Anda di halaman 1dari 4

Pengaruh Opioid terhadap Pernapasan

DOKTER PEMBIMBING:

dr. Nunung, SpAn

OLEH:

Olivia C. Kaihatu

11.2014.162

KEPANITERAAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU ANESTESI
Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan
Periode: 31 Agustus 2015 – 19 September 2015
Abstrak

Depresi pernapasan membatasi penggunaan analgesia opioid. Namun sampai saat ini, secara
klinis, mekanisme spesifik mekanisme kerja opioid pada pusat pernapasan pada otak kita,
telah sedikit dipahami. Review artikel ini membahas mengenai mekanisme opioid-induce
respiratory depression, dari tingkat seluler ke sistem, , termasuk highlight dari pemahaman
kami, dan untuk menyarankan penelitian selanjutnya. Tujuannya adalah untuk melawan
opioid-induced respiratory depression terhadap keuntungan yang dapat diterima pasien
terkait nyeri dan secara potensial mengurangi kematian akibat overdosis opioid. Dengan
mengintegrasikan penemuan terbaru dari penelitian terhadap hewan dengan manusia dan
studi klinis, penelitian selanjutnya dapat dilakukan untuk mendapatkan analgesia opioid yang
lebih aman.

Br J Anaesth 2008; 100: 747-58

Kata kunci: analgesik opioid, otak, batang otak, pusat pernapasan, komplikasi, depresi napas,
reseptor, kemoreseptor, ventilasi, spontan

Dengan konsekuensi fatal, karena opioid dapat membuat depresi pernapasan membuat
penggunaan opioid dibatasi sebagai analgesia yang efektif. Obat-obatan opioid seperti
morfin, masih tetap dipakai di seluruh belahan dunia dalam berbagai situasi klinis, contohnya
setelah operasi dan dalam kontrol nyeri pasien dengan kanker. Insidens postoperatif opioid
induced respiratory depression di UK diperkirakan sebayak 1%. Meskipun progresifitas
menuju kematian sangat jarang ditemukan, namun banyaknya pasien yang diterapi
menggunakan opioid membuat respiratory distress menjadi permasalahan yang penting
dalam klinis sehari-hari. Sayangnya, ketakutan medis akan respiratory depression membuat
nyeri itu kadangkala tidak diterapi dengan baik sehingga pasien merasakan nyeri yang tidak
seharusnya dirasakan. Untuk itu, penting untuk mendapatkan analgesia dengan efek samping
minumal dan ini biasanya didapatkan dengan kombinasi dengan pendekatan terapi yang lain,
tetapi dengan opioid sebagai tulang punggung teradi. Pada pecandu obat-obatan, respiratory
depression adalah penyebab kematian terbesar.

Opioid receptors

Reseptor opioid adalah anggota lebih dari 1000 G-protein coupled receptors (GPCRs), yang
mengandug 7 subunit transmembran. Konsensus terakhir menjalaskan 4 kelas reseptor
opioid: MOP (µ), KOP (ĸ), DOP (δ), dan NOP. Berkenaan dengan respirasi, reseptor opioid
sangat banyak pada pusat pernapasan yang didalamnya termasuk batang otak, dan tingkat
diatasnya seperti insula, talamus, dan anterior cingulate cortex. Reseptor opioid juga terletak
pada badan karotis dan di vagi. Reseptor mekanosensori terletak pada epitel, submukosa dan
lapisan otot pernapasan untuk membawa informasi mekanis maupun sensori dari paru-paru
dan reseptor opioid.

2
Brainstem mechanism of respiration

Mekanisme fundamental yang mempengaruhi pernapasan dikendalikan oleh batang otak,


dan dimodulasi oleh impuls yang termasuk didalamnya inputs dari kortex, central (brainstem),
dan kemoreseptor perifer (carotis dan aortic bodies) yang akan menghasilkan perubahan
kimia dalam materi penyusun darah.

Siklus pernapasan terdiri dari tiga tahap: inspirasi, pasca-inspirasi atau ekspirasi pasif, dan
ekspirasi aktif atau akhir. Irama pernapasan yang mendorong fase ini diyakini dihasilkan di
pra-Bötzinger kompleks. Pra-Bötzinger kompleks terletak di medula ventrolateral yang mana
terdiri dari neuron dengan sifat rhythmogenic yang memainkan peran utama selama inspirasi.
Neuron ini bergantung pada mekanisme dependen arus sodium yang persisten dan intrinsik
(INaP). Sebuah subtipe neuron rhythmogenic yang bergantung pada baik kalsium atau non-
spesifik yang diaktifkan kalsium dan arus tegangan kation independen (ICAN) yang mungkin
juga ada. Semua pra-Bötzinger neuron memiliki INaP dan ICAN intrinsik yang berkontribusi pada
generasi input sinaptik terkait inspirasi.

Ada bukti baru yang mendukung situs sekunder dalam medulla yang dapat berkontribusi
terhadap irama pernapasan dalam keadaan tertentu. Sekelompok terpisah neuron ekspirasi
aktif rhythmogenic telah diisolasi di dalam sekitar inti retrotrapezoid (RTN) dan area
kelompok pernapasan parafacial (pFRG) - (RTN / pFRG). Neuron ini berinteraksi dengan
kompleks pra-Bötzinger sebagai sistem osilasi yang digabungkan untuk mengatur ritme
pernapasan. Neuron RTN menanggapi CO2 pusat (penurunan pH) dan memberikan dorongan
rangsang ke pra-Bötzinger kompleks. Studi ekstensif telah menunjukkan bahwa μ- reseptor
dan 􀀁-opioid juga hadir di area pernapasan pons dan medula.

Pra-Bötzinger kompleks sekarang diyakini sebagai situs penting dari aksi opioid di depresi
pernapasan yang dibuktikan oleh sebuah studi yang baru-baru ini diterbitkan. Terdapat
neuron inspirasi, ekspirasi dan non-pernapasan dalam pra-Bötzinger kompleks, dengan sub-
populasi neuron yang menyampaikan reseptor neurokinin-1. (NK1R) Sebagian besar neuron
pra-Bötzinger yang menyampaikan NK1R aktif selama inspirasi, dan secara khas dihambat
oleh opioid. Neuron yang menyampaikan NK1R dalam pra-Bötzinger kompleks adalah situs
penting dalam memediasi depresi pernafasan yang disebabkan opioid. Pemberian opioid ke
area pra-Bötzinger yang menyampaikan NK1R menyebabkan penghambatan NK1R dan
mengakibatkan serangan irama pernapasan, dihapuskan aktivitas otot dan apnea yang fatal
kecuali bila dibalik dengan nalokson. Area lain yang berbeda dalam medula yang diinervasi
oleh neuron pra-Bötzinger juga diidentifikasi sangat dikaitkan dengan penekanan aktivitas
otot lidah yang disebabkan opioid. Hal ini merupakan tambahan efek penghambatan opioid
pada motor neuron hypoglossal yang akan dibahas selanjutnya, yang mana menghasilkan
penyumbatan jalan napas bagian atas yang dapat berpotensi fatal.

Ada mekanisme umpan balik sekunder modulatory lain yang mempengaruhi respirasi.
Breuer-Hering refleks (BHR) mengakhiri inspirasi sebagai akibat dari tindakan faktor
peregangan paru, dan sebagian besar mengendalikan fase transisi inspirasi ekspirasi. BHR
mencegah paru-paru dari penggembungan lebih, dan kurangnya BHR ditunjukkan
memperpanjang durasi inspirasi, menurunkan frekuensi pernapasan dan meningkatkan
volume tidal. Kedua, inti Kölliker-Fuse (KF) dan parabrachial kompleks di dorsolateral dan

3
ventrolateral pons dapat melakukan kontrol minor atas fase transisi pernapasan selama
pernapasan normal. Lalley menunjukkan bahwa agonis μ-opioid pada inti KF dan parabrachial
kompleks mengakibatkan pola pernapasan yang tidak teratur.

Depresi pernafasan yang disebabkan opioid oleh karena itu sebagian besar merupakan akibat
dari efek opioid pada neuron pra-Bötzinger yang menyampaikan NK1R, meskipun efek opioid
di berbagai kompleks saraf pusat lainnya mungkin memiliki efek tambahan.

Pengukuran efek opioid pada pernapasan manusia

Pada manusia, opioid menyebabkan pernapasan menjadi lambat dan irregular, yang memicu
hipercapnia dan hipoxia. Tetapi pengukuran dengan PaCo2, tidak membantu dalam
memprediksi adanya depresi pernapsan. Dengan adanya peningkatan level opioid, contohnya
dengan constant rate infusion, depresi pernapasan yang progresif menyebabkan hiperkapnia.
Disisi lain, kenaikan penggunaan reseptor opioid sebagai hasil dalam i.v bolus dapat
menyebabkan apnoea hingga PaCO2 meningkat ke nilai yang stabil. Sehingga dapat dijelaskan
bahwa obat dengan slower receptor binding (mis. morfin) lebih aman dibanding yang dapat
berikatan dengan cepat (mis alfentanil dan ramifentalil.

Interaksi obat

Banyak obat digunakan untuk anestesia dapat meningkatkan efek opioid untuk mendepresi
pernapasan. Propofol, sevoflurane dan midazolam adalah respiratory depressants, melalui
efek agonis GABA dan antagonis reseptor NMDA dan mempunyai efek adiktif dan sinergis
terhadap pernapasan ketika dikombinasikan dengan opioid. Meskipun efek depresi
pernapasan yang disebabkan oleh etanol dan benzodiazepin sangat ringan, tetapi
penggunaan bersama opioid pada pengguna obat-obat terlarang dapat mengakibatkan
overdosis opioid yang fatal. Pada periode post operative, depresi pernapasan yang dimediasi
oleh opioid dapat diperburuk oleh efek residu yang disebabkan oleh anaesthetic agents dan
premedikasi sedatif.

Kesimpulan

Opioid mendepresi pernapasan melalui berbagai mekanisme. Sehingga tidak dipungkiri sulit
untuk mencegah depresi pernapasan. Respons hipoksia dan hiperkapnia murapakan efek
yang di cetuskan oleh opioid dan dimediasi melalui batang otak. Diharapkan adanya
penelitian lebih lanjut untuk dapat meminimalkan resiko tersebut.

Anda mungkin juga menyukai