PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain
"narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan
Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif.
Berdasarkan data UNODC (United Nation Office of Drug and Crime),
lebih dari 200 juta umat manusia telah terlibat penyalahgunaan obat-obat terlarang
atau terkontaminasi terhadap penyalahgunaan narkoba. Sasarannya adalah
penduduk yang berusia produktif, yaitu antara umur 15 sampai dengan 30 tahun.
Dari sekian banyaknya penduduk dunia yang sudah menjadi korban, tercatat tidak
kurang dari 4 juta jiwa umat manusia di Indonesia terjerumus menjadi korban
narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) mengungkap, dewasa ini sebanyak
15.000 orang mati sia-sia karena pengaruh mengkonsumsi narkotika, obat-obatan
berbahaya dan zat adiktif lainnya (Narkoba).
Heroin di Indonesia dikenal dengan nama yang sama. Pada kadar yang
lebih rendah dikenal dengan sebutan putauw. Heroin didapatkan dari pengeringan
ampas bunga opium yang mempunyai kandungan morfin dan kodein yang
merupakan penghilang rasa nyeri yang efektif dan banyak digunakan untuk
pengobatan dalam obat batuk dan obat diare.
Heroin sedikitnya sudah dikenal oleh manusia sejak 6000 tahun lalu, dan
dikenal berasal dari pohon kebahagiaan. Pada abad ke-7 atau ke-8, diduga
pedagang Arab membawanya ke Cina dan digunakan sebagai bahan pengobatan.
Setelah itu, orang-orang Inggris dan Portugis memasok Cina dengan opium dan
menempatkan Inggris sebagai heroin terbesar di dunia. Baru pada tahun 1874
orang membuat heroin dan pohon opium. Ketika itu, heroin dijual sebagai
pengganti morfin yang aman dan tidak menimbulkan kecanduan. Namun akhirnya
disadari bahwa heroin juga menyebabkan ketergantungan yang tinggi, kemudian
di Inggris dilarang pada tahun 1920 dengan undang-undang, Dangerous Drug Act.
Penggunaan heroin mulai meningkat sejak awal 1990 dan mengalami
booming sejak 1996. Menurut National Household Survey on drug abuse di USA
1
tahun 1996 sebanyak 2,4 juta orang pernah menggunakan heroin. Di Indonesia
jumlah penderita narkotika tahun 1995 adalah 130.000 orang (0,065%). Para
pemakai narkoti ini kebanyakan anak-anak muda berusia < 26 tahun. Angka
kematian akibat penggunaan heroin di Indonesia mencapai 17,6%.
Heroin (diasetilmorfin) termasuk golongan opioid agonis dan merupakan
derivat morfin yang terbuat dari morfin yang mengalami asetilasi pada gugus
hidroksil pada ikatan C3 dan C6. Nama lain dari heroin: smack, junk, china ehirte,
chiva, black tar, speed balling, dope, brown, dog,negra, nod, white hores, stuff.
Dari hasil survey pusat penelitian kesehatan, universitas indonesia (puslitkes-UI)
dan badan narkotika nasional, angka kematian pecandu setahun diperkirakan
14.894 orang dari sisi biaya social ekonomi yang ditimbulkan akibat
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba tahun 2008 sebesar Rp. 39,5 triliun,
yang terdiri dari : Rp. 4,6 triliun dihitung sebagai biaya pribadi dan Rp. 34,8
triliun dihitung sebagai biaya social. Fakta lain tentang maraknya penggunaan
heroin dapat dilihat pada data pasien rumah sakit ketergantungan obat (RSKO :
2004) di Jakarta mulai periode tahun 1997 sampai maret 2006. Dari 53.002 pasien
rawat inap dan pasien rawat jalan yang ada di RSKO : 92,5 % (49.041) orang
diantaranya menggunakan heroin.
I.2.
Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian narkotika dan heroin
b. Bagaimanakah aspek klinis Heroin
c. Bagaimanakah gambaran postmortem pada korban yang mengalami
keracunan Heroin.
d. Bagaimana kebijakan hukum yang berkaitan dengan Heroin di Indonesia.
e. Bagaimana peran tenaga medis dalam menyikapi keberadaan Heroin
I.3.
Heroin.
Manfaat Penelitan
a. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK UNDIP
Diharapkan dapat memberikan informasi tambahan mengenai keberadaan
Heroin. Serta mengetahui tanda tanda postmortem yang ditemukan
dalam pemeriksaan jenazah dengan keracunan Heroin.
b. Mahasiswa Kedokteran
Diharapkan mahasiswa lebih memahami mengenai teori tentang Heroin.
c. Masyarakat
Diharapkan dengan adanya referat ini masyarakat mendapatkan informasi
lebih mengenai Heroin dan memahami kebijakan hukum yang berkaitan
dengan Heroin di Indonesia
I.5.
Metode Penulisan
Referat ini dibuat dengan mengacu kepada berbagai tinjauan pustaka dan
literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.DEFINISI NARKOTIKA
II.1 NARKOTIKA
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis menyebabkan penurunan atau
perubahan
kesadaran,
hilangnya
rasa
nyeri,
dan
dapat
menimbulkan
II.2 HEROIN
Definisi
Heroin (INN: diacetylmorphine, BAN: diamorphine) adalah semi sintetik
opioid yang di sintesa dari morphin yang merupakan derivat dari opium. Pada
kadar yang lebih rendah dikenal dengan sebutan putaw. Heroin didapatkan dari
pengeringan ampas bunga opium (Papaverum somniferum) yang mempunyai
kandungan morfin dan kodein yang merupakan penghilang rasa nyeri yang
efektif. Heroin merupakan 3.6-diacetyl ester dari morphine (oleh karena itu
disebut juga diasetilmorphine). Nama lain dari heroin: smack, junk, china ehirte,
chiva, black tar, speed balling, dope, brown, dog,negra, nod, white hores, stuff.10
Karakteristik
Heroin merupakan narkoba yang sangat sering menimbulkan efek
ketergantungan. Heroin ini bentuknya berupa serbuk putih dengan rasa pahit.
Dalam pasaran banyak beredar warnanya putih, coklat atau dadu. Penggunaannya
dengan injeksi atau dihirup atau per oral. Heroin mempunyai kekuatan yang dua
kali lebih kuat dari morfin.
Jenis heroin yang sering diperdagangkan :
1.
Bubuk putih
2.
3.
Cara Pemakaian
a.
Injeksi
Injeksi secara intravena, subkutan atau intra muskular. Injeksi lebih praktis
dan efisien untuk heroin kadar rendah. Injeksi secara intravena dapat
menimbulkan efek eforia dalam 7-8 detik. Injeksi intra muskuler efeknya lebih
lambat yaitu 5-8 menit. Ketika akan menyuntikkan heroin ke dalam tubuh,
pertama-tama heroin di larutkan ke dalam air lalu dipanaskan, cara ini dilakukan
untuk menghasilkan larutan liquid. Lalu pengguna bisa menginjeksikan larutan
tadi ke dalam tubuhnya.
Kerugian injeksi:
Dapat menyebabkan septikemi dan infeksi lain.
Dapat menyebabkan hepatitis atau HIV.
Injeksi berulang dapat merusak vena, menyebabkan trombosis dan abses.
Dihirup
Bubuk heroin ditaruh di aluminium foil dan dipanaskan diatas api,
dihisap. Penggunaan heroin secara dihisap atau dihirup (chasing the dragon) saat
ini meningkat untuk menghindarkan efek yang terjadi akibat penyuntikan.
Penggunaan secara dihisap lebih aman dibandingkan dihirup, oleh karena masuk
ke dalam tubuh secara bertahap sehingga lebih mudah dikontrol.78
relatif rendah dibandingkan organ lainnya akibat sawar darah otak. Heroin
menembus sawar darah otak lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan morfin
atau golongan opioid lainnya.
Metabolisme
Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin
dan akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam
glukuronik menjadi morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat
dibandingkan morfin sendiri. Akumulasi obat terjadi pada pasien gagal ginjal.
Ekskresi
Heroin/morfin
terutama
diekskresi
melalui
urine
(ginjal).
90%
morfin
pada
penderita
yang
mengalami
nyeri,
akan
Long term
Gelisah
Addiksi
Depresi pernafasan
HIV, hepatitis
Kolaps vena
10
Infeksi bakteri
Menekan nyeri
Abortus spontan
Infeksi jantung dan katupnya
Pengaruh heroin terhadap wanita hamil:
Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik memiliki resiko tinggi
untuk terjadinya SIDS (Sudden Infant Death Syndrome)
Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik dapat mengalami gejala
with drawl dalam 24-36 jam setelah lahir. Gejalanya bayi tambah gelisah,
agitasi, sering menguap, bersin dan menangis, gemetar, muntah, diare dan
pada beberapa kasus terjadi kejang umum.10,11,12,13
Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila
pernafasan memburuk danterjadi syok
Bradikardi
Edema paru
Kejang
Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernafasan. Angka kematian
Intoksikasi Kronis
Addiksi heroin menunjukkan berbagai segi:
1.
2.
3.
Pemeriksaan Penunjang
Penampilan pasien, sikap wawancara, gejolak emosi dan lain-lain perlu
diobservasi. Petugas harus cepat tanggap apakah pasien perlu mendapatkan
pertolongan kegawat darurat atau tidak, dengan memperhatikan tanda-tanda dan
gejala yang ada.
a.
Fisik
Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan,tangan kaki bahkan pada
menemukan
gejala
b.
c.
Psikiatrik
Derajat kesadaran
Daya nilai realitas
Gangguan pada alam perasaan (misal cemas, gelisah, marah, emosi labil,
halusinasi)
Gangguan pada psikomotor (hipperaktif/ hipoaktif, agresif gangguan pola
urine hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian zat terakhir dan
pastikan urine tersebut urine pasien.
Urin merupakan sampel yang representatif untuk pendeteksian narkoba
dan metabolitnya, cara ini tidak menyakiti, urin memiliki kadar narkoba dan
metabolitnya tinggi sebaliknya hanya dalam waktu singkat dalam darah. Urin
harus jernih (sentrifus jika keruh), tanpa pengawet. Penyimpanan dalam cawan,
tabung plastik/gelas yang kering dan bersih. Pada 2-80C stabil 48 jam, -20C
stabil >48 jam.12
Cara Kerja & Interpretasi Hasil
1. Deteksi Tunggal Narkoba dan Metabolitnya
14
Tabel 2.2 Perkiraan Waktu Deteksi Dalam Urine Beberapa Jenis Obat
Jenis obat
Amfetamine
Barbiturat
Benzodiazepin
Kokain
Kodein
Heroin
Methadone
Morfin
Penunjang lain
Untuk menunjang diagnosis dan komplikasi dapat pula dilakukan
pemeriksaan:
15
Penatalaksanaan:
a. Intoksikasi akut (over dosis)
Efek naloxane terlihat dalam 1 3 menit dan mencapai puncaknya pada 5-10
menit. Bila tidak ada respon naloxane 2 mg dapat diulang tiap 5 menit hingga
maksimum 10 mg. Naloxone efektif untuk memperbaiki derjat kesadaran, depresi
pernafasan, ukuran pupil. Pasien masih harus diobservasi terhadap efek naloxone
dalam 2-3 jam. Oleh karena duration of action yang pendek. Untuk mencegah
rekulensi efek opiat dapat diberikan infus naloxone 0,4-0,8 mg/jam hingga gejala
minimal (menghilang).10
b. Intoksikasi kronis
Hospitalisasi
Hospitalisasi dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama ditujukan untuk:
1.
2.
3.
4.
5.
obat
Klonidin dapat digunakan untuk mengurangi gejala putus obat dengan
menekan perasaan gelisah, lakrimasi, rhinorrhea dan keringat berlebihan.
Dosis awal diberikan 0,1-0,2 mg tiap 8 jam. Kemudian dapat dinaikkan
bila diperlukan hingga 0,8 1,2 mg/hari, selanjutnya dapat ditappering off
17
perhari peroral. Setelah 2-3 hari stabil dosis mulai ditappering off dalam 1
3 minggu.
Buprenorphine dosis rendah (1,5-5 mg sublingual setiap 2-3 x seminggu)
dilaporkan lebihefektif dan efek withdrawl lebih ringan dibandingkan
metadone.
Terapi alternatif lain yang disarankan adalah rapid detoxification yang
mempersingkat waktu terapi deteksifikasi dan memudahkan pasien untuk
segera masuk dalam terapi opiat antagonis. Jenis teknik rapid deteksifikasi
antara lain klinidin naltrexon.
secara perlahan-lahan.
Buprenorphine dapat pul adigunakan sebagai terapi rumatan dengan dosis
18
yang dipakai saat itu, atau kehilangan toleransi. Cara kematian yang lain adalah
pembunuhan.
Pembunuhan
dengan
suntikan
(hot-shot)
biasanya
menggunakan
morfin/heroin takar lajak atau dicampur racun lain, seperti sianida atau strichin.
Cara kematian dapat pula bersifat bunuh diri yang biasanya akibat sindrom
abstinensi. Kematian biasanya terjadi pada mereka yang menggunakan
morfin/heroin secara intravena.
A. Mekanisme Kematian Melalui :
1.
Depresi pusat pernafasan : dalam hal ini pusat pernafasan menjadi kurang
sensitive terhadap stimulus CO2 atau H+.
2.
pusat
pernafasan
terhadap
CO2. Kedua
keadaan
ini
2.
Pemeriksaan Forensik
Pemeriksaan Jenazah :
Bekas bekas suntikan. Kelainan ini, menurut frekuensi yang tersering
terdapat pada lipat siku, lengan atas, punggung tangan dan tungkai. Tempat
tempat yang jarang digunakan tetapi tetap harus kita teliti adalah pada leher
dibawah lidah atau pada daerah perineum. Bekas suntikan tersebut terdapat pada
kira kira 52,9 % kasus. Bekas suntikan tersebut yang masih baru biasanya
disertai perdarahan subkutan atau perdarahan perivena; selain itu untuk
menentukan baru lamanya suatu bekas suntikan tersebut, jika masih baru dari
lubang suntikan keluar darah atau serum. Pada keadaan keadaan yang
meragukan, kita dapat melakukan incise kulit sepanjang vena tersebut
dan
dan jaringan disekitarnya apakah ditemukan perdarahan atau jaringan parut. Pada
addiksi kronik akan ditemukan bekas bekas suntikan yang lama, berupa jaringan
parut berbentuk titik titik sepanjang pembuluh balik, keadaan ini disebut sebagai
intravenous (mainline)tracks.
Selain bekas bekas suntikan tersebut di atas, pada pemeriksaan luar
sering dijumpai adanya rajah yang bertujuan menutupi bekas bekas suntikan,
atau mungkin ditemukan adanya abces, granuloma atau ulkus. Ketiga hal terakhir
ini banyak dijumpai pada penyuntikan narkotik secara subkutan, dan pada mereka
ini sering pula dijumpai jaringan jaringan parut.
Penyuntikan
secara
subcutan
(skin-popper)
tidak
menghasilkan
kenikmatan yang tinggi tetapi berlangsung dalam waktu yang lebih lama, dan
pada cara inilah tetanus lebih sering terjadi.
Bila bekas suntikan tidak ditemukan, maka mungkin korban menggunakan
cara lain misalnya cara sniffing (menghirup), ack-ack (mengisap rook yang di
campur heroin) atau dengan cara chasing the dragon (mengisap uap yang
dihasilkan dari pernapasan heroin). Pada kasus seperti ini perlu diambil hapus
selaput lender hidung (nasal-swab) untuk pemeriksaan toksikologik.
Pembesaran kelenjar getah bening setempat terutama di daerah ketiak
disertai dengan adanya bekas suntikan, menandakan bahwa korban tersebut
seorang pecandu yang kronis. Kelainan ini merupakan fenomena drainase,
sekunder akibat penyuntikan yang berulang pada vena tau jaringan sekitarnya,
dengan memakai alat-alat suntikan yang tidak steril. Pada pemeriksaan
mikroskopik kelainan menunjukkan hipertrofi dan hiperplasi limfositik.
Lepuh kulit (skin-blister): kelainan ini biasanya terdapat pada kulit di
daerah telapak tangan dan kaki, dan biasanya terdapat pada kematian karena
penyuntikan morfin/heroin dalam jumlah besar. Perlu diingat bahwa lepuh kulit
ini mungkin didapatkan pada beberapa keadaan misalnya pada keracunan CO atau
barbiturat.
Kelainan-kelainan Lain: biasanya merupakan tanda-tanda asfiksia
seperti keluarnya busa halus dari lubang hidung dan mulut, yang mula-mula
berwarna putih, dan lama kelamaan karena adanya autolysis, akan berwarna
kemerahan. Kelainan ini terdapat pada lebih dari sepertiga kasus, dan kelainan
tersebut dianggap sebagai tanda edema paru. Sianosis pada ujung-ujung jari dan
20
bibir, perdarahan petekial pada kinjungtiva dan pada pemakaian narkotika dengan
cara sniffing kadang-kadang dijumpai perforasi septum nasi.
Kelainan paru akut. Kelainan digolongkan berdasarkan jarak waktu
antara suntikan terakhir dan saat kematian. Pada perubahan awal (sampai 3 jam)
didapatkan edema dan kongesti saja, atau hanya terdapat sel mononuklear serta
makrofag di dalam atau pada dinding alveoli. Maksroskopik terlihat paru
membesar, lebih berat, bagian posterior lebih padat hingga tidak teraba krepitasi,
bagian anterior sering memperlihatkan emfisema akut. Kadang-kadang hanya
berupa emfisema akut yagng difus dengan aspirasi beda asing dalam bronki.
Mikiroskopik terlihat kongesti dan edema disertai serbukan sel
mononuklear di dalam dan pada dinding alveoli. Kadang-kadang didapatkan
pusat-pusat atelektasis, emfisema dan benda-bendayang teraspirasi pada bronki.
Edema paru didapatkan pada lebih dari 80% kasus.
Pada jangka waktu 3 sampai 12 jam: akan dijumpai narcotic lungs.
Menurut Siegel, kelainan ini khas, bermakna dan dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis, serta terdapat pada kira-kira 25% kasus.
Makroskopik paru sangat mengembang, lebih berat, trakea berisi busa
halus
sampai
ke
cabang-cabangnya,
penampang
dan
permukaan
paru
yang
23
Pasal 5
Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi segala bentuk kegiatan
dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 6
(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
(2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama
kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.9
BAB III
PENUTUP
24
III.1 Kesimpulan
Heroin adalah semi sintetik opioid yang disintesa dari morphin, yang
merupakan derivat dariopium. Pada kadar yang rendah dikenal dengan putaw.
Heroin adalah obat bius yang sangat mudah membuat seseorang kecanduan
karena efeknya sangat kuat.
Heroin merupakan golongan narkotik yang sangat kuat dalam menimbulkan
toleransi, ketergantungan fisik dan psikis. Dalam pasaran banyak beredar
warnanya putih, cokelat atau dadu. Obat ini bisa ditemukan dalam bentuk pil,
bubuk, dan juga dalam cairan.
Seseorang yang sudah ketergantungan heroin bisa disebut juga chasing the
dragon. Heroin memberikan efek yang sangat kuat terhadap si pengguna dan itu
bisa secara fisik maupun mental. Dan jika orang itu berhenti menggunakan obat
bius itu, dia akan mengalami rasa sakit yang berkesinambungan.
Heroin mempunyai kekuatan yang lebih kuat dari morfin dan merupakan
jenis opiat yang paling sering disalah gunakan orang di indonesia pada akhir
akhir ini. Efek pemakaian heroin: kejang-kejang, mual, hidung dan mata selalu
berair, kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara tidak
jelas, tidak dapat berkonsentrasi. Sakaw atau sakit karena putaw terjadi apabila si
pecandu putus emnggunakan putaw. Sebenarnya sakaw adalah bentuk
detoksifikasi ilmiah yaitu membiaran si pecandu melewati rasa sakwa tanpa obat
gejala sakaw: mata dan hidung berairtulang terasa nyilu rasa gatal di bawah kulit
seluruh badan, sakit perut atau diare dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang
yang sedang ketagihan adalah kesakitan dan kejang-kejang, keram perut dan
menggelempar, gemetar dan muntah-muntah, hidung berlendir, mata brair,
kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh. Penghentian obat tiba-tiba dapat
menimbulkan gejala putus obat. Penggunaan heroin dapat pula menyebabkan
intoksikasi akut, komplikasi jangka pendek dan jangka panjang.
III.2 Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
26
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
27