PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari efek-efek asing atau eksogen
dan zat-zat endogen terhadap suatu organism melalui berbagai jenis senyawa
terutama obat-obatan. Obat adalah suatu bahan yang berbentuk padat atau cair
atau gas yang menyebabkan pengaruh terjadinya perubahan fisik dan atau
psykologik pada tubuh. Terdapat perbedaan mencolok antara analgetika dengan
anastetika umum yaitu meskipun sama-sama berfungsi sebagai zat-zat yang
mengurangi atau menghalau rasa nyeri namun, analgetika bekerja tanpa
menghilangkan kesadaraan. Nyeri sendiri terjadi akibat rangsangan mekanis,
kimiawi, atau fisis yang memicu pelepasan mediator nyeri. Intensitas rangsangan
terendah saat seseorang merasakan nyeri dinamakan ambang nyeri. 10
Hampir semua obat berpengaruh terhadap sistem saraf pusat. Obat tersebut
bereaksi terhadap otak dan dapat mempengaruhi pikiran seseorang yaitu perasaan
atau tingkah laku, hal ini disebut obat psikoaktif. Analgetik atau obat penghilang
rasa nyeri adalah zat-zat mengurangi atau menghilangkan kesadaran
11
. Rasa
1.
2.
sarafnya.
Menghambat atau mendepresi, yang secara langsung maupun tidak
langsung memblokir proses tertentu pada aktivitas otak, sumsum tulang
belakang dan saraf-sarafnya.
Perbedaan efek suatu obat dapat disebabkan oleh perbedaan jenis hewan,
misalnya: morfin menyebabkan eksitasi pada kucing dan kuda, tetapi pada kelinci
menyebabkan depresi. Kelinci merupakan hewan yang memiliki efek morfin
persis seperti manusia. Morfin sendiri adalah jenis senyawa yang digunakan untuk
mengurangi nyeri dan sebagai cara penyembuhan dari ketagihan alkohol dan
opium. Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatif selektif,
yakni tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar
(vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu
hilang setelah pemberian morfin dosis terapi13.Efek analgesik morfin timbul
berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2)
morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang
timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri
dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang
rangsang nyeri meningkat. Morfin merupakan agonis reseptor opioid, dengan efek
utama mengikat dan mengaktivasi reseptor -opioid pada sistem saraf pusat. Jika
mengonsumsi morfin melebihi batas terapi, maka akan timbul gejala seperti :
Pupil mata sangat kecil (pinpoint), depresi pernafasan dan coma (tiga gejala
klasik). Bila sangat hebat, dapat terjadi dilatasi (pelebaran pupil). Sering disertai
juga nausea (mual). Kadang-kadang timbul edema paru (paru-paru basah).
Perbedaan efek suatu obat dapat disebabkan oleh perbedaan jenis hewan,
misalnya: morfin menyebabkan eksitasi pada kucing dan kuda, tetapi pada kelinci
menyebabkan depresi. Kelinci merupakan hewan yang memiliki efek morfin
persis seperti manusia. Hal yang terjadi pada kelinci ini mirip dengan yang terjadi
pada manusia apabila disuntikan morfin. Morfin sendiri adalah jenis senyawa
yang digunakan untuk mengurangi nyeri dan sebagai cara penyembuhan dari
ketagihan alkohol dan opium. Morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor
Opioid, tertama pada reseptor m, dan
sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih
terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus
corpus striatum, system aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia
gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan
polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan
reseptor morfin dan menghasilkan efek.2
Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat
diidentifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu antara lain:2, 3, 4
Epsilon () Berperan dalam aktivitas hormonal. Sangat selektif terhadap betaendorfin tetapi tidak mempunyai aktivitas terhadap enkefalin.
B. Tujuan Praktikum
-
C. Manfaat Praktikum
-
Setelah
melakukan
praktikum
mahasiswa
mengetahui
bagaimana
1. Timbangan
2. Baskom
3. Spuit
4. Sarung tangan
5. Penggaris
6. Alat tulis
B. Bahan
1. Kelinci
2. Morfin
3. CARA KERJA
1. Ambillah seekor kelinci, perlakukan hewan coba dengan baik dan tidak kasar.
2. Timbanglah kelinci dengan timbangan hewan coba dengan akurat dan catat.
3. Hitunglah berapa ml larutan (DOSIS) morfin yang akan disuntikkan pada kelinci
dengan cara perhitungan diatas.
4. Lakukan observasi parameter dasar sebelum dan sesudah disuntik morfin yaitu
mengenai sikap kelinci, refleks otot, diameter pupil ,hitung frekuensi pernafasan
dan denyut jantung, kelakukan kelinci.
Sikap kelinci : biasanya lincah, selalu ingin berjalan
Refleks otot: tariklah (jangan terlalu keras) tungkai kaki depannnya,
normal biasanya ada tahanan
Diameter pupil diukur dalam kondisi cahaya yang constant
Frekuensi nafas dapat dihitung dengan meraba dada kelinci atau
dengan menghitung kembang-kempinya cuping hidungnnya.Karena
frekuensi nafas kelinci cepat maka hitunglah menit kemudian
kalikan 4.
Denyut jantung dihitung dengan meraba bagian dada bawah tubuh
kelinci dalam semenit.
5. Mintalah pada pembimbing praktikum larutan morfin yang akan disuntik, dalam
suntikan yang telah disediakan.
6. Suntikan larutan morfin yang sesuai dengan perhitungan untuk kelinci secara
subkutan di daerah subscapula. Pastikan seluruh cairan morfin tadi masuk ke
dalam tubuh kelinci dan tidak ada yang tercecer keluar.
8. Biarkan kelinci tetap diatas meja laboratorium, dan lakukan observasi seluruh
parameter tiap 5 menit (dilakukan hingga 20 menit)
4. HASIL PENGAMATAN
Keadaan
Sebelum
pemberian
Waktu
Setelah Pemberian Morfin
5 menit
10 menit 15 menit
20 menit
morfin
Lebar pupil
Frekuensi
nafas/ menit
Denyut nadi
0,8 cm
Tidak
menunjukkan
tanda-tanda
akan kabur
atau berjalan
0,7 cm
180/menit
84/menit
48/menit
32/menit
36/menit
64/menit
40/menit
36/menit
32/menit
Tonus otot/
refleks
Refleksnya
baik saat kaki
ditarik( Masih
bisa melawan)
Refleks mulai
berkurang
Refleks
lemah
Refleks
semakin
berkurang
28/menit
Refleksnya
sangat
kurang (tidak
ada
perlawanan
saat kaki
ditarik)
Lincah, masih
berusaha
berlari
Umum
Diam
Diam
Diam sekali
0,6 cm
0,6cm
0,6 cm
Menit
1
2
3
3,25
4
6
7
11,10
12
14
15
16
17
19
5. PEMBAHASAN
A.
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja pada praktikum ini, yaitu mula-mula diambil seekor
kelinci. Sebagai hewan coba digunakan kelinci karena efek morfin pada kelinci
menyerupai efek morfin pada manusia. Kelinci diperlakukan dengan halus tetapi
sigap karena kadang-kadangmemberontak. Menangkap kelinci dengan telinga
diangkat kemudian kulit leher di pegang dengan tangan kiri lalu pantatnya
8
diangkat dengan tangan kanan dan dididekapkan ke dekat tubuh. Kemudian ditimbang
beratnya menggunakan timbangan hewan coba dengan akurat dan dicatat berat
kelinci tersebut. Penimbangan terhadap berat kelinci ini penting untuk mengetahui
dosis morfin yang akan disuntikkan pada kelinci dengan perhitungan berdasarkan
berat badan kelinci. Sebelum disuntikkan morfin, dilakukan observasi terhadap
beberapa parameter yaitu yang pertama sikap kelinci, kelinci yang sebelum
disuntik morfin pada praktikum ini lincah, dan bergerak-gerak. Parameter kedua
yaitu refleks otot, untuk mengetahui refleks otot kelinci, tungkai kaki depannya
ditarik tetapi tidak terlalu keras dan dilihat refleks kelinci tersebut yaitu normal
dan ada tahanan. Parameter selanjutnya yaitu dilakukan pengukuran terhadap
diameter pupil, frekuensi nafas yang dapat dihitung dengan meraba dada kelinci
atau dengan menghitung kembang-kempinya cuping hidungnnya, frekuensi nafas
dihitung pada menit kemudian dikalikan 4. Kemudian denyut jantung dihitung
dengan meraba bagian dada bawah tubuh kelinci dalam satu menit.
Setelah dilakukan observasi, kelinci tersebut disuntik morfin dengan dosis
0,23 ml melalui perhitungan sebagai berikut:
Dik
: m1 = 1,5 kg
m2 = 1,4 kg
d1 = 2,45 mg
m1 d 1
=
m2 d 2
1,5 2,45
=
1,4
x
x=
1,4 x 2,45
1,5
x=2,28666667
Atau
mg
m1 0,07
=
m2
x
1,5 0,07
=
1,4
x
x=
1,4 x 0,07
1,5
x= 0,065
morfin ini dilakukan secara subkutan (di bawah kulit) dikarenakan morfin harus
menyebar dan dapat diserap secara perlahan-lahan dalam tubuh kelinci. Morfin
diabsorbsi dengan baik setelah pemberian subkutan tetapi tidak diabsorbsi dengan
baik di saluran pencernaan . Suntikan subkutan hanya dapat dilakukan untuk obat
yang tidak mengiritasi jaringan sebab akan menyebabkan rasa sakit hebat,
nekrosis, dan pengelupasan kulit. Secara umum, suntikan subkutan memberikan
absorpsi obat yang sedikit lebih cepat dibandingkan suntikan intramuscular, tetapi
perbedaannya tidaklah besar.14
Pastikan seluruh cairan morfin tadi masuk ke dalam tubuh kelinci dan tidak
ada yang tercecer keluar. Setelah kelinci disuntik dengan morfin, biarkan kelinci
tetap di atas meja laboratorium, dan lakukan observasi seluruh parameter tiap 5
menit (dilakukan hingga 20 menit).
Parameter yang diobservasi setelah disuntik morfin sama dengan parameter
sebelum disuntik morfin, yaitu yang pertama sikap kelinci, kelinci yang setelah
disuntik morfin pada praktikum ini mulai lemas dan tidak lincah. Parameter kedua
10
yaitu refleks otot, untuk mengetahui refleks otot kelinci, tungkai kaki depannya
ditarik tetapi tidak terlalu keras dan dilihat refleks kelinci tersebut yaitu refleksnya
semakin lama semakin berkurang.
pengukuran terhadap diameter pupil, dan diperoleh bahwa diameter pupil kelinci
cenderung tidak berubah banyak, namun mengecil sedikit dari sebelum disuntik
morfin. Selanjutnya frekuensi nafas kelinci yang dapat dihitung dengan meraba
dada kelinci atau dengan menghitung kembang-kempinya cuping hidungnnya,
diperoleh bahwa frekuensi nafas kelinci yang awalnya 180 kali per menit, setelah
disuntik morfin semakin lama frekuensi nafasnya semakin berkurang. Kemudian
denyut jantung dihitung dengan meraba bagian dada bawah tubuh kelinci dalam
satu menit, denyut jantung kelinci setelah disuntik morfin juga semakin
berkurang. Hal-hal tersebut dapat terjadi dikarenakan efek dari pemberian morfin,
seperti terjadinya depresi pernapasan yang dapat dilihat dari menurunnya
frekuensi pernapasan kelinci, efek bradikardia yang dapat dilihat dari denyut
jantung kelinci yang berkurang setiap 5 menit, efek analgesia morfin yaitu ketika
kelinci dicubit tetapi kelinci tersebut tidak memberikan respon yang berusaha
melepaskan diri saat dicubit. Morfin juga akan mengakibatkan eksitasi sehingga
terjadi miosis pada pupil.
B.
Analisis Hasil
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatif selektif,
yakni tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar
(vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu
hilang setelah pemberian morfin dosis terapi 13.
11
bekerja dengan cara mengaktivasi reseptor Mu yang terdapat pada sistem syaraf
pusat.
Setelah pemberian morfin mulai terjadi efek sedasi pada kelinci dimana
pernapasan berkurang,diameter pupil mengecil, denyut nadi berkurang reflex
menurun dan tonus otot melemah.
otonom inti saraf okulomotor. Miosis dapat dilawan oleh atropin dan skolopamin.
Pada intoksikasi morfin, pin point pupil merupakan gejala yang khas. Morfin
dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan
intraokuler, baik pada orang normal maupun pasien glaucoma. 7
DEPRESI NAPAS
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa telah terjadi depresi napas setiap 5
menit yang sangat signifikan yaitu dari 180/menit hingga 36/menit pada menit ke
20 dan 32/menit pada menit ke 15. Morfin menimbulkan depresi napas secara
primer dan bersinambung berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas di
batang otak. Morfin memiliki efek depresi terhadap sistem respirasi. Ketika
12
sentral
perifer yang
kemudian
mengakibatkan vasodilatasi arteri dan vena perifer. Efek yang dirasakan sebagai
akibat vasodilatasi perifer adalah hipotensi ortostatik.Tampak mulai terjadi
bradikardia, akan tetapi efek ini tidak terlalu signifikan
TONUS OTOT ATAU REFLEKS
13
14
Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang
mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua
sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi,
perubahan
emosi,
hipoventilasi
alveolar.
Stimulasi
termasuk
stimulasi
parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi
hormone anti diuretika (ADH).2, 3, 4, 6
1). SUSUNAN SARAF
a. Narkosis
15
miosis. Dalam lingkungan yang tenang orang yang diberikan dosis terapi
(15- 20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, nafas
lambat dan miosis.7
b. Analgesia
Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor
opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang
berperan pada transmisi dan modulasi nyeri.
c. Eksitasi
Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah,
sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul.
d. Miosis
Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor dan
menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada
segmen otonom inti saraf okulomotor. Pada intoksikasi morfin, pin point
pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi berlebihan hanya timbul pada
stadium akhir intoksikasi morfin, yaitu jika sudah ada asfiksia. Morfin
dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan
tekanan intraokuler, baik pada orang normal maupun pada pasien
glaukoma.
e. Depresi nafas
Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan bersinambung
berdasarkan efek langsung terhadap pusat nafas dibatang otak. Pada dosis
kecil morfin sudah menimbulkan depresi nafas tanpa menyebabkan tidur
atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi
nafas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan morfin hampir selalu
disebabkan oleh depresi nafas.
Faktor yang meningkatkan resiko depresi pada ventilasi8 :
- High opioid dose
- Low lipid Solubility of opioid
- Concomitant administration of parenteral opioids or other
-
sedatives
Lack of opioid tolerance
Advance age
Increase intrathoracic pressure
f. Mual muntah
Efek emetic morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic
trigger zone di area postrema medulla oblongata, bukan oleh stimulasi
16
pusat emetic sendiri. Dengan dosis terapi (15 mg morfin sub kutan) pada
pasien yang berbaring, jarang terjadi mual dan muntah, tetapi 40% pasien
berobat jalan mengalami mual dan 15 % pasien mengalami muntah.7
2). SALURAN CERNA
a. Lambung
Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah. Selanjutnya
morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum
meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pylorus
berkontraksi.
Akibatnya
pergerakan
isi
lambung
ke
duodenum
diperlambat.
b. Usus halus
Mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat
pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia, morfin mengurangi
kontraksi propulsive, meninggikan tonus dan spasme periodic usus halus.
c. Usus besar
Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar,
meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar, akibatnya
penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras. Daya
persepsi korteks telah dipengaruhi morfin sehingga pasien tidak merasakan
kebutuhan untuk defekasi.
d. Duktus koledokus
Dosis terapi morfin, kodein, dihidromorfinon dan metildihidromorfinon
menimbulkan peninggian tekanan dalam duktus koledokus; dan efek ini
menetap selama 2 jam atau lebih.
3). SISTEM KARDIOVASKULAR
Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi
maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah akibat efek
depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis
toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi
morfin. Morfin dan opioid lain melepaskan histamine yang merupakan factor
penting dalam timbulnya hipotensi.
4). OTOT POLOS LAIN
17
Farmakokinetik
Morfin tidak menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorbsi melalui kulit
luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini
absorbs morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorbsi usus, tetapi efek analgetik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik yang timbul
setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid
opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan,
absorbsi berbagai alkaloid opioid berbeda beda. Morfin dapat melintasi sawar
uri dan mempengaruhi janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian
kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonjugasi
18
dan
morfin-3-glukuronid.
Sejumlah
kecil
morfin-3,6-
19
muda, waktu paruh morfin sekitar 2 jam, waktu paruh morfin-6glukuronid agak lebih lama
C. Metabolisme
Sebagian besar opioid-opioid dikonversi menjadi metabolitmetabolit polar, sehingga mudah dieksresi oleh ginjal. Senyawa yang
mempunyai gugus hidroksil bebas seperti morfin dg mudah dikonjugasi
dengan asam glukoronat. Eroin dihidrolisis mnjadi monoasetilmorfin dan
akhirnya menjadi morfin, yang kemudian di konjugasi dengan asam
glukoronal.
Metabolit yang dikkonjugasi dg glukoronat ini bersifat polar dan
diperkirakan tidak aktif , tetapi penemuan terakhir menunjukkan bahwa
morfin-6-glukoronid mempunyai sifat-sifat analgesik yg mungkin lebih
besar dari morfin sendiri. Akumulasi metabolit aktif ini dapat dijumpai
pada pasien gagal ginjal serta dapat memperpanjang dan memperkuat efek
analgesiknya meskipun yang masuk ke SSP terbatas. N-demetilasi oleh
hati, tetapi ini hanya sebagian kecil saja. Dalam konsentrasi tinggi
metabolit dapat menimbulkan kejang terutama pada anak-anak.
D. Ekskresi
Sangat sedikit morfin yang diekresikan dalam bentuk tidak
berubah. Obat tersebut dieliminasi melalui filtrasi glomerulus, terutama
sebagai morfin-3-glukuronid; 90% ekresi total terjadi pada hari pertama.
Terjadi sirkulasi enterohepatik morfin dan glukuronidanya, yang
menyebabkan adanya sejumlah kecil morfin dalam feses dan dalam urin
selama beberapa hari.9
20
DAFTAR PUSTAKA
1.Muhardi dan Susilo. Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah. Bagian Anestiologi
dan Terapi Intensif FK-UI. Jakarta. 1989. hal : 199.
2. Latief, S. A, Suryadi, K. A, dan Dachlan, M. R. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi II. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI. Jakarta. Juni.
2001. hal : 77-83, 161.
3. H. Sardjono, Santoso dan Hadi Rosmiati D. Farmakologi dan Terapi. Bagian
Farmakologi FK-UI. Jakarta. 1995. hal : 189-206.
4. Samekto Wibowo dan Abdul Gopur. Farmakoterapi Dalam Neuorologi,
Penerbit Salemba Medika. hal : 138-143.
5. Sunatrio S. Ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva with Propofol, Majalah
Kedokteran Indonesia. Vol : 44. Nomor : 5, Mei 1994. hal : 278-279.
6. Omorgui, S. Buku Saku Obat-obatan Anastesi. Edisi II. EGC. Jakarta. 1997. hal
: 203-207.
21
22