Anda di halaman 1dari 68

STEP 3

1. Apa saja penyebab dari sumbatan jalan nafas?

Penyebab jalan napas tersumbat


Penyebab sumbatan jalan nafas yangsering dijumpai adalah dasar lidah, palatum mole,
darah atau benda asing yang lain.
a. Dasar lidah sering menyumbat jalan nafas pada penderita koma, karena pada
penderita koma otot lidah dan leher lemas sehingga tidak mampu mengangkat dasar
lidah dari dinding belakang farings. Hal ini sering terjadi bila kepala penderita dalam
posisi fleksi.
Sumbatan jalan nafas dapat juga terjadi pada jalan nafas bagian bawah, dan ini terjadi
sebagai bronkospasme, sembab mukosa, sekresi bronkus, masuknya isi lambung atau
benda asing ke dalam paru
b. Trauma
Trauma dapat disebabkan oleh karena kecelakaan, gantung diri, atau kasus percobaan
pembunuhan. Lokasi obstruksi biasanya terjadi di tulang rawan sekitar, misalnya
aritenoid, pita suara dll.
c. Benda Asing
Benda Asing tersebut dapat tersangkut pada :
a. Laring
Terjadinya obstruksi pada laring dapat diketahui melalui tanda-tanda sebagai berikut,
yakni secara progresif terjadi stridor, dispneu, apneu, digagia, hemopsitis, pernafasan dgn
otot-otot nafas tambahan, atau dapat pula terjadi sianosis. Gangguan oleh benda-benda
asing ini biasanya terjadi pada anak-anak yg disebabkan oleh berbagai biji-bijian dan
tulang ikan tg tdk teratur bentuknya.
 Pada Trakhea
Benda asing pada trakhea jauh lebih berbahaya dari pada di dalam bronkhus, karena
dapat menimbulkan asfiksia. Benda asing didalam trakea tidak dapat dikeluarkan, karena
tersangkut di dalam rima glotis dan akhirnya tersangkut dilaring dan menimbulkan gejala
obstruksi laring
 Pada Bronkhus
Biasanya akan tersangkut pada bronkhus kanan, oleh karena diameternya lebih besar dan
formasinya dilapisi oleh sekresi bronkhus sehingga menjadi besar
(Buku Agenda Gawat Darurat, Jilid 2, Prof. Dr.. H. Tabrani Rab)

o Derajat2 (stadium) sumbatan jln napas


Jackson
1. Sesak nafas, stridor inspirator, retraksi suprasternal ; KU masih baik
2. Gejala stadium I + retraksi epigastrium ; penderita mulai gelisah
3. Gejala stadium II+retraksi supra/infraklavikular; penderita sangat gelisah dan sianotik
4. Gejala umum stadium III+retraksi interkostal; penderita berusaha sekuat tenaga untuk
menghirup udara; lama-kelamaan terjadi paralisis pusat pernapasan, penderita menjadi
apatik dan ahirnya meninggal.
Kedaruratan Medik. Agus Purwadianto. Edisi revisi tahun 2000

a. Klasifikasi
a. Sumbatan totaltidak dikoreksi dalam 5-10 menit dapat mengakibatkan
asfiksi (kombinasi hipoksemi dan hipokarbia), henti nafas dan henti
jantung, tidak terdengar suara nafas dan tdk terasa adanya aliran udara
lewat hidung dan mulut, retrak si pada supraklavikula, sela iga jika masih
dapat bernafas secara spontan dan dada tidak mengembang saat inspirasi
atau inflasi paru gagal walaupun cara sudah benar. Bisa terjadi atelektasis
b. Parsialkerusakan otak, sembab otak, sembab paru, terdengar aliran
udara berisik dan kadang2 disertai retraksi, bunyi melengking
(stridor)menandakan laringospasme, bunyi kumur menandakan sumbatan
benda asing
c. Obstruksi yang hanya mengganggu ventilasiwheezing tanpa gangguan
parenkim paru
Obstruksi supra glotikinfeksi, edem l;arynx, aspirasi benda asing
Obstruksi intra glotikbenda saing, maligna, benigna
Obstruksi infra glotikasma. PPOK

Menurut Tempat terjadinya


a. Dalam RS aspirasi, akibat penderita tidak puasa sebelum pembedahan
b. Luar RStersedak benda asing
(Penanganan Penderita Gawat Darurat, Prof.DR.Dr.I Riwanto, SpBD dan Dr.
Soenarjo, SpAN, KIC)
Buku Ajar IPD jilid II

Berdasarkan jenis benda


a. Eksogen : padat, cair & gas, seperti kacang, rambutan, jarum, dsb

b. Endogen : sekret, darah, cairan amnion, dsb

Agenda Gawat Darurat (Critical Care), Prof Dr. H tabrani Rab


Sumber : Eka Setya Rini et al. 2019. Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN PERTAMA
GAWAT DARURAT (PPGD). Malang : Penerbit UB Press

2. Apa saja tanda-tanda terjadinya sumbatan jalan nafas?


Tanda dan gejala
Benda Asing di Laring
Stridor, dispneu, apneu, digagia, hemopsitis, pernafasan dengan otot-otot tambahan, dapat
pula terjadi sianosis
Benda Asing di Trakhea
Lebih berbahaya daripada didalam bronkhus karena dapat menimbulkan asfiksia. terdengar
stridor dan akhirnya trjdi sianosis yg disertai dgn edema
Benda Asing di Bronkhus
Biasanya akan tersangkut pada bronkhus kanan, oleh karena diameternya lebih besar dan
formasinya dilapisi oleh sekresi bronkhus sehingga menjadi besar
Benda Asing di Trankeobronkial
Pasien mengalami batuk yg hebat dan bersin-bersin selama beberapa menit. Batuk ini diikuti
wheezing (mengi) dan ila tdk terdapat riwayat asma, maka hal ini harus dicurigai sbg benda
asing, terutama bila wheezing (mengi) terdapat di unilateral.
Berdasarkan tingkat obstruksi yg trjdi pda saluran nafas dibagi mnjdi 3 bagian, yaitu :
a. Dimana obstruksi yg tjd dpt menganggu ventilasi, maka hanya ditemukan wheezing tanpa
ditemukan gangguan pada parenkim paru
b. Bila terjadi obstruksi parsial, maka dapat terjadi check valve phenomen atau empisema
paru
c. Bila terjadi obstuksi total, maka akan terjadi atelektasis
(Sumber : Buku Agenda Gawat Darurat, Jilid 2, Prof. Dr.. H. Tabrani Rab)

Pada pasien dengan kesadaran umum komposmentis, tanda dan gejala obstruksi saluran
napas atas, antara lain :
a. distress pernapasan
b. perubahan suara
c. disfagia
d. odinofagia
e. tanda tersedak
f. stridor
g. pembengkakan muka
h. Takikardia.
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, gejala utama dari obstruksi saluran napas
atas adalah :
a. adanya ketidakmampuan untuk ventilasi dengan bag valve mask setelah percobaan
membuka jalan napas dengan teknik jaw thrust. Setelah obstruksi saluran napas atas
berlangsung beberapa menit, asfiksia dapat menyebabkan :
- sianosis
- bradikardia
- hipotensi
- kolaps kardiovaskular bersifat ireversibel.
- Kadang-kadang obstruksi saluran napas atas dapat berkembang secara
perlahan.

b. Obstruksi hidung atau stridor dipikirkan sebagai tanda spefisik dari obstruksi saluran
napas atas. Stridor terdengar pada semua siklus respirasi, namun biasanya
terdengar lebih intensif pada saat inspirasi dan lebih menonjol di atas leher. Adanya
Stridor mengindikasikan obstruksi saluran napas yang berat (aliran udara) itu tidak
dapat membantu penentuan lokasi obstruksi (Jose C, Atul C. 2009)

Sumber : Akhmad Rifai dan Sugiyarto. 2019. Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan
Metode Simulasi Pertolongan Pertama (Management Airway) pada Penyintas dengan
Masalah Sumbatan Jalan Nafas pada Masyarakat Awam di Kec. Sawit Kab. Boyolali. Jurnal
Keperawatan Global, Volume 4 No. 2 Desember 2019
Sumber : Eka Setya Rini et al. 2019. Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN PERTAMA
GAWAT DARURAT (PPGD). Malang : Penerbit UB Press

3. Bagaimana primary survey pada pasien hambatan jalan nafas?


Primary survey mengatur pendekatan ke klien sehingga ancaman kehidupan segera dapat
secara cepat diindtifikasi dan tertanggulangi dengan efektif. Ada beberapa Primary Survey,
sebagai berikut:
pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza., &
Pletz, 2009) :
a) General Impressions
 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
 Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
 Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas.
Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka
(Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan
ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai
terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan
oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
 LOOK:
 Kesadaran: dengan AVPU “the talking patient” : pasien yang bisa bicara berarti airway
bebas, namun tetap perlu evaluasi berkala.
Alert & Awake tidak ada gangguan orientasi waktu dan tempat.
Verbal tidak sadar penuh, merespon dengan rangsang verbal.
Pain hanya merespon dengan rangsang nyeri
Unconscious  tidak merespon terhadap stimulus
Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
 LISTEN: mendengarkan suara tambahan
 Snoring = suara mengorok akibat sumbatan di faring (lidah jatuh ke belakang pada
penurunan kesadaran)
 Gurgling = suara berkumur yang menunjukkan adanya cairan/darah/hipersekresi lendir
di orofaring
 Stridor = dapat terjadi akibat sumbatan parsial benda asing di laring (stridor inspirasi)
atau trakea (stridor ekspirasi)
 Hoarseness = akibat edema mukosa laring
 Afoni = pada pasien sadar merupakan petanda buruk, dapat terjadi akibat sumbatan
total benda asing di laring dan trakea
 FEEL:
 Merasakan hembusan aliran udara dari mulut/ hidung
 Posisi trakea terutama pada pasien trauma
 Krepitasi
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk
mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi:
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
 Lakukan intubasi

Teknik-teknik dalam mempertahankan airway:


a) Head tilt Ketika pasien tidak sadar, sebaiknya dibaringkan dalam posisi
terlentang dan horizontal, kecuali pada pembersihan jalan nafas dimana bahu dan
kepala penderita harus segera direndahkan dengan posisi semilateral untuk
memudahkan drainase lendir, muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan
dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher penderita pada dahi depan
penderita sambil mendorong atau menekanke belakang. Posisi ini tetap
dipertahankan dengan berusaha dalam memberikan inflasi bertekanan positif
secara intermittena (Alkatri, 2007).
b) Chin lift Salah satu tangan pada jari-jemari diletakkan bawah rahang, dengan
hati-hati kemudian diangkat keatas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari
yang sama, dengan ringan akan menekan pada bibir di bagian bawah untuk
membuka mulut, ibu jari juga diletakkan di belakang gigi seri
(incisor)bagianbawah secara bersamaan, dagu secara hati-hati diangkat. Manuver
chin lift akan menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver dapat berguna pada
korban yang mengalami trauma karena tidak membahayakan oleh pasien dengan
patahnya ruas tulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal
menjadi patah tulang dengan cedera spinal.
c) Jaw thrust Ketika penolong berada disebelah atas kepala penderita, kedua
tangan pada mandibula, jari kelingking dan manis kanan maupun kiri berada pada
angulus mandibula, jari tengah serta telunjuk kanan maupun kiri yang berada pada
mentum mandibula. Selain itu, mandibula ini diangkat ke atas melewati molar
pada maxila (Arifin, 2012).
d) Oropharingeal Airway (OPA) Salah satu pada indikasi yaituAirway
orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan nafas pada pasien yang
kehilangan refleks jalan nafas bagian bawah (Krisanty, 2009). Diantaranya teknik
ini yaitu posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh, pilih ukuran pipa orofaring
sesuai dengan pasien. Dalam hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran
pipa orofaring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pada
pipa orofaring dengan tangan kanan. Pada lengkungan menghadap ke atas (arah
terbalik), kemudian masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah itu, ujung pipa
mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180 derajat dan dorong pipa dengan
cara melakukan jaw thrust maupun kedua ibu jari tangan tersebut menekan sambil
mendorong pada pangkal pipa orofaring secara hati-hati sampai bagian yang keras
dari pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas, (Lihat, rasa, dengar).
Fiksasi pipa orofaring dengan cara diplester di bagian pinggir atas maupun bawah
pangkal pipa dan rekatkan plester sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012).
e) Nasopharingeal Airway Salah satu pada indikasi airway nasopharingeal ini
disukai dibandingkan dengan airway orofaring pada pasien dalam memberikan
respon, oleh karena itu, dapat diterima dan lebih kecil kemungkinan dapat
merangsang muntah (ATLS, 2004).Diantaranya teknik ini yaitu posisikan kepala
pasien lurus dengan tubuh, Pilihlah ukuran pipa nasofaring sesuai dengan cara
menyesuaikan ukuran pada pipa nasofaring dari lubang hidung sampai tragus
(anak telinga). Pada pipa nasofaring akan diberikan pelicin dengan jelly (gunakan
kasa yang sudah di beri jelly). setelah itu, masukkan pipa naso-faring dengan cara
tangan kanan memegang pangkal pipa nasofaring, lengkungan menghadap ke arah
mulut bagian bawah. Masukkan ke dalam rongga hidung secara perlahan sampai
batas pangkal pipa dandipastikan jalan nafasnya bebas (lihat, dengar, rasa)
(Arifin, 2012).
c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Oksigen terpenting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan konstan O2
digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi dan menghasilkan CO2 yang
harus dikeluarkan secara terus menerus (Dewi, 2013). Terbukanya airway yaitu langkah awal
yang tepenting untuk pemberian oksigenkonsenterasi tinggi (nonrebreather mask 11-12
liter/menit). Oksigenasi menunjukkan pengiriman oksigen sesuai ke jaringan ini untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis (Krisanty,
2009).
Gangguan pernafasan (breathing) terjadi adanya gangguan bersifat sentral maupun
perifer. Kelainan perifer disebabkan karena akibat dari adanya aspirasi atau trauma dada yang
menyebabkan pneumothorax atau gangguan gerakan pernafasan. Hal ini terjadi karena
kerusakan pusat napas di otak (Wahjoepramono, 2005).Oleh sebab itu, hal yang pertama
harus segera dinilai yaitu perhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi dengan buka leher
dan dada penderita, tentukan dengan laju dan dalamnya pernafasan, lakukan inspeksi dan
palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan deviasi trakhea, espansi thoraks yang
simetris, perhatikan pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera, lakukan perkusi
thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor dan auskultasi pada thoraks bilateral
(Greenberg 2005 dalam Arsani, 2011). Disamping itu, nilai PaO2 yang direkomendasikan >75
mmHg dan kadar PaCO2 yaitu 35-38 mmHg (Arifin, (2013). Ketika pernafasan tidak adekuat,
ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-face-maskini cara yang lebih efektif jika
dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas (ATLAS, 2004).
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson &
Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai
berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter
dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar), jika
diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai
kebutuhan.
Adapun cara untuk melakukan pemasangan face-mask(Arifin, 2012) :
(1) Posisikan kepala lurus dengan tubuh
(2) Pilih ukuran yang sesuai ketika sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut
pasien, tidak ada kebocoran
(3) Letakkan sungkup muka bagian yang lebar di bagian mulut
(4) Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis
dan tengah memegang rumus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang serta
memfiksasi sungkup muka.
(5) Gerakan tangan kiri ke penolong untuk mengekstensikan seikit kepala pasien
(6) Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang telah dipasangkan
(7) Jika kesulitan, gunakan dengan kedua tangan secara bersama-sama (tangan kanan dan
kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama
(8) Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
(9) Jika yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka,
sedangkan tangan kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) resevoir sekaligus
pompa nafas bantu (squeeze-bag). Pusbankes 118, (2015), Ventilasi dengan bag Valve
Mask (BVM) memiliki konsentrasi oksigen pada pemakaian BVM, yaitu :
(1) (Tanpa tambahan oksigenyaitu oksigen dari udara kamar (21%)
(2) Tambahkan oksigen yaitu maksimal tergantung aliran oksigen (50℅)
(3) Kantong cadangan yaitu penderita rusaha bernafas dengan diberikan nafas bantuan
(assisted ventilation) (100℅).
d) Pengkajian Circulation
Perdarahan merupakan salah satu penyebab kematian setelah truma (Krisanty, 2009).
Gangguan sirkulasi (circulation) terjadi karena cedera otak, dan faktor ekstra kranial.
Gangguan ini terjadi kondisi hipovolemia yang mengakibatkan pendarahan luar, atau ruptur
organ dalam abdomen, trauma dada, tamponade jantung atau pneumothoraks dan syok septik.
(Wahjoepramono, (2005).
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.
Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan
pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin,
penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya
tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan
telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya
menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera
adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis.
Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien
secara memadai dan dikelola dengan baik
Pada shock hipovolemik ini dibatasi dengan tekanan darah kurang dari 90 mmHg dan dapat
mengalami penurunan tekanan darah yang berpengaruh terhadap tingkat kinerja otak (Arifin,
2013) Oleh sebab itu, hal yang pertama harus segera dinilai adalah mengetahui sumber
perdarahan eksternal dan internal, tingkat kesadaran, nadi dan periksa warna kulit dan tekanan
darah (Greenberg 2005 dalam Arsani, 2011& ATLS 2004), yaitu:
(1) Tingkat kesadaran yaitu ketika volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang
dapat menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
(2)Warna Kulit, yaitu berupa wajah yang keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat
merupakan tanda hipovolemia.
(3)Nadi adalah pemeriksaan nadi yang dilakukan pada nadi terbesar seperti a. femoralis dan a.
karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Dalam keadaan darurat yang
tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat dapat memperkirakan tekanan darah dengan meraba
pulsasi (Dewi, 2013), yaitu :
(1) Ketika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg sistol
(2) Ketika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol
(3) Ketika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol
(4) Ketika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60 mmHg sistol
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan
secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
 Pengelolaan dalam mengontrol perdarahan, Greenberg dalam Arsani, 2011 antara lain :
(1) Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal Perdarahan eksternal segera
dihentikan dengan penekanan pada luka. Cairan resusitasi yang dipakai yaitu Ringer
Laktat atau NaCl 0,9℅ adanya dua jalur dari intra vena. Pemberian cairan jangan
diragukan, karena cedera sekunder akibat dari hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera
otak dibanding edema pada otak akibat adanya pemberian cairan yang berlebihan.
(2) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada
ahli bedah
(3) Pasangkan kateter IV 2 jalur ukuranterbesar sekaligus mengambil sampel darah
untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan
darah dan cross-match serta Analisa Gas Darah (BGA).
(4) Berikan cairan kristaloid telah dihangatkan dengan tetesan tercepat, pasangkan
PSAG/bidai pneumatik untuk mengontrol perdarahan pada pasien fraktur pelvis.
(5) Fraktur pelvis yang mengancam nyawa, cegah adanya hipotermia dengan posisi tidur
yaitu kepala diposisikan datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena
dapat menyebabkan bendungan vena di kepala serta menaikkan tekanan intracranial.
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat
(ATLS, 2004). Selain itu,Pemeriksaan neurologis secara cepat yaitu dengan menggunakan
metode AVPU (Allert, Voice respone, Pain respone, Unrespone) (Pusbankes 118, (2015).Hal
ini yang dinilai yaitu tingkat kesadaran dengan memakai skor GCS/PTS, ukuran dan reaksi
pupil (Musliha, (2010). Dalam hal ini, penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh adanya
penurunan oksigenasi atau perfusi ke otak serta trauma langsung (Pusbankes 118, 2015).
Menurut Greenberg, (2005) dalam Arsani 2011 bahwa nilai pupil dilihat dari besarnya isokor,
reflek cahaya, awasi adanya tanda-tanda lateralisasi, evaluasi maupun Re-evaluasi airway,
oksigenasi, ventilasi serta circulation
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
f) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga
memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan.
Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya
selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup
pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan
ulang).
Pada exposure merupakan bagian terakhir dari primary survey,pasien harus dibuka
keseluruhan pakaiannya untuk melakukan pemeriksaan thoraks kemudian diberikan selimut
hangat, cairan intravena yeng telah dihangatkan dan ditempatkan pada ruangan cukup hangat
ini dilakukan pada saat dirumah sakit (Musliha, 2010). Periksa punggung dengan
memiringkan pasien dengan cara long roll(Dewi 2013). Pemeriksaan seluruh bagian tubuh
harus segera dilakukan tindakan agar mencegah terjadinya hiportermia. Dalam pemeriksaan
penunjang ini dilakukan pada survey primer, yaitu pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse
oxymetri, foto thoraks, dan foto polos abdomen. Tindakan lainnyaseperti pemasangan monitor
EKG, kateter dan NGT Pusbankes 118, (2015).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka
Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan
mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.

Sumber : Maria Diah Ciptaning Tyas. 2016. Keperawatan Kegawatdaruratan dan


ManaJemen Bencana. Kemerinterian Kesehatan Republik Indonesia. Pusdik SDM
Kesehatan. Jakarta
4. Bagaimana pengelolaan advance airway, definitive airway dan pengelolaan jalur nafas
dasar?
DASAR
Pengelolaan Jalan Nafas Dasar dengan Manuver Sederhana
a. Triple Airway Manuver
 Teknik membebaskan jalan nafas selalu diingat untuk melakukan proteksi
tulang vertebra leher (cervical spine) terutama pada pasien trauma/trauma
multipel. Jalan nafas pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau tidak
sadar sering disebabkan tersumbat lidah, epiglotis, dan juga cairan.
 Manuver head tilt, chin lift dan jaw thrust perlu dilakukan agar jalan napas
tetap terbuka. Dapat dilakukan sebagian atau kombinasi ketiganya (triple airway
manuver). Head tilt dan chin lift adalah teknik yang sederhana dan efektif untuk
membuka jalan napas tetapi harus dihindari pada kasus cedera tulang
leher/servikal.
 Teknik dasar mengangkat kepala-angkat dagu (Head Tilt-Chin Lift) dilakukan
dengan cara leher diekstensikan dan jalan napas dibuka, kemudian tangan
penolong menekan dahi pasien, sedangkan ibu jari dan jari telunjuk tangan yang
lain mengangkat dagu pasien. Manuver ini akan mengangkat lidah dari posterior
faring. Teknik dasar ini akan efektif bila obstruksi napas disebabkan lidah atau
relaksasi otot pada jalan napas atas.
 Bila pasien yang menderita trauma dan diduga mengalami cedera leher, maka
dilakukan teknik penarikan rahang (jaw thrust). Manuver ini membuat lidah
bergeser ke anterior saat mandibula didorong ke depan sehingga leher tidak perlu
diekstensikan. Pasien dalam posisi tidur terlentang dan penolong berdiri sejajar
dengan kepala pasien, kemudian mendorong kedua angulus mandibula ke
anterior.
 Tidak boleh memberi bantal pada pasien tidak sadar karena akan membuat
posisi kepala fleksi dan tidak boleh menyangga leher (neck lift) untuk
mengekstensikan kepala karena bahaya cedera pada cervical spine.
 Apabila dicurigai trauma pada cervical spine, maka pengelolaan jalan napas
dasar dan lanjut dilakukan dengan C-Spine protection yang meliputi manual in-
line stabilization atau pemasangan cervical collar.

b. Manuver Sumbatan Jalan Nafas oleh Benda Asing pada Dewasa


1. Penderita sadar
 Sumbatan ringan Penderita masih bisa berbicara, maka penolong merangsang
penderita untuk batuk tanpa melakukan tindakan dan terus mengobservasi.
 Sumbatan berat Penderita tidak bisa berbicara dan memperlihatkan tanda
universal tercekik (memperagakan cekikan di lehernya). Segera tanyakan kepada
penderita apakah ia tersedak? Bila penderita menjawab dengan anggukan berarti
penderita mengalami sumbatan jalan napas yang berat. Setelah yakin, lakukan
abdominal thrust / Heimlich manuever dengan cara berikut:
- Penolong berdiri di belakang penderita.
- Lingkarkan kedua lengan pada bagian atas abdomen.
- Condongkan penderita ke depan, kepalkan tangan penolong dan letakkan di
antara umbilikus dan iga.
- Raih kepalan tangan tersebut dengan lengan yang lain, dan tarik ke dalam dan
atas secara mendadak sebanyak 5 kali.
- Bila tindakan tersebut gagal, lakukan kembali 5 abdominal thrust berulang-ulang
sampai sumbatan berhasil dikeluarkan atau penderita tidak sadarkan diri.

2. Penderita tidak sadar


 Segera aktifkan sistem Layanan Gawat Darurat, panggil bantuan.
 Segera baringkan penderita dan lakukan kompresi 30 kali tanpa mengecek
arteri karotis komunis.
 Buka mulut penderita, periksa apakah benda asing sudah bisa dikeluarkan atau
belum. Bila belum bisa dikeluarkan, terus lakukan kompresi jantung. Kompresi
ini bertujuan untuk mengeluarkan benda asing yang menyumbat jalan napas dan
tujuan sekundernya untuk membantu sirkulasi

Manuver Sumbatan Jalan Nafas oleh Benda Asing pada Bayi dan Anak
1. Penderita sadar
 Back blows
- Posisikan bayi/anak dengan posisi kepala mengarah ke bawah supaya gaya
gravitasi dapat membantu pengeluaran benda asing.
- Penolong berlutut atau duduk sehingga dapat menopang bayi di pangkuannya
dengan lebih aman saat melakukan tindakan.
- Untuk bayi, topang kepala dengan menggunakan ibu jari di satu sisi rahang dan
rahang yang lain menggunakan satu atau dua jari dari tangan yang sama. Usia > 1
tahun, kepala tidak perlu ditopang secara khusus.
- Lakukan 5 hentakan back blows secara kuat dengan menggunakan telapak
tangan di tengah punggung.
- Bila gagal, dilakukan tindakan lanjutan yaitu chest thrust pada bayi dan
abdominal thrust pada anak berusia > 1 tahun.

 Chest thrust
- Posisikan bayi dengan kepala di bawah dan posisi terlentang. Punggung bayi di
lengan penolong, serta menopang ubun-ubun dengan tangan.
- Topang bayi dengan bantuan paha penolong.
- Identifikasi daerah yang akan dilakukan tekanan (bagian bawah sternum).
Lakukan chest thrust (mirip dengan kompresi dada pada Bantuan Hidup Dasar)
tetapi lebih lambat dan lebih menghentak sebanyak 5 kali.
- Lakukan tindakan ulang bila benda asing belum keluar.
 Abdominal thrust
- Tindakan ini hanya untuk anak > 1 tahun.
- Penolong berdiri atau berlutut di belakang penderita.
- Letakkan lengan penolong di bawah lengan penderita serta mengelilingi
pinggangnya.
- Kepalkan tangan penolong dan letakkan di antara umbilikus dan iga.
- Raih kepalan tangan tersebut dengan tangan yang lain, serta hentakkan ke arah
atas dan belakang (arah tubuh penderita).
- Lakukan sebanyak 5 kali, serta pastikan bahwa tindakan yang dilakukan tidak
mengenai prosesus xyphoideus atau iga bagian bawah.
- Bila benda asing tidak berhasil dikeluarkan, maka tindakan tersebut diulang
kembali.

2. Penderita tidak sadar


 Segera aktifkan layanan Sistem Gawat Darurat.
 Segera baringkan penderita dan lakukan kompresi 30 kali, tidak diperlukan
mengecek arteri karotis komunis. Lanjutkan dengan pemberian 2 kali napas
bantuan.
 Usahakan untuk memeriksa posisi benda asing setiap kali mulut penderita
terbuka saat dilakukan kompresi. Bila memungkinkan untuk dikeluarkan,
sebaiknya dikeluarkan.
Pengelolaan Jalan Nafas Dasar dengan Alat Sederhana
Oropharyngeal Airway (OPA)
 Alat bantu nafas yang digunakan pada pasien yang tidak dapat menjaga patensi airway.
 Manfaat OPA :
- mempertahankan jalan napas antara mulut sampai glottis
- menahan lidah dari menutupi hipofaring.
- sebagai fasilitas suction dan
- mencegah tergigitnya lidah dan ETT (Endotracheal Tube).

Indikasi :
- Napas spontan
- Tidak ada reflek muntah
- Pasien tidak sadar,tidak mampu dilakukan manuver manual

Kontra Indikasi :
- Pasien sadar atau setengah sadar
- Reflek batuk dan muntah masih ada

Komplikasi :
- Obstruksi jalan napas akibat lidah terdorong ke posterior faring
- Obstruksi laring jika ukuran OPA terlalu besar karena menekan epiglottis
- Trauma lidah atau bibir - Muntah
- Aspirasi

Cara pemasangan OPA :


1) Pemilihan ukuran OPA yang tepat yaitu dengan cara :
- Mengukur jarak dari tengah bibir sampai angulus mandibula, ATAU - Mengukur jarak dari
sudut bibir sampai tragus.
2) Memasukkan OPA yang benar dengan cara :
- Mulut dibuka dengan teknik “crossed finger” lalu masukkan OPA ke dalam rongga mulut,
ketika mendekati dinding posterior faring, putarlah OPA sejauh 180o ke arah posisi yang tepat.
ATAU Jagalah kepala dan dagu tetap berada pada posisi yang tepat untuk menjaga patensi jalan
napas. Lakukan penyedotan berkala di dalam mulut dan faring bila ada sekret, darah atau
muntahan.
Hal-hal berikut yang perlu diperhatikan pada penggunaan OPA:
 Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat menyumbat laring dan menyebabkan trauma pada
struktur laring.
 Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan dengan tepat dapat menekan dasar lidah dari
belakang dan menyumbat jalan napas.
 Masukkan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya trauma jaringan lunak pada bibir dan
lidah.

b. Nasopharyngeal Airway (NPA)


Merupakan alat berbentuk pipa dari karet atau plastik yang lembut dan tidak
berbalon dimasukkan melalui hidung sampai posterior faring.
 Indikasi :
- Pasien sadar/tidak sadar
- Napas spontan
- Masih ada reflex muntah
- Kesulitan dengan OPA (karena trauma di sekitar mulut dan trismus)

 Kontraindikasi :
- Fraktur wajah
- Fraktur basis cranii
 Komplikasi :
 Iritasi mukosa dan trauma jaringan adenoid
 Epistaksis
 Laringospasme
 Muntah
 Insersi intracranial

Cara pemasangan NPA:


1) Pemilihan ukuran NPA dilakukan dengan cara mengukur dari ujung hidung ke
arah tragus dan diameter internal NPA dengan jari kelingking.
2) NPA diberi lubrikan atau jeli anestesik.
3) Masukkan NPA melalui lubang hidung dengan arah posterior membentuk garis
tegak lurus dengan permukaan wajah. Masukkan dengan lembut sampai dasar
nasofaring.
4) Bila mengalami hambatan, putar sedikit NPA untuk memfasilitasi pemasangan
pada sudut antara rongga hidung dan nasofaring. Cobalah tempatkan melalui
lubang hidung yang satunya karena pasien memiliki rongga hidung dengan
ukuran yang berbeda.

c. Suction / Penyedotan Jalan Nafas yang Tersumbat


 Suctioning merupakan komponen yang penting dalam mengelola jalan nafas
pasien. Penyedotan dilakukan bila jalan napas tersumbat oleh sekret, darah atau
muntahan.
Jenis kateter :
1. Lunak, digunakan untuk :
- Aspirasi sekret kental dari orofaring dan nasofaring.
- Melakukan penyedotan intratrakea
- Menyedot melalui alat bantu jalan napas yang terpasang (OPA / NPA).
- Mengakses bagian belakang faring pada pasien dengan gigi yang
mencengkram / mengunci.
2. Keras, digunakan untuk : - Lebih efektif untuk menyedot orofaring, khususnya
bila terdapat bahan partikulat yang kental.
 Prosedur penyedotan orofaring:
1) Masukkan kateter suction dengan lembut ke dalam orofaring melewati lidah. 2)
Ukurlah kateter sebelum melakukan penyedotan, dan jangan masukkan kateter
lebih jauh dari jarak antara ujung hidung dengan cuping telinga.
3) Gunakan penyedot dengan menghambat bagian pangkal pada saat menarik
kateter dengan gerakan memutar / memilin.
4) Batasi usaha penyedotan hingga ≤10 detik. Untuk menghindari hipoksemia,
dahului dan ikuti usaha penyedotan dengan pemberian oksigen 100% dalam
waktu yang singkat.

ADVANCED

DEFINITIF
a. SURGICAL
- Trakeostomi

- Cricotidroidotomi
b. NON SURGICAL
- Intubasi orotrakeal
- Intubasi nasotrakeal
NON DEFINITIVE
- COMBITUBE
- LMA
Sumber : Eka Setya Rini et al. 2019. Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN PERTAMA
GAWAT DARURAT (PPGD). Malang : Penerbit UB Press
Sumber: buku ATLS edisi 7

5. Apa komplikasi apabila definitive airway dan advanced airway gagal dilakukan?

SURGICAL
TRAKEOSTOMI
Komplikasi Menurut Smeltzer & Bare (2013:654) komplikasi yang terjadi dalam
penatalaksanaan selang trakeostomi dibagi atas:
a. Komplikasi dini
1) Perdarahan
2) Pneumothoraks
3) Embolisme udara
4) Aspirasi
5) emfisema subkutan atau mediastenum
6) kerusakan saraf laring kambuhan atau penetrasi sinding trakea posterior

b. Komplikasi jangka panjang


1) Obstruksi jalan nafas akibat akumulasi sekresi
2) Infeksi
3) Ruptur arteri inominata
4) Disfagia
5) Fistula trakeoesofagus
6) Dilatasi trakea atau iskemia trakea
7) Nekrosis
Komplikasi yang timbul sebagai akibat tindakan trakeostomi terdidi dari :
a. Komplikasi segera : terjadi dalam 24 jam pertama setelah trakeostomi
b. Kompliokasi lanjut : terjadi setelah 24 jam setelah trakeostomi

Komplikasi segera
1. Apneu Terjadi akibat hilangnya hipoksia dari respirasi. Bila trakeostomi dilakukan pada
pasien dengan riwayat hipoksia kronis, pada mulanya pasien akan bernafas 1 – 2 kali dengan
benar untuk kemudian menjadi apneu. Ini akaibat denervasi fisiologis dari kemoreseptor perifer
karena peningkatan tiba-tiba dari pO2 dan karena hipoksia menyebabkan respon yang hebat
karena kekuatan respirasi yang besar sehingga timbul apneu. Beberapa cara untuk bantuan
pernafasan sangat diperlukan sampai cukup CO2 dikeluarkan untuk mengembalikan sensitifitas
kemoreseptor sentral. Pasien tersebut harus terus diobservasi setelah dilakukan tindakan
trakeostomi

2. Perdarahan Terjadinya perdarahan dapat disebabkan karena :


 Naiknya kembali tekanan darah ke arah normal secara mendadak karena padasaat tindakan
tekanan darah arteri menurun
 Meningginya tekanan vena yang diakibatkan oleh batuk akibat adanya iritasi dari kanul
Perdarahan yang timbul biasanya tidak berbahaya. Dengan pembalutan menggunakan kassa
sekitar kanul dapat menghentikan perdarahan, bila tidak berhasil maka kanul diangkat dan
perdarahan diligasi.

3. Emfisema subkutan Terjadi di sekitar stoma yang dapat meluas ke daerah muka dada bagian
atas. Hal ini disebabkan karena terlalu rapatnya jahitan pada lika insisi sehingga udara yang
terperangkap di dalamnya dapat masuk ke jaringan subkutan pada waktu batuk. Dpat juga
melalui lubang yang terlalu sempitpada fascia pretrakeal sekitar kanul. Untuk mengatasi hal ini
dilakukan multiple puncture. Kemudian dengan melonggarkan semua jahitan akan mecegah
komplikasi lebih lanjut, seperti pneumomediastenum dan pneumotoraks.

4. Pneumomediastenum Timbul karena peresapan udara melalui luka atau karena batuk sehingga
udara di jaringan cervical turun diantara lapisan-lapisan mediastenum. Hal ini dapat dicegah
dengan membungkus luka yang terbuka. Pneumomediastenum dapat menyebabkan gangguan
peredaran udara atau robeknya pleura parietalis sehingga dapat menjadi simple atau tension
pneumotoraks.

5. Pneumotoraks Disebabkan karena adanya udara yang merambat ke kavum pleura. Biasanya
cidera pada kaput pleura terjadi pada anak-anak dan bayi karena letaknya lebih tinggi. Hal ini
terjadi bila trakeostomi dilakukan tanpa terlebih dulu memasang bronkoskop atau tuba
endotrakeal. Pneumotorak spontan terjadi karena ruptur pleura visceralis dalam usahanya
mengatasi keadaan asfiksia. Pneumotoraks dapat terjadi pula karena trauma langsung, misalnya
pada trakeostomi letak rendah. Terapinya dengan denagn menempatkan chest tube secara under
under water seal. Foto rongten dada harus selalu diperiksa pada trakeostomi yang sulit dan
trakeostomi pada anak-anak untuk diagnosa dini.
6. Cedera pada kartilago krikoidea Terjadi karena trakeostomi letak tinggi, dan dapat dicegah
dengan melakukan trakeostomi di level / di bawah istmus tiroid.

7. Trakeitis dan trakeobronkitis Sering pada bayi disebabkan udara yang masuk melalui kanul
tidak terfiltrasi sempurna. Untuk mencegah komplikasi ini dilakukan dengan humidifikasi
nebuliser dengan trakeal kolar, pemasangan endotrakeal untuk pemberian cairan dan
pemasangan O2 konsentrasi tinggi mempunyai efek mengeringkan mukosa trakea

8. Fistula trakeaesofageal Disebabkan karena diseksi yang terlalu dalam sehingga menyebabkan
penetrasi pada otot posterior dari trakea ke esophagus.

9. Paralisis N. Laringeus Rekuren Terjadi karena diseksi yang terlalu ke lateral. Untuk
menghindari hal ini maka diseksi dilakukan di garis tengah dengan mengfiksasi trakea ditengah
atau dimasukkan tube endotrakeal rigid terlebih dahulu.

10. Malposisi dari kanul Terjadi karena pengikatan kanul yang tidak hati-hati pada waktu fleksi
kepala dan juga akibat ukuran kanul yang tidak sesuai. Kanul yang terlalu panjang akan
mecederai dinding anterior trakea atau karina, menyebabkan ulserasi dan obstruksi parsial trakea
dan kemungkinan ruptur A. Inominata. Juga dapat mencapai salah satu bronkus sehingga
menyebabkan atelektasis paru-paru sebelahnya. Kanul yang terlalu pendek dapat menyebabkan
pergeseran kanul keluar trakea terutama bila leher fleksi pada pasien gemuk atau anak-anak.
Komplikasi ini sering terjadi dan dapat dicegah dengan seleksi pemilihan kanul yang seksama,
diikuti dengan evaluasi radiologis post operasi.

11. Obstruksi kanul Biasanya akibat sumbatan mucus atau bekuan darah disebabkan perawatan
post trakeostomi yang tidak adekuat. Bila setelah dilakukan suctioning tidak hilang maka
merupakan indikasi untuk penggantian kanul.

Komplikasi lanjut
1. Perdarahan yang terlambat
Ujung kanul dapat menyebabkan tekanan atau nekrosis sehingga dinding pembuluh darah dapat
mengalami erosi seperti pada A. Inominata melalui kiri dan kananbagian depan trakea pada batas
sternum, A.Tiroidea Superiordan inferior, A Karotis Komunis, Arkus Aorta dan V. Inominata.
Bila hal ini terjadi dilakukan bronkoskopi untuk melihat penyebabnya dan untuk menjahit erosi,
biasanya dilakukan median sternotomi. Sebagai tindakan pencegahan antara lain pada saat insisi
kulit dilakukan dengan adekuat dan menghindari trakeostomi letak rendah, kanul metal diganti
plastik atau silicon dan menjaga kelembaban yang tinggi serta perawatan yang a septic dari
trakeostomi.

2. Stenosis trakea
Biasanya terjadi tanpa gejala dan terdapat stridor bila stenosis yang terjadi hebat sekali. Sering
terjadi pada anak-anak karena eksisi kartilago dinding anterior trakea yaitu kartilago trakea yang
merupakan satu-satunya penyangga trakea berbentuk sirkuler. Dapat terjadi granulasi karena
defek yang besar memperlambat epitelisasi dan menyebabkan obstruksi Faktor predisposisi
terjadinya stenosis trakea adalah :
 Adanya ulserasi di daerah kanul pada membran mukosa, kerusakan dan absorbsi dari kartilago
yang rusak sehingga menyebabkan terjadinya kontraktur di sekitar Cuff kanul
 Pemakaian steroid karena obat ini dapat menyebabkan infeksi dan inflamasi, misalnya stenosis
subglotik. Tersering oleh infeksi pseudomonas aerogenosa, stafilokokus dan E.coli Untuk
mengatasi stenosis dapat dicoba reseksidaerah stenosis yang dilanjutkan dengan anastomose end
to end
3. Fistula trakeoesofageal
yang terlambat Biasanya terjadi akibat insisi yang kurang hati-hati mengenai trakea bagian
posterior atau karena ujung kanul yang salah ke arah posterior menimbulkan iritasi berlanjut
menjadi jaringan nekrotik pada dinding posteriortrakea dan didnding anterior esophagus. Hal ini
sering diikuti dengan aspirasi isi lambung dan esophagus sehingga menyebabkan pneumonitis.
Sebagai pencegahan, balon pada kanul harus dikempeskan tiap jam supaya tidak terjadi nekrosis
mukosa. Sering terjadi fistel, maka penutupan spontan tidak akan terjadi. Tindakan operatif
dilakukan dengan membuat rorasi flap dari otot untuk menutupi bagian yang terluka.
4. Disfagia
Diperkirakan terjadi karena adanya hambatan jugulomandibular reflek pada saat menelan. Hal
ini terjadi karena fiksasi trakea ke kulit dan strap muscle oleh kanul yang dikelilingi daerah
fibrosis, sehingga otot fibrosis terganggu.

5. Fistula trakeokutaneus.
Adanya epitelisasi menyebabkan gangguan penutupan stoma. Tindakan yang diperlukan adalah
melakukan insisi daerah epitelisasi tersebut dan selanjutnya dilakukan operasi plastik.

6. Infeksi
Biasanya merupakan infeksi sekunder yang timbul bila saat melakukan penghisapan
menggunakan alat yang tidak steril atau kurangnya kelembaban. Keadaan ini dapat merupakan
predisposisi untuk terjadinya trakeitis dan pneumonia.

7. Malposisi dari kanul Dapat menimbulkan obstruksi total yang dapat mengakibatkan kematian
bila tidak cepat diberikan pertolongan.

8. Cardiac arrest Terjadi akibat adanya myokard yang irritable serta merupakan akibat sekunder
dari hipoksia dan asidosis

9. Jaringan parut pada leher Terjadi karena insisi vertical atau trakeostomi yang terlalu lama, hal
ini dapat diperkecil dengan dekanulasi lebih dini. Kontraktur vertical dan hipertropik scar yang
melebar dapat ditanggulangi dengan repair Z-plasty. Masalah skar ini terjadi karena perlekatan
kulit ke trakea yang akan mempengaruhi gerakan menelan atau pembentukan skar yang melekuk
ke dalam. Pada keadaan ini luka atau stoma dibuka atau dilepaskan dan ditutup lagi dengan cara
aproksimasi jaringan yang hati-hati.
10. Trakeomalasia Biasanya terlokalisir meliputi daerah superior dari sayatan trakea. Keadaan ini
disebabkan karena kanul yang terlalu besar, kanul yang bersudut terlalu tajam ajkan menggesek
atau menimpa cincin trakea di atas daerah trakeostomi dan menekan lebih ke posterior. Keadaan
ini dapat menyebabkan hilangnya rigiditas trakea dan dapat dihindari dengan pemakaian kanul
tube teflon atau plastik. Trakeomalasia dapat menyebabkan keterlambatan dekanulasi pada anak-
anak.
11. Dekanulasi yang sulit Merupakan komplikasi tersering pada anak-anak, biasanya sekunder
dari faktor psikis dan organis. Kanul dapat diekstubasi dalam 8 – 10 hari atau lebih cepat lagi
bila memungkinkan. Bila tidak, dekanulasi menjadi sulit karena :
 Anak-anak terbiasa dengan resistensi jalan nafas yang kurang karena trakeostomi menurunkan
dead space
 Anak-anak cenderung melupakan reflek apneu selama deglutisi sehingga dapat menyebabkan
aspirasi
 Trejadi kolaps trakea Beberapa penyebab yang menyebabkan dekanulsasi menjadi sulit :
1. Kesalahan prosedur dan perawatan post trakeostomi
2. Pemakaian kanul yang tidak sesuai
3. Eksisi kartilago trakea
4. Paralisis N. Laringeus Rekurens
5. Pemakaian intubasi yang terlalu lama Kesemuanya menyebabkan terjadinya trakeomalasia,
granulasi dan udema pada trakea sehingga menyulitkan dekanulasi.

CRICOTIROIDOTOMI

OPA
NPA

TRAKEOSTOMI. DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK


BEDAH KEPALA DAN LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN USU MEDAN 2011. dr.
FERRYAN SOFYAN., M.Kes., Sp-THT-KL

6. Bagaimana cara melakukan triple airway maneuver?


SUmber : Eka Setya Rini et al. 2019. Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN PERTAMA
GAWAT DARURAT (PPGD). Malang : Penerbit UB Press
DEWASA
Sumber : Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif 2017

ANAK/BAYI
7. Bagaimana hasil interpretasi dari PF dan glasgow coma scale pada scenario?
RR naik
Penurunan konsentrasi oksigen dalam darah à perangsangan kemoreseptor (glomus
karotikum dan glomus aortikum) à perangsangan pusat pernafasan à RR naik
Menurut (Ikawati, 2011) nilai normal pernafasan adalah sebagai berikut :
- Bayi : 30-40 x/mnt
- Anak : 20-30 x/mnt
- Dewasa : 16-20 x/mnt
- Lansia : 14-16 x/mnt

Nadi naik dan tekanan darah turun


Penurunan oksigen dalam darah à hipoksia (jaringan kekurangan oksigen) à aliran
darah ke jaringan diperlama (agar jaringan mendapat pasokan oksigen lebih banyak ) à
venous return turun à stroke volume menurun à Tekanan darah menurun
Tekanan darah menurun à merangsang baroreseptor (di glomus karotikum dan
aortikum) à merangsang dilatasi arteri sistemik à frekuensi jantung menurun
Tekanan Darah : 100/60

Klasifikasi Tekanan darah sistolik Tekanan darah distolik


(mmHg) (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 ≥ 100

Mekanisme takikardia
Perdarahan→ volume darah menurun→ aliran darah ke jantung
sedikit→simpatik→meningkatkan kontraksi dan daya konduksi jantung→takikardia
Mekanisme hypotensi
Volume darah menurun → penurunan tekanan pengisian sirkulasi rata-rata→ penurunan
aliran balik darah vena ke jantung→ curah jantung menurun→ hypotensi
Mekanisme hilangnya kesadaran
Volume darah menurun→ aliran darah keotak menurun →oksigen keotak juga menurun
→ penurunan kesadaran
Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan konsentrasi oksigen dalam
darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2) dibawah nilai normal (nilai normal
PaO285-100 mmHg), SaO2 95%. Hipoksemia dibedakan menjadi ringan sedang dan
berat berdasarkan nilai PaO2 dan SaO2, yaitu:
Hipoksemia ringan dinyatakan pada keadaan PaO2 60-79 mmHg dan SaO2 90-94%

Hipoksemia sedang PaO2 40-60 mmHg, SaO2 75%-89%

Hipoksemia berat bila PaO2 kurang dari 40 mmHg dan SaO2 kurang dari 75%.

Astowo. Pudjo. Terapi oksigen: Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi. FKUI. Jakarta. 2005
 
Saturasi darah / SpO2, adalah kadar oksigen yang ada dalam darah.
Hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam darah (PO2) dan oksigen saturasi
dalam darah adalah “Semakin tinggi PO2 dalam darah maka semakin tinggi pula SaO2.
Nilai PO2 dalam keadaan normal adalah sekitar 90 mm Hg dan oksigen saturasi paling
sedikit 95 %
[ John Enderle, 1999]

TD Menurun

Sumber : Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 2012. Edisi 6. Jakarta: EGC.
 trauma kepala berat jika GCS ≤ 8
 trauma kepala sedang jika GCS antara 9 dan 12
 trauma kepala ringan jika GCS ≥13

- Secara kualitatif (tingkat kesadaran)


 Kompos mentis : bereaksi secara adekuat
 Delirium : pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi, berteriak,
aktivitas motorik meningkat.
 Somnolen : keadaan mengantuk, dapat pulih penuh jika dirangsang.
 Stupor : penderita merasakan kantuk yang dalam dan masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat namun kesadarannya segera
menurun lagi (respon terhadap verbal samar, respon terhadap nyeri namun
tidak dapat sadar sempurna).
 Koma ringan : tidak ada respon terhadap rangsang verbal, hanya terhadap
rangsang nyeri berupa gerakan. Namun, pasien tidak dapat dibangunkan.
Reflex pupil, kornea, dsb masih baik.
 Koma dalam : tidak ada gerakan spontan meskipun dengan rangsangan
nyeri dan rangsangan verbal.

Sumber : Anindhita, T. dan Wiratman, W. 2017, Buku Ajar Neurologi, Departemen


Neurologi FKUI, Jakarta.
E3V4M5 
E3 : Pasien membuka mata terhadap suara
V4: Pasien bingung (tidak ada korelasi antara pertanyaan pemeriksa dengan jawaban pasien,
meski pasien mampu menjawab kalimat).
M5 : Pasien mampu melokasilasi nyeri

Sumber : Anindhita, T. dan Wiratman, W. 2017, Buku Ajar Neurologi, Departemen


Neurologi FKUI, Jakarta.

8. Mengapa didapatkan suara gargling, epistaksis dan edema perioribita?


a. Snoring : suara seperti ngorok, kondisi ini menandakan adanya kebuntuan jalan
napas bagian atas oleh benda padat, jika terdengar suara ini maka lakukanlah
pengecekan langsung dengan cara cross-finger untuk membuka mulut (menggunakan
2 jari, yaitu ibu jari dan jari telunjuk tangan yang digunakan untuk chin lift tadi, ibu
jari mendorong rahang atas ke atas, telunjuk menekan rahang bawah ke bawah).
Lihatlah apakah ada benda yang menyangkut di tenggorokan korban (eg: gigi palsu
dll).
Snoringsuara mengorok akibat sumbatan di faring (lidah jatuh ke belakang pada
penurunan kesadaran)
b. Gargling : suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan yang
disebabkan oleh cairan (eg: darah), maka lakukanlah cross-finger(seperti di atas), lalu
lakukanlah finger-sweep (sesuai namanya, menggunakan 2 jari yang sudah dibalut
dengan kain untuk “menyapu” rongga mulut dari cairan-cairan).
Gurgling suara berkumur yang menunjukkan adanya cairan/darah/hipersekresi
lendir di orofaring

c. Crowing : suara dengan nada tinggi, biasanya disebakan karena pembengkakan (edema)
pada trakea, untuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head tilt and chin lift
atau jaw thrust saja. Jika suara napas tidak terdengar karena ada hambatan total pada
jalan napas, maka dapat dilakukan :
a. Back Blow sebanyak 5 kali, yaitu dengan memukul menggunakan telapak tangan
daerah diantara tulang scapula di punggung
b. Heimlich Maneuver, dengan cara memposisikan diri seperti gambar, lalu menarik
tangan ke arah belakang atas.

c. Chest Thrust, dilakukan pada ibu hamil, bayi atau obesitas dengan cara
memposisikan diri seperti gambar lalu mendorong tangan kearah dalam atas.

Sumber : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PP-PERKI). Buku


Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut. Edisi 2013, BCLS : Indonesia.
Stridordapat terjadi akibat sumbatan parsial benda asing di laring (stridor inspirasi)
atau trakea (stridor ekspirasi)

EDEMA PERIORBITAL (+/+)


a large focal peri-orbital swelling and hematoma as a consequence of a direct blunt trauma.
Penyebab utama edema periorbital adalah peradangan yang menyebabkan
penumpukan cairan di sekitar mata. Kondisi ini dapat bersifat akut atau kronik.
Beberapa penyebab umum edema periorbital meliputi:
 Trauma pada mata: Setiap cedera di dekat rongga mata dapat menyebabkan
peradangan dan kemerahan orbit mata, yang menyebabkan edema periorbital.
 Mononukleosis : penyakit virus yang dapat menyebabkan edema periorbital pada tahap
awal infeksi.
 Tidur yang tidak teratur : Terlalu sedikit atau terlalu banyak tidur dapat menyebabkan
retensi cairan.
 Diet tinggi garam: Mengkonsumsi banyak makanan asin dapat menyebabkan retensi
cairan.
 Konsumsi alkohol: Alkohol dapat menyebabkan dehidrasi, yang dapat menyebabkan
retensi cairan.
 Merokok : Rokok dapat menyebabkan ketidakseimbangan hormon yang menyebabkan
retensi cairan.
 Alergi: Reaksi alergi dapat menyebabkan peradangan pada pembuluh darah kecil
(kapiler) di sekitar mata.
 Kelainan kulit : Kelainan kulit yang menyebabkan peradangan kulit dapat menyebabkan
edema periorbital.
 Penuaan: Menyebabkan tubuh kehilangan lebih banyak air dan ini dapat menyebabkan
retensi cairan.
 Menangis: Menyebabkan peradangan yang dapat menyebabkan edema periorbital
sementara.
 Kelainan tiroid: Masalah tiroid seperti hipotiroidisme dan hipertiroidisme dapat
menyebabkan retensi cairan dalam tubuh, termasuk di sekitar mata.
 Selulitis periorbital: Selulitis periorbital adalah kondisi kulit yang serius yang disebabkan
oleh infeksi dan radang kelopak mata dan kulit di sekitar mata. Ini dapat menyebabkan
edema periorbital. Kondisi ini mungkin memerlukan perawatan darurat jika gejalanya
bertahan lebih dari dua hingga tiga hari.
 Penyakit Chagas: Infeksi ini dapat menyebabkan pembengkakan di satu sisi tubuh.
Pembengkakan biasanya tidak menyakitkan.
 Sindrom nefrotik : Kondisi ini disebabkan oleh masalah pada ginjal, yang menyebabkan
retensi cairan.
 Trichinosis: Ini adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh cacing gelang yang ditemukan
pada beberapa babi mentah atau kurang matang, dan dapat menyebabkan radang
mata.
 Kelenjar air mata disfungsional: Kelenjar air mata yang tersumbat atau tidak berfungsi
dapat menyebabkan peradangan di sekitar mata.
 Obstruksi vena cava superior : Sebuah obstruksi bagian jantung yang disebut vena cava
superior dapat menyebabkan darah menumpuk di bagian-bagian tubuh di atas jantung,
mengakibatkan edema periorbital.
 Konjungtivitis: Disebut juga mata merah muda, penyakit virus ini menyebabkan
peradangan dan kemerahan pada mata.

EPISTAKSIS
DEFINISI
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau
nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis sering ditemukan sehari-
hari dan mungkin 90% dapat berhenti sendirinya. Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-
10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika
Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang
bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada
anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat
penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.

LOKASI
Perdarahan pada hidung terdiri dari perdarahan bagian atas, bawah, dan depan. Bagian depan
dipendarahi oleh arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior. Arteri tersebut
merupakan cabang dari arteri oftalmika yang berasal dari arteri carotis interna. Bagian
bawah hidung dipendarahi oleh arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina, merupakan
cabang dari arteri maksilaris interna. Bagian depan dipendarahi oleh cabang-cabang dari
arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang- cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior, dan arteri palatine mayor,
yang disebut sebagai pleksus Kiesselbach (Little’ s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-
vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi
mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

ETIOLOGI
Epistaksis atau perdarahan hidung dapat terjadi akibat sebab lokal dan umum atau (kelainan
sistemik). Beberapa di antaranya adalah :
1) Etiologi lokal epistaksis dapat berupa:
a. Idiopatik (85% kasus), biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak
dan remaja.
b. Trauma epistaksis dapat terjadi setelah membuang ingus dengan kuat, mengorek
hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofacial.
c. Iritasi, epistaksis dapat timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia udara
panas pada mukosa hidung.
d. Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai
ingus yang berbau busuk.

2) Etiologi sistemik epistaksis antara lain:

a. Penyakit kardiovaskuler, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti


ateroklerosis, sirosis hepatis, sifilis dan nefritis kronis.
b. Kelainan darah, misalnya leukimia, trombositopenia, dan hemofilia.
c. Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, mobili, demam
tifoid.
d. Kelainan endokrin, misalnya kehamilan menarche dan menopause.

Sumber : Ali Imran. 2019. IMPLEMENTASI SISTEM PAKAR DIAGNOSA PENYAKIT


EPISTAKSIS PADA MANUSIA MENGGUNAKAN METODE HYBRID CASE BASED
DAN RULE BASED REASONING. Jurnal INTI ISSN 2301-9425 (Media Cetak) Volume 7,
No 1, Oktober 2019

9. Bagaimana teknik inhalasi dengan NRM dan indikasinya?


TUJUAN PEMBERIAN OKSIGEN NON REBREATHING MASK
Menurut Ni Luh Suciati, 2010 tujuan pemberian oksigen Non Rebreathing Mask adalah
sebagai berikut :
a. Memenuhi kekurangan oksigen.
b. Membantu kelancaran metabolisme.

c. Sebagai tindakan pengobatan.

d. Mencegah hipoksia.

e. Mengurangi beban kerja alat nafas dan jantung.

INDIKASI

Menurut Asmadi, 2009 terapi ini dilakukan pada penderita :

a. Dengan anoksia atau hipoksia.

b. Dengan kelumpuhan alat-alat pernapasan.

c. Selama dan sesudah dilakukan narcose umum.

d. Mendapat trauma paru.

e. Tiba-tiba menunjukkan tanda-tanda shock, dispeneu, cyanosis, apneu

f. Dalam keadaan koma


g. Klien dengan kadar tekanan CO2

HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM PEMBERIAN NRM

Menurut Ni Luh Suciati, 2010 hal hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :

a. Sebelum dipasang pada pasien isi O2 kedalam kantong dengan cara menutup lubang
antara kantong dengan sungkup minimal 2/3 bagian kantong reservoir

b. Memasang kapas kering pada daerah yang tertekan tungkup dan tali pengikat untuk
mencegah iritasi kulit

c. Perawat harus menjaga agar semua diafragma karet harus pada tempatnya

d. Menjaga supaya kantong O2 tidak terlipat/mengempes untuk mencegah bertambahnya


CO2

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN NON REBREATHING MASK

Menurut Ni Luh Suciati, 2010 keuntungan dan kerugian Non Rebreathing Mask adalah
sebagaiberikut:

Keuntungan :konsentrasi oksigen diperoleh bisa tinggi bahkan sampai 100% dan tidak
mengeringkan selaput lender

Kerugian :

a. Tidak dapat memberikan oksigen dengan konsentrasi yang rendah

b. Kantong oksigen mudah terlipat, terputar atau mengempes

c. Pemasangannya menyekap sehingga tidak memungkinkan untuk makan dan batuk

d. Terjadinya aspirasi bila pasien muntah terutama jika pasien tidak sadar

METODE PEMBERIAN OKSIGEN NON REBREATHING MASK


a. Sungkup muka Non Rebreathing Mask dengan kantong 02

b. Oksigen : Aliran 10-15 l/menit menghasilkan konsentrasi 02 90 %.

Sumber : Eka Setya Rini et al. 2019. Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN PERTAMA
GAWAT DARURAT (PPGD). Malang : Penerbit UB Press
Sumber : Prengki Pahlezi. 2018. Pemberian Terapi Oksigen NRM pada Gangguan Pola
Nafas Pasien STEMI di IGD RS Dr. Sobirin Kabupaten Musi Rawas Tahun 2018

10. Bagaimana prinsip-prinsip terapi oksigen?


TERAPI OKSIGENASI
Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut ACLS Indonesia
Sumber : Eka Setya Rini et al. 2019. Buku Ajar Keperawatan PERTOLONGAN PERTAMA
GAWAT DARURAT (PPGD). Malang : Penerbit UB Press
Sumber : Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif 2017

11. Bagaimana Penilaian kesadaran dengan AVPU dan GCS?

the difference between gcs and avpu


 is that gcs is (emergency medicine) , a system used by medical workers to score
the severity of a patient being transported by ambulance on a number scale
while avpu is (emergency medicine) a system used by medical workers to assess
and record a patient's responsiveness and level of consciousness.

In first aid, an AVPU score of anything less than A is often considered an indication to get further
help, as the patient is likely to be in need of more definitive care. In the hospital or long term
healthcare facilities, caregivers may consider an AVPU score of less than A to be the patient's
normal baseline.[3]
In some emergency medical services protocols, "Alert" can be subdivided into a scale of 1 to 4, in
which 1, 2, 3 and 4 correspond to certain attributes, such as time, person, place, and event. For
example, a fully alert patient might be considered "alert and oriented x 4" if they could correctly
identify the time, their name, their location, and the event.
EMS crews may begin with an AVPU assessment, to be followed by a GCS assessment if the AVPU
score is below "A."
The AVPU scale is not suitable for long-term neurological observation of the patient; in this situation,
the Glasgow Coma Scale is more appropriate.
When compared to the Glasgow Coma Scale (GCS) the AVPU classification of alertness has been
suggested to correspond in the following manner:
 Alert = 15 GCS
 Voice Responsive = 12 GCS
 Pain Responsive = 8 GCS
 Unconscious/DOA = 3 GCS
(Kelly, Upex and Bateman, 2004)
The AVPU scale can also be compared to the Pediatric Glasgow Coma Scale (PGCS). The PGCS
corresponds with the AVPU classification of consciousness in the following manner:[4]

 Alert = 11-15 PGCS


 Voice Responsive = 5-15 PGCS
 Pain Responsive = 4-12 PGCS
 Unconscious/DOA = 3-5 PGCS

Berbagai cara digunakan untuk melakukan penilaian kesadaran pada pasien cedera
kepala. Dalam hal ini penilaian kesadaran dengan A: Alert, V: Respond to verbal, P:
Respond to pain, U: Unresponsive, masih sering dipergunakan pada pasien cedera otak.
Selama berkembangnya waktu maka penilaian kesadaran lebih memilih GCS (Glascow
Coma Scales) sebagai alat untuk menentukan tingkatan cedera otak. Hingga saat ini GCS
masih digunakan pada hampir seluruh tenaga kesehatan di dunia untuk menentukan
derajat kesadaran (Torbey, 2010). Lesi perdarahan pada cedera otak dapat disebabkan
oleh berbagai mekanisme. Bentuk perdarahan antara lain EDH, SDH, ICH,
intraventricular hemorrhage (IVH), dan subarachnoid hemorrhage (SAH). Akibat dari
perdarahan ini maka akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial di otak. Jika
peningkatan tekanan otak tidak dapat dikompensasi maka akan terjadi herniasi otak
yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kematian (Torbey, 2010).

The basis of the AVPU scale is on the following criterion:


 Alert: The patient is aware of the examiner and can respond to the environment around
them independently. The patient can also follow commands, open their eyes
spontaneously, and track objects.
 Verbally Responsive: The patient's eyes do not open spontaneously. The patient's eyes
open only in response to a verbal stimulus directed toward them. The patient can react to
that verbal stimulus directly and in a meaningful way.
 Painfully Responsive: The patient's eyes do not open spontaneously. The patient will
only respond to the application of painful stimuli by an examiner. The patient may move,
moan, or cry out directly in response to the painful stimuli.
 Unresponsive: The patient does not respond spontaneously. The patient does not respond
to verbal or painful stimuli.
 trauma kepala berat jika GCS ≤ 8
 trauma kepala sedang jika GCS antara 9 dan 12
 trauma kepala ringan jika GCS ≥13

- Secara kualitatif (tingkat kesadaran)


 Kompos mentis : bereaksi secara adekuat
 Delirium : pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi, berteriak,
aktivitas motorik meningkat.
 Somnolen : keadaan mengantuk, dapat pulih penuh jika dirangsang.
 Stupor : penderita merasakan kantuk yang dalam dan masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat namun kesadarannya segera
menurun lagi (respon terhadap verbal samar, respon terhadap nyeri namun
tidak dapat sadar sempurna).
 Koma ringan : tidak ada respon terhadap rangsang verbal, hanya terhadap
rangsang nyeri berupa gerakan. Namun, pasien tidak dapat dibangunkan.
Reflex pupil, kornea, dsb masih baik.
 Koma dalam : tidak ada gerakan spontan meskipun dengan rangsangan
nyeri dan rangsangan verbal.

Sumber : Anindhita, T. dan Wiratman, W. 2017, Buku Ajar Neurologi, Departemen


Neurologi FKUI, Jakarta.

12. Apa saja derajat-derajat hipoksia?


AKURASI OXYGEN SATURATION (SpO2) SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITY
PADA KLIEN CEDERA KEPALA. Riki Ristanto. Poltekkes Dr. Soepraoen Malang

13. Bagaimana Patofisiologi sumbatan nafas?


Menurut Bachtiar, et al. (2015) gangguan jalan napas adalah kondisi yang menyebabkan
terganggunya aliran udara masuk ke dalam saluran napas melalui mulut dan hidung.
Gangguan jalan napas dapat terjadi secara tiba - tiba dan lengkap atau perlahan. Bentuk
gangguan napas adalah sumbatan jalan napas dimana terbagi atas sumbatan jalan napas
total dan sebagian (parsial). Sumbatan jalan napas total terjadi pada seseorang yang
mengalami tersedak oleh benda asing sedangkan sumbatan sebagian disebabkan oleh
cairan seperti sisa muntah, darah atau sekret dalam rongga mulut, kondisi pangkal lidah
yang jatuh ke belakang, sumbatan benda padat, odema laring, spasme laring dan odema
faring.
Patofisiologis Obstruksi Jalan Napas
Kerongkongan sebagai jalan masuknya makanan dan minuman secara anatomis terletak di
belakang tenggorokan (jalan napas). Ke dua saluran ini sama – sama berhubungan dengan
lubang hidung maupun mulut. Agar tidak terjadi salah masuk, maka diantara kerongkongan
dan tenggorokan terdapat sebuah katup epiglotis yang bergerak secara bergantian menutup
tenggorokan dan kerongkongan seperti layaknya daun pintu. Saat bernapas, katup menutup
kerongkongan agar udara menutup tenggorokan agar makanan lewat kerongkongan.
Tersedak dapat terjadi bila makanan yang seharusnya menuju kerongkongan , malah
menuju tenggorokan karena berbagai sebab (Romdzati, 2016).
Jose, Anson & Nagori, Shakil Ahmed & Agarwal, Bhaskar & Bhutia, Ongkila & Roychoudhury,
Ajoy. (2016). Management of maxillofacial trauma in emergency: An update of challenges and
controversies. Journal of Emergencies, Trauma, and Shock. 9. 73. 10.4103/0974-2700.179456.

Anda mungkin juga menyukai