Anda di halaman 1dari 9

18.

dampak penggunaan obat tidak rasional


19. Manfaat CME
20. penggunaan CME dalam Health Care

1. Metoda yang digunakan adalah :


1) Audit adalah pengawasan yang dilakukan terhadap masukan, proses, lingkungan
dan keluaran apakah dilaksanakan sesuai standar yang telah ditetapkan. Audit dapat
dilaksanakan konkuren atau retrospektif, dengan menggunakan data yang ada
(rutin) atau mengumpulkan data baru. Dapat dilakukan secara rutin atau merupakan
suatu studi khusus.
2) Review merupakan penilaian terhadap pelayanan yang diberikan, penggunaan
sumber daya, laporan kejadian/kecelakaan seperti yang direfleksikan pada catatan-
catatan. Penilaian dilakukan baik terhadap dokumennya sendiri apakah informasi
memadai maupun terhadap kewajaran dan kecukupan dari pelayanan yang diberikan.
3) Survey dapat dilaksanakan melalui kuesioner atau interview secara langsung
maupun melalui telepon, terstruktur atau tidak terstruktur. Misalnya : survei
kepuasan pasien.
4) Observasi terhadap asuhan pasien, meliputi observasi terhadap status fisik dan
perilaku pasien.

2. 1) Indikator persyaratan minimal


Yaitu indikator persyaratan minimal yang menunjuk pada ukuran terpenuhi atau tidaknya
standar masukan, lingkungan dan proses.Apabila hasil pengukuran berada di bawah
indikator yang telah ditetapkan pasti akan besar pengaruhnya terhadap mutu pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan.
2) Indikator penampilan minimal
Yaitu indikator penampilan minimal yang menunjuk pada ukuran terpenuhi atau tidaknya
standar penampilan minimal yang diselenggarakan. Indikator penampilan minimal ini sering
disebut indikator keluaran. Apabila hasil pengukuran terhadap standar penampilan berada di
bawah indikator keluaran maka berarti pelayanan kesehatan yang diselenggarakan tidak
bermutu.
Berdasarkan uraian di atas mudah dipahami, apabila ingin diketahui (diukur) adalah faktor-
faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan (penyebab), maka yang
dipergunakan adalah indikator persyaratan minimal. Tetapi apabila yang ingin diketahui
adalah mutu pelayanan kesehatan (akibat) maka yang dipergunakan adalah indikator
keluaran (penampilan).
KRITERIA

3. Unsur masukan
Unsur masukan (input) adalah tenaga, dana dan sarana fisik, perlengkapan serta peralatan.
Secara umum disebutkan bahwa apabila tenaga dan sarana (kuantitas dan kualitas) tidak
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (standardofpersonnel and facilities), serta jika
dana yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan, maka sulitlah diharapkan baiknya mutu
pelayanan (Bruce 1990).
Unsur lingkungan
Yang dimaksud dengan unsur lingkungan adalah kebijakan,organisasi, manajemen. Secara
umum disebutkan apabila kebijakan,organisasi dan manajemen tersebut tidak sesuai
dengan standar dan atau tidak bersifat mendukung, maka sulitlah diharapkan baiknya mutu
pelayanan.
Unsur proses
Yang dimaksud dengan unsur proses adalah tindakan medis,keperawatan atau non medis.
Secara umum disebutkan apabila tindakan tersebut tidak sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan (standard of conduct), maka sulitlah diharapkan mutu pelayanan menjadi baik
(Pena, 1984).

4. Syarat program menjaga mutu banyak macamnya, beberapa dari


persyaratan yang dimaksud dan dipandang penting ialah:
a. Bersifat khas.
Syarat pertama yang harus dipenuhi adalah harus bersifat khas, dalam
arti jelas sasaran, tujuan dan tata cara pelaksanaannya serta
diarahkan hanya untuk hal-hal yang bersifat pokok saja. Dengan
adanya syarat seperti ini, maka jelaslah untuk dapat melakukan
program menjaga mutu yang baik perlu disusun dahulu rencana kerja
program menjaga mutu.
b. Mampu melaporkan setiap penyimpangan.
Syarat kedua yang harus dipenuhi ialah kemampuan untuk
melaporkan setiap penyimpangan secara tepat, cepat dan benar.
Untuk ini disebut bahwa suatu program menjaga mutu yang baik
seyogianya mempunyai mekanisme umpan balik yang baik.
c. Fleksibel dan berorientasi pada masa depan.
Syarat ketiga yang harus dipenuhi ialah sifatnya yang fleksibel dan
berorientasi pada masa depan. Program menjaga mutu yang terlau
kaku dalam arti tidak tanggap terhadap setiap perubahan, bukanlah
program menjaga mutu yang baik.
d. Mencerminkan dan sesuai dengan keadaan organisasi.
Syarat keempat yang harus dipenuhi ialah harus mencerminkan dan
sesuai dengan keadaan organisasi. Program menjaga mutu yang
berlebihan, terlalu dipaksakan sehingga tidak sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki, tidak akan ekonomis dan karena itu
bukanlah suatu program yang baik.
e. Mudah dilaksanakan.
Syarat kelima adalah tentang kemudahan pelaksanaannya, inilah
sebabnya sering dikembangkan program menjaga mutu mandiri (Self
assesment). Ada baiknya program tersebut dilakukan secara langsung,
dalam arti dilaksanakan oleh pihak-pihak yang melaksanakan
pelayanan kesehatan .
f. Mudah dimengerti.
Syarat keenam yang harus dipenuhi ialah tentang kemudahan
pengertiannya. Program menjaga mutu yang berbelit-belit atau yang
hasilnya sulit dimengerti, bukanlah suatu program yang baik.

9. Penggunaan obat dikatakan rasional menurut WHO apabila pasien menerima


obat yang tepat untuk kebutuhan klinis, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan
untuk jangka waktu yang cukup, dan dengan biaya yang terjangkau baik untuk
individu maupun masyarakat.

11. 1) Program Menjaga Mutu Prospektif (Prospective Quality Assurance)


Adalah program menjaga mutu yang diselenggarakan sebelum pelayanan kesehatan. Pada
bentuk ini perhatian utama lebih ditunjukkan pada standar masukan dan standar
lingkungan yaitu pemantauan dan penilaian terhadap tenaga pelaksana, dana, sarana, di
samping terhadap kebijakan, organisasi, dan manajemen institusi kesehatan.
Prinsip pokok program menjaga mutu prospektif sering dimanfaatkan dan tercantum dalam
banyak peraturan perundang-undangan, di antaranya :
Standardisasi (Standardization),perizinan (Licensure), Sertifikasi (Certification), akreditasi (
Accreditation).
2) Program menjaga mutu konkuren (Concurent quality assurance)
Yang dimaksud dengan Program menjaga mutu konkuren adalah yang diselenggarakan
bersamaan dengan pelayanan kesehatan.
Pada bentuk ini perhatian utama lebih ditujukan pada standar proses, yakni memantau dan
menilai tindakan medis, keperawatan dan non medis yang dilakukan.
3) Program Menjaga Mutu Restrospektif (Retrospective Quality Assurance)
Yang dimaksud dengan program menjaga mutu restrospektif adalah yang diselenggarakan
setelah pelayanan kesehatan.
Pada bentuk ini perhatian utama lebih ditujukan pada standar keluaran, yakni memantau
dan menilai penampilan pelayanan kesehatan, maka obyek yang dipantau dan dinilai
bersifat tidak langsung, dapat berupa hasil kerja pelaksana pelayanan .atau berupa
pandangan pemakai jasa kesehatan. Contoh program menjaga mutu retrospektif
adalah : Record review, tissue
review, survei klien dan lain-lain.
12. a. Dapat lebih meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan.
Peningkatan efektifitas yang dimaksud di sini erat hubungannya
dengan dapat diselesaikannya masalah yang tepat dengan cara
penyelesaian masalah yang benar. Karena dengan diselenggarakannya
program menjaga mutu dapat diharapkan pemilihan masalah telah
dilakukan secara tepat serta pemilihan dan pelaksanaan cara
penyelesaian masalah telah dilakukan secara benar.
b. Dapat lebih meningkatkan efesiensi pelayanan kesehatan.
Peningkatan efesiensi yang dimaksudkan disini erat hubungannya
dengan dapat dicegahnya penyelenggaraan pelayanan yang berlebihan
atau yang dibawah standar. Biaya tambahan karena pelayanan yang
berlebihan atau karena harus mengatasi berbagai efek samping karena
pelayanan yang dibawah standar akan dapat dicegah.
c. Dapat lebih meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
Peningkatan penerimaan ini erat hubungannya dengan telah sesuainya
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dengan kebutuhan dan
tuntutan masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan. Apabila
peningkatan penerimaan ini dapat diwujudkan, pada gilirannya pasti
akan berperan besar dalam turut meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat secara keseluruhan.
d. Dapat melindungi pelaksana pelayanan kesehatan dari kemungkinan munculnya gugatan
hukum.
Pada saat ini sebagai akibat makin baiknya tingkat pendidikan dan
keadaan sosial ekonomi masyarakat serta diberlakukannya berbagai
kebijakan perlindungan publik, tampak kesadaran hukum masyarakat
makin meningkat pula. Untuk melindungi kemungkinan munculnya
gugatan hukum dari masyarakat yang tidak puas terhadap pelayanan
kesehatan, tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan kecuali
berupaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang terjamin
mutunya. Dalam kaitan itu peranan program menjaga mutu jelas amat
penting, karena apabila program menjaga mutu dapat dilaksanakan
dapatlah diharapkan terselenggaranya pelayanan kesehatan yang
bermutu, yang akan berdampak pada peningkatan kepuasan
para pemakai jasa pelayanan kesehatan .

15. Continuing medical education (CME) provides support for continuous improvement and learning to
help physicians address gaps in their professional practice. Many hospitals, as part of their educational
program for physicians, have long offered accredited continuing education activities. Participation in
accredited CME helps physicians meet requirements for renewal of license, maintenance of specialty
board certification, credentialing, membership in professional societies, and other professional
privileges.
Each year, almost 2,000 accredited CME providers offer more than 138,000 activities, with more than
24 million contacts ranging from live meetings and regularly scheduled series such as grand rounds, to
performance improvement projects and medical journals. Hospitals account for a large proportion of the
CME- granting programs with about 35 percent of the activities and 38 percent of the credit hours
offered in 2013. In addition, hospitals account for nearly 90 percent of the activities and credit hours
offered by state medical society accredited providers within the Accreditation Council for Continuing
Medical Education (ACCME) system, reaching nearly 4.5 million health care professionals.1 In fact, more
than 1,100 hospitals and health systems were accredited to provide CME in 2013, and they provided
nearly 48,000 accredited activities.

18. Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional sangat beragam dan bervariasi tergantung
dari jenis ketidakrasionalan penggunaannya. Dampak negatif ini dapat saja hanya dialami oleh
pasien yaitu berupa efek samping, dan biaya yang mahal, maupun oleh populasi yang lebih luas
berupa resistensi kuman terhadap antibiotik tertentu dan mutu pelayanan pengobatan secara umum.

1. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan

Salah satu dampak penggunaan obat yang tidak rasional adalah peningkatan angka morbiditas dan
mortalitas penyakit. Sebagai contoh, penderita diare akut non spesifik umumnya mendapatkan
antibiotika dan injeksi, sementara pemberian oralit (yang lebih dianjurkan) umumnya kurang banyak
dilakukan. Padahal diketahui bahwa resiko terjadinya dehidrasi pada anak yang diare dapat
membahayakan keselamatan jiwa anak yang bersangkutan.

Hal yang sama juga terjadi pada penderita ISPA non pneumonia pada anak yang umumnya
mendapatkan antibiotika yang sebenarnya tidak diperlukan. Sebaliknya pada anak yang jelas
menderita pneumonia justru tidak mendapatkan terapi yang adekuat. Dengan demikian tidaklah
mengherankan apabila hingga saat ini angka kematian bayi dan balita akibat ISPA dan diare masih
cukup tinggi di Indonesia.

2. Dampak terhadap biaya pengobatan

Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian obat untuk keadaan yang sama sekali
tidak memerlukan terapi obat, jelas merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien. Di sini
termasuk pula peresepan obat yang mahal, padahal alternatif obat yang lain dengan manfaat dan
keamanan sama dengan harga lebih terjangkau telah tersedia.

Peresepan antibiotika bukannya keliru, tetapi memprioritaskan pemberiannya untuk penyakit-


penyakit yang memang memerlukannya (yang jelas terbukti sebagai infeksi bakteri) akan sangat
berarti dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi. Oleh sebab itu jika
pemberiannya sangat selektif, maka pemborosan anggaran dapat dicegah dan dapat direalokasikan
untuk penyakit atau intervensi lain yang lebih prioritas. Dengan demikian mutu pelayanan kesehatan
dapat dijamin.
3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan

Dampak lain dari ketidakrasionalan penggunaan obat adalah meningkatkan resiko terjadinya efek
samping serta efek lain yang tidak diharapkan, baik untuk pasien maupun masyarakat.

Beberapa data berikut mewakili dampak negatif yang terjadi akibat penggunaan obat yang tidak
rasional:

 Resiko terjadinya penularan penyakit (misalnya hepatitis & HIV) meningkat pada penggunaan injeksi
yang tidak lege artis, (misalnya 1 jarum suntik digunakan untuk lebih dari satu pasien).
 Kebiasaan memberikan obat dalam bentuk injeksi akan meningkatkan resiko terjadinya syok
anafilaksis.
 Resiko terjadinya efek samping obat meningkat secara konsisten dengan makin banyaknya jenis
obat yang diberikan kepada pasien. Keadaan ini semakin nyata pada usia lanjut. Pada kelompok
umur ini kejadian efek samping dialami oleh 1 di antara 6 penderita usia lanjut yang dirawat di
rumah sakit.
 Terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotika merupakan salah satu akibat dari pemakaian
antibiotika yang berlebih (overprescribing), kurang (underprescribing), maupun pemberian pada
kondisi yang bukan merupakan indikasi (misalnya infeksi yang disebabkan oleh virus).

4. Dampak terhadap mutu ketersediaan obat

Sebagian besar dokter masih cenderung meresepkan antibiotika untuk keluhan batuk dan pilek.
Akibatnya kebutuhan antibiotika menjadi sangat tinggi, padahal diketahui bahwa sebagian besar
batuk pilek disebabkan oleh virus dan antibiotika tidak diperlukan. Dari praktek pengobatan tersebut
tidaklah mengherankan apabila yang umumnya dikeluhkan oleh Puskesmas adalah tidak cukupnya
ketersediaan antibiotik. Akibatnya jika suatu saat ditemukan pasien yang benar-benar menderita
infeksi bakteri, antibiotik yang dibutuhkan sudah tidak tersedia lagi. Yang terjadi selanjutnya adalah
pasien terpaksa diberikan antibiotik lain yang bukan pilihan utama obat pilihan (drug of choice) dari
infeksi tersebut.

Di sini terdapat 2 masalah utama:

 Pertama, seolah-olah mutu ketersediaan obat sangat jauh dari memadai. Padahal yang terjadi
adalah antibiotik telah dibagi rata ke semua pasien yang sebenarnya tidak memerlukan.
 Kedua, dengan mengganti jenis antibiotik akan berdampak pada tidak sembuhnya pasien (karena
antibiotik yang diberikan mungkin tidak memiliki spektrum antibakteri untuk penyakit tersebut,
misalnya pneumonia diberi metronidazol). Atau penyakit menjadi lebih parah dan pasien kemudian
meninggal.

Ketidakrasionalan pemberian obat oleh dokter juga sering memberi pengaruh buruk bagi pasien
maupun masyarakat. Pengaruh buruk ini dapat berupa ketergantungan terhadap intervensi obat
maupun persepsi yang keliru terhadap pengobatan.
19.

Anda mungkin juga menyukai