Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FARMAKOTERAPI

“OPIOID DAN OPIOID ANTAGONIS”

Anggota :

Maria Natalia Tris M. 185130107111030


Aina Dzatun Nithaquin 185130107111031
Pratitha Laksmi Ratnanggani 185130107111032
Inna Fatma Anisa S.W 185130107111033
Sofia May Egasari 185130107111034

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nyeri adalah suatu bagian dari pengalaman makhluk hidup sehari-hari dan hampir
selalu merupakan manifestasi dari suatu proses patologis. Nyeri juga merupakan hal yang
sering ditemui pada pasien akibat trauma, setelah mengalami prosedur operasi, maupun
dikarenakan penyakit yang dideritanya (Sinardja & Ariwibawa,2013).
Penanganan nyeri pasca bedah yang efektif sangatlah penting. Penanganan nyeri yang
efektif dengan sedikit efek samping akan mempercepat pemulihan dan kepulangan pasien
dari rumah sakit. Terdapat beberapa golongan yang sering digunakan untuk mengatasi
nyeri pascabedah.Salah satunya adalah opiod. Opioid merupakan senyawa alami atau
sintetik yang menghasilkan efek seperti morfin. Semua obat dalam kategori ini bekerja
dengan jalan mengikat reseptor opioid spesifik pada susunan saraf pusat untuk
meghasilkan efek yang meniru efek neurotransmiter peptida endogen, opiopeptin (misal
endorfin dan enkefalin). Opioid analgesik penggunaan utamanya adalah untuk
menghilangkan nyeri yang dalam dan ansietas yang menyertainya, baik karena operasi
atau sebagai akibat luka atau suatu penyakit misal kanker(Veerasingam, 2017).
Opioid mengikat dan meningkatkan neurotransmisi di tiga kelas utama dari reseptor
opioid. Efek fisiologis opioid dimediasi terutama melalui µ dan reseptor kappa dalam SSP
dan saraf tepi. Reseptor µ memberikan efek analgesia, euforia, depresi pernapasan, dan
miosis, sedangkan reseptor kappa memilii efek analgesia, miosis, depresi pernapasan, dan
sedasi (Dharmayuda & Budiarti,2017)
Antagonis opioid memiliki efek berlawanan dengan keempat reseptor opiate tersebut.
Opioid diklasifikasikan menjadi alami, semi-sintetis, sintetis. Opioid mengurangi persepsi
nyeri, bukan menghilangkan atau mengurangi stimulus yang menyakitkan. Opioid mudah
diserap pada gastrointestinal dan mukosa pernafasan. Efek maksimal umumnya dicapai
dalam 10 menit dengan pemberian secara intravena, 10-15 menit melalui hidung secara
dihirup (misalnya, butorphanol, heroin), 30-45 menit secara intramuskular, 90 menit
secara oral, dan 2-4 jam melalui aplikasi dermal (yaitu, fentanil). Berdasarkan dosis terapi,
kebanyakan penyerapan terjadi di usus kecil (Dharmayuda & Budiarti,2017)
1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui pengertian dari obat Analgesik Opioid dan Opioid antagonis
1.2.2 Untuk mengetahui contoh-contoh obat yang termasuk dalam golongan Analgesik
Opioid dan opioid antagonis
1.2.3 Untuk mengetahui indikasi obat-obatan Analgesik Opioid dan opioid antagonis
1.2.4 Untuk mengetahui farmakokinetik obat golongan Analgesik Opioid dan opioid
antagonis
1.2.5 Untuk mengetahui farmakodinamik dari obat-obatan Analgesik Opioid dan opioid
antagonis
1.2.6 Untuk mengetahui efek samping obat Analgesik Opioid dan opioid antagonis
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Opioid adalah salah satu narkotika yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional
tubuh. Jenis ini membuatpemakainya merasa tenang, pendiam, dan bahkan membuat tidur
dan tidak sadarkan diri. Di dalam bidang kedokteran, opioida bermanfaat sebagai
analgesik (Pradibta,2017)
Antagonis opioid (misalnya, nalokson, nalmefene, naltrexone) memiliki efek
berlawanan dengan keempat reseptor opiate tersebut. Opioid diklasifikasikan menjadi
alami, semi-sintetis, sintetis. Opioid mengurangi persepsi nyeri, bukan menghilangkan
atau mengurangi stimulus yang menyakitkan. Merangsang sedikit euforia, agonis opioid
mengurangi sensitifitas terhadap rangsangan eksogen. Opioid mudah diserap pada
gastrointestinal dan mukosa pernafasan (Dharmayuda & Budiarti,2017)

2.2 Mekanisme kerja (disertai ilustrasi dan link video youtube jika ada)
Opioid dapat menimbulkan efek analgesia melalui mekanisme perifer. Reseptor opioid
yang terdapat pada jaringan saraf perifer dilapisi oleh mielin tipis. Respons inflamasi
mengakibatkan penambahan jumlah reseptor opioid perifer dan densitas bertambah dalam
hitungan menit sampai jam setelah respons inflamasi dimulai. Dari pernyataan ini dapat
disimpulkan bahwa mekanisme kerja opioid dapat dipakai untuk mengatasi nyeri melalui
mekanisme perifer (Veerasingam, 2017).
Reseptor opioid secara luas terdistribusi dalam sistem saraf pusat yang dikelompokkan
menjadi 3 tipe utama yaitu μ, κ, dan σ.reseptor. μ reseptor memiliki jumlah yang paling
banyak di otak dan merupakan reseptor yang paling berinteraksi dengan opioid analgesik
untuk mengasilkan efek analgesik. Sedangkan κ dan σ reseptor menunjukkan selektivitas
terhahap enkefalin dan dimorfin secara respektif. Aktivasi κ reseptor juga dapat
menghasilkan efek analgesik, namun berlawanan dengan μ agonis, yang dapat
menyebabkan euforia. Beberapa opioid analgesik mengahsilkan efek stimulan dan
psikomotorik dengan beraksi pada σ reseptor. Aktivasi pada μ dan σ reseptor dapat
menyebabkan hiperpolarisasi pada saraf dengan cara mengaktivasi K channel melalui
proses yang melibatkan G-protein. Sedangkan aktivasi κ reseptor dapat menghambat
membran Ca2+ channel. Sehingga dapat merintangi pelepasan neuronal dan pelepasan
transmitter (Veerasingam, 2017).
Opioid Receptor Subtypes, Their Functions, and Their Endogenous Peptide
Affinities.

Receptor Functions Endogenous Opioid


Subtype Peptide Affinity

µ (mu) Supraspinal and spinal analgesia; sedation; Endorphins > enkephalins >
inhibition of respiration; slowed GI transit; dynorphins
modulation of hormone and neurotransmitter
release

δ (delta) Supraspinal and spinal analgesia; modulation of Enkephalins > endorphins and
hormone and neurotransmitter release dynorphins

Κ (kappa) Supraspinal and spinal analgesia; Dynorphins > > endorphins


psychotomimetic effects; slowed GI transit and enkephalins

Ketiga reseptor ini merupakan reseptor spesifik yang terdapat pada otak dan medula
spinalis yang berfungsi untuk trasnsmisi dan modulasi nyeri. Opioid berinteraksi secara
stereospesifik dengan reseptor protein di membran sel dalam SSP (Sistem Saraf Pusat),
pada bagian nervus terminal di perifer dan pada sel-sel traktus gastrointestinal serta
daerah lainnya. Ketiga jenis reseptor ini merupakan reseptor utama yang memediasi efek
utama dari opioid dan merupakan bagian dari reseptor protein Guanine yang berpasangan
(G protein coupled receptor) dan menginhibisi adenilsiklase menyebabkan penurunan
formasi siklik AMP sehingga aktivitas neurotransmitter terhambat. Selain itu juga
meningkatkan effluks K+ pada postsinaptik (hiperpolarisasi) dan mereduksi Ca+ influks
pada presinaptik yang juga turut berperan dalam menghambat pelepasan
neurotransmitter. Menurut Veerasingam (2017) di dalam otak terdapat tiga jenis
endogenous peptide yang aktivitasnya seperti opiat yaitu :
- Enkephalin yang berikatan dengan reseptor δ (delta)
- β – Endorfin yang berikatan dengan reseptor µ (mu)
- Dandynorpin yang berikatan dengan reseptor κ (kappa)
Ilustrasi Mekanisme Kerja Opioid

link youtube :
1. https://youtu.be/s60KzN4GJdQ

2. https://youtu.be/XHLANzO6hSQ

3. https://youtu.be/xYH4rwi0G2Y

3.1 Klasifikasi

Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi :

1. Agonis penuh (kuat)


2. Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang)
3. Campuran agonis dan antagonis
4. Antagonis

Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan


agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis dengan
menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan mengurangi efeknya.
Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid yang
memiliki efek agonis pada satu subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu parsial
agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya.

Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi menjadi derivat


fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan.

Agonis
STRUKTUR Agonis Campuran
Lemah
agonis- Antagonis
DASAR Kuat sampai
antagonis
sedang

Kodein
Morfin Nalorfin
Oksikod Nalbufin
Fenantren Hidromorfon on Nalokson
Buprenorfin
Oksimorfon Hidroko Naltrekson
don

Propoksi
Fenilheptilamin Metadon
fen

Meperidin Difenoks
Fenilpiperidin
Fentanil ilat

Morfinan Levorfanol Butorfanol

Benzomorfan Pentazosin

(Rehatta dkk, 2019)

3.2 Contoh obat (farmakologi, farmakodinamik, farmakoterapi, indikasi, efek samping,


dosis pada berbagai hewan)

Contoh obat-obatan Golongan Opioid antara lain sebagai berikut :

1. Morfin
a. Farmakodinamik
Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Opioid
menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang
terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan pada transmisi
dan modulasi nyeri. Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada
reseptor µ dan κ menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan
pada segmen otonom inti saraf okulmotor. Miosis ini dapat dilawan oleh
atropin dan skopolamin. Pada dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi
napas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran (Veerasingam, 2017).
Morfin juga berefek di beberapa organ saluran cerna. Di lambung, morfin
menghambat sekresi HCl, menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus
bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus
berkontraksi, akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat. Di
usus halus, morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat
pencernaan makanan di usus halus. Di usus besar, morfin mengurangi atau
menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan
spasme usus besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan feses menjadi
lebih keras (Veerasingam, 2017).
Pada sistem kardiovaskular, pemberian morfin dosis terapi tidak
mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung. Perubahan
baru akan terjadi pada pemberian toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia
pada stadium akhir intoksikasi morfin. Morfin dan opioid lain menurunkan
kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi terhadap perubahan sikap
(Veerasingam, 2017).
Pada otot olos, morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta
kontraksi ureter dan kandung kemih. Morfin merendahkan tonus uterus pada masa
haid dan menyebabkan uterus lebih tahan terhadap regangan. Mungkin atas dasar
ini morfin mengurangi nyeri dismenore (Veerasingam, 2017).
Pada kulit, dosis terapi morfin menyebabkan vasodilatasi kulit, sehingga
kulit tampak merah dan terasa panas. Dalam proses metabolisme, morfin
menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi
perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme
dikurangi, hiperglikemia timbul tidak tetap akibat pelepasan adrenalin yang
menyebabkan glikogenolisis. Morfin membuat volume urin berkurang akibat
merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan pelepasan ADH
(Veerasingam, 2017).
b. Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui
kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa, dan juga dapat diabsorpsi usus,
tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah dibanding secara
parenteral. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami konjugasi
dengan asam glukoronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan
10% tidak diketahui nasibnya (Veerasingam, 2017).
Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas
ditemukan dalam feses dan keringat. Morfin yang terkonjugasi ditemukan dalam
empedu, sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung
(Veerasingam, 2017).
c. Farmakoterapi
Morfin dapat diberikan sebagai infus kecepatan konstan untuk memberikan
analgesia intraoperatif dan pada periode pasca operasi. Ketersediaan data yang lebih
besar yang menggambarkan morfin dengan infus kecepatan kontinu dapat
membenarkan penggunaannya dibandingkan metadon untuk metode administrasi ini.
Penggabungan ke dalam protokol obat penenang dan pra-anestesi untuk meningkatkan
sedasi dan analgesia.
Morfin adalah referensi opioid yang dibandingkan dengan semua opioid
lainnya. Ini memberikan analgesia yang mendalam dan membentuk andalan protokol
analgesik pasca operasi pada manusia. Pada anjing, obat ini memiliki durasi kerja
yang singkat dan perlu sering diberikan agar efektif. Infus kecepatan konstan juga
dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan ini. Durasi kerja pada kucing belum
dievaluasi secara ketat, tetapi tampaknya memiliki durasi kerja 3–4 jam. Akumulasi
mungkin terjadi setelah pemberian dosis berulang yang berkepanjangan, yang
memungkinkan dosis dikurangi atau interval dosis diperpanjang. Morfin menyebabkan
pelepasan histamin bila diberikan i.v. dengan cepat, sehingga harus diencerkan dan
diberikan perlahan-lahan i.v. Biasanya menyebabkan muntah saat diberikan kepada
hewan sebelum operasi yang tidak kesakitan, oleh karena itu morfin harus dihindari
saat muntah merupakan kontraindikasi (misalnya hewan dengan peningkatan tekanan
intraokular). Eksitasi transien dapat terjadi ketika morfin diberikan i.v. Morfin bebas
pengawet dapat diberikan ke dalam ruang epidural dimana akan memberikan analgesia
hingga 24 jam.
Morfin oral jarang digunakan pada kucing dan anjing karena metabolisme jalur
pertama yang tinggi, menyebabkan konsentrasi plasma rendah setelah pemberian oral.
Fungsi pernafasan harus dipantau saat morfin diberikan kepada pasien yang dibius.
Respon terhadap semua opioid tampaknya berbeda-beda pada setiap pasien, oleh
karena itu, penilaian nyeri setelah pemberian sangat penting. Morfin dimetabolisme di
hati, beberapa efek perpanjangan dapat terlihat dengan gangguan fungsi hati Indikasi.
(Ramsey, 2017)
d. Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-
opioid. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai infark miokard,
neoplasma, kolik renal, oklusio akut vaskular perifer, pulmonal, perikarditis akut,
dan nyeri akibat trauma misalnya luka bakar dan pascabedah.
Penggunaan analgesik opioid dewasa ini telah banyak digunakan untuk
menghambat refleks batuk yang tidak produktif dan hanya iritatif sehingga
menyebabkan pasien tidak dapat beristirahat dan mungkin sekali disertai dengan
nyeri.
Terhadap edema paru akut, morfin IV dapat dengan jelas mengurangi
atau menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal yang menyertai gagal
jantung kiri.
Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare berdasarkan efek
langsung terhadap otot polos usus. Pada pengobatan diare yang disebabkan oleh
intoksikasi makanan atau intoksikasi akut obat, pemberian morfin harus
didahului oleh pemberian garam katartik untuk mengeluarkan penyebab.
(Veerasingam, 2017).
e. Efek Samping
Efek gastrointestinal mungkin termasuk: mual, muntah, dan penurunan gerak
peristaltik usus. Anjing biasanya akan buang air besar setelah dosis awal morfin, tetapi
ini biasanya tidak terlihat saat digunakan setelah operasi. Kuda yang menunjukkan
tanda-tanda kolik ringan mungkin memiliki tanda-tanda klinis yang tertutup oleh
pemberian analgesik narkotika.
Efek CNS dari morfin bersifat spesifik dosis dan spesies. Hewan yang
dirangsang oleh morfin dapat menjelaskan perubahan perilaku, tampak gelisah dan,
pada dosis yang sangat tinggi, mengalami kejang. Efek depresan SSP yang terlihat
pada anjing mungkin membebani kemampuan hewan pekerja. Perubahan suhu tubuh
mungkin terlihat. Sapi, kambing, kuda, dan kucing mungkin menunjukkan tanda-tanda
hipertermia, sedangkan kelinci dan anjing dapat berkembang.
hipotermia. Administrasi kronis dapat menyebabkan ketergantungan fisik.
(Plumb’s, 2011)
f. Dosis pada Hewan
Anjing: : 0.25–2 mg/kg IM, SQ; or as a CRI at 0.05–0.2 mg/kg/hr.
Kucing: : 0.1–0.3 mg/kg IM, SC
Rodensia: 2–5 mg/kg IM or SC q2–4h
Kuda: 0.1 mg/kg IM q4h
(Plumb’s, 2010)

2. Meperidin
a. Farmakodinamik
Pada SSP, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia, depresi
napas dan efek sentral lain. Efek analgetik meperidin mulai timbul 15 menit
setelah PO dan mencapai puncak dalam 2 jam. Pemberian meperidin kepada
pasien yang menderita nyeri atau cemas, akan menimbulkan euforia. Di saluran
napas, meperidin dalam dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi napas sama
kuat dengan morfin. Pemberian meperidin secara sistemik menimbulkan
anestesia kornea, dengan akibat menghilangnya refleks kornea (Veerasingam,
2017).
Efek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus kecil lebih
lemah daripada morfin. Meperidin menimbulkan spasme saluran empedu.
Meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh histamin dan metakolin, dapat
menyebabkan peristaltik ureter berkurang, dan sedikit merangsang uterus
(Veerasingam, 2017).
b. Farmakokinetik
Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik,
akan tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM.
Setelah PO, sekitar 50% obat mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar
maksimal dalam plasma tercapai dalam 1-2 jam (Veerasingam, 2017).
Metabolisme meperidin terutama berlangsung di hati. Meperidin bentuk
utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Seanyak 1/3 dari satu dosis meperidin
ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demetilasi (Veerasingam, 2017).
c. Farmakoterapi
Penatalaksanaan nyeri ringan sampai sedang. Penggabungan ke dalam protokol
obat penenang dan pra-anestesi untuk meningkatkan sedasi dan analgesia. Petidin
memiliki onset cepat (10–15 menit) dan durasi kerja singkat (45–60 menit). Dosis
ulang yang sering diperlukan untuk analgesia. Durasi tindakan yang singkat mungkin
diinginkan dalam beberapa keadaan (misalnya ketika pemulihan yang cepat diperlukan
atau pada hewan dengan fungsi hati yang terganggu). Ia memiliki efek opioid yang
sama dengan morfin tetapi juga memiliki efek antikolinergik, menyebabkan mulut
kering dan terkadang meningkatkan detak jantung. Ini menyebabkan lebih sedikit
kejang saluran empedu daripada morfin, menunjukkan bahwa ini mungkin berguna
untuk manajemen nyeri pada anjing dan kucing dengan pankreatitis. Karena
konsentrasi larutan yang tersedia secara komersial, volume injeksi dapat menjadi 2–3
ml pada anjing besar, yang dapat menyebabkan nyeri pada i.m. injeksi.
(Ramsey, 2017)
d. Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih
pendek daripada morfin. Misalnya untuk tindakan diagnostik.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan
sebagai obat praanestetik. Untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan
dengan morfin, meperidin kurang menyebabkan depresi napas pada janin.
(Veerasingam, 2017).
e. Efek Samping
Meperidine dapat menyebabkan iritasi bila diberikan secara subkutan dan
harus diberikan IV dengan sangat lambat atau dapat menyebabkan hipotensi yang
parah. Ini dapat menyebabkan pelepasan histamin yang jelas, terutama dengan
administrasi IV. Pada dosis biasa, perhatian utama adalah efek opioid terhadap fungsi
pernapasan. Volume tidal yang menurun, refleks batuk yang tertekan, dan sekresi
pernapasan yang mengering mungkin memiliki efek yang merugikan pada pasien yang
rentan. Bronkokonstriksi setelah dosis IV telah ditemukan pada anjing.
Efek gastrointestinal mungkin termasuk: mual, muntah, dan penurunan gerak
peristaltik usus. Pada anjing, meperidine menyebabkan mydriasis (tidak seperti
morfin). Jika diberikan secara oral, obat tersebut dapat menyebabkan iritasi pada
mukosa bukal dan menyebabkan air liur; ini menjadi perhatian khusus pada kucing.
Administrasi kronis dapat menyebabkan ketergantungan fisik. Pada kuda yang
menjalani anestesi umum, meperidin telah dikaitkan dengan reaksi yang
bermanifestasi sebagai takikardia dengan PVC, keringat berlebih, dan hiperpnea.
(Plumb’s, 2011)
f. Dosis pada Hewan
Anjing: 5–10 mg/kg IM, SC
Kucing: 3–5 mg/kg IM or SC
Ferrets: 5–10 mg/kg SC or IM every 2–3 hours
Sapi: 3.3–4.4 mg/kg SC or IM
(Plumb’s, 2011)
3. Metadon
a. Farmakodinamik
Di SSP, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan efek 10
mg morfin. Setelah pemerian metadon beulang kali timbul efek sedasi yang
jelas, mungkin karena adanya akumulasi. Dosis ekuianalgetik menimbulkan
depresi napas yang sama kuat seperti morfin dan dapat bertahan lebih dari 24
jam setelah dosis tunggal. Metadon juga berefek antitusif, menimbulkan
hiperglikemia, hipotemia, dan pelepasan ADH (Veerasingam, 2017).
Di otot polos, metadon menimbulkan relaksasi sediaan usus dan
menghambat efek spasmogenik asetilkolin atau histamin. Metadon juga
menimbulkan spasme saluran empedu pada hewan coba. Ureter mengalami
relaksasi, mungkin karena telah terjadi antidiuresis (Veerasingam, 2017).
Pada sistem kardiovaskular, metadon menyebabkan vasodilatasi perifer
sehingga dapat menimbulkan hipotensi ortostatik. Obat ini merendahkan
kepekaan tubuh terhadap CO2 sehingga timbul retensi CO2 yang dapat
menimbulkan vasodilatasi serebral dan kenaikan tekanan cairan serebrospinal
(Veerasingam, 2017).
b. Farmakokinetik
Metadon diabsorbsi baik oleh usus dan dapat ditemukan dalam plasma
darah setelah 30 menit PO; kadar puncak dicapai setelah 4 jam. Metadon cepat
keluar dari darah dan menumpuk dalam paru, hati, ginjal, dan limpa; hanya
sebagian kecil yang masuk otak. Kadar maksimal metadon dalam otak dicapai
dalam 1-2 jam setelah pemberian parenteral. Biotransformasi metadon terutama
berlangsung di hati. Salah satu reaksi penting ialah dengan cara N-demetilasi.
Sebagian besar metadon yang diberikan akan ditemukan dalam urin dan feses
sebagai hasil biotransformasi yaitu pirolidin dan pirolin. Kurang dari 10%
mengalami ekskresi bersama empedu (Veerasingam, 2017).
c. Farmakoterapi
Metadon memiliki sifat farmakologis yang mirip dengan morfin, dan berguna
dalam situasi yang serupa. Ini memberikan analgesia yang mendalam dengan durasi
kerja 3–4 jam pada anjing dan kucing. Akumulasi kemungkinan terjadi setelah
pemberian dosis berulang yang berkepanjangan yang memungkinkan dosis dikurangi
atau interval dosis diperpanjang.
Metadon dapat diberikan i.v. tanpa menyebabkan pelepasan histamin dan tidak
menyebabkan muntah saat diberikan kepada hewan sebelum operasi. Eksitasi
sementara dapat terjadi ketika metadon diberikan i.v. Metadon dapat diberikan secara
epidural untuk memberikan analgesia; durasi analgesia setelah metadon dengan dosis
0,1-0,3 mg / kg epidural kira-kira 8 jam pada anjing.
Metadon oral jarang digunakan pada kucing dan anjing karena metabolisme
lintasan pertama yang tinggi menyebabkan konsentrasi plasma rendah setelah
pemberian. Metadon diserap ke dalam sirkulasi sistemik setelah pemberian oral
transmucosal (OTM) pada kucing dan memberikan pereda nyeri bila diberikan melalui
rute ini. Namun, sediaan resmi mengandung bahan pengawet dan menyebabkan air
liur bila diberikan melalui rute OTM. Fungsi pernafasan harus dipantau saat diberikan
i.v. kepada pasien yang dibius. Respon terhadap semua opioid tampaknya berbeda-
beda pada setiap pasien, oleh karena itu, penilaian nyeri setelah pemberian sangat
penting. Metadon dimetabolisme di hati, dan beberapa perpanjangan efek dapat dilihat
dengan gangguan fungsi hati.
(Ramsey, 2017)
d. Indikasi
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri
yang dapat dipengaruhi morfin, tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon
sedikit lebih kuat daripada morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit
setelah pemberian parenteral atau 30-60 menit setelah PO. Obat ini
menyebabkan depresi napas pada janin sehingga tidak dianjurkan sebagai
analgesik pada persalinan.
Metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif 1,5-2 mg/oral sesuai
dengan 15-20 mg kodein, tetapi kemungkinan timbulkan adiksi pada metadon jauh
lebih besar daripada kodein.
(Veerasingam, 2017)
e. Efek Samping
Efek samping dari metadon dapat berupa terengah-engah, merengek, sedasi,
buang air besar, sembelit, bradikardia, dan depresi pernapasan. Metadon cenderung
menyebabkan lebih sedikit sedasi atau muntah dibandingkan morfin.
Metadon pada kucing tampaknya menyebabkan lebih sedikit eksitasi atau
muntah dibandingkan beberapa agonis mu lainnya.
Pada kuda, metadon pada dosis IV 0,1 mg / kg atau lebih telah menyebabkan
eksitasi SSP yang nyata.
(Plumbs, 2011)
f. Dosis pada Hewan
Anjing: 0.2–0.5 mg/kg SC, IM
Kucing: 0.05–0.5 mg/kg IV, IM or SC q4–6h
Kuda: : 0.1–0.2 mg/kg PO
(Plumb’s, 2011)
4. Tramadol
a. Farmakodinamik
Tramadol efektif untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri
berat atau kronik lebih lemah. Untuk nyeri kelahiran, tramadol sama efektif
dengan meperidin dan kurang menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus
(Veerasingam, 2017).
b. Farmakokinetik
Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral 68% dan
100% bila digunakan secara IM. Tramadol mengalami metabolisme di hati dan
diekskresi oleh ginjal, dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan
7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam setelah
penggunaan secara oral, dan mencapai puncak dalam 2-3 jam. Lama analgesia
sekitar 6 jam (Veerasingam, 2017).
c. Farmakoterapi
Konsentrasi plasma tramadol dan metabolit yang rendah setelah pemberian
menunjukkan bahwa dosis sekali sehari tablet tramadol rilis berkelanjutan tidak sesuai
untuk memberikan analgesia pada anjing. Sebelum operasi, tramadol suntik digunakan
sebagai pengganti opioid untuk memberikan analgesia pada nyeri akut, meskipun
sediaan suntik sulit diperoleh di Inggris. Satu studi telah menunjukkan tramadol 2 mg /
kg memberikan analgesia yang setara dengan morfin 0,2 mg / kg i.v. setelah
ovariohisterektomi pada anjing, dan ada sejumlah penelitian yang menunjukkan
tramadol 2 mg / kg berkhasiat untuk manajemen nyeri akut pada kucing dan anjing
dengan dosis 3–4 kali sehari.
Dapat disuntikkan tramadol juga telah diberikan secara epidural pada anjing
tetapi tampaknya tidak memberikan keuntungan dibandingkan pemberian sistemik.
Tramadol memiliki tindakan yang mirip dengan morfin tetapi menyebabkan lebih
sedikit depresi pernapasan, sedasi, dan efek samping GI. Ini menarik sebagai
tambahan untuk mengatasi nyeri kronis karena dapat diberikan secara oral; namun,
diperlukan bukti yang lebih besar untuk mendukung rekomendasi dosis. Kucing
tampaknya lebih rentan terhadap efek disforik tramadol, meskipun anjing dan kucing
dapat mengalami mual dan perubahan perilaku atau sedasi setelah pemberian dosis
berulang. Sediaan oral tidak enak untuk kucing dan oleh karena itu sulit untuk
diberikan, bahkan ketika diformulasi ulang dalam kapsul gelatin.
(Ramsey, 2017)

d. Indikasi
Tramadol dapat menjadi alternatif yang berguna atau tambahan untuk
pengobatan nyeri pasca operasi atau kronis atau batuk pada anjing dan kemungkinan
spesies lain. Ketika digunakan dalam kombinasi dengan NSAID, atau obat analgesik
lainnya (misalnya, amantadine, gabapentin, agonis alfa-2) mungkin sangat berguna
untuk kondisi nyeri kronis. Tramadol yang diberikan secara epidural mungkin juga
berguna sebagai analgesik pada kuda, tetapi tidak ada bentuk sediaan komersial yang
sesuai saat ini tersedia di AS.
(Plumb’s, 2011)
e. Efek Samping
Tramadol tampaknya dapat ditoleransi dengan baik pada anjing. Secara
potensial, dapat menyebabkan berbagai efek samping yang terkait dengan tindakan
farmakologisnya, termasuk: efek SSP (sedasi berlebihan, agitasi, ansietas, gemetar,
pusing), atau GI (tidak enak badan, muntah, sembelit hingga diare). Informasi yang
sangat terbatas tersedia tentang efek merugikan pada kucing. Disforia, mydriasis, dan
penghindaran dosis (unpalatability) telah dilaporkan. Sekitar 10% manusia yang
menerima obat tersebut mengalami pruritus. Tramadol yang disuntikkan dapat
menyebabkan depresi pernapasan dan jantung.
(Plumb’s, 2011)
f. Dosis pada Hewan
Anjing: 5 mg/kg PO q6-8h
Kucing: 2 mg/kg dua kali sehari
Kuda: 5 mg/kg PO dua kal sehar, selama 7 hari
Contoh obat-obatan Golongan Antagonis Opioid antara lain sebagai berikut.

1. Nalokson
a. Farmakodinamik
Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa Nalokson menurunkan
ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya tinggi; mengantagonis
efek analgetik plasebo; mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan
lewat jarum akupuntur. Namun, masih perlu pembuktian lebih lanjut efek nalokson ini
sebab banyak faktor fisiologi yang berperan dalam analgesia di atas. Dugaan yang
sama juga timbul tentang efek nalokson terhadap hipotensi pada hewan dalam keadaan
syok, dan efeknya dalam mencegah overating dan obesitas pada tikus-tikus yang
diberi stress berat (Indijah dan Purnama, 2016).
b. Farmakokinetik
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat setelah
penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap, tetapi karena hampir seluruhnya
mengalami metabolisme lintas pertama maka harus diberikan parenteral. Obat ini
dimetabolisme di hati, terutama dengan glukoronidasi. Waktu paruhnya kira-kira 1
jam dengan masa kerja 1-4 jam (Indijah dan Purnama, 2016).
c. Farmakoterapi
Pemberian pada hewan yang mungkin kesakitan harus dipertimbangkan
dengan hati-hati. Nalokson i.v. dosis rendah akan menyebabkan peningkatan
sementara dari ketidaksadaran ketika aktivitas opioid yang terus-menerus
berkontribusi pada pemulihan yang lama dari anestesi.
(Ramsey, 2017)
d. Indikasi
Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akiat takar lajak
opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat opioid sewaktu
persalinan; atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid; dalam hal ini nalokson
merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati
ketergantungan fisik terhadap opioid.
(Indijah dan Purnama, 2016)
e. Efek Samping
Pada dosis biasa, nalokson relatif bebas dari efek samping pada pasien yang
tidak bergantung pada opioid; namun, bila digunakan untuk membalikkan efek opiat,
tindakan ini juga dapat membalikkan aktivitas analgesik opiat. Karena durasi kerja
nalokson mungkin lebih pendek dari pada obat yang dibalik, hewan yang dirawat
karena keracunan opioid atau dengan tanda klinis depresi pernapasan harus dipantau
secara ketat karena dosis tambahan nalokson dan / atau dukungan ventilasi mungkin
diperlukan.
(Plumb’s, 2011)
f. Dosis pada Hewan
Anjing/Kucing: 0.01–0.02 mg/kg IM, IV, or SC
Rodentia: 0.01–0.1 mg/kg SC or IP
Kuda: 0.01–0.022 mg/kg
(Plumb’s, 2011)
2. Naltrekson
a. Farmakodinamik
Penggunaannya sebagai antidotum pada overdose opioida (dan barbital),
pascaoperasif untuk mengatasi depresi pernapasan oleh opioda atau secara diagnostis
untuk menentukan adiksi sebelum dimulai dengan penggunaan naltrekson (Indijah dan
Purnama, 2016).
b. Farmakokinetik
Naltrekson efektif setelah pemberian PO, kadar puncaknya dalam plasma
dicapai dalam waktu 1-2 jam, waktu paruhnya sekitar 3 jam dan masa kerjanya
mendekati 24 jam. Metabolitnya, 6-naltreksol, merupakan antagonis opioid yang
lemah dan masa kerjanya panjang (Indijah dan Purnama, 2016).
c. Indikasi
Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akiat takar lajak
opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat opioid sewaktu
persalinan; atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid; dalam hal ini nalokson
merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati
ketergantungan fisik terhadap opioid
(Indijah dan Purnama, 2016).
d. Efek Samping
Pada dosis biasa, naltrexone relatif bebas dari efek samping pada pasien yang
tidak bergantung pada opioid. Beberapa pasien manusia mengalami kram perut, mual
dan muntah, gugup, insomnia, nyeri sendi atau otot, ruam kulit, dan pruritus.
Hepatotoksisitas tergantung dosis telah dijelaskan pada manusia pada kesempatan
tertentu. Naltrexone akan memblokir efek analgesik, antidiare, dan antitusif dari
agonis opiat atau agen agonis / antagonis. Tanda klinis penarikan dapat dipicu pada
pasien dengan ketergantungan fisik.
(Plumb’s, 2011)
e. Dosis pada Hewan
Anjing: 2–5 mg/kg, PO once daily
Kucing: 25–50 mg/cat PO q24h
(Plumb’s, 2011)
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan pada Bab sebelumnya, maka


diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Opioid adalah salah satu narkotika yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional
tubuh. Sedangkan Antagonis opioid (misalnya, nalokson, nalmefene, naltrexone) memiliki
efek berlawanan dengan keempat reseptor opiate tersebut.
2. Mekanisme kerja opioid dapat dipakai untuk mengatasi nyeri melalui mekanisme perifer
3. Contoh obat-obatan yang termasuk dalam golongan analgesik opioid adalah
Morfin, Meperidin, Metadon, Tramadol. Sedangkan golongan antagonis opioid Nalokson
dan Naltrekson

3.2 Saran

Dikarenakan banyaknya jenis obat-obatan yang tergolong dalam analgesik


opioid dengan efek sampingnya masing-masing, maka disarankan agar pemilihan
dan penggunaan obat-obatan ini lebih diperhatikan dan didampingi pemakaiannya
oleh orang-orang medis untuk meminimalisasi efek samping yang akan ditimbulkan.
DAFTAR PUSTAKA

Dharmayuda, Putu, Angga.,Budiarta,I,Gede.2017. Tatalaksana Anestesi Dan Reanimasi Pada


Intoksikasi Opioid. Fakultas Kedokteran. Universitas Udayana

Indijah, Sujati W. 2016. Farmakologi. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Plumb, Donald C. 2011. Plumb’s Veterinary Drug Handbook 7th Edition. Wisconsin:

PharmaVet Inc.
Pradibta, Galuh Yan (2017) . Identifikasi Faktor - Faktor Yang Melatarbelakangi Kejadian
Relapse Pada Pasien Penyalahgunaan Opioid Di Puskesmas Kendalsari Unit Ptrm
Kota Malang. Undergraduate (S1) Thesis. University Of Muhammadiyah Malang.
Ramsey, I. 2015. Small Animal Formulary: 9th edition – Part A: Canine and Feline.

Gloucester: BSAVA

Rehatta N Margarita;Elizeus Hanindito;Aida R Tantri;Ike S Redjeki;R F Soenarto;D Yulianti


Bisri;A M Takdir Musba; Mayang I Lestari.2019.Anestesiologi dan Terapi
Intensif.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Veerasingam, Kogeela V. 2017. Opioid Untuk Nyeri Akut Pasca Bedah Dan Trauma. Skripsi.
Bali: Unud

Anda mungkin juga menyukai