhidrolisis oleh esterase jaringan umum. Heroin (diacetylmorphine)
dihidrolisis menjadi monoacetylmorphine dan akhirnya menjadi morfin, yang
kemudian terkonjugasi dengan asam glukuronat.1-4
Metabolisme oksidatif di hati adalah rute utama degradasi opioid
fenilpiperidin (meperidin, fentanyl, alfentanil, sufentanil) dan akhirnya hanya
menyisakan sedikit senyawa induk yang tidak lagi diubah untuk ekskresi.
Namun, akumulasi metabolit demetilasi meperidine, normeperidine, dapat
terjadi pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal dan pada mereka yang
menerima beberapa dosis tinggi obat. Dalam konsentrasi tinggi, normeperidine
dapat menyebabkan kejang. Sebaliknya, tidak ada metabolit fentanil aktif yang
dilaporkan. The P450 isozim CYP3A4 memetabolisme fentanyl oleh N -

16
dealkylation di hati. CYP3A4 juga hadir di mukosa usus kecil dan
berkontribusi pada metabolisme first pass fentanyl ketika dikonsumsi secara
oral. Kodein, oksikodon, dan hidrokodon mengalami metabolisme di hati oleh
P450 isozim CYP2D6, sehingga menghasilkan metabolit yang lebih besar
potensinya. Sebagai contoh, kodein didemetilasi menjadi morfin. Polimorfisme
genetik CYP2D6 telah dibuktikan memiliki keterkaitan dengan variasi respon
analgesik yang terlihat di antara pasien. Namun demikian, metabolit oksikodon
dan hidrokodon mungkin memiliki konsekuensi kecil; senyawa induk saat ini
diyakini bertanggung jawab langsung untuk sebagian besar tindakan analgesik
mereka. Namun, oksikodon dan metabolitnya dapat terakumulasi dalam
kondisi gagal ginjal dan telah dikaitkan dengan tindakan dan sedasi yang
berkepanjangan. Dalam kasus kodein, konversi ke morfin mungkin lebih
penting karena kodein itu sendiri memiliki afinitas yang relatif rendah untuk
reseptor opioid. Akibatnya, pasien mungkin tidak mengalami efek analgesik
yang signifikan atau respon dapat menjadi berlebihan akibat perbedaan dalam
konversi metabolik. Untuk alasan ini, penggunaan rutin kodein, terutama pada
kelompok usia anak, sedang dipertimbangkan kembali.1-4
d. Ekskresi
Metabolit polar, termasuk konjugat glukuronid dari analgesik opioid,
diekskresikan terutama dalam urin. Sejumlah kecil obat yang tidak berubah
juga dapat ditemukan di urin. Selain itu, konjugat glukuronid ditemukan dalam
empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik hanya mewakili sebagian kecil dari
proses ekskretoris.1-4

G. FARMAKODINAMIK
a. Mekanisme kerja
Agonis opioid menghasilkan analgesia dengan cara berikatan dengan G
protein-coupled receptors spesifik yang terletak di otak dan medula spinalis

17
yang terlibat dalam transmisi dan modulasi nyeri. Beberapa efek dapat
dimediasi oleh reseptor opioid pada ujung saraf sensoris perifer.2,3,4

Gambar 2.2. Kerja opioid endogen dan eksogen pada reseptor opioid 4

Pada tingkat molekuler, reseptor opioid membentuk keluarga protein


yang secara fisik berhubungan dengan protein G dan melalui interaksi ini
mempengaruhi kanal saluran ion, memodulasi disposisi Ca2+ intraseluler, dan
mengubah fosforilasi protein. Opioid memiliki dua aksi langsung G protein-
coupled pada neuron: (1) mereka menutup kanal Ca2+ voltage-gated pada
terminal saraf presinaptik dan dengan demikian mengurangi pelepasan
transmiter, dan (2) mereka menyebabkan hiperpolarisasi dan dengan demikian
menghambat neuron pascasinaptik dengan cara membuka saluran K+. Kerja
presinaptik (menurunkan pelepasan transmitter) telah menggambarkan
pelepasan neurotransmitter dalam jumlah besar, termasuk glutamat, asam
amino eksitasi utama yang dilepaskan dari terminal saraf nosiseptif, serta
asetilkolin, norepinefrin, serotonin, dan substansi P.2,3,4

18
Gambar 2.3. Mekanisme kerja opioid pada reseptor 2

Mayoritas analgesik opioid saat ini bekerja terutama pada reseptor μ-


opioid. Analgesia dan efek euforia, depresi pernapasan, dan sifat
ketergantungan fisik morfin terutama disebabkan oleh aksi pada reseptor μ.
Bahkan, reseptor µ awalnya didefinisikan menggunakan potensi relatif untuk
analgesia klinis dari serangkaian alkaloid opioid. Namun, efek analgesik opioid
bersifat kompleks dan mencakup interaksi dengan reseptor δ dan κ.
Perkembangan agonis selektif μ-reseptor dapat bermanfaat secara klinis jika
efek samping mereka (depresi pernafasan, risiko ketergantungan) lebih baik
daripada yang ditemukan dengan agonis reseptor μ saat ini, seperti morfin.
Meskipun morfin bertindak di reseptor κ dan δ, saat ini masih tidak jelas sejauh
mana kontribusinya terhadap aksi analgesiknya. Peptida opioid endogen
berbeda dari sebagian besar alkaloid dalam afinitasnya untuk reseptor δ dan
κ.2,3,4
Dalam upaya untuk mengembangkan analgesik opioid dengan penurunan
kejadian depresi pernapasan atau kecenderungan untuk kecanduan dan
ketergantungan, senyawa yang menunjukkan preferensi untuk reseptor opioid κ
telah dikembangkan. Butorphanol dan nalbuphine telah menunjukkan beberapa
keberhasilan klinis sebagai analgesik, tetapi mereka dapat menyebabkan reaksi
dysphoric dan memiliki potensi yang terbatas. Sangat menarik bahwa

19
butorphanol juga telah terbukti menyebabkan analgesia secara signifikan lebih
besar pada wanita dibandingkan pada pria. Faktanya, perbedaan berbasis
gender pada analgesia yang dimediasi oleh aktivasi reseptor μ dan telah
dilaporkan secara luas.2,3,4

Gambar 2.4. Mekanisme potensial reseptor oleh obat analgesik3

Situs pengikatan reseptor opioid telah dilokalisir secara autoradiografi


dengan radioligands afinitas tinggi dan dengan antibodi terhadap sekuens
peptida unik tiap subtipe reseptor. Ketiga reseptor utama hadir dalam
konsentrasi tinggi di kornu posterior sumsum tulang belakang. Reseptor
ditemukan baik pada neuron transmisi nyeri pada medula spinalis dan pada
aferen utama yang menyampaikan pesan nyeri kepada mereka. Meskipun
agonis opioid secara langsung menghambat transmisi nyeri pada neuron kornu
posterior, mereka juga menghambat pelepasan neurotransmitter dari aferen
primer. Dalam terminal presinaptik, ada bukti bahwa heterodimerisasi reseptor
μ-opioid dan δ-opioid berkontribusi pada efikasi μ-agonis (misalnya,
penghambatan aktivitas kanal kalsium presinaptik). Reseptor μ berhubungan
dengan TRPV1 dan peptida (substansi P) yang mengekspresikan nosiseptor,

20
sedangkan ekspresi reseptor δ mendominasi pada populasi nosiseptor non-
peptidergik, termasuk banyak aferen primer dengan akson mielin. Sampai
sejauh mana perbedaan ekspresi reseptor μ dan reseptor δ di ganglia akar dorsal
yang menjadi karakteristik neuron di sepanjang SSP masih belum dapat
dipastikan.2,3,4

Gambar 2.5. Dugaan lokasi kerja obat analgesik opioid4

Dengan demikian, opioid menciptakan efek analgesik yang kuat langsung


pada medula spinalis. Kerjanya yang langsung pada medula spinalis ini telah
dimanfaatkan secara klinisi dengan cara aplikasi langsung agonis opioid ke
medula spinalis, yang memberikan efek analgesik regional serta mengurangi
depresi pernapasan yang tidak diinginkan, mual dan muntah, dan sedasi yang
dapat timbul akibat kerja obat sistemik pada supraspinal.2,3,4

21
Gambar 2.6. Dasar efek modulasi nyeri yang dimediasi reseptor mu di batang otak4

Dalam sebagian besar keadaan, opioid diberikan secara sistemik dan


bertindak secara simultan di berbagai situs. Hal ini termasuk bukan hanya jalur
ascending transmisi nyeri yang dimulai dengan terminal sensorik perifer
khusus yang mentransduksi rangsangan nyeri tetapi juga jalur descending
(modulasi). Di situs-situs tersebut, opioid secara langsung menghambat neuron;
namun tindakan ini menghasilkan aktivasi neuron inhibitorik descendens yang
mengirim sinyal ke medula spinalis dan menghambat neuron transmisi nyeri.
Secara bersama-sama, interaksi di situs-situs ini meningkatkan efek analgesik
keseluruhan agonis opioid.2,3,4
Ketika obat opioid penghilang rasa sakit diberikan secara sistemik,
mereka mungkin bekerja pada sirkuit neuronal yang biasanya diatur oleh
peptida opioid endogen. Bagian dari aksi penghilang rasa sakit dari opioid
eksogen melibatkan pelepasan peptida opioid endogen. Agonis opioid eksogen
(misalnya, morfin) dapat bertindak terutama dan langsung pada reseptor μ,
tetapi kerja tersebut dapat merangsang pelepasan opioid endogen yang juga
bertindak pada reseptor δ dan κ. Dengan demikian, bahkan ligan reseptor-
selektif dapat memulai urutan peristiwa kompleks yang melibatkan berbagai

22
sinapsis, neurotransmitter, dan berbagai jenis reseptor.Selanjutnya, aktivasi
reseptor µ perifer dapat menyebabkan penurunan aktivitas neuron sensorik dan
pelepasan transmiter. Pelepasan β-endorphin endogen yang diproduksi oleh sel-
sel imun dalam jaringan yang terluka atau meradang merupakan salah satu
sumber aktivasi reseptor μ perifer fisiologis.2,3,4
b. Toleransi dan ketergantungan
Pemberian obat-obatan opioid yang berulang akan menyebabkan
penurunan efektivitas obat yang berkurang secara perlahan, atau dikenal
dengan toleransi. Untuk menimbulkan efek terapeutik yang diinginkan sama
seperti sebelumnya, diperlukan dosis yang lebih besar. Bersamaan dengan itu,
ketergantungan fisik pun timbul. Ketergantungan fisik didefiniskan sebagai
sindrom putus obat (withdrawal) atau abstinensi yang timbul saat obat-obatan
dihentikan atau antagonis diberikan.2,3,5
Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan fisik kurang
dipahami, tetapi aktivasi reseptor μ yang persisten seperti yang terjadi pada
kasus-kasus pengobatan nyeri kronis yang berat tampaknya memainkan peran
utama dalam induksi dan pemeliharaannya. Konsep-konsep saat ini telah
bergeser dari toleransi yang didorong oleh up-regulation sederhana dari sistem
siklik adenosin monofosfat (cAMP). Meskipun proses ini terkait dengan
toleransi, namun penjelasannya belum cukup. Hipotesis kedua untuk
pengembangan toleransi dan ketergantungan opioid didasarkan pada konsep
daur ulang reseptor.Biasanya, aktivasi reseptor μ oleh ligan endogen
menghasilkan endositosis diikuti oleh resensitisasi dan daur ulang reseptor ke
membran plasma. Namun, penelitian sekarang menunjukkan bahwa kegagalan
morfin untuk menginduksi endositosis reseptor μ-opioid merupakan komponen
penting dari toleransi dan ketergantungan. Sebaliknya, metadon, agonis
reseptor μ yang digunakan untuk pengobatan toleransi dan ketergantungan
opioid, memang menginduksi endositosis reseptor. Hal ini menunjukkan bahwa
pemeliharaan sensitivitas normal reseptor μ membutuhkan reaktivasi oleh

23
endositosis dan daur ulang. Penelitian lain menunjukkan bahwa fungsi reseptor
opioid delta berfungsi sebagai komponen independen dalam pemeliharaan
toleransi. Selain itu, konsep uncoupling reseptor pun telah menjadi terkenal.
Hipotesis ini menjelaskan toleransi disebabkan oleh disfungsi interaksi
struktural antara reseptor μ dan protein G, sistem pembawa pesan kedua, dan
saluran ion target mereka. Fungsi uncoupling dan recoupling reseptor μ juga
dihubungkan dengan daur ulang reseptor. Selain itu, kompleks kanal ion
reseptor NMDA telah terbukti memainkan peran penting dalam pengembangan
dan pemeliharaan toleransi karena antagonis reseptor NMDA seperti ketamin
dapat menghambat perkembangan toleransi. Meskipun peran dalam endositosis
belum jelas, pengembangan antagonis reseptor NMDA baru atau strategi lain
yang bertujuan untuk recouple reseptor μ ke saluran ion target mereka
memberikan harapan untuk menemukan cara yang efektif secara klinis untuk
mencegah atau membalikkan toleransi analgesik opioid.2,3
Sebagai tambahan, pemberian analgesik opioid yang persisten dapat
meningkatkan sensasi nyeri yang mengarah ke keadaan hiperalgesia. Fenomena
ini telah diamati dengan beberapa analgesik opioid, termasuk morfin, fentanyl,
dan remifentanil. Dinorfin spinal dan aktivasi reseptor bradikinin telah muncul
merupakan komponen penting dalam mediasi hiperalgesia yang diinduksi
opioid.2,3
c. Efek terapeutik
Pereda nyeri adalah efek terapeutik utama analgesik opioid. Oleh karena
kerjanya pada reseptor µ medula spinalis dan otak, opioid memberikan
analgesia baik dengan mengurangi jalur nosiseptif dari perifer dan juga dengan
mengubah respon afektif terhadap rangsangan nyeri secara di sentral. μ-Agonis
paling efektif dalam terapi sensasi “nyeri kedua” yang dibawa oleh serat C
yang tidak bermielin; mereka kurang efektif dalam mengobati sensasi “nyeri
pertama” (dibawa oleh serat A-delta yang kecil, dan bermielin) dan nyeri
neuropatik. Aspek unik analgesia yang diinduksi opioid (berbeda dengan obat-

24
obatan seperti anestesi lokal) adalah bahwa modalitas sensoris lainnya tidak
terpengaruh (misalnya, sentuhan, suhu, antara lain).2,3
Perioperatif dan intraoperatif, rasa kantuk yang dihasilkan oleh agonis μ
juga merupakan salah satu efek yang ditargetkan. Otak adalah substrat
anatomik untuk aksi sedatif μ-agonis. Dengan peningkatan dosis, μ-agonis
akhirnya menghasilkan kantuk dan tidur (menghilangkan rasa sakit tidak
diragukan lagi berkontribusi pada promosi tidur pada pasien yang tidak
nyaman baik sebelum dan sesudah operasi). Dengan dosis yang cukup, μ-
agonis menghasilkan aktivitas gelombang delta yang nyata pada
electroencephalogram, yang menyerupai pola yang diamati selama tidur
alami.2,3
μ-Agonis dapat mengurangi nyeri yang signifikan dengan dosis yang
tidak menghasilkan tidur. Ini adalah dasar klinis untuk penggunaannya dalam
perawatan nyeri pada pasien rawat jalan. Namun, pemberian dosis tambahan
pada akhirnya menghasilkan kantuk. Walaupun demikian, bahkan opioid dalam
dosis besar tidak dapat menghasilkan efek tidak responsif dan amnesia, dengan
demikian opioid tidak dapat dilihat sebagai anestesi lengkap ketika digunakan
sendiri.Opioid juga menekan refleks batuk melalui pusat batuk di medula.
Atenuasi refleks batuk menyebabkan penurunan respon batuk dan "bucking"
terhadap tabung endotrakeal yang terpasang.2,3

25
Gambar 2.7. Farmakodinamik Opioid2

d. Efek agonis opioid pada sistem organ


1. Efek pada sistem saraf pusat
Efek utama analgesik opioid yang memiliki afinitas terhadap reseptor μ
berada di SSP; yang lebih penting diantaranya analgesia, euforia, sedasi, dan
depresi pernafasan. Dengan penggunaan berulang, tingkat toleransi yang tinggi
terjadi pada semua efek ini.

Tabel 2.3. Derajat toleransi yang timbul akibat pemberian opioid 3

26
1. Analgesia
Nyeri terdiri dari komponen sensorik dan afektif (emosional).
Analgesik opioid bersifat unik karena dapat mengurangi kedua aspek
pengalaman nyeri, terutama aspek afektif. Sebaliknya, obat analgesik anti-
inflamasi nonsteroid tidak memiliki efek yang signifikan pada aspek
emosional nyeri.2,3
2. Euforia
Biasanya, pasien atau pengguna obat intravena yang menerima morfin
intravena merasakan sensasi melayang yang menyenangkan disertai rasa
kecemasan dan kesusahan yang berkurang. Namun, dysphoria, keadaan
tidak menyenangkan yang ditandai oleh kegelisahan dan rasa tidak enak,
kadang-kadang dapat terjadi.2,3
3. Sedasi
Mengantuk dan mengaburkan mentasi adalah efek umum opioid. Ada
sedikit atau bahkan tidak ada amnesia. Tidur diinduksi oleh opioid lebih
sering pada orang tua daripada pada individu muda yang sehat. Biasanya,
pasien dapat dengan mudah terbangun dari tidur ini. Namun, kombinasi
morfin dengan obat-obat depresan sentral lain seperti obat penenang-
hipnotik dapat menyebabkan tidur sangat nyenyak. Sedasi yang terjadi
lebih sering dengan senyawa yang terkait erat dengan turunan fenantren
dan lebih jarang dengan agen sintetis seperti meperidine dan fentanyl.
Dalam dosis analgesik standar, morfin (fenantren) mengganggu gerakan
mata cepat yang normal (Rapid Eye Movement; REM) dan pola tidur non-
REM. Efek mengganggu ini mungkin karakteristik dari semua opioid.2,3
4. Depresi Napas
Semua analgesik opioid dapat menimbulkan depresi pernafasan yang
signifikan dengan cara menghambat mekanisme pernapasan batang otak.
Depresi pernapasan opioid-induced tetap menjadi salah satu tantangan
klinis yang paling sulit dalam pengobatan nyeri yang parah. Penelitian

27
sedang berlangsung untuk memahami dan mengembangkan agen analgesik
dan tambahan yang menghindari efek ini. Penelitian untuk mengatasi
masalah ini difokuskan pada μ-reseptor farmakologi dan jalur sinyal
serotonin di pusat kendali pernapasan batang otak.2,3
5. Penekanan Refleks Batuk
Penekanan refleks batuk adalah kerja opioid yang sangat dikenal.
Kodein secara khusus telah digunakan untuk orang yang menderita batuk
patologis dan pada pasien yang perlu mempertahankan ventilasi melalui
tabung endotrakeal. Namun, penekanan batuk oleh opioid dapat
memungkinkan akumulasi sekresi dan dengan demikian menyebabkan
obstruksi jalan napas dan atelektasis.2,3
6. Miosis
Konstriksi pupil terlihat dengan hampir semua agonis opioid. Miosis
adalah kerja farmakologis yang hanya sedikit atau bahkan tidak
mengembangkan toleransi; dengan demikian, hal ini sangat penting dalam
diagnosis overdosis opioid. Bahkan pada pecandu yang sangat toleran,
miosis tetap terlihat. Mekanism kerja ini, yang dapat diblokir oleh
antagonis opioid, dimediasi oleh jalur parasimpatis, yang selanjutnya dapat
diblokir oleh atropin.2,3
7. Kekakuan trunkal
Intensifikasi tonus otot badan telah dihubungkan dan diamati pada
sejumlah opioid. Awalnya diyakini bahwa kekakuan truncal melibatkan
kerja obat-obatan ini pada medula spinalis, tetapi sekarang ada bukti
bahwa hal ini timbul karena kerja opioid pada tingkat supraspinal.
Kekakuan truncal mengurangi komplians toraks dan dengan demikian
mengganggu ventilasi. Efeknya paling jelas ketika dosis tinggi opioid yang
sangat larut dalam lemak (misalnya, fentanyl, sufentanil, alfentanil,
remifentanil) dengan cepat diberikan secara intravena. Kekakuan truncal
dapat diatasi dengan pemberian antagonis opioid, yang tentu saja juga akan

28
mengantagonis kerja analgesik opioid. Mencegah kekakuan trunkal sambil
mempertahankan analgesia membutuhkan penggunaan agen penghambat
neuromuskular secara bersamaan.2,3
8. Mual Muntah
Analgesik opioid dapat mengaktifkan zona pemicu kemoreseptor
batang otak untuk menimbulkan mual dan muntah. Mungkin juga ada
komponen vestibular dalam efek ini karena pergerakkan tampaknya
meningkatkan kejadian mual dan muntah.2,3
9. Temperatur
Regulasi homeostatik suhu tubuh dimediasi sebagian oleh aksi peptida
opioid endogen di otak. Hal ini didukung oleh percobaan yang
menunjukkan bahwa pemberian agonis reseptor μ-opioid seperti morfin
yang diberikan ke hipotalamus anterior menghasilkan hipertermia,
sedangkan pemberian agonis κ menginduksi hipotermia.2,3

2. Efek pada perifer


1. Kardiovaskular
Kebanyakan opioid tidak memiliki efek langsung yang signifikan
pada jantung dan, selain bradikardia, tidak ada efek besar pada ritme
jantung. Meperidine adalah pengecualian untuk generalisasi ini karena
tindakan antimuskariniknya dapat menyebabkan takikardia. Tekanan darah
biasanya terjaga dengan baik pada subjek yang menerima opioid kecuali
sistem kardiovaskular mengalami stres, dalam hal ini hipotensi dapat
terjadi. Efek hipotensi ini mungkin karena pelebaran arteri dan vena
perifer, yang telah dikaitkan dengan sejumlah mekanisme termasuk depresi
sentral mekanisme vasomotorstabilisasi dan pelepasan histamin. Tidak ada
efek yang konsisten pada output jantung yang terlihat, dan
elektrokardiogram tidak terpengaruh secara signifikan. Namun, hati-hati
harus dilakukan pada pasien dengan volume darah menurun, karena

29
mekanisme di atas membuat pasien rentan terhadap hipotensi. Analgesik
opioid mempengaruhi sirkulasi serebral secara minimal kecuali ketika
PCO2 meningkat sebagai konsekuensi dari depresi pernafasan.
Peningkatan PCO2 menyebabkan vasodilatasi serebral yang berhubungan
dengan penurunan resistensi vaskular serebral, peningkatan aliran darah
otak, dan peningkatan tekanan intrakranial.2,3
2. Traktus Gastrointestinal
Konstipasi telah lama dikenal sebagai efek opioid, suatu efek yang
tidak berkurang dengan penggunaan yang berkelanjutan. Artinya, toleransi
tidak berkembang pada konstipasi opioid induced. Reseptor opioid ada
dalam kepadatan tinggi di saluran pencernaan, dan efek konstipasi yang
dimediasi opioidtimbul melalui kerjanya pada sistem saraf enterik serta
SSP. Pada lambung, motilitas (kontraksi ritmik dan relaksasi) dapat
menurun tetapi tonus (kontraksi persisten) dapat meningkat — terutama di
bagian tengah; sekresi lambung asam klorida menurun. Tonus istirahat
usus halus meningkat, dengan spasme periodik, tetapi amplitudo kontraksi
nonpropulsive menurun secara nyata. Di usus besar, gelombang peristaltik
propulsi berkurang dan tonus dinaikkan; ini menunda pasase dari massa
feses dan memungkinkan peningkatan penyerapan air, yang mengarah ke
konstipasi. Kerja usus besar adalah dasar untuk penggunaan opioid dalam
pengelolaan diare, dan konstipasi adalah masalah besar yang dihadapi
dalam pengobatan nyeri berat pada pasien kanker.2,3
3. Traktus bilier
Opioid menyebabkan kontraksi otot polos bilier, yang dapat
menyebabkan kolik bilier. Sfingter Oddi mungkin menyempit,
menghasilkan refluks sekresi empedu dan pankreas serta peningkatan
kadar amilase plasma dan lipase.2,3
4. Sistem Perkemihan

30
Fungsi ginjal ditekan oleh opioid. Diyakini bahwa pada manusia
terjadi terutama karena penurunan aliran plasma ginjal. Selain itu, μ opioid
telah diketahui memiliki efek antidiuretik pada manusia. Mekanismenya
mungkin melibatkan SSP dan situs periferal. Opioid juga meningkatkan
reabsorpsi natrium tubulus ginjal. Peran opioid-induced dalam rilis hormon
antidiuretik (ADH) masih kontroversial. Tonus ureter dan kandung kemih
meningkat dengan dosis terapeutik analgesik opioid. Tonus sfingter yang
meningkat dapat memicu retensi urin, terutama pada pasien pasca operasi.
Kadang-kadang, kolik ureter yang disebabkan oleh kalkulus ginjal
diperburuk oleh peningkatan tonus ureter yang diinduksi oleh opioid.2,3
5. Uterus
Analgesik opioid dapat memperpanjang persalinan. Mekanisme untuk
kerja ini tidak jelas, tetapi kerja opioid di perifer dan sentral dapat
mengurangi tonus uterus.2,3
6. Neuroendokrin
Analgesik opioid merangsang pelepasan ADH, prolaktin, dan
somatotropin tetapi menghambat pelepasan LH. Efek ini menunjukkan
bahwa peptida opioid endogen, melalui efek di hipotalamus, mengatur
sistem ini2,3
7. Pruritus
Dosis terapeutik analgesik opioid menghasilkan kemerahan dan
pemanasan kulit disertai kadang-kadang karena berkeringat dan gatal; Efek
SSP adan pelepasan histamin perifer mungkin bertanggung jawab untuk
reaksi ini. Pruritus yang diinduksi opioid dan kadang urtikaria muncul
lebih sering ketika analgesik opioid diberikan secara parenteral. Selain itu,
ketika opioid seperti morfin diberikan ke neuraxis melalui rute spinal atau
epidural, kegunaannya mungkin dibatasi oleh pruritus intens di atas bibir
dan badan.2,3

31
8. Efek lain
Opioid memodulasi sistem kekebalan tubuh dengan efek pada
proliferasi limfosit, produksi antibodi, dan chemotaxis. Selain itu, leukosit
bermigrasi ke tempat cedera jaringan dan melepaskan peptida opioid, yang
pada gilirannya membantu melawan rasa sakit inflamasi. Namun, aktivitas
sitolitik sel pembunuh alami dan tanggapan proliferatif limfosit terhadap
mitogen biasanya dihambat oleh opioid. Meskipun mekanisme yang
terlibat bersifat kompleks, aktivasi reseptor opioid sentral dapat memediasi
komponen signifikan dari perubahan yang diamati dalam fungsi kekebalan
perifer. Secara umum, efek ini dimediasi oleh sistem saraf simpatik dalam
kasus administrasi akut dan oleh sistem hipotalamus-pituitari-adrenal
dalam kasus pemberian opioid yang berkepanjangan.2,3
e. Efek samping
Depresi ventilasi adalah efek samping utama yang terkait dengan obat
agonis μ. Ketika jalan napas aman dan ventilasi dikontrol intraoperatif,
kemungkinan terjadinya depresi ventilasi yang induksi opioid mnejadi kecil.
Namun, depresi pernafasan yang diinduksi opioid pada periode pasca operasi
dapat menyebabkan cedera otak dan kematian. μ-Agonis mengubah respon
ventilasi terhadap konsentrasi karbon dioksida arteri di pusat kontrol ventilasi
di medula. Depresi ventilasi dimediasi oleh μ-reseptor.2,3
Pada manusia yang tidak dibawah pengaruh obat, peningkatan tekanan
parsial karbon dioksida arteri secara nyata meningkatkan minute volume. Di
bawah pengaruh analgesik opioid, kurva diratakan dan bergeser ke kanan untuk
tekanan parsial karbon dioksida tertentu dan mencerminkan minute volume
yang lebih kecil. Lebih penting lagi, bentuk "tongkat hoki" dari kurva normal
hilang; yaitu, mungkin ada tekanan parsial karbon dioksida di bawah ambang
apnea akibat opioid.2,3

32
Gambar 2.8. Depresi napas pada pasien setelah pemberian opioid yang digambarkan melalui
hubungan antara PaCO2 dan minute volume2

Tanda-tanda klinis dari depresi napas cukup ringan dengan dosis opioid
sedang. Pasien pasca operasi yang menerima terapi analgesik opioid dapat
terjaga dan waspada namun memiliki minute volume yang menurun secara
signifikan. Tingkat pernapasan (sering dikaitkan dengan peningkatan sedikit
volume tidal) juga menurun. Ketika konsentrasi opioid meningkat, laju
pernapasan dan volume tidal semakin menurun, akhirnya memuncak dalam
laju napas yang tidak teratur dan kemudian menyebabkan apnea.2,3
Opioid dapat mempengaruhi fisiologi kardiovaskular dengan berbagai
mekanisme yang berbeda. Dibandingkan dengan banyak obat anestetik lainnya
(misalnya, propofol, anestesi volatil), efek kardiovaskular opioid, khususnya
fentanil dan turunannya, relatif minimal (kecuali morfin dan meperidine).
Fentanil menyebabkan bradikardia dengan secara langsung meningkatkan
tonus saraf vagal di batang otak.2,3
Opioid juga menimbulkan efek vasodilasi dengan menekan pusat
vasomotor di batang otak dan pada tingkat lebih rendah dengan efek langsung
pada pembuluh darah. Kerja tersebut menurunkan baik preload dan afterload.
Penurunan tekanan darah arteri lebih menonjol pada pasien dengan tonus

33
simpatis yang meningkat seperti pasien dengan gagal jantung kongestif atau
hipertensi. Dosis klinis opioid tidak mempengaruhi kontraktilitas miokard.2,3
Opioid dapat menyebabkan kekakuan otot, biasanya dari pemberian cepat
dosis bolus besar pada fentanil dan turunannya. Kekakuan ini bahkan dapat
membuat ventilasi dengan masker dan "bag" selama induksi anestesi hampir
tidak mungkin karena kekakuan dan penutupan pita suara. Munculnya
kekakuan cenderung bertepatan dengan timbulnya keadaan "tidak responsif".
Meskipun mekanisme kekakuan otot yang diinduksi opioid tidak diketahui, itu
bukan tindakan langsung pada otot karena dapat dihilangkan dengan pemberian
obat penghambat neuromuskular.2,3
Opioid juga menyebabkan mual dan muntah. Opioid menstimulasi zona
pemicu kemoreseptor di area postrema di dasar ventrikel keempat di otak. Hal
ini dapat menyebabkan mual dan muntah, yang diperburuk oleh gerakan (ini
mungkin menjadi alasasn mengapa pasien operasi rawat jalan lebih mungkin
terganggu oleh mual dan muntah pasca operasi, Post Operative Nausea
Vomitting-PONV).2,3
Konstriksi pupil yang diinduksi oleh μ-agonis dapat menjadi tanda
diagnostik yang berguna karena mengindikasikan beberapa efek opioid yang
sedang berlangsung. Opioid merangsang nukleus Edinger-Westphal di nervus
oculomotorius untuk menghasilkan miosis. Bahkan dosis kecil opioid
menimbulkan respons ini dan sangat sedikit toleransi terhadap efek yang
berkembang. Dengan demikian, miosis adalah indikator yang berguna,
meskipun nonspesifik dari paparan opioid bahkan pada pasien yang toleran
opioid. Konstriksi pupil yang diinduksi oleh opioid bersifat reversibel dengan
nalokson.2,3
Opioid memiliki efek penting pada fisiologi gastrointestinal. Reseptor
opioid terletak di seluruh pleksus usus. Stimulasi reseptor ini oleh opioid
menyebabkan kontraksi tonik otot polos gastrointestinal, sehingga mengurangi
kontraksi peristaltik terkoordinasi. Secara klinis, kontraksi ini menghasilkan

34
pengosongan lambung yang tertunda dan volume lambung yang lebih besar
pada pasien yang menerima terapi opioid sebelum operasi. Pasca operasi,
pasien dapat mengalami ileus diinduksi-opioid yang berpotensi memperlambat
perbaikan nutrisi dan lama rawat rumah sakit. Perpanjangan masalah akut ini
adalah konstipasi kronis yang berhubungan dengan terapi opioid jangka
panjang.2,3
Efek serupa diamati dalam sistem empedu, yang juga memiliki banyak
reseptor μ. μ-Agonis dapat menghasilkan kontraksi otot polos kandung empedu
dan spasme sfingter Oddi, berpotensi menyebabkan positif palsu
cholangiogram selama operasi kandung empedu dan saluran empedu. Efek ini
sepenuhnya reversibel oleh nalokson dan dapat dibalik sebagian oleh
pengobatan glukagon.
Meskipun efek urologinya minimal, opioid kadang-kadang dapat
menyebabkan retensi urin dengan menurunkan tonus otot detrusor kandung
kemih dan dengan meningkatkan tonus sfingter urinarius. Efek-efek ini
sebagian dimediasi dari pusat, meskipun efek perifer juga kemungkinan timbul
oleh karena keberadaan reseptor opioid secara luas di saluran genitourinari.
Meskipun retensi urin yang terkait dengan terapi opioid biasanya tidak
dikeluhkan, hal ini dapat menyulitkan pada laki-laki, terutama ketika opioid
diberikan secara intratekal atau epidural.2,3
Opioid menekan imunitas seluler. Morfin dan opioid endogen β endorfin,
misalnya, menghambat transkripsi interleukin 2 pada sel T aktif, di antara efek
imunologi lainnya. Opioid individu (dan mungkin kelas opioid) mungkin
berbeda dalam hal sifat dan tingkat efek imunomodulatornya. Meskipun
gangguan imunitas seluler yang diinduksi opioid tidak dipahami dengan baik,
gangguan penyembuhan luka, infeksi perioperatif, dan kekambuhan kanker
merupakan hasil yang merugikan.2,3

35
H. INTOKSIKASI OPIOID

Kondisi dimana mengkonsumsi opioid melebihi dosis atau penggunaan yang


seharusnya, biasanya bersifat akut dan mengancam nyawa.5
Tanda dan gejala
Intoksikasi opioid menimbulkan toxidrome, tanda dan gejala yang umum dan
utama yang ditimbulkan yaitu :
a) Pupil bulat kecil (pinpoint pupils)
b) Deprsi pernafasan
c) letargia
Tingkat keparahan toxidrome yang ditimbulkan berbeda-beda tergantng dari
dosis dan toleransi terhadap opioid tersebut. Depresi nafas merupakan manifestasi
emergensi yang paling utama perlu diperhatikan.6

I. PENANGANAN INTOKSIKASI OPIOID


Penanganan perlu dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya efek
yang lebih serius meskipun intoksikasi opioid belum menimbulkan tanda dan
gejala.5,6
Penangnan yang bisa dilakukan berupa:5
 Bila pasien apnea, berikan bantuan farmakologis atau mekanik untuk
menstimulasi pernafasan.
 Bila laju pernafasan ≤ 12 per menit, lakukan chin-lift, jaw-thrust kemudian
pasang ventilasi dengan bag-valve mask.
 Berikan antidote
o Naloxone -> opioid antagonis, berikatan dengan reseptor opioid
membalikkan dan memblok efek dari opioid dengan onset kerja 1-2
menit. Half-life 20-60 menit dengan durasi 2-3 jam.
 Cara penggunaan naloxone :
 Injeksi

36
 Sediaan yang tersedia dalam 1 vial : 0,4 mg/ml; 1 mg/ml; 0,4
mg/10 ml
 Untuk injeksi IM biasanya 1 mg/ml sedangkan untuk IV
biasanya 0,4 mg/ml
 Gunakan jarum 1 – 1 ½ inch
 Injeksi pada otot paha, bokong bagian luar, bahu (paling baik
di bahu)
 Bila tidak tersedia IM needle, gunakan jarum yang lebih kecil
kemudian injeksikan IV atau subkutis
 Bila melalu akses IV, bolus secara perlahan kurang lebih
selama 30 detik dengan dosis yang sudah ditentukan (0,4 – 2
mg)
 Dosis penggunaan naloxone
 Neonatus: dosis awal yang lazim 0,01 mg/kg bb diberikan secara
intravena, intramuskular, atau subkutan.
 Anak: dosis awal yang lazim pada anak adalah 0,01 mg/kg bb
yang diberikan secara intravena. Apabila tidak terjadi perbaikan
secara klinis, dosis selanjutnya 0,1 mg/kg bb dapat diberikan.
Apabila injeksi intravena tidak dapat diberikan, dapat diberikan
secara intramuskuler atau subkutan dalam dosis terbagi.
 Dewasa: dosis awal 0,4 mg-2 mg diberikan secara intravena.
Pemberian diulang dengan interval 2 sampai 3 menit apabila tidak
terjadi perbaikan fungsi pernafasan. Apabila tidak terjadi
perbaikan setelah pemberian 10 mg nalokson hidroklorida, perlu
diwaspadai kemungkinan toksisitas parsial maupun menyeluruh
yang diinduksi oleh opioid.
 Observasi minimal 2 jam setelah pemberian dosis terakhir
 Reaksi imun -> reaksi alergi (biasanya pada daerah suntikan)
 Sistem saraf -> pupil kembali miosis

37
 Jantung -> bradikardi
 Paru-paru dan pernafasan -> nafas mulai spontan
 Gastrointestinal -> bising usus kembali
 kulit -> kemrahan, pruritus
 Menggunakan arang aktif (activated charcoal) -> Dilakukan dalam waktu 1
jam pertama sebagai GI dekontaminasi jika pasien diketahui intoksikasi
dengan cara mengkonsumsi opioid secara oral
 Kubah lambung (Whole-bowel irrigation) -> bisa dipertimbangkan dilakukan
untuk menghilangkan bahan aktif yang ada pada pencernaan.

Berdasarkan profil farmakologis dari opioid, aktivasi dari μ reseptor


menyebabkan suatu dose dependence yang melakukan depresi terhadap system
respirasi melalui hambatan primer pada pusat nafas di batang otak, sehingga pada
suatu keadaan dimana antidote tidak tersedia maka kita dapat melakukan dukungan
ventilasi untuk menjaga breathing dari pasien yang kemudian dilakukan hingga obat
tersebut sepenuhnya tereleminasi oleh tubuh melalui sistem genitourinary track.5

38
BAB III
KESIMPULAN

Opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau
morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan
rasa nyeri. Semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan. Dengan
kata lain, opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan
dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering
digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri
pasca pembedahan. Opium adalah getah candu, sedangkan opiate merupakan obat
yang dibuat dari opium.
Berdasarkan struktur kimianya, golongan opioid dibedakan menjadi alkaloid asal
opium, derivat semisintetik, dan derivat sintetik. Alkaloid opium terbagi atas, (1)
golongan fenantren, misalnya morfin dan kodein; dan (2) golongan benzilisokinolin,
misalnya noskapin dan papaverin. Dari alkaloid derivat fenantren yang alamiah
dibuat derivat semisintetik, misalnya heroin, hidromorfon, oksimorfon, hidrokodon,
dan oksikodon. Derivat sintetik, misalnya fenilpiperidine (petidin, fentanil, dan
alfentanil), propionanilide (metadon), benzmorfans (pentazosin, fenazosin dan
siklasozin), morfinans (levalorfan), dan tramadol. Berdasarkan kerjanya pada
reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi: agonis penuh (kuat), agonis parsial
(agonis lemah sampai sedang), campuran agonis-antagonis, antagonis. Ada tiga jenis
utama reseptor opioid yaitu mu (µ), delta (δ), dan kappa (κ). Karena suatu opioid
dapat berfungsi dengan potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial,
atau antagonis pada lebih dari satu jenis reseptor atau subtipe reseptor maka senyawa
yang tergolong opioid dapat memiliki efek farmakologik yang beragam. Gejala
utama overdosis opioid: pintpoint pupil, depresi pernafasan, letargia, ada beberapa
penangnan pada overdosis, tetapi menggunakan antidotum terutama naloxone sangat
disarankan, penggunaan secara tepat akan meningkatkan survival pasien.

39
REFERENSI

1. Gunawan, gan sulistia. Farmakologi dan terapi edisi 5. Departemen Farmakologi


dan Terapeutik FKUI.2007
2. Miller, Ronald D. Miller's Anesthesia. 7th ed. Philadelphia, PA: Churchill
Livingstone/Elsevier, 2010.
3. Katzung G, Bertram. 2007. Basic and Clinical Pharmacology 10th Ed. 2007.
United states of America: McGraw-Hill Companies
4. Lüllmann, Heinz. Color Atlas of Pharmacology. Stuttgart: Thieme, 2000
5. Boyer EW. Management of opioid analgesic overdose. N Engl J Med
2012;367:146–155
6. Pusat Informasi Obat Nasional. Analgesik Opioid [Internet]. 2015 [cited 30
Agustus 2018]. Diakses pada: http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-4-sistem-saraf-
pusat/47-analgesik/472-analgesik-opioid

40

Anda mungkin juga menyukai