Anda di halaman 1dari 22

1.

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari efek-efek asing atau eksogen
dan zat-zat endogen terhadap suatu organism melalui berbagai jenis senyawa
terutama obat-obatan. Obat adalah suatu bahan yang berbentuk padat atau cair
atau gas yang menyebabkan pengaruh terjadinya perubahan fisik dan atau
psykologik pada tubuh. Terdapat perbedaan mencolok antara analgetika dengan
anastetika umum yaitu meskipun sama-sama berfungsi sebagai zat-zat yang
mengurangi atau menghalau rasa nyeri namun, analgetika bekerja tanpa
menghilangkan kesadaraan. Nyeri sendiri terjadi akibat rangsangan mekanis,
kimiawi, atau fisis yang memicu pelepasan mediator nyeri. Intensitas rangsangan
terendah saat seseorang merasakan nyeri dinamakan ambang nyeri. 10
Hampir semua obat berpengaruh terhadap sistem saraf pusat. Obat tersebut
bereaksi terhadap otak dan dapat mempengaruhi pikiran seseorang yaitu perasaan
atau tingkah laku, hal ini disebut obat psikoaktif. Analgetik atau obat penghilang
rasa nyeri adalah zat-zat mengurangi atau menghilangkan kesadaran

11

. Rasa

nyeri sebenarnya merupakan gejala yang berfungsi melindungi atau merupakan


tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan tubuh seperti peradangan
(Rematik/Encok), infeksi kuman maupun kejang otot.
Pada umumnya analgetika dikelompokkan ke dalan dua golongan, yaitu
analgetik narkotik dan non narkotik. Efek analgesik dari analgetika narkotika
sebenarnya diakibatkan oleh terpacunya reseptor spesifik untuk opiat. Dalam
keadaan normal (fisiologis) reseptor ini terpacu oleh beberapa neuro transmitter
yang berfungsi mengatasi nyeri 12.Termasuk dalam golongan ini adalah morphin,
kodein, dan senyawa sintetik memeperidin (pethidin), amiloridin, metadon,
pentazosin. Analgetika non narkotik sering disebut juga analgetika antiperitika.
Umumnya digolongkan pada kelompok salisilat, pirazon dan para aminofenol dan
asam organik. Beberapa dari golongan tersebut mempunyai efek antiinflamasi
sehingga sering dimasukkan dan dibicarakan dalam obat antiinflamasi non-streoid
(NSAIDS).Obat-obat yang bekerja terhadap susunan saraf pusat berdasarkan efek
farmakodinamika dibagi atas dua golongan besar yaitu:

1.

Merangsang atau menstimulasi yang secara langsung maupun tidak


langsung merangsang aktivitas otak, sumsum tulang belakang beserta

2.

sarafnya.
Menghambat atau mendepresi, yang secara langsung maupun tidak
langsung memblokir proses tertentu pada aktivitas otak, sumsum tulang
belakang dan saraf-sarafnya.
Perbedaan efek suatu obat dapat disebabkan oleh perbedaan jenis hewan,

misalnya: morfin menyebabkan eksitasi pada kucing dan kuda, tetapi pada kelinci
menyebabkan depresi. Kelinci merupakan hewan yang memiliki efek morfin
persis seperti manusia. Morfin sendiri adalah jenis senyawa yang digunakan untuk
mengurangi nyeri dan sebagai cara penyembuhan dari ketagihan alkohol dan
opium. Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatif selektif,
yakni tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar
(vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu
hilang setelah pemberian morfin dosis terapi13.Efek analgesik morfin timbul
berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2)
morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang
timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri
dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang
rangsang nyeri meningkat. Morfin merupakan agonis reseptor opioid, dengan efek
utama mengikat dan mengaktivasi reseptor -opioid pada sistem saraf pusat. Jika
mengonsumsi morfin melebihi batas terapi, maka akan timbul gejala seperti :
Pupil mata sangat kecil (pinpoint), depresi pernafasan dan coma (tiga gejala
klasik). Bila sangat hebat, dapat terjadi dilatasi (pelebaran pupil). Sering disertai
juga nausea (mual). Kadang-kadang timbul edema paru (paru-paru basah).

Perbedaan efek suatu obat dapat disebabkan oleh perbedaan jenis hewan,
misalnya: morfin menyebabkan eksitasi pada kucing dan kuda, tetapi pada kelinci
menyebabkan depresi. Kelinci merupakan hewan yang memiliki efek morfin
persis seperti manusia. Hal yang terjadi pada kelinci ini mirip dengan yang terjadi
pada manusia apabila disuntikan morfin. Morfin sendiri adalah jenis senyawa
yang digunakan untuk mengurangi nyeri dan sebagai cara penyembuhan dari

ketagihan alkohol dan opium. Morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor
Opioid, tertama pada reseptor m, dan

pada reseptor k . Reseptor opioid

sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih
terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus
corpus striatum, system aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia
gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan
polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan
reseptor morfin dan menghasilkan efek.2
Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat
diidentifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu antara lain:2, 3, 4

Mu () (agonis morphine) reseptor reseptor Mu terutama ditemukan di


batang otak, dan thalamus medial. Reseptor reseptor Mu bertanggung jawab
pada analgesia supraspinal, depresi pernapasan, euphoria, sedasi, mengurangi
motilitas gastrointestinal, ketergantungan fisik. Yang termasuk bagiannya
ialah Mu1 dan Mu2, yang mana Mu1 berhubungan dengan analgesia,
euphoria, dan penenang, Mu2 berhubungan dengan depresi pernapasan,
preritus, pelepasan prolaktin, ketergantungan, anoreksia, dan sedasi. Ini juga
disebut sebagai OP3 atau MOR (morphine opioid receptors).

Kappa () (agonis ketocyklazocine) reseptor reseptor Kappa dijumpai di


daerah limbik, area diensephalon, batang otak, dan serabut saraf spinal, dan
bertanggung jawab pada analgesia spinal, sedasi, dyspnea, ketergantungan,
dysphoria, dan depresi pernapasan. Ini juga dikenal dengan nama OP2 atau
KOR (kappa opioid receptors).

Delta () (agonis delta-alanine-delta-leucine-enkephalin) reseptor reseptor


Delta lokasinya luas di otak dan efek efeknya belum diketahui dengan baik.
Mungkin bertanggung jawab pada psykomimetik dan efek dysphoria. Ini juga
dikenal dengan nama OP1 dan DOR (delta opioid receptors).

Sigma () (agonis N-allylnormetazocine) reseptor reseptor Sigma


bertanggung jawab pada efek efek psykomimetik, dysphoria, dan streshingga depresi.

Epsilon () Berperan dalam aktivitas hormonal. Sangat selektif terhadap betaendorfin tetapi tidak mempunyai aktivitas terhadap enkefalin.

Dengan penjabaran di atas, untuk membuktikan secara langsung efek


penggunaan morfin pada manusia , maka dilakukanlah uji coba mengatahui
dampak morfin yang diinjeksikan pada hewan percobaan yaitu kelinci.

B. Tujuan Praktikum
-

Mengetahui dan memahami mekanisme kerja dari morfin


Memahami efek morfin, terutama dalam kebiasaan umum depresi napas,
denyut nadi, lebar pupil, gerak reflek dan gejala lain yang terjadi pada

over dosis (OD) pada manusia, yang diperlihatkan pada kelinci.


Melatih mahasiswa menghitung dosis yang tepat yang akan diberikan pada
masing-masing hewan coba dan memberi suntikan yang tepat sesuai
petunjuk.

C. Manfaat Praktikum
-

Setelah

melakukan

praktikum

mahasiswa

mengetahui

bagaimana

mekanisme dan dampak morfin melalui pengamatan hasil praktikum yang


-

dilakukan pada kelinci


Mahasiswa mengetahui bagaimana cara menghitung dosis morfin yang

akan diinjeksikan pada kelinci


Mengetahui perubahan apa saja yang terjadi pada pada saat sebelum dan
sesudah diberi injeksi morfin yang meliputi keadaan umum, lebar pupil,
denyut nadi, frekuensi napas, tonus otot/refleks pada kelinci.

2. ALAT DAN BAHAN


A. Alat
4

1. Timbangan
2. Baskom
3. Spuit
4. Sarung tangan
5. Penggaris
6. Alat tulis
B. Bahan
1. Kelinci
2. Morfin

3. CARA KERJA
1. Ambillah seekor kelinci, perlakukan hewan coba dengan baik dan tidak kasar.

2. Timbanglah kelinci dengan timbangan hewan coba dengan akurat dan catat.
3. Hitunglah berapa ml larutan (DOSIS) morfin yang akan disuntikkan pada kelinci
dengan cara perhitungan diatas.
4. Lakukan observasi parameter dasar sebelum dan sesudah disuntik morfin yaitu
mengenai sikap kelinci, refleks otot, diameter pupil ,hitung frekuensi pernafasan
dan denyut jantung, kelakukan kelinci.
Sikap kelinci : biasanya lincah, selalu ingin berjalan
Refleks otot: tariklah (jangan terlalu keras) tungkai kaki depannnya,
normal biasanya ada tahanan
Diameter pupil diukur dalam kondisi cahaya yang constant
Frekuensi nafas dapat dihitung dengan meraba dada kelinci atau
dengan menghitung kembang-kempinya cuping hidungnnya.Karena
frekuensi nafas kelinci cepat maka hitunglah menit kemudian
kalikan 4.
Denyut jantung dihitung dengan meraba bagian dada bawah tubuh
kelinci dalam semenit.
5. Mintalah pada pembimbing praktikum larutan morfin yang akan disuntik, dalam
suntikan yang telah disediakan.
6. Suntikan larutan morfin yang sesuai dengan perhitungan untuk kelinci secara
subkutan di daerah subscapula. Pastikan seluruh cairan morfin tadi masuk ke
dalam tubuh kelinci dan tidak ada yang tercecer keluar.
8. Biarkan kelinci tetap diatas meja laboratorium, dan lakukan observasi seluruh
parameter tiap 5 menit (dilakukan hingga 20 menit)

4. HASIL PENGAMATAN

Keadaan
Sebelum
pemberian

Waktu
Setelah Pemberian Morfin
5 menit
10 menit 15 menit
20 menit

morfin

Lebar pupil
Frekuensi
nafas/ menit
Denyut nadi

0,8 cm

Tidak
menunjukkan
tanda-tanda
akan kabur
atau berjalan
0,7 cm

180/menit

84/menit

48/menit

32/menit

36/menit

64/menit

40/menit

36/menit

32/menit

Tonus otot/
refleks

Refleksnya
baik saat kaki
ditarik( Masih
bisa melawan)

Refleks mulai
berkurang

Refleks
lemah

Refleks
semakin
berkurang

28/menit
Refleksnya
sangat
kurang (tidak
ada
perlawanan
saat kaki
ditarik)

Lincah, masih
berusaha
berlari

Umum

Diam

Diam

Diam sekali

0,6 cm

0,6cm

0,6 cm

Berat badan Kelinci adalah 1409,4 gram 1,4 kg


Dosis morfin yang diberikan untuk kelinci adalah 0,23 mg/kg BB
Berikut merupakan tabel pengamatan pada setiap waktu ke berapakah kelinci
menunjukkan perubahan setrelah diberi morfin

Menit
1
2
3
3,25
4
6
7
11,10
12
14
15
16
17

Perubahan yang terjadi


Tubuh kelinci bergetar lebih cepat menunjukkan aktivitas yang masih normal
(tinggi)
Gerakan dan tremor mulai berkurang
Mata mulai sayu dan tubuh mulai lunglai/lemah
Mengantuk
Telinga semakin melemas
Posisi telinga mulai merendah tidak tegak seperti keadaan normal, mata
semakin sayu
Telinga tegak kembali , mata kembali membuka
Mata sangat sayu
Mata kembali membuka
Tubuh semakin melemah
Telinga tegak, terlihat segar
Tubuh bergetar
Tubuh bergetar dan melemah

19

Tubuh melemas dan kurang bergetar

5. PEMBAHASAN

A.

Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja pada praktikum ini, yaitu mula-mula diambil seekor

kelinci. Sebagai hewan coba digunakan kelinci karena efek morfin pada kelinci
menyerupai efek morfin pada manusia. Kelinci diperlakukan dengan halus tetapi
sigap karena kadang-kadangmemberontak. Menangkap kelinci dengan telinga
diangkat kemudian kulit leher di pegang dengan tangan kiri lalu pantatnya
8

diangkat dengan tangan kanan dan dididekapkan ke dekat tubuh. Kemudian ditimbang
beratnya menggunakan timbangan hewan coba dengan akurat dan dicatat berat
kelinci tersebut. Penimbangan terhadap berat kelinci ini penting untuk mengetahui
dosis morfin yang akan disuntikkan pada kelinci dengan perhitungan berdasarkan
berat badan kelinci. Sebelum disuntikkan morfin, dilakukan observasi terhadap
beberapa parameter yaitu yang pertama sikap kelinci, kelinci yang sebelum
disuntik morfin pada praktikum ini lincah, dan bergerak-gerak. Parameter kedua
yaitu refleks otot, untuk mengetahui refleks otot kelinci, tungkai kaki depannya
ditarik tetapi tidak terlalu keras dan dilihat refleks kelinci tersebut yaitu normal
dan ada tahanan. Parameter selanjutnya yaitu dilakukan pengukuran terhadap
diameter pupil, frekuensi nafas yang dapat dihitung dengan meraba dada kelinci
atau dengan menghitung kembang-kempinya cuping hidungnnya, frekuensi nafas
dihitung pada menit kemudian dikalikan 4. Kemudian denyut jantung dihitung
dengan meraba bagian dada bawah tubuh kelinci dalam satu menit.
Setelah dilakukan observasi, kelinci tersebut disuntik morfin dengan dosis
0,23 ml melalui perhitungan sebagai berikut:
Dik

: m1 = 1,5 kg
m2 = 1,4 kg
d1 = 2,45 mg

m1 d 1
=
m2 d 2
1,5 2,45
=
1,4
x

x=

1,4 x 2,45
1,5
x=2,28666667

Atau

mg

m1 0,07
=
m2
x
1,5 0,07
=
1,4
x

x=

1,4 x 0,07
1,5

x= 0,065

70kg x 0,5 mg/kg = 35mg x 0,065


= 2,28666667 mg/kg BB
Jadi , dosis yang diberikan adalah 2,3 mg/kg BB

Suntikan dilakukan secara

subkutan di daerah subscapula. Suntikan

morfin ini dilakukan secara subkutan (di bawah kulit) dikarenakan morfin harus
menyebar dan dapat diserap secara perlahan-lahan dalam tubuh kelinci. Morfin
diabsorbsi dengan baik setelah pemberian subkutan tetapi tidak diabsorbsi dengan
baik di saluran pencernaan . Suntikan subkutan hanya dapat dilakukan untuk obat
yang tidak mengiritasi jaringan sebab akan menyebabkan rasa sakit hebat,
nekrosis, dan pengelupasan kulit. Secara umum, suntikan subkutan memberikan
absorpsi obat yang sedikit lebih cepat dibandingkan suntikan intramuscular, tetapi
perbedaannya tidaklah besar.14
Pastikan seluruh cairan morfin tadi masuk ke dalam tubuh kelinci dan tidak
ada yang tercecer keluar. Setelah kelinci disuntik dengan morfin, biarkan kelinci
tetap di atas meja laboratorium, dan lakukan observasi seluruh parameter tiap 5
menit (dilakukan hingga 20 menit).
Parameter yang diobservasi setelah disuntik morfin sama dengan parameter
sebelum disuntik morfin, yaitu yang pertama sikap kelinci, kelinci yang setelah
disuntik morfin pada praktikum ini mulai lemas dan tidak lincah. Parameter kedua

10

yaitu refleks otot, untuk mengetahui refleks otot kelinci, tungkai kaki depannya
ditarik tetapi tidak terlalu keras dan dilihat refleks kelinci tersebut yaitu refleksnya
semakin lama semakin berkurang.

Parameter selanjutnya yaitu dilakukan

pengukuran terhadap diameter pupil, dan diperoleh bahwa diameter pupil kelinci
cenderung tidak berubah banyak, namun mengecil sedikit dari sebelum disuntik
morfin. Selanjutnya frekuensi nafas kelinci yang dapat dihitung dengan meraba
dada kelinci atau dengan menghitung kembang-kempinya cuping hidungnnya,
diperoleh bahwa frekuensi nafas kelinci yang awalnya 180 kali per menit, setelah
disuntik morfin semakin lama frekuensi nafasnya semakin berkurang. Kemudian
denyut jantung dihitung dengan meraba bagian dada bawah tubuh kelinci dalam
satu menit, denyut jantung kelinci setelah disuntik morfin juga semakin
berkurang. Hal-hal tersebut dapat terjadi dikarenakan efek dari pemberian morfin,
seperti terjadinya depresi pernapasan yang dapat dilihat dari menurunnya
frekuensi pernapasan kelinci, efek bradikardia yang dapat dilihat dari denyut
jantung kelinci yang berkurang setiap 5 menit, efek analgesia morfin yaitu ketika
kelinci dicubit tetapi kelinci tersebut tidak memberikan respon yang berusaha
melepaskan diri saat dicubit. Morfin juga akan mengakibatkan eksitasi sehingga
terjadi miosis pada pupil.
B.

Analisis Hasil
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatif selektif,

yakni tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar
(vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu
hilang setelah pemberian morfin dosis terapi 13.

Efek analgesi morfin timbul

berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2)


morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang
timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri
dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang
rangsang nyeri meningkat.3
Morfin bekerja dengan cara mengikat reseptor opioid yaitu Mu atau yang
biasa disebut MOR (Mu Opioid Reseptor). Morfin bersifat agonis karena morfin

11

bekerja dengan cara mengaktivasi reseptor Mu yang terdapat pada sistem syaraf
pusat.
Setelah pemberian morfin mulai terjadi efek sedasi pada kelinci dimana
pernapasan berkurang,diameter pupil mengecil, denyut nadi berkurang reflex
menurun dan tonus otot melemah.

PENGARUH MORFIN TERHADAP KELAKUAN UMUM HEWAN COBA


Dari hasil percobaan didapatkan bahwa sifat kelinci pada awalnya gelisah.
Hal ini dapat terjadi mungkin karena kelinci tersebut merasa bingung dan tidak
nyaman berada di tempat percobaan yang terasa asing baginya. Setelah pemberian
morfin, sikapnya berangsur menjadi tenang dan pada menit ke-10 sudah
menunjukkan sikap tenang akibat pengaruh morfin. Hal ini sesuai dengan efek
morfin yang memberi rasa tenang, jika sebelumnya gelisah.
MIOSIS
Berdasarkan data hasil pengamatan menunjukkan bahwa setiap beberapa
waktu pupil kelinci semakin mengecil dari 0,8 cm menjadi 0,6 cm . Hal ini
menunjukkan morfin telah bekerja pada tubuh kelinci sehingga mengakibatkan
miosis(pengecilan pupil).
Morfin juga bertindak sebagai agonis reseptor -opioid yang terkait dengan
analgesia spinal dan miosis. Miosis disebabkan oleh perangsangan pada segmen

otonom inti saraf okulomotor. Miosis dapat dilawan oleh atropin dan skolopamin.
Pada intoksikasi morfin, pin point pupil merupakan gejala yang khas. Morfin
dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan
intraokuler, baik pada orang normal maupun pasien glaucoma. 7
DEPRESI NAPAS
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa telah terjadi depresi napas setiap 5
menit yang sangat signifikan yaitu dari 180/menit hingga 36/menit pada menit ke
20 dan 32/menit pada menit ke 15. Morfin menimbulkan depresi napas secara
primer dan bersinambung berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas di
batang otak. Morfin memiliki efek depresi terhadap sistem respirasi. Ketika
12

morfin menduduki reseptor pada pusat kontrol respirasi di medula oblongata


akan terjadi penurunan eksitasi neuron yang mengatur irama pernapasan. Akan
terjadi penurunan frekuensi dan kedalaman pernapasan. Selain itu refleks
hiperventilasi akibat peningkatan CO2 juga menurun. Kematian akibat keracunan
morfin hampir selalu akibat depresi pernapasan. Pada dosis kecil sudah langsung
menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran.
Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi napas 3-4 kali per menit dan kematian
pada keracunan morfin hampir selalu disebabkan oleh depresi napas. Pada depresi
napas terjadi penurunan frekuensi napas, volume semenit dan tidal exchange,
akibatnya PCO2 dalam darah dan udara alveolar meningkat dan kadar O2 dalam
darah menurun.8
DENYUT NADI
Mengenai pengamatan denyut nadi menunjukkan bahwa denyut nadi
setiap 5 menit mengalami penurunan dari 64/menit hingga 28/menit. Pemberian
morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama
denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah akibat efek depresi pada pusat
vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah
turun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Morfin dan opioid
lain menurunkan kemampuan kardiovaskular untuk bereaksi terhadap perubahan
sikap. Hewan percobaan mungkin mengalami hipotensi ortostatik dan dapat jatuh
pingsan, terutama akibat vasodilatsi perifer yang terjadi berdasarkan efek
langsung terhadap pembuluh darah kecil. Morfin melepaskan histamin yang
merupakan faktor penting dalam timbulnya hipotensi. Morfin tidak memiliki efek
langsung yang signifikan terhadap sistem kardiovaskuler, selain bradikardia tidak
ada efek lain terhadap ritme jantung. Morfin mengakibatkan depresi sitem kontrol
vasomotor

sentral

dan pelepasan histamin di

perifer yang

kemudian

mengakibatkan vasodilatasi arteri dan vena perifer. Efek yang dirasakan sebagai
akibat vasodilatasi perifer adalah hipotensi ortostatik.Tampak mulai terjadi
bradikardia, akan tetapi efek ini tidak terlalu signifikan
TONUS OTOT ATAU REFLEKS

13

Sebelum disuntik morfin, tampak kelinci aktif bergerak dengan telinganya


tegak. Sesaat setelah disuntik morfin, kelinci melipat keempat ekstremitasnya dan
telinga . Beberapa saat kemudian kelinci tampak tidak berdaya dan keempat
ekstremitasnya diekstensikan. Hal ini menunjukkan ketonusan otot pada kelinci
menurun selama pemberian morfin. Hal ini sesuai dengan efek morfin yang
mengurangi aktivitas motorik. Penurunan refleks dan tonus otot ini terus terjadi
sejalan dengan waktu. Bahkan pada saat hewan coba mencapai depresi
pernapasan, ditemukan refleks dan tonus otot kelinci yang melemah
Dari hasil percobaan didapatkan bahwa refleks kelinci sebelum pemberian
morfin masih baik. Refleks menjadi berkurang dan memburuk pada 5 menit
berikutnya. Hal ini berkaitan dengan efek analgesik yang dimiliki morfin.
Hilangnya rasa nyeri menyebabkan kelinci tidak merasa sakit ketika diberi
rangsangan, sehingga tidak melakukan refleks menghindar.
Morfin menimbulkan efek analgesia dengan cara menduduki reseptor
pada regio otak dan medula spinalis yang terlibat dalam transmisi dan modulasi
rasa nyeri. Beberapa efek dimediasi oleh reseptor opioid pada ujung saraf perifer.
Reseptor opioid merupakan reseptor G protein-coupled . Reseptor morfin terdapat
banyak pada radiks dorsalis medula spinalis. Di sistem saraf pusat reseptor morfin
yang menimbulkan efek analgesia terdapat pada area abu-abu periaquaduktus,
daerah rostral ventral medula oblongata dan pada locus caeruleus.
Ketika morfin menduduki reseptornya ada 2 hal yang terjadi: (1) dengan
menduduki reseptor presinap, terjadi penutupan kanal Ca2+ pada ujung presinap
dan menurunkan pelepasan neurotransmitter glutamat dan neuropeptida;
(2)dengan menduduki reseptor postsinap, terjadi pembukaan kanal K + pada ujung
postsinap, terjadi pengeluaran ion K+ sehingga terjadi hiperpolarisasi pada neuron.
Kedua hal tersebut menghambat transmisi impuls rasa nyeri.
Morfin memiliki keunikan dalam mengatasi rasa sakit, dimana morfin
tidak hanya menurunkan komponen sensori rasa nyeri tetapi juga aspek emosional
(afektif) dari rasa nyeri. Morfin tidak hanya meningkatkan ambang rasa nyeri,

14

tetapi juga meningkatkan kemampuan seseorang untuk menerima rasa nyeri


secara emosional.
Pada kelinci yang kami amati, sebelum diberi morfin tampak kelinci
bereaksi terhadap stimulus nyeri dengan berusaha melepaskan diri dari pegangan
kami saat dicubit. Setelah disuntik dengan morfin, kelinci tidak memberikan
respon terhadap cubitan yang kami lakukan.
Penurunan refleks nyeri ini terjadi akibat hilangnya sensasi nyeri (analgesi)
yang dirasakan oleh kelinci akibat kerja morfin pada reseptor pada tingkat
supraspinal dan pada reseptor dan pada tingkat spinal. Efek analgetik morfin
timbul berdasarkan 3 mekanime, yaitu: (1) meninggikan ambang rangsang nyeri.
(2) mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yg timbul di
korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks dari talamus. (3)
memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat. 3
C.

Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang

mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua
sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi,
perubahan

emosi,

hipoventilasi

alveolar.

Stimulasi

termasuk

stimulasi

parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi
hormone anti diuretika (ADH).2, 3, 4, 6
1). SUSUNAN SARAF
a. Narkosis

Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euphoria kepada yang


sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama
sering kali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai
mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat
berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang,
ketajaman penglihatan berkurang dan letargi, ekstremitas terasa berat,
badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi nafas dan

15

miosis. Dalam lingkungan yang tenang orang yang diberikan dosis terapi
(15- 20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, nafas
lambat dan miosis.7
b. Analgesia
Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor
opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang
berperan pada transmisi dan modulasi nyeri.
c. Eksitasi
Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah,
sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul.
d. Miosis
Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor dan
menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada
segmen otonom inti saraf okulomotor. Pada intoksikasi morfin, pin point
pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi berlebihan hanya timbul pada
stadium akhir intoksikasi morfin, yaitu jika sudah ada asfiksia. Morfin
dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan
tekanan intraokuler, baik pada orang normal maupun pada pasien
glaukoma.
e. Depresi nafas
Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan bersinambung
berdasarkan efek langsung terhadap pusat nafas dibatang otak. Pada dosis
kecil morfin sudah menimbulkan depresi nafas tanpa menyebabkan tidur
atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi
nafas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan morfin hampir selalu
disebabkan oleh depresi nafas.
Faktor yang meningkatkan resiko depresi pada ventilasi8 :
- High opioid dose
- Low lipid Solubility of opioid
- Concomitant administration of parenteral opioids or other
-

sedatives
Lack of opioid tolerance
Advance age
Increase intrathoracic pressure

f. Mual muntah
Efek emetic morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic
trigger zone di area postrema medulla oblongata, bukan oleh stimulasi

16

pusat emetic sendiri. Dengan dosis terapi (15 mg morfin sub kutan) pada
pasien yang berbaring, jarang terjadi mual dan muntah, tetapi 40% pasien
berobat jalan mengalami mual dan 15 % pasien mengalami muntah.7
2). SALURAN CERNA
a. Lambung
Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah. Selanjutnya
morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum
meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pylorus
berkontraksi.

Akibatnya

pergerakan

isi

lambung

ke

duodenum

diperlambat.
b. Usus halus
Mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat
pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia, morfin mengurangi
kontraksi propulsive, meninggikan tonus dan spasme periodic usus halus.
c. Usus besar
Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar,
meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar, akibatnya
penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras. Daya
persepsi korteks telah dipengaruhi morfin sehingga pasien tidak merasakan
kebutuhan untuk defekasi.
d. Duktus koledokus
Dosis terapi morfin, kodein, dihidromorfinon dan metildihidromorfinon
menimbulkan peninggian tekanan dalam duktus koledokus; dan efek ini
menetap selama 2 jam atau lebih.
3). SISTEM KARDIOVASKULAR
Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi
maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah akibat efek
depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis
toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi
morfin. Morfin dan opioid lain melepaskan histamine yang merupakan factor
penting dalam timbulnya hipotensi.
4). OTOT POLOS LAIN
17

Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta kontraksi ureter dan


kandung kemih.
5). KULIT
Dalam dosis terapi, morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit,
sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area (muka,
leher, dan dada bagian atas). Keadaan tersebut mungkin sebagian disebabkan
oleh terjadinya penglepasan histamin oleh morfin dan seringkali disertai kulit
yang berkeringat.
6).METABOLISME
Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun,
vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan
metabolisme dikurangi oleh morfin. Hiperglikemia timbul tidak tetap akibat
penglepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Setelah pemberian
morfin volume urin berkurang, disebabkan merendahnya laju filtrasi
glomerulus, alir darah ginjal, dan penglepasan ADH.7
7). LAIN LAIN
Opioid dapat memodulasi system imun dengan mempengaruhi proliferasi
limfosit, pembentukan antibodi, dan kemotaksis.
D.

Farmakokinetik
Morfin tidak menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorbsi melalui kulit

luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini
absorbs morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorbsi usus, tetapi efek analgetik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik yang timbul
setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid
opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan,
absorbsi berbagai alkaloid opioid berbeda beda. Morfin dapat melintasi sawar
uri dan mempengaruhi janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian
kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonjugasi

18

ditemukan dalam empedu. Sebagian sangat kecil dikeluarkan bersama cairan


lambung.2, 3, 4, 6
A. Absorpsi
Secara umum opioid mudah diabsorpsi pada saluran cerna,
absorpsi melalui mukosa rektum memadai, dan beberapa obat (seperti
morfin, hidromorfon) tersedia dalam bentuk supositoria. Opioid yang lebih
lipofilik juga mudah di absorpsi melalui mukosa nasal atau bukal. Opioid
mudah diabsorpsi setelah penyuntikan intamuskular atau subkutan dan
dapat berpenetrasi cukup baik ke korda spinalis setelah pemberian epidural
atau intratekal. Morfin dalam jumlah kecil yang diberkan secara epidural
atau intratekal ke saluran spinal dapat memberikan analgesia yang kuat
yang dapat betrahan 1 sampai 24 jam. Akan tetapi, karena sifat hidrofilik
morfin, ada penyebaran rostral obat pada cairan spinal, dan efek samping,
terutama depresi pernapasan. Jika morfin diberikan secara intravena, maka
kerjanya cepat. Akan tetapi senyawa yang lebih larut dalam lemak bekerja
lebih cepat dari morfin setelah pemberian subkutan karena perbedaan laju
absorpsi dan masuknya ke SSP.
B. Distribusi
Bila morfin dalam kondisi terapeutik terdapat dalam plasma,
sekitar sepertiganya terikat protein. Morfin sendiri tidak menetap dalam
jaringan, dan 24 jam setelah dosis terakhir konsentrasi dalam jaringan
rendah.
Jalur metabolisme morfin utama adalah konjugasi dengan asam
glukoronat. Dua metabolit utama yang terbentuk adalah morfin-6glukuronid

dan

morfin-3-glukuronid.

Sejumlah

kecil

morfin-3,6-

diglukuronid juga dapat terbentuk. Walau 3- dan 6- glukuronid sangat


polar, keduanya dapat melintasi sawar darah otak untuk memberikan efek
klinis yang bermakna. Dengan pemberian dosis oral kronis, kadar morfin6-glukuronid dalam darah biasanya melampaui kadar morfin. Pada dewasa

19

muda, waktu paruh morfin sekitar 2 jam, waktu paruh morfin-6glukuronid agak lebih lama
C. Metabolisme
Sebagian besar opioid-opioid dikonversi menjadi metabolitmetabolit polar, sehingga mudah dieksresi oleh ginjal. Senyawa yang
mempunyai gugus hidroksil bebas seperti morfin dg mudah dikonjugasi
dengan asam glukoronat. Eroin dihidrolisis mnjadi monoasetilmorfin dan
akhirnya menjadi morfin, yang kemudian di konjugasi dengan asam
glukoronal.
Metabolit yang dikkonjugasi dg glukoronat ini bersifat polar dan
diperkirakan tidak aktif , tetapi penemuan terakhir menunjukkan bahwa
morfin-6-glukoronid mempunyai sifat-sifat analgesik yg mungkin lebih
besar dari morfin sendiri. Akumulasi metabolit aktif ini dapat dijumpai
pada pasien gagal ginjal serta dapat memperpanjang dan memperkuat efek
analgesiknya meskipun yang masuk ke SSP terbatas. N-demetilasi oleh
hati, tetapi ini hanya sebagian kecil saja. Dalam konsentrasi tinggi
metabolit dapat menimbulkan kejang terutama pada anak-anak.
D. Ekskresi
Sangat sedikit morfin yang diekresikan dalam bentuk tidak
berubah. Obat tersebut dieliminasi melalui filtrasi glomerulus, terutama
sebagai morfin-3-glukuronid; 90% ekresi total terjadi pada hari pertama.
Terjadi sirkulasi enterohepatik morfin dan glukuronidanya, yang
menyebabkan adanya sejumlah kecil morfin dalam feses dan dalam urin
selama beberapa hari.9

20

DAFTAR PUSTAKA
1.Muhardi dan Susilo. Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah. Bagian Anestiologi
dan Terapi Intensif FK-UI. Jakarta. 1989. hal : 199.
2. Latief, S. A, Suryadi, K. A, dan Dachlan, M. R. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi II. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI. Jakarta. Juni.
2001. hal : 77-83, 161.
3. H. Sardjono, Santoso dan Hadi Rosmiati D. Farmakologi dan Terapi. Bagian
Farmakologi FK-UI. Jakarta. 1995. hal : 189-206.
4. Samekto Wibowo dan Abdul Gopur. Farmakoterapi Dalam Neuorologi,
Penerbit Salemba Medika. hal : 138-143.
5. Sunatrio S. Ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva with Propofol, Majalah
Kedokteran Indonesia. Vol : 44. Nomor : 5, Mei 1994. hal : 278-279.
6. Omorgui, S. Buku Saku Obat-obatan Anastesi. Edisi II. EGC. Jakarta. 1997. hal
: 203-207.

21

7. Gunawan, Sulistia G, dkk, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Departemen


Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta : UI Fakultas Kedokteran; 2009; 183-6.
8. Stoelting, Robert K, Simon C.H. Handbook of Pharmacology & Physiology in
Anesthetic Practise, Second Edition. USA : LWW; 2005; 151-154.
9.Goodman & Gilman, 2001, Dasar-dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, 700713,Jakarta, EGC.
10. Tjay, T. H., Rahardja, K. 2002. Obat-obat Penting Khasiat dan Penggunannya
edisi 5. Jakarta : PT. Elex Media Computindo, 297-303.
11.Siswandono dan Bambang Soekardjo. 2000. Kimia Medisinal Edisi 2
Surabaya : Airlangga University Press
12.Jurnal anestesi perioperatif [JAP.2014;2(1):[55-62] Volume 2 Nomor 1 April
2014
13.Katzung. G. Bertram 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VIII Bagian
ke II. Jakarta : Salemba Medika.
14.Staf pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Ed. 2. Jakarta : EGC

22

Anda mungkin juga menyukai