a. Klasifikasi
a. Sumbatan totaltidak dikoreksi dalam 5-10 menit dapat mengakibatkan
asfiksi (kombinasi hipoksemi dan hipokarbia), henti nafas dan henti
jantung, tidak terdengar suara nafas dan tdk terasa adanya aliran udara
lewat hidung dan mulut, retrak si pada supraklavikula, sela iga jika masih
dapat bernafas secara spontan dan dada tidak mengembang saat inspirasi
atau inflasi paru gagal walaupun cara sudah benar. Bisa terjadi atelektasis
b. Parsialkerusakan otak, sembab otak, sembab paru, terdengar aliran
udara berisik dan kadang2 disertai retraksi, bunyi melengking
(stridor)menandakan laringospasme, bunyi kumur menandakan sumbatan
benda asing
c. Obstruksi yang hanya mengganggu ventilasiwheezing tanpa gangguan
parenkim paru
Obstruksi supra glotikinfeksi, edem l;arynx, aspirasi benda asing
Obstruksi intra glotikbenda saing, maligna, benigna
Obstruksi infra glotikasma. PPOK
Pada pasien dengan kesadaran umum komposmentis, tanda dan gejala obstruksi saluran
napas atas, antara lain :
a. distress pernapasan
b. perubahan suara
c. disfagia
d. odinofagia
e. tanda tersedak
f. stridor
g. pembengkakan muka
h. Takikardia.
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, gejala utama dari obstruksi saluran napas
atas adalah :
a. adanya ketidakmampuan untuk ventilasi dengan bag valve mask setelah percobaan
membuka jalan napas dengan teknik jaw thrust. Setelah obstruksi saluran napas atas
berlangsung beberapa menit, asfiksia dapat menyebabkan :
- sianosis
- bradikardia
- hipotensi
- kolaps kardiovaskular bersifat ireversibel.
- Kadang-kadang obstruksi saluran napas atas dapat berkembang secara
perlahan.
b. Obstruksi hidung atau stridor dipikirkan sebagai tanda spefisik dari obstruksi saluran
napas atas. Stridor terdengar pada semua siklus respirasi, namun biasanya
terdengar lebih intensif pada saat inspirasi dan lebih menonjol di atas leher. Adanya
Stridor mengindikasikan obstruksi saluran napas yang berat (aliran udara) itu tidak
dapat membantu penentuan lokasi obstruksi (Jose C, Atul C. 2009)
Sumber : Akhmad Rifai dan Sugiyarto. 2019. Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan
Metode Simulasi Pertolongan Pertama (Management Airway) pada Penyintas dengan
Masalah Sumbatan Jalan Nafas pada Masyarakat Awam di Kec. Sawit Kab. Boyolali. Jurnal
Keperawatan Global, Volume 4 No. 2 Desember 2019
Sumber : Eka Setya Rini et al. 2019. Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN PERTAMA
GAWAT DARURAT (PPGD). Malang : Penerbit UB Press
Manuver Sumbatan Jalan Nafas oleh Benda Asing pada Bayi dan Anak
1. Penderita sadar
Back blows
- Posisikan bayi/anak dengan posisi kepala mengarah ke bawah supaya gaya
gravitasi dapat membantu pengeluaran benda asing.
- Penolong berlutut atau duduk sehingga dapat menopang bayi di pangkuannya
dengan lebih aman saat melakukan tindakan.
- Untuk bayi, topang kepala dengan menggunakan ibu jari di satu sisi rahang dan
rahang yang lain menggunakan satu atau dua jari dari tangan yang sama. Usia > 1
tahun, kepala tidak perlu ditopang secara khusus.
- Lakukan 5 hentakan back blows secara kuat dengan menggunakan telapak
tangan di tengah punggung.
- Bila gagal, dilakukan tindakan lanjutan yaitu chest thrust pada bayi dan
abdominal thrust pada anak berusia > 1 tahun.
Chest thrust
- Posisikan bayi dengan kepala di bawah dan posisi terlentang. Punggung bayi di
lengan penolong, serta menopang ubun-ubun dengan tangan.
- Topang bayi dengan bantuan paha penolong.
- Identifikasi daerah yang akan dilakukan tekanan (bagian bawah sternum).
Lakukan chest thrust (mirip dengan kompresi dada pada Bantuan Hidup Dasar)
tetapi lebih lambat dan lebih menghentak sebanyak 5 kali.
- Lakukan tindakan ulang bila benda asing belum keluar.
Abdominal thrust
- Tindakan ini hanya untuk anak > 1 tahun.
- Penolong berdiri atau berlutut di belakang penderita.
- Letakkan lengan penolong di bawah lengan penderita serta mengelilingi
pinggangnya.
- Kepalkan tangan penolong dan letakkan di antara umbilikus dan iga.
- Raih kepalan tangan tersebut dengan tangan yang lain, serta hentakkan ke arah
atas dan belakang (arah tubuh penderita).
- Lakukan sebanyak 5 kali, serta pastikan bahwa tindakan yang dilakukan tidak
mengenai prosesus xyphoideus atau iga bagian bawah.
- Bila benda asing tidak berhasil dikeluarkan, maka tindakan tersebut diulang
kembali.
Indikasi :
- Napas spontan
- Tidak ada reflek muntah
- Pasien tidak sadar,tidak mampu dilakukan manuver manual
Kontra Indikasi :
- Pasien sadar atau setengah sadar
- Reflek batuk dan muntah masih ada
Komplikasi :
- Obstruksi jalan napas akibat lidah terdorong ke posterior faring
- Obstruksi laring jika ukuran OPA terlalu besar karena menekan epiglottis
- Trauma lidah atau bibir - Muntah
- Aspirasi
Kontraindikasi :
- Fraktur wajah
- Fraktur basis cranii
Komplikasi :
Iritasi mukosa dan trauma jaringan adenoid
Epistaksis
Laringospasme
Muntah
Insersi intracranial
ADVANCED
DEFINITIF
a. SURGICAL
- Trakeostomi
- Cricotidroidotomi
b. NON SURGICAL
- Intubasi orotrakeal
- Intubasi nasotrakeal
NON DEFINITIVE
- COMBITUBE
- LMA
Sumber : Eka Setya Rini et al. 2019. Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN PERTAMA
GAWAT DARURAT (PPGD). Malang : Penerbit UB Press
Sumber: buku ATLS edisi 7
5. Apa komplikasi apabila definitive airway dan advanced airway gagal dilakukan?
SURGICAL
TRAKEOSTOMI
Komplikasi Menurut Smeltzer & Bare (2013:654) komplikasi yang terjadi dalam
penatalaksanaan selang trakeostomi dibagi atas:
a. Komplikasi dini
1) Perdarahan
2) Pneumothoraks
3) Embolisme udara
4) Aspirasi
5) emfisema subkutan atau mediastenum
6) kerusakan saraf laring kambuhan atau penetrasi sinding trakea posterior
Komplikasi segera
1. Apneu Terjadi akibat hilangnya hipoksia dari respirasi. Bila trakeostomi dilakukan pada
pasien dengan riwayat hipoksia kronis, pada mulanya pasien akan bernafas 1 – 2 kali dengan
benar untuk kemudian menjadi apneu. Ini akaibat denervasi fisiologis dari kemoreseptor perifer
karena peningkatan tiba-tiba dari pO2 dan karena hipoksia menyebabkan respon yang hebat
karena kekuatan respirasi yang besar sehingga timbul apneu. Beberapa cara untuk bantuan
pernafasan sangat diperlukan sampai cukup CO2 dikeluarkan untuk mengembalikan sensitifitas
kemoreseptor sentral. Pasien tersebut harus terus diobservasi setelah dilakukan tindakan
trakeostomi
3. Emfisema subkutan Terjadi di sekitar stoma yang dapat meluas ke daerah muka dada bagian
atas. Hal ini disebabkan karena terlalu rapatnya jahitan pada lika insisi sehingga udara yang
terperangkap di dalamnya dapat masuk ke jaringan subkutan pada waktu batuk. Dpat juga
melalui lubang yang terlalu sempitpada fascia pretrakeal sekitar kanul. Untuk mengatasi hal ini
dilakukan multiple puncture. Kemudian dengan melonggarkan semua jahitan akan mecegah
komplikasi lebih lanjut, seperti pneumomediastenum dan pneumotoraks.
4. Pneumomediastenum Timbul karena peresapan udara melalui luka atau karena batuk sehingga
udara di jaringan cervical turun diantara lapisan-lapisan mediastenum. Hal ini dapat dicegah
dengan membungkus luka yang terbuka. Pneumomediastenum dapat menyebabkan gangguan
peredaran udara atau robeknya pleura parietalis sehingga dapat menjadi simple atau tension
pneumotoraks.
5. Pneumotoraks Disebabkan karena adanya udara yang merambat ke kavum pleura. Biasanya
cidera pada kaput pleura terjadi pada anak-anak dan bayi karena letaknya lebih tinggi. Hal ini
terjadi bila trakeostomi dilakukan tanpa terlebih dulu memasang bronkoskop atau tuba
endotrakeal. Pneumotorak spontan terjadi karena ruptur pleura visceralis dalam usahanya
mengatasi keadaan asfiksia. Pneumotoraks dapat terjadi pula karena trauma langsung, misalnya
pada trakeostomi letak rendah. Terapinya dengan denagn menempatkan chest tube secara under
under water seal. Foto rongten dada harus selalu diperiksa pada trakeostomi yang sulit dan
trakeostomi pada anak-anak untuk diagnosa dini.
6. Cedera pada kartilago krikoidea Terjadi karena trakeostomi letak tinggi, dan dapat dicegah
dengan melakukan trakeostomi di level / di bawah istmus tiroid.
7. Trakeitis dan trakeobronkitis Sering pada bayi disebabkan udara yang masuk melalui kanul
tidak terfiltrasi sempurna. Untuk mencegah komplikasi ini dilakukan dengan humidifikasi
nebuliser dengan trakeal kolar, pemasangan endotrakeal untuk pemberian cairan dan
pemasangan O2 konsentrasi tinggi mempunyai efek mengeringkan mukosa trakea
8. Fistula trakeaesofageal Disebabkan karena diseksi yang terlalu dalam sehingga menyebabkan
penetrasi pada otot posterior dari trakea ke esophagus.
9. Paralisis N. Laringeus Rekuren Terjadi karena diseksi yang terlalu ke lateral. Untuk
menghindari hal ini maka diseksi dilakukan di garis tengah dengan mengfiksasi trakea ditengah
atau dimasukkan tube endotrakeal rigid terlebih dahulu.
10. Malposisi dari kanul Terjadi karena pengikatan kanul yang tidak hati-hati pada waktu fleksi
kepala dan juga akibat ukuran kanul yang tidak sesuai. Kanul yang terlalu panjang akan
mecederai dinding anterior trakea atau karina, menyebabkan ulserasi dan obstruksi parsial trakea
dan kemungkinan ruptur A. Inominata. Juga dapat mencapai salah satu bronkus sehingga
menyebabkan atelektasis paru-paru sebelahnya. Kanul yang terlalu pendek dapat menyebabkan
pergeseran kanul keluar trakea terutama bila leher fleksi pada pasien gemuk atau anak-anak.
Komplikasi ini sering terjadi dan dapat dicegah dengan seleksi pemilihan kanul yang seksama,
diikuti dengan evaluasi radiologis post operasi.
11. Obstruksi kanul Biasanya akibat sumbatan mucus atau bekuan darah disebabkan perawatan
post trakeostomi yang tidak adekuat. Bila setelah dilakukan suctioning tidak hilang maka
merupakan indikasi untuk penggantian kanul.
Komplikasi lanjut
1. Perdarahan yang terlambat
Ujung kanul dapat menyebabkan tekanan atau nekrosis sehingga dinding pembuluh darah dapat
mengalami erosi seperti pada A. Inominata melalui kiri dan kananbagian depan trakea pada batas
sternum, A.Tiroidea Superiordan inferior, A Karotis Komunis, Arkus Aorta dan V. Inominata.
Bila hal ini terjadi dilakukan bronkoskopi untuk melihat penyebabnya dan untuk menjahit erosi,
biasanya dilakukan median sternotomi. Sebagai tindakan pencegahan antara lain pada saat insisi
kulit dilakukan dengan adekuat dan menghindari trakeostomi letak rendah, kanul metal diganti
plastik atau silicon dan menjaga kelembaban yang tinggi serta perawatan yang a septic dari
trakeostomi.
2. Stenosis trakea
Biasanya terjadi tanpa gejala dan terdapat stridor bila stenosis yang terjadi hebat sekali. Sering
terjadi pada anak-anak karena eksisi kartilago dinding anterior trakea yaitu kartilago trakea yang
merupakan satu-satunya penyangga trakea berbentuk sirkuler. Dapat terjadi granulasi karena
defek yang besar memperlambat epitelisasi dan menyebabkan obstruksi Faktor predisposisi
terjadinya stenosis trakea adalah :
Adanya ulserasi di daerah kanul pada membran mukosa, kerusakan dan absorbsi dari kartilago
yang rusak sehingga menyebabkan terjadinya kontraktur di sekitar Cuff kanul
Pemakaian steroid karena obat ini dapat menyebabkan infeksi dan inflamasi, misalnya stenosis
subglotik. Tersering oleh infeksi pseudomonas aerogenosa, stafilokokus dan E.coli Untuk
mengatasi stenosis dapat dicoba reseksidaerah stenosis yang dilanjutkan dengan anastomose end
to end
3. Fistula trakeoesofageal
yang terlambat Biasanya terjadi akibat insisi yang kurang hati-hati mengenai trakea bagian
posterior atau karena ujung kanul yang salah ke arah posterior menimbulkan iritasi berlanjut
menjadi jaringan nekrotik pada dinding posteriortrakea dan didnding anterior esophagus. Hal ini
sering diikuti dengan aspirasi isi lambung dan esophagus sehingga menyebabkan pneumonitis.
Sebagai pencegahan, balon pada kanul harus dikempeskan tiap jam supaya tidak terjadi nekrosis
mukosa. Sering terjadi fistel, maka penutupan spontan tidak akan terjadi. Tindakan operatif
dilakukan dengan membuat rorasi flap dari otot untuk menutupi bagian yang terluka.
4. Disfagia
Diperkirakan terjadi karena adanya hambatan jugulomandibular reflek pada saat menelan. Hal
ini terjadi karena fiksasi trakea ke kulit dan strap muscle oleh kanul yang dikelilingi daerah
fibrosis, sehingga otot fibrosis terganggu.
5. Fistula trakeokutaneus.
Adanya epitelisasi menyebabkan gangguan penutupan stoma. Tindakan yang diperlukan adalah
melakukan insisi daerah epitelisasi tersebut dan selanjutnya dilakukan operasi plastik.
6. Infeksi
Biasanya merupakan infeksi sekunder yang timbul bila saat melakukan penghisapan
menggunakan alat yang tidak steril atau kurangnya kelembaban. Keadaan ini dapat merupakan
predisposisi untuk terjadinya trakeitis dan pneumonia.
7. Malposisi dari kanul Dapat menimbulkan obstruksi total yang dapat mengakibatkan kematian
bila tidak cepat diberikan pertolongan.
8. Cardiac arrest Terjadi akibat adanya myokard yang irritable serta merupakan akibat sekunder
dari hipoksia dan asidosis
9. Jaringan parut pada leher Terjadi karena insisi vertical atau trakeostomi yang terlalu lama, hal
ini dapat diperkecil dengan dekanulasi lebih dini. Kontraktur vertical dan hipertropik scar yang
melebar dapat ditanggulangi dengan repair Z-plasty. Masalah skar ini terjadi karena perlekatan
kulit ke trakea yang akan mempengaruhi gerakan menelan atau pembentukan skar yang melekuk
ke dalam. Pada keadaan ini luka atau stoma dibuka atau dilepaskan dan ditutup lagi dengan cara
aproksimasi jaringan yang hati-hati.
10. Trakeomalasia Biasanya terlokalisir meliputi daerah superior dari sayatan trakea. Keadaan ini
disebabkan karena kanul yang terlalu besar, kanul yang bersudut terlalu tajam ajkan menggesek
atau menimpa cincin trakea di atas daerah trakeostomi dan menekan lebih ke posterior. Keadaan
ini dapat menyebabkan hilangnya rigiditas trakea dan dapat dihindari dengan pemakaian kanul
tube teflon atau plastik. Trakeomalasia dapat menyebabkan keterlambatan dekanulasi pada anak-
anak.
11. Dekanulasi yang sulit Merupakan komplikasi tersering pada anak-anak, biasanya sekunder
dari faktor psikis dan organis. Kanul dapat diekstubasi dalam 8 – 10 hari atau lebih cepat lagi
bila memungkinkan. Bila tidak, dekanulasi menjadi sulit karena :
Anak-anak terbiasa dengan resistensi jalan nafas yang kurang karena trakeostomi menurunkan
dead space
Anak-anak cenderung melupakan reflek apneu selama deglutisi sehingga dapat menyebabkan
aspirasi
Trejadi kolaps trakea Beberapa penyebab yang menyebabkan dekanulsasi menjadi sulit :
1. Kesalahan prosedur dan perawatan post trakeostomi
2. Pemakaian kanul yang tidak sesuai
3. Eksisi kartilago trakea
4. Paralisis N. Laringeus Rekurens
5. Pemakaian intubasi yang terlalu lama Kesemuanya menyebabkan terjadinya trakeomalasia,
granulasi dan udema pada trakea sehingga menyulitkan dekanulasi.
CRICOTIROIDOTOMI
OPA
NPA
ANAK/BAYI
7. Bagaimana hasil interpretasi dari PF dan glasgow coma scale pada scenario?
RR naik
Penurunan konsentrasi oksigen dalam darah à perangsangan kemoreseptor (glomus
karotikum dan glomus aortikum) à perangsangan pusat pernafasan à RR naik
Menurut (Ikawati, 2011) nilai normal pernafasan adalah sebagai berikut :
- Bayi : 30-40 x/mnt
- Anak : 20-30 x/mnt
- Dewasa : 16-20 x/mnt
- Lansia : 14-16 x/mnt
Mekanisme takikardia
Perdarahan→ volume darah menurun→ aliran darah ke jantung
sedikit→simpatik→meningkatkan kontraksi dan daya konduksi jantung→takikardia
Mekanisme hypotensi
Volume darah menurun → penurunan tekanan pengisian sirkulasi rata-rata→ penurunan
aliran balik darah vena ke jantung→ curah jantung menurun→ hypotensi
Mekanisme hilangnya kesadaran
Volume darah menurun→ aliran darah keotak menurun →oksigen keotak juga menurun
→ penurunan kesadaran
Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan konsentrasi oksigen dalam
darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2) dibawah nilai normal (nilai normal
PaO285-100 mmHg), SaO2 95%. Hipoksemia dibedakan menjadi ringan sedang dan
berat berdasarkan nilai PaO2 dan SaO2, yaitu:
Hipoksemia ringan dinyatakan pada keadaan PaO2 60-79 mmHg dan SaO2 90-94%
Hipoksemia berat bila PaO2 kurang dari 40 mmHg dan SaO2 kurang dari 75%.
Astowo. Pudjo. Terapi oksigen: Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi. FKUI. Jakarta. 2005
Saturasi darah / SpO2, adalah kadar oksigen yang ada dalam darah.
Hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam darah (PO2) dan oksigen saturasi
dalam darah adalah “Semakin tinggi PO2 dalam darah maka semakin tinggi pula SaO2.
Nilai PO2 dalam keadaan normal adalah sekitar 90 mm Hg dan oksigen saturasi paling
sedikit 95 %
[ John Enderle, 1999]
TD Menurun
Sumber : Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 2012. Edisi 6. Jakarta: EGC.
trauma kepala berat jika GCS ≤ 8
trauma kepala sedang jika GCS antara 9 dan 12
trauma kepala ringan jika GCS ≥13
c. Crowing : suara dengan nada tinggi, biasanya disebakan karena pembengkakan (edema)
pada trakea, untuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head tilt and chin lift
atau jaw thrust saja. Jika suara napas tidak terdengar karena ada hambatan total pada
jalan napas, maka dapat dilakukan :
a. Back Blow sebanyak 5 kali, yaitu dengan memukul menggunakan telapak tangan
daerah diantara tulang scapula di punggung
b. Heimlich Maneuver, dengan cara memposisikan diri seperti gambar, lalu menarik
tangan ke arah belakang atas.
c. Chest Thrust, dilakukan pada ibu hamil, bayi atau obesitas dengan cara
memposisikan diri seperti gambar lalu mendorong tangan kearah dalam atas.
EPISTAKSIS
DEFINISI
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau
nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis sering ditemukan sehari-
hari dan mungkin 90% dapat berhenti sendirinya. Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-
10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika
Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang
bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada
anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat
penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.
LOKASI
Perdarahan pada hidung terdiri dari perdarahan bagian atas, bawah, dan depan. Bagian depan
dipendarahi oleh arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior. Arteri tersebut
merupakan cabang dari arteri oftalmika yang berasal dari arteri carotis interna. Bagian
bawah hidung dipendarahi oleh arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina, merupakan
cabang dari arteri maksilaris interna. Bagian depan dipendarahi oleh cabang-cabang dari
arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang- cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior, dan arteri palatine mayor,
yang disebut sebagai pleksus Kiesselbach (Little’ s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-
vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi
mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.
ETIOLOGI
Epistaksis atau perdarahan hidung dapat terjadi akibat sebab lokal dan umum atau (kelainan
sistemik). Beberapa di antaranya adalah :
1) Etiologi lokal epistaksis dapat berupa:
a. Idiopatik (85% kasus), biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak
dan remaja.
b. Trauma epistaksis dapat terjadi setelah membuang ingus dengan kuat, mengorek
hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofacial.
c. Iritasi, epistaksis dapat timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia udara
panas pada mukosa hidung.
d. Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai
ingus yang berbau busuk.
d. Mencegah hipoksia.
INDIKASI
Menurut Ni Luh Suciati, 2010 hal hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Sebelum dipasang pada pasien isi O2 kedalam kantong dengan cara menutup lubang
antara kantong dengan sungkup minimal 2/3 bagian kantong reservoir
b. Memasang kapas kering pada daerah yang tertekan tungkup dan tali pengikat untuk
mencegah iritasi kulit
c. Perawat harus menjaga agar semua diafragma karet harus pada tempatnya
Menurut Ni Luh Suciati, 2010 keuntungan dan kerugian Non Rebreathing Mask adalah
sebagaiberikut:
Keuntungan :konsentrasi oksigen diperoleh bisa tinggi bahkan sampai 100% dan tidak
mengeringkan selaput lender
Kerugian :
d. Terjadinya aspirasi bila pasien muntah terutama jika pasien tidak sadar
Sumber : Eka Setya Rini et al. 2019. Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN PERTAMA
GAWAT DARURAT (PPGD). Malang : Penerbit UB Press
Sumber : Prengki Pahlezi. 2018. Pemberian Terapi Oksigen NRM pada Gangguan Pola
Nafas Pasien STEMI di IGD RS Dr. Sobirin Kabupaten Musi Rawas Tahun 2018
In first aid, an AVPU score of anything less than A is often considered an indication to get further
help, as the patient is likely to be in need of more definitive care. In the hospital or long term
healthcare facilities, caregivers may consider an AVPU score of less than A to be the patient's
normal baseline.[3]
In some emergency medical services protocols, "Alert" can be subdivided into a scale of 1 to 4, in
which 1, 2, 3 and 4 correspond to certain attributes, such as time, person, place, and event. For
example, a fully alert patient might be considered "alert and oriented x 4" if they could correctly
identify the time, their name, their location, and the event.
EMS crews may begin with an AVPU assessment, to be followed by a GCS assessment if the AVPU
score is below "A."
The AVPU scale is not suitable for long-term neurological observation of the patient; in this situation,
the Glasgow Coma Scale is more appropriate.
When compared to the Glasgow Coma Scale (GCS) the AVPU classification of alertness has been
suggested to correspond in the following manner:
Alert = 15 GCS
Voice Responsive = 12 GCS
Pain Responsive = 8 GCS
Unconscious/DOA = 3 GCS
(Kelly, Upex and Bateman, 2004)
The AVPU scale can also be compared to the Pediatric Glasgow Coma Scale (PGCS). The PGCS
corresponds with the AVPU classification of consciousness in the following manner:[4]
Berbagai cara digunakan untuk melakukan penilaian kesadaran pada pasien cedera
kepala. Dalam hal ini penilaian kesadaran dengan A: Alert, V: Respond to verbal, P:
Respond to pain, U: Unresponsive, masih sering dipergunakan pada pasien cedera otak.
Selama berkembangnya waktu maka penilaian kesadaran lebih memilih GCS (Glascow
Coma Scales) sebagai alat untuk menentukan tingkatan cedera otak. Hingga saat ini GCS
masih digunakan pada hampir seluruh tenaga kesehatan di dunia untuk menentukan
derajat kesadaran (Torbey, 2010). Lesi perdarahan pada cedera otak dapat disebabkan
oleh berbagai mekanisme. Bentuk perdarahan antara lain EDH, SDH, ICH,
intraventricular hemorrhage (IVH), dan subarachnoid hemorrhage (SAH). Akibat dari
perdarahan ini maka akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial di otak. Jika
peningkatan tekanan otak tidak dapat dikompensasi maka akan terjadi herniasi otak
yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kematian (Torbey, 2010).